laporan praktikum pengendalian limbah in

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGENDALIAN LIMBAH INDUSTRI
ACARA 2
ANALISIS KOAGULASI DAN FLOKULASI
TAHUN AJARAN 2013/2014

Disusun oleh :
Nama

: Onida Nor Marsilani

NIM

: 11/318855/TP/10101

Hari/Tgl

: Senin / 21 April 2014

Kelompok


: B4

Ass. Ins.

: Budi Santoso

LABORATORIUM REKA INDUSTRI DAN PENGENDALIAN PRODUK SAMPING

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

ACARA 2
ANALISIS KOAGULASI DAN FLOKULASI

I. PENDAHULUAN
A. Judul
Analisis Koagulasi dan Flokulasi

B. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengetahui metode dan proses koagulasi dan flokulasi
2. Menentukan pemberikan dosis koagulan yang optimum pada sampel
limbah cair.
C. Manfaat
1. Memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang analisis koagulasi dan
flokulasi dan aplikasinya terutama dalam dunia industri.
2. Memudahkan mahasiswa saat mulai memasuki dunia kerja dan dihadapkan
pada analisis koagulasi dan flokulasi.
3. Mengajarkan

kepada

mahasiswa

tentang

cara

dan


proses

penentuan/penghitungan serta analisis koagulasi dan flokulasi pada
limbah.

II. DASAR TEORI
Koagulasi adalah proses penambahan zat kimia (koagulan) yang
memiliki kemampuan untuk menjadikan partikel koloid tidak stabil sehingga
parikel siap membentuk flok (gabungan partikel-partikel kecil). Flokulasi adalah
proses pembentukan dan penggabungan flok dari partikel-partikel tersebut yang
menjadikan ukutan dan beratnya lebih besar sehingga mudah mengendap
(Wagiman dan Desy, 2014).
Jar test adalah suatu percobaan yang berfungsi untuk menentukan dosis
optimal dari koagulan (biasanya tawas/alum) yang digunakan pada proses
pengolahan air bersih. Jar Test merupakan proses penjernihan air dengan
menggunakan koagulan, dimana koagulan akan membentuk flok – flok dengan
adanya ion – ion yang terkandung dalam larutan sampel. Flok-flok ini
mengumpulkan partikel-partikel kecil dan koloid yang tumbuh dan akhirnya
bersama-sama mengendap. Flok terbentuk dengan bantuan agitasi dari alat

agitator. Dengan konsentrasi dan volume koagulan yang berbeda akan
membentuk koagulan yang berbeda dan tentunya akan menghasilkan tingkat
kejernihan yang berbeda. Umumnya koagulan tersebut berupa Al2(SO4)3, namun
dapat pula berupa garam FeCl3 atau sesuatu poly-elektrolit organis (Anonim,
2014).
Untuk menentukan dosis kimia yang benar, jar test atau tes koagulasi
dilakukan. Jar Test (banyak digunakan selama bertahun-tahun oleh industri
pengolahan air) mensimulasikan skala penuh proses koagulasi dan flokulasi
untuk menentukan dosis optimum kimia . Penting untuk dicatat bahwa jar test
hanya upaya untuk mencapai perkiraan kasar dosis kimia yang tepat untuk
proses

pengolahan.

Keadaan

selama

pengujian


dimaksudkan

untuk

mencerminkan operasi dalam kondisi normal dari proses pengolahan secara
kimia. Pengujian ini dapat digunakan untuk (Spellman, 2009) :
• Pemilihan bahan kimia yang paling efektif .
• Pemilihan dosis optimum .
• Menentukan jumlah flokulan dan dosis yang tepat .
Koagulan yang sering digunakan untuk mengendapkan limbah adalah
alum (aluminium sulfat/Al2 (S04)3), feri sulfat (Fe2 (S04)3), feri klorida (Fe Cl3)

