Terampasnya Hak Asasi Manusia dan Hak Hi

Terampasnya Hak Asasi Manusia dan Hak Hidup Masyarakat
Papua Oleh Aparat Keamanan dan TNI Indonesia
Firqotun Naziah
[email protected]

DATA BUKU, terdiri dari:
Nama/Judul Buku : Mati atau hidup hilangnya
harapan hidup dan
Hak Asasi Manusia di
Papua
Penulis/Pengarang : Markus Haluk
Penerbit
: Deiyai
Tahun Terbit
: 2013
Kota Terbit
: Jayapura, Papua
Bahasa Buku
: Indonesia
Jumlah Halaman
: xxiv +330 Hlm

ISBN Buku
: 978-602-17071-3-5
DISKUSI/PEMBAHASAN REVIEW
Buku Mati atau hidup hilangnya
harapan hidup dan Hak Asasi Manusia
Di Papuaditulis oleh Markus Haluk.
Alasan penulis menulis buku ini karena
dari tahun ketahuan selalu ada tindak
pelanggaran hak asasi manusia di
Papua. Aspirasi politik rakyat Papua
direndam dengan kekerasan dan
operasi keamanan. Seruan damai
terdengar
namun
tak
mampu
menembus hati pemimpin nasional
Jakarta dan pimpinan kepolisan dan
militer Indonesia.
Penulis

menyebutkan
sudah
terlalu banyak orang-orang Papua
jatuh korban karena keyakinan politik
yan dijamin oleh negara dan bangsa
Indonesia, bangsa yang mengerti
tentang
kekerasan
dan
tragedi
kemanusiaan., tetapi kenapa masih
menenggelamkan diri dalam periode
masa lalu.
Buku ini berisi tentang laporanlaporan
dokumentasi
hak
asasi
manusia di Papua dalam empat tahun
terakhir , 2008-2012. Buku ini bisa
mengingatkan

ada
indikasi
kuat
kejahatan kemanusiaan yang sedang
terjadi ditanah Papua. Kejahatan itu tergambar dalam sektor politik, ekonomi,
dan budaya. Dan juga tersebar di berbagai daerah di Papua yang kemudiaan

menjadi zona konflik berkelanjutan, seperti Jayapura, Paniai, Timika, Puncak
Jaya.
“Mati atau Hidup” dipakai sebagai judul untuk memaknai situasi hak
asasi manusia yang terjadi di papua selama empat tahun, 2008-2012, yang
ditunjukan kepada siapa pun dan dimana pun yang peduli dengan persoalaan
hak asasi manusia Papua. Karena menurut penulis hal itu juga mengandung
makna suatu kondisi dari ketidakberdayaan, antara mati atau hidup. Mati
memang urusan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi di Papua mati menjadi urusan
Pemerintah melalui aparat keamanan TNI dan POLRI. Dengan tujuan sparatis,
polisi dan tentara bisa cepat melakukan pembunuhan. Lalu hidup dianggap
sebagai harapan untuk bangkit berjuang mengupayakan kehidupan itu sendiri.
Dalam buku ini penulis mengungkapkan berbagai gejolak dan peristiwa
hak

asasi
manusia
dari
sumber-sumber
terpercaya
dan
bisa
dipertenggungjawabkan. Secara umum, bagian-bagian dalam buku ini
menampilkan wajah duka dan buram. Selain itu dalam bukunya penulis juga
mengungkap tentang hukum dan aparat keamanan dimana para pelakunya TNI
dan Kepolisian melakukan kekerasan dan penembakan tetapi tidak diproses
secara hukum yang berkeadilan. Sebagian besar pelakunya bebas dan tidak
tersentuh hukum sama sekali. Pelaku yangg diproses secara hukum karena
kasusnya mendapat perhatian besar oleh masyarakat luas diadili di pengadilan
militer yang hukumannya sangat ringan dan administratif.
Penulis juga menyimpulkan bahwa dengan adanya data dan fakta yang
terjadi di Papua, maka dapat disimpulkan bahwa negara dan pemerintahan
indonesia telah gagal menjamin hak-hak dasar manusia yang telah disepakati
bersama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Indonesia telah
membiarkan dan menutup mata peristiwa-peristiwa yang masuk dalam

pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Strategi pembangunan dan politik
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak membiarkan konstribusi
berbagai jaminan hidup rakyat Papua.
Dalam bukunya penulis mengungkapkan berbagai pihak dapat
berdiskusi, dan bahkan beradu argumentasi tentang sejauh mana kekerasaankekerasaan tersebut dapat dinilai sebagai pelanggaran ham atau bukan. Tetapi
kita dapat melihatnya dari berbagai unsur-unsur yang ada dibuku ini. Pertama,
buku ini ditulis bukan dengan maksud untuk menyerang atau
mempermasalahkan kelompok tertentu. Buku ini juga bukan merupakan
ungkapan balas dendam. Penulis ini hanyalah warga biasa. Dia tidak bekerja
pada lembaga tertentu yang bergerak dibidang Hak Asasi Manusia (HAM). Dia
hanyalah seorang warga negara yang mempunyai keperhatinan terhadap HAM.
Buku ini ditulis dengan tujuan untuk “membuka mata dengan mengetuk hati”.
Melalui buku ini, penulis mengetuk pintu hati pemerintah agar memberikan
jaminan terhadap hak yang mendasar bagi setiap orang yakni hak hidup.
Kedua, buku ini menyajikan bahan yang dapat dimanfaatkan ketika
dilakukan investigasi secara menyeluruh dan mendalam tentang situasi HAM
ditanah Papua. Sejumlah data dalam buku ini dapat digunakan untuk
melakukan penelitian yang lebih mendalam oleh lembaga-lembaga yang
berkompeten. Suatu pelanggaran HAM tidak terjadi dalam suatu kevakuman.
Pelanggaran HAM selalu mempunyai kaitan dalam situasi politik, ekonomi,

sosial, dan budaya dalam negara setempat. Peristiwa pelanggaran HAM
ditanah Papua dari periode waktu 2008-2012 dapat dipahami dengan baik
hanya apabila ditelaah dalam keseluruhan konteks poltik, ekonomi, sosial dan
budaya di negara Indonesia.

Ketiga, buku ini memperlihatkan dengan jelas bahwa baik pelanggaran
maupun penghormatan terhadap HAM mempunyai dampaknya terhadap hak
hidup. Hak hidup ini merupakan suatu hak yang paling mendasar. Apabila hak
hidup dari seseoranng dihancurkan maka semua hak yang lain tidak lagi
relevan bagi orang tersebut. Pelanggaran HAM akan menghancurkan hak hidup
ini. Dalam buku ini juga penulis menuliskan dampak negatif dari pelanggaran
hak hidup. Secara khusus penulis juga memperlihatkan bahwa pelanggran HAM
dapat menghancurkan individudan kelompok orang Papua. Penulis dalam hal
ini membela akan Hak hidup.
Keempat, pelanggarn HAM yang diangkat dalam buku ini terjadi ketika
Papua sedang diperjuangkan menjadi tanah damai. Selama pelanggaran HAM
masih terjadi, selama itu pula Papua belum menjadi tanah damai. Maka untuk
mewujudkan Papua menjadi tanah damai yang harus dilakukan adalah
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, mencarikan solusi atas faktorfaktor penyebab dan berbagai pelanggaran HAM, serta menetapkan kebijakankebijakan untuk mencegah perbuatan pelanggaran HAM yang akan terjadi
dimasa depan.

