Adventus dan Tuhan yang tak pernah seles

ESAI

Adventus dan Tuhan Yang Tak (Pernah) Selesai
: Trisno S. Sutanto

• Untuk GM, dengan hormat
Berhubung judul esai ini bisa dianggap mengada-ada, atau bahkan rentan dituduh sirik,
maka biarlah ditegaskan dari awal bahwa judul esai ini, seperti juga perspektif yang hendak
dikembangkan di sini, berutang pada buku baru Goenawan Mohamad, sebuah kumpulan
99 tatal yang memukau perihal "Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai" (Jakarta: KataKita,
2007). Memang saya tidak akan membahas hal-hal lain yang juga tidak selesai dari berbagai
tatal yang berserakan dalam buku itu, tetapi "hanya" menyinggung soal Tuhan yang, bagi
saya (dan saya yakin bagi GM juga), suatu perkara yang tak (pernah) selesai. Saya
berutang padanya, karena esai ini juga ditulis, sama seperti buku itu, "di masa yang seperti
kita alami sekarang, ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam
hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tapi juga membingungkan dan
menakutkan."
Saya yakin GM tidak mengada-ada. Hari-hari ini nama Tuhan diserukan dan dipanggil pada
setiap titik dalam perjalanan waktu hampir tanpa jeda. Dan "agama"--karena perkara Tuhan,
paling tidak di negeri ini, hampir tak (pernah) dapat dilepaskan darinya--serba hadir
(omnipresent) dalam setiap ruang kehidupan, dari yang paling intim personal sampai pada

urusan publik. Agama telah menjadi bahasa, atau bahkan satu-satunya bahasa yang
memberi gramatika dan kosakata untuk menangkap, merumuskan, dan menanggapi
perkara-perkara hidup sehari-hari. Saya pernah menengarai (BENTARA, 1 April 2006)
bahwa keserba-hadiran agama menjadi bermasalah karena wajah ganda keterbelahan akut
yang dewasa ini begitu kuat melanda pandangan keagamaan kita: pada satu sisi, bahasa itu
tidak pernah melalui kritik-dakhil yang sangat dibutuhkan; dan, pada sisi lain, bahasa itu
dicangkokkan tanpa perspektif sosiologis.
Lewat ke-99 tatalnya GM seperti mencari cara baru untuk membicarakan Tuhan--dan
agama--yang, mungkin, dapat meretas jalan keluar dari perangkap wajah ganda krisis itu,
sembari mengakui bahwa setiap upaya membicarakan Tuhan berarti memasuki pembicaraan
yang tak (pernah) selesai. Esai ini mau mengikuti pergulatan GM dalam mencari kosakata
dan cara-cara baru dalam membicarakan Tuhan. Saya kira GM adalah salah satu dari sedikit
orang di negara ini yang mau bergumul dengan persoalan pelik tentang keterbatasan bahasa
untuk mengungkapkan sesuatu yang, pada dasarnya, tak terpermanai, tidak dapat dikatakan,
atau dikonsepkan.

Keterbatasan dan Keniscayaan Bahasa
Persis pada titik itu GM menyentuh persoalan inti dari setiap proyek teologi yang berambisi
mau membicarakan Tuhan, membuat logos tentang theos--sebuah proyek yang, sudah dari
sejak awal mulanya, memang problematis. Saya teringat pada anekdot yang diceritakan

Dorothee Sölle, perempuan teolog dari Jerman saat mengunjungi Martin Buber. Ketika
filsuf Yahudi itu bertanya apa profesinya, Sölle menjawab singkat: teolog. Buber
memandanginya, lalu berkomentar pendek, "Bagaimana mungkin membicarakan yang tak
dapat dibicarakan?"
Bagi Buber, orang yang besar dalam tradisi Yudaisme yang bahkan melarang menyebut
nama YHWH dalam ibadah mereka di Sinagoga, ambisi teologi untuk membuat logos
tentang theos sungguh muskil. Upaya seperti itu dengan mudah terjebak menjadi--untuk
menyitir pemikir kontemporer dari Perancis, Jean-Luc Marion, yang sering dikutip
GM--"berhala konsep" yang kerap kali justru "telah menggantikan Tuhan-itu-sendiri" (h.
157). Akan tetapi, pada saat bersamaan orang juga harus menyadari bahwa bahasa yang
terbatas dan "selamanya terlibat dalam kemusrikan" itu juga dibutuhkan untuk
membahasakan Tuhan, walau "Di depan Ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa
bertingkah" (h. 54).
Posisi yang serba-taksa ini, yakni kebutuhan yang niscaya akan bahasa tetapi sekaligus
kesadaran akan keterbatasannya, telah menjadi ruang hermeneutis kontemporer untuk
membicarakan pengalaman religius yang selalu memikat tapi menakutkan. Agaknya baru
pada masa sekarang inilah kesadaran akan keterbatasan bahasa justru menjadi bahasa baru
dalam mengungkapkan Yang Maha Tak-Tersamai. Kita harus menelisik soal ini lebih
dekat.
Memang benar, kesadaran akan keterbatasan bahasa sudah sejak lama disuarakan oleh para

