Metode dan Teknik Tradisional Dalam Arsi

Metode dan Teknik Tradisional Dalam Arsitektur Jepang

Antariksa

Awal dari perkembangan arsitektur Budhis di Jepang telah mengalami satu proses yang
evolusioner. Munculnya sekte-sekte baru dalam agama Budha, berakibat pula pada
pembangunan bangunan baru, perubahan kekuasaan, perkembangan teknologi, dan kesemua
hal tersebut dapat memberikan sumbangan yang beragam, terutama pada detail-detail
bangunanya. Perkembangan desain dari kuil-kuil Budhis yang terdapat di China dan Jepang,
merupakan produk yang sangat kompleks meskipun melalui sebuah proses perubahan yang
lambat. Dari hasil proses tersebut, akhirnya memberikan adanya perpaduan di antaranya,
pengaruh-silang (cross-influences), percampuran (hybridization), perubahan (alteration), dan
keunikan (idiosyncrasies). Dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, akhirnya mereka
membuat kodifikasi dan standarisasi, terutama yang berkaitan dengan skala dan proporsi. Di
China sendiri, desain bangunan pertama kali dikodifikasi pada abad ke-12 melalui publikasi
yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah berupa standarisasi bangunan, yang tujuannya
adalah untuk menggantikan pedoman yang telah ada yang dikeluarkan sekitar abad ke-8.
Dalam arsitektur klasik barat, arsitek telah menggunakan rincian sistem dari proporsi,
dan kebiasaan dari arsitek atau tukang kayu/bangunan (carpenters) domestik, adalah selalu
menggunakan metode-metode proporsi yang sederhana. Bagaimana pun pendokumentasian
dari metode desain dari para tukang kayu/bangunan adalah sangat langka. Hal ini disebabkan,

karena pertimbangan dari beberapa teknik yang mereka gunakan merupakan rahasia profesi.
Hal yang sama menjadi benar di Jepang, bahwa tukang kayu/bangunan menyembunyikan
metode-metode desain dalam keluarga mereka sebagai rahasia (Larsen, 1994:112). Bila
pengetahuan dari kiwari telah dipertimbangkan betul-betul sebagai rahasia, hal ini
dimaksudkan agar dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Memang telah dipertimbangkan
oleh beberapa tukang kayu/bangunan, bahwa publikasi mengenai kiwari ini membahayakan,
karena menurut pendapat mereka arsitektur tidak dapat disimpan atau dicatat semata-mata
dalam batas-batas peraturan yang tegas. Para arsitek atau tukang kayu/bangunan harus selalu
mempertimbangkan lingkungan di tempat bangunan akan didirikan. Dalam praktek ritual,
banyak permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam mempelajari peralatan tradisional
yang dipergunakan tukang kayu/bangunan dalam merancang bangunan di Jepang, bahkan
juga untuk metode dan teknik. Secara historis, kabut rahasia metode dan teknik tukang
kayu/bangunan yang spesifik sudah terlihat sejak awal perkembangan arsitektur kuil-kuil
sampai dengan bangunan rumah tinggal, mereka telah menggunakan beberapa ukuran,
proporsi, teknik dan metode yang sangat indah. Kunci dari desain rekonstruksi adalah untuk
menemukan formula proporsi yang asli, dan untuk mengulang kembali harmoni pada
beberapa struktur yang berbeda ukuran dan perencanaan. Secara umum, formula proporsi
masuk dalam dua kategori, yang pertama meliputi proporsi dari site; dan kedua, proporsi dari
komponen bangunan itu sendiri. (Brown, 1989:46) Sebenarnya, pedoman untuk tukang
bangunan/kayu di Jepang standarisasinya telah dimulai sejak periode Edo (1603~1867).

Namun, dalam perkembangannya, sistim proporsi banyak mengalami perubahan dan
perbedaan, dan kesemuanya tergantung pada periode, wilayah dan workshop (bengkel)
perorangan, tetapi pada dasarnya serupa (Coldrake, 1990:24).
1

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai desain yang dinamis dari penempatan
proporsi dan ukuran bangunan kuil-kuil dan komposisi bangunannya. Seberapa besar peran
dari metode kiwari dan teknik kiku, yang digunakan sebagai dasar standard ukuran untuk
menentukan ukuran dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi
atap, dan lain sebagainya. Munculnya perubahan modul struktur ke modul spasial dalam
desain ruangan yang memposisikan kolom menurut dimensi dan aransemen dari tatami.
Bagaimana penerapan proporsi dalam bangunan rumah tinggal dan tokonoma yang menjadi
standar ukuran di Jepang sampai saat ini.

PENGGUNAAN PROPORSI DAN UKURAN PADA KUIL-KUIL BUDHA
Pada tahun 552 AD, Budhisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan
Paekche), dan kemudian berkembang pesat terutama di kota Nara. Tipe-tipe bangunan yang
ada pada waktu itu merupakan hasil sentuhan para tukang bangunan/kayu yang berasal dari
Korea. Pada awal periode tersebut, ada dua tipe bangunan, yaitu pagoda (to) untuk
menempatkan peninggalan-peninggalan Budha, dan golden hall/main hall (kondo) untuk