Kelima, buku ini dapat dilihat sebagai bentuk dokumentasi tentang
kekerasaan-kekerasaan, baik dalam bentuk aksi maupun kebijakaan, yang
dikategorikan oleh penulis sebagai pelanggaran HAM ditanah Papua.
Keenam, buku ini dapat digunakan untuk dokumentasi yanng menyajikan
bahn yang dapat dimanfaatkan ketika dilakukan investigasi secara menyeluruh
dan mendalam tentang situasi HAM di Papua. Data dalam buku ini dapat
diguanakan untuk penelitian yang lebih mendalam oelh lembaga-lembaga
yang berkompeten.
Buku ini menjelaskan pelanggaran yang sudah terjadi
ditanah papua adalah khususnya mengenai hak-hak sipil dan politik rakyat
Papua seperti, hak menentukan masa depan sendiri, hak untuk hidup, hak
untuk tidak tersiksa dan diperlakukan secara keji, hak atas perlindungan, hak
atas pengakuan yang sama sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan bagi
warga negara asing. Kemudian hak atas kebebasan berkumpul, hak atas
kebebasan berserikat, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak atas
kesamaan dimuka hukum serta konvensi anti penyiksaan dan perlakuan atau
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
(Undang-Undang Nomer 5 tahun 1998).
Menurut penulis pembangunan di Indonesia tidak berpihak kepada orang
asli Papua menjadi masalah utama dalam pemenuhan hak-hak atas ekonomi,

sosial, dan budaya. Disektor ekonomi, pembangunan lebih menguntungkan
proyek-proyek besar yang dikerjakaan oleh pengusaha-pengusaha nasional
yang tak punya kepentingan langsung dengan Papua. Kekayaan alam yang
melimpah di Papua dengan sumber-sumber energi yang terkandung didalam
perut bumi dan gunung-gunung Papua hanya dimanfaatkan oleh segelintir
orang untuk kepentingan dirinya sendiri.
Sementara masyarakat Papua yang tinggal dan mendiami tempat
tersebut tidak merasakan manfaat yang besar dari tanah kelahirannya.
Masyrakat Papua masih hidup miskin dengan segala keterbatasannya. Selain
itu dalam kondisi sosial budaya seperti pendidikan dan kesehatan pelayanan
masyarakat di kedua sektor itu tidak merata dan adil. Sistem pelayanan sistem
publik yang dibuat pemerintah kurang mendukung manajemen yang baik,
profesional dan terbuka.
Selanjutnya buku ini juga mengungkapkan berbagai kekerasaan yang
terjadi diareal tambang dan basis-basis gerakan bersenjata gerilyawan Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Jadi

kekerasaan diareal eksplorasi tambang emas dipicu oleh ketidakadailan dan
pelanggaran nilai-nilai adat dan kemanusiaan orang asli Papua. Sekali lagi
militer atau aparat keamanan dipakai oleh pengusaha untuk menyelesaikan

persoalan-persoalaan yang memicu konflik berkepanjangan.
Selain itu penyebabnya yang harus dicatat adalah izin-izin
penambangandan peraturan-peraturan pemerintah, dari bupati, gubernur
hingga kementerian yang tidak ramah dengan lingkungan, baik lingkungannya
manusianya maupun alamnya. Hampir semua kekerasaan di wilayah tambang,
seperti Puncak Jaya, Intan Jaya, Mamberamo Raya, Freeport-Timika terjadi
selama bertahun-tahun dan tidak ada penyelesaiannya.
Menurut penulis hal ini disebabkan karena akar persoaalan dan konflik
yang tidak diselesaikan atau dicari jalan keluarnya. Kota Jayapura, antara lain
wilayah konflik yang mengalami eskalarasi kekerasan terus meningkat dan
mendapatkan banyak perhatian, meskipun tidak bergesekan langsung dengan
tambang, namun ini karena gelombang demokrasi yang bergerak dan terus
berkembang.
Penulis menyayangkan negara dengan segala perangkatnya tidak
menangani serta mencari jalan keluar atas kekerasaan di wilayah-wilayah
khusus Kabupaten/Kota Jayapura, Timika, Puncak Jaya, Intan Jaya, dan
Kabupaten Paniai. Pemerintah lamban mencari jalan jalan damai dan
mengedepankan pendekatan keamanan dalam menghadapi konflik didaerahdaerah tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia di kalangan warga sipil Papua dan non-Papua.
Buku ini juga membahas secara peran pemerintah RI dan aparat

