BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini mengkaji tentang pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat dalam pengembangan ekowisata Kampoeng Nipah di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian
didasarkan pada ketertarikan peneliti terhadap perkembangan ecotourism dewasa ini serta keprihatinan akan kerusakan ekosistem mangrove akibat aktivitas manusia.
Mangrove merupakan jenis tanaman yang tumbuh di pesisir pantai. Hampir sepanjang pantai di nusantara ditumbuhi oleh tanaman mangrove. Mangrove memiliki fungsi penting dalam ekosistem pesisir, keberadaan mangrove mampu menahan abrasi pada bibir pantai. Mangrove juga menjadi tempat yang baik untuk berkembang biak bagi beberapa spesies ikan yang akan menghasilkan telur. Selain itu mangrove juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk dimanfaatkan. Salah satu fungsi utama hutan bakau atau mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi
1 Terjemahan yang seharusnya dari ecotourism adalah wisata ekologis. Didalam tulisan ini
digunakan istilah ekowisata yang banyak dipakai sebagai istilah umum (berdasarkan konsep yang dampak tsunami adalah dengan memasang Green Belt atau sabuk hijau hutan
mangrove atau hutan bakau .
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi meliputi penahan abrasi, amukan angin topan dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut dan sebagai penyedia
nutrient bagi biota perairan. Sementara itu, fungsi ekonomi antara lain sebagai
penyedia kayu, daun-daunan sebagai penyedia obat-obatan, bahan bangunan, alat
penangkap ikan dan pupuk pertanian .
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang tumbuh karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1992 dalam Suryono, 2013)
Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia memberikan dampak negatif terhadap ekosistem mangrove. Hutan mangrove banyak digunduli untuk kepentingan sesaat. Ada yang menjadikan tambak, perkebunan kelapa sawit dan lain sebagainya. Akibat pemanfaatan mangrove yang menyalahi aturan kini kondisi mangrove terancam. Hampir sebagian mangrove di Indonesia mengalami 2 kerusakan yang cukup parah. 3 Hutan Baka(diakses 10 April 2014)
Intrusi air laut adalah masuknya atau menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan
mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya. (Erinutami.blogspot.com/2012/intrusi-air-
4 laut.html?m=1)Menurut penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara (Sumut) menyebutkan, 90 persen mangrove di Sumatera Utara mengalami kerusakan cukup parah. Penyebabnya antara lain, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit dan tambak ikan. Alih fungsi menjadi perkebunan sawit mencapai 12 ribu hektar lebih, sementara tambak ikan 10 ribu hektar lebih.
Kerusakan cukup besar terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten
Batubara, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga dan Nias .
Keberadaan ekosistem mangrove berhubungan erat dengan manusia. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kawasan hutan mangrove beralih fungsi menjadi lahan yang lebih bernilai ekonomis. Praktik tersebut diatas perlahan-lahan mengancam keberadaan mangrove karena cenderung mengabaikan fungsi utama mangrove.
Rusaknya ekosistem mangrove berdampak langsung pada kehidupan masyarakat pesisir. Seperti misalnya kerusakan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89 persen dimana kelompok yang paling terkena dampaknya adalah nelayan. Selain itu, sekitar 85,4 persen masyarakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan
mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove . Sementara itu di Sei Nagalawan awalnya hutan mangrove juga pernah mengalami kerusakan 5 yang tidak jauh berbeda dengan Secanggang. Mereka bahkan merasakan
Penelitian Hutan Mangrove Sumatera Utara Rusak Parah 6 diakses pada tanggal 10 April 2014
Ahmad Suryono, Sukses Usaha Pembibitan Mangrove Sang Penyelamat Pulau. (Pustaka Baru dampaknya secara langsung bilamana terjadi angin kencang yang langsung bergerak ke rumah penduduk. Hasil tangkapan juga menurun dan mereka harus melaut lebih jauh menuju ke tengah laut akibat rusaknya mangrove. Mereka bahkan tidak dapat lagi menemukan kepiting bakau yang hidup dan berkembang
Salah satu cara agar pesisir tetap produktif tanpa merusak kestabilan ekosistem mangrove adalah dengan mengembangkan kawasan hutan mangrove menjadi kawasan ekowisata. Pengembangan ekowisata tentu akan saling menguntungkan dimana mangrove tetap lestari dan masyarakat pesisir tetap mendapatkan keuntungan dengan tidak merusak ekosistem mangrove. Pengembangan ekowisata mangrove dengan melibatkan masyarakat setempat merupakan program sustainability development dimana masyarakat dapat terus merasakan manfaatnya selama mangrove dikelola dengan manajemen yang baik.