menempatkan lukisan-lukisan atau patung-patung Budha. Bangunan-bangunan tersebut di
kelilingi oleh koridor beratap (kairo) dengan sebuah gerbang (mon) yang sangat menonjol,
dan juga terdapat beberapa bangunan-bangunan pendukungnya. Kuil-kuil yang paling awal
adalah Asuka-dera dan Shitenno-ji, keduanya mengikuti pola simetris dan kaku, serta prototip
dari Chinadan Korea. Di dalam bangunannya terdapat berbagai macam detail, namun pada
komposisinya lebih tegas, yaitu dengan adanya pagoda yang menjulang tinggi, hal ini
dinyatakan bahwa peninggalan-peninggalan Budha adalah betul-betul lebih dipertimbangkan
dari patung-patung yang ditempatkan di dalam bangunan kondo. Denah bangunan-bangunan
kuil relatif sederhana, hal ini disebabkan, karena keterbatasan di dalam menentukan sistem
struktur pada balok dan kolom (post and lintel). Panjangnya kemungkinan berubah walaupun
lebarnya terbatas, tergantung pada jarak balok melintang yang dapat menjangkau tanpa
diberikan tambahan.
Kuil yang paling terkemuka adalah Horyu-ji, di Nara, didirikan pada tahun 607 AD
oleh pangeran Shotoku. Pada halaman tengah dari kuil ini terdapat bangunan dengan struktur
kayu yang paling tua di dunia, yang dibangun kembali setelah mengalami kebakaran. Desain
yang dinamis dari bangunan kuil ini telah ditampilkan dengan baik sekali, akan tetapi prinsip
pola simetris yang sama persis seperti dari negara asalnya sama sekali tidak ambil dengan
bebasnya oleh para tukang bangunan/kayu di Jepang. (Gambar 1)

Gambar 1. Pola penataan bangunan pada komplek kuil Horyu-ji di kota Nara Jepang. (Suzuki, 1980)


Pada kasus bangunan kondo di kuil Horyu-ji, terbagi ke dalam 5 trave panjangnya,
tetapi masing-masing ukuran dari 3 trave di tengah masing-masing dengan 9 koma-jaku (unit
standard ukuran berasal dari kerajaan Koguryo di Korea, kurang lebih sama dengan 35 cm),
dan 2 trave terakhir masing-masing dengan 6 shaku, dengan demikian rationya menjadi 1:1.5
(Suzuki, 1980:51). (Gambar 2)
2

Gambar 2. Denah, tampak depan, dan potongan dari kondo (golden hall/main hall) kuil Horyu-ji. (Kidder, 1972)

Dalam mendirikan pagoda, tukang bangunan/kayu memakai modul dengan ukuran .75 komajaku. Trave di tengah dari lantai pertama mempunyai ukuran lebar 10 unit; dua sisi trave
masing-masing adalah 7 unit, total luas menjadi 24 unit, atau 18 koma-jaku (kurang lebih 6.4
m). Untuk bagian atas lebar total dari rangka masing-masing lantai berkurang dengan 3 unit
modul. Pada lantai ke dua trave di tengah ukurannya 9 unit; dua sisi trave masing-masing 6
unit, pada lantai ke tiga berturut-turut adalah 6 unit dan 5 unit; pada lantai ke empat adalah 4
unit dan 7 unit; lantai ke lima lebarnya adalah 2 trave, masing-masing trave menjadi 6 unit.
Dari permukaan bidang masing-masing lantai berkurang, seperti satu naik ke atas, akan tetapi
ukuran sistem penyangga dan kayu sedikit berubah, dan rangka kayunya menjadi lebih tidak
teratur. Hal ini, disebabkan dengan ketidakteraturan pada lantai ke lima yang terbagi 2 trave,
dan resolusinya adalah, detail-detail menjadi tidak seimbang. Pertimbangan diberikan dengan

sungguh-sungguh adalah adanya keseimbangan menyeluruh pada strukturnya, dan hal ini
merupakan salah satu karakteristik arsitektur periode T’angdari China di abad ke-8. (Gambar
3)

Gambar 3. Tampak depan dan potongan gojo no to (pagoda lima lantai) pada kuil Horyu-ji. (Nishi &
Hozumi,1986)

Tipe-tipe konstruksi dan teknik dasar yang digunakan semenjak periode Nara
(646~793), dilanjutkan pada periode Heian (794~1185), dan akhirnya sampai pada periode
medieval. Skala dari sebuah bangunan dinyatakan dalam ken, atau jumlah bay (trave), dan
men atau jumlah hishashi. (Parent, 1985:11) Istilah bay atau trave menandakan jarak antara
dua kolom (hashira) yang teratur dari tengah kolom ke kolom berikutnya. (Suzuki, 1980:22)
Sebagai contoh, denah bangunan 3 trave panjang dan 2 trave lebar dapat dituliskan dengan 3
x 2, arah panjangnya selalu diberikan di pertama. Selain itu, lebar dari trave mungkin berubah
dari bangunan ke bangunan atau pun juga dengan bangunan yang sama. (Gambar 4) Kembali
mengambil contoh struktur bangunan 3 x 2, jika deretan kolom ditambah satu, dua, tiga atau
pada kesemua sisinya, maka bangunan tersebut dapat bertambah satu trave. Ruang (space)
3

yang tercipta membentuk semacam gang, dan dalam bahasa Jepangnya dinamakan hisashi.

Sebagai pusat ruang, adalah inti dari bangunan yang dinamakan moya. Untuk menjelaskan
sebuah bangunan yang hishasinya telah ditambah dengan memberikan jumlah dari trave pada
moya, maka jumlah dari hishasi menjadi bertambah. Dengan demikian, 3 trave, 4 sisi berarti
moya dengan panjang 3 trave dengan hishashi bertambah di sekeliling moya. (Suzuki,
1980:22)

Gambar 4. Denah struktur bangunan. Bangunan dengan trave 3 x 2. (Suzuki, 1980)