dan kapur. Alum akan bereaksi dengan bahan yang bersifat basa dan membentuk
aluminium hidroksida yang tidak dapat larut dan mengkoagulasi partikel
koloidal. Kapur akan bereaksi dengan bikarbonat dan membentuk kalsium
karbonat yang akan mengendap. Kalsium karbonat yang tidak larut akan
terbentuk pada pH di atas 9.5. Garam-garam feri digunakan untuk meningkatkan
daya endap dari feri hidroksida yang akan membentuk endapan dalam limbah
dan meningkatkan laju sedimentasi dari partikel lainnya yang ada dalam limbah
tersebut. Sedimentasi merupakan proses untuk memisahkan partikel- partikel

yang mengendap ataupun yang berbentuk gumpalan dengan bagian yang larut
atau cairannya. Bahan kimia organik baik dari jenis anionik, kationik dan
nonionik polielektrolit juga dapat digunakan untuk mengendapkan partikel
berbentuk koloidal dalam larutan secara tersendiri atau digabungkan dengan
koagulan anorganik. Jenis polielektrolit yang dapat digunakan untuk membentuk
endapan sangat beragam jenisnya. Penggunaan jenis polielektrolit yang tepat
untuk suatu jenis limbah tertentu dapat dipilih setelah melihat hasil ujinya
menggunakan ”jar test”, yaitu untuk mengetahui jenis dan jumlahnya (Jenie dan
Winiati, 1993).
Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah
bereaksi dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion
hidrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alka- linitas,
sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH
yang optimum bagi penggunaan koagulan. Dalam hal ini nilai alkalinitas
sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang
dilepaskan pada proses koagulasi (Effendi, 2003).
Pada proses koagulasi diperlukan tahap - tahap proses berikut (Sutiyono,
2006):
1. Pembentukan inti endapan atau bisa disebut juga tahap pengadukan cepat
(rapid mix). Pada tahap ini dibutuhkan koagulan, yang fimgsinya akan teijadi

reaksi penggabungan koagulan dengan zat-zat yang ada dalam limbah cair.
Dalam hal ini bittern sebagai bahan koagulan. Pada tahap ini mutlak diperlukan
pengadukan dan pengaturan pH. Pengadukan ini berlangsung pada 60-100 rpm

selama 1 - 3 menit, pH yang diperlukan bergantung pada jenis koagulan yang
digunakan. Dalam hal ini pH kondisi proses penggunaan bittern adalah 11.
2. Tahap flokulasi, yaitu penggabungan inti – inti endapan menjadi molekul
besar (flok). Flokulasi dapat di dilakukan dengan pengadukan lambat sekitar 40 50 rpm selama 1 5 - 9 0 menit. Pengadukan yang terlalu cepat dapat merusak
flok-flok yang telah terbentuk
3. Tahap pemisahan flok dari cairan
Flok yang terbentuk selanjutnya dipisahkan dari cairannya, yaitu dengan cara
diendapkan atau diapungkan, hingga diperoleh lumpur kimia (flok) dan limbah
cair hasil pengolahan.
Proses flokulasi terdiri dari tiga langkah (Wagiman dan Desy, 2014):
1.

Pelarutan reagen (koagulan) melalui pengadukan cepat (1 menit, 100 rpm).
Pemberian koagulan dapat menyebabkan pH larutan menjadi rendah,
sdangkan proses flokulasi memerlukan pH 6-8, bila perlu pemubuhan bahan
kimia untuk koreksi pH.


2. Pengadukan lambat (15 menit, 20 rpm) untuk pembentukan flok-flok.
Pengadukan yang terlalu cepat dapat merusak flok yang telah terbentuk.
3. Penghapusan flok-flok dengan koloid yang terkurung dari larutan melalui
sedimentasi (15 menit atau 30 menit, 0 rpm).

