MAKALAH HUKUM PERUNDANG UNDANGAN KATA PE

MAKALAH HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”
muatan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Allah SWT bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini, serta kedua orang tua, keluarga besar
penulis, dan rekan-rekan mahasiswa Universitas Lampung yang
selalu berdoa dan memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat lebih baik
lagi. Akhir kata penulis berharap kerangka acuan makalah ini
dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para pembaca
pada umumnya dan pada penulis pada khusunya

Bandar Lampug,12 Mei 2012 Penyusun


Alif Armandoni

Latar Belakang
Mengingat akan pentingnya arti sebuah pengaturan yang
merupakan dasar dari pembentukan peraturan perundangundangan dalam mengatur hubungan antar Negara dan warga
Negara. peraturan perundang-undangan juga dapat dipahami
sebagai bagian dari social contrct (kontrak social) yang memuat
aturan main dalam berbangsa dan bernegara.serta satu-satunya
peraturan yang di buat untuk memberikan batasan-batasan tertentu
terhadaap jalananya pemerinetahan.sehingga dengan hal itu
merupkan hal yang pentinglah kiranya bagi kita untuk mempeljari
dan memahami semua hal yang berhubungan dengan konstitusi
dan perundang-undangan.oleh kerena itu kami akan mencoba
memeberikan sedikit gambaran tentang konstitusi ini secara umum
dan bagaimana peranannya dalam sebuah Negara.

Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami memberikan suatu gambaran yang jelas
tentang muatan peraturan perundang-undangan dalam suatu

negara yang dijalankan melalui penegakan
hukum dibawahnya,bagaimana keberadaan konstitusi ini dalam
sebuah negara,yang mana dalam prakteknya di indonesia peraturan
perundang-undangan ini pernah mangalami amandemen,tentang
demokrasi di negara hukum dan upaya menumbuhkan kesadaran
penegakan hukum.

Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah agar
pembaca sekalian mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan
konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya yang setiap
negara memilikinya termasuk juga negara kita indonesia.yang mana
dengan memiliki pemahaman tentang konstitusi dan perundangundangan ini kita sebagi generasi penerus bangsa akan mempunyai
arah dan pedoman yang jelas dalam melanjutkan pembangunan ini
di masa yang akan datang yang pada prinsipnya semua agenda
penting kenegaraan, serta– prinsip dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara, telah tercoverdalam konstitusi dan
dilaksanakandalam bentuk perundang-undangan.untuk itu kami
rasa perlu dalam makalah ini mengajak rekan-rekan sekalian untuk
mempelari semua hal yang berhubungan dengan konstitusi ini dan

menumbuhkan kesadaran berkonstitusi kita sebagai warga Negara.

Kajian Teori
Muatan peraturan perundang-undangan, tolok ukurnya hanya dapat
dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu
peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar
materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah
kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci
dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan
adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan
perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu
bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas
jangkauannya.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi
muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal
yang:
1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-U[1]ndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
a. Hak-hak asasi manusia
b. Hak dan kewajiban warga negara

c. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara

d. Wilayah negara dan pembagian daerah
e. Kewarganegaraan dan kependudukan
f. Keuangan Negara

2. Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan
Undang-undang.
Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undangundang sama dengan materi muatan undang-undang (Pasal 9
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004). Pasal 10 menyatakan
bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian
sesuai dengan tingkat hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi yang
melaksanakan Peraturan Pemerintah (Pasal 11). Mengenai
Peraturan Derah dinyatakan dalam Pasal 12 bahwa materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung
asas-asas yang harus ada dalam sebuah peraturan perundangundangan. Asas-asas n suatu peraturan perundang-undangan,
semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu
mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan
peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan
salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas
jangkauannya.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi
muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal
yang:
1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
a. Hak-hak asasi manusia;
tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004. Ayat (1) sebagai berikut, Materi Muatan
Peraturan Perandang-undangan mengandung asas pengayoman,

kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka
tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sedangkan ayat (2),
menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain
sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan”.
Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi
muatan peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
1. Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2. Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3. Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau

status sosial.
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa
dan negara.
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa “Yang dimaksud
dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
1. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas
praduga tak bersalah;
2. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad
baik.
Selain kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut,

pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus
berpedoman, serta bersumber dan berdasar pada Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2
dan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang
dirumuskan sebagai berikut, Pasal 2 berbunyi, “Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara”. Selanjutnya
Pasal 3 ayat (1) berbunyi, “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan”. Kedua pasal tersebut dapat dipahami atau
dimaknai agar setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus sesuai dengan Pancasila sebagai Cita Hukum (rechtsidee) dan

Norma Dasar Negara, sehingga kedua pasal tersebut berkaitan erat
dengan Penjelasan Umum UUD 1945. Dari rumusan Penjelasan UUD
1945 menjadi jelaslah bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasila
merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus merupakan Cita Hukum.

Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara,

yang menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah
Fundamental Negara Indonesia atau menurut Hans Nawiasky
adalah Staatsfundamentalnorm, ialah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu
negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat
hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia terlebih dahulu ada
sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Sedangkan
konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan politik (eine
Gessamtenschiedung uber Art und Form einer polistichen Einheit),
yang disepakati oleh suatu bangsa. Apabila Penjelasan UUD 1945
menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung
Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Cita Hukum (Recthsidee),
maka Pancasila adalah juga berfungsi sebagai suatu pedoman dan
sekaligus tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat,
yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Materi muatan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang
(Perpu) sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Materimuatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk
menjalankanUndang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan

Peraturan Presiden(Perpres) berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undangatau materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah. Materi muatan PeraturanDaerah (Perda) adalah
seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraanotonomi
daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah sertapenjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Daritata urutan (hirarki) dan jenis di
atas, tampak bahwa semakin ke bawah, materimuatan peraturan
masing-masing semakin mengkerucut.Dengan
mengkerucutnyamateri muatan, orang akan lebih mempermudah
menentukan materi muatan yang terbawah karena yang terakhir ini
sebagai hasil residu peraturan di atasnya.

Khusus untuk materi muatanPerda di atas harus dikaitkan dengan
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah yang telah
menentukan pembagian
urusan pemerintahan danpengaturan mengenai hak dan kewajiban
pemerintah daerah,
dan urusan-urusanpemerintah daerah yang lain yang menjadi
kewenangan daerah
untuk mengatur dalamPerdanya. Hal ini untuk lebih mempermudah
penentuan materi
muatan, norma, danpenerapannya..
Sebagaimana digambarkan di atas, untuk mempermudahpenentuan
materi muatan peraturan perundang-undangan, digunakan
penelaahansecara residu, di samping pemahaman mengenai materi
muatan itu sendiri. MateriMuatan peraturan perundang-undangan
adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundangundangansesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan
perundang-undangan.
Di dalam ilmu peraturan perundang-undangan, telahdikenal teori
berjenjang yang menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkatperaturan, semakin meningkat keabstrakannya. Sebaliknya,
semakin rendah tingkatperaturan, semakin meningkat
kekonkritannya. Hipotesis yang dapat digambarkanadalah jika
peraturan yang paling rendah, penormaannya masih bersifat
abstrak,maka peraturan tersebut kemungkinan besar tidak bias
dilaksanakan atauditegakkan secara langsung karena masih
memerlukan peraturan pelaksanaan ataupetunjuk pelaksanaan.
Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presidendan
peraturan daerah, seyogyanya langsung dapat dilaksanakan secara
berjenjang,dengan catatan bahwa materi muatan undang-undang
disesuaikan lagi dengan macamundang-undang itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa macam undang-undangterdiri atas:
1. undang-undang hukum pidana
2. undang-undang hukum perdata
3. undang-undang hukum administrasi
4. undang-undang pengesahan
5. undang-undang penetapan
6. undang-undang arahan atau pedoman.
Materi muatanUndang-Undang Dasar (UUD), sudah barangtentu
lebih abstrak daripada materi muatan Undang-Undang.
Keabstrakan UUD,biasanya ditunjukkan oleh sifat

keuniversalannya atau sifat keumumannya (normayang umum dan
perlu penjabaran oleh peraturan di bawahnya). Kadangkala,
sifattersebut juga mengandung suatu asas atau mempunyai norma
asasi. Asasi atautidak asasinya suatu norma, orang yang menyatakan
itu dalam kesimpulan tesisatau pendapatnya. Hal ini sering pula
berlaku bagi undang-undang karenaundang-undang sering menjadi
kendaraan UUD sehingga muatannya bersinggungan(tumpang
tindih) dengan muatan UUD, terutama dengan macam undangundang yangberisi arahan atau pedoman.
Pada saat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi
Manusia (HAM) diundangkan, orang banyak bertanya mengenai
materi muatanUndang-Undang tersebut apakah materi yang ada di
dalamnya bukan materi muatanUUD (kecuali pengaturan mengenai
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Pasal 9 UndangUndangtentang HAM menentukan bahwa “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankanhidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya”. Kemudian, Pasal 11 menentukan “Setiaporang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melaluiperkawinan yang sah”.
Jika kita akan membandingkan dengan KUHP, maka akantampak
materi muatan pada kedua Undang-Undang tersebut. Pasal 338
KUHPmenentukan bahwa “Barangsiapa menghilangkan nyawa
orang lain, dipidana denganpidana ….”. Orang sudah harus
menduga bahwa Pasal 338 tersebut sebagai cerminanatau wujud
dari ketentuan “Setiap orang berhak untuk hidup” (Pasal 9UndangUndang tentang HAM). Untuk membedakan kedua norma di atas
terkait denganmateri muatan adalah dengan melihat apakah norma
tersebut langsung bisadilaksanakan dan ditegakkan. Jika Bedu
membunuh Amin, maka Bedu dikenakan Pasal338 KUHP, bukan
Pasal 9 Undang-Undang tentang HAM. Sesuai dengan hukum
acarapidana (KUHAP), polisi dapat menangkap Bedu untuk ditahan
dan kemudian diprosesuntuk diajukan ke penuntut umum, lalu
diajukan ke persidangan.
Jika kita setuju dengan cara pemahaman “residu”,dikaitkan dengan
tata urutan peraturan perundang-undangan, maka
seyogyanyaperaturan perundang-undangan di bawah undangundang juga harus lebih mudah ataulangsung dilaksanakan
(diterapkan) dan ditegakkan dibandingkan denganundang-undang
itu sendiri. Pembentuk peraturan perundang-undangan (di
bawahUUD) harus merancang normanya agar substansi peraturan
perundang-undangan dapatlangsung diterapkan dan ditegakkan,

yakni dengan menjauhkan diri untukmerancang normanya kepada
sifat universalitas dan asas-asas yang berlaku umum(nasional).
Perancang peratuarn perundang-undangan harus memikikirkan
bagaimanasuatu peraturan tidak terlalu banyak berisi delegasian
dari peraturanperundang-undangan di atasnya sehingga tidak
terjebak pada materi muatan yanglebih abstrak. Agak aneh jika ada
suatu peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang
berisi asas-asas dan berisi hak dan kewajiban yang
membebanimasyarakat. Aneh juga jika suatu Perda menentukan
bahwa “Setiap orang yangmelakukan penganiayaan terhadap orang
lain yang mengakibatkan luka dipidanadengan pidana.
Pemahaman “residu” tidak hanya terkait dengan pola diatas,
melainkan juga pada tata urutan yang secara formal telah
ditentukan dalamPasal 7 UU P 3, artinya, urutan tersebut
menggambarkan makna deduktif materimuatan peraturan
perundang-undangan. Tata urutan peraturan semakin ke
bawahsemakin konkret dan langsung dapat dilaksanakan karena
kesederhanaan materinya(walaupun kadangkala peraturan di
bawah, yang biasanya lebih teknis, sangatkompleks dan rumit).
Pemahaman residu juga terkait dengan macam norma
danpenerapan hukumnya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU
Proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat
dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan
tingkat perkembangan politik suatu negara. Partisipasi masyarakat
ini akan tergant[2]ung dari kesadaran masyarakat dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk
memberikan kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik
untuk disimak uraian penulis dalam buku ini berkaitan dengan
adanya pemahaman terhadap masing-masing model partisipasi
publik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Model Pertama : Pure Representative Democracy
Dalam model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi
masyarakatnya masih “pure” atau murni. Artinya, rakyat selaku
warga negara dalam suatu negara demokrasi keterlibatannya dalam
pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil yang
dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga

perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja
apa yang akan diproduk oleh legislatur dalam pembentukan UU.
b. Model Kedua : A Basic Model of Public Participation
Dalam model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah
melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan
keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu
yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan.
Meskipun demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan
sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.
c. Model Ketiga : A Realism Model of Public Participation
Dalam model pilihan yang ketiga ini, public participation pelakupelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya
kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya
yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga
melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan. Akan tetapi tidak
semua warga negara melakukan public participation dalam bentuk
membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan. Pelakupelaku public participation telah mengarah pada kelompokkelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang
diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk
memahami “public” dalam konteks yang terbatas.
d. Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa
Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari
berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan perluasan dalam
memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are
organized and strong; those who are organized but weak; and those
who are weak and unorganized. Dengan menerapkan model ini,
pemerintah dapat mengembangkan visi strategis yang dapat
ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama.
Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan
dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai
mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
Latar belakang menjelaskan mengenai perlunya suatu kajian yang
mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah
yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran
ilmiah dalam latar belakang mempunyai arah pada penyusunan

argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis untuk mendukung
apakah penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah perlu dilakukan.
Identifikasi masalah memuat rumusan masalah yang ditemukan dan
diuraikan dalam Akademik. mencakup empat hal yang dimuat, yaitu
:
1. permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi;
2. mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang
berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah
tersebut;
3. apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis serta yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah; dan
4. apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan dan arah pengaturan.
Tujuan perumusan disesuaikan dengan ruang lingkup identifikasi
masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut;
2. merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat;
3. merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis
dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah; dan
4. merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
Landasan Konstitusional

Kekuasaan membentuk UU berada di DPR (Pasal 20 Ayat (1))
§ Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR (Pasal 5 Ayat
(1))
§ RUU dibahas oleh DPR dan Presiden secara bersama (Pasal 20
Ayat (2))
§ Presiden mengesahkan RUU menjadi UU (Pasal 20 Ayat (4))
§ Meskipun tidak disahkan oleh Presiden, suatu RUU tetap syah
menjadi UU (Pasal 20 Ayat (5))
Mekanisme
§

Penyusunan RUU di lingkungan pemerintah diatur dalam
Kepres No. 188/1999 (tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU)
Catatan:Keppres No. 188/1998 (yang mengganti InPres 15/1970
tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU dan RPP) ditetapkan
tanggal 29 Oktober 1998, lahir jauh sebelum terjadi amandemen
UUD 1945, sehingga ada beberapa hal yang harus disesuaikan
dengan perkembangan baru, khususnya yang berkaitan dengan
perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 (kewenangan membentuk UU yang
selama ini ada pada Presiden dialihkan ke DPR), hak-uji Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang ke UUD 1945, serta
pembentukan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai (salah satu)
pembentuk undang-undang. Perubahan di atas mempengaruhi pula
prosedur atau tata cara penyusunan RUU yang dimuat dalam
Keppres No. 188/1998, karena Presiden tidak lagi sebagai “legislator
utama” tetapi sudah menjadi “legislator-serta” (medewetgever).
§

Pembahasan RUU di lingkungan DPR diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPR RI (Keputusan DPR-RI No. 03A/DPRRI/I/2001-2002)
Pembahasan RUU di DPR terdiri atas 2 (dua) tingkat
pembicaraan:
I. Pembicaraan Tingkat I, meliputi:
pemandangan umum fraksi terhadap RUU yang berasal
dari pemerintah atau tanggapan pemerintah terhadap RUU yang
berasal dari DPR
§

1. jawaban pemerintah atas pemandangan umum fraksi, atau
jawaban pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi,
pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia
Khusus atas tanggapan pemerintah; dan
2. pembahasan RUU oleh DPR dan pemerintah dalam rapat
kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
II. Pembicaraan Tingkat II, meliputi:

pengambilan keputusan dalam rapat paripurna, yang didahului
oleh:
1. laporan hasil pembicaraaan tingkat I
2. pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh anggotanya, apabila
dipandang perlu, dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap
fraksi; dan penyampaian sambutan pemerintah

Kesimpulan

Hieraki peraturan perundang-undangan di indonesia menurut
Undang-Undang No 10/2004 tentang pembentukan peraturan
perundang –undangan :

1. UUD 1945
2. Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah.

Daftar Pustaka

ü http://vjkeybot.wordpress.com/2012/04/14/materi-muatanperundang-undangan/
ü http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/peraturan-perundangundangan.html
ü http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=136&Itemid=106
ü http://www.ditjenpp.org/kerja/prosruu.htm
2 Tim Redaksi HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN REPUBLIK INDONESIA (4 Jilid) Ichtiar Baru Van
Hoeve Tanggal terbit 2006
[2] DR. Saifudin, S.H., M.H. Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
FH UII Press Yogyakarta, Juli 2009