MAKALAH PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT PEMB

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Jatinangor, 13 Desember 2015

Penyusun

Page | 1

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..........................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................4
1.3 TUJUAN PENULISAN.......................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 SIAPAKAH SUKU TENGGER?.........................................................5
2.2 ASAL MULA DAN SEJARAH SUKU TENGGER...........................6
2.3 KEARIFAN LOKAL SUKU TENGGER............................................8
2.4 PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT
PEMBANGUNAN DI SUKU TENGGER.......................................13
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN........................................................................................17
SARAN....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................18

Page | 2

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara yang sangat unik dimata dunia karena inonesia memiliki
ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh Negara lain, salah satunya adalah keadaan
masyarakatnya yang majemuk yang teridiri dari bermacam-macam suku, ras, agama,
bahasa maupun budaya. Namun hal ini sangat wajar karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor geografis dan faktor historis. Dari segi faktor
geografis Indonesia terletak diantara dua benua. Yaitu benua Asia dan Australia. Dan
juga antara dua samudra yaitu samudera pasifik dan samudera hindia. Akibat
Indonesia dijadikan pusat perdagangan tempat transit nya kapal-kapal pedagang dari
berbagai penjuru dunia sehingga mengakibatkan terjadinya asimilasi antara
penduduk pribumi dan warga asing. Dan secara otomatis menjadikan masyarakat
Indonesia menjadi heterogen dan majemuk. Selain itu pengaruh iklim akibat
perbedaan garis lintang juga menentukan kemajemukan tersebut. Dilihat dari segi
historisnya masyarakat Indonesia telah lama mengalami masa penjajahan oleh
bangsa lain, seperti bangsa jepang belanda, portugis dan prancis, sehingga secara
tidak langsung budaya Negara penjajah tersebut mempengaruhi budaya Indonesia
yang telah ada melalui perkawinan, asimilisi, maupun enkulturasi sehingga
masyarakat Indonesia menjadi majemuk.
Salah satu kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari banyak nya sukusuku bangsanya. Seperti suku batak, minangkabau, jawa, bugis, tengger dan lain-lain.

Pada pembahasan ini dibatasi topiknya hanya pada suku tengger.
Beberapa dekade yang lalu banyak tejadi pembangunan di daerah Suku Tengger
ini, seperti masuknya listrik ke perkampungan dan akses jalan yang memudahkan
warga setempat serta wisatawan untuk mengakses lokasi. Karena potensi alamnya
maka pemerintah setempat menjadikan kawasan tersebut sebagai daerah wisata alam.
Pengaruh dari wisatawan yang datang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan

Page | 3

wisatawan mancanegara mengakibatkan beberapa pergeseran budaya, mata
pencaharian, sistem pendidikan dan teknologi. Semakin berkembangnya teknologi
membuat Suku Tengger pun tidak dapat menolak dan menutup diri dari
perkembangan zaman. Walaupun masyarakat Tengger tetap terikat oleh aturan adat,
namun mereka juga tidak dapat sepenuhnya menghindar dari pengaruh modernisasi
karena pengaruh oleh wisatawan yang berkunjung. Seperti penggunaan alat-alat
elektronik seperti handphone dan juga televisi. Pendidikan di sana juga sudah
berkembang mengikuti sistem pendidikan pada masyarakat modern. Pembangunan
inilah yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Pembangunan yang menyebabkan
ketidaksesuaian antara sudut pandang pihak pembangun dengan pihak yang
dibangun.


1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Siapakah yang disebut dengan suku tengger itu?
2. Bagaimana asal mula dan sejarah suku tengger?

3. Apa saja kearifan lokal yang terdapat di Suku Tengger?
4. Perubahan apa saja yang terjadi pada suku tengger setelah masuknya
pembangunan ke daerah mereka?

1.3 TUJUAN PENULISAN
Menjelaskan kepada pembaca agar dapat mengetahui dan mengenal suku
tengger di Indonesia, serta menelusuri perubahan yang terjadi pada suku tengger
akibat dari adanya pembangunan oleh pemerintah sebagai akses wisata.
Ketidaksesuaian dalam pembangunan pada Suku Tengger juga akan di bahas dalam
makalah ini.

Page | 4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SIAPAKAH SUKU TENGGER?
Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa
Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang,
Probolinggo, dan Malang. Luas daerah Tengger kurang lebih 40 km dari utara ke
selatan, 20-30 km dari timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m – 3675 m.
Daerah Tengger terletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu Probolinggo,
Pasuruan, Lumajang dan Malang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung
dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas,
terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo,
dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak
Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m. Suku tengger merupakan sub suku Jawa
menurut sensus BPS tahun 2010.
Keadaan tanah di wilayah Tengger gembur seperti pasir, namun tingkat
kesuburan tanah cukup tinggi. Hal ini cocok untuk ditanami bermacam tanaman.
Maka dari itu, sebagian besar masyarakat Tengger bermata pencaharian sebagai
petani.
Masyarakat Tengger menyebar di sekitar wilayah Gunung Bromo Tengger dan
Semeru. Jumlah mereka tidak banyak, yakni sekitar 100.000 dari jumlah penduduk
Jawa yang lebih kurang 1.000.000. Oleh karena itu masyarakat Tengger tidak hanya
ada di dalam satu daerah kabupaten. Diketahui, sampai saat ini masyarakat Tengger

menyebar di empat Kabupaten, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang.
Adapun Desa-desa yang merupakan komunitas Suku Tengger, adalah Desa
Ngadas, Wanatara, Jetak, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura Kabupaten

Page | 5

Probolinggo), Desa Wanakersa, Ledokombo, Pandansari (Kecamatan Sumber
Kabupaten Probolinggo), Desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono,
Kandangan, Mororejo (Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan), Desa Keduwung
(Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadirejo, Ledok Pring (Kecamatan
Tutur Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadas (Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang), dan Desa Ranupani (Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang).

2.2 ASAL MULA DAN SEJARAH SUKU TENGGER
Menurut Samanhadi dalam Malik (2007:123) kata Tengger berarti berdiri tegak,
diam tanpa bergerak. Ada juga yang mengartikan “tengger” dengan tengering budhi
luhur, berarti tanda atau ciri yang memberi sifat khusus pada sesuatu, yaitu sifat-sifat
budi pekerti luhur.
Ada pula legenda Rara Anteng dan Jaka Seger, sepasang suami-istri yang
dikisahkan sebagai cikal bakal penghuni daerah Tengger. Legenda tersebut

menceritakan sepasang suami istri yang memiliki 25 anak, namun salah satu
diantaranya

(Raden

Kusuma)

dijerumuskan ke dalam

harus

dikorbankan

sebagai

tumbal

dengan

kawah Gunung Bromo demi keselamatan saudara-


saudaranya. Dalam kisah ini, Tengger merupakan singkatan dari kata “Teng” asal
kata Anteng dan “Ger” dari kata Seger. Anteng mengandung arti sifat tak banyak
tingkah dan tak mudah terusik. Makna dari istilah tersebut, seperti diyakini
masyarakat setempat, tercermin pula pada kenyataan bahwa masyarakat Tengger
hidup sederhana, tenteram, damai, bergotong-royong, bertoleransi tinggi, suka
bekerja keras.
Banyak peneliti baik dalam negeri maupun luar negeri yang melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap sejarah dan cikal bakal masyarakat suku Tengger.
Menurut Waluyo dalam Warouw dkk (2012:14) masyarakat Tengger sendiri
mengakui bahwa mereka itu adalah keturunan Majapahit yang terdesak oleh pasukan
Demak sejaln dengan perkembangan Islam di Jawa. Raja Majapahit yang bernama
Prabu Brawijaya melarikan diri bersama pengikutnya ke wilayah Tengger karena
tidak berkenan untuk memeluk Islam seperti anaknya, Raden Patah.
Page | 6

Raja Brawijaya bersama para pengikut yang masih rela, meneruskan perjalanan
ke tempat yang aman di daerah Banyuwangi, menyeberang ke Pulau Bali, lalu
menetap di situ, diikuti keluarga raja, pujangga, dan para pendeta. Sedang
pengikutnya yang lain tetap tinggal di Pegunungan Tengger, yakni rakyat yang

kebanyakan hidup bercocok tanam.
Selain itu, bukti nyata dari pernyataan Majapahit sebagai cikal bakal masyarakat
Tengger adalah penggunaan alat prasen sebagai wadah air suci yang digunakan
dalam setiap upacara keagamaan. Alat ini terbuat dari bahan kuningan, dengan
gambar dewa dan zodiak Hindu pada bagian luarnya, Dalam prasen tersebut terdapat
tulisan angka tahun 1243-1352 tahun saka atau 1321-1430 tahun Masehi. Tahuntahun ini menurut Waluyo dalam Warouw dkk (2012:15) merupakan masa kejayaan
kerajaan Majapahit sebelum pada periode selanjutnya diruntuhkan oleh kerajaan
Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Alat-alat ritual lain yang
berasal dari Majapahit, antara lain: baju antrakusuma dan sampet.
Sementara itu, menurut Ayu Sutarto, prasasti batu yang pertama kali ditemukan,
berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama
Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci
yang dihuni oleh hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai
abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama,
menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang
berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang
Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.
Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang
terbuat dari kuningan di daerah penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri,
Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327 Saka atau 1405 M. Prasasti ini

menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau
abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci. Warga desa
Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman, yakni pajak upacara
kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung

Page | 7

Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh
Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada.
Nama Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari
kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama
sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini
bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Saiwa. Kemungkinan
besar Walandhit pada waktu itu merupakan salah satu mandala yang dipimpin oleh
seorang dewa guru. Dewa guru adalah seorang siddhapandita (pendeta yang
sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala. Sebenarnya mandala adalah
tempat tinggal pendeta di hutan atau di tempat yang sangat jauh dari keramaian, yang
biasanya disebut wanasrama. Tempat seperti ini mungkin juga dihuni oleh para resi
atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan diri.
Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah

berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya
keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit
perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama
meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama mereka
tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit pada
umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak HinduBudha. Kemungkinan kedua, orang Walandhit dengan suka cita menerima para
pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak,
terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh
tentara Demak pada abad ke-16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian
menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada
waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut
oleh tentara Demak

2.3 KEARIFAN LOKAL SUKU TENGGER
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika
Page | 8

yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis
(Keraf, 2002). Gobyah (2003), menyatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan
sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Dengan
demikian kearifan lokal (local wisdom) pada suatu masyarakat dapat dipahami
sebagai nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun
dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya
interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Adapun beberapa kearifan lokal suku tengger dalam pemanfaatan ruang dan
upaya pemeliharaan lingkungan adalah sebagai berikut:
2.3.1 Perkiraan Musim Untuk Bercocok Tanam
Musim merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat

Suku

Tengger

Desa

Wonokitri,

khususnya

terkait

dengan

keberlangsungan sektor pertanian di wilayah tersebut. Sistem perhitungan perkiraan
musim (pranoto mongso) pada masyarakat Desa Wonokitri didasarkan pada sistem
kalender Suku Tengger yang membagi musim (mangsa) menjadi 12 mangsa, yaitu: 1)
kasa, 2) karo, 3) ketiga, 4) kapat, 5) kelimo, 6) kanem, 7) kepitu, 8) kewolu, 9)
kesanga, 10) kesepuluh, 11) dhesta, 12) kesada. Dari ke-12 mangsa tersebut
kemudian dikelompokkan lagi menjadi 4 yaitu mareng, ketigo, rendheng, dan labuh.
Sistem kalender musim memperlihatkan pola kecenderungan kehidupan
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri. Dalam kalender musim, terdapat dua
bagian utama, yaitu:
1. Kalender musim faktor alamiah yang berpengaruh terhadap pola kegiatan
musiman penduduk. Faktor alamiah tersebut meliputi jenis musim (hujan dan
kemarau), angin, dan lain sebagainya yang berpengaruh terhadap musim
tanam sektor pertanian.
2. Kalender musim faktor non-alamiah yang menginformasikan pola kegiatan
pertanian pada setiap komoditas yang meliputi masa tanam, perawatan, dan
masa panen

Page | 9

.

Khusus untuk waktu penanaman jagung terdapat larangan dan pantangan
yang harus dipatuhi yaitu pada hari kematian orang tua atau hari-hari naas
berdasarkan perhitungan tertentu menurut adat masyarakat Suku Tengger.
2.3.2

Sistem Teknologi Tradisional Dalam Pengelolaan Ladang/Tegalan

Pada dasarnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan ladang/tegalan di Desa
Wonokitri dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. Sistem
penanaman menggunakan sistem tumpang sari. Karena kontur lahan yang cukup
curam, untuk menghindari tanah longsor dan erosi maka dibuat sistem terasering
dengan membuat lahan berpetak-petak yang disebut bedengan. Setelah itu tanah
dicangkul dan dibolak-balik baru kemudian dapat ditanami.
Peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah adalah peralatan tradisional
pertanian seperti: cangkul, sabit, garpu dan keranjang. Untuk mempermudah dalam
menjangkau areal ladang/tegalan yang curam maka petani di Desa Wonokitri
memakai sepatu boot. Sedangkan terkait dengan sistem penanaman, masyarakat Desa
Wonokitri memakai aturan tertentu yang mengelompokkan penanaman tanaman
tertentu pada satu petak lahan. Tanaman berakar kuat misalnya cemara banyak di
tanam di ladang/tegalan Desa Wonokitri untuk mencegah longsor dan erosi, selain

Page | 10

akarnya kuat kayunya juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis pupuk
yang dipakai sangat mengutamakan penggunaan pupuk kandang/kompos yang
menurut masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri termasuk ramah lingkungan dan
tidak merusak tekstur dan kesuburan tanah. Pemberantasan hama menggunakan cara
manual dengan mengambil hama langsung dari tanaman kemudian ditanam di tanah
atau diinjak dan memakai obat pemberantas hama.
2.3.3

Sistem Pemeliharaan Hewan Ternak

Peternakan yang dibudidayakan di Desa Wonokitri adalah peternakan sapi dan
babi. Sapi yang diternak adalah sapi jantan atas dasar karena sapi jantan tidak dapat
memperbanya jenisnya sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Pemeliharaan
ternak sapi dilakukan secara individu di ladang masing-masing. Tindakan
pemeliharaan pada ternak sapi yaitu pemberian pakan, pemeliharaan dan perawatan
ternak, pembersihan kandang secara teratur dan pemberian obat penyakit.
Tidak berbeda jauh dengan sistem pemeliharaan ternak sapi, pemeliharaan ternak
babi juga dilakukan di ladang dengan pembuatan kandang khusus. Pemberian pakan
ternak babi dapat berupa sisa hasil makanan yang dibuat di dapur atau makanan yang
banyak mengandung protein, sumber energi dan bahan makanan hijauan.
Bentuk penerapan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
dalam sistem pemeliharaan hewan ternak yaitu dengan peletakan kandang yang
lokasinya jauh dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh
dari permukiman ini merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan.
Selain hal tersebut, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri juga memanfaatkan
kotoran ternak untuk dibuat pupuk kandang yang mampu menyuburkan tanpa
merusak tekstur tanah namun juga ramah lingkungan.
2.3.4

Sistem Pengelolaan dan Perlindungan Hutan dan Sumber-Sumber
Air

Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait
system pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan hutan
dan memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Wonokitri hanya terdapat kawasan

Page | 11

hutan lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini berguna untuk
menjaga keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah. Masyarakat Suku
Tengger Desa Wonokitri memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan.
Bukti keperdulian masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam kegiatan ikut
serta memelihara hutan adalah dengan tidak menebang hutan secara sembarangan.
Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi oleh slogan yang
dipatuhi, berbunyi “tebang satu tanam dua” yang artinya jika menebang satu pohon,
maka harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.
Penyediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal dari
sumber mata air alami dari sumber air pegunungan, yaitu sumber mata air Tangor,
Galingsari, Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik yang
terletak di sebelah selatan desa. Pada tahun 1977 sistem pipanisasi diterapkan di
Desa Wonokitri. Sistem pipanisasi ini bertujuan untuk mengalirkan air dari sumber
mata air disalurkan menggunakan pipa sekitar 3 Km menuju ke bak-bak
penampungan air/tandon air (jeding desa) di Desa Wonokitri. Saluran pipa yang ada
terpisah pada 2 blok yaitu blok barat dan blok timur yang kemudian disalurkan ke
masing-masing tandon air pada blok tersebut. Pendistribusian air dari tandon air
menuju ke rumah-rumah warga juga menggunakan sistem pipanisasi. Hingga saat ini
terdapat 3 buah tandon air dan 3 bilik bak air umum di Desa Wonokitri.
Sistem penyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan membuat aliran
mellaui pipa plastik/slang. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah sisa hasil
pembuangan rumah tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung air
limbah di tempat penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang ke
arah tanaman yang akan disirami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran
tersendiri untuk air limbah, biasanya di samping rumah yang dilewatkan pipa
terpendam.
Kegiatan

pengelolaan

sumber-sumber

air

yang

dilakukan

antara

lain

membersihkan dan merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber air
serta melakukan perbaikan pada saluran yang merusak badan jalan akibat longsor.
Perbaikan saluran dilakukan dengan membuat tambak atau tanggul tanah yang

Page | 12

dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk. Kegiatan pengelolaan sumbersumber air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang merupakan kegiatan
mingguan bagi masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah gotong-royong
membersihkan bak penampungan air umum. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran
yang dijadwal tiap RT atau lingkungan setiap seminggu sekali. Masyarakat RT atau
lingkungan yang mendapatkan jadwal giliran menuju ke 2 lokasi bak penampungan
air umum yang terdapat di Desa Wonokitri.
2.3.5

Tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang terdapat di Desa
Wonokitri

Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
melakukan beberapa tradisi ritual berdasarkan adat dan kepercayaan mereka, yaitu
melakukan Upacara Leliwet, Pujan, Munggah Sigiran (Among-among/ngamongi
jagung), Wiwit, Hari Raya Kasad, Mayu (Mahayu) Desa, Mayu Banyu, Pujan
Mubeng (Narundhung).

2.4 PERUBAHAN KEBUDAYAAN AKIBAT PEMBANGUNAN DI SUKU
TENGGER
Tersedianya potensi sumberdaya, baik berupa potensi sumberdaya manusiawi,
kelembagaan, kepemimpinan, ketrampilan laten dan sumberdaya alami yang berupa
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, belum merupakan jaminan dapat
dikembangkan bagi kesejahteraan manusia. Hal itu antara lain disebabkan oleh
kondisi suatu keadaan tertentu sehingga potensi sumberdaya yang tersedia belum
dapat sepenuhnya dimanfaatkan. Guna pengembangannya, bukan hanya semata
diperlukan in-put baru pembangunan yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi,
melainkan harus memperhitungkan latar belakang budaya karena pada akhirnya akan
menyentuh preferensi sistem nilai budaya setempat.
Nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dijadikan acuan dalam interaksi
sosial perlu dikaji dalam merencanakan sebuah pembangunan. lebih-lebih bila
pembangunan tersebut langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Aspek pranata

Page | 13

kebudayaan tersebut harus pula diperhitungkan karena sesungguhnya pranata-pranata
kebudayaan terkait erat dan secara langsung menunjang proses sosial, ekonomi dan
ekologis masyarakat secara mendasar dalam kehidupannya dan yang secara
operasional telah mereka praktekkan sejak dahulu(Dove, 1988) Secara mendalam
Mubyarto(1993) menyarankan bahwa untuk menerapkan berbagai program
pembangunan dalam kehidupan masyarakat tradisional perlu mengenal terlebih
dahulu masyarakat tradisional tersebut, terutama yang ada di pelosok-pelosok
perdesaan di Indonesia. Alasannya karena setiap masyarakat tradisional tersebut
memiliki potensi keswadayaannya sendiri yang dilandasi oleh latar belakang sosialbudayanya yang unik dan khusus. Oleh karenanya maka program pembangunan yang
diperkenalkan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masing-masing
masyarakat tersebut (Budiono, 1994).
Dudley Sear. The Meaning of Development, menyatakan, bahwa pembangunan
tidak salamanya berarti kemajuan bagi semua orang. Oleh karena itu, “kemajuan”
sebaiknya selalu mengacu ke aspek manusiawi dari pembangunan, dan diukur
dengan derajat kesadaran dari kemauan dan kemampuan sebagian besar warga
masyarakat yang bersangkutan untuk hidup lebih nyaman dan sejahtera.
Akibat dari adanya pembangunan dari pemerintah sebagai jalan menuju kawasan
wisata gunung Bromo, banyak terjadinya perubahan budaya pada masyarakat
Tengger ini. Perubahan yang ada di masyarakat Tengger ada pada berbagai macam
bidang. Ada perubahan yang secara cepat dan ada pula perubahan yang secara
lambat. Perubahan yang ada pada masyarakat Tengger di sana seperti pada bidang:
1. Mata Pencaharian
Mayoritas penduduk Tengger berprofesi sebagai petani ladang.
Bahkan seorang ketua adat suku Tengger pun pekerjaan utamanya adalah
petani. Dengan majunya pariwisata yang ada di sana, masyarakat sekarang
memiliki pekerjaan sampingan atau beralih pekerjaan menjadi tour guide,
sewa kuda, sewa jeep, berjualan bunga eddelwais, berjualan kaos, sarung
tangan, topi dan masih banyak yang mereka perjualkan disana. Di desa yang
berada di bawah Gunung Bromo, masyarakat juga banyak yang
menyediakan home stay untuk para wisatawan yang ingin menginap di sana.
Page | 14

Mereka banyak yang meninggalkan pekerjaan sebagai petani ladang, yang
notabene itu adalah pekerjaan yang diwariskan secara turun temurun dari
leluhur kepada masyarakat asli tengger untuk mengelola bumi mereka.
2. Pendidikan
Pendidikan bagi masyarakat disana awalnya kurang penting. Karena
masyarakat Tengger beranggapan pendidikan sekolah bukanlah hal yang
paling utama. Pendidikan moral yang di ajarkan oleh orang tua kepaada
anak-anaknya sudah cukup sebagai bahan ajar. Para orang tua beranggapan
percuma saja anak mereka di sekolahkan tinggi-tinggi namun moral anak
mereka rusak, lebih baik para orang tua mendidik moral anaknya terlebih
dahuulu. Karena seorang anak yang moralnya baik, walaupun mereka
sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi mereka tetep memiliki moral
yang baik pula.
Beberapa orang tua juga menentang anak mereka untuk disekolahkan
karena melihat realita yang ada, bukannya menjadi semakin baik moral anak
di sekolah tetapi sebaliknya. Karena pendidikan di sekolah itu bercampur
menjadi satu dengan anak dari daerah lain dan akan membentuk karakter
anaknya menjadi pribadi yang lain bukan seperti masyarakat Tengger pada
umumnya.
3. Sarana Transportasi
Dahulu sebelum jalanan di desa mereka di aspal, masyarakat sangat
senang berjalan kaki atau menaiki kuda ketika pergi, bahkan untuk
perjalanan yang jauh dan kontur tanah yang tidak rata. Namun sekarang
akibat jalan di desa mereka sudah di aspal, banyak warga yang enggan untuk
berjalan jauh atau bahkan menaiki gunung, karena mereka tidak tidak
terbiasa dengan permukaan jalan yang keras dan panas. Hal tersebut
membuat masyarakat Suku Tengger menjadi malas untuk berjalan dan kini
mereka lebih mengandalkan alat transportasi berupa kuda, sepeda motor atau
mobil jeep sebagai alat transportasi utamanya, ada pula kendaraan umum
yang melintas antar desa.
4. Alat Komunikasi
Sebelum banyaknya pengaruh dari luar, alat yang digunakan untuk
memberi kabar adalah dengan memanfaatkan perantara individu, lalu
berubah menjadi kentongan untuk memberi tahu hal-hal penting yang ada di

Page | 15

desa atau untuk mengumpulkan warga. Semakin banyak dan intensif
masuknya budaya dari luar ke masyarakat Tengger membuat perubahan yang
signifikan, kini warga di sana untuk berkomunikasi atau memberi informasi
kepada kerabatnya sudah menggunakan teknologi maju berupa HP dan
internet, hal ini membuat mereka ketergantungan dengan alat tersebut dan
mengurangi intensitas bertatap muka dengan kerabat mereka yang akibatnya
berkurangnya keeratan hubungan mereka.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat Tenger ini tergolong dalam perubahan
degenratif, perubahan yang telah merusak keseimbangan dari kehidupan sosial suatu
masyarakat, dan seringkali juga merusak keseimbangan ekologi lingkungan alamnya,
terlihat dalam hal pembangunan pada sarana jalan aspal, mereka tidak
memperhatikan kebutuhan warga setempat. Serta perubahan tanpa kemajuan, karena
warga masyarakat yang dibangun mulai terlibat dalam kegiatan ekonomi pasar, tetapi
sebagai golongan yang dieksploitasi oleh golongan yang ekonominya lebih kuat,
dapat dilihat pada aspek mata pencaharian warga yang dulunya menjadi petani saat
ini beralih menjadi pemandu wisata, menyewakan kuda untuk wisatawan, berjualan
di sekitar lokasi wisata, dll.

Page | 16

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pembangunan tidak salamanya berarti kemajuan bagi semua orang. Oleh karena
itu, “kemajuan” sebaiknya selalu mengacu ke aspek manusiawi dari pembangunan,
dan diukur dengan derajat kesadaran dari kemauan dan kemampuan sebagian besar
warga masyarakat yang bersangkutan untuk hidup lebih nyaman dan sejahtera.
Pembangunan tidak serta merta bertolak ukur dengan apa yang ada di
lingkungan kita sendiri atau yang ada pada lingkungan orang lain yang menurut kita
lebih baik pembangunannya, namun lebih mengacu pada kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan, khususnya pada masyarakat yang masih memgang teguh adat istiadat.
Apabila

pembangunan

tidak

mengacu

pada

aspek

tersebut

maka

dapat

mengakibatkan kegagalan capaian kemajuan itu sehingga menimbulkan sikap anti
pembangunan.

SARAN
1. Setiap program pembangunan, termasuk pula kegiatan perkebunan dan
pertambangan harus dilakukan kajian budaya secara komprehensif khususnya
pada tahap perencanaan. Hal ini sangat dilakukan agar akibat dari
pembangunan itu tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak pula
menimbulkan berbagai keresahan masyarakat yang akhirnya akan memicu
konflik sosial.

Page | 17

2. Pergunakan kebijakan Traditional community development approach
(Pendekatan pembangunan masyarakat yang tradisional), pembangunan yang
memperhatikan sumberdaya lokal, kepemimpinan lokal, serta kemandirian
masyarakatnya sendiri. Dan Facilitative assistance approach (Pendekatan
bantuan) berdasarkan gagasan bahwa para agen perubahan hanya memberi
modal dan teknologi untuk memudahkan pembangunan yang dikembangkan
dengan sumberdaya lokal (dari bawah), kepemimpinan lokal, dan dengan
kemandirian yang besar dari warga.
DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Antariksa. Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger Dalam Pemanfaatan
Ruang Dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan. Universitas Brawijaya, 2011.
https://www.academia.edu/7013793/Kearifan_Lokal_Masyarakat_Suku_Tengger
_Dalam_Pemanfaatan_Ruang_dan_Upaya_Pemeliharaan_Lingkungan_Studi_ka
sus_Desa_Wonokitri_Kecamatan_Tosari_Kabupaten_Pasuruan

(diakses

pada

tanggal 11 Desember 2015, pukul 20.00 WIB)
Tri Bambang. Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Tengger. Universitas Negeri
Semarang, 2014.
https://www.academia.edu/12099543/Karangan_Etnografi_Kebudayaan_Suku_T
engger (diakses pada tanggal 12 Desember 2015, pukul 10.30 WIB)
Prof.Drs.

Widen

Kumpiady,

M.A.,

Ph.D.

Peranan

Kebudayaan

Dalam

Pembangunan: Perspektif Antropologi. Universitas Palangka Raya, 2006.
http://kumpiadywiden.com/2013/01/22/peranan-kebudayaan-dalampembangunan-perspektif-antropologi/ (diakses pada tanggal 12 Desember 2015,
pukul 11.00 WIB)
Koentjaraningrat. Pengantar lmu Antropologi. Jakarta, Rineka Cipta, 2009.

Page | 18