Daerah tujuan wisata setidaknya harus memenuhi tiga syarat utama untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial, yaitu:
1. Daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut sebagai something
to see, artinya ditempat tersebut harus ada objek wisata yang berbeda dengan yang dimiliki daerah lain.
2. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut something to do, artinya di tempat tersebut banyak yang bisa dilihat dan dilakukan,
7 Wawancara langsung dengan salah satu penduduk setempat yang juga mengelola ekowisata
harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang membuat mereka tinggal lebih lama.
3. Di daerah tersebut harus ada apa yang disebut dengan istilah something
to buy , artinya di daerah tersebut harus ada fasilitas untuk berbelanja
terutama barang-barang kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh .
Ketiga hal tersebut setidaknya telah ada di ekowisata mangrove Sei Nagalawan. Pengelolaan ekowisata mangrove disini memiliki apa yang disebut sebagai something to see yang tidak dimiliki daerah lain meliputi pemandangan muara sungai, pesisir, ekosistem mangrove, aktivitas nelayan serta penduduk setempat. Secara budaya, Sei Nagalawan juga memiliki keistimewaan tersendiri karena mayoritas penduduk setempat merupakan suku bangsa Banjar yang hidup secara dominan. Something to do disini meliputi berbagai kegiatan aktivitas misalnya, tracking mengelilingi mangrove baik dengan berjalan, menyewa perahu, menanam mangrove, memancing dan lain sebagainya. Sementara berkaitan dengan something to buy, pengunjung atau wisatawan dapat membeli produk hasil laut maupun produk olahan hasil mangrove. Produk tersebut meliputi menu makanan seafood (hasil laut), kerupuk olahan berbahan dasar ikan tongkol, kerupuk mangrove, teh mangrove, dodol maupun sirup yang diolah dari mangrove. Ketiga hal tersebut sudah dijalankan oleh masyarakat setempat sebagai pengelola yang telah memiliki kesadaran dalam pariwisata.
8 Murniarti, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata” (Skripsi FISIP-UNS,
Pengembangan mangrove untuk tujuan wisata berbasis wisata telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah desa wisata mangrove di Desa Sei Nagalawan, Serdang Bedagai. Pengelolaan desa wisata mangrove melibatkan masyarakat setempat sebagai pengelola. Mangrove yang dikelola masyarakat merupakan mangrove yang mereka tanam sendiri secara swadaya. Awalnya, kondisi ekosistem mangrove di Desa Sei Nagalawan telah mencapai tahap kritis, namun berkat kesadaran mereka akan pentingnya melestarikan lingkungan, lahan tersebut ditanami kembali dan kini mereka merasakan manfaatnya. Mangrove telah menjadi salah satu sumber pendapatan mereka.
Berkaitan dengan desa wisata, hal ini merupakan salah satu target pengembangan pariwisata. Desa dinilai masih alami dan memiliki daya tarik tersendiri bila dibandingkan dengan daerah perkotaan yang lumayan padat penduduknya dan sangat kompleks. Para wisatawan lebih senang berkunjung di tempat yang bebas dari kebisingan dan aktivitas yang mereka lakukan seharian. Desa wisata diartikan sebagai tempat atau daerah yang memiliki produk, pelaku, akses dan potensi sehingga menjadikan daerah tersebut sebagai tempat tujuan
wisata .
1.2 Tinjauan Pustaka
Manusia memiliki budaya yang tidak lepas dari lingkungan biotik dan abiotik, sehingga untuk tujuan kelestarian alam dan kelestarian, manusia harus menjaga keseimbangan antara ketiga unsur tersebut yaitu budaya, lingkungan 9 biotik dan abiotik. Hal ini menunjukan bahwa semua aktivitas budaya manusia tidak boleh menyebabkan rusaknya dan terganggunya lingkungan biotik dan abiotik sebagai sumber daya untuk memenuhi semua aktivitas hidup manusia
yang tak terbatas .
Rusaknya ekosistem mangrove tentu akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Kerusakan ekosistem mangrove menyebabkan abrasi yang berkelanjutan karena tidak ada yang menahan laju ombak yang menghempas bibir pantai. Rusaknya mangrove juga menyebabkan turunnya populasi biota karena tidak ada media untuk biota laut berkembang biak.
