Positivisme Hukum kodrat dan positivisme

Positivisme Hukum
Oleh
M Nurul Fajri

A. Pendahuluan
Positivisme hukum adalah suatu gagasan besar tentang berhukum. Saat ini
positivisme hukum jauh mendominasi atas seluruh aspek berhukum dalam jagad raya
jika dibandingkan dengan aliran-aliran filsafat hukum lainnya. Apa lagi jika kita
berbicara dalam ruang lingkup negara-negara modern. Positivisme hukum
memainkan perannya yang sangat sentral dalam semua lini kehidupan.
Bicara tentang positivisme hukum tidak akan menarik jika langsung masuk
membedah pemikiran pemikir-pemikir besar positivisme hukum seperti John Austin,
H.L.A Hart atau Hans Kelsen hingga tokoh positivisme hukum di Indonesia seperti
Peter Mahmud Marzuki. Sebab berbicara tentang filsafat khususnya filsafat hukum
tanpa mengetahui awal mula, atau sebab lahirnya sebuah pemikiran sama saja
dengan membangun pengetahuan yang terputus.
Sebagaimana ungkapan K. Bartens secara umum menyatakan jika kita hendak
membahas pemikiran filsafat dari masa silam, tidak cukup kita membatasi diri pada
penguraian pikiran-pikiran beberapa filsuf satu demi satu, tetapi kita haru
memnadang juga hubungan meraka satu sama lain dan hubungan mereka dengan
pemikir-pemikir sebelumnya. Sebab, menurut hakikatnya filsafat adalah dialog.1

Filsafat adalah dialektika atas fenomena dan sejarah filsafat sebelumnya.
Begitu juga dengan filsafat hukum. Dalam hal ini positivisme hukum tentu tidak sertamerta jatuh dari langit hingga menjadi mahzab yang saat ini mendominasi. Penting
1 K. Bartens, Sejarah Filsafat Kontemporer, Jerman dan Inggris,(Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2014), hlm. 1.

1

untuk dipahami bahwa sesungguhnya filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat,
bukanlah cabang dari ilmu hukum. Filsafat hukum berbicara tentang aspek-aspek
mendasar dan umum (esensi hukum). Sementara ilmu hukum lebih bersifat
dogmatik, rasional dan empirik. Namun keduanya memiliki keterkaitan kuat. Jika
diibaratkan hukum adalah penyelsai masalah maka ilmu hukum yang bersifat
dogmatik, rasional dan empirik tersebut adalah alat atau instrumennya. Sementara
apa bila alat atau instrumen tersebut menemui masalah dalam penggunaannya, maka
filsafat menjadi modal penyelesaian masalah tersebut.
Positivisme hukum adalah dua suku kata hasil modifikasi atas sebuah karya
pemikiran. Sebelum masuk kedalam positivisme hukum, istilah positivisme
dikemukakan pertama kali oleh Saint Simon (1760-1825) dari Perancis sebagai
metode dan sekaligus merupakan perkembangan dalam aras pemikiran filsafat.2
Namun pemikiran tentang positivisme lebih dikenal sebagai buah pemikiran dari

Aguste Comte sebagai peletak dasar pemikiran positivisme. Dalam karya yang
melegenda itu, Comte bergiat dengan ruas pemisah dari “tiga tahapan besar” yang
menurutnya telah melingkungi proses evolusi (perkembangan) pemikiran manusia.
Tiga tahapan tersebut, antara lain:3
1. Periode Teologikal atau Mistis
Merupakan tahapan dimana “segala sesuatu” atau keseluruhan “realitas
aktual” (gejala yang dapat dijangkau dengan kesanggupan intelegensi),
dijelaskan semata-mata dengan berpedoman kepada “kuasa-kuasa

Andre Uta Ujan, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 64.
Herman Bakir, Filsafat Hukum-Desain dan Arsitektur Kesejarahan, (Bandung: Refika
Aditama, 2007), hlm. 263.
2

3

2

supranatural” (rangkaian fenomena gaib) serta intervensi bercorak
Ketuhanan.

