Mati Sia Sia Kegagalan System Kesehatan

Mati sia-sia: Kegagalan System Kesehatan di Papua1
Ditulis oleh Bobby Anderson / diterjemahkan oleh Dr. Ita Perwira

Pintu masuk Puskesmas di Bokondini Tolikara yang tutup. Obat-obatan yang seharusnya
dimanfaatkan di Puskemas ini dijual kembali di Wamena. Penduduk kampung bergantung pada
ketersediaan obat-obatan di sekolah Ob Anggen yang dikelola swasta. (Foto: Bobby Anderson,
2013)

Dibawah pelaksanaan kebijakan hukum otonomi khusus (Otsus), mayoritas pengelolaan
sumber daya alam Papua dikembalikan ke pemerintah tingkat provinsi. Kebijakan hukum
yang disahkan pada tahun 2001 ini dimaksudkan untuk mengatasi penyebab timbulnya
kerusuhan politik di Papua serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua sehari-hari.
Kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat Papua terhadap lapangan
pekerjaan di pemerintahan, membuka kesempatan ekonomi, serta akses ke pelayanan
kesehatan dan pendidikan. Namun setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan uang
miliaran rupiah yang telah di keluarkan, sebagian besar masyarakat Papua masih hidup
dalam penderitaan. Papua masih menjadi salah satu wilayah dengan tingkat malnutrisi, TB
(Tuberkulosis) dan HIV yang tertinggi di Indonesia; selain itu dengan tingkat pendapatan
terendah dan angka kematian tertinggi.

Hal ini seolah menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi khusus telah gagal. Namun

kegagalan ini hanya sedikit kaitannya dengan aspek pelaksanaan otonomi khusus yang
dilaksanakan oleh Jakarta. Kegagalan terbesar, untuk masyarakat pada umumnya, adalah
1

Originally Pubished as Dying for Nothing, Inside Indonesia 115, Jan-Mar 2014

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

1

terkait dengan aspek otonomi khusus yang dialihkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten:
untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Di artikel sebelumnya, yang berjudul ‘Kegagalan pendidikan di wilayah pegunungan tengah,
Papua’, saya menggambarkan bagaimana aparat pemerintah dan kelompok elit di daerah
sudah tidak lagi memandang otonomi khusus sebagai cara untuk meningkatkan
pembangunan. Sebaliknya, mereka memandangnya sebagai cara untuk mendapatkan akses
subsidi nasional yang lebih besar, yang dapat mereka ambil keuntungannya secara pribadi

atau dibagikan kepada lingkar jejaring mereka; baik dalam bentuk pemberian pekerjaan atau
keuntungan lainnya. Saya juga memberikan gambaran bagaimana kegagalan otonomi
khusus makin diperkuat dengan banyaknya pembentukan kabupaten, kecamatan dan
kampung baru yang tidak terkontrol sebagai bagian dari proses yang disebut ‘pemekaran’,
lebih sebagai peningkatan akses bagi kelompok elit di daerah, sementara penduduk lokal
Papua semakin tersingkirkan dari pelayanan yang seharusnya mereka dapat untuk
membantu kehidupan mereka.

Kebijakan politik yang saling mempengaruhi tersebut telah merusak sistem pendidikan di
2

wilayah pegunungan .

Dalam artikel ini, saya akan mendiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana dan mengapa
proses yang sama ini juga memberikan dampak terhadap kerusakan sistem pelayanan
kesehatan.

Akhir dari sistem yang tengah berjuang
Di wilayah pegunungan Papua, perkawinan antara dana otonomi khusus dengan elit politik
dan sistem klan yang ada menjadi kombinasi yang ampuh dalam menghancurkan sistem

pelayanan kesehatan.

Seperti yang terjadi pada pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan di wilayah
pegunungan awalnya disediakan oleh pihak gereja lokal dan para misionaris. Pemerintah
Belanda – dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia – mengenali hasil kerja
gereja-gereja tersebut dan menjaga keberadaan mereka sebagai penyedia layanan yang
bekerja mewakili pemerintah. Dalam bentuk ini, pusat pelayanan kesehatan memiliki petugas
dan dapat berjalan dengan baik, termasuk memberikan pelayanan kebidanan, program
imunisasi serta pelayanan kesehatan ibu dan anak juga dapat di akses oleh masyarakat
sekitar. Dinas kesehatan kabupaten memberikan gaji kepada petugas kesehatan di lokasi
tempat mereka bertugas, dan untuk beberapa wilayah seperti Jayapura, terdapat sistem
asuransi kesehatan.

Dalam kondisi terbaik mereka, pelayanan kesehatan ini mampu memberikan pelayanan
kepada kaum minoritas di wilayah pegunungan yang masuk dalam jangkauan mereka atau
2

The Failure of Education in Papua’s Highlands, Inside Indonesia 113, Jul-Sep 2013.