Pada kuil Yakushi-ji yang didirikan tahun 718 AD di kota Nara, sangat menarik untuk
diperhatikan, ditandai dengan komposisi simetris oleh dua pagoda yang tingginya 33 m,
mengapit bangunan kondo. Sebuah aransemen yang merefleksikan image tambahan bagi
pemujaan sebagai penghormatan dari peninggalan-peninggalan Budha. Pagoda sebelah barat
berisi relics (tulang-tulang peninggalan Budha), sedangkan di sebelah timur terlihat sebagai
elemen keindahan. Di kuil Yakushi-ji, eksisting pagoda di sebelah timur memberikan
keseluruhan informasi yang sangat penting untuk merekonstruksi kembali sebuah bangunan,
tidak hanya pada pagoda di sebelah barat, tetapi juga bangunan lainnya yang terdapat di
halaman utama tersebut. Seperti data informasi tentang hubungan antara tinggi dan lebar
kolom, antara tinggi kolom dan ukuran dari kumimono (bracket complexes), dan antara jarak
dari lantai utama, detail-detail, bidang lengkung dan dekorasi. (Gambar 5) Awal dari
investigasi menunjukkan, bahwa pola kuil Yakushi-ji secara keseluruhan telah ditentukan

oleh sebuah sistem proporsi yang sederhana berdasar pada ketinggian dari satu bangunan
pagoda. Ketinggian pagoda, 120 shaku (shaku adalah standard ukuran Jepang yang berbeda
dari setiap periode ke periode, dan dari masing-masing daerah juga berbeda, tetapi kira-kira
sama dengan satu kaki). Ketentuan jarak dari pagoda meliputi dimensi dari koridor yang
mengelilingi, dan perletakkan dari bangunan lainnya di dalam halaman kuil. (Brown,
1989:46) (Gambar 6) Hal itu diperjelas oleh Kidder, (1972:84), bahwa awal dari bangunan
kuil-kuil yang didirikan di Jepang menggunakan komashaku atau Korea foot sebagai unit
ukuran. Kemudian sedikit membesar dibanding ukuran shaku Jepang, ialah 1.158 dari ukuran
Inggris foot.

4

Gambar 5. Denah, potongan dan detail bracket complex (kumimono) pada pagoda tiga lantai (sanju no to) di
bagian timur dari kompleks kuil Yakushi-ji. (Hirotaro, 1992; Brown, 1989)

Gambar 6. Diagram proporsi pada kompleks kuil Yakushi-ji. Lingkaran-lingkaran menunjukkan faktor utama
yang sangat menentukan, adalah 120 shaku atau dalam ukuran “feet” (jarak dari pondasi sampai ke finial pagoda
yang di sebelah timur). (Brown, 1989)

METODE KIWARI DAN TEKNIK KIKU

Pada periode Asuka (552~645), Nara dan Heian, para tukang bangunan/kayu
menggunakan teknik kiku yang berbeda untuk menentukan lengkungan dan pertemuan dari
rangka atap. Kesempurnaan bentuk dari bangunan hampir pasti tepat, bila menggunakan
metode kiwari (sistem proporsi) dan teknik kiku (teknik desain untuk bagian atap dan
penempatan dari usuk) dalam desainnya. Khususnya dalam sejarah teknik desain –metode
kiwari dan teknik kiku– adalah elemen paling penting dalam perjalanan sejarah arsitektur
Jepang (Larsen, 1994:164). Istilah kiwari untuk sistim proporsi arsitektur Jepang telah
diperkenalkan sejak periode Momoyama (1574~1614), ki mempunyai arti kayu, dan wari
berarti membelah atau membagi. Kiwari, adalah sebagai pengertian dasar mengenai ukuran
standard, dan tukang bangunan/kayu dapat menentukan ukuran untuk keseluruhan rangka
bangunan, proyeksi dari lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Proporsi tersebut
dituliskan dalam sebuah buku dinamakan kiwarisho, dan bila perancang bangunan mengikuti
arahan tersebut dengan benar, maka dia telah menghasilkan struktur yang sangat berguna.
Sebagai contoh, (Gambar 7) ilustrasi kiwarisho yang menunjukkan proporsi Nagare-zukuri.
Style dari bangunan kuil Shinto ini sebenarnya dibangun dengan menggunakan beberapa
ukuran. Akan lebih berhasil bila sepanjang proporsi dari unsur yang paling utama, yaitu
struktur rangka bangunan saling berhubungan antara satu dengan lainnya ditata seterusnya
dalam satu diagram. (Nishi & Hozumi,1986)
5


Dalam praktek tradisional, konstruksi dari bangunan tidak didasarkan pada gambargambar detail arsitektur yang ditentukan oleh teori-teori tertulis, tetapi pada modul-modul
mendasar di dalam praktek tradisional (Coldrake, 1990:24).

Gambar 7. Ilustrasi dari buku proporsi (kiwarisho). (Nishi & Hozumi,1986)

Bagaimana pun juga, kiwari tidak dapat eksis secara bebas, tetapi harus mempunyai
hubungan dengan konstruksi. Rangka bangunan harus dipotong dalam dimensi-dimensi yang
cukup untuk dapat mengambil beban yang ditetapkan dan mendukung kekuatan lateral.
Untuk itu, hal yang penting adalah, bahwa tukang bangunan/kayu harus mempunyai
pengalaman untuk mampu menentukan ukuran kerangka bangunan yang berhubungan
dengan struktur. Sebagai tambahan mereka harus mempunyai pengetahuan mengenai sistem
proporsi. Ada beberapa sistem standard dari kiwari, berdasar pada: 1) diameter dari kolom; 2)
jarak dari trave antara kolom ke kolom; dan 3) jarak antara as usuk (rafters, shi) ke as usuk
berikutnya, atau jarak bagian tepi dari satu usuk sampai ke tepi bagian usuk yang sama
berikutnya.
Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan tukang bangunan/kayu untuk merekonstruksi
rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap dengan tepat. Metode dengan model proporsi
dan perhitungan geometris ini berkembang cepat mulai abad ke-12. Sebagai contoh,
penggaris berbentuk L (kane-jaku atau sashi-gane) dari bahan baja yang digunakan oleh
tukang kayu/bangunan Jepang, adalah merupakan alat yang utama digunakan untuk

merancang atap dengan menggunakan teknik kiku (Larsen, 1994:111). Sejak dahulu alat ini
telah digunakan di Jepang, dan nama kane-jaku diambil dari dokumen di abad ke-8.
Sistem yang terakhir, telah diperkenalkan pada periode Kamakura (1186~1333), yaitu
dengan sistem roku-shi-gake atau sistem “6 dalam 1”, dan erat hubungannya dengan
perkembangan dari teknik kiku. (Gambar 8)