2. Periode Mengabstraksi (metafisikal)
Yakni sebuah tahapan yang berdasarkannya masyarakat manusia mulai
“berfikir abstrak” (mengabstraksikan hal-hal tertentu yang dihadapkan
kepada mereka), terutama dengan menelusur-balik (mempelajari) ke
dalam berbagai prinsip serta ide-ide ultimatif (superioritas) yang
sebelumnya pada periode teologikal diatas.
3. Periode Positif
Tahapan ini, kasarnya adalah periode ilmiah, artinya di sini manusia
berkonsentrasi untuk mencapai pengetahuannya dengan semata-mata
berpegangan

pada

berbagai

konspirasi

faktual.

Dalam


berbagai

pengamatan, manusia menggunakan kesanggupan mereka dalam berpikir
akan menentukan relasi kesamaan atau urutan yang didalamnya terjalin
konspirasi fakta-fakta. Periode positif, dengan demikian, merupakan tahap
dimana jiwa manusia telah sampai pada pengetahuan yang tidak lagi
abstrak, melainkan pasti, jelas dan bermanfaat.
Positivisme dibangun diatas tesis dasar yang menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan adalah satu-satunya pengetahuan ilmiah. Positivisme lalu menuntut
bahwa filsafat pun harus memiliki metode yang sama seperti yang digunakan dalam
ilmu pengetahuan.4 Pemikiran tentang positivisme berkembang pesat dalam ilmuilmu alam, matematika atau eksakta. Namun positivisme juga berpengaruh terhadap
ilmu sosial dan masyarakat, khususnya adalah ilmu hukum. Legal Positisvism

4

Andre Uta Ujan, Loc.cit., hlm. 65.

3


didirikan sebagai jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat
anti-metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh
kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya memerlukan pengetahaun
yang objektif.5
Sebagai sebuah anti-tesis terhadap hal-hal metafisis, positivisme hukum hadir
sebagai bentuk “perlawanan” terhadap mahzab hukum kodrat yang dipadang sebagai
hukum yang sulit menentukan tingkat validitasnya, batasan-batasan kodrati, serta
standar nilai yang bersifat tetap untuk menjawab permasalahan-permasalah dalam
hukum. Moral sebagai standar dalam pemikiran hukum kodrat tidak dapat
diterjemahkan dalam bentuk yang valid. Atas pembenaran-pembenaran inilah
pemikiran tentang positivisme hukum muncul untuk menjawabnya.
B. Tiga Tokoh Utama
Hukum alam yang determinan terhadap hal-hal bersifat metafisik, khususnya
terhadap hal-hal yang berbau Ketuhanan dipandang sebagai suatu hal yang tidak
valid menetapkan standar nilai yang sama dalam kacamata positivisme hukum. Tesistesis kesamaan dalam pendekatan hukum untuk mencapai tujuannya menjadi dasar
para filsuf positivisme hukum melahirkan mahzab positivisme hukum. Tiga pemikir
besar dalam mendudukan paham positivisme yang terus dipakai dalam pemikiran
hukum kontemporer. Mereka adalah John Austin, H.L.A. Hart dan Hans Kelsen.
Hukum adalah perintah penguasa negara.6 Begitulah gagasan pokokJohn
Austin terhadap dalam pemikiran legal positivism. John Austin, ahli filsafat hukum

Inggris, secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Kencana,2013) hlm. 42.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), hlm. 114.
5

6

4

positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan
terutama dalam karyanya berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832).7
Austin pada mulanya membagi hukum kepada dua jenis sebagaimana dalam
The Province of Jurisprudence Determined:8
Taking it with the largest of its meanings which are not marely metaphorical, the term
laws embraces the following objects: Laws set by God to his human creatures and laws set by
men to men.
The whole or a portion of the laws set by God to men, is frequently styled the law of
nature, or naatural law: being, in truth , the only natural law, of which it is possible to speak
without a metaphor, or out a blending of objects which ought to be distinguished broadly. But,

rejecting the ambiguous expression natural law, I name those laws or rules, as considered
collectively or in mass, Divine law, or the law of God.
The laws or rules set by men to men, are of two leading or pricipal classes: classes which
are often blended, although they differ extremely; and which, for that reason, should be severed
precisely, and opposed distinctly and conspicuously.
Of laws or rules set by men to men, some are established by political superiors, sovereign
and subject: by persons exercising supreme and subordinate government, in independent
nations, or independent political societies.