Mati Sia-Sia


Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

2

masih mudah untuk diakses. Sedangkan sebagian besar penduduk hidup di pegunungan
tinggal di daerah yang sangat terpencil, di mana tidak ada pelayanan kesehatan yang
tersedia sama sekali. Rusaknya sistem ini, seperti yang telah saya gambarkan secara detil
3

4

dalam artikel saya yang berjudul ‘Hidup tanpa negara ’, ‘Kegagalan sistem pendidikan ’ dan
artikel lainnya, mulai muncul saat pemerintah mengambil alih pelayanan masyarakat tersebut
di akhir era pemerintahan diktator Suharto.

Setelah pengambilalihan tersebut, sistem pelayanan masyarakat tersebut tidak dikelola
secara lokal lagi, melainkan dikelola oleh adminstrator pemerintah baru yang berbasis di
ibukota kabupaten, untuk mengelola sistem tersebut dari kota. Bahkan banyak dari mereka
belum pernah mengunjungi wilayah-wilayah terpencil yang menjdai tangung jawab mereka,

serta mengkoordinir pegawai yang sama sekali belum pernah mereka temui. Sistem ini
semakin goyah setelah terjadinya kerusuhan tahun 2011 di Wamena, di mana lusinan
pekerja migran yang datang dari wilayah lain di Indonesia dibunuh oleh penduduk asli Papua.
Peristiwa ini menyebabkan banyak pendatang pergi – banyak di antara mereka adalah
petugas kesehatan – meninggalkan Wamena. Tenaga pengganti yang di pekerjakan sebagai
tenaga kesehatan banyak yang tidak memenuhi kriteria atau memiliki keahlian yang
diperlukan, melainkan lebih berdasarkan suku atau marga, dan pada umumnya, mereka tidak
pernah masuk kerja.

Pembentukan struktur administratif baru yang tidak terkontrol, telah menghancurkan sistem
pelayanan kesehatan yang sejak awal lemah, ke dalam unit administratif baru, yang sampai
sekarang sistem pelayanan kesehatan itu belum terbangun kembali. Dengan pengecualian
wilayah Wamena dan beberapa wilayah terbatas lainnya, pelayanan kesehatan di wilayah
pegunungan tengah Papua pada dasarnya menghilang. Hampir segala sesuatu terkait
pelayanan kesehatan susah ditemui: mulai dari pelayanan kesehatan untuk ibu hamil,
imunisasi untuk bayi dan anak, ketersediaan obat untuk TB dan malaria. Akhir dari sistem ini
di banyak wilayah terpencil juga bertepatan dengan mulai munculnya HIV/AIDS.

Kondisi layanan kesehatan di wilayah pegunungan saat ini
Beberapa kelompok masyarakat mampu mengambil keuntungan dari pelayanan yang

dikelola oleh lembaga swasta, LSM, atau gereja. Ada juga beberapa Puskesmas yang
dikelola pemerintah yang berjalan di beberapa ibukota kecamatan, serta Pustu dan Posyandu
di beberapa kampung. Namun akses ke layanan tersebut umumnya hanya ada di kota atau
wilayah yang dekat dengan kota. Ibukota kabupaten memiliki layanan kesehatan yang
berfungsi namun tidak pasti. Di wilayah administratif kabupaten baru, layanan seperti ini baru
saja mulai dibangun di ibukota, meskipun kebijakan otonomi khusus telah dimulai sejak 2001.
Di sebagian besar wilayah perkampungan di wilayah pegunungan pada umumnya tidak ada
layanan yang tersedia. Beberapa aktor atau lembaga non-pemerintah yang menyediakan
layanan di wilayah mereka, misalnya LSM lokal - Yasumat - menyediakan layanan kesehatan
3
4

Living without a State, Inside Indonesia 110, Oct-Dec 2012.
The Failure of Education in Papua’s Highlands, Inside Indonesia 113, Jul-Sep 2013.

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

3


secara paralel di hampir setengah wilayah kabupaten Yahukimo. Di wilayah pegunungan
yang dapat diakses melalui jalan darat dari Wamena, layanan dari pemerintah yang tidak
menentu (tergantung keberadaan tenaga kesehatan) dapat diakses dengan menggunakan
sarana transportasi umum (juga tidak menentu) untuk mencapai wilayah yang memiliki
Puskesmas atau Pustu.