Hutan-hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan subtropika. Luas hutan mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar dan merupakan mangrove yang terluas di dunia. Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputaran Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar yakni pantai Timur Sumatera dan pantai Barat serta
11 Selatan Kalimantan .
Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Mangrove di Indonesia 10 mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang 11 Rudi Hilmanto, Etnoekologi. (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2010) Hal. 20
terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987 dalam Suryono, 2013) Antropologi dan pariwisata (sebagai sebuah pengetahuan lapangan) memiliki hubungan yang jelas. Keduanya berusaha mengidentifikasi dan membuat kepemilikan budaya dan dinamika manusia karena budaya merupakan
setting global dari aktivitas banyaknya budaya, dibutuhkan pemahaman
mendalam sebagai konsekuensi dari interaksi antara menghasilkan dan menerima masyarakat pariwisata (Burns dan Holden, 1995) Nash, 1981 dalam Stonza, 2005 mendefenisikan bahwa pariwisata dihasilkan dari pertemuan dua atau lebih budaya dan sub-budaya…proses ini melibatkan turis, perjalanan mereka dan pertemuan berikutnya dengan orang- orang yang disebut sebagai host. Pertemuan menyiratkan transaksi antara turis, agen, dan host dipengaruhi orang dan budaya yang terlibat.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kerusakan mangrove adalah dengan mengembangkan kawasan wisata berbasis ekosistem (ekowisata).
Ekowisata merupakan bentuk alternatif dalam pariwisata. Ekowisata (ecotourism) memiliki arti yang sama dengan community based tourism, cultural tourism maupun alternative tourism.
Menurut Hector Ceballos-Lascurain “ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari
masa lampau maupun masa kini .
Ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun pada hakekatnya, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat
setempat .
Defenisi ekowisata pertama sekali diperkenalkan oleh organisasi The
Ecotourism Society (1990) sebagai berikut:
“ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk”
Menurut Australian Departement of Tourist (Black, 1999 dalam Fandeli, 2000) yang mendefenisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Defenisi ini memberikan penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk
12 13 Pengertian Ekowisatdiakses 11 April 2014)
pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative
tourism atau special interest tourism dengan objek dan daya tarik wisata alam .
Kegiatan ekowisata di Indonesia mulai dirasakan pada pertengahan tahun 1980-an, dimulai dan dilaksanakan oleh orang atau biro wisata asing, salah satu
yang terkenal adalah Mountain Travel Sobek , sebuah biro wisata petualangan tertua dan terbesar. Beberapa objek wisata terkenal yang dijual oleh Sobek antara lain adalah pendakian gunung api aktif tertinggi di khatulistiwa-Gunung Kerinci (3884 meter), pendakian danau vulkanik tertinggi kedua di dunia, danau Gunung
Tujuh dan kunjungan ke danau vulkanik terbesar di dunia, Danau Toba.
Berbeda dengan pariwisata massal yang menitikberatkan pada kuantitas pengunjung, ekowisata bersandar pada empat hal yaitu komunitas, pendidikan, budaya dan lingkungan.
1. Komunitas setempat harus terlibat sejak penyusunan hingga evaluasi wisata
2. Wisata itu harus menjadi media belajar bagi turis maupun pengelolanya
3. Budaya setempat harus diberi tempat agar tetap bertahan ditengah
14 derasnya budaya lain, serta
Alternatif Tourism atau Special Interest Tourism merupakan pola wisata yang menjamin tetap
terpeliharanya keberadaan dan kelestarian objek dan daya tarik wisata alam pada khususnya dan
kawasan hutan pada umumnya 15 16 Ibid
Mountain Travel Sobek didirikan Januari 1969 dan telah berdiri lebih dari 40 tahun serta
melakukan 200 pertualangan di dunia dan masih aktif hingga saat ini. Berlokasi di United States
Th1266 66 , Emeryville, CA 96408 (diakses 4 Juni
17 2014)4. Kegiatan wisata tersebut harus memperhatikan kelestarian
lingkungan .
Keempat hal tersebut diatas setidaknya terus diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata Sei Nagalawan dimana komunitas masyarakat setempat terlibat dalam pengelolaan secara aktif mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi. Ekowisata juga dijadikan sebagai media belajar karenaa sifatnya yang konservasionis. Selain itu, masyarakat setempat tetap hidup dengan budaya mereka serta memperhatikan aspek lingkungan dalam mengembangkan ekowisata.
Ekowisata juga didukung oleh empat aspek utama, yakni: 1.