keamanan dalam konflik dan kekerasan di Papua. Dapat disimpulkan konflik
dan kekerasan sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan. Tuduhan
makar dan sparatis menjadi dasar bagi aparat keamanan untuk melakukan
kekerasaan dan tindakan pembunuhan.
Dalam bukunya penulis menyebutkan bahwa konflik kekerasan di Papua
dipicu oleh jumlah aparat keamanan yang terus bertambah, bahkan
serangkaian operasi-operasi khusus dikerjakaan oleh Kopasssus dan intelejen.
Dan satuan keamanan khusus antiteror yang dibentuk negara-negara ASEAN,
Amerika Serikat, dan Australia, yang semula untuk memerangi terorisme kini
dioperasikan di Papua untuk menghadapi para pemimpin, aktivis, dan pembela
hak asasi manusia di Papua.
Penulis juga menuturkan bahwa banyaknya dari prinsip UDHR yang
menjadi bagian dari UUD Indonesia (Pembukaan, pasal 26, pasal 27 ayat 1 dan
2, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 31 ayat 1) dan keputusan Majelis Rakyat
Papua (MPP) No XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi manusia. Indonesia juga
telah meratifikasi konvensi pokok internasional tentang hak asasi manusia.
Ratifikasi ICESCR dan ICCPR pun sudah dilakukan, namun dalam
implementasinya banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah Indonesia di
daerah-daerah seperti Papua. Hal ini menunjukan rendahnya kebijakan atau
penanganan pemerintah kasus dari HAM. Pemerintah seharusnya bisa tegas

dalam menangani kasus pelanggaran HAM terutama di Papua karena jika
pemerintah tidak bertindak cepat dalam menangani kasus di Papua maka akan
menjadi semakin banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oknum-oknum
tertenu pada masyarakat Papua.
Penulis menyaksikan sendiri operasi keamanan itu terus berjalan karena
tidak ada penagakan hukum bagi anggota keamanan yang melakukan
kekerasaan, penghilangan nyawa secara paksa dan pelanggaran hak asasi
manusia. Aparat keamanan menjadi pelaku kekerasaan dan penembakan

warga papua tak ditangani secaa hukum yang benar dan serius oleh
pemerintah. Diantara mereka juga tak diajukan kemeja pengadilan, kalau pun
diproses hukum pun tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat luas. Jadi
konflik kekerasaan justru bersumber atau berasal dari aparat keamanan.
Penulis juga menuliskan bahwa saat itu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam berbagai kesempatan mengungkapkan niatnya untuk
menyelesaikan masalah Papua dengan secara damai. Walapun masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasuki tahun ke-8
namun komitmen penyelesaian dengan cara damai belum dilakukan juga di
Papua. Akhirnya selama kurun waktu 2008-2012, pemerintah Republik
Indonesia telah melakukan pelanggaran Ham baik dalam hak-hak sipil dalam
politik maupun bhak-hak ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial budaya
terhadap rakyat Papua.
Buku ini juga memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada berbagai
pihak yang terkait terhadap persoalaan-persoalaan hak asasi manusia yang
menimpa Papua. Pertama, buku ini merekomendasikan kepada rakyat Papua
agar bersatu sesuai tugasnya masing-masing untuk melakukan investigasi
terhadap pelanggaran HAM dibidang sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya
secara menyeluruh di Tanah Papua sejak 1 Mei 1963-2012.
Kedua, buku ini merekomendasikan untuk pemerintah Indonesia agar
mendorong penyelesaian status politik Papua dan pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi sejak 1 Mei 1963 sampai dengan saat ini, dengan cara
damai, adil, jujur melalui peuundingan yang dimediasi oleh pihak ke-3 yang
netral. Lalu mendorong pemerintah Indonesia untuk menyidangkan kasuskasus pelanggaran HAM seperti wasior berdarah 2002, pembobolan gudang
senjata Wamena tahun 2003, yang saat ini berada ditangan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agunhg Republik Indonesia.
Kemudian mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk meratifikasi
Statuta Roma atas Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal
Court), protokol tambahan dari konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
smartabat manusia, protokol tambahan pertama dan kedua konvensi
internasional hak-hak sipil dan politik, protokol tambahan Hak-hak sosial,
ekonomi dan budaya dan konvensi internsional tentang perlindungan terhadap
semua orang dari tindakan penghilang paksa.
Lalu memberlakukan daerah Papua sebagai daerah atau zona damai
yang pernah dibuat, yang melarang sikap kekerasaan dan militeristik di Papua.
Dan memerintahkan kepada Kapolri, Kapolda dan panglima TNI untuk
menghentikan operasi keamanan yang sudah berjalan, karena sudah banyak
memakan korban dari kalangan tokoh, aktivis dan masyarakat sipil Papua dan
mendorong pemerintah RI untuk membentuk Komisi kebenaran dan rekonsiliasi
di tanah Papua.
Ketiga, buku ini direkomendasikan untuk negara-negara di Uni Eropa,
Pasifik, Amerika Serikat dan Afrika agar berbicara kepada PBB untuk
mengultimatum Indonesia atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Menghentikan dukungan poltik dan bantuan dana ats pelaksanaan UndangUndang Nomer 21 Tahun 2002 tentang otonomi khusus Papua, yang telah
gagal diimplementasikan selama 12 tahun dan berdampak pada proses
depopulasi orang asli Papua. Mereview dan mengkaji kembali bantuan-bantuan
militer dan sistem keamanan karena operasi keamana dilakukan telah
mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia.