Keadaan topografi yang sulit selalu dijadikan alasan tidak adanya layanan kesehatan di
wilayah terpencil. Padahal sebelumnya, beberapa kelompok gereja memiliki sistem
pengelolaan yang dapat memberikan layanan kesehatan di wilayah terpencil dengan kondisi
infrastruktur dan sumber dana yang jauh lebih terbatas, namun rupanya hal ini telah banyak
dilupakan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan topografi yang sulit
memang menjadi hambatan yang nyata: menurut program analisis kemiskinan di Indonesia
tahun 2006 oleh Bank Dunia, rata-rata keluarga atau rumah tangga Papua tinggal di lokasi
yang berjarak 32 kilometer dari layanan kesehatan terdekat, sementara di Jawa, jarak ratarata hanya 4 kilometer. Jarak ini semakin meningkat bila keluarga tersebut tinggal menjauh
dari pesisir. Di wilayah pegunungan hal ini berarti berjalan selama berhari-hari di medan yang
cukup curam untuk mencapai tempat layanan kesehatan.

Pusat pelayanan kesehatan yang di kelola oleh relawan di Bonohaik, kecamatan Lolat,
Kabupaten Yahukimo. (Foto: Bobby Anderson)


Meskipun demikian, penyebab mendalam dari kegagalan implementasi layanan kesehatan
bukanlah terletak pada masalah geologi atau lempeng tektonik. Penyebab utamanya adalah
pada kelompok politik (yang lebih mengutamakan marga atau suku) dan kecacatan pada
manajemen sumber daya manusia: desentralisasi lebih terpusat pada kekuasaan dalam

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

4

pengambilan keputusan atas penyediaan layanan di tingkat kabupaten, dimana Bupati
seringkali bertindak feodal dalam memberikan keuntungan ataupun kesempatan kerja
terhadap pihak-pihak tertentu Dan pembentukan kabupaten baru memberikan peluang yang
semakin besar kepada para elit politik lokal untuk menciptakan kerajaan mereka sendiri dan
juga akses yang semakin besar terhadap aliran dana. Karena itu muncul gerakan untuk
menutupi motivasi ini, salah satunya adalah dengan mengedepankan bahwa pembentukan
administratif kabupaten baru adalah ditujukan untuk membawa layanan lebih dekat kepada
masyarakat yang membutuhkan. Hal ini adalah kebohongan belaka. Di sistem yang baru,

pelayanan kesehatan tidak berjalan.
5

Di artikel yang berjudul ‘Tanah Hantu’ , saya menjelaskan alasan yang diberikan oleh para
birokrat dari dinas kesehatan, yang menjelaskan mengapa mereka tidak bisa menjalankan
tugas mereka dengan baik, dan yang menyebabkan pasien menolak perawatan. Petugas
Puskesmas yang berada di kecamatan akan menyarankan pasien yang berasal dari
kecamatan baru untuk berobat ke Puskesmas yang berada di wilayah kecamatan mereka,
meskipun kadang Puskesmas atau layanan kesehatan itu belum ada.

Hal yang sama terjadi di tingkat kecamatan, di mana pemekaran terjadi sangat cepat (viral).
Banyak kecamatan yang telah dibentuk selama satu dekade terakhir, namun belum memiliki
pusat layanan kesehatan yang berfungsi dengan baik, yang seharusnya dimiliki oleh setiap
kecamatan. Di hampir semua lokasi ini, gedung pusat administrasi telah dibangun, tetapi
konstruksi bangunan hanyalah sebuah awal. Banyak kantor atau pusat layanan yang tutup,
contohnya karena tidak ada kepala kantor atau penanggung jawab yang ditunjuk. Atau
penanggung jawab telah ditunjuk tetapi tidak ada akomodasi yang dibangun untuk
memberikan dukungan. Atau akomodasi telah dibangun tetapi masih di bawah standar. Atau
kantor dan pusat layanan telah dibangun dan penanggung jawab telah ditunjuk tetapi tidak
ada peralatan penunjang. Atau tidak ada staff yang muncul di lokasi. Atau mereka menolak

relokasi karena tidak ada sekolah di wilayah itu untuk anak-anak mereka. Atau mungkin, staff
telah diangkat dan mereka telah datang ke lokasi, tetapi karena gaji mereka dibayarkan di
ibukota kabupaten, maka mereka harus sering pergi ke kota sehingga mereka jarang ada di
tempat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat saat dibutuhkan.

Untuk saat ini, satu-satunya layanan yang tersedia adalah Puskesmas yang ada di
kecamatan yang sejak awal ada sebelum proses pemekaran, di mana dana tahunan dihitung
berdasarkan perkiraan dari jumlah populasi di tingkat kecamatan, dalam hal ini dana telah
dikurangi saat kecamatan baru dibentuk. Sehingga hasil dari desentralisasi adalah sistem
administratif yang sama melayani jumlah orang yang sama dengan jumlah dana yang
menurun secara drastis. Banyak pusat layanan kesehatan yang menolak melayani
masyarakat yang bukan penduduk wilayah mereka (masuk dalam kecamatan baru) karena

5

Land of Ghosts: Papua’s Rural Lowlands and the Global Economy, Inside Indonesia 112, Apr-Jun
2013.