Adanya kelestarian lingkungan alam dan budaya 2. Keberadaan dan dukungan masyarakat 3. Pendidikan dan pengalaman 4. Kemampuan manajemen pengelolaan ekowisata (Choy, 1997 dalam
Fandeli, 2000) Salah satu daerah yang telah mengembangkan konsep ekowisata adalah kawasan Peruvian, Amazon. Disini, antropologi melihat bagaimana pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dikembangkan. Antropologi berbicara tentang konservasi, pembagian kerja, agen perjalanan, pembuat 18 kebijakan dan pemimpin lokal mengenai ekowisata serta dampaknya terhadap
Jaringan Ekowisata Desa Untuk Alternatif Pariwisat komunitas lokal dan ekosistem. Ekowisata dapat menjadi bentuk konservasi yang
intensif untuk menjaga kelestarian lingkungan .
Pengelolaan ekowisata dengan melibatkan masyarakat sejalan dengan manajemen berbasis masyarakat (community based-management) yang melibatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasarnya. Ekowisata juga merupakan alternatif dalam pariwisata yang konsisten dalam pengelolaan lingkungan, sosial, nilai-nilai dalam komunitas dan membuat host dan guest menikmati secara positif, interaksi yang bermanfaat serta berbagi pengalaman (Eadington dan Smith dalam Stonza)
Pengelolaan diartikan sebagai rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang berintikan perencanaan, pengorganisasian pergerakan dan pengawasan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya .
Pengelolaan ekowisata merupakan penyelanggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan pada keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang
19 Amanda Stonza, “The Anthropology of Based Tourism in The Peruvian Amazon”. Texas A&M 20 University
(diakses pada tanggal mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat .
Di Indonesia sendiri sudah banyak daerah yang mengembangan ekowisata untuk memacu pertumbuhan pariwisata. Salah satunya adalah ekowisata di Jatiluwih, Bali yang memanfaatkan sawah terasering menjadi destinasi wisata. Disana masyarakat terlibat langsung dalam pengembangan ekowisata walaupun pada perkembangannya terjadi berbagai macam hal-hal yang tidak diinginkan sebagai dampak pengembangan pariwisata. Masyarakat mulai berubah dimana segala hal dipandang secara ekonomi misalnya ketika wisatawan meminta kepada masyarakat setempat untuk mengambil gambar dan masyarakat setempat menerapkan tarif satu dollar. Timbul komodifikasi dan kapitalisasi dalam perkembangan pariwisata tersebut serta adanya tarik-menarik kepentingan dan lain sebagainya.
Jika mengacu pada paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainability
development program) maka proses pengembangan harus melibatkan masyarakat
setempat terlebih jika masyarakat tersebut hidup dan tinggal di dalam wilayah yang kemudian akan dikembangkan menjadi kawasan ekowisata.
Setidaknya ada empat alasan mengapa pengembangan ekowisata harus melibatkan masyarakat/komunitas setempat, antara lain:
21
(diakses pada tanggal 6
1. Oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisir dalam skala kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman dan tidak banyak menimbulkan dampak negatif.
2. Pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi wisata berskala kecil, oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas lokal dan pengusaha lokal serta menimbulkan dampak sosiokultural yang minim.
3. Berkaitan dengan dua hal tersebut diatas, memberi peluang yang lebih besar bagi komunitas lokal untuk berpartisipasi dan melibatkan diri dalam pengambilan keputusan.
4. Pariwisata berbasis komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural, akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan pada wisatawan terhadap kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan
organisasi wisatawan .
Dalam etnografi, ahli antropologi banyak menaruh perhatian kepada komunitas desa dan komunitas kecil berkaitan dengan organisasi dan susunan didalam komunitas. Mereka memperhatikan pembagian kerja dalam komunitas, berbagai aktivitas kerjasama atau gotong royong dalam komunitas, hubungan dan sikap pemimpin dan pengikut dalam komunitas (prosedur membuat keputusan
22 bersama, soal membantah pimpinan dan lain sebagainya), soal cara-cara
penggantian pimpinan, soal wewenang pemimpin dan kekuasaan pemimpin .
Komunitas tidak hanya mengacu pada lokalitas misalnya dalam komunitas desa melainkan juga jaringan dari sebuah relasi (hubungan). Komunitas dapat digambarkan sebagai sesuatu yang saling mendukung, menunjuk pada lokasi yang spesifik, adanya unit sosial seperti sebuah desa dimana orang-orang mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota komunitas dan membuat keputusan bersama.