Gambar 8. Salah satu contoh dari metode kiwari. Proporsi diameter kolom dan ketinggiannya. (Brown, 1989)

6

Pada periode Kamakura, usuk (rafters) yang terlihat, adalah usuk pada bagian dasar
(jidaruki) dan usuk yang menopang di atasnya (hiendaruki), mempunyai jarak yang sama
pada seluruh bagian dari atap. Usuk-usuk tersebut diletakkan dalam satu posisi yang telah
ditetapkan sebelumnya yang semuanya berhubungan dengan penempatan kolom. Enam usuk
ditata dengan dua usuk, yang masing-masing diposisikan di atas tiga blok bantalan (bearing
block atau makito) kecil dari satu bracket complex yang disangga oleh satu blok bantalan
yang besar (daito) di atas kolom. Metode untuk membuat jarak dari usuk ini dinamakan
dengan sistem roku-shi-gake. Sistem ini pertama diperkenalkan pada konstruksi tiga lantai
bangunan pagoda Ichijo-ji di tahun 1171. (Gambar 9) Hal ini, bukanlah suatu kejadian
kebetulan, bahwa sistem “6 dalam 1” adalah untuk memberikan jarak usuk yang pertama

muncul dalam konstruksi pagoda, tetapi disebabkan bahwa pagoda merupakan tipe bangunan
yang paling rumit untuk di desain. Lebih lanjut untuk memperbaiki desain dari pagoda,
tukang bangunan/kayu di Jepang pada periode medieval telah memperkenalkan, yaitu jumlah
usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di atasnya berkurang (gradualupwards-decreasing).
Hal ini, digunakan untuk pagoda dengan dua lantai dan lima lantai. Metode ini dinamakan
isshi-ochi. Normalnya, sebuah pagoda mempunyai tiga trave, dan pada trave di tengah lebih
lebar dibandingkan dua trave di sisi kanan-kirinya. Idealnya, jumlah dari usuk sebaiknya
berkurang dengan dua dari lantai satu keberikutnya pada trave di tengah, dan dengan satu
usuk setiap trave ke dalam sisi trave-travenya.

Gambar 9. Sistem roku-shi-gake dan isshi-ochi. (Larsen, 1994; Hirotaro, 1992)
Ada beberapa pedoman untuk tukang bangunan/kayu dan dikenal dengan berbagai
macam di antaranya seperti, hidensho (“secret hereditary writings”), hinagata-bon (“pattern
books”) dan gijutsusho (“technique books”), dan kesemuanya itu bukan pedoman untuk
“bagaimana membangun” dalam arti ketrampilan dan keamatiran, namun buku tersebut
sampai saat ini digunakan sebagai petunjuk dan sangat familiar. (Coldrake, 1990:38)
Pedoman tersebut dikemukakan dalam tulisan dan bentuk-bentuk diagramatis sistem
proporsi, atau dikenal dengan kiwari, yang menjadi dasar pekerjaan tradisionil untuk desain
bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman yang terus-menerus dari
generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan. Sebenarnya, pada
abad ke-18 dan ke-19 pertimbangan aestetik dari proporsi telah menjadi lebih penting
dibandingkan dengan strukturnya.
Buku pedoman yang lain, adalah buke hinagata (pedoman untuk arsitektur rumah
tinggal bagi para samurai) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1655, merupakan salah
satu pedoman penting yang menetapkan standard untuk desain arsitektur serta memberikan
pengetahuan dan pendekatan desainnya kepada para tukang bangunan/kayu. Bagian ini,
7

menjelaskan munekado, sebuah lengkungan pada atap (gable-roof) pada pintu gerbang yang
digunakan oleh para aristokrat (bangsawaan) dan para bhiksu, yang mengungkapkan tipikal
blok-blok bangunan dan metode desainnya. Sebagai contoh, apa yang secara harafiah tertulis
di dalamnya, seperti: lebar dari kedua kolom harus sudah diperhitungkan dengan sun. Kolomkolom yang digunakan adalah bulat. Balok lintang yang utama dan balok lintang tambahan
tingginya adalah, 51/2 bu. Permukaan yang terendah (lebarnya) adalah, 1/3 dari diameter
kolom. (Coldrake, 1990:38)
Istilah sun dan bu adalah dikenal sebagai modul blok-blok bangunan, ruang antara
kolom betul-betul dipertimbangkan modul lebarnya menjadi 1 shaku, lebar kolomnya
menjadi 1/10 dari trave. Oleh karena itu, tukang bangunan/kayu telah mengetahui: “ke dua
kolom bulat harus sudah diperhitungkan sebagai 1/10 dari lebar travenya. Tinggi dari balok
lintang utama dan tambahan adalah 0.55 dari diameter kolom utama, dan lebarnya adalah
0.34 dari diameter kolom”.
Di Jepang, modul utama dari kolom dan balok adalah trave, kemudian dibagi ke dalam
6 unit bagian yang dinamakan shaku (feet), lebih lanjut masing-masing dibagi ke dalam 10
sun (inches). Masing-masing sun terdiri dari 10 bu, dan masing-masing bu terdiri dari 10 rin.
Shaku ukuran yang ditandai dengan unit sun dan bu aslinya masih tersimpan di Shosho-in, di
kota Nara. Panjang 29.6 cm, lebar 3.53 cm dan tebalnya 1 cm. (Kidder, 1972) (Gambar 10)
Oleh karena itu, sebuah kolom lebarnya barangkali 1 shaku, atau 1/6 dari lebar trave,
pada beberapa bangunan panjangnya mungkin berbeda, tergantung dari tradisi bengkel,
fungsi bangunan, atau ukuran dan ketersediaan jenis kayunya. (Coldrake, 1990:25) Instruksi
untuk pedoman bagi para tukang bangunan/kayu di dalam menetapkan lengkungan dari atap,
tertulis sebagai berikut: untuk membuat lengkungan atap, membagi panjang dari lengkungan
ke dalam 10 unit (bu), seperti terlihat dalam diagram. Membagi lebar dari list plank (barge
board) ke dalam 8 unit bagian di bagian tengah, kemudian naik 10 unit ke ujung tepi dari unit
1..... kemudian turunkan lengkungan menjadi 5 unit pada ujung unit ke-5. (Shoke Hinagata,
1856) (Gambar 11) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pintu gerbang adalah di
desain menggunakan dua proporsi yang berhubungan dengan modul, lebar dari trave dan
diameter dari kedua kolom. Umumnya, di dalam praktek ukuran-ukuran yang pasti sangat
bervariasi menurut strukturnya.