Keempat, buku ini direkomendasikan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) agar segera mengirim delegasi khusus PBB datang ke Papua untuk
menyelidiki kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian segera
menindak lanjuti hasil UPR Indonesia pada 2102 terkait pelanggaran hak asasi
manusia di Papua. Lalu mengkaji kembali status politik di Papua dalam dunia
internasional. Dan mereview kembali tuntutan-tuntutan dan aspirasi rakyat
Papua dalam pelurusan sejarah Papua.
Kelebihan dalam buku ini menurut saya adalah dengan membaca buku
ini kita akan selalu mengingat berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Papua
sejak 2008-2012. Data-data dalam buku ini dapat membantu kita untuk
mendalami dan mempelajari pola-pola kekerasan di Papua, sehingga kita dapat
mencegah terjadinya kekerasan yang sama dimasa depan. Lalu kelebihan
lainnya adalah banyak mengungkapkan persoalaan hak asasi manusia dari
sumbernya langsung dilapangan.
Orang-orang yang melaporkan hadir dan menjadi bagian dari korban
kejahatan hak asasi manusia. Selain itu untuk melengkapi data-data
dilapangan dipakai sumber-sumber dari publikasi-publikasi media massa, baik
cetak maupun online, dari media yang diterbitkan di Papua maupun media
nasional Jakarta. Sebagian besar, fakta-fakta dikumpulkan dari advokasi
ditempat kejadian atau lapangan. Sehingga buku ini terjamin kevalidannya
karena berasal dari sumbernya langsung.
Dalam buku ini juga sangat lengkap dalam menjelaskan setiap peristiwaperistiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak tahun 2008-2012.
seperti pada tanggal 3 Maret 2008 terjadi insiden kekerasaan warga sipil oleh
aparat keamanan kepolisian di Enarotalia, Kabupaten Paniai. Kepala Humas
Pemerintah Daerah Paniai, Dance Takimai mengatakan dalam insiden ini ada
empat warga sipil terluka, dua diantaranya luka ringan dan dua warga luka
berat, dirawat di Rumah Sakit Enarotali.
Kekurangan dalam buku ini
menurut saya adalah penulis tidak
menjelaskan secara detail dalam Undang-Undang Nomer 23 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia pasal-pasal apa saja yang sudah dilanggar oleh
pemerintah dan pelaku kekerasan terhadap korban dan masyarkat Papua.
Seharusnya hal ini bisa sedetail mungkin dijelaskan dalam buku agar pembaca
bisa memahami hak-hak apa saja yang sudah terampas dari orang Papua.
Selain itu gambar-gambar yang ada dalam buku ini juga tercetak buram,
sehingga pembaca tidak bisa melihat secara jelas yang ada dalam gambar
tersebut. Seperti contohnya gambar-gambar korban kekerasan, gambar
wilayah sisa penembakan, dan gambar peta zona-zona konflik yang harusnya
menjadi bagian penting tetapi menjadi tidak jelas karena gambarnya buram.
Tulisan nama-nama wilayah yang ada di peta menjadi sulit dibaca bahkan tidak
bisa dibaca.