III. Metodologi Praktikum
A. Alat dan bahan
a. Alat
1. Jar Test
2. Gelas bekker 1000 ml 4 buah
3. Gelas bekker 250 ml, 100 ml, 50 ml
4. Pipet ukur 5 ml dan pipet biasa
5. pH meter
6. Pipet pump
7. Spektrofotometer
b. Bahan
1. Sampel limbah cair (limbah tahu)
2. NaOH (Natrium Hidroksida) 1 N
3. Larutan koagulan: Dilarutkan 10 gram koagulan tawas di dalam 1

liter aquadest.
4. Indikator PP
B. Prosedur praktikum
a. Pengaturan pH sampel sebelum Jar Test
Prosedur
Tawas bekerja optimum pada pH 6-8

Hasil

Dituangkan 100 ml air sampel dalam gelas
bekker 250 ml
Diukur pH larutan dengan pH meter
Jika larutan bersifat basa (pH>7), dengan
menggunakan

buret

dilakukan

titrasi


dengan larutan HCl 0,1 N sampai pH 7,
dicatat jumlah titran
Jika larutan bersifat asam (pH 10).
4. Chlorinated copperas : Dibuat dengan menambahkan klorin untuk
mengioksidasi Ferrous Sulfate. Keuntungan penggunaan koagulan ini
adalah dapat bekerja pada jangkauan pH 4,8 hingga 11.
5. Ferrie Sulfate (Fe2(SO4)3 : Mampu untuk menghilangkan warna pada pH
rendah dan tinggi serta dapat menghilangkan Fe dan Mn.
6. Ferrie Chloride (FeCl3.6H2O) : Dalam pengolahan air penggunaannya
terbatas karena bersifat korosif dan tidak tahan untuk penyimpanan yang
terlalu lama.
Setelah proses koagulasi akan berlangsung proses flokulasi. Flokulasi
adalah proses lambat yang bergerak secara terus menerus selama partikelpartikel tersuspensi bercampur di dalam air, sehingga partikel akan menjadi
lebih besar dan begerak menuju proses sedimentasi. Flokulasi bertujuan agar
flok dari patikel-partikel terbentuk dan tergabung sehingga menjadikan
ukuran dan beratnya lebih besar sehingga mudah mengendap. Pada saat
flokulasi dilakukan pengadukan lambat agar flok yang sudah terbentuk tidak
pecah lagi menjadi pertikel-partikel kecil.
Flokulan merupakan senyawa yang digunakan untuk membentuk

senyawa dari polutan yang mudah mengendap dan atau senyawa yang
mempunyai ukuran yang lebih besar dengan suatu reaksi kimia. Flokulan
yang biasanya digunakan dalam proses flokulasi adalah tawas (Al2(SO4)3,
kapur (CaO), dan polyaluminium chloride (PAC).
Pengaruh penggunaan flokulan terhadap proses flokulasi dimana
adanya proses destabilisasi partikel koloid (mentidakstabilkan partikel
koloid). Partikel-partikel koloid yang berukuran sangat kecil memiliki muatan
negatif, interaksi antar partikel saling tolak-menolak karena memiliki muatan

yang sama sehingga partikel koloid menyebar. Dengan penambahan
Koagulan (misal tawas Al), maka ion Al yang berukuran lebih besar dari
ukuran partikel koloid dan memiliki muatan positif akan mengikat partikelpartikel koloid sehingga membentuk gumpalan yang lebih besar. Penambahan
flokulan bertujuan untuk mengikat gumpalan-gumpalan yang terbentuk akibat
penambahan Koagulan (inti flok) sehingga gumpalan yang terbentuk lebih
besar lagi dan dapat disaring. Penambahan flokulan dan atau flokulan harus
sesuai dengan dosis, apabila kurang maka penggumpalan partikel koloid tidak
sempurna, sedangkan apabila ditambahkan berlebih akibatnya akan
menambah kekeruhan pada air.
Berikut ini adalah contoh senyawa lain yang bisa digunakan sebagai
flokulan:
a.

Kopolimer dari akrilamida dan N,N−dimetil amino propilen akrilat

Sifat muatan elektrostatik : Ionik
Sifat : Kopolimer yang linier dan kationik kepadatan muatanelektrostatik
tergantung dari status kopolomerisasi (n/m + n) dan pH,membentuk jarak
yang sensitif terhadap hidrolisab.
b.