Berbicara tentang pariwisata berbasis komunitas akan berkaitan dengan isu, ancaman dan kesempatan. Hal ini bersinggungan langsung dengan perubahan nilai-nilai sosial, hegemoni, dekontruksi, komodifikasi, hubungan relasi kekuasaan dan pengembangan masyarakat. Berkaitan dengan komodifikasi misalnya, hal ini terjadi pada pariwisata di Toraja dalam hal upacara kematian. Upacara kematian awalnya hanya berfungsi sebagai ritual namun dalam dunia
pariwisata hal ini kemudian dimanipulasi untuk menarik kunjungan wisatawan .
Pariwisata juga memiliki berbagai dampak bagi komunitas sekitar tempat wisata, secara umum perubahan tersebut terlihat pada sektor ekonomi dan perubahan sosial budaya. Perubahan yang terjadi berimplikasi secara positif maupun negatif.
23 24 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta:PT Rineka Cipta, 1990) Hal.36
Yamashita, Shinji. Tourism And Cultural Development in Asia And Oceania. Malaysia:
University Kebangsaan Malaysia. 1997Perspektif kajian budaya untuk mengkaji keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata dapat menggunakan beberapa teori. Dalam hal ini peneliti menekankan pada teori komodifikasi dan teori pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Komodifikasi adalah kapitalisme yang menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja (dengan penuh kesadaran dan perhitungan) sebagai sebuah komoditas untuk dijual di pasar dan terjadi tidak saja pada aspek produksi,
tetapi juga pada aspek konsumsi dan aspek distribusi . Dalam ekowisata mangrove, komodifikasi dilihat pada perubahan fungsi mangrove yang berubah untuk hal-hal berbau ekonomi dan memiliki nilai jual. Pada awalnya mangrove ditanam hanya sebatas untuk tujuan konservasi untuk menyelamatkan ekosistem pesisir namun kini berubah menjadi kawasan ekowisata yang mendatangkan pendapatan bagi masyarakat setempat. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya
diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil .
Pendekatan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat digunakan untuk melihat bagaimana keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekowisata untuk kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan suatu model pembangunan yang bersifat bootom-up dimana proses sejak pengidentifikasian hingga evaluasi masyarakat setempat turut dilibatkan sehingga pengelolaannya berangkat dari hasil pemikiran masyarakat setempat. Pendekatan ini juga memberikan 25 kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya agar 26 diakses 6 Juni 2014)
e-journal.uajy.ac.id/615/2/1SOS03145.pdf (diakses 19 Februari 2015) tercapai kemampuan baik yang bersifat pribadi maupun kelompok. Ciri mencolok dari pendekatan ini adalah penekanannya terhadap lokalitas, baik dalam pengertian kelembagaan, komunitas, lingkungan, maupun kultur. Implikasi kebijakan pendekatan ini adalah penekanan pada transformative and transactive
Masyarakat Desa Sei Nagalawan didominasi oleh kaum nelayan. Kehidupan mereka bergantung pada hasil laut yang didapatkan baik melalui penangkapan ikan maupun proses budidaya. Kehidupan nelayan dekat dengan garis kemiskinan dimana kemiskinan mereka dekat dengan dua hal yakni kerentanan dan ketidakberdayaan. Kegiatan melaut biasanya dilakukan oleh kaum pria dan tidak melibatkan istri serta anak mereka. Di Riau misalnya, istri dan anak-anak tidak terlibat dalam kegiatan perikanan, kecuali anak laki-laki nelayan yang sudah cukup dewasa untuk pergi melaut. Istri dan anak-anak nelayan
umumnya lebih banyak diam dan menganggur dirumah .
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Desa Sei Nagalawan. Istri lebih banyak menganggur sehingga mereka tidak dapat memaksimalkan perekonomian.
Dengan adanya pengelolaan ekowisata yang melibatkan masyarakat setempat, istri-istri nelayan terlibat dalam pengelolaan tersebut. Mereka terlibat dalam banyak hal, misalnya terlibat dalam pengelolaan produksi mangrove menjadi bahan makanan berupa kerupuk, teh, dodol, sirup dan produk olahan lainnya. 27 Selain terlibat dalam pengolahan, mereka juga terlibat dalam penjualan produk 28 Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat - Bahan Kuliah PPS SP ITB
makanan dengan sistem pembagian waktu kerja yang telah disepakati. Partisipasi ini dilakukan untuk penguatan ekonomi keluarga nelayan agar tidak bergantung pada hasil tangkapan laut serta menjaga kelestarian mangrove. Selain sebagai penguatan ekonomi, adanya desa wisata mangrove juga menjadi jaminan bagi penduduk setempat untuk tetap mandiri membangun perekonomian berkelanjutan.