Dalam pandangan di atas Austin membedakan dua jenis hukum menjadi
hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk orang-orang yang patuh dan hukum yang
dibuat oleh manusia untuk manusia. Meskipun masih membuka dengan menjabarkan
apa itu hukum Tuhan dan hukum manusia, namun Austin telah menunjukan

Andre Uta Ujan, Loc.cit.,hlm. 68.
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: Ed. John Murray,
Albemarle Street, 1832), hlm. 1.
7

8


5

“gugatannya”9 terhadap hukum Tuhan yang penuh pengibaratan yang tidak valid
karena harus diterjemahkan melalui pengibaratan atau metefor.
Sementara hukum yang dibuat oleh manusia, Austin menyebutkan bahwa
hukum tersebut dikeluarkan oleh sebuah otoritas yang berdaulat. Yang memiliki
kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya: (1)
individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu
yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga diatasnya.10
Lalu dimana Austin menempatkan moral sebagai aspek yang sangat essensial
dalam hukum alam? Kenyataannya Austin tidak menghilangkan moral dalam
pandangan

hukumnya.

Dalam

dua


karya

utamanya

Austin

membedakan

yurisprudensi dari moral sedemikian radikalnya sehingga doktrin Hobbes tentang
penyerapan hukum alam oleh hukum perdata dipungkiri dan di ungguli (demikian
pula pandangan Hume dan Bentham terhadap pemikiran ini).11 Austin bukanlah
seorang yang anti-moral. Namun beranjak dari pandangan monolak secara validitas
moral yang bersifat transenden, Austin memberikan ruang yang terpisah dari hukum
dalam kaca mata psitivisme hukumnya yang membuat identitas atas pemikirannya
tentang hukum sebagai yurisprudensi analitik.
For such of the human laws belonging to this second class as are properly called laws, current or
established languange has no collective name. But the aggregate of the human laws, which are

9 John Austin adalah juga seorang pengacara di Inggris. Karirnya sebagai pengacara

mempengaruhi pandangan hukumnya tentang bagaimana proses pembuktian atau validitas. Selain
itu tulisan Austin yang menggunakan kata “Jurisprudance” menunjukan bagaimana hukum adalah
sesuatu yang ada di pengadilan atau apa yang dilahirkan oleh hakim.
10 Andre Uta Ujan, Op.cit., hlm. 71.
11 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010)
(Terjemahan), hlm. 122.

6

improperly styled laws, is not un frequently donated by one of following expressions: “moral
rules,” “the moral law,” “the law set or prescribed by general or public opinion.” Certain parcels
of aggregate donated by those expressions, are usually styleed “the law or rules of honour,” and
“the law set by fashion.” As opposed to the laws which are set by God to men, and to the laws
which are established by political superiors, are aggregate of human laws, which are improperly
styled laws, my be named commadiously positive morality. The name morality severs them from
positive law: Whilest the epithet positive disjoins them from the law of God. And to the end of
obviating confussion, it is necessary or expedient tha they should be disjoined from the latter by
distinguishing epithet. For the name morality (or moral), when standing unqualified or alone,
denotes indifferently either of following objects: namely positive morality as it is, or without
regard to its merits ; and positive morality as it would be, if it conformed to the law of God, and

werer, therfore, deserving of approbation.12

Austin membedakan sendiri dalam tulisannya bahwa ada hukum positif dan
moral positif. Kedua-duanya merupakan hasil ciptaan manusia yang bersifat valid dan
non-transenden dan bagaimana proses kelahirannya.
Tentang hukum buatan manusia, Austin menggolongkan lagi dalam dua kategori, yaitu: (1)
Hukum Positif, yaitu hukum yang dibuat oleh pembuat hukum (penguasa yang berdaulat). (2)
Moralitas Positif, yakni hukum yang dibuat oleh kelompok atau organisasi non negara yang
berlaku bagi kelompok/organisasi yang bersangkutan, seperti peraturan dalam perkumpulan
kesukuan, keagamaan, olahraga dan lain-lain. Adapun laws improperly so called, oleh Austin
dibagi dua juga, yakni hukum hasil analogi dan hasil metafora. Hukum hasi analogi diciptakan
dari kehendak atau pendapat umum atau laws set or imposed by general opinion, seperti cara
berperlaku, etiket cara bergaul, cara berpakaian yang pantas dan lain sebagainya. Pada
gilirannya, semua hukum hasil analogi akan menciptakan moralitas positif (positive morality).
Jadi morlitas postif (positive morality) selain dibentuk dari perbuatan manusia juga dapat
dibentuk dari hukum hasil analogi. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya yang berupa
metafora (laws by methapor), menunjukan pada hukum alamiah (laws of nature),
12