mistikus besar. Bahkan dalam Buddhisme Zen kesadaran ini sering diungkapkan dengan
cara yang ekstrem. Kasus Shanhui, salah seorang master Zen yang paling luar biasa dan
dijuluki sebagai Bodhisattva, bisa disebut contoh paradigmatis. Suatu kali dikisahkan
Kaisar Wu dari Dinasti Liang (502 - 549) meminta Shanhui membabarkan Sutra Intan.
Sang master datang, naik podium yang telah disediakan, lalu memukul meja dan pergi.
Sang Kaisar terkejut dan bertanya apa artinya. "Tidakkah Paduka memahami?" tanya
Shanhui. "Saya telah selesai memberi ceramah..."
Boleh jadi, tindakan eksentrik para guru Zen seperti Shanhui itulah yang membuat David J.
Kalupahana menggolongkan tradisi kerohanian Zen sebagai "tradisi tanpa suara" (the
voiceless tradition). Sebab para guru Zen sangat menyadari betapa terbatasnya kata-kata
untuk mengungkapkan kebuddhaan, satori, kebenaran, atau bahkan Zen itu sendiri.
Metafora yang sering dipakai dalam Zen untuk melihat bahasa adalah seperti jari yang
menunjuk bulan. Bukan jari, atau bahasa yang penting, tetapi bulan itu sendiri. Namun

pengalaman keagamaan kerap memperlihatkan bahwa orang sering sibuk berdebat atau
bahkan bertempur sampai berdarah-darah justru tentang jari yang menunjuk, rumusanrumusan dogmatis yang ada, ritus atau aturan hukum, ketimbang mencari pengalaman
religius yang otentik, yakni perasaan akan kehadiran Tuhan yang selalu, kata GM, "luput
dari alfabet". Karena alfabet, pada akhirnya, hanyalah "sebuah organisasi, urutan yang
hanya dihafal dan tak perlu dihayati" (h. 31).
Zen memang contoh yang ekstrem tentang kesadaran akan keterbatasan kata-kata dalam

menangkap dan membahasakan Realitas paling ultim yang kita sebut "Tuhan". Tetapi kita
juga menyadari bahwa, betapapun terbatasnya kemampuan kata-kata, pengalaman religius
yang otentik tetap butuh dibahasakan. Tanpa pembahasaan itu, pengalaman religius--atau
pengalaman apapun!--hanya akan menjadi momen peristiwa sesaat, sebelum akhirnya
lenyap dalam kesunyian. Atau, yang juga sering terjadi, pengalaman itu hanya menjadi
milik segelintir orang "terpilih" dan tidak dapat dibagikan.
Sebagai seorang penyair liris GM sangat menyadari ketaksaan ini. Momen-momen puitis
selalu tidak pernah dapat direngkuh sepenuhnya oleh kata-kata. Akan tetapi, pada sisi
lainnya, kata-kata, terutama dalam puisi, selalu juga menyimpan ruang-ruang di mana
enigma memperoleh suakanya, yang membuat setiap konstruksi tentang realitas jadi tidak
pernah utuh, komplit, atau final, tetapi selalu terbuka bagi misteri yang melangkaui bahasa.
Seperti Boris Pasternak ketika mendefinisikan puisi dalam empat larik padat yang dikutip
GM (h. 55):
Siul yang jadi matang di saat sekejap
Kertak suara es di angin kedap
Malam yang mengubah hijau jadi beku
Duel suara bulbul dalam lagu
Setiap larik adalah momen peristiwa yang sekejap muncul untuk kemudian hilang. Tetapi
sang penyair menyadari betapa tak ternilainya momen-momen itu sehingga butuh
dibahasakan, betapapun terbatasnya, agar dengan itu dapat dibagikan dan disyukuri. Apa

yang dilakukan Pasternak hanyalah "membikin abadi yang kelak retak", seperti judul
tinjauan A. Teeuw yang memesona tentang syair-syair GM.
Saya kira tugas seorang teolog pada masa sekarang, pasca kritik Kant, kegilaan Nietzsche,
dan die Kehre Heidegger, mirip tugas para penyair: dengan keterbatasan kata-kata mau
mengabadikan yang kelak retak itu! Bagian berikut mau mengelaborasinya.