1.3 Rumusan Masalah
Pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat merupakan hal baru dalam dunia kepariwisataan dimana masyarakat setempat terlibat langsung dalam pengelolaan. Mengingat sifatnya yang bottom-up berdasarkan pemahaman masyarakat lokal maka diperlukan penelitian untuk mengetahui sistem pengelolaannya. Pengungkapan ini dilakukan dengan pertanyaan:
Bagaimana pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat Kampoeng Nipah dijalankan?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjelaskan apa saja yang dilakukan masyarakat setempat dalam mengelola ekowisata secara berkelanjutan. Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata yang melibatkan masyarakat setempat mulai dari pengidentifikasian sampai kepada manajemen pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan wisata tersebut.
Secara akademis penelitian ini bermanfaat dalam keilmuwan antropologi dan menambah wawasan yang berkaitan dengan pengembangan dunia pariwisata melalui perspektif antropologi. Banyaknya pariwisata di Indonesia yang mengandalkan potensi alam akan semakin mudah dikembangkan apabila ada bahan rujukan yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan ekowisata tersebut. Selain itu secara praktis penelitian ini juga bermanfaat untuk berbagai kalangan, antara lain: 1.
Bagi pemerintah, penelitian akhir dari studi ini akan menjadi bahan masukan dan rujukan untuk mengembangkan model-model wisata yang sama di tempat lain.
2. Bagi pelaku pariwisata, penelitian ini akan memunculkan potensi pariwisata yang memiliki nilai jual dan layak untuk dikembangkan.
3. Bagi komunitas masyarakat setempat akan berguna untuk menjadi bahan masukan untuk mengelola objek ekowisata dengan pengelolaan yang lebih baik. Ekowisata merupakan salah satu konsep dalam pariwisata yang saat ini banyak digandrungi karena pengelolaannya yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan sifatnya yang konservasionis.
1.5 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami apa yang dialami oleh informan berkaitan dengan persepsi, pengetahuan, motivasi, tindakan dan lainnya secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara dan studi
kepustakaan . Sementara itu etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan grafein yang berarti menulis, lukisan, gambaran. Oleh karena itu, etnografi juga bisa dipahami sebagai deskripsi tentang suatu suku bangsa menyangkut struktur, adat istiadat, dan kebudayaannya. Tujuan etnografi adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (native’s point of view), sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Peneliti bertugas membuat pelukisan mendalam yang menggambarkan kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan yang dianggap sebagai
kewajaran mengenai kehidupan .
Penelitian ini dilakukan di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Tempat ini dipilih karena memanfaatkan ekosistem hutan mangrove dalam mengembangkan pariwisata serta melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaannya.
29 Lexy, J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif Rev.ed: Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
30 2006) Hal 6
Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj, Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi
Wacana 2006. Hal 46Untuk mendapatkan data-data yang mendukung dilapangan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1.5.1 Teknik Observasi
Observasi adalah tindakan untuk meneliti suatu gejala tindakan atau peristiwa atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dengan observasi maka kita dapat mengamati gambaran sosial budaya. Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis. Adapun observasi yang dilakukan peneliti disini adalah observasi partisipasi yang melibatkan peneliti atau observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Dalam melakukan observasi partisipasi, peneliti mengamati secara langsung dan merasakan apa yang ada dalam masyarakat tersebut. Peneliti juga berusaha sedekat mungkin membangun
rapport dengan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari di desa
wisata. Peneliti turut serta di lapangan, misalnya ikut terlibat dalam kegiatan produksi hasil mangrove, penjualan ikan di tempat pelelangan ikan di dalam kawasan ekowisata, pengelolaan manajemen operasional dan lain-lain.
31 Rapport adalah hubungan antara peneliti dan informan yang sudah begitu dekat seolah tidak ada
1.5.2 Teknik Wawancara
Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data dalam suatu penelitian. Wawancara (interview) dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari informan dengan cara
Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara mendalam (indept
interview ). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data secara akurat dan
mendalam. Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap beberapa informan kunci. Informan kunci merupakan orang yang dianggap penting yang tahu tentang pengelolaan ekowisata tersebut serta kepada pemangku kepentingan terhadap keberadaan tempat wisata tersebut. Adapun informan kunci tersebut meliputi Ketua Kelompok Muara Bambai, Manajer Unit Wisata serta Kepala Desa Sei Nagalawan. Adapun alasan peneliti menetapkan ketiga informan diatas menjadi informan kunci berkaitan dengan kedudukan strategis mereka dalam sistem pengelolaan ekowisata. Ketua Kelompok Muara Baimbai Bang Tris merupakan informan yang telah terlibat dalam pengembangan kawasan ekowisata sejak pertama kali mangrove mulai ditanam. Beliau merupakan orang yang terlibat dari awal proses penanaman hutan mangrove sampai menjadi kawasan ekowisata.