Mati Sia-Sia


Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

5

menurunnya dana pelayanan yang mereka peroleh. Dan, hal ini terjadi tanpa penjelasan;
dana banyak yang hilang karena relokasi ke kecamatan baru.

Penempatan pegawai merupakan kunci
Orang mungkin menganggap bahwa Puskesmas di wilayah yang belum mengalami
pemekaran berfungsi dengan baik. Pemikiran ini juga salah. Semua alasan yang digunakan
untuk menjelaskan mengapa guru dan pegawai negeri lainnya tidak hadir di tempat kerja
mereka yang ada di wilayah terpencil, juga menjadi alasan yang sama untuk petugas
kesehatan. Alasan-alasan ini telah digunakan berulang-ulang selama bertahun-tahun dan
tidak pernah diselesaikan dengan baik oleh para pemegang kekuasaan dan penanggung
jawab keuangan di tingkat kabupaten. Alasan mengapa masalah penempatan pegawai ini
tidak pernah terselesaikan dengan baik adalah karena seringkali orang-orang yang
dipekerjakan di posisi tersebut memiliki suku atau marga atau hubungan politik dengan
pemegang kekuasaan, namun mereka tidak memiliki keahlian yang sesuai (mereka
kemungkinan merupakan hasil dari sistem pendidikan di wilayah pegunungan yang gagal),
dan mereka juga tidak diharapkan untuk hadir dan bekerja di tempat mereka bertugas. Bupati
sering mendikte proses penerimaan pegawai dan memberikan jabatan kepada keluarga atau
marga mereka, atau kelompok yang memberikan dukungan kepadanya saat kampanye
pemilihan Bupati. Jabatan dalam hal ini hanyalah menjadi aset yang dibagi-bagikan di antara
kelompok atau marga pemegang kekuasaan, atau sebagai imbalan bagi para pendukung
politik. Hal itulah yang menjadi masalah utama: pemekaran dari unit administratif baru dan
pembentukan kantor pemerintahan baru seringkali tidak berhubungan dengan penyedia jasa,
terlepas dari semua pembicaraan terkait dengan akibat yang ditimbulkan.

Sebagian kecil dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam sistem ini sebenarnya
telah berusaha sebaik-baiknya untuk menjalankan tugas mereka, tetapi kinerja mereka
tertutupi oleh kondisi mayoritas yang ada. Untuk pegawai di tingkat bawah, di beberapa
kabupaten, banyak gaji mereka yang dipotong sebelum mereka menerimanya, sehingga
mereka menerima gaji kurang dari seharusnya untuk menghidupi keluarga mereka. Kepala
Dinas Kesehatan kabupaten Tolikara mengeluh pada tahun 2011, bahwa tingginya tingkat
pergantian pegawai yang bertanggung jawab di bidang pelayanan kesehatan (administrator)
di wilayahnya menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak memadai. Namun,
administrator terakhir di keluarkan olehnya, karena dia mencoba untuk membayarkan gaji
petugas kesehatan secara langsung, bukan melalui jalurnya, sehingga dia dapat mengambil
potongan 50 persen di setiap gaji yang bayarkan.

Dan seperti pada sistem pendidikan, masalah pelayanan kesehatan diasumsikan sebagai
masalah infrastruktur, sehingga kabupaten, kecamatan dan kampung baru membangun
gedung yang digunakan sebagai pusat layanan kesehatan dengan menggunakan dana
otonomi khusus. Hal ini seolah-olah wilayah tersebut memiliki banyak tenaga kerja yang
berkualitas dan bersemangat, serta masalah yang mereka hadapi hanyalah kekurangan atap
dan peralatan untuk melayani masyarakat. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Di ibukota

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

6

kecamatan, biasanya mereka memiliki gedung layanan kesehatan (Puskesmas) yang
dilengkapi dengan tempat tidur, rak atau lemari, timbangan bayi dan anak, serta
perlengkapan lainnya. Di beberapa kampung, bahkan mereka memiliki gedung Pustu.
Gedung-dedung tersebut berdiri di sana, tetapi umumnya mereka terkunci: petugas
kesehatan tidak pernah ada di tempat. Saya sempat merawat seorang bapak dengan luka
kecil dan saya harus menggunakan perlengkapan P3K saya sendiri, meskipun saya berada
selemparan batu dari gedung Pustu yang terkunci. Beberapa Pustu atau Puskemas yang
beroperasi menjadi kewalahan melayani pasien, karena banyak pasien yang datang, dan
kadang mereka datang dengan berjalan kaki selama berhari-hari untuk mendapatkan akses
pelayanan kesehatan tersebut.

Salah satu relawan melakukan inventaris dengan dua staf YASUMAT di tempat penyimpanan
obat di sudut gereja di luar wilayah Lolat, kabupaten Yahukimo. (Foto: Bobby Anderson)

Sistem layanan kesehatan ini sedang dalam kesulitan dan berjuang agar dapat berjalan
dengan baik, dan hal ini ditunjukkan dari paket poster baru terkait tentang kesadaran dan
pengetahuan tentang HIV, atau pengiriman obat-obatan yang tidak terjadwal ke Puskesmas.
Obat-obatan yang dikirimkan ke Puskesmas atau Pustu tidak dilengkapi dengan instruksi
yang mudah dan jelas, serta seringkali sudah kadaluwarsa. Tahun ini saya melakukan
inventaris stok obat-obatan di salah satu Puskesmas di wilayah Yahukimo, Tolikara dan
Mamberamo Tengah, dan saya menemukan obat-obatan yang telah kadaluwarsa sejak tahun
2007. Obat-obatan itu dikirimkan tahun 2011. Obat-obatan yang belum kadaluwarsa
seringkali juga harus dihancurkan karena rusak akibat penyimpanan yang tidak sesuai – saat
Puskesmas atau Pustu terkunci, obat-obatan biasanya berakhir dalam kardus dan disimpan
di pojok gereja. Dengan tidak adanya petugas kesehatan, masyarakat yang sakit akan
Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

7

mencari obat-obatan dari stok yang ada tersebut dan mencoba melakukan pengobatan
sendiri, mengambil pil sendiri dari botol obat yang label dan keterangannya sulit terbaca
karena rusak dan basah terkena air.

Kesehatan masyarakat Papua
Tidak tersedianya layanan kesehatan ini terjadi di provinsi yang memiliki tingkat harapan
hidup terendah di Indonesia. Tingkat harapan hidup penduduk asli Papua menunjukkan
angka yang signifikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan populasi migran atau
pendatang yang mendekati angka nasional. Para penduduk migran atau pendatang
umumnya terkonsentrasi di wilayah perkotaan, di mana sistem layanan kesehatan masih
berfungsi. Sebaliknya penduduk asli Papua umumnya berada di wilayah perkampungan yang
terpencil di mana sistem layanan kesehatan tidak berjalan.

Permasalahan kesehatan yang paling signifikan yang dihadapi oleh penduduk asli Papua
bukanlah seperti yang menjadi perhatian utama di media nasional maupun internasional.
HIV/AIDS adalah masalah yang cukup penting, tetapi itu bukanlah ancaman utama
kesehatan masyarakat. Data statistik yang diperoleh di Papua seharusnya dijadikan referensi
dan dimanfaatkan secara bijak dan berhati-hati, dan angka untuk wilayah pegunungan
seharusnya berlipat ganda dari yang tercatat. Bagaimanapun juga, angka yang keluar dari
beberapa penelitian menunjukkan bahwa Papua menduduki ranking terendah di hampir
semua indikator pembangunan sumber daya manusia.

Mari kita mulai dengan kondisi kaum muda: penduduk asli Papua memiliki angka kematian
bayi, anak dan ibu tertinggi di Indonesia. Laporan awal dari Survei Kesehatan dan Demografi
tahun 2012 yang dilakukan oleh Kemenkes (Kementrian Kesehatan), BKKBN dan instansi
lain menunjukkan bahwa: di Papua 40 persen bayi dilahirkan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih, di Jakarta angakanya adalah 99 persen; Di Papua 27 persen bayi dilahirkan di
fasilitas kesehatan, sedangkan di Jakarta angkanya adalah 96 persen.

Laporan ini secara jelas menunjukkan gambaran negatif, angka kematian anak baik di
provinsi Papua maupun Papua Barat, khususnya bila dibandingkan dengan Jakarta. Di
Jakarta, 22 dari 1000 bayi meninggal, tetapi di Papua, angka ini meningkat menjadi 54, dan
di Papua Barat angka ini meningkat menjadi 74. Di Jakarta, hanya 31 dari 1000 anak
dibawah lima tahun yang meninggal, tetapi di Papua Barat angka ini naik menjadi 109 dan di
Papua menjadi115.

Survei kesehatan melaporkan adanya indikasi tingginya angka kematian neonatal (1-30 hari),
post-neonatal (30 hari – 1 tahun), dan bayi (diatas 1 tahun) di provinsi Papua Barat
dibandingkan Papua, yang mana cukup mengherankan karena permasalahan pelayanan
kesehatan di sana tidak sesulit di wilayah Papua. Saya yakin bahwa laporan di wilayah
Papua itu tidak realistik. Saya dan juga orang-orang yang telah menghabiskan banyak
waktunya di wilayah terpencil di Papua dan Papua Barat beranggapan bahwa provinsi yang

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

8

disebutkan terakhir menunjukkan hasil yang keliru bahwa angka kematian neonatal, postnatal dan bayi lebih tinggi karena peneliti memiliki akses yang lebih baik untuk melakukan
penghitungan angka kematian tersebut. Bukan berarti bahwa Papua memiliki angka kematian
yang lebih rendah di kategori tersebut. Namun lebih karena Papua Barat lebih baik dalam
melakukan penghitungan kematian.