Poli (Natriumakrilat)

Sifat muatan elektrostatik : Anionik
Sifat:

Polimer

yang

paling

penting

anionik

dan

s e g m e n l i n i e r dalam kopolimer dengan akril amida dan anionik.
c.

Poli akrilamida

Sifat muatan elektrostatik : Nonionogen
Sifat:

Molekul

yang

sangat

panjang

dan

linier

yang

d i k e n a l sebagai flokulan pembantu yang ionogen.
Total suspended solids atau padatan tersuspensi total (TSS) adalah
residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel
maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang termasuk
TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan
jamur. TSS umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS
memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi

penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Sehingga nilai
kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai TSS.
Dengan mengetahui dosis koagulan untuk koagulasi dan flokulasi,
maka dapat diketahui dosis pula untuk mengendapkan limbah yang sama
dalam jumlah tertentu dengan cara mengkonversikan. Dalam metode
koagulasi dan flokulasi ini mengalami 3 proses, antara lain:
1. Pelarutan reagen (koagulan) melalui pengadukan cepat (1 menit 100 rpm).
Pemberian koagulan dapat menyebabkan pH larutan menjadi rendah,
sedangkan proses flokulasi memerlukan pH 6-8, bila perlu pembubuhan
bahan kimia untuk koreksi pH.
2. Pengadukan lambat (15 menit, 20 rpm) untuk pembentukan flok-flok.
Pengadukan yang terlalu cepat dapat merusak flok yang telah terbentuk.
3. Penghapusan flok-flok dengan koloid yang terkurung dari larutan melalui
sedimentasi (15 menit atau 30 menit, 0 rpm).
Proses koagulasi-flokulasi selain untuk menurunkan tingkat kekeruhan
untuk memperoleh air yang bening, juga ada efek samping yaitu fraksi zat
tersuspensi dalam air yang seringkali menyebabkan pencemaran. Dengan
koagulasi-flokulasi zat suspensi tersebut yang juga sebagai pencemar, bisa
dihilangkan dari air. Makin rendah kekeruhan, makin sukar pembentukkan
flok yang baik. Makin sedikit partikel, makin jarang terjadi tumbukan antar
partikel/flok, oleh sebab itu makin sedikit kesempatan flok berakumulasi. Jadi
dalam Jar Test perlu ditambah zat koagulan untuk memicu partikel-partikel
agar terjadi tumbukan yang memebentuk flok, jadi kekeruhan semakin tinggi.
Aplikasi Jar Test dalam industri yaitu pada industri kertas PT.
Adiprima Surapinta Gresik (Jurnal), yaitu memanfaatkan bittern sebagai
koagulan pada proses pengolahan limbah cairnya. Bittern merupakan produk
samping dari produksi garam berupa larutan jenuh sisa hasil kristalisasa
larutan garam (brine) baik yang dilakukan dengan penguapan sinar matahari
maupun dengan bantuan alat kristalisator. Dengan penambahan volume
bittern pada limbah cair dapat menurunkan nilai TSS dan pH yang cukup
signifikan.

Praktikum analisis jar test ini diawali dengan mengukur pH awal 100
ml air limbah menggunakan pH meter dan hasilnya adalah pH=5, berarti
limbah bersifat asam sehingga harus dinetralkan dengan larutan basa agar pH
menjadi netral (7). Sampel perlu dinetralkan karena koagulan yang digunakan
(tawas) hanya dapat bekerja optimal pada pH netral yang berkisar antara 6-8.
Koagulan yang digunakan adalah tawas, karena mudah didapat dan harganya
relatif murah. Sedangkan titrasi ini dilakukan untuk mengetahui dosis NaOH
agar menghasilkan air limbah yang bersifat netral sehingga koagulan yang
digunakan dapat bekerja optimum. Jumlah titran (NaOH) yang didapatkan
setelah titrasi adalah 3 ml.
Selanjutnya untuk pengujian jar test digunakan 4 sampel limbah tahu
yang masing-masing volumenya 600 ml berada dalam gelas bekker 1000 ml,
yang masing-masing diberi label sampel kontrol, sampel 1, sampel 2 dan
sampel 3. Kemudian pada sampel 1 ditambahkan koagulan sebanyak 10 ml,
sampel 2 ditambahkan koagulan 20 ml dan sampel 3 ditambahkan koagulan
30 ml, sementara pada sampel kontrol tidak ditambahkan koagulan. Hal
tersebut untuk mengetahui kadar tawas yang optimum untuk sampel limbah
yang digunakan. Keempat larutan sampel tersebut kemudian ditambah dengan
NaOH 1 N sebanyak 18 ml yang merupakan kelipatan 6 dari hasil
pengukuran NaOH pada saat titrasi (untuk 100 ml sampel membutuhkan 3
ml NaOH, jadi untuk 600 ml sampel membutuhkan 3*6 ml NaOH (18 ml)).
Setelah ditambahkan larutan NaOH 1 N kemudian dilakukan pengadukan
cepat selama 1 menit dengan kecepatan 100 rpm. Pengadukan cepat ini
bertujuan agar sampel limbah dapat bercampur homogen dengan larutan
NaOH sehingga larutan menjadi netral. Saat kecepatan telah mencapai 100
rpm kemudian dimasukkan koagulan (tawas) secara bersamaan ke dalam 3
sampel dan stopwatch dijalankan sampai waktunya menunjukkan 1 menit.
Setelah 1 menit, kecepatan diubah menjadi pengadukan lambat dengan
kecepatan 20 rpm selama 15 menit dengan tujuan agar mempermudah proses
pembentukan flok. Pengadukan lambat ini bertujuan agar flok-flok yang
sudah terbentuk tidak memudar kembali, dan menjadi flok-flok yang lebih
besar dan mudah diendapkan. Setelah 15 menit, pengadukan dihentikan dan

sampel didiamkan 15 menit. Tahap ini disebut juga sedimentasi, yang
bertujuan agar flok terpisah dan partikel-partikelnya mengendap.
Selanjutnya sampel diambil menggunakan pipet ukur pada lapisan
atasnya (yang bening) dan dimasukkan ke dalam kuvet untuk diukur nilai
TSS (Total Suspended Solid) menggunakan spektrofotometer. Dari hasil
pengukuran, diketahui nilai TSS sampel kontrol = 608 mg/L, sampel 1= 464
mg/L, sampel 2 = 740 mg/L, dan pada sampel 2 = 543 mg/L.
Secara teori seharusnya semakin besar dosis koagulan yang diberikan
maka nilai TSSnya akan semakin kecil, karena endapan semakin banyak
sehingga air menajdi lebih jernih (tidak keruh). Namun pada hasil tersebut
terutama pada sampel 2 hasil TSS nya paling besar diantara yang lain, bahkan
lebih besar dari kontrol, padahal seharusnya kontrol lah yang paling besar,
karena kontrol tidak diberikan koagulan, kemudian disusul sampel 1, sampel
2 dan sampel 3. Sampel 3 seharusnya yang paling kecil nilai TSS nya, jadi
paling jernih airnya, karena sampel 3 menggunakan tawas paling banyak. Jadi
berdasarkan hasil tersebut, sampel 1 lah yang paling optimal karena nilai TSS
nya paling kecil. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti kuvet yang digunakan untuk sampel 3 adalah kuvet yang
digunakan untuk sampel yang sebelumnya (sampel 2). Setelah kuvet
digunakan untuk sampel 2 kuvet kemudian dicuci dengan air bersih dan
langsung dimasukkan sampel 3 tanpa mengeringkan bagian dalam kuvet
sehingga sampel kontrol bercampur dengan air yang masih terdapat di dalam
kuvet, atau karena pembersihan permukaan luar kuvet kurang bersih sehingga
masih ada kotoran atau debu yang dapat mempengaruhi pengukuran
kekeruhan.
Hasil praktikum ini tidak sesuai dengan ambang batas kadar TSS yang
ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, karena sangat melebihi
ambang batas yang telah ditentukan. Dikarenakan tidak ditemukannya Perda
setempat (sleman/DIY) maka digunakan acuan peraturan nasional, yaitu
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 1 tahun 2010 tentang
Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air. Di sana telah ditetapkan bahwa
kadar maksimal untuk nilai TSS (Total Suspended Solids) air limbah yang