Selain Bang Tris, saya juga menetapkan Ibu Jumiati sebagai informan kunci karena beliau menjabat sebagai Manajer Unit Wisata sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan pengelolaan ekowisata harus berkoordinasi dengan 32 beliau. Selain itu, beliau juga merupakan salah satu wanita penggerak yang menggerakan masyarakat setempat untuk menanam mangrove saat kawasan pantai Sei Nagalawan dalam kondisi rusak. Informan kunci terakhir saya adalah pihak Kepala Desa yang diwakili oleh Sekretaris desa yang cukup mengetahui tentang Sei Nagalawan serta permasalahan didalamnya.
Adapun penetapan informan ini mengaju pada pedoman metode etnografi James Spradley dimana terdapat lima syarat yang disarankan Spradley untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non-
analitis Untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan, peneliti akan mengumpulkan data kepustakaan sebagai data sekunder. Data kepustakaan dapat diperoleh melalui buku, majalah, surat kabar dan tulisan dari berbagai media. Selain itu peneliti akan menggunakan alat bantu kamera sebagai alat dokumentasi visual untuk melengkapi data observasi dan wawancara. Peneliti juga akan menggunakan alat lain seperti tape recorder, buku dan pulpen untuk mencatat hal- hal penting dalam wawancara.
1.5.3 Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses pengaturan data yang 33 diorganisasikan dalam suatu bentuk atau kategori (Moleong, 2006). Analisis data James Spradley. Metode Etnografi. Terj. Misbah. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006.
Hal 65 dilakukan setelah data-data yang dibutuhkan diperoleh dari lapangan. Dalam hal ini data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Data dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai macam teknik pengumpulan data. Disini, Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data secara observasi partisipasi dan wawancara mendalam terhadap informan di lokasi ekowisata mangrove. Selain itu data juga diperoleh melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat. Data yang dihasilkan kemudian dikategorisasikan berdasarkan kategori kategori yang telah dipersiapkan. Hasil analisis data tersebut kemudian akan dideskripsikan dan dijelaskan dalam laporan hasil akhir penelitian dalam bentuk skripsi.
1.6 Pengalaman Lapangan
Penelitian ini saya lakukan sendiri di Desa Sei Nagalawan. Sebelum melakukan penelitian saya sudah berkali-kali berkunjung ke lokasi ekowisata Kampoeng Nipah. Kunjungan ke lokasi ekowisata saya lakukan bersama dengan teman-teman relawan lingkungan KeMANGTEER Medan untuk melihat kondisi hutan mangrove serta melakukan penanaman mangrove.
Pertama kali saya datang ke Kampoeng Nipah, tepatnya di bulan Mei 2014. Saya sudah mengutarakan kepada pihak pengelola ekowisata untuk melakukan penelitian skripsi disini dan dengan sangat terbuka mereka menerima.
Sebelum saya resmi melakukan penelitian saya sudah cukup banyak tahu tentang lokasi ekowisata ini dari masyarakat setempat yang sadar akan wisata. Masyarakat setempat sangat terbuka dengan pengunjung yang ingin mengetahui tentang ekowisata mangrove sehingga dengan antusias mereka bercerita dan berbagi pengalaman.
Saya berangkat sendiri dari Medan menuju lokasi penelitian, karena sebelumnya pernah berkunjung ke desa Sei Nagalawan maka tidak terlalu sulit bagi saya untuk kembali ke desa ini. Sebelumnya saya memberitahukan akan kedatangan saya kepada manajer unit wisata mangrove Kampoeng Nipah, Ibu Jumiati. Dengan sukarela beliau mengizinkan saya melakukan penelitian dan mencarikan tempat tinggal untuk saya menginap selama di Sei Nagalawan.
Saya menginap di rumah Bang Iyan dan Kak Nur. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Mereka menyambut kedatangan saya dengan begitu hangat layaknya tamu yang benar-benar harus dihargai. Tinggal bersama mereka membuat saya berkenalan dengan banyak penduduk setempat.