Menantikan Sang Mesias
Kritik Kantian yang mencerminkan ghirah Pencerahan telah menjadikan cara bicara
metafisik tentang Tuhan menjadi tidak mungkin, karena harus tunduk pada batas-batas akal
budi semata. Di awal abad lalu, Nietzsche mengabarkan kematian Tuhan metafisik, sembari
mengajak kita "berteologi dengan palu". Dan Heidegger mengumumkan berakhirnya ontoteologi, lalu mengganti bahasa diskursif filsafat menjadi puisi.

Masing-masing raksasa pemikiran itu telah mendorong proyek teologi sampai pada batasbatas akhir daya ucapnya. Lewat mereka kita menyadari bahwa ambisi teologi untuk
membuat logos tentang theos adalah sebentuk kemustahilan, atau akan menemui jalan buntu
(aporia) jika memang mau dengan jujur dijalani. Akan tetapi kesadaran akan aporia itu
justru menjadi retakan di mana Yang Maha Tak-Tersamai menyingkapkan Wajah-Nya.
Momen tersebut--"kejadian" atau l'événement-nya Alain Badiou yang berkali-kali disebut
GM--tidak pernah dapat ditebak atau direncanakan, namun selalu "mengguncang dan
mengubah keadaan yang berlaku, seakan-akan dari nihil" (h. 39).
Dalam l'événement yang dirujuk Badiou, waktu memasuki matra dan memiliki kualitas

yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Di situ orang tidak lagi berbicara chronos,
waktu sehari-hari yang dapat diukur dan digunakan, tetapi memasuki matra kairos, kejadian
yang tiba secara mendadak dan penuh misteri. Ini seperti kedatangan sang Mesias dalam
cerita aneh Maurice Blanchot. Menurut Blanchot, mari kita andaikan sang Mesias, dengan
menyamar, datang di pintu gerbang Roma, tinggal bersama kaum gelandangan dan
penderita lepra. Namun, walau orang mengenalinya, mereka akan tetap bertanya pada sang
Mesias, "Kapan kau akan datang?" Sebab bukan kedatangan itu sendiri yang menjadi
pokok, tetapi justru penantian (adventus) yang penuh harapan.
Cerita Blanchot, yang kerap didiskusikan Derrida maupun Levinas, mau menggarisbawahi
aspek yang selama ini sering terlupakan dalam kesibukan teologi: bahwa Sang Misteri lebih
tepat diungkapkan sebagai janji ketimbang pengada (being). Blanchot seperti melukiskan
apa yang dirayakan selama minggu-minggu advent dalam liturgi gerejawi: bukan hanya
penantian akan Natal, kelahiran Yesus yang "menandai Yang Suci masuk merasuk ke
dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal menempuh laku temporal" (h. 120), tetapi
sekaligus juga pengharapan akan parousia, saat di mana--dalam ungkapan eskatologis
Paulus--"Allah menjadi semua di dalam semua". Maka bahasa Sang Misteri bukanlah
bahasa kepastian, peraturan, ritus, hukum, atau rumusan dogmatis, melainkan bahasa
harapan yang selalu terbuka bagi masa depan yang tidak pernah dapat diduga, bagi
l'événement.
Dengan kata lain, kesadaran akan keterbatasan daya ucap teologi untuk merumuskan Yang

Maha Tak-Terpermanai justru membuka retakan yang memungkinkan bahasa harapan
kembali menyapa kita. Bagi GM, dalam tulisannya yang lain beberapa waktu lalu
(BENTARA, 6 Oktober 2007), lebih baik orang menerima keterbatasan bahasa sebagai
sesuatu yang tak terelakkan, dan belajar untuk "hidup dengan janji: kelak ada Makna
Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam
iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam
kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena
Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran." Bisa juga
ditambahkan: Tuhan yang tak (pernah) selesai.

Saya yakin itulah kosakata baru yang sangat kita butuhkan untuk membahasakan kembali
pengalaman religius tentang kehadiran Tuhan yang selalu "luput dari alfabet" itu. "Tiap
masa," tulis GM, "selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke
gurun pasir tempat Musa--yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan--mencoba
menebak kehendak-Nya terus menerus. Di sana, tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda,
bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai" (h. 41). Kumpulan ke-99
tatal GM adalah semacam noktah-noktah dari pengembaraannya ke gurun pasir, locus
classicus dalam cerita Alkitab bagi l'événement, saat di mana Sang Misteri menyingkapkan
Wajah-Nya.
And the rest is silence, kata Hamlet.


Jakarta, menjelang minggu Advent 2007
BENTARA, 28 November 2007
Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta