BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maloklusi - Prevalensi Maloklusi Berdasarkan Relasi Skeletal pada Kasus Pencabutan dan Non-Pencabutan di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Maloklusi

  Maloklusi merupakan penyimpangan baik dari segi estetis dan/atau fungsional

  10

  dari oklusi ideal. Maloklusi bukan merupakan penyakit, tapi sebuah disabiliti yang berpotensi mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang. Maloklusi memiliki 2

  12 penyebab dasar, yaitu: faktor herediter atau genetik dan faktor lingkungan.

  Klasifikasi maloklusi bergantung pada kelainan yang terjadi baik pada oral maupun

  3

  maksilofasial. Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi pada tahun 1899 (cit. Bhalajhi). Klasifikasi Angle berdasarkan relasi mesio-distal gigi, lengkung gigi

  13

  dan rahang. Angle mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan relasi antero-posterior

  13

  dari gigi rahang atas dan rahang bawah. Menurut Angle gigi molar permanen pertama atas merupakan kunci dari oklusi, dengan mempertimbangkan bahwa gigi tersebut merupakan titik anatomi tetap pada lengkung rahang. Berdasarkan relasi gigi molar permanen pertama bawah dengan molar permanen pertama atas, Angle

  12 mengklasifikasikan maloklusi menjadi 3 Klas.

  Singh membedakan maloklusi menjadi tiga tipe yaitu, malposisi individual gigi,

  3 malrelasi dari lengkung gigi atau segmen dentoalveolar, dan maloklusi skeletal.

  Sementara itu, Bhalajhi membagi maloklusi menjadi maloklusi intra-lengkung, maloklusi inter-lengkung dan maloklusi skeletal. Maloklusi intra-lengkung mencakup variasi dari posisi tiap gigi dan dapat mempengaruhi sekelompok gigi dalam satu lengkung rahang. Maloklusi inter-lengkung terdiri dari malrelasi antar lengkung gigi pada basis tulang skeletal yang berhubungan dengan normal. Sedangkan Maloklusi

  12 skeletal melibatkan tulang basis yang mendasarinya.

  2.1.1 Maloklusi Intra-lengkung

  Gigi dapat memiliki berbagai variasi hubungan abnormal dengan gigi

  

12

  tetangganya, yang disebut malposisi gigi. Malposisi individual gigi yang terjadi antara gigi yang berdekatan pada lengkung rahang yang sama disebut juga maloklusi

  3

  intra-lengkung. Malposisi individual gigi dapat berupa inklinasi abnormal (tipping) dari gigi atau penempatan yang tidak normal. Inklinasi abnormal melibatkan kemiringan mahkota yang abnormal dengan posisi akar yang normal. Penempatan yang

  12 tidak normal, melibatkan lokasi dari mahkota dan akar pada arah yang sama.

  2.1.2 Maloklusi Inter-lengkung

  Maloklusi inter-lengkung ditandai dengan hubungan abnormal antara dua gigi atau sekelompok gigi dari satu lengkung ke lengkung lainnya. Maloklusi ini dapat terjadi pada bidang sagital, vertikal atau transversal. Maloklusi bidang sagital mencakup kondisi dimana rahang atas dan rahang bawah memiliki hubungan abnormal dalam arah sagital. Maloklusi bidang sagital dibagi menjadi maloklusi pre-normal dan

  12

  post-normal. Maloklusi pre-normal menunjukkan posisi rahang bawah yang terletak lebih kedepan atau ke anterior, ketika oklusi sentrik. Sedangkan maloklusi post-normal adalah posisi rahang bawah terletak lebih ke distal atau ke posterior, ketika oklusi

  3 sentrik.

  Maloklusi bidang vertikal dapat dibagi menjadi gigitan dalam (deep bite) dan gigitan terbuka (open bite), bergantung pada posisi tumpang gigit (vertical overlap) antara rahang atas dan rahang bawah dari arah vertikal. Maloklusi bidang transversal mencakup variasi tipe dari gigitan terbalik (crossbite). Gigitan terbalik (crossbite) mengacu pada hubungan abnormal antara rahang atas dan rahang bawah dalam arah

  3,12 transversal.

2.1.2.1 Gigitan Dalam (Deep Bite)

  Lengkung rahang atas yang lebih besar dari lengkung rahang bawah rahang bawah. Hal ini dapat terjadi dari arah horizontal maupun vertikal. Tumpang gigit dari arah horizontal disebut overjet, sedangkan tumpang gigit (overlap) dari arah vertikal disebut overbite. Kondisi dimana rahang atas tumpang gigit (overlap) terhadap rahang bawah yang melampau batas normal dalam arah vertikal disebut gigitan dalam

  12 (deep bite) . Gigitan dalam (deep bite) dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe: Skeletal deep bite : biasanya berasal dari genetik, dan disebabkan oleh rotasi a.

  dari rahang bawah. Skeletal deep bite dapat diperparah oleh inklinasi dari rahang atas.

  b.

  Dental deep bite: dapat terjadi akibat erupsi berlebih dari gigi anterior atau infra-oklusi dari gigi molar.

2.1.2.2 Gigitan Terbuka (Open Bite)

  Gigitan terbuka (open bite) adalah keadaan dimana kurangnya tumpang gigit

  

3,12

  antara rahang atas dengan rahang bawah. Gigitan terbuka dapat terjadi pada daerah anterior maupun posterior. Tingkatannya bervariasi mulai dari hanya melibatkan gigi, sampai dengan melibatkan struktur skeletal. Klasifikasi dan perawatan gigitan terbuka bergantung pada lokasi, etiologi dan tingkatan dari gigitan terbuka. Berdasarkan lokasinya, gigitan terbuka dibagi menjadi gigitan terbuka anterior dan gigitan terbuka

  3 posterior.

  Gigitan terbuka anterior adalah kondisi dimana tidak adanya tumpang gigit antara gigi anterior rahang atas dan rahang bawah dari arah vertikal. Gigitan terbuka anterior dapat diklasifikasikan menjadi gigitan terbuka anterior skeletal dan gigitan terbuka

  12

  anterior dental. Sedangkan gigitan terbuka posterior ditandai dengan kurangnya

  3,12

  kontak antara gigi posterior ketika gigi dalam keadaan oklusi. Gigitan terbuka posterior relatif jarang dan terutama disebabkan oleh kebiasaan menjulutkan lidah

  3

  kearah lateral atau gigi posterior yang ankilosis. Gigitan terbuka posterior juga dapat disebabkan oleh gangguan mekanis ketika proses erupsi, atau terjadi kegagalan proses

  12 erupsi dari gigi sehingga erupsi tidak tercapainya erupsi yang sempurna.

2.1.2.3 Gigitan Terbalik (crossbite)

  Gigitan terbalik (crossbite) adalah keadaan dimana overjet yang berlebihan dari

  12

  satu gigi atau lebih. Graber mendefinisikan gigitan terbalik sebagai kondisi dimana satu atau lebih gigi yang malposisi dalam arah bukal, lingual atau labial terhadap gigi

  3,12

  lawannya (cit.Bhalajhi). Berdasarkan lokasinya gigitan terbalik diklasifikasikan menjadi gigitan terbalik anterior dan gigitan terbalik posterior. Gigitan terbalik anterior merupakan maloklusi yang terjadi akibat posisi gigi anterior rahang atas yang lebih ke

  12

  lingual dibandingkan gigi anterior rahang bawah. Umumnya pada keadaan ini kondisi

  3

  dimana overjet berlebihan dapat terlihat. Gigitan terbalik anterior dapat melibatkan

  12

  satu gigi atau salah satu segmen lengkung gigi. Sementara itu, gigitan terbalik posterior merupakan hubungan bukolingual yang abnormal antara gigi posterior rahang atas dengan rahang bawah. Gigitan terbalik posterior dapat melibatkan satu isi lengkung rahang yang disebut unilateral, atau melibatkan kedua sisi lengkung yang

  3,12 disebut bilateral.

  Selain itu gigitan terbalik dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan lokasi dari faktor etiologinya, yaitu gigitan terbalik dental, skeletal dan fungsional. Gigitan terbalik dental adalah kondisi lokal yang terjadi dimana adanya relasi abnormal antara satu atau

  12

  lebih gigi terhadap gigi dari rahang yang berlawanan. Hal ini dapat terjadi akibat diskrepansi lengkung rahang atau jalur erupsi yang abnormal. Gigitan terbalik skeletal terutama terjadi pada keadaan malposisi atau malformasi dari rahang. Hal ini dapat bersifat herediter, kongenital, atau akibat trauma yang terjadi ketika lahir atau

  3

  setelahnya. Gigitan terbalik skeletal berhubungan dengan diskrepansi dari ukuran rahang atas dan rahang bawah. Hal ini dapat terjadi pada regio anterior maupun

  12

  posterior. Sedangkan Gigitan terbalik fungsional umumnya terjadi akibat adanya gangguan oklusal ketika rahang bergerak ke posisi oklusi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kebiasaan memajukan rahang bawah ke depan, gigi desidui yang

  3 tanggal sebelum waktunya, gigi karies, atau gigi ektopik.

2.1.3 Maloklusi Skeletal

  Maloklusi skeletal disebabkan oleh abnormalitas pada maksila atau mandibula, atau kelainan pada struktur skeletal itu sendiri. Hubungan antara maksila dan mandibula terdapat pada bidang anteroposterior. Mayoritas masalah anteroposterior skeletal disebabkan oleh proporsi wajah yang diwarisi, yang sangat ditentukan secara

  10

  genetik. Penyimpangan yang terjadi dapat berupa ukuran, posisi maupun hubungan

  3

  antar rahang. Maloklusi skeletal juga dapat terjadi dalam 3 arah yaitu sagital, vertikal, dan transversal. Pada arah sagital berupa rahang yang mengalami prognasi ataupun retrognasi. Pada arah vertikal berupa tinggi wajah. Pada arah transversal berupa rahang

  12 sempit ataupun lebar.

  Salzmann (1950, cit. Singh) mengklasifikasikan oklusi berdasarkan struktur

  3,10

  skeletal. Salzmann membagi maloklusi skeletal menjadi 3 Klas (Gambar 1), yaitu: a.

  Klas I: mandibula berada pada 2-3 mm di belakang maksila. Maloklusi skeletal Klas I disebut dengan orthognathic. Maloklusi yang terjadi murni pada gigi, dimana tulang wajah dan rahang berada pada posisi yang harmonis. Salzmann membagi maloklusi skeletal Klas I menjadi beberapa divisi, yaitu: divisi 1, lokal malrelasi dari insisivus, kaninus, dan premolar; divisi 2, protrusi gigi insisivus maksila; divisi 3, insisivus maksila dalam posisi linguoversi, dan; divisi 4, protrusi bimaksila (cit. Singh).

  b.

  Klas II: mandibula pada posisi retruded dalam hubungannya dengan maksila. Maloklusi skeletal Klas II dibagi menjadi 2 divisi, yaitu: divisi 1, dengan ciri khas lengkung gigi maksila sempit dengan gigi berjejal pada regio kaninus, crossbite mungkin terjadi, tinggi vertikal wajah berkurang, gigi anterior maksila protrusi, dan profil retrognasi; divisi 2, dengan ciri khas gigi insisivus maksila inklinasi ke lingual, gigi insisivus lateral normal atau labioversi. c.

  Klas III: mandibula pada posisi protruded dalam hubungannya dengan maksila. Terjadi pertumbuhan berlebihan pada mandibula dengan sudut bidang mandibula yang tumpul. Profil pada maloklusi skeletal Klas III adalah prognasi pada mandibula.

  10 Gambar 1. Klasifikasi maloklusi skeletal.

2.1.4 Gigi Berjejal (Dental Crowding)

  Gigi berjejal merupakan permasalahan ortodonti yang paling umum, dan sebagian besar disebabkan oleh diskrepansi antara ukuran gigi dan ukuran lengkung

  1,10

  gigi. Gigi berjejal merupakan salah satu manifestasi yang umum dari maloklusi Klas I. Umumnya gigi berjejal terjadi sebagai hasil dari disproporsi antara ukuran gigi dengan panjang lengkung. Penurunan yang relatif dari panjang lengkung atau

  12

  peningkatan dari material gigi dapat menyebabkan gigi berjejal. Faktor herediter juga dapat membantu perkembangan gigi berjejal, dimana lebar rahang dipengaruhi oleh ukuran rahang yang berada dibawah kontrol genetik. Pengaruh lingkungan juga dapat menjadi faktor etiologi gigi berjejal, seperti kebiasaan makan makanan lunak yang hanya membutuhkan kekuatan fungsi pengunyahan yang minimal, sehingga memicu pengurangan ukuran rahang. Serta, tanggalnya gigi desidui sebelum waktunya juga

  10

  dapat menciptakan atau memperparah gigi berjejal. Sangat penting untuk mengukur tingkat keparahan dari gigi berjejal seakurat mungkin. Idealnya, lebar mesio-distal gigi dalam lengkung gigi harus diukur dan bandingkan dengan ukuran panjang lengkung.

  Berdasarkan tingkat keparahannya gigi berjejal dapat di bedakan menjadi 3 tingkat

  1

  (Gambar 2), yaitu: a.

  Gigi berjejal ringan (0 - 4 mm) b.

  Gigi berjejal sedang (5 - 8 mm) c.

  Gigi berjejal parah (> 9 mm)

  (A) (B) (C)

  Gambar 2. Tingkat Keparahan Gigi Berjejal (A) Gigi Berjejal Ringan; (B) Gigi Berjejal

  1 Sedang; dan (C) Gigi Berjejal Parah.

2.2 Macam-macam Perawatan Maloklusi

  Dalam mengoreksi mayoritas permasalahan maloklusi, sebagian besar perawatan membutuhkan ruang untuk menggerakkan gigi ke posisi yang ideal. Ruang dibutuhkan untuk menyelaraskan gigi berjejal, meretraksi gigi yang proklinasi, mengoreksi

  12,14

  hubungan molar, meratakan kurva spee, dan lain-lain. Perawatan Maloklusi untuk mendapatkan ruang yang dibutuhkan terbagi menjadi perawatan tanpa pencabutan gigi dan perawatan dengan pencabutan gigi.

2.2.1 Perawatan Tanpa Pencabutan Gigi

2.2.1.1 Pemotongan Proksimal Gigi (Reproximation)

  Pemotongan proksimal gigi adalah metode dimana permukaan proksimal dari gigi dilakukan pemotongan dengan maksud untuk mengurangi lebar mesio-distal gigi tersebut untuk mendapatkan ruang. Pemotongan proksimal gigi biasanya diindikasikan pemotongan proksimal adalah gigi insisivus rahang bawah. Gigi lain yang dapat dilakukan pemotongan proksimal adalah gigi anterior rahang atas dan gigi premolar rahang atas dan bawah. Kontraindikasi untuk pemotongan proksimal adalah pasien dengan resiko karies yang tinggi dan pada pasien anak karena dianggap masih memiliki

  10,12,14 kamar pulpa yang lebar.

  2.2.1.2 Ekspansi Rahang

  Ekspansi rahang adalah salah satu metode menambah ruang non-invasif yang biasanya dilakukan pada pasien dengan rahang atas yang menyempit atau pasien dengan unilateral atau bilateral crossbite. Ekspansi dapat diperoleh efek pada jaringan skeletal ataupun dentoalveolar. Ekspansi skeletal melibatkan pemisahan mid-palatal

  

suture , sedangkan ekspansi dentoalveolar menghasilkan ekspansi pada dental tanpa

10,12,14 perubahan pada skeletal.

  2.2.1.3 Distalisasi dan Menegakkan Gigi Molar

  Prosedur distalisasi gigi molar pada dasarnya memiliki tujuan untuk mendorong gigi molar ke arah posterior/distal. Prosedur ini menambah panjang lengkung rahang sebanyak panjang dari distalisasi yang dicapai. Premature loss gigi molar kedua desidui atau pencabutan gigi premolar kedua dapat menyebabkan molar pertama

  

tipping ke mesial. Gigi molar yang tipping ke mesial dapat mengambil lebih banyak

  ruang dari molar dengan posisi normal, sehingga penegakan molar yang tipping juga

  12,14 dapat memberi ruang yang dibutuhkan.

  2.2.1.4 Derotasi Gigi Posterior dan Protraksi Gigi Anterior

  Gigi posterior yang rotasi dapat mengambil lebih banyak ruang dari gigi posterior dengan posisi normal. Maka derotasi gigi posterior dapat memberi ruang bila posisinya normal. Sedangkan memprotraksi gigi anterior dapat dilakukan pada kasus gigi anterior retroklinasi atau pada kasus dimana protraksi gigi anterior tidak akan mempengaruhi

  12,14 profil jaringan lunak pasien.

2.2.2 Perawatan dengan Pencabutan Gigi

  Dalam menstabilkan fungsi oklusi normal yang seimbang dengan struktur pendukungnya, pada sebagian kasus maloklusi membutuhkan pengurangan satu atau lebih gigi. Pencabutan gigi dalam perawatan ortodonti dilakukan untuk mendapatkan

  1,12

  ruang untuk menggerakkan gigi ke posisi yang ideal. Pencabutan gigi dibutuhkan pada keadaan ketika panjang lengkung rahang yang tidak dapat menampung seluruh gigi geligi oleh karena ukuran gigi yang besar. Pada hubungan sagital yang abnormal seperti pada maloklusi Klas II atau Klas III juga membutuhkan pencabutan gigi untuk mencapai relasi rahang yang normal. Pada maloklusi Klas I dengan hubungan sagital

  12,14

  rahang yang normal, pencabutan gigi sebaiknya dilakukan pada kedua rahang. Pada kebanyakan kasus maloklusi Klas II dengan proklinasi rahang atas yang abnormal disarankan untuk mencabut gigi pada rahang atas saja dan meretraksi gigi insisivus dan kaninus rahang atas. Sedangkan pada perawatan maloklusi Klas III, pencabutan gigi

  14 umumnya dilakukan hanya pada rahang bawah.

  Pencabutan gigi pada perawatan ortodonti juga dibutuhkan untuk meratakan gigi

  14

  berjejal, berdasarkan kondisi gigi, posisi daerah berjejal, dan posisi gigi. Gigi dengan anomali bentuk dan ukuran seperti makrodonsia, gigi hipoplasia yang parah, dilaserasi dan morfologi mahkota yang abnormal perlu dilakukan pencabutan untuk mencapai oklusi yang memuaskan. Kasus malrelasi skeletal rahang yang parah tidak dapat dirawat hanya dengan menggunakan piranti ortodonti saja, sehingga prosedur bedah resektif (surgical respective procedure) bersama dengan pencabutan gigi dibutuhkan

  12 pada kasus tersebut.

  Pemilihan gigi untuk pencabutan pada perawatan ortodonti bergantung pada

  10,12,14

  beberapa kondisi, yaitu: a.

  Arah dan jumlah pertumbuhan rahang b.

  Diskrepansi antara ukuran lengkung gigi dengan lengkung basal c.

  Keadaan kesehatan, posisi dan erupsi gigi d.

  Profil wajah e. Derajat prognasi dentoalveolar f. Umur pasien g.

  Keadaan gigi geligi

  2.2.2.1 Pencabutan Gigi Insisivus Rahang Atas dan Insisivus Rahang Bawah

  Gigi insisivus jarang dilakukan pencabutan untuk perawatan ortodonti. Namun pada beberapa kondisi tertentu pencabutan satu atau lebih gigi insisivus, terutama gigi

  14

  insisivus rahang atas dapat dilakukan, seperti: a.

  Kasus impaksi gigi insisivus rahang atas yang tidak dapat dikembalikan ke posisi normalnya.

  b.

  Ketika salah satu gigi insisivus lateral sudah hilang maka dapat dilakukan pencabutan pada gigi insisivus lateral pada sisi lainnya untuk mempertahankan kesimetrisannya.

  c.

  Kasus gigi insisivus dengan karies yang parah dan tidak dapat dipertahankan.

  d.

  Malformasi gigi insisivus yang tidak dapat di rawat dengan protesa.

  e.

  Kasus dilaserasi insisivus. Pencabutan untuk gigi insisivus rahang bawah sebisa mungkin untuk dihindari karena dianggap dapat menyebabkan kolapsnya rahang bawah. Kasus dimana gigi insisivus rahang bawah memiliki prognosis yang buruk, seperti mengalami trauma, karies dan kehilangan tulang, juga menjadi indikasi pencabutan gigi insisivus rahang

  14 bawah.

  2.2.2.2 Pencabutan Gigi Kaninus

  Pencabutan gigi kaninus sebagai bagian dari perawatan ortodonti jarang dilakukan karena dianggap penting untuk mempertahankan estetis. Pencabutan gigi kaninus dianggap dapat menyebabkan wajah terlihat datar, merubah keseimbangan dan dianggap sulit untuk diselaraskan. Contohnya pada kasus dimana posisi kaninus keluar dari lengkung dan akar gigi kaninus mengalami malposisi yang parah atau ketika gigi

  10,12,14 kaninus mengalami impaksi dengan posisi yang tidak menguntungkan.

  2.2.2.3 Pencabutan Gigi Premolar Pertama

  Gigi premolar pertama merupakan gigi yang paling sering dilakukan pencabutan untuk perawatan ortodonti, terutama untuk terapi gigi berjejal. Hal tersebut dikarenakan lokasi dari gigi premolar pertama yang bila dilakukan pencabutan, dapat memberikan ruang sehingga baik regio anterior maupun posterior dapat dikoreksi sekaligus. Kontak antara gigi kaninus dan gigi premolar kedua juga dianggap baik. Pencabutan gigi premolar pertama akan meninggalkan ruang pada regio posterior yang

  14 memberi penjangkaran yang adekuat untuk merektraksi gigi anterior.

  Pencabutan gigi premolar pertama dilakukan pada kondisi gigi anterior rahang atas atau rahang bawah yang berjejal sedang sampai parah. Untuk mengoreksi gigi anterior yang proklinasi parah pada kasus maloklusi Klas II divisi 1, atau pada kasus Klas I protrusi bidental. Pencabutan gigi premolar pertama dapat dilakukan setelah seluruh premolar, gigi insisivus permanen dan kaninus erupsi untuk dapat dimulainya perawatan ortodonti cekat, karena migrasi gigi ke mesial sangat cepat akibat

  12,14 pencabutan gigi premolar.

  2.2.2.4 Pencabutan Gigi Premolar Kedua 12,14

  Pencabutan gigi premolar kedua diindikasikan untuk beberapa kasus, seperti: a.

  Untuk memperkuat penjangkaran pada regio anterior.

  b.

  Impaksi gigi premolar kedua yang tidak menguntungkan.

  c.

  Pada open bite, pencabutan gigi premolar kedua lebih dipilih ketika disarankan untuk memperdalam gigitan.

  d.

  Gigi premolar kedua yang rusak parah atau memiliki tambalan besar dengan prognosis yang dipertanyakan.

  2.2.2.5 Pencabutan Gigi Molar Pertama

  Pencabutan gigi molar pertama tidak umum dilakukan untuk kepentingan perawatan ortodonti. Pencabutan gigi molar pertama dihindari karena dianggap tidak memberi ruang yang adekuat pada regio anterior, dapat memperdalam gigitan, menyebabkan gigi premolar dan molar kedua miring ke arah lokasi pencabutan dan mempengaruhi pengunyahan. Namun di samping hal-hal tersebut, molar pertama dapat diindikasikan pencabutan pada beberapa kondisi seperti gigi molar dengan kondisi yang rusak parah atau keadaan periodontal di sekitar gigi molar yang membahayakan dengan prognosis yang buruk, dan gigi molar pertama yang impaksi walau kondisi ini

  10,12,14 jarang dijumpai.

  2.2.2.6 Pencabutan Gigi Molar Kedua

  Pencabutan gigi molar kedua walaupun tidak umum dilakukan, tetapi dianjurkan

  14

  dalam beberapa kondisi seperti:

  a. Untuk mencegah impaksi molar ketiga

  b. Mengurangi impaksi gigi premolar kedua

  c. Kasus gigi insisivus rahang bawah berjejal

  d. Memberi jalan untuk distalisasi gigi molar pertama e. Kasus open bite.

2.3 Diagnosis Ortodonti

  Penegakan diagnosis yang tepat merupakan awal dari keberhasilan suatu

  1 15,16 perawatan ortodonti. Diagnosis yang baik dimulai dengan keluhan utama pasien.

  Untuk menegakkan diagnosis ortodonti dibutuhkan kumpulan informasi yang adekuat tentang pasien, data yang lengkap menjelaskan keadaan pasien yang dapat membantu

  12,16

  mengidentifikasi dasar dan penyebab dari masalah pasien. Menurut Graber untuk tujuan diagnosis terdapat dua hal yang dipertimbangkan yaitu data kondisi awal pasien

  17

  dan tambahan informasi diagnostik dengan pemeriksaan klinis (cit. Azar). Data untuk

  2

  klinis dari pasien, dan evaluasi data rekam diagnostik. Data rekam diagnostik mencakup model gigi (dental cast), fotografi intra dan ekstraoral, radiografi panoramik

  17 dan sefalometri.

2.3.1 Radiografi Sefalometri

  Penemuan X-Ray pada tahun 1895 yang dilakukan oleh Rontgen membawa revolusi terhadap kedokteran gigi. Pada tahun 1931

  radiografi sefalometri diperkenalkan secara

  18,19

  bersamaan oleh Hofrath di Jerman dan Broadbent di Amerika Serikat. Radiografi sefalometri adalah metode standar yang digunakan dalam membuat pengukuran

  20

  kranium dan orofacial complex. Sefalometri dapat digunakan untuk diagnosis dan alat evaluasi bagi spesialis pedodonti, prostodonti, bedah mulut, dan dokter gigi umum, namun terutama digunakan untuk kebutuhan perawatan dalam bidang spesialisasi

  3 ortodonti.

  2.3.1.1 Jenis Sefalometri

  

12

Sefalometri di bagi menjadi 2 jenis: a. Sefalometri Lateral: menyajikan gambaran lateral dari tengkorak kepala.

  b.

  Sefalometri Frontal: menyajikan gambaran antero-posterior dari tengkorak kepala.

  2.3.1.2 Kegunaan Sefalometri Sefalometri merupakan salah satu pilar dari seluruh diagnosis ortodonti.

  Sefalometri adalah alat yang penting dalam menegakkan diagnosa, dan merencanakan

  2,3,12 perawatan serta follow up pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti.

  Radiografi sefalometri memungkinkan klinisi untuk mengukur hubungan fasial dan gigi serta menilai lebih akurat sejauh mana penyimpangan keadaan pasien dari

  

20

  morfologi fasial dan gigi yang normal. Tujuan penggunaan sefalometri modern adalah untuk mengevaluasi hubungan fungsional unit skeletal dan dental dari wajah dan untuk menerapkan perawatan dalam membentuk posisi unit tersebut dari arah vertikal maupun horizontal.

19 Secara spesifik, radiografi sefalometri lateral

  menyediakan informasi tentang ukuran skeletal, posisi, proporsi dan simetri dari individu melalui kemungkinan penilaian disharmoni skeletal.

  Membantu dalam mengevaluasi hasil perawatan dengan mengukur perubahan yang terjadi akibat perawatan.

  2) Nasion (N): titik yang paling anterior dari sutura fronto nasalis atau sutura antara tulang frontal dan tulang nasal.

  10,15,21

  Titik-titik pada radiografi sefalometri pada jaringan keras yang biasa digunakan dalam analisis sefalometri (Gambar 3), yaitu:

  Sefalometri merupakan tambahan penting dalam penelitian yang melibatkan regio kranio-dento-fasial.

  f.

  Sefalometri membantu dalam memprediksi pertumbuhan yang terkait dengan perubahan, dan perubahan yang berkaitan dengan perawatan bedah.

  e.

  d.

  17 Secara luas kegunaan sefalometri dibagi menjadi fungsi statis dan dinamis.

  Sefalometri membantu dalam rencana perawatan.

  c.

  Membantu dalam mengklasifikasikan abnormalitas skeletal dan dental, serta dalam memperbaiki tipe wajah.

  b.

  Sefalometri membantu dalam diagnosis ortodonti, dengan memungkinkan mempelajari struktur skeletal, dental dan jaringan lunak dari regio kranio fasial.

  2,3,12 a.

  kegunaan sefalometri, sebagai berikut:

  21 Beberapa

  Fungsi statis yaitu informasi kontur radiografi/anatomi yang didapat dari sefalogram yang dianalisis, meliputi analisis sefalometri dan superimposisi. Fungsi dinamis dimana unsur-unsur representasi sefalometri diubah dan dimanipulasi, mencakup estimasi pertumbuhan dan rencana perawatan ortodonti dan bedah.

2.3.1.3 Titik-titik pada Sefalometri

1) Sella (S): titik pusat geometri dari fossa pituitary.

  3) Orbitale (Or): titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan. 4) Porion (Po): titik paling superior dari meatus acusticus externus. 5) Spina Nasalis Posterior (PNS): Titik paling posterior dari palatum durum. 6)

  Anterior nasal spine (ANS): Ujung anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal. 7)

  Sub-spina (A): titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion , biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila. 8)

  Articulare (Ar): titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basis kranial posterior. 9)

  Supra-mental (B): titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula. 10) Pogonion (Pog): titik paling depan dari tulang dagu. 11) Gnathion (Gn): titik di antara pogonion dan menton. 12) Menton (Me): titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu. 13)

  Gonion (Go): titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari mandibula.

  1 Gambar 3. Titik-titik pada Sefalometri.

2.3.2 Analisis Skeletal Sefalometri

  Analisis sefalometri meliputi evaluasi dan interpretasi lanjutan dari gambaran lateral dan antero-posterior dari tengkorak kepala. Walaupun dalam praktiknya penggunaan sefalometri lateral lebih banyak digunakan dibandingkan sefalometri antero-posterior. Tujuan analisis sefalometri adalah untuk menilai hubungan antero-posterior dan vertikal dari gigi rahang atas dan rahang bawah yang didukung

  1,10 oleh tulang alveolar pada masing-masing basis, serta pada basis kranial.

2.3.2.1 Analisis Steiner

  Cecil. C. Steiner mengembangkan analisis Steiner pada tahun 1953, sebagai gagasan untuk memberikan informasi klinis yang maksimal dengan jumlah pengukuran yang lebih sedikit pada analisis sefalometri. Analisis skeletal dalam analisis Steiner,

  1,3,12,17,22,23

  mencakup: a.

  Sudut SNA: dibentuk dari titik pertemuan antara bidang SN dengan garis yang menghubungkan titik Nasion dengan titik A (Gambar 4A). Sudut SNA menjelaskan posisi relatif antero-posterior maksila dalam hubungannya

  o o

  dengan basis kranial. Nilai rata-ratanya adalah 82 ± 2 . Nilai di atas nilai rata-rata menunjukkan maksila dalam posisi prognasi (Klas II), sebaliknya nilai yang lebih rendah mengisyaratkan maksila dalam posisi retrognasi (Klas III).

  b.

  Sudut SNB: dibentuk dari titik pertemuan antara bidang SN dengan garis yang menghubungkan Nasion dengan titik B (Gambar 4B). Sudut SNB menjelaskan posisi antero-posterior mandibula dalam hubungannya dengan

  o o

  basis kranial. Nilai rata-ratanya adalah 80 ± 2 . Peningkatan sudut SNB mengindikasikan mandibula pada keadaan prognasi (Klas III), sedangkan penurunan sudut SNB menunjukkan mandibula yang retrognasi (Klas II).

  c.

  Sudut ANB: dibentuk dari titik pertemuan antara garis yang menghubungkan Nasion ke titik A dengan garis yang menghubungkan Nasion ke titik B (Gambar 4C). Sudut ANB menunjukkan posisi maksila dan mandibula

  o o

  terhadap satu sama lain, dengan nilai rata-rata 2 ± 2 . Peningkatan sudut ini mengindikasikan kecenderungan relasi skeletal Klas II, sedangkan penurunan sudut ini atau bila sudut bernilai negatif menunjukkan relasi skeletal Klas III.

  

(A) (B) (C)

2.3.2.2 Analisis McNamara

  Pada tahun 1984, McNamara menggunakan bidang Frankfort horizontal sebagai acuan basis kranial dengan garis tegak lurus melalui Nasion sebagai acuan vertikal

  1

  dalam analisisnya. Metode evaluasi sefalometri skeletal (Gambar 5), sebagai berikut: a.

  Maksila terhadap basis kranial:

  1. Jarak antara titik A tegak lurus terhadap Nasion. Pada masa gigi bercampur 0 mm, pada orang dewasa 1 mm.

  b.

  Maksila terhadap mandibula: 2. Garis condylion ke titik A menunjukkan panjang midfacial.

  3. Garis condylion ke gnation menunjukkan panjang mandibular.

  4. Dimensi vertikal dari anterior wajah bagian bawah diukur melalui anterior nasal spine (ANS) ke menton.

  5. Sudut bidang mandibular. Pada masa gigi bercampur 25˚, pada orang dewasa

  22˚.

6. Axis facial Ricketts (90˚).

  c.

  Mandibula terhadap basis kranial: 7. Jarak antara Pogonion tegak lurus terhadap Nasion.

  1 Gambar 5. Analisis McNamara.

2.3.2.3 Analisis Eastman

  Analisis ini merupakan hasil kerja Clifford Ballard yang merupakan pionir penggunaan radiografi sefalometri dalam diagnosis dan rencana perawatan ortodonti. Analisis Eastman masih populer digunakan di Inggris, walaupun penggunaannya ditambahkan dengan pengukuran tambahan lain. Penilaian skeletal pada analisis

  1 Eastman mencakup hubungan antero-posterior rahang (Gambar 6), yaitu: o

1. SNA: 81 (±3)

  o 2.

  SNB: 78 (±3)

  o 3.

  ANB: 3 (±2)

  1 Gambar 6. Analisis Eastman.

2.4 Kerangka Teori Penelitian PREVALENSI MALOKLUSI BERDASARKAN RELASI SKELETAL PADA KASUS PENCABUTAN DAN NON-PENCABUTAN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU Maloklusi Skeletal Analisis McNamara Diagnosis Ortodonti Rekam Diagnostik Analisis Relasi Skeletal Perawatan Maloklusi Perawatan Tanpa Pencabutan Gigi Perawatan dengan Pencabutan Gigi Radiografi Sefalometri Relasi Skeletal pada Kasus Pencabutan dan Non-Pencabutan Anamnesis Pemeriksaan Klinis Radiografi Model Gigi Fotografi klinis Analisis Steiner Analisis Eastman Analisis Sefalometri Lateral

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

  Perawatan piranti ortodonti cekat dengan pencabutan Relasi skeletal Perawatan piranti ortodonti cekat non-pencabutan

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepuasan penghuni - Kriteria Kepuasan Penghuni Hunian Sewa 9Rumah Kost) Mahasiswa di Sekitar Kawasan Universitas Sumatera Utara

0 0 16

Kriteria Kepuasan Penghuni Hunian Sewa 9Rumah Kost) Mahasiswa di Sekitar Kawasan Universitas Sumatera Utara

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Determinan Pemanfaatan Pelayanan Rawat Jalan Di Puskesmas Batang Toru Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN - Determinan Pemanfaatan Pelayanan Rawat Jalan Di Puskesmas Batang Toru Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

0 0 10

ANALISIS KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL EMPRESS ORCHID KARYA ANCHEE MIN BERDASARKAN PSIKOLOGI SASTRA Sheyla Silvia Siregar Fakultas Ilmu Budaya USU shelya.silviagmail.com Abstract - Analisis Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Empress Orchid Karya An

0 1 12

Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 2 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 0 12

B. Data Balita - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja Kader Posyandu 2.1.1. Kader Posyandu - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 2 30

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 0 12