Saya sudah seperti keluarga sendiri dirumah keluarga Bang Iyan. Makan selalu disediakan tepat waktu bahkan dihidangkan dan saya tinggal menikmati menu yang mereka hidangkan. Sedikit tidak enak karena mereka memperlakukan saya benar-benar diluar dugaan. Seringkali bahkan saya menghabiskan waktu siang di lokasi ekowisata dan Kak Inur selalu menyuruh Lia dan Reza anaknya untuk mencari saya dan menyuruh saya pulang untuk makan siang bersama.
Mereka benar-benar menerapkan filosofi bahwa tamu adalah raja dan saya merasa beruntung bisa tinggal bersama mereka.
Bang Iyan selalu mengajak saya untuk berkumpul bersama komunitas yang mengelola ekowisata mangrove dan seluruh anggota komunitas sangat terbuka dengan kehadiran saya. Tanpa saya tanya bahkan mereka mau bercerita panjang lebar tentang ekowisata ini dan sangat membantu saya dalam pengumpulan data.
Tinggal di lingkungan baru memang terkadang membuat kita harus mampu beradaptasi. Saya tinggal di rumah penduduk yang sangat sederhana dimana saya harus menghabiskan malam dengan tidur di ruang tamu. Tidak ada kamar lebih yang bisa saya gunakan untuk beristirahat. Mandi juga dilakukan di halaman belakang rumah dengan penutup yang tingginya hanya sebatas dada. Terkadang saya agak merasa risih ketika mandi dengan kondisi terbuka namun memang beginilah masyarakat disini pada umumnya. Ketika buang air besar saya juga harus berjalan agak jauh ke belakang rumah dan ternyata saya harus buang air besar di sungai. Toilet dibangun hanya dengan menggunakan kumpulan papan dan hanya cukup untuk menyanggah kedua kaki dan kotoran langsung jatuh ke air. Sedikit was-was ketika saya buang air besar bilamana sewaktu-waktu kayu yang tempat saya buang air besar tidak kuat dan saya jatuh kedalam sungai. Benar-benar pengalaman yang tidak akan saya lupakan.
Hampir sepanjang hari saya habiskan waktu dengan mengikuti kegiatan mereka mengelola tempat wisata. Mulai dari tempat penjualan tiket, pemotongan tiket bahkan menjaga toilet saya ikuti dan saya larut mengobrol dengan mereka. Sesekali saya juga ikut terlibat dalam kegiatan gotong royong mereka menyelesaikan fasilitas wisata yang masih dalam proses pembangunan dan hasilnya saya banyak belajar dan mendapatkan banyak informasi. Waktu senggang juga saya habiskan dengan mengikuti kegiatan kelompok ibu-ibu yang mengelola produk khas wisata mangrove Kampoeng Nipah. Sambil membuat kerupuk jeruju dan selimut api-api saya melakukan wawancara dan terlibat aktif dalam kegiatan pembuatan makanan. Saya bahkan ikut menggoreng kerupuk jeruju dengan kemampuan ala kadarnya dan syukur tidak mengecewakan hasilnya walaupun kerupuk yang saya goreng sedikit berantakan.
Sama sekali tidak ada rintangan berarti ketika saya melakukan penelitian bahkan ketika saya harus berhubungan dengan Kepala Desa. Pagi itu tepatnya hari jum’at saya baru memberikan surat izin penelitian kepada Seketaris Desa. Saya hampir lupa memberikan surat izin penelitian karena asyiknya melakukan penelitian dan bermain di wisata mangrove Kampoeng Nipah. Ibu Aminah sang Seketaris Desa justru tidak mempermasalahkan keterlambatan saya memberikan surat bahkan beliau antusias dengan kehadiran saya dan bertanya tentang kendala selama di lapangan.
Rasa kekeluargaan dan kebersamaan begitu kental disini sehingga tidak heran dalam waktu singkat saya dapat berbaur dengan mereka baik kaum pria, ibu-ibu, pemuda setempat serta anak-anak setempat. Bila tiba waktu makan siang dan saya masih berada dilokasi ekowiata mereka selalu mengajak saya untuk makan siang bersama sambil bercerita. Secara keseluruhan penelitian berjalan lancar hanya ada sedikit kendala ketika saya mendengarkan penduduk setempat yang berbicara satu sama lain dengan bahasa Banjar. Mayoritas penduduk Desa Sei Nagalawan adalah Suku Banjar sehingga mereka fasih berbahasa Banjar. Saya terkadang tertawa dan mereka dengan sukarela menjelaskan apa yang mereka bicarakan.