John Austin, Loc.cit., hlm. 3.

7

yakni

mekanisme-mekanisme alam sebagaimana adanya, seperti misalnya setiap orang pasti mati, air
dipanaskan mendidih, sayur membusuk. Hukum seperti ini menurut Austin tidak terkait dengan
moralitas positif. Metode Austin memisah-misahkan hukum positif dari moral transenden dan
moral positif itulah yang menyebabkan dia disebut sebagai tokoh analytical jurisprudance.13

Dengan demikian Austin mengemukakan bahwa hukum memilik empat unsur, yaitu:
(1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), dan (4)
kedaulatan (sovereignty).
Pemikiran tentang positivisme hukum tentu tidak berhenti ditangan John
Austin. Suntikan modernitas serta era aufaklarung membuat positivisme hukum
mendapatkan tempat tersendiri. Berangkat dari dasar pemikiran John Austin yang
menyatakat bahwa hukum merupakan komando dari penguasa yang berdaulat, H.L.A.
Hart menangkap adanya kelemahan dari pemikiran John Austin tersebut. Hart
melihat adanya kemungkinan kesewenang-wenangan dari otoritas yang melahirkan
hukum untuk tidak taat atau tunduk kepada hukum yang dibuatnya.

Hart

menyatakan bahwa hukum harus dilihat sebagai sebuah sistem peraturan yang
mengatur.
Pandangan positivisme Hart tergambar dengan bagaimana Hart melakukan
pembedaan peraturan menjadi dua macam yaitu:14
1. Peraturan Primer
Secara umum, masyarakat prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim
ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Kerana itu kontrol
sosial juga ditentukan oleh kebiasaan yang biasa berlaku dalam masing13 Yavita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2014), hlm. 29.
14 Andre Uta Ujan, Loc.cit.,hlm. 70.

8

masing komunitas. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakat
prahukum inilah yang oleh Hart sebut sebagai “peraturan primer” atau
tepatnya “peraturan kewajiban primer”.
2. Peraturan Sekunder
Peraturan sekunder menjelaskan bagaimana peraturan primer itu sendiri.
Peraturan sekunder menjelaskan cara di mana peraturan primer secara pasti
ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukan
secara pasti.
Tentang konsep Hart mengenai aturan primer dan aturan sekunder, diuraikan
secara lebih sederhana oleh Friedman sehingga lebih mudah kita mengerti. Menurut
Friedman:
Pertama-tama ada aturan mengenai aturan. Ada aturan mengenai prosedur, dan ada aturan
yang memerintahkan kita bagaimana membedakan aturan dari yang bukan aturan. Lebih
kongkretnya aturan ini mengenai yurisdiksi, pledoi, hakim, pengadilan, pemungutan suara di
badan legislatif, dan lain-lain. Aturan yang berbunyi bahwa rancangan undang-undang tidak
boleh menjadi undang-undang di New Mexico jika dewan perwakilan

rakyat tidak

mengesahkannya dan gubernur tidak menanda tanganinya, adalah aturan mengenani aturan.
Aturan ini menjelaskan bagaimana membuat aturan hukum di New Mexico. Dalam bukunya
yang terkenal, H.L.A. Hart menamai aturan mengenai aturan ini sebagai “aturan sekunder”
(secondary rules); Hart menamai aturan mengenai perilaku nyata sebagai aturan primer
(primary rules). Aturan yang melarang masuk dengan paksa (burglary) ke toko grosir atau
melarang berkendaraan dengan kecepatan 90 mil per jam menuju ke toko grosir adalah contoh
aturan primer. Menurut Hart, hukum adalah kesatuan dari aturan primer dan sekunder.15

15 Lihat Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudance) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudance), (Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 66.

9

Hart sepakat dengan pandangan Austin yang memisahkan hukum dan moral.
Akan tetapi Hart memiliki sejumlah catatan perbaikan. Menurut Hart, moral menjadi
syarat minimum dalam hukum. Hart sepertinya menyadari bahwa positivisme hukum
mengalami ketertinggalan dari realitas sosial. Terhadap berbagai keterbatasan
manusia tersebut, hukum memiliki tanggungjawab (beban moral) untuk berfungsi
sebagai sistem aturan yang melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan
memandu kehidupan manusia agar terciptanya kehidupan tertib di tengah-tengah
keterbatasan natural itu. Selain itu hukum juga memiliki kewajiban moral untuk
mengambil tindakan-tindakan diskresional sebagai jalan keluar dari keterbatasan
hukum yang ada.16
Hart secara langsung menentang pendapat Austin tentang hukum yang sangat
kedap moral. Pemikiran positivisme hukum Hart terkenal melalui dua karyanya The
Concept of Law dan Positivism and the Separation of Law and Morals.

Keberlanjutan

positivisme hukum dalam pemikiran Hart tidak terlepas dari kritik. Hart yang
memandang hukum sebagai sistem aturan (hukum primer dan hukum sekunder)
ternyata lebih menekankan terhadap aspek formalistik hukum itu sendiri. Berangkat
dari kenyetaan tersebut, Hans Kelsen muncul melahirkan “cerita” baru tentang
positivisme hukum.
Kelsen muncul dengan dua maha karya The General Theory Law and State dan
The Pure Theory of Law. Kelsen menentang pandangan Hart dan Austin yang menitik
beratkan hukum kepada aspek sanksi. Awal mulanya Kelsen melihat hukum sebagai
sebuah tatanan yang merupakan obyek dari pengetahuan ini merupakan tatanan
norma perilaku manusia-sebuah sistem norma yang mengatur perilaku manusia.
16

Yavita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Loc.cit., hlm. 32-33.

10

Yang kami maksud dengan “norma” adalah sesuatu yang seharusnya ada atau
seharusnya terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berperilaku dengan cara
tertentu.17
Sebagai seorang yang identik dengan pemikiran Hukum Tata Negara dan
Hukum

Internasional,

pengaruh

kondisi

sosial-politik

dimasanya

sangat

mempengaruhi pemikiran Hans Kelses tentang pemurnian hukum. Gerakan antiyahudi (mulai dari pemilu Austria hingga anti-Yahudi Hitler) serta perang dunia
kedua menjadi peletak dasar pemikiran hukum murni Hans Kelsen. Ini adalah
benturan pertama Kelsen terhadap pemikiran Austin sebagai komando milik otoritas
berdaulat/berkuasa.
Pada zamannya, Kelsen merasakan perlakuan yang diskriminatif akibat
hukum yang dilahirkan oleh penguasa serta isu yang anti-yahudi. Hukum murni yang
dimaksudkan oleh Kelsen karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya
membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut
dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari
unsur-unsur asing.18 Pendekatan dan metode pemurnian hukum adalah bentuk
pelepasan hukum dari hal-hal penafsiran atau anasir-anasir yang bersifat non-hukum.
Pemurnian hukum ini juga menyepakati apa yang menjadi pemikiran Austin
dan Hart (positivisme hukum) tentang menentang sifat tradisional hukum alam.
Doktrin hukum alam jatuh bangun dengan asumsi bahwa nilai itu imanen dalam
realitas. Apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa sebuah analisis obyektif dari
realitas, yakni, sebuah analisis yang tidak mempresumsikan secara pasti nilai atau

17
18

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusa Media, 2011), (Terjemahan), hlm. 5.
Ibid., hlm. 1

11

norma, yang semestinya mengarah pada penegasan terhadap nilai atau norma ini,
maka doktrin hukum alam tidak mempunyai pondasi.19 Jika aliran hukum kodrat
memiliki argumen pada wacana validasi (legitimasi) hukum buatan manusia, maka
kekuatan argumen Positivisme Hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif
itu kedalam struktur kasus-kasus kongkret.20
Kelsen melihat ketidak sempurnaan Austin (hukum sebagai komando) dan
Hart (hukum sebagai sebuah sistem aturan) dalam merumuskan hukum positif
sebagai sebuah struktur norma. Sehingga Kelsen melahirkan teori yang melihat
hukum sebagai sebuah sistem hierarkis. Kelsen menamai puncak tertinggi dari
hierarkis tersebut dengan sebutan Groundnorm. Groundnorm sebagai puncak
tertinggi merupakan acuan dari segala sumber hukum dibawahnya baik yang akan
dibentuk atau yang sedang berjalan. Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma
yang terkordinir yang berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum
dengan berbagai jenjang.21 Dengan demikian Kelsen menyatakan bahwa dibawah
Groundnorm (norma dasar) terdapat norma-norma hukum lainnya yang berjenjang.
Dengan sistem hierarkis tersebut, tingkat keabstrakan tingkatan ditentukan
berdasarkan posisinya. Groundnorm memiliki tingkat keabstrakan tertinggi, dan akan
semakin dikongkretkan semakin mengarah kebawah. Konsep tatanan hukum yang
hierarkis ini kemudian diambil alih oleh Hans Nawiasky dengan modifikasi. Akan
tetapi diskursi tentang norma hukum dasar dan norma fundamental negara ini telah
menjebak Kelsen dan Nawiasky pada perangkap aliran hukum kodrat, sama halnya

19 Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusa Media, 2014),
(Terjemahan), hlm. 208.
20 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing,
2013), hlm. 199.
21 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Loc.cit., hlm. 244.

12

dengan von Savigny tatkala mengemukakan volksgeist sebagai jiwa bangsa yang
harus hadir sebagai pedoman pelembagaan perilaku sosial.22
Kelsen menyatakan bahwa hukum haruslah dibuat berdasarkan atas kehendak
bersama rakyat agar mencapai tujuan hukum itu sendiri. Dalam pandangan Kelsen
yang terinspirasi dari von Savigny:
Salah seorang wakil terpenting dari aliran ini, yakni F.C. von Savigny, mengemukakan
pandangan bahwa hukum tidak dapat “dibuat” melainkan ada di dalam dan dilahirkan bersama
rakyat karena diperanakan menurut cara yang misterius oleh hati nurani rakyat (volksgeist).
Oleh sebab itu dia menolak setiap wewenang untuk membuat undang-undang, dan
menyebutnya ketaatan terhadap kebiasaan bukan sebagai hukum melainkan sebagai bukti dari
keberdaannya. Dalam teori hukum Perancis modern, doktrin volksgeist digantikan oleh doktrin
“solidaritas sosial”.23

Berangkat dari Groundnorm sebagai pembatas atas norma-norma dibawahnya,
Kelsen ternyata terjebak dengan pemikirannya sendiri. Validitas hukum menurut
Kelsen adalah validitas hierarkis yang bersifat formil. Sementara konteks materil
hukum adalah politik hukum yang tergantuk kepada ideologi pembuat hukum atau
semangat yang dibawa dalam apa yang disebut dengan volksgeist tersebut. Meski
menolak disamakan baik dengan aliran hukum alam atau aliran sejarah hukum,
namun pada kenyataan nilai dalam groundnorm yang disebut oleh Kelsen sebagai
sumber tertinggi ternyata memiliki tingkat keabstarkan yang tinggi sama halnya
dengan hukum alam yang bersifat transenden atau natural.

Shidarta, Op.cit.,
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2011),
(Terjemahan), hlm.183.
22

