BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja Kader Posyandu 2.1.1. Kader Posyandu - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Kader Posyandu

2.1.1. Kader Posyandu

  Kader adalah seseorang yang karena kecakapannya atau kemampuannya, diangkat dipilih atau ditunjuk untuk mengambil peran dalam kegiatan dan pembinaan Posyandu, dan telah mendapat pelatihan tentang KB dan Kesehatan (Depkes RI, 1993). Sebagian besar kader kesehatan adalah wanita dan anggota PKK yang sudah menikah dan berusia 20-40 tahun dengan pendidikan sekolah dasar (Depkes RI, 1995).

  Syarat-syarat untuk memilih calon kader menurut Depkes RI, (1996) adalah; dapat membaca dan menulis dengan bahasa Indonesia, secara fisik dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai kader, mempunyai penghasilan sendiri dan tinggal tetap di desa yang bersangkutan, aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun pembangunan desanya, dikenal masyarakat dan dapat bekerjasama dengan masyarakat calon kader lainnya dan berwibawa, sanggup membina paling sedikit 10 KK (Kepala Keluarga) untuk meningkatkan keadaan kesehatan lingkungan diutamakan mempunyai keterampilan.

  Menurut Bagus yang dikutip dari pendapat Zulkifli (2003) bahwa pendapat lain mengenai persaratan bagi seorang kader antara lain; berasal dari masyarakat setempat, tinggal di desa tersebut, tidak sering meninggalkan tempat untuk waktu

  13 yang lama, diterima oleh masyarakat setempat, dan masih cukup waktu bekerja untuk masyarakat disamping mencari nafkah lain. Persyaratan-persyaratan yang diutamakan oleh beberapa ahli di atas dapatlah disimpulkan bahwa kriteria pemilihan kader kesehatan antara lain, sanggup bekerja secara sukarela, mendapat kepercayaan dari masyarakat serta mempunyai krebilitas yang baik dimana perilakunya menjadi panutan masyarakat, memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, mempunyai penghasilan tetap, pandai baca tulis, sanggup membina masayrakat sekitarnya. Kader kesehatan mempunyai peran yang besar dalam upanya meningkatkan kemampuan masyarakat menolong dirinya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Selain itu peran kader ikut membina masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan baik di posyandu.

2.1.2. Tujuan Pembentukan Kader

  Pada hakekatnya pelayanan kesehatan dipolakan mengikut sertakan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan dana didalam operasional pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian dilibat- aktifkannya masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada dimasyarakat seoptimal mungkin. Pola pikir yang semacam ini merupakan penjabaran dari karsa pertama yang berbunyi meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan (Zulkifli, 2003).

  Pembentukan kader merupakan salah satu metode pendekatan edukatif, untuk mengaktifkan masyarakat dalam pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan.

  Disamping itu pula diharapkan menjadi pelopor pembaharuan dalam pembangunan bidang kesehatan. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat tersebut, maka dilakukan latihan dalam upaya memberikan keterampilan dan pengetahuan tentang pelayanan kesehatan disesuaikan dengan tugas yang diembannya. Para menggerakkan masyarakat perlu di bentuk wakilnya dalam bidang kesehatan yang nantinya akan membantu program pelayanan guna mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal (Haryuni, dkk,1997). Pola pikir pembentukan kader kesehatan berdasarkan prinsip:

  Pertama, dari segi pengorganisasian, bentuk pengorganisasian yang seperti itu diaplikasikan dalam bentuk kegiatan keterpaduan KB kesehatan yang telah dikenal dengan nama Posyandu. Adapun kegiatan berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat, dapat diterapkan pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pelayanan yang murah dapat dijangkau oleh setiap penduduk.

  Kedua, dari segi kemasyarakatan, perilaku kesehatan tidak terlepas daripada kebudayaan masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat ahli mengemukakan bahwa untuk menimbulkan partisipasi dan harus pula diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat. Sehingga untuk mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan, tidak akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui pendekatan instruktif. Akan tetapi lebih berhasil bila proses pendekatan dengan edukatif yaitu berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan permasalahan dengan memperhitungkan sosial budaya setempat.

  Dengan terbentuk kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan, tetapi juga mitra pembangunan itu sendiri. Selanjutnya dengan adanya kader maka pesan-pesan yang diterima tidak akan terjadi penyimpangan. Sehinga pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna berkat adanya kader, jelaslah bahwa pembentukan kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang kesehatan (Depkes RI, 2000).

  Menurut Santoso Karo-Karo (1979) bahwa, kader yang dinamis teryata mampu melaksanakan beberapa hal yang sederhana, akan tetapi berguna bagi masyarakat sekelompoknya meliputi: pengobatan/ringan sederhana, pemberian obat cacing pengobatanterhadap diare dan pemberian larutan gula garam, obat-obatan sederhan dan lain-lain, penimbangan dan penyuluhan gizi, pemberantasan penyakit menular, pencarian kasus, pelaporan vaksinasi, pemberian distribusi obat/alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya menanamkan NKKBS, peyediaan dan distribusi obat/alat kontasepsi KB penyuluhan dalam upaya menamakan NKKBS. penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkungan, pembuatan jamban keluarga da sarana air sederhana dan penyelenggaraan dana sehat dan pos kesehatan desa dan lain-lain.

2.1.3. Tugas Kader Posyandu

  Mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan untuk itu pula perlu adanya pembatasan tugas yang diemban baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan.

  Adapun yang menjadi tugas kader pada kegiatan Posyandu adalah; Pertama, sebelum hari pelaksanaan Posyandu meliputi kegiatan pencatatan sasaran yaitu pada bayi dan balita, ibu hamil, ibu menyusui dan PUS, pemberitahuan sasaran kegiatan Posyandu pada ibu yang mempunyai bayi dan balita, ibu hamil, ibu menyusui dan PUS.

  Kedua, kegiatan pada hari Posyandu meliputi kegiatan pendaftaran pada pengunjung, penimbangan terhadap bayi dan balita, pencatatan KMS bayi dan balita, penyuluhan pada ibu yang mempunyai bayi dan balita, ibu hamil dan menyusui dan PUS, pemberian alat kontrasepsi, pemberian vitamin. Ketiga, kegiatan sesudah hari Posyandu meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan, mendatangi sasaran yang tidak hadir, mendatangi sasaran yang mempunyai masalah untuk diberikan penyuluhan, menentukan tidak lanjut kasus (rujukan) yang mempunyai masalah setelah diperiksa dan tidak bisa ditangani oleh kader (Depkes,2001).

  Tugas-tugas kader pada hari buka Posyandu disebut juga dengan tugas pelayanan 5 langkah kegiatan meliputi : Kegiatan 1, tugas-tugas kader sebagai berikut : mendaftar bayi / Balita, yaitu menuliskan nama bayi / Balita pada KMS dan secarik kertas yang diselipkan pada KMS dan mendaftar ibu hamil, yaitu menuliskan nama ibu hamil pada Formulir atau Register Ibu Hamil. Kegiatan 2, tugas-tugas kader sebagai berikut : menimbang bayi/balita dan mencatat hasil penimbangan pada secarik kertas yang akan dipindahkan pada KMS. Kegiatan 3, tugas-tugas kader sebagai berikut: mengisi KMS atau memindahkan catatan hasil penimbangan balita dari secarik kertas kedalam KMS anak tersebut. Kegiatan 4, tugas-tugas kader sebagai berikut : menjelaskan data KMS atau keadaan anak berdasarkan data kenaikan berat badan yang digambarkan grafik KMS kepada ibu dari anak yang bersangkutan, memberikan nasehat kepada setiap ibu dengan mengacu pada data KMS anaknya atau dari hasil pengamatan mengenai masalah yang dialami sasaran memberikan rujukan ke Puskesmas apabila diperlukan. Kegiatan 5, merupakan kegiatan pelayanan sektor yang biasanya dilakukan oleh petugas kesehatan, PLKB, dan lain-lain. Pelayanan yang diberikan antara lain : pelayanan Imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana (KB), pengobatan, pemberian tablet tambah darah (tablet besi), vitamin A dan obat-obatan lainnya dan pemeriksaan kehamilan bagi Posyandu yang memiliki sarana yang memadai dan lain-lain sektor yang terkait (Azwar, 2006).

  Menurut Zulkifli (2003), bahwa tugas kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan.

2.1.4. Kegiatan Kader Posyandu

  Kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan.

  Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun kegiatan pokok yang perlu diketahui oleh kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun diluar Posyandu antara lain yaitu: Pertama, kegiatan yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah; melaksanakan pendaftaran, melaksanakan penimbangan bayi dan balita, melaksanakan pencatatan hasil penimbangan, memberikan penyuluhan, memberi dan membantu pelayanan dan merujuk. Kedua, kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar Posyandu KB-kesehatan adalah; bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulangan diare. Ketiga, Mengajak ibu-ibu untuk datang para hari kegiatan Posyandu. Keempat, Kegiatan yang menunjang upanya kesehatan lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang ada yaitu ; pemberantasan penyakit menular, penyehatan rumah, pembersihan sarang nyamuk, pembuangan sampah, penyediaan sarana air bersih, menyediakan sarana jamban keluarga, pembuatan sarana pembuangan air limbah, pemberian pertolongan pertama pada penyakit dan P3K, dana sehat dan kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.

  Selain itu peranan kader diluar posyandu KB-kesehatan; yaitu Pertama, merencanakan kegiatan, antara lain: menyiapkan dan melaksanakan survei mawas diri, membahas hasil survei, menentukan masalah dan kebutuhan kesehatan masyarakat desa, menentukan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan bersama masyarakat, membahas pembagian tugas menurut jadwal kerja. Kedua, melakukan komunikasi, informasi dan motivasi tatap muka (kunjungan), alat peraga dan percontohan. Tiga, menggerakkan masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk gotong royong, memberikan informasi dan mengadakan kesepakatan kegiatan apa yang akan dilaksanakan dan lain-lain. Keempat, memberikan pelayanan yaitu; membagi obat, membantu mengumpulkan bahan pemeriksaan, mengawasi pendatang didesanya dan melapor, memberikan pertolongan pemantauan penyakit, memberikan pertolongan pada kecelakaan dan lainnya, melakukan pencatatan, yaitu; KB atau jumlah PUS, jumlah peserta aktif dsb, KIA :jumlah ibu hamil, vitamin A yang dibagikan, Imunisasi untuk mengetahui jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan jumlah bayi dan balita yang diimunisasikan, gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai KMS, balita yang ditimbang dan yang naik timbangan, diare: jumlah oralit yang dibagikan, penderita yang ditemukan dan upanya kesehatan lainnya.

  Selain itu adanya keluarga binaan yang untuk masing-masing untuk berjumlah 10-20KK atau diserahkan dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan memberikan informasi tentang upanya kesehatan dilaksanakan, melakukan kunjungan rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan, melakukan pertemuan kelompok.

2.1.5. Partisipasi Kader dalam Kegiatan Posyandu

  Menurut Terry (2006) bahwa partisipasi didasarkan atas prinsip psikologis yang menyatakan bahwa orang lebih dimotivasi kearah tujuan-tujuan untuk membantu dan menetapkannya serta adanya perhatian dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Selain itu menurut pendapat Winardi (2006) bahwa partisipasi secara formal dapat didefenisikan sebagai turut sertanya seseorang baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbagsih pada proses pembuatan keputusan, terutama mengenai persoalan-persoalan dimana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan terdapat dan yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawabnya untuk melakukan hal tersebut.

  Menurut Depkes RI (2000) bahwa partisipasi kader adalah keikut sertaan kader dalam suatu kegiatan kelompok, masyarakat atau Pemerintah. Peran kader secara umum yaitu melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan bersama dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat sedangkan peran kader secara khusus terdapat beberapa tahap yang meliputi: Pertama, tahap persiapan, yaitu memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dan bersama-sama masyarakat merencanakan kegiatan pelayanan kesehatan ditingkat desa. Kedua, tahap pelaksanaan, yaitu melaksanakan penyuluhan kesehatan secara terpadu, mengelola kegiatan UKBM 3).Tahap pembinaan, yaitu menyelenggarakan pertemuan bulanan dengan dasawisma untuk membahas perkembangan program dan masalah yang dihadapi keluarga, melakukan kunjungan ke rumah pada keluarga binaannya, membina kemampuan diri melalui pertukaran pengalaman antar kader.

  Partisipasi kader didalam suatu kegiatan posyandu dapat dibagi dalam beberapa tingkat yaitu; Pertama, adanya kesempatan untuk berperan serta kesediaan berpartisipasi juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berpartisipasi dan kader melihat bahwa memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan itu. Kedua, memiliki keterampilan tertentu yang bisa disumbangkan, yaitu kegiatan yang dilaksanakan membuktikan orang-orang dengan memiliki ketrampilan tertentu untuk ikut berpartisipasi. Ketiga, rasa memiliki yaitu suatu kegiatan akan tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikutsertakan. Jika rasa memiliki bisa ditumbuhkan dengan baik, maka partisipasi kader dalam kegiatan di desa akan dapat dilestarikan. Keempat, faktor tokoh masyarakat dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang disegani ikut serta maka mereka akan tertarik juga untuk berpartisipasi. Kelima, faktor petugas, yaitu memiliki sikap yang baik seperti akrab dengan masyarakat, menunjukkan perhatian pada kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh masyarakat untuk berpartisipasi.

  Menurut Penelitian Septiani (2012), bahwa adanya partisipasi kader dalam kegiatan posyandu disebabkan tingkat pengetahuan kader tentang posyandu. Dengan adanya kader-kader yang mempunyai kemampuan memadai dan berpartisipasi aktif dari masyarakat maka hal itu akan sangat mendukung bagi terwujudnya efektivitas dalam program posyandu sehingga mencapai efektivitas yang memuaskan. Masyarakat cukup antusias dalam menyambut dan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan di Posyandu, seperti immunisasi, perbaikan gizi, penimbangan balita, dan sebagainya. Kondisi yang telah dicapai tidak lepas dari kemampuan Kader Posyandu dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

2.1.6. Kinerja Kader Posyandu

  Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggung jawabnya masing- masing. Dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara legal tidak melanggar hokum dan sesuai dengan moral maupun etika (Prawira, 1999). Dengan demikian kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak- pihak tertntu untuk mengetahui sejauh mana tingkat pencapaian suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi.

  Menurut Timple (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, seperti ; kemampuan, ketrampilan, sikap, perilaku, tanggung jawab. misalnya kinerja seseorang baik disebabkan karena kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak berusaha untuk memperbaiki kemampuan. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Jadi kinerja yang optimal didorong oleh kuatnya motivasi seseorang.

  Menurut Salim (1989) faktor yang mempengaruhi penampilan kerja sumber daya manusia yang salah satunya kualitas kekaryaan yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor pribadi seperti kecerdasan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan sikap kerja. Faktor lingkungan dalam organisasi yaitu situasi kerja, kepemimpinan dan tehnologi serta faktor di luar lingkungan organisasi yaitu seperti nilai sosial ekonomi, sosial budaya.

  Hal serupa juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (1992) bahwa penampilan kerja (performance) itu dipengaruhi oleh faktor fisik dan non fisik. dikemukannya yaitu: “ACHIVE” , dengan pengertian : Ability (kemampuan, pembawa), Capacity (kemampuan yang bisa dikembangkan), Help (dukungan/bantuan untuk mewujudkan

  

perfomance ), Incentive (insentif material dan non material), Environment (lingkungan

  tempat kerja karyawan), Validity (pedoman/petunjuk dan uraian kerja), Evaluation (adanya umpan balik hasil kerja).

  Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan kader dengan cara mengikuti kursus, pelatihan dan refreezing secara berkala dari segi pengetahuan, teknis dari beberapa sektor sesuai dengan bidangnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh kader untuk usaha melanjarkan proses pelayanan di posyandu. Proses kelancaran pelayanan posyandu di dukung oleh keaktifan kader. Aktif tidaknya kader posyandu dipengaruhi oleh fasilitas (mengirim kader ke pelatihan kesehatan, pemberian buku panduan, mengikutkan kader dalam memberikan pelayanan mempengaruhi aktif/tidaknya seorang kader posyandu. Penghargaan bagi kader dengan mengikutkan seminar dan pelatihan serta pemberian modul-modul panduan kegiatan pelayanan kesehatan dengan beberapa kegiatan tersebut diharapkan kader merasa mampu dalam memberikan pelayanan dan aktif datang di setiap kegiatan posyandu (Koto dkk, 2007).

  Penurunan kinerja kader disebabkan karena posyandu tidak memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, tidak semua kader mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan (Mastuti, 2003).Untuk itu diperlukan strategi yang berkaitan dengan partisipasi kader antara lain; Pertama, strategi pemberian insentif akan cukup termotivasikan oleh gaji atau upah yang memadai dan oleh rasa puas atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik, karena rata-rata pendapatan masyarakat sangat rendah dan penting memberikan arti kehidupan baginya.

  Perkembangan posyandu secara umum dibedakan 4 tingkat sebagai berikut: 1, Posyandu pratama adalah posyandu yang belum mantap, yang ditandai oleh kegiatan bulanan posyandu belum terlaksana secara rutin serta jumlah kader sangat terbatas yakni kurang dari lima orang. Penyebab tidak terlaksananya kegiatan rutin bulanan posyandu, disamping karena jumlah kader yang terbatas dapat pula karena belum siapnya masyarakat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah memotivasi masyarakat serta menambah jumlah kader. 2, Posyandu madya adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per tahun dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, tetapi cakupan kelima kegiatan utamanya masih rendah yaitu kurang dari 50%. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah meningkatkan cakupan dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai motivator serta lebih menggiatkan kader dalam mengelola kegiatan posyandu. 3, Posyandu purnama adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per tahun dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya masih terbatas yakni kurang dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat antara lain : sosialisasi program dana sehat dan pelatihan dana sehat. 4, Posyandu mandiri adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per tahun, dengan rat-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, seperti telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih dari 50% KK yang bertempat tinggal di wilayah kerja posyandu. Intervensi yang dilakukan bersifat pembinaan program dan nasehat sehingga terjamin kesinambungannya. Selain itu dapat dilakukan intervensi

memperbanyak macam program tambahan sesuai dengan masalah dan kemampuan masing-masing. (Kemenkes RI, 2011) Selain ganjaran-ganjaran financial, perlu juga mencari bentuk penghargaan lain atas usaha dan prestasi untuk memperkuat sikap-sikap dan perilaku yang diberdayakan (Winardi, 2004). Kedua, sarana pendukung merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan, karena merupakan alat yang membuat penting dalam melaksanakan pekerjaan sehingga dapat memudahkan untuk bekerja dan pekerjaan lebih cepat serta meningkatkan efektifitas pekerjaan. Dengan memenuhi segala hal yang mereka perlukan dan keadaaan lingkungan yang memadai untuk menjamin keberhasilan dalam kegiatan (Dwiantara, 2005). Ketiga, pelatihan untuk membentuk seseorang menjadi mandiri tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Pelatihan dilakukan berdasarkan kebutuhan yang akan dicapai berdasarkan identifikasi kebutuhan yang sesungguhnya. Keempat, faktor budaya, sosial, ekonomi dan masalah-masalah praktis mempengaruhi kualitas posyandu dan partisipasi masyarakat.

  Para pimpinan masyarakat ini aktif pula dalam mengajak warga masyarakat untuk mengelola kegiatan Posyandu. Apabila masyarakat melihat bahwa tokoh mereka yang disegani ikut serta dalam kegiatan tersebut, maka masyarakat pun akan tertarik untuk ikut serta.

  Penelitian Subagyo (2010), bahwa kemampuan kader mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan dengan efektivitas program posyandu. Hal ini berarti semakin tinggi atau baiknya kemampuan kader maka efektivitas program posyandu akan semakin tinggi. Secara teoritis hal ini sejalan dengan pendapat Swastho (1996) bahwa mencapai hasil kerja yang memuaskan bergantung kepada kemampuan kerjanya. Kinerja kader-kader posyandu tersebut mampu memotivasi dan mengajak masyarakat, khususnya kaum ibu, untuk giat mengikuti program posyandu sehingga program-program yang diselenggarakan di posyandu dapat terealisir dengan baik sesuai dengan yang diharapkan bersama.

2.1.7. Penilaian Kinerja Kader Posyandu

  Penilaian terhadap kinerja merupakan suatu evaluasi proses terhadap penentuan dari berbagai nilai dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Winardi, 2004). Untuk kinerja kader posyandu, indikator penilaian kinerja kader telah disusun berdasarkan telah kemandirian posyandu (TKP) dalam buku Pedoman ARRIF dikatakan bahwa frekuensi penyelenggaran posyandu ada 12 kali setiap tahun dan sedikitnya dikatakan posyandu cukup baik bila frekuensi 8 kali setiap tahun. Jika kurang dari angka tersebut dianggap posyandu tersebut masih rawan. Demikian juga keberadaan kader di posyandu, bila kader kurang aktif dinyatakan jika tidak hadir untuk bekerja di posyandu kurang dari 8 kali dalam satu tahun.

  Selain kehadiran kader penilaian kinerja kader juga dapat dilihat dari peran dan fungsi kader posyandu yang dijabarkan dalam kegiatan pelaksanaan posyandu seperti melaksanakan pencatatan dan pelaporan, membuat absensi kehadiran, melaksanakan penyuluhan kesehatan, melakukan penimbangan balita, merujuk bila ada masalah kesehatan pada balita dan ibu hamil dan lain sebagainya.

  Menurut penelitian Mukhadiono (2010), kinerja kader yang baik atau kemampuan kader merupakan bagian dari determinan keberhasilan suatu program pembangunan, khususnya pembangunan bidang kesehatan melalui program posyandu. Selain itu, dibutuhkan pula partisipasi aktif masyarakat sehingga kegiatan Posyandu dapat berjalan lancar dan mampu mencapai efektivitas yang tinggi.

2.2. Karakteristik Ibu 1.

  Umur Umur merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam pelaksanaan posyandu. Ibu yang berumur tua mempunyai peluang lebih besar untuk melaksanakan posyandu jika dibandingkan dengan yang muda. Umur yang semakin meningkat lebih menjadi alasan utama responden untuk ikut membawa anaknya untuk melaksanakan posyandu..

2. Pendidikan Pendidikan memegang peranan penting menambah ilmu pengetahuan.

  Pendidikan miliki peranan penting dalam menentukan kualitas manusia, dengan pendidikan dianggap akan memperoleh pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka hidup manusia semakin berkualitas. (Hurlock 1997). Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh menerima informasi, sehingga kemampuan ibu dalam berpikir lebih rasional. Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi akan lebih berpikir rasional tentang pelaksanaan posyandu.

3. Pengetahuan

  Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2003).

  Kurangnya pengetahuan pada ibu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan posyandu. Beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari ibu kurang maka pelaksanaan posyandu juga menurun.

2.3. Partisipasi

2.3.1. Pengertian

  Partisipasi adalah keterlibatan diri yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan diri, berarti keterlibatan pikiran dan perasaan”. Upaya peningkatan partisipasi ibu dalam membina pertumbuhan dan perkembangan anak balita dilakukan antara lain melalui kegiatan posyandu. Di samping itu, kegiatan posyandu terus ditingkatkan melalui kegiatan imunisasi bagi ibu hamil, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), dan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi bagi anak balita dan pentingnya air susu ibu (ASI) bagi pertumbuhan dan perkembangan anak balita.

  Upaya peningkatan peran serta ibu balita dalam masyarakat dilakukan melalui berbagai aktivitas wanita untuk mendukung pembangunan di daerahnya.

  Kegiatan tersebut dilaksanakan antara lain melalui wadah PKK, KB, dan posyandu. Melalui gerakan PKK, wanita berperan aktif dalam membina kesejahteraan keluarganya, sedangkan dalam kegiatan posyandu, wanita terlibat secara aktif dalam pemberian pelayanan kesehatan, imunisasi, dan perbaikan gizi keluarga. Di bidang keluarga berencana (KB), peran wanita adalah sebagai peserta dan motivator KB.

2.3.2. Tingkat Partisipasi

  Setiap pemimpin yang berusaha menerapkan peran serta atau partisipasi akan mengalami, bahwa tentang kegiatan ini terdapat berbagai tingkatan, demikian pula bahwa jenjangnya itu bisa bergerak dari nol sampai dengan yang tidak terbatas. Dalam kaitan itu, maka partisipasi yang paling rendahlah yang tentunya paling mudah dicapai.

  Untuk menumbuhkan kegiatan partisipasi masyarakat diperlukan suatu keterampilan dan pengetahuan agar dapat mencapai berbagai tingkatannya, dan untuk itu selalu dapat ditemukan titik tolaknya untuk mengawalinya.

  Dengan memperhatikan perbedaan tingkatan yang ada, R.A.Santoso Sastropoetro (1988) mengemukakan pada dasarnya ada tiga tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu:

  1. Tingkat saling mengerti Tujuannya adalah untuk membantu para anggota kelompok agar memahami masing-masing fungsi dan sikap, sehingga dapat mengembangkan kerja sama yang lebih baik. Dengan demikian secara pribadi mereka akan menjadi lebih banyak terlibat, bersikap kreatif dan juga menjadi lebih bertanggung jawab.

  2. Tingkat penasihatan/sugesti yang dibangun atas dasar saling mengerti Para anggota kelompok pada hakikatnya sudah cenderung siap untuk memberikan suatu usul/saran kalau telah memahami masalah dan ataupun situasi yang dihadapkan kepada mereka. Dalam partisipasi bentuk penasihatan, seseorang dapat membantu untuk mengambil keputusan dan memberikan saran- saran yang bersifat kreatif, namun ia sendiri tidak dapat menentukan suatu keputusan. Oleh karena demikian, si pemimpinlah yang menentukan para pesertanya. Banyaklah keputusan teknis yang dilakukan sedemikian atas dasar kompetensi teknik, dalam mana si pemimpin mengesahkan keputusan-keputusan tersebut. Cara demikian nampak meningkatkan inisiatif, kreativitas, disiplin, dan semangat, selain mengurangi sesuatu sifat yang ketat dan kaku maupun mengurangi pengarahan atau petunjuk dari atasan.

3. Tingkat otoritas

  Otoritas pada dasarnya memberikan kepada kelompok suatu wewenang untuk memantapkan keputusannya. Kewenangan sedemikian dapat bersifat resmi kalau kelompok hanya memberikan kepada pimpinan konsep keputusan yang kemudian dapat diresmikan menjadi keputusan oleh si pemimpin.

2.4. Penilaian Status Gizi Balita

  Status gizi diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih (Almatsier, 2002). Kehandalan balita dari dimensi pertumbuhan dapat ditunjukkan diantaranya adalah status gizi dan kesehatannya. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).

  Status gizi yaitu keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Himawan, 2006). Untuk mengetahui status gizi balita dapat dilakukan dengan penilaian status gizi secara langsung dan penilaian tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung adalah dengan pemeriksaan secara antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah dengan pemeriksaan survey makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Waryana, 2010).

  Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh. Pengukuran antropometri bertujuan mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur (BB dan TB/U) berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), lingkar lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB) (Sibagariang, 2010).

  Dari beberapa cara pengukuran status gizi, pengukuran antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan yaitu alat mudah diperoleh, pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil pengukuran mudah disimpulkan, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu. Penilaian berdasarkan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) adalah untuk mengetahui status gizi orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih yaitu dengan pengukuran berat dan tinggi badan (Arisman, 2007).

  Penilaian status gizi menurut WHO (2005) adalah : 1. Antropometri a.

  BB/U (Berat Badan menurut Umur) Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat di bawah ini.

1. Gizi Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < +1 2.

  Gizi Kurang : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z &lt; -2,0 3. Gizi Sangat Kurang : jika nilai Z-Skor &lt; -3,0

  b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur) Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini.

1. Tinggi : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2.

  Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0 3. Pendek : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z &lt; -2,0 4. Sangat pendek : jika nilai Z-Skor &lt; -3,0 SD

  c. BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan) Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/TB dapat dilihat di bawah ini.

  Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku &gt; 3,0 SD Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 &lt; Z

  ≤ 3,0 Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0

  ≤ Z &lt; 2,0 Normal : jika skor simpangan baku -2,0

  ≤ Z &lt; 1,0 Kurus : jika skor simpangan baku -3,0

  ≤ Z &lt; -2,0 Sangat Kurus : jika nilai Z-Skor &lt; -3,0 SD

  2. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Depkes RI, 2005).

  3. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

  Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Depkes RI, 2005).

  4. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Depkes RI, 2005).

  Menurut Gibson (2005) bahwa penilaian status gizi dibagi atas lima metode, dimulai dengan penilaian pola makan (dietary methods), pemeriksaan laboratorium (laboratory methods), pemeriksaan antropometri (anthropometric methods), pemeriksaan klinis (clinical methods) dan penilaian faktor-faktor ekologi (ecological

  

factors ). Status gizi pada balita dan anak dapat diukur dengan menggunakan indeks

antropometri. Antropometri adalah pengukuran dari dimensi fisik tubuh manusia.

  Antropometri adalah teknik yang sangat berguna untuk mengestimasi komposisi tubuh sehingga membutuhkan ketelitian dalam pengukuran serta keahlian dan alat- alat yang sudah distandarisasi (Mitchell, 2003).

2.5. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

  Pada saat ini masalah gizi utama di Indonesia masih adalah kurang Energi Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan Kurang Vitamin A (KVA) dan juga Gizi Lebih. Analisis masalah gizi kurang yang dilakukan oleh Atmarita dan Falah (2004) pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 37,5% menurun menjadi 27,5% pada tahun 2003, ini berarti terjadi penurunan gizi kurang sebesar 10%. Sementara itu terjadi penurunan gizi buruk sampai tahun 2003 yaitu 8,3%. Pada tahun 2005 ini dilaporkan terjadi peningkatan kasus gizi buruk atau yang lebih dikenal dengan busung lapar.

  Menurut Rimbawan dan Baliwati (2004), KEP terjadi akibat konsumsi pangan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi (Soekirman, 1999).

  Penyebab masalah gizi kurang dapat dibagi dua bagian yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi, dan diantara keduanya saling berhubungan. Pada balita yang konsumsi makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya lemah. Pada keadaan tersebut mudah terserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi (Azwar, 2004). Sedangkan penyebab tidak langsung berupa ketersediaan makanan, pola asuh serta sanitasi dan pelayanan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan dan keterampilan.

  Hasil penelitian Melisa Sevtiyana (2010), menunjukkan bahwa dari faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi balita usia 1-5 tahun di Kelurahan Bina Harapan Wilayah Cakupan UPT Puskesmas Arcamanik Bandung adalah pengetahuan ibu, pola makan, pengasuhan, pemberian ASI eksklusif, dan lamanya pemberian ASI, terdapat dua faktor yang mempengaruhi status gizi balita dengan p value &lt; 0,5.

  Penelitian lain menurut Patodo, Shally (2012) bahwa hasil analisis bivariat terdapat korelasi yang signifikan (p=0,026) antara pengetahuan ibu dan status gizi, terdapat korelasi yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi (p=0,024) dan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan kunjungan posyandu dengan status gizi dan analisis multivariat didapatkan pendapatan keluarga adalah faktor yang paling berhubungan dengan status gizi balita (OR=2,713).

2.6. Landasan Teori

  Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan antara pengeluaran energi lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan energi dan begitu juga sebaliknya akan terjadi kelebihan, jika berlangsung lama akan timbul masalah gizi (Waspadji, 2010).

  Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2001).

  Menurut UNICEF (1998) gizi kurang disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah seperti dibawah ini : Dampak

  Kurang Gizi

  Penyebab Langsung

  Makan tidak Infeksi Seimbang Tidak Cukup Pola Asuh Sanitasi dan Air

  Penyebab

  Persediaan Balita tidak Bersih/Pelayanan Pangan Memadai

  tidak Langsung

  Kesehatan Dasar tidak Memadai

  Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan Pokok Masalah Kurang Pemberdayaan Wanita dan

  Keluarga, Kurang Pemanfaatan

  di Masyarakat

  Sumberdaya Masyarakat

  Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan dan Kemiskinan Akar Masalah (Nasional) Krisi Ekonomi, Politik

  dan Sosial

Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi Menurut UNICEF 1998

  Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa akar permasalahan gizi adalah krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia, rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun faktor tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh balita yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses kepelayanan kesehatan dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadi penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan gizi kurang.

  Selain itu tidak kalah pentingnya status gizi balita dipengaruhi oleh kurangnya pemantauan status gizi balita melalui kegiatan posyandu, dalam hal ini adalah kurangnya kinerja posyandu dalam memantau status gizi balita.

  Menurut Timple (1992) bahwa kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target, sasaran/kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

  Kinerja merupakan suatu konstruksi multidimensi yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor instrinsik individu atau SDM (Sumber Daya Manusia) dan ekstrinsik yaitu kepemimpinan, sistem, tim dan situasional.

  Menurut Timple terdapat dua kategori dasar atribusi yang bersifat internal atau disposisional dan yang bersifat eksternal atau situasional yang dapat mempengaruhi kinerja. Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kinerja seseorang baik disebabkan karena kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras., sedangkan faktor eksternal (situasional) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang.

  Jenis-jenis atribusi yang dibuat para karyawan memiliki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan kepada tindakan.

2.7. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen

  s Kinerja Kader Posyandu Karakteristik Ibu Balita : s

  1. Umur Status Gizi

  2. Pendidikan

  3. Pengetahuan Partisipasi Ibu Balita

  

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu. - Pengaruh Komitmen Organisasional, Penjualan Adaptif , Orientasi Smart-Working Dan Kepuasan Hubungan Kerja Terhadap Kreativitas Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Kinerja Bisnis IBO Dalam Multi Le

0 1 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang - Pengaruh Komitmen Organisasional, Penjualan Adaptif , Orientasi Smart-Working Dan Kepuasan Hubungan Kerja Terhadap Kreativitas Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Kinerja Bisnis IBO Dalam Multi Level Marketing PT O

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepuasan penghuni - Kriteria Kepuasan Penghuni Hunian Sewa 9Rumah Kost) Mahasiswa di Sekitar Kawasan Universitas Sumatera Utara

0 0 16

Kriteria Kepuasan Penghuni Hunian Sewa 9Rumah Kost) Mahasiswa di Sekitar Kawasan Universitas Sumatera Utara

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Determinan Pemanfaatan Pelayanan Rawat Jalan Di Puskesmas Batang Toru Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN - Determinan Pemanfaatan Pelayanan Rawat Jalan Di Puskesmas Batang Toru Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015

0 0 10

ANALISIS KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL EMPRESS ORCHID KARYA ANCHEE MIN BERDASARKAN PSIKOLOGI SASTRA Sheyla Silvia Siregar Fakultas Ilmu Budaya USU shelya.silviagmail.com Abstract - Analisis Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Empress Orchid Karya An

0 1 12

Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 2 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 0 12

B. Data Balita - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 0 24