Gambar 10. Ukuran shaku pada saat ini. (Brown, 1989)

Gambar 11. Pedoman untuk menentukan lengkungan roof gable pada pintu masuk tempat tinggal para Samurai.
(Coldrake, 1990)

8

TATAMI SEBAGAI MODUL UNTUK MENDESAIN RUANG
Salah satu yang terkenal dalam arsitektur Jepang adalah, adanya unit yang disebut ken,
yang sama dengan 6 ft, dan disajikan sebagai dasar ukuran. Beberapa ahli menyatakan,
bahwa asal mula ukuran ken dimulai pada awal abad ke-6, ketika ibukota kekaisaran
didirikan di kota Nara. (Harada, 1985:48) Sangatlah jelas bahwa pada awal sejarahnya, ken
(ma) menunjukkan adanya jarak antara dua kolom dalam sebuah bangunan walaupun banyak
macamnya. Dengan beberapa modifikasi, hasil akhirnya ditunjukkan dengan ukuran yang
tertentu di akhir abad ke-15, dan tatami (kata tatami berasal dari kata kerja tatamu, yang
berarti melipat atau menumpuk) pada waktu itu sangat umum digunakan. (Harada, 1985:48).
Tatami menjadi modul desain kedua yang penting di abad ke-16 dan abad ke-17.
Keseluruhan lantai ruangan tertutup dengan tatami, kolom adalah diposisikan menurut
dimensi dan aransemen dari tatami. Kebalikan dari prosedur sebelumnya, adalah meletakkan
tatami di antara kolom-kolom yang ada. Area dari ruang umumnya diekspresikan dalam
hubungan dari jumlah tatami. Hal ini, menandai adanya satu perubahan dari modul struktur
ke modul spasial dalam desain di Jepang. Pendapat tersebut diperjelas oleh Nishi & Hozumi,
(1986:77), bahwa modul lain yang menyumbang interval harmoni adalah tatami, mempunyai
bentuk empat persegi panjang dengan ukuran sekitar satu kali dua meter yang menutup lantai
rumah tinggal dalam bangunan shoin (style dari rumah tinggal yang berkembang pada akhir
abad ke-16)
Tipikal layout rumah Jepang terdiri dari tiga bagian yang berbeda: area yang
ditinggikan letaknya di atas tanah dan ditutup dengan tatami, termasuk semua ruangan;
bagian yang ditinggikan dan menggunakan lantai dari papan kayu, termasuk koridor, veranda,
dan dapur; dan sebagian kecil bagian yang rendah dan hampir sama ketinggiannya dengan
permukaan tanah, termasuk kamar mandi, bagian dari dapur, dan entrance hall. (Boger,
1964:152) Ukuran dari ruangan atau beberapa bagian lain dari rumah yang menggunakan
tatami, demikian juga bagian yang menggunakan lantai papan kayu atau lantai yang
ketinggiannya sama dengan permukaan tanah, adalah didasarkan pada ukuran tatami sebagai
unit ukuran.
Seperti halnya ken, bagaimana pun ukuran tidak terstandarisasi sampai dengan
munculnya tiga dasar ukuran tatami di abad ke-18. Di antaranya, adalah kyoma (1.970 mm x
909 mm) yang telah digunakan di Kyoto dan yang terbesar ukurannya. Inakama (1.880 mm x
909 mm) sebagian besar terdapat di wilayah Kanto(sekarang Tokyo), sementara Edo-tatami
(1.757 mm x 879 mm) berhubungan dengan Edo, kota yang pernah menjadi pusat
pemerintahan shogun Tokugawa di abad ke-17. (Coldrake, 1990:25) Pada kenyataannya,
ukuran kyoma tetap seragam, dan ruangan-ruangan dibuat untuk mengakomodasi jumlah dari
tatami, agar tatami menjadi dapat dipertukarkan dengan yang terdapat di ruangan lain. Untuk
Edo-ma, tatami dibuat untuk masing-masing ruang yang khusus dan sangat ramping dalam
dimensinya, tetapi masing-masing ukuran kira-kira sekitar 6 ft dengan 3 ft. (Harada, 1985:48)
Pada umumnya, ukuran dari kyoma berlaku di wilayah bagian barat Jepang, dan Edoma di wilayah bagian timur. Perbedaan dari kedua standard tersebut muncul dari kenyataan
bahwa unit ken dahulu adalah digunakan untuk memberikan jarak antar kolom. Di samping
itu, pada akhirnya ukuran diambil dari pusat (as) ke pusat antar kolom. Kenyataannya, pada
kyoma ukuran dari tatami, adalah tetap dan sama, dan ruang dibentuk untuk dapat memuat
jumlah yang pasti dari tatami, sehingga tatami dapat dipertukarkan dengan ruang yang lain.

9

Meskipun dimensi dari tatami agak berbeda di beberapa tempat, akan tetapi selalu tetap
untuk keseluruhan ruang dalam satu struktur tunggal, dan hal itu berhubungan dengan trave
antar kolom yang secara efektif memberikan satu unit proporsi. Area dalam ruangan
umumnya diekspresikan dengan persyaratan jumlah isi dari tatami. Ukuran dari ruangan
adalah dinyatakan dengan jumlah tatami yang menutup ruang lantai keseluruhan, ukuran
yang umum dari ruangan yang dikehendaki berturut-turut, 4½, 6, 8, 10, 12, dan 12½ tatami.
Dua tatami diletakkan pada sisi memanjang membentuk 6 ft persegi, adalah 1 tsubo
merupakan unit dari ukuran untuk permukaan (Harada, 1985:48). Hal ini pun dipertegas oleh
Boger, (1964:152), bahwa ukuran sebuah tatami adalah 3 ft X 6 ft. Keseluruhan area dari
sebuah rumah, adalah selalu diberikan dengan istilah tsubo, terdiri dari 6 X 6 ft. Gagasan
demensi dari tatami sedikit berbeda di beberapa tempat di Jepang, tetapi hal itu selalu
konstan untuk keseluruhan ruangan dalam struktur tunggal, dan berhubungan dengan span
antar kolom yang efektif memberi kesatuan proporsi untuk keseluruhan. (Nishi & Hozumi,
1986:77)

PENERAPAN KIWARIJUTSU DALAM PROPORSI DESAIN YANG MATEMATIS
Proporsi juga digunakan pada konstruksi dan ukuran dari tokonoma (ceruk di dalam
ruangan utama tempat meletakkan gambar atau ornamen lainnya), rak bertingkat (staggered
shelves) dan almari dinding(closets) pada toko-waki selalu dipertimbangkan secara hati-hati
(Harada, 1985:50). Tokonoma, merupakan ciri penting dari bangunan rumah tinggal di
Jepang, dan barangkali mempunyai kelebihan dibanding bagian lain dari konstruksi yang
ditentukan oleh penetapan proporsi. Pada umumnya, 1 atau 1½ ken (6 atau 9 ft) panjang dan
satu setengah atau seperempat dari ken ke dalam ukuran umum ruangan (Harada, 1985:50).
Kasus lain dapat dilihat pada perencanan bangunan ruangan tamu (guest hall) Kojo-in
pada kuil Onjo-ji yang ditemukan di dalam buku shomei, yang isinya mengenai koleksi
rahasia dari tukang bangunan/kayu. Ilustrasi ini, adalah milik dari keluarga Heinouchi
Yoshimasa, ahli bangunan/kayu untuk shogun Tokugawa. Ilustrasi tersebut, dinamakan
“Illustration of an old six-by seven by shuden” yang dibuat pada tahun 1608. (Nishi &
Hozumi, 1986:76) Shomei, adalah pedoman yang paling kuno dan dilengkapi dengan desain,
dan tatanan proporsi (kiwarijutsu). Dalam buku tersebut, Heinouchi menuliskan, bahwa
tukang bangunan/kayu yang ideal, adalah seorang ahli, tidak hanya pandai menggambar di
atas kertas, tetapi juga mempunyai pendapat visual(visual estimation) dan terampil. Buku
tersebut berisi lima bagian, mencakup beberapa hal di antaranya, pintu gerbang (gate), kuilkuil shinto, pagoda-pagoda, kuil-kuil Budha, dan rumah tinggal, dan di bagian akhir dari
buku tersebut terdapat shudenplan. (Nishi & Hozumi, 1986:76-77)
Prinsip desain dengan menggunakan ketergantungan modul-modul kerja dapat dilihat
sebagai berikut. Bila kita memberikan label dengan L sebagai lebar satu trave, jarak dari as
kolom satu ke as kolom berikutnya (umumnya sedikit lebih pendek tidak lebih dari 2 m),
kemudian lebar dari rak bertingkat (staggered shelves) pun barangkali L, seperti shiki (balok
dibagian bawah sebagi rel dari pintu sorong) sampai pada kamoi (balok di bagian atas sebagai
rel dari pintu sorong) ditetapkannya pintu sorong (sliding screen). Demikian juga decorative
alcove-pun barangkali ditata pada 2 L dan lebar dari kolom adalah 1/10 L. Membawa sistem
ini satu langkah lebih lanjut, bila kita menetapkan 1/10 L sama dengan a, kemudian pada
siku-siku sudut kolom tersebut berukuran 1/7 a (dinamakan seven bevel atau 7 siku), atau
1/10 a (sepuluh siku).

10

Selain itu, mereka membolehkan untuk sedapat mungkin lebar dari sebuah decorative
alcove mungkin tertentu pada 1 L, 1½ L, 2 L, atau lebih, tergantung pada persyaratan desain
dari ruangan. (Gambar 12)

Gambar 12. Proporsi untuk ruang dalam (interior) dan veranda (teras). (Nishi & Hozumi, 1986)

PROPORSI DAN UKURAN YANG DIGUNAKAN DALAM RUMAH TINGGAL
Untuk keperluan konstruksi dan proporsi rumah tinggal di Jepang, ditunjukkan
dengan suatu standard yang pasti dalam sebuah konstruksi. Sebagai contoh, untuk rumah
kelas menengah, ukuran-ukuran standard adalah sebagai berikut: 2.2 ft dari dasar balok yang
bersandar di atas pondasi batu sampai pada bagian atas tatami, 5.8 ft dari permukaan balok
lantai dengan tatami sampai pada bagian atas di bawah sisi bagian balok, adalah sekitar 2
inch tingginya di bawah uchinori nageshi dengan 4.5 inch tingginya. Kemudian dinding
bagian atas yang pendek dengan atau tanpa ranma (ornamen yang berukir terbuka dan
sebagai ventilasi) dengan 3.4 ft, dan di atasnya adalah tenjo nageshi (balok langit-langit) 3⅜
inch tingginya, di atasnya tenjo mawaribuchi mempunyai tinggi 2¾ inch yang letaknya
bersandar pada langit-langit, umumnya papan tersebut mempunyai ketebalan kurang dari 0.5
inch. Tinggi langit-langit dari lantai tatami sedikit di atas 10 ft. Standard ukuran dari pintu
sorong (sliding screens) yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan yang lain atau
koridor, dan dimungkinkan untuk dipindah-pindahkan agar ruangan menjadi lebih luas,
adalah 5.8 ft x 3 ft, sedangkan partisi antar kolom adalah, 9 ft, 15 ft terkadang 12 ft, dan pada
umumnya dibuat empat pintu dengan lebar dari pintu bervariasi. (Harada, 1985:49-50)
Untuk mendapatkan proporsi yang menyenangkan ukuran dari kolom adalah ditentukan
oleh panjang dan dimensi dari ruang yang digunakan. Dalam rumah tinggal, kolom-kolom
dibuat ukuran 4½ inch persegi jika panjangnya 9 ft; kemudian 43/4 in persegi untuk panjang
11 ft; 5 inch persegi untuk 12 ft; 5¼ inch persegi untuk 13 ft; 5½ inch persegi untuk 14 ft; 5¾
inch persegi untuk 15 ft; 6 inch persegi untuk 16 ft; dan 6¼ inch persegi untuk 17 ft. Ukuran
dari kolom menjadi standard untuk seluruh bagian, seperti pondasi dari balok-balok yang
harus 10 persen besarnya, balok lantai harus sama lebarnya, balok bagian atas menjadi 90
persen untuk lebar dan 35-40 persen untuk tingginya; untuk balok nageshi yang rendah (di
bagian bawah) 80-95 persen untuk tingginya dan balok nageshi yang atas (di bagian atas) dari
60 sampai 65 persen dari dimensi kolom untuk tingginya. (Gambar 13)

11

Gambar 13. Organisasi serta tipikal rumah tinggal di Jepang. (Harada, 1985)

PENUTUP
Pada periode Asuka, Nara dan Heian, para tukang bangunan/kayu menggunakan
teknik kiku yang berbeda untuk menentukan lengkungan dan pertemuan dari rangka atap.
Bentuk sempurna dari bangunan secara pasti hampir tepat, bila menggunakan metode kiwari
dan teknik kiku digunakan di dalam desain aslinya. Lebih lanjut, teknik kiku memperbolehkan
tukang bangunan/kayu untuk merekonstruksi rangka dari garis lengkung atap dan bagian atap
dengan tepat. Metode dari model proporsi dan perhitungan geometris ini berkembang cepat
mulai abad ke-12.
Istilah kiwari untuk sistim proporsi arsitektur Jepang telah diperkenalkan sejak periode
Momoyama (1574~1614), ki mempunyai arti kayu, dan wari berarti membelah atau
membagi. Kiwari, adalah sebagai pengertian dasar mengenai ukuran standard tukang
bangunan/kayu untuk dapat menentukan ukuran dari keseluruhan rangka bangunan, proyeksi
lengkungan atap, tinggi atap, dan lain sebagainya. Pedoman tersebut dibuat dalam tulisan dan
dalam bentuk-bentuk diagramatis sistem proporsi, yang merupakan dasar pekerjaan
tradisionil desain bangunan. Pedoman didasarkan pada kearifan dan pengalaman terusmenerus dari generasi para tukang bangunan/kayu di dalam mengkonstruksi bangunan.
Tatami menjadi modul desain ke dua yang sangat penting dibandingkan dengan prosedur
sebelumnya, yang meletakkan tatami di antara kolom-kolom yang ada. Hal ini menandai
adanya satu perubahan dari modul struktur ke modul spasial dalam desain ruangan di Jepang.
Meskipun dimensi dari tatami agak berbeda dibeberapa tempat, tetapi selalu tetap bila
menempatkan keseluruhan ruang dalam satu struktur tunggal, dan hal itu harus berhubungan
dengan trave antar kolom yang secara efektif memberikan satu unit proporsi.
Perencanaan dan layout dari rumah di Jepang telah menghasilkan tidak hanya sebuah
pekerjaan dari keindahan arsitektur, tetapi fleksibilitas dalam pelaksanaan, manfaat dari
berbagai ruangan bagi pemakainya.
Untuk keperluan konstruksi dan proporsi, telah ditunjukkan dengan suatu standard yang
pasti dalam konstruksi rumah di Jepang. Untuk mendapatkan proporsi yang menyenangkan
ukuran dari kolom adalah ditentukan oleh panjang dan dimensi dari ruangan yang digunakan.
GLOSSARY
bay (trave) = jarak antara dua kolom
bu = unit ukuran tradisional sama dengan 10 rin, atau kurang lebih 3.03 mm.
12

buke hinagata = pedoman untuk arsitektur rumah tinggal bagi para samurai
daito = satu blok bantalan yang besar diatas kolom
gijutsusho = buku yang berisi mengenai teknik-teknik
gojo no to = pagoda lima lantai
hashira = kolom
hidensho = tulisan berisi rahasia turun-temurun dari tukang bangunan/kayu
hiendaruki = usuk yang menopang di atasnya
hinagata-bon = buku yang berisi mengenai pola-pola
hisashi = ruang yang tercipta membentuk semacam gang dalam bangunan
Inakama = ukuran tatami yang terdapat di wilayah Kanto(sekarang Tokyo)(1.880 mm x 909
mm)
Edo-tatami = ukuran tatami (1.757 mm x 879 mm)
isshi-ochi = jumlah usuk dari atap lantai satu ke atap lantai di atasnya berkurang
jidaruki = usuk pada bagian dasar
jo = unit ukuran tradisional sama dengan 10 shaku, atau kurang lebih 3.03 cm.
kairo = koridor beratap
kamoi = balok pada bagian atas yang berfungsi sebagai rel dari pintu sorong
kane-jaku atau sashi-gane = penggaris berbentuk L dari bahan baja yang digunakan oleh
tukang kayu/bangunan di Jepang
ken = unit ukuran tradisional sama dengan 6 shaku, atau kurang lebih 1.82 m.
kiku = teknik desain untuk bagian atap dan penempatan dari usuk
kiwari = sistim proporsi (ki berarti kayu, wari berarti membelah)
kiwari = satu sistim dari proporsi dasar mengenai modul desain.
kiwarijutsu = tatanan proporsi
kiwarisho = buku tentang sistem proporsi
koma-jaku = unit standard ukuran berasal dari kerajaan Koguryo di Korea, kurang lebih
sama dengan 35 cm
kondo = bangunan utama dalam sebuah kuil Budha, dan tempat patung Budha dan lukisanlukisan ditempatkan.
kumimono (bracket complexes) =
Kyoma = ukuran tatami yang digunakan di Kyoto (1.970 mm x 909 mm)
makito = tiga blok bantalan di atas kolom (bearing block)
men = jumlah dari hisashi
mon = gerbang
moya = adalah core dari bangunan
munekado = sebuah gable-roof pada pintu gerbang yang digunakan oleh para aristokrat dan
para bhiksu
Nagare-zukuri = salah satu style bangunan dari kuil Shinto
nageshi = balok yang rendah (di bagian bawah)
ranma = ornamen yang berukir terbuka dan sebagai ventilasi
rin = unit ukuran tradisional kurang lebih 0.303 cm atau 1/10 bu.
roku-shi-gake = sistim “6 dalam 1” posisi penempatan jarak dari usuk di atasnya
sanju no to = pagoda tiga lantai
shaku = unit ukuran tradisional sama dengan 10 sun, atau kurang lebih 30.3 cm
shi = usuk
shiki = balok bagian bawah yang berfungsi sebagai rel dari pintu sorong
shomei = merupakan koleksi rahasia dari tukang bangunan/kayu
shudenplan = terdapat di bagian akhir dari buku tersebut
staggered shelves = rak dengan perbedaan ketinggian
sun = unit ukuran tradisional sama dengan 10 bu, atau kurang lebih 3.03 cm.
13

tatami = penutup lantai yang terbuat dari jerami
tenjo mawaribuchi = papan yang letaknya bersandar pada langit-langit
tenjo nageshi = balok langit-langit
to = pagoda
tokonoma (decorative alcove)= ceruk di dalam ruangan utama untuk meletakkan gambar
atau ornamen lain
tsubo = unit ukuran tradisional sama dengan area dua tatami yang diletakkan sejajar, atau
kurang lebih 3.305 m2.
uchinori nageshi = balok. Kemudian dinding bagian atas yang pendek dengan atau tanpa

UNIT UKURAN TRADISIONAL JEPANG
1 rin = 0.303 mm
10 rin = 1 bu = 3.03 mm
10 bu = 1 sun = 3.03 cm
10 sun = 1 shaku = 30.3 cm
6 shaku = 1 ken = 1.82 m
10 shaku = 1 jo = 3.03 m
persegi
1 tsubo = 3.305 m2
- shaku pada periode Nara (T’ang) = .97- .98, shaku saat ini = 115/8 -113/4 inch atau 29.39 29.70 cm.
- komajaku (shaku Korea digunakan pada awal periode Nara) sama dengan 1.164 - 1.176,
shaku saat ini atau 1 foot 23/8 inch - 1 foot 21/8 inch atau 35.27 - 35.64 cm.
- Kamakura shaku = 1.0004 shaku saat ini, 1 foot 1/16 inch atau 30.42 cm.

DAFTAR RUJUKAN
Boger H. Batterson, 1964, The Traditional Arts of Japan, Bonanza Books, New York
Brown S. Asby, 1989, The Genius of Japanese Carpentry, An Account of a Temple’s
Construction, Kodansha International, Tokyo and New York
Coaldrake, William H., 1990, The Way of the Carpenter, Tools and Japanese Architecture,
Weatherhill, Inc., New York and Tokyo
Harada, Jiro, 1985, The Lesson of Japanese Architecture, Dover Publication, Inc., New
York.
Hirotaro, Ota, 1990, Ko Kenchiku Nyumon, Nihon Kenchikuwa do Ukurareteiru ka,
Shokokusha, Tokyo
Hirotaro, Ota, 1992, Nara no Tera-dera, Iwanami Shoten, Tokyo.
Kidder J. Edward, 1972, Early Buddhist Japan, Preager Publishers, New York.
Larsen, Knut Einar, 1994, Architectural Preservation in Japan, ICOMOS International
Wood Committee, Trondheim, Tapir Publishers, Norway.
Nihon Kenchiku Gakkai, 1980, Nihon Kenchikushi Zushu, Shokokusha, Tokyo.
Nishi, Kazuo and Hozumi, Kazuo, 1983, Nihon Kenchiku no Katachi: seikatsu to
Kenchiku-zokei no Rekishi, Shokokusha, Tokyo.
Parent, Mary Neighbour, 1985, The Roof in Japanese Buddhist Architecture,
Weatherhill/Kajima, New York&Tokyo.

14

Suzuki, Kakichi, 1980, Early Buddhist Architecture in Japan, Kodansha International Ltd.,
Tokyo.

Tulisan di atas pernah disampaikan dalam sebuah makalah dengan judul Proporsi
dan Ukuran dalam Arsitektur Tradisionil Jepang, pada seminar Naskah Arsitektur
Nusantara: Jelajah Reflektif Arsitektural, Simposium Nasional 34 Tahun Jurusan
Arsitektur ITS, 9 September 1999. Sedangkan dalam versi artikel telah
dipublikasikan dalam MINTAKAT Jurnal Arsitektur, 6 (1): 517-526, tahun 2005,
dengan judul Metode dan Teknik Tradisionil Dalam Arsitektur Jepang.

Antariksa © 2008

15