Angka tersebut juga dibelokkan karena mereka memasukkan kota dengan penduduk paling
besar dan perkampungan yang paling terpencil. Bayi yang lahir di Jayapura dan bayi yang
lahir di Sinokla tidak memiliki kemungkinan yang sama untuk bertahan hidup samapi umur
lima tahun: perbedaannya sangat besar seperti mereka lahir di benua yang berbeda.

Angka kematian semakin buruk di wilayah terpencil di mana angka statistik tersedia. LSM
dari Perancis, Medecins du Monde yang bekerja di Puncak Jaya sampai saat ini, salah satu
wilayah yang sangat terpencil di pegunungan, dan satu-satunya wilayah dengan kehadiran
OPM yang cukup aktif. Di tahun 2008 mereka memperkirakan angka kematian bayi antara
85-150 per 1000 kelahiran hidup di kabupaten. Dan bagaimana bayi dan anak-anak tersebut
meninggal; penyebab utama adalah karena infeksi saluran nafas akut (khususnya
pneumonia), yang diikuti oleh diare dan malaria. Penyebab kematian ini sangat umum di
masyarakat kampung sehingga dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

Penyebab utama kematian lainnya adalah malnutrisi: di wilayah pegunungan dan dataran
rendah yang terpencil, hal ini terlihat sangat jelas di setiap kelompok anak-anak, dari perut
mereka yang buncit dan kaki yang kurus. Ibu yang biasanya meninggal saat melahirkan,
umumnya disebabkan karena perdarahan atau infeksi neonatal (neonatal sepsis), dan
malnutrisi yang secara tidak langsung berkontribusi dalam penyebab kematian ini juga,
khususnya karena adanya anemia dan lemahnya sistem imun.

Prevalensi malnutrisi di provinsi Papua (yang diukur berdasarkan berat badan dan umur)
adalah 21.2 persen lebih tinggi dibandingkan angka nasional yaitu 18.4 persen. Di wilayah
pegunungan, angka ini kemungkinan bisa mencapai 40 persen. Malnutrisi bukanlah sematamata keadaan kelaparan. Untuk anak-anak, keadaan ini dapat menyebabkan lemahnya
sistem imun, menghambat proses pertumbuhan (stunting/pendek) dan juga menghambat
perkembangan mental dan kognitif.

Parasit merupakan salah satu penyebab utama malnutrisi: anak-anak harus bersaing untuk
sejumlah nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan cacing yang ada dalam tubuh mereka.
Semua kondisi ini diperburuk dengan keterbatasan akses ke air bersih, rendahnya
kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai. Dasar dari kondisi dan praktik yang buruk ini
adalah karena kurangnya pengetahuan, yang merupakan hasil dari disintegrasi antara
infrastruktur pendidikan dan kesehatan selama bertahun-tahun.

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

9

Beberapa kondisi malnutrisi di wilayah pegunungan bukanlah disebabkan karena kurangnya
bahan pangan: namun lebih karena jenis makanan yang disiapkan untuk anak-anak. Proses
menyusui seringkali berakhir terlalu dini ketika bayi dan makanan tambahan diberikan terlalu
dini. Ibu-ibu mulai memberikan makanan seperti sagu saat bayi baru berumur beberapa
minggu, dan hal ini sangat berbahaya untuk bayi. Poltekes Gizi Jayapura melakukan
penelitian terkait dengan praktik pemberian makanan terhadap bayi dan anak di kabupaten
Jayapura pada tahun 2012. Penelitian itu menunjukkan bahwa beberapa bayi dan anak dari
keluarga yang paling miskin justru paling sehat, hal ini terjadi karena keluarga tidak mampu
membeli makanan tambahan dan harus bergantung pada ibu menyusui. Hal ini merupakan
pengaruh baik terhadap program menyusui, namun setelah usia 6 bulan, makanan tambahan
tetap diperlukan.

Sampah medis di Bonohaik, kecamatan Lolat, kabupaten Yahukimo. Bila dalam keadaan kering,
sampah itu dibakar. Kondisi dalam gambar jauh lebih baik dibandingkan di wilayah lain, dimana
sampah medis dibuang dan ditumpuk begitu saja, dan seringkali dimakan oleh babi. (Foto:
Bobby Anderson)

Perawatan untuk calon ibu, memonitor kehamilan dan juga berat badan dan kesehatan bayi,
imunisasi serta proses belajar dan mengajar, biasanya dilakukan melalui kegiatan Posyandu
yang dulu sempat dilaksanakan di kampung-kampung di wilayah Papua. Ketika imunisasi dan
pelayanan kesehatan lainnya berhenti, penyakit campak mulai muncul kembali. Vaksinasi
polio juga terhenti dan saat ini hanya kurang dari setengan atau 50 persen anak yang
mendapatkan vaksinasi. Di wilayah pegunungan, umumnya anak-anak tidak mendapatkan
imunisasi. Di banyak kabupaten baru, belum pernah ada pelaksanaan imunisasi sejak
kabupaten tersebut berdiri. Imunisasi berakhir di kabupaten baru Yahukimo sejak tahun 2002,

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

10

sebulan setelah kabupaten tersebut resmi berdiri, saat mekanisme rantai imunisasi (cold
chain) terputus atau rusak. Vaksin rusak dalam suhu ruangan. Diduga beberapa kasus polio
mulai muncul di wilayah tersebut, di Sumo dan beberapa daerah lainnya.

Epidemi tuberculosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah ancaman kesehatan masyarakat yang lebih berat dibandingkan
HIV/AIDS: karena penyakit ini menyebar melalui aerosol ludah (percikan ludah yang
melayang di udara), dan sangat mudah ditularkan, tidak hanya dengan batuk atau bersin
tetapi juga pada saat berbicara. Mereka yang tinggal atau bekerja di lingkungan sekitar orang
yang terinfeksi TB memiliki 22 persen peluang untuk tertular. Namun program TB termasuk
program yang dananya kurang dibandingkan dengan program sepert HIV/AIDS. Papua
memiliki tingkat penularan tertinggi di Indonesia. Yayasan yang bergerak di bidang kesehatan
di Wamena memperkirakan sekitar 10 persen angka penularan di kota Wamena. Di area
pegunungan sekitarnya, kemungkinan angkanya lebih tinggi.

Kalvari, salah satu klinik swasta di Wamena, telah dikenal secara luas sebagai pusat
pemerikasaan dan pengobatan TB di wilayah pegunungan tengah: hampir semua pelayanan
kesehatan di kabupaten merujuk pasien kesana, dan pasien datang dari Lanny Jaya, Tolikara,
Mamberamo Tengah, Yahukimo, Nduga dan Yalimo menempuh perjalanan yang cukup jauh
selama berhari-hari untuk mencapainya.

Kalvari mulai melakukan tes terhadap pasien TB di klinik mereka dan mereka menemukan
bahwa 50 persen dari pasien TB juga positif HIV: ko-infeksi merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien HIV karena sistem imun mereka melemah sehingga mudah terkena
infeksi. Kurangnya pelayanan kesehatan di wilayah pegunungan telah memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap terjadinya epidemik ini. TB didiagnosa melalui pemeriksaan
mikroskopik dahak, dalam hal ini hanya Kalvari dan beberapa pelyanan kesehatan yang
mampu melakukan tes tersebut di wilayah pegunungan , hal ini membuat proses diagnosa
TB menjadi sangat terbatas. Selain itu kualitas dan akurasi deteksi TB juga sangat
tergantung pada tingkat kesalahan, yang mana juga dipengaruhi oleh kualitas peralatan yang
digunakan untuk tes seperti mikroskop dan reagen yang digunakan. Kadang petugas yang
sudah sangat terlatih pun memiliki tingkat kesalahan 25 persen. Perawatan untuk TB
membutuhkan waktu cukup lama dan membutuhkan pengawasan: obat-obatan harus
disediakan paling tidak untuk jangka waktu setahun.

Protokol terapi yang diterapkan Kalvari untuk pasien TB menunjukkan bahwa tidak mungkin
menyediakan pelayanan ini tanpa adanya dukungan dari dinas kesehatan di tingkat
kabupaten. Pasien TB yang datang ke Kalvari diminta untuk tinggal di Wamena selama 2
bulan pertama untuk terapi yang berkelanjutan, dan mereka juga membantu mencarikan
hostel untuk pasien yang tidak memiliki keluarga di Wamena. Setelah dua bulan, dan
pemeriksaan dahak kedua, pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya masih positif harus
tinggal selama satu bulan lagi di Wamena. Setelah itu tes lanjutan akan dilakukan, dan bila

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

11

setelah satu bulan mereka masih juga positif, maka mereka akan mendapatkan perawatan
yang lebih intensif lagi. Kalvari bekerja dalam skala kecil sehingga menjadi hambatan untuk
merawat lebih banyak lagi pasien yang menderita TB dengan dengan pelayanan seperti yang
dijelaskan di atas.

Pasien yang menunjukkan hasil negatif setelah pengobatan awal selama 2 bulan akan
melanjutkan ke fase berikutnya: mereka akan pulang kerumah dengan persediaan obatobatan untuk satu bulan berikutnya. Untuk pasien yang tinggal diluar kabupaten Jayawijaya,
Kalvari akan merujuk pengobatan dan pengecekan dahak mereka ke Puskesmas yang
berfungsi di wilayah kabupaten mereka yang lokasinya paling dekat dengan tempat tinggal
pasien. Namun, meskipun dengan 2 bulan pengobatan awal dan edukasi yang cukup
komprehensif

oleh

petugas

kesehatan

dari

Kalvari

mengenai

pentingnya

untuk

menyelesaikan pengobatan TB, tingkat putus obat masih cukup tinggi yaitu berkisar 15
sampai 45 persen. Alasan untuk tidak melanjutkan pengobatan cukup beragam. Pada banyak
kasus, setelah menerima pengobatan selama beberapa bulan, pasien umumnya merasa
sehat, dan tanpa adanya sistem pengawasan maka mereka putus obat. Efek samping obat
juga menjadi salah satu alasan mengapa pasien memutuskan berhenti: nyeri tulang dan
kencing yang berwarna merah merupakan keluhan yang umum terjadi. Namun penyebab
terbesar putus obat adalah terkait ketersediaan obat: seringkali Puskesmas tidak memiliki
obat-obatan yang dibutuhkan, atau kadang mereka hanya punya persediaan obat untuk
beberapa hari saja.

Beberapa LSM telah mencoba membantu dengan program pengawasan masyarakat, namun
aspek yang utama – suplai obat – terlalu kacau untuk menunjukkan bahwa pelaksaan
program seperti ini dapat membantu meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan. Selain
itu, adalagi hal yang lebih buruk terkait dengan kurangnya ketersediaan obat di beberapa
wilayah: adalah merupakan mandat bahwa obat-obatan TB ini disediakan secara gratis.
Obat-obatan ini oleh beberapa orang seperti petugas kesehatan yang mencoba mengambil
keuntungan dengan cara menjual obat-obatan tersebut ke apotik swasta yang kemudian
menjual kepada pasien.

Kasus TB resisten obat (MDR/Multi Drug Resistant) menjadi meningkat dengan semakin
banyaknya putus obat. Indonesia secara nasioal cukup kesulitan dalam menangani kasus
MDR: Indonesia baru mulai menangani masalah ini sekitar tahun 2009 dan sejak saat itu
telah dibuka 10 pusat layanan TB MDR. Di Jayapura, 20 kasus telah terdeteksi dan 11 di
antaranya telah meninggal. Bahaya terbesar adalah ketika pasien TB MDR gagal untuk
menyelesaikan pengobatan yang akan menyebabkan terjadinya total resiten terhadap obat
(Extensive Drug Resistance) atau TB XDR. Proses pengobatan untuk saat ini, yang telah
banyak membunuh pasien adalah pengobatan selama 2 tahun. Dan satu-satunya
pengobatan untuk yang terakhir adalah isolasi sampai meninggal. Kemungkinan munculnya
TB XDR di wilayah pegunungan sangatlah dekat.

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

12

HIV/AIDS
Penduduk Papua memiliki angka HIV/AIDS yang paling tinggi di Indonesia, dan Papua
merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan infeksi HIV yang paling cepat di Asia.
Menurut UNDP, 2.4 persen masyarakat Papua terinfeksi HIV, di mana angka nasional adalah
0.2 persen. Penduduk pendatang yang menderita HIV memiliki angka kesakitan mendekati
angka nasional. Persentase terbesar infeksi adalah pada masyarakat asli Papua.

Buku pasien dan daftar obat-obatan yang dibagikan di Bonohaik, kecamatan Lolat. Ini
merupakan salah satu klinik kesehatan terbaik yang di kelola oleh relawan di wilayah
pegunungan. (Foto: Bobby Anderson)

Pada

tahun

2007,

Badan

pengembangan

milik

Australia

(Australian

development

agency/AusAID), telah memperkirakan bahwa pada tahun 2025, angka HIV di Papua akan
meningkat menjadi 7 persen, dibandingkan angka nasional yaitu 1.8 persen. Namun, petugas
kesehatan di Wamena telah memperkirakan prevalensi penyakit HIV akan mencapai angka
antara 8 ke 10 persen di wilayah mereka. Tingkat HIV di area sangat terpencil di wilayah
pegunungan tidak diketahui, namun jumlah laki-laki muda, perempuan dan anak-anak yang
meninggal karena penyebab yang tidak diketahui secara jelas yang di luar proporsi yang
seharusnya dari sebuah provinsi: hal ini diduga karena HIV.

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

13

Para lelaki bekerja di wilayah perkotaan di bidang konstruksi bagian dari pembangunan yang
marak karena proses pemekaran kabupaten-kabupaten baru dan juga dana yang berasal dari
dana otonomi khusus yang mengalir cukup besar dan banyak digunakan untuk
pembangunan, menyebabkan banyaknya penularan HIV melalui pelacuran. Wamena, Timika
dan kota-kota lainnya berperan sebagai area penularan untuk penyakit ini dan juga penyakit
menular seksual lainnya. Data surveilans dari Kemenkes yang dikumpulkan tahun 2011
(IBBS) menunjukkan bahwa 25 persen dari