belum diolah adalah 100 mg/L untuk konsentrasi rendah, 220 mg/L untuk
konsentrasi sedang, dan 350 mg/L untuk konsentrasi tinggi. Dengan demikian
limbah perlu diolah dahulu sebelum dibuang kelingkungan atau untuk
dimanfaatkan lagi.
Pengolahan limbah tersebut dapat dilakukan dengan cara sedimentasi,
yaitu mengendapkan kotoran-kotoran yang terkandung dalam limbah.
Kemudian apabila cara sedimentasi masih tidak dapat dilakukan maka
digunakan analisis jar test dengan cara koagulasi dan flokulasi yaitu
menambahkan koagulan dan flokulan dalam limbah sehingga padatan
kotorannya dapat mengendap dan tersisa limbah cair yang lebih jernih. Selain
itu dapat juga digunakan lumpur aktif menggunakan kultur bakteri,
pengolahan secara biologis ini dapat dilakukan secara aerob mauoun anaerob,
sesuai karakteristik limbah dan kebutuhan serta hasil yang diinginkan.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Koagulasi adalah proses penambahan zat kimia (koagulan) yang
memiliki kemampuan untuk menjadikan partikel koloid tidak stabil
sehingga partikel siap membentuk flok (gabungan partikel-partikel
kecil). Flokulasi adalah proses pembentukan dan penggabungan flok
dari patikel-partikel tersebut yang menjadikan ukuran dan beratnya
lebih besar sehingga mudah mengendap.
Metode koagulasi dan flokulasi tersebut dalam pengolahan limbah
digunakan untuk mempercepat pengendapan guna memperoleh air
yang lebih jernih di bagian permuakaan. Dengan pengendapan
tersebut, maka dapat dipisahkan partikel koloid dengan cairannya.
2. Berdasarkan hasil praktikum, diketahui dosis optimum untuk
pemberian koagulan tawas pada sampel 600 ml limbah tahu adalah
sebanyak 10 mL seperti pada sampel 1 dimana menghasilkan nilai TSS
yang terendah yaitu 464 mg/l. Hal tersebut dikarenakan dengan
memberikan dosis 10 mL, TSS permukaan atas yang terukur dari
limbah yang telah diendapkan tersebut memiliki nilai paling rendah.
Hal tersebut berarti pengendapan terjadi secara optimum di bagian
dasar, dan bagian permukaannya jernih sehingga memiliki nilai TSS
rendah.
B. Saran
1. Sebaiknya sampel limbah yang digunakan berbeda di tiap shiftnya
agar bisa dilihat perbandingan hasil Jar Test dari berbagai limbah
industri pertanian.
2. Sebaiknya pengambilan limbah pada hari dimana praktikum
dilaksanakan agar hasil pengukuran lebih akurat dan limbah tidak
terlalu lama didiamkan sehingga dapat mempengaruhi kekeruhan dan
hasil TSS.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.

2014.

Analisis

Jar

Test

dalam

http://goelanzsaw.blogspot.com/2013/02/jart-test.html.

Air.
Diakses

Dalam
pada

Kamis, 17 April 2014 jam 20.46 WIB.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius.
Jenie, Betty Sri Laksmi dan Winiarti Pudji Rahayu. 1993. Pengendalian Limbah
Industri Pangan. Yogyakarta : Kanisius.
Spellman, Frank R. 2009. Water and Wastewater Treatment Plant Operations.
CRC Press. Boca Raton.
Sutiyono. 2006. Pemanfaatan Bittern sebagai Koagulan pada Limbah Cair
Industri Kertas. Dalam Jurnal Teknik Kimia UPN “Veteran” Jawa Timur
Vol. 1, No. 1, September 2006.
Wagiman dan Desy Setioningrum. 2014. Modul Praktikum Pengendalian Limbah
Industri. Yogyakarta: Jurusan Teknologi Industri Pertanian FTP UGM.