23

13

Akan tetapi norma dasar menurut Kelsen jika dilihat dari proses pembentukan
adalah nilai bersama masyarakat tentang hukum yaitu keadilan. Keadilan dalam kaca
mata Kelsen sebagai tujuan bersama masyarakat sebagai aspek materil dari hukum.
Ternyata pemikiran Austin dan Hart dalam positivisme hukum dengan Kelsen dari
sisi formalistiknya. Meskipun demikian pemikiran Kelsen tentang hierarki norma
dalam perkembangan hukum modern menjadi populer sebagai landasan konsep
judicial review. Mungkin hal ini sangatlah berhubungan dengan perjalanan Kelsen
sebagai perancang konstitusi Austria yang melahirkan Mahkamah Konstitusi pertama
di dunia serta juga menempatkannya sebagai hakim di sana.
C. Penutup
Positivisme hukum hadir memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum.
Ini tentumenghindari adanya disparitas atas memandang sebuah kejahatan serta
standar nilai yang sama untuk menjawab sebuah persoalan. Hans Kelsen dalam
pandangan hukumnya berhasil “mematematiskan” rumusan sebuah aturan hukum
dalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanya
hukuman. Meskipun, sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangat
berguna yang dapat digunakan oleh para praktisi atau analis hukum untuk
mengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi ia mengarahkan
menjauh dari gagasan bahwahukum itu terdiri dari proses-proses yang terkait
dengan manusia.24
Begitulah adanya positivisme hukum, meski mekar, berkembang, dan
menguasai praktek berhukum saat ini, ia tidak lepas dari kritik atas sifatnya yang
formalistik, kaku atau diistilahkan legisme. Namun kenyataannya saat ini, hukum
24

Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum,(Bandung: Nusa Media, 2012) (Terjemahan), hlm. 13.

14

tidak hanya menyangkut tentang manusia, akan tetapi semua hal yang berhubungan
dengan kehidupan di jagad raya. Pemisahan tegas antara hukum dan moral oleh
positivisme hukum secara keseluruhan memiliki sisi positif dan negatif. Hukum
adalah produk rasional dan moral meskipun masuk kedalam hukum haruslah
dibangun

dengan

argumentasi

yang

rasional

serta

verifikatif.

Sebaliknya

permasalahan seringlah timbul saat hukum diimplematasikan dan proses
pembentukan hukum.
Nonet dan Salznick
pembentukan

hukum,

menyampaikan sudah lama
peradilan,

penyelenggaraan

dirasakan bahwa
hukum,

peradilan

penyelenggaraan keamanan dan peraturan sangatlah mudah dipisahkan dari realitas
sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri.25 Permasalahan implementasi hukum
khususnya oleh aparat penegak hukum adalah sebuah penafsiran atas teks hukum
(hukum positif) terhadap masalah hukum. Sementara proses pembentukan hukum
(legislasi) adalah bentuk penafsiran permaslahan atau potensi masalah (realitas)
menjadi rumusan teks hukum.
Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil; ia seharusnya mampu
mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan
substantif.26 Selain itu pabrik pencetak aparat penegak hukum dan pembentuk
hukum haruslah memiliki visi hukum yang jelas atas jawaban permasalahan hukum
yang tidak ada habisnya. Tanpa mengenyampingkan pluralisme hukum, kondisi
negara modern memang keberadaan positivisme hukum (hukum formil tertulis)
adalah sebuah keniscayaan.
25 Phillipe Nonet & Phillip Salznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, (Jakarta:
Huma, 2003), (terjemahan), hlm. 1.
26 Ibid., hlm. 61.

15

Daftar Pustaka
Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudance) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudance),
Kencana, Jakarta, 2009.
Andre Uta Ujan, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung,
2010, diterjemahkan dari judul aslinya The Phislosophy of Law in Historical
Perspective.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2011, diterjemahkan dari
judul aslinya The Pure Theory of Law.
---------------, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011,
diterjemahkan dari judul aslinya The General Theory Law and State.
---------------, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2014,
diterjemahkan dari judul aslinya What is Justice : Justice, Politic, and Law in the
Mirror of Science.
Herman Bakir, Filsafat Hukum-Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama,
Bandung, 2007.
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined , Ed. John Murray, Albemarle
Street, London 1832.
K. Bartens, Sejarah Filsafat Kontemporer, Jerman dan Inggris, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2014.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2013.
Phillipe Nonet & Phillip Salznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, Huma,
Jakarta, 2003, diterjemahkan dari judul aslinya Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law.
Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum Nusa Media, Bandung, 2012, diterjemahkan dari
judul aslinya The Sociology of Law: An Introduction.
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
2013.
Yavita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Genta Publishing,
Yogyakarta 2014.

16