Perjalanan dan Interpretasi Lintas Buday

KALAM - edisi 14 1999
E S A 1
Fanik

Mimikri dalam Sasira Indonesia

Keith Foulcher

Mimikri "Sitti Nurbaya"; Catalan untuk Faruk

IS

Melani Budianta

Representasi Kauni Pinggiran dan Kapitalisme

27

Henk Maier

Pcngulangan, Gema, Bayangan; H.C. Zentgraaff dan NurSt. Iskandar


54

Mannekc Budiman

Datang, Pandang, Menang(is); Tafsir l.inlas Budaya

66

AriJ. Adipurwawidjana Pola Narasi KoloniaJ dan Pascakolonial
P

U

I S

81

I


Sindu I»utra

Jalan Matahari Terbit; Burung Berkicau; Tentang Sebatang Pohonj Obituari

1998; Tempai Pengalengan [kanj Rumah Potcng Hewan;BuIan Ketiga
Belas; Jalan Lahar menuju Hutan Salak; Seorang IIrban dari Denpasar %
C

E R P E N

Ben Okri

Doa dariyang Hidup

104

Grace Ogot

Tekayo


107

Bangkitdari Sensor

115

E S

A

I

John M. Coetzec

Penyumbang Nomor Ini

128

Kulit depan: S. Malela Mahaigasaric


Gambar dalam: I Wayan Sadra, OdjiUrungan, S. Teddy

REDAKS1 NOMOK INI: Ahmad Sahal, Ayu iiiami, Bambang Bujono, Kko Endarmoko, Goenawan Mohamad, Joko
Sudarsono (desaln), Nlrwan Dcwanto, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge, s Malela Mahargasarie, S. Prinka
MANAJUMl-N: Zulkilly Ulbls, AIAMAT KHDAKSI: Jl 1Han Kay,. 68H,Jakarta 1$120, TeL (021) 8573388, Fax, '021) K573387

l-mail: akteroOcbn.netid PEMASARAN: IT Pustaka IKama Grafiti, Jl. IHan Kayu 68 B-F, Jakarta 13120, Tel (021) 8567302

Kmau -lerbil iiga kali selahun -meminaU kebudayaan dalam art! seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya Kmaumelaniulkan l.adisi maialah seniftebudayaan yang

peinah ada di lanah air. serla menggabungkan din dengan keinginan yang makin luas unluk tnenyelenggarakan kehidupan inteleklual yang makm sehal,

K^mengangkat pelbagai pokok soal dengan cara pandang yang segai serta mencebuAan din dalam arusarus penciplaan dan pemikiran Apelbagai pen,uru

Kmau mengundang Anda menulis Tuksan harap drfcirim dalam kelikan yang mudah dibaca, alau dalam benluk diskel (canlumkan pogram pengolah kata yang
digunakan) Unluk katya lerjemahan. harap menyerlakan lolo kopi karya asl. dan sumbernya. Setlakan juga riwayal hidup Anda secara singkal
kalam - cdisi U, 1999

FARUK


MIMIKRI

DALAM SASTRA INDONESIA
Problem pertama masyarakatttrjajah dalam menghadapi wacana penjajali

adalah problem emansipasl melalui cara peniruan Imimikri Iyang ambivalen karena di satu pihak
raembangun idenfflas atau persamaan, tapi di pihak lain mempertahankan perbedaan.

Edward W. Said (1994) lelah menunjukkan

bagaimana penjajahan poBlik danekonomi
orang-orang Eropa, khususnya di Timur
Tergali, diserlai pula dengan penjajahan kultural

berupa representasi dan sekaligus pendefinisian
dunia Timur sebagai Sang Lain dari masyarakal
dan kebudayaan penjajali lersebul. Urusan ulama

orang-orang Eropa itu dalam aktivitas penjajahan
mereka memang perebutan "tanah"; "tetapi ketika


pembacanya pada waktu itu, cerita ceriia tersebut
membuka jalan ke sebuah unkmmmwotid.
Sebuah dunia yang menakjubkan terbentang tli
hadapan mereka. Kini mereka bisa menjumpai

orangdan tempal yangberbeda, adal kebiasaandan
cara berpakaian yang lain, juga perangai dan Iklim
yang asing. Mereka juga mempelajari kekaya in dan
kemakmuran yangada di sana dan memperhitung-

sampai pada masalah siapa yang memiliki tanah

kan bahaya dart risiko menakutkan yang akin dite-

itu, siapa yang berhak menelap clan menggarap-

inui, untuk memasuki/menguasai Timur.

nya, yang mempertahankannya. yang merebutnya


(Nieiiwenhuys 1982.4)

kembali, dan yang kini meren< anakan masa de-

pannya, isu-isu ini direnungkan, digugat, dan bahkan unluk sualu masa ditetapkan dalam narasi,"
demikian kata Said (1995) dalam bukunya yang
lain.

Kenyalaan lersebul menunjukkan bahwa im

perialisme dan kolonialisasi tidak hanya menempalkan wilayah jajahan sebagai sebuah wilayah
tempal terbukanya peluang bagi eksploitasl

Sebagai negara bekas jajahan, yang prosesnya

sumber-sumbei ekonomi. melainkan juga sebagai

berlangsung secara berangsur-angsurselama hampir tiga setengah abad, sejak akhirabad XVI hinggatahun 1945, Indonesia mengalami nasibserupa.


sebuah dunia sosial dan kultural yang asing, yang
berbeda dari dunia sosial dan kultural si penjajali.

dengan serangkaian represenlasi mengenai negeri

Lebih jauh lagi, perbedaan itu tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan yang netral, horisonial. melainkan mengandungnilai yangbersifal

lersebul, baik dalam benluk rerila perjalanan, deskripsi etnografis, sam|>ai dengan karyakarya sas-

hierarkis, veilikal bangsa penjajali meneiupatkan
diri sebagai kelompok sosial yang berposisi seba

Penjajahan Belanda di oegeri itu disertai pula

tra yang tergolong eslelik. Rob Nieiiwenhuys

gai subjek, arogan, superior, di hadapan masya

(1982) menunjukkan bagaimana representasi
mengenai Indonesia itu telah berlangsung sejak

sekitar abad XVII Ijerupa ceriia-ceriia perjalanan

rakal setempat.1

yang dicetak dalam bentuk buku-buku murali,
tetapi mendapat sambutan yang sangat entusias

semua hal di alas secara pasif. Mereka juga mem-

Namun, sepcrli juga dikalakan Said (1995:12),
masyarakal setempal tidak hanya menerima

berikan respons terhadap dominasi Barai tersebut

dari masyarakal Belanda pada masa itu. Bagi para
kalam

i-disi 14, 1999

MIMIKRI DAI \M S \ • ] V \ IND0NBS1 \


liersaina.in ilengan perlawanan bersenjata di
tempal tempatyang Ilerbeda seperd Aljazair di abad

hiil usaha usaha besax dalam pertahanan budaya

sepenuhnya". Menunit Bhabha, kecenderungan
yang demikian membuat peniruan serupa itu
menjadi ambivalen. Di satu pihak, peniruan itu
mereproduksi terus-menerus sifat superioritas

hampir di semua tempat, penegasan akan Identitas
nasional. dan. dalam bidang poli'.ik. terciptanya per

sang ksairia dan inferioritas sang punakawan,
leiapi di lain pihak. hal lersebul juga dapal dipa

kesembikm belas. Irlandia dan Indonesia, juga lim-

kumpulandan partai-partaiyangcita-cita pokoknya


hami sebagai olok-olok sang punakawan teriiadap

adalah penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan

sang ksatria,menempatkan tari sang ksatria bukan

naskJnalCSaid 1995; 12).

dalam kerangka esensialisme, melainkan sebuah

Tentu perlawanan-perlawanan tersebui tidak
sekaligus muncul dalam benmk sepeni yang dika-

takan Said. Problem pertama masyarakal terjajah
dalam menghadapi wacana penjajah adalah
problem emansipasi, peningkatan martabat diri
agar seiara dengan bangsa penjajah yang
ditempuh melalui cara peniruan. Konsep menge
nai peniruan ini mendekati konsep mimikri dalam
pengertian Homi K Bhabha (1994: 85-92) yang
pada gilirannya terkait pula dengan problem
inauthenticity dalam pengertian Bhabha pula
(loulcher 1995: 148).

Foulcher (1995: 148-150) cenderung meragukan adanya per.soalan tersebui dalam masyarakat
Indonesia, terulama dalam hal kesusastiaannva.

produk budaya yang dapal dilim dan dipermain
kan, dan bahkan membuat tariansang ksairia tidak
lagi menjadi pusal peihalian.
Mungkin lat.u belakang kultural yang dcmi-

kianlah yang membual masyarakal Indonesia de
ngan cepal melakukan pula peniruan icrhadap

segala eara hidup dan mungkin pula eara berpikir
kelompok sosial barn yang bahkan lebih superior
dari ksairia di alas, yaiiu bangsa belanda. Karena
tekanan politik bahasa dari penguasa kolonial Be

landa, peniruan yang segera tersebar itu memang
bukan dalam penggunaan bahasa Belanda. Yang
lebih mudah dan lebih cepal dilakukan oleh ma
syarakal seiempal terulama sekali adalah pemnian
gaya hidup orang Eropa yang menunai Heather
Sutherland (1983) bcrkembang hiak sejak perte-

mi ngingai ma.syar.ik.il d.m sastra Indonesia tidak

ngahan kedua abad XIX dan menurtil Ahmad

menggunakan bahasa penjajah sebagai alat

Adam (1984) merupakan manitesiasi dari hasral

ekspresi kreatif. Hal itulah yang mendorong saya
mencoba menjelajahi kemungkinan adanya

masyarakal terjajah unluk menyesuaikan diri de

persoalan peniruan dan problem ketidak-aulenlikan diri tersebut.

ngan "kehcndak /aman". mencapai kemajuan,
dan menempatkan diri sama dengan bangsa ilei ijajah
Sikap penguasa kolonial sendiri cenderung
mendua teriiadap gejala awal peniruan tersebut

MEMBACA konsep Bhabha mengenai mimikri

Disatu pihak, seiringdengan dansebagai tuntutan

sebagai wacana yang ambivalen, yang di satu
pihak membangun identitas atau persamaan,
tetapi di lain pihak juga inempertahankan perbedaan mengingatkan saya pada tari kelana dalam
masyarakal dan kebudayaan Jawa. Dalam tarian
tersebui digambarkan adanya dua tokoh yang

dari perkembangan birokrasi pemerintah kolonial,
si penguasa membuka peluang bagi peniruan
terutama dalam bentuk pemberian kesempatan
kepada masyarakat terjajah unluk memasuki pin
didikan modern Barat. Akan leiapi, di lain pihak,
ada usaha menghambal gerakan peniruan '\m\
keraguan akan kemampuan "kodrati" masyarakal
terjajah untuk dapal meniru secara sempuma gaya
dan can) hidup Eropa. Kecenderungan mengham

berbeda kelas atau status sosialnya. Disatu pihak.
ada seorang ksatria yang menari dengan sempurna, di lain pihak, ada pembantu atau punakawannya yang menirukan larian itt• dengan cara yang

dalam pengertian Bhabha "hampir sama. tetapi tak
kalam - edisi 14, 1999

bal lerlilial dari adanya peraturan yang mengharuskan setiap kelompok sosial menggunakan

F

FA R U K

pakaian dan gaya hidup asalnya sendiri seperti
yang disinggung olch lames Siegel (1997: 81).
masyarakat terjajah unluk tidak hanya meniru sisi

rasa itu sebagai suatu bakti" sehingga "terhindar
dari paham kekecilan dan kesempitan".

permukaan dari kcbudayaan Eropa/Barat terlihat

Pada tahun 1933, dalam mlisan Sutan Takdir

antara lain dalam pendapat Kraemer sebagaimana
yangdikutipolehTS.G. Moeiia (1940: 35-30).

Alisjahbana (1933: 4) ditemukan pandangan
bahwa seni yang dilahirkan alas dasar peniruan
tidak akan membuahkan "sesoeatoe jang loehoer
dan kekal". Selain itu, Sutan Takdir juga cenderung
menempaikan peniruan sebagai aktivitas yang

Kecenderungan

meragukan

kemampuan

ENTA.H terpengaruh atau tidak olch hambatan
dan keraguan pihak penguasa kolonial, kecen
derungan menini kemudian dipahami sebagai
kehinaan, bukan jalan menuju emansipasi, Sejak
seiidaknya tahun 1926, bersamaan dengan dan
mungkin sebagai konsekuensi dari munculnya
gagasan kebangsaan Indonesia, pandangan negalil"teriiadap peniruan. lerutama peniruan teriiadap
model-model kebudayaan/nasionalisme Barat, telah muncul, seperti yang terlihat dari salah salu pidalo Sukarno (1963: 5-6) yang mengalakan bahwa

WAYAN 5ADRA

nasionalisme "yang menerima rasa nasionalis-

menya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan

hanya sampai pada lapis permukaan, pada kulit
luar kebudayaan, sesuatu yang "liada herisi, ko-

song dan hampa!" Pandangan yang lebih radikal,
yang secara legas menempatkan peniman tidak
hanya sebagai kekosongan balin, melainkan bah
kan sebagai kehinaan, terungkap dalam pan
dangan Ki Hadjar Dewaniara yang dikemukakan
pada tahun 1938 berikul.

nasionalisme Indonesia "bukan semata-matasuatu

Pada lii'inal saya, sekalipuu ineniru niiu itu hisa

COpie atau linian dari nasionalisme Barat". Menu
rutnya, nasionalisme Indonesia adalah nasio

balk, Belanda yang dapal berdlri di atas chauvinlsme, sulit untuk menahan tertawanya, kalau ia

nalisme yang khas Indonesia, khas Timur. yaitu

melihat kila dengan susali payah dan sunggiih

/tf/AM 99

kalam edisi H, 1999

MIMIKRI

sungguli hendak mau mirip dengan orang "Eropa"
Seperti Rabindranath Tagore kila bisa mengeluh:
Ilidup kila adalah kulipan dari hidup orang Barat;

suara kita adalah kumaitdang Eropa; kita Ini yang

DALAM SASTRA INDONESIA

coherent other "dalam wacana sastra Indonesia

aki'xu keiidakhadiran konstruksi mengenai "Si Be
landa". pandangan-pandangan tersebut sekaligus
memperiihatkan "no coherent self. Di satu pihak,

seharusnya seorang intelek tidak bc4eh lebih dari

ada yang menamakan dirinya bagian dari "dunia

sebuah las penuh keierangan-keterangan; dalam

Timur", membangun suatu "nasionalisme ketimur-

jivva kilaada kekosongan, hingga kila lidaksanggup

an" seperti yang dilakukan Sukarno, ada yang
mencoba bergerak kembali kepada "budaya elnistradisional" seperti yang dilakukan oleh Ki 1ladjar
Dewantara, dan ada yang menempatkan kedirian
pada kapasitas diri masyarakat dan kebudayaan
modern sebagai konsekuensi dari penolakannya
untuk menini masyarakat dan kebudayaan lama
seperti yang dilakukan oleh Sutan Takdir.3
Dalam ke inekaan pandangan di alas, betapapun, sebenarnya lerdapal kesamaan. yaitu bahwa
kesemuanya itu ditempatkan dalam sebuah situasi
dan kondisi yang sama. situasi dan kondlsl yang
oleh Bhabha 11994: 1-18) dteebui lokasi'kebuda
\aan" yang bersifal serba pasca, sebuah "wilayah

meresapkan apa yang Indah dan bemilai"
(Ki Hadjai Dewantan 1977:52)
Dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai alai
kemajuan dapatlah dimengertJ dengan jelas, bahwa

kiia hanya mungkin dapal tiba di "pasar kemajuan"
dimana hanya bahasa Belandalah yangdipergunakan sebagai alat perdagangan", Soal lain yang harus kila pikirkan. yaitu bahwa sama sekali lidaklah

cukup kalau kita hanya menerima kebudayaan dari
lainorang; tetapi olch karena kitaadalah juga suatu
bangsa yang berkebudayaan dan berkesenian, ter-

paksalah kita iik-mi1 h-iik.inina juga kepada bangsa
lam. dengan harapan, agai dengan demikian kita

anlara" yang di satu pihak ingin bergerak keluar

lanpa bantuan dari kemajuan sesuatu negara asing.

dari kekinian masyarakal dan kebudayaan kolo
nial dan di lain pihak tetap terikat pada dan lx.'rada
dalam lingkungan permasalahan kekinian itu.
Ketiga pendapal di atas dapal dikatakan menipa
kan usaha untuk nienjawab persoalan kekinian,
menipakan aktivitas negosiasi mengenai pilihan-

Kenyala.m ilu memenuhi keliidupan kila dengan

pilihan kultural.

d.ipai memhaniu lahirnva suatu kebudayaan kita.

sci.ima kita secara mudah "membeli kesenian", kita
adalah sualu bangsa yang lanpa kesenian dan lanpa

keoudayaan dan ini berarti juga bahwa kita tidak
mampii mengurus dan nu-mbina keliidupan kila

rasa miskin, rasa hina, rasa penuh kekuatiran dan

Sukarno (1963: 5), misalnya, menempatkan

rasa dosa, yang disebabkan karena rasa rendah diri.

piiihan akan ketimuran yang telap berada dalam
kerangka yang disebutnya sebagai "pengetahuan
alas susunan ekonomi dunia dan riwayat". Ki Hadjar(1977:131-132) membangun sistem pendidik

(Ki HadjarDewantara L967:48)

Kemunculan berbagai pandangan tadi menun
jukkan kecenderungan penolakan lerhadap
peniruan dan sekaligus memperiihatkan kebangkitan persoalan keaslian identitas diri. Seperti
h.ilnya sikap ragu •km usaha pihak penguasa kolo
nial unluk menghambai kemungkinan peninian.
kebangkiian persoalan otentisitas diri ini cende
rung bersifal esensialis-kodraii dibandingkan de
ngan penerimaan pada peniruan yang bersifat
eksistensialis-kuliural.

Namun, sejajar dengan penemuan Goenawan
Mohamad (1996: 101) mengenai adanya "no
kalam-cdisi M, 1999

an nasional, Taman Siswa, dengan diilhami oleh

sistem pendidikan Monlessori dan Tagore, yang
menipakan jawaban alas semacam krisis dalam

sejarah pendidikan modern Barat yang menjadikan manusia hanya sebagai "mesin". SutanTakdir
cendening menempatkan kebudayaan modern
sebagai puncak dari perkembangan sejarah peradaban Barat. Dengan kata lain, segala piiihan tersebul berada dalam hubungan yang lidak terpisalikan dari persoalan kekinian para subjeknya,
kelika semuanya lelah berada dalam sebuah ling-

FAR UK

kungan masyarakal kolonial dengan kebudayaan
modernnva. Dengan menawarkan berbagai piiih
an itu, keiiganya .seperti merasa menjadi bagian
dari sejarah dunia yang global, ikut berparlisipasi

di dakimnya. meskipun misalnya piiihan yang diambil itu adalah piiihan yang berkecenderungan
anti-Barai.

Yang paling jelas ineiiempatkan segala piiihan
tadi dalam Situasi kekinian masyarakat (pasca-)
koloniai adalah Armijn Pane (1933a). la menyebu:
diri dan generasinya sebagai masyarakal yang
hidup dalam "zaman kebinibangan": ada yang

bergerak ke masa lain, ke masa kini, dan ke masa
depan. Ke eiulerungan demikian lerungkap lebih
jelasdalam ulasannya sendiri (1934: 187-19(1) alas
tulisan seorang Filipina, Conrado A. Uy, "Thirty
Days in Java".

Menunit Armijn Pane, dalam membicarakan

Filipina, bangsa Indonesia selalu iri pada kemeidekaan bangsa tersebui dalam hal politik. Tetapi,
seperti tampak dalam tulisan itu, bangsa Filipina
sendiri lernyaia niengagumi orang Jawa yang me-

miliki kebudayaan sendiri. Bangsa Filipina diang
gap lidak memiliki kebudayaan sendiri karena
bangsa ilu cenderung nninbesarkan rasa kepada

musik jazz", sedangkan orangJawa dianggap "bersenang menyanyikan nyanyian dan musik as'i mereka, dan mereka itu masih menarikan tarinya
sendiri". Namun, lanjut Armijn Pane, pandangan
tersebut tidak dengan sendirinya membual penulis

Filipina itu bermaksud mcmbesar-besarkan kembali masa lalunya. la bahkan cenderung melihat

tak adanya warisan masa lain yang berharga. yang
dapal menjadi dasar bagi pembangunan identitas

diri yang besar, yang dapal disetarakan dengan
warisan sastra Barat. Karena itu, jalan keluar yang

ken.udian dipilih adalah sebagai berikut.

Seluruh uraian di atas setidaknya menun

jukkanhal-hal berikut. Vang terutama peniing dari
uraian ilu adalah gambaran bahwa masyarakat
dan kebudayaan Indonesia adalah masyarakal dan
kebudayaan yang dibangun dalam konteks
masyarakat kolonial yang menempatkan kelom

pok sosial penguasa kolonial beserta segala gaya
hidup dan cara pandangnya berada pada posisi
yang superior dan mempur.yai otoritas lertinggi
dalam meneniukan linggi atau rendahnya marta

bat seseorang atau sekelompok orang. Karena

alasan lersebul, perkcmbangan dan variasi piiihan
yang dilakukan oleh masyarakal Indonesia, seba
gai masyarakat terjajah. sangat terikat pada perkembangan wacana yangdiproduksi oleh masya
rakat dan kebudayaan penguasa kolonial. Agar

dapal dianggap sebagai masyarakat dan kebu
dayaan yang bermarlabat. ma-.yar.ikat dan kebu
dayaan yang terjajah perlu mengikutiarus wacana
kolonial Barat yang niengglobal. melakukan
peniruan terhadapnya
Sal.ih satu komponen penting dalam bangunan ideniitas saslra Indonesia adalah medianya, bahasa yang digunakannya. Dalam masa-masa awal
kelahiran dan perkembangannya, saslra Indonesia
cenderung dipaliaini sebagai sastra yang bermediakan bahasa Indonesia yang dikembalikan ke

pada apa yang disebui sebagai bahasa Melayu
Tinggi, terutama dialek Riau-Johor. Dengan pilih
an yang demikian. terdapal setidaknya belierapa
ragatn dan dialek bahasa Melayu yangdikeluarkan
dari kemungkinannya unluk menjadi media saslra
Indonesia, seperti bahasa Melayu dialek Ambon,
Menado,Jakarta, dan terutama sekali bahasa Mela
yu yang disebui sebagai bahasa Melayu Tionghoa
atau bahasa Melayu Kendall.
Alasan yang menonjol dalam penetapan yang
demikian menyangkut soal keteriataan atau kcier-

Kesiisastraan liada perlu merusuhkan zaman yang

kodifikasian bahasa yang bersangkutan. Secara sa

lalu yang sudah mati Marilah hanya kita amhil dari

ngat eksplisit alasan yang demikian dapat dite

yang lama hanya yang masih hidup dan segala yang

mukan dalam tulisan Harimurli Kridalaksana

hidup di sekelilingkila, (.l.m marl kita membuat kc-

(1991: 175-179). Secara negatil dan leisirat alasan

susasiraan yang hidup daripadanya lienai. bahwa

tersebut lerungkap dari banyak pcnamaan yang

liada mungkin kembali lagj

negatif teriiadap bahasa Melayu yang tidak terkalam edisl 11. 1999

MIMIKRI

DALAM SASTRA INDONESIA

bahasa asing sehingga bercampur-campur menye-

but didasarkan pada anggapan bahwa di kedua
lingkungan itulah muncul bentuk-bentuk ekspresi
sastra yang baru, yaitu soneta, novel, dan drama.
Bentuk modern ini menipakan salah salti garis
denial kasi yang kuat dari gagasan mengenai iden
litas sastra Indonesia. Meskipun, umpamanya, Ba
kri Sin gartelah berani melanggargarisbatas keba
hasaan dengan memasukkan karya-karya berbakasa Melayu Rendah ke dalam definisi mengenai

rupai capcay atau gado-gado. bnplikasi dari

sastra Indonesia, ia tidak (berani) melakukan

ketertataan tersebut tidak lain daripada keber-

penerobosan teriiadap garis batas yang berupa
bentuk ekspresi kesasiraannya. Begitu pula Ajip
Rosidi dan Jakob Sumardjo.
Bagi orang seperti Sutan Takdir, proyek pembangunan sastra modern dapal dikaiakan seka
ligus sebagai usaha inemperoleh pengakuan "du
nia" (dalam hal ini setidaknya orang-orang Belan
da). kesertaan mereka dalam proses sejarah dunia
yang "universal yang disebutnya sebagai xaman

masuk dalam bahasa Melayu Tinggi. seperti "ba

hasa Melayu Tionghoa". "bahasa Melayu Rendah",
"bahasa gado-gado", "bahasa capcay", dan sebagainya llihat. antara lain, SutanTakdir Alisjahbana
1934: 97-10S). Sehiiian sebuian negalif tersebut
terutama sekali disebabkan oleh silalnya yang

mudah berubah, mudah menyerap berbagai ba
hasa non-Melayu, Ixiik bahasa Jawa maupun

adaban yangdapal membuat tidak hanya sastra In
donesia, melainkan bangsa Indonesia secara keseluruhan dapal merasa berdiri sederajat dengan

bangsa penjajah yang juga mempunyai bahasa
yang teitaia

Dalam lingkup kebangsaan dan kebudayaan
Secara umum, pandangan tersebut lerus dipertahankan sampai setidaknya laliun 1990-an seperti

yang terlihat pada lulisan Harimuiti tadi. Dalam

baru" (Milan Takdir Alisjahbana 1933: 5). Kecen

lingkup sastra. usaha-usaha menerobos garis de-

derungan yang demikian mungkin sen.pa dengan
kecenderungan Kartini ketika ia menunjukkan
kemampuannya dalam bahasa lielanda yang pada
gilirannya iiiendorong ia menunnu agar dilibatkan
dalam percakapan berbahasa Belanda dengan
orang belanda, bukan dilanggapi dengan bahasa
Melayu yang berderajai rendah (lihat, antara lain,
Armijn Pane 1978: 30; R.A. Kartini 1978: 48-49).
Kartini, akhirnya, inemperoleh pengakuan, suratsuratnya dilerbilkan, dibaca, dikagumi, oleh
orang-orang Belanda terutama yang justru tinggal
di negeri Belanda. Begilupun .saslra wan modern
Indonesia Karya-karya sastra modem dibicarakan

markasi kebahasaan tersebui lelah lampak seti

daknya sejak 1964 dengan terbimya buku Bakri
Siregar, S-djarah Sastra Indonesia Modern (1964),
yang menempatkan Mas Marco yang menulis de
ngan bahasa Melayu Kendall sebagai pcloporsastra Indonesia modem, Penulis-pcnulis sejarah sas
tra Indonesia yang kemudian, yang mengikuti cara

pandang Bakri Siregar itu, antara lain Ajip Rosidi
(1969), Claudine Salmon (1985), dan Jakob Su-

mardjo(1992).
Komponen kedua dari idenlitas sastra Indo

nesia itu adalah piiihan bentuk ekspivsinya, yaitu
beniuk-beniuk ekspre.si modern yang menyerupai
sastra (modern) barat (yang ditemukan di alaupun

oleh ahli-ahli Belanda dan IT< >| >.i seperti I looykaas

melalui Belanda). Ketika Armijn Pane (1933b: 183193) meneiapkan awal kelahiran sastra Indonesia
pada karya-karya yang dipublikasikan di sekilar
lingkungan pergerakan pemuda Indonesia dan

Namun, seperti komponen bahasa, komponen
bentuk ekspresi ini pun lidak slabs, melainkan
mengalami perubahan atau perkembangan. Pada

lialai I'ustaka, ia tidak hanya mendasarkan diri

95-96) mengkritik onentasi pada bentuk-benluk

atau A. Teeuw.

1981, setidaknyasctahu saya, Ajip Rosidi (1994:76,

pada alasan kebahasaan dan polilik, melainkan

ekspresi saslra Barat itu, terutama pada Sutan

juga alasan kesastraan dalam pengertian bentuk-

Takdir dalam kasus Polemik Kebudayaan yang

bentuk ekspresi literemya. I'enempatan masa kela
hiran saslra Indonesia pada dua lingkungan terse

cenderung memisahkan diri dari dan menganggap

kalam

edisi 14, 1999

mati budaya etnis-tradisional. Kritik Ajip Rosidi

FARUK

(1994: 102-109) itu tampaknya didasarkan pada
anggapan bahwa orientasi pada Barat. dengan
menanggalkan budaya etnis-tradisional, sudah
lidak sesuai lagi dengan perkcmbangan 'zaman
Karena itu, ia menunjukkan berbagai fenomena
bam dalam sastra Indonesia yang menurutnya

terjadi sejak tahun 1950-an, yaitu kebangkitan

usaha-u.saha sastrawan untuk mengolah kembali
bentuk-bentuk ekspresi seni etnis-tradisional
seperti yang dilakukan oleh para seniman mulai
Amir Pasaribu di bidang musik hingga Suiardji
Calzoum Bachri di bidang puisi. Lebih jauh lagi.
Ajip Rosidi menambahkan bagaimana eksperimen
tersebut ternyata diterima oleh dunia internasional. misalnya dengan diundangnya aniara lain
Sardono W. Kusumo ke Prancis.

Kriiik Ajip lerhadap Sutan Takdir ilu meniang
telak dan meyakinkan Akan tetapi, kriiik serupa
itu dapal dikaiakan jusiru seperti mengulang cara
kriiik Sutan Takdir teriiadap kesenian atau
kebudayaanetnis tradisional. Seperti Sutan Takdir.
dan bahkan Sukarno, Ajip cenderung bersandar
pada apa yang disebui sebagai semacam "jiwa
xaman", menempatkan diri pada wacana Barat
yang dominan yang sekaligus dapat diarlikan
sebagai salah satu bentuk baru wacana kolonial
atau setidaknya apa yang disebut sebagai wacana
neo-iniperialisme. Alau. dengan kata lain, dari Ki
Iladjar, Sukarno, Sutan Takdir. hingga Ajip. tokohtokoh budayawan Indonesia tidak dapat keluar
dari situasi kepasca-kolonialannya, situasi
kekiniannya, yang di satu pihak berusaha keluar
dari kekuatan hegemonik budaya kolonial. leiapi
di lain pihak lelap lerikal dan meniang lerbenluk

oleh budaya lersebul. walaupun kelerikatan itu
lidak sekaligus lx-rarti lerputusnya secara penuh
hubungan antara wacana kolonial dan modernitasnya dengan gerakan ke arah oienlisilas diri.
JAMES T Siegel (1997) memberikan ilusirasi
analogis yang menarik mengenai Taman Mini

Indonesia lndah sebagai gambaran mikro identitas
kultural Indonesia, selidaknya dalam pemahaman
penguasa polilik Indonesia. Taman Mini cende

rung menempatkan kebudayaan nasional sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerab karena merepresentasikan keindonesiaan dalam Ijentuk jajaran
rumah tradisional-etnis yang ada di selumh Indo
nesia, rumah-rumah yang dikesankan sebagai
rumah etnis yang asli, baik dari bahan yang digunakan maupun cara pembuatannya. Akan tetapi,
kata Siegel, di dalam taman tersebut secara tak
terelakkan terdapat pula elemen asing, yaitu pesawat terbang yang berasal dari sumbangan Provinsi Daerab Istimewa Aceh. Pesawai terbang itu

dianggap penting karena menipakan pesawai ternang yang dibeli masyarakal Aceh untuk digunakan dalam peperangan semasa revolusi. Di
Taman Mini, pesawai terbang itu memang ditempaikan di sebuah lokasi yang agak terseinbunyi.
Namun, karena pengunjung kebanyakan meng
gunakan kereia lavang unluk melihat kesdumhan
pemandangan ili taman tersebui dari atas, pesawai
yang berasal dan budaya asing ilu lelap krlihat.
Apa yang terjadi pada Taman Mini ilu, bagi
Siegel, sebenarnya merepreseniasikan dengan tepat ketenderungan nasionalisme Indonesia sejak
awal kelaliirannya di Indonesia.

Seperti lelah dikemukakan. bahasa Indonesia
menipakan salah satu elemen penting dari konstniksi identitas kebudayaan nasional Indonesia
umumnya, dan sastra Indonesia khususnya. Bagi
Siegel, eksistensi bahasa Indonesia yang demikian
tidak terlepas dari kel>eradaannya sebagai lingua
franca, bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang menjembalani hubungan antaretnisdi Indonesia, bahasa "pasar" yangmempertemukan einis-etnis itu dalam wilayah publik, di luar

wilayah domeslik, komuniias asli mereka, bahasa
yang digunakan sebagai media komunikasi massa,

sural-sural kabar, dan juga bahasa yang oleh pemeriniah kolonial digunakan sebagai sekaligus ba
hasa birokrasi dan penghubung antara pemerintah
tersebut dengan lapisan warga non-Eropa.
Implikasi dari kenyataan di atas antara lain se
bagai berikut Pertama, bahasa yang menjadi li
nguafranca itu menipakan bahasa yang dikenal
oleh hampir semua warga dari semua komuniias
kalam - edisi 14. 1999

MIMIKRI DALAM SASTRA INDONESIA

yang ada di Indonesia, tetapi bukan bahasa ibu
mereka, clan tidak tegitu mereka kuasai. Kedua,
bahasa ilu memperkenalkan komunitas-komu-

niias etnis di Indonesia dengan dunia luar yang
asing bagi mereka. Ketiga, bahasa tersebut juga
memberikan peluang bagi warga komunitas etnis
itu keluar dari kerangka bierarki Struktur sosiokultural komunitasnya. Keempat, bahasa yang
clisebut sebagai bahasa Melayu tersebut menjadi
salah satu jalan bagi warga untuk memasuki
bierarki sosial baru, yaitu hierarki yang berupa
masvarakat kolonial Belanda yang bcrkuasa.
Sebagai bahasa yang asing. yang lidak begitu

satu pihak, ia tumbuh dari kemungkinan yang
tersedia di dunia luar, melalui persentuhan dengan
lingkungan yang "asing" di hadapan komunitas
etnis asal yang mapan: di lain pihak. nasionalisme
itu dipahami secara overhearing sebagai "suara"
dari dalam lingkungan komuniias etnis itu, "suara"

yang dianggap sudah ada dalam diri mereka yang

terlihat di dalamnya, (etapi yang tak pernah ilisadari dan temcapkan. Implikasi dari situasi ke

mungkinan kesatuan dan ketegangan antara yang
asing dengan yang asli ilu dapat menyebabkan na
sionalisme Indonesia menjadi ideologi permukaan
sang hanya menipakan penampakan baru dari

dikuasai oleh warga komunitas etnis, bahasa Mela

yu menyebar dengan cara peniruan dan memba
ngun komunikasi melalui proses yang oleh Siegel
disebui sebagai overbearing, yaitu memungkinkan pendengar nienangkap makna yang tidak dimaksudkan oleh pembkara, memungkinkan pen
dengar menebak-nebak apa yang mungkin dimaksudkan pembicara itu. Cara komunikasi yang
demikian menempatkan bahasa tersebut sebagai
alai komunikasi yang lidak dapat dikontrol.
Sehubungan dengan implikasi kedua, ketiga,
dan keempat, bahasa ladi memungkinkan warga
komunitas etnis memasuki berbagai kemungkinan
yangtersedia dalam dunia luar, kemungkinan hie
rarki sosial yang baru, idenlilas-identitas baru,

yang berbeda dari bierarki sosial dan identitas
yang asli. Akan tetapi, karena silatnya yang mengambang. seperti pada implikasi pertama, kemungkinan-kemungkinan bam itu bersifat cair,

dapal mengalami kemungkinan pcmbahan dan
pergantian yang cepat secara tak terkonirol. Ke-

mungkinan-kemungkinan itu pun, pada gilirannya. hanya menjadi kemungkinan yang terbatas
pada level permukaan, pada citraan-ciiraan. yang
sama sekali lidak mengubah ideniiias semula yang
sudah mapan dalam komunitas etnis asal masingmasing warga yang bersangkulan. Dalam penger
tian yang demikianlah apa yang oleh Siegel
disebui sebagai fetishmendapatkan tempatnya.
Nasionalisme Indonesia, menunit Siegel, lahir
dari dalam situasi linguafrancayrang demikian. Di
kalam edisi l-i, 1999

/lVAfA'99

WAYAN SADRA

F A R LI K

sesuatu yang lama sehingga lidak membualikan

perumusan lawan-lawan Sutan Takdir seperti yang

suatu revolusi sosial. Nasionalisme hanya menipa

tercantum dalam konsiitusi ladi. Apabila rumusan

kan wacanayanghidup di wilayah publik yang li
dak mengubah apa yang berlaku dalam wilayah

konsiitusi itu menempatkan budaya asing sebagai
bahan tambahan untuk pengolahari dan pengembangan budaya etnis-tradisional sebagai dasar dari
budaya nasional, Ajip (1994: 110) cenderung
menempatkan budaya ctnis-iradisiona! dalam

domestik.

Begitu pulalah. lampaknya, yang terjadi pada
gagasan mengenai idenliias saslra dan bahkan ke
budayaan Indonesia. Perdebatan mengenai iden
titas sastra Indonesia adalah perdebatan yang ter

posisi yangdemikian.
Namun, pemisahan antara yang publik dengan

jadi di wilayah publik yang bersifat serba permu
kaandan penampakan, sebagai bagian dari usaha
agar dapat dilerima dan mendap-U pengakuan

yang domestik ilu bukanlah sebuah pemisahan
yang mullak. Keduanya tetap menipakan produk
dari persenluhan yang tidak terelakkan aniara

dalam wacana kolonial yang global.'1

budaya selempal dengan budaya kolonial yang

I'adahal. sementara ilu, di wilayah domestik,
secara diam-diam beroper.isi sebuah kekuaian lei

selubung dan teitutup yang menempatkan iden
litas kebudayaan Indonesia sebagai "puneakpuncak kebudayaan daerab" dengan iiienempaikan bahan-bahan dari kebudayaan asing. benlukbentuk ekspresi modern Barat, hanyn sebagai alai

mengglobal. Pada satu saat, dalam situasi dan
kondisi tertentu, seperti yang juga dikemukakan
Siegel. apa yang berkembang dalam wacana
global dipahami sebagai gating dari suara lokal
sendiri. Dalam konleks signilikasi yang demikianlah gagasan mengenai sbsialisme atau demo-

Sif.it terselubung itulah yang menyebabkan

krasi yang sebenarnya lahir dan perkembangan
wacana global tiba-lib:; dipahami sebagai suara
lokal yang asli seperti yang terungkap dalam
pengertian demokrasi desa, gotong royong, serta

Ajip Rosidi salah paham mengenai pemenang

kesetaraan hubungan antarsuku dalam masya

uniuk mengembangkan dan memperkaya kebu
dayaan daerab

dalam perisiiwa Polemik Kebudayaan (Aji|) Rosidi

rakat Minangkabau pada novel SalahPitibkarya

1994: 76). Menurutnya. dalam polemik itu Sutan

Nur Sutan Iskandar. Konteks signilikasiseperti itu

Takdirlah yang keluar sebagai pemenang. bukan
lawan-lawan polemiknya seperti Ki 1ladjar. SutOmo. dan Sanusi Pane. I'adahal. apabila d.ahal dari
alinea di atas, yang justni keluarsebagai pemenang
jusiai sebaliknya. Gagasan mengenai kebudayaan
daerah sebagai dasar dari kebudayaan Indonesia
adalah milik lawan-lawan polemik Sulan Takdir.
Gagasan itu dapal dikalakan jauh lebih kuai
daripada gagasan Sutan Takdir karena gagasan itu
kemudian tercantum dalam konsiitusi resmi negara

Indonesia, lindang-Undang Masa-"1945.

Ajip Rosidi memang bukan bagian dari kekuatan terselubung yang ada di wilayah domestik.
Karena itu, meskipun tampaknya mengambil posisi yangsama dengan lawan-lawan Sutan Takdir,
yaitu mencoba membela dan memperjuangkan
eksistensi seni atau kebudayaan elnis-lradisional,

pula yang menvebabkan apa pun yang terjadi di
wilayah publik. seperti berbagai eksperimen yang
terjadi pada lahun 1970-an, yang dalam balasbatas tertentu dapat dikatakan telah melanggar
batas demarkasi yang diteniukan oleh konsiitusi,
dibiarkan tetap berlangsung.

sebaliknya, pada saat lain, dalam situasi dan
kondisi yang berbeda, terbangun sikap yang amal

antipali, sikap yang amal berhati-hati, teriiadap
perkembangan di wilayah publik, dalam kelii
dupan saslra modern. Dalam konleks signilikasi
seperti itulah berbagai pelarangan teriiadap
aktivitas kesenian ataupun kesastraan, seperti

pelarangan lerhadap pembacaan puisi Rendra,
pemcnlasan teater Nano Rianiiamo, dan bahkan
pelarangan lerhadap beberapa karya Pramoedya
Ananla Toer, dapat dipahami.

perumusan Ajip bertolak belakang dengan
10

kalam - cdisi 14,1999

MIMIKKI DALAM SASTRA INDONESIA

PEIdvLAINAN di antara wilayah publik dengan
domestik, gerakan bolak-balik dari wilayah yang
satu ke wilayah yang lain, atau bahkan pengacauan dan pemisahan di aniara keduanya,
menipakan strategi penting para aklor politik dan
bahkan masyarakat awani Indonesia dalam
menghadapi kekuatan politik, sosial, dan kultural,
serta wacana kolonial. Dalam hal ini. pada masa
kolonial Sukarno meaipakan aktor politik yang
dapal dikatakan terkual dalam memobilisasi
saluan-satuan makna ilalam perbendaharaan wa
cana kolonial dan bahkan global unluk kepenlingan poliiiknya, terutama unluk mencapai sasar-

annya dalam membangun identitas kebangsaan

sebagai belaMing mi? Apakali sebabnya, maka kami
disuruh juga menibayar, sekarang? Mungkirkah
orang Belanda akan janjinya?

Kedua, orang Belanda sudah lupa pula. bahwa
kami bukan orang takluk. yang hams menibayar

upeii kepada bangsa Belanda Negeri kami tiadadi
ainbil dengan a.sap bedil. oleh n.ang Belanda. me

lainkan dengan perjanjian antara sahabat dengan
sahabal.

Ketiga, luan Residen berkaia, orang belanda di

sini menolong memerintah, Tetapi siapakah yang
meminta pertnlongan ilu? Kami lidak minla totong
dipennialii, melainkan minla lolong mengalahkan

paderi di zaman paderi, lain tidak. Pada pikiran ka

Indonesia. Dengan menirukan cara-eara ekspresi

mi. liada perlu kami diperiniahi bangsa asing. sebab

dan komunikasi modern Barat, dengan mengutip

dari nenek moyang kami dahulu kala, kami biasa di-

gagasan mengenai dialekiika Marx, Hegel, dan

perinlahi Raja bangsa kami sendiri dan dalam pi-me

sebagainya, ia berusaha menjatuhkan segala
tantangan politik penguasa kolonial Barat, dalam

riniahan ilu kami pun nierasa senang. liada berasa

hal ini Belanda.

pertolongan kepada bangsa asing. unluk aieme

Di dalam kha/anah sastra Indonesia kecende

rungan se|X-rti ilu dapal ditemukan secara mencolok dalam novel Sitti Xnrbaya. Novel karya Marah
Rusli ini sebenarnya mengandung kriiik yang
lajam lerhadap penguasa kolonial, khususnya
dalam kasus pemberlakuan pemungutan pajak
yang disebut helasting lerhadap masyarakal
Minangkabau Perhaiikan kutipan berikut.

kurangadil Oleh sebab itu, lak perlu kami meminia
rinlah kami

Keempat, kala tuan Kesiden uang belasling ilu
unluk inenanibali kekuiangan belanja I'emerinlah,

sebab banyak penibahan yang akan diadakan IVi
ubahan apakah ilu. liada kami ketahui: sebab liada
diniupakatkan dahulu dengan kami. sehingga kami

lak l.iliu pula sungguhkah penibahan itu Ix'rguna
bagi kami. Pada pikiran kami. segala yang ada seka-

rang ini pun Olkuplah; tak perlu diadakan peni
Selelah herknnipullah sekalian llaluk. I'eng-

bahan lagi. Adapun perubahan, bukannya unluk

hulu, Hulubalang, orangkaya,besarbertuah, Kepa-

kami sahaja, hanya terutama untuk mereka yang

la Negeri. i erdik pandai dan lain-lainnya, herkalalah

berpangkat iin,g.gi. yang kaya dan orang kota

Tuanku Laras, menyampaikan perintah yang diteri
sebabnya belasling ilu dijalankan, Selelah selesai ia

Ketima. luan Kesiden beikala sendiri. kepeduan
kila lak boleh diminla kepada oranj; lain, mengapakah tidak liap-liap kampung alau negeri menga

bcrkata-kata, menjawablaii beberapa orang dari-

dak.m keperluannya sendiri-sendiri? Meng.apakah

pada yang hadir.

kami harus menolDiig orang Selebes, Timor, dan Pa

uianya dari Kesiden, serta menerangkan guna dan

"Teniang peraturan Gubememen ini. belum ka-

pua? Melihal rupanya pun kami belum! Dan siapa

mi ketahui buruk baiknya. Tetapi yang mula-mula

kali yang akan menanggung, mereka ilu kelak akan

lera.sa dalam hali kami dalam perkara belasling ini,

menolong kami pula, bila kami dapal kesusahan
alau ada kepeiluan apa apa?

lalah orang Belanda rupanya telah lupa akan janjinya, kepada orang Minangkabau. Uukankah sudah

ditetapkan dalam "Pelekat Panjang", bahwa kami
anak Minangkabau tak perlu menibayar bid, yang

kalam edisi I i, 1999

Keenam, luan Kesiden berkaia, kita sekalian ini

yangCnilxTnemen, bukan bangsa belanda Menga
pakah segala sesuatu diputuskan dan diperbual

11

PA R U K

oleh orang Belanda saja; suara anak negeri sekalisekali tiada didengar? I'erkara blasting ini pun liada

biskan nyawanya sendiri, menyusul kekasihnya,
Sitti Nurbaya, yang sudah mati sebelumnya. Lebih

dimupakalkan dahulu dengan kami Sctelah terjadi,

jauh lagi. namanya pun bukan lagi Sam, melain

disunih kami menurut, dengan tiada boleh menga -

kan Mas, dan ia sendiri merasa tidak ikhlas dan

takan lidak. Bagaimanakah kami namanya itu,

sedih diiugaskan membunuh saudara-saudara

iirang yang diperintahikah atau orang yang mcme-

sebangsanya sendiri.

rintah?

Maka. novel ini seperti membela belanda, pa
dahal sebenarnya justru menentangnya. Novel ini

Ketujuh, dikaiakan ada pegawai yangmembuat
rumah, ialan dan Iain-Iain. Rumah siapakah yang
dihuainya? Rumah kami, kami sendiri yang mem
buat. Jalan pun kami pula yang mengerjakan. Apa
paedahnya pegawai-pegawaj yang diadakan itu untuk kamiv Pegawai perusahaan tanah, belum kami
ketahui di sinidan orang itu tak ada perlunya bagi
kami Apakah yang akan diajarkannya pada kami'
Bertanam padi? Telah diketahui nenek moyang
kami beratUS tahun yang telah lalu. I'erkara hewan?
Kerbau kami kembang biak juga, walaupun tiada
dipeliliara benar-bcnar Dan dokttt nu .ulakah ia
s.mip.u mengobati ke kampung-kampung kami?
Hanya di kota itulah .a tinggal, «/W^

Penerbit Sinar

I larapan

Siilomo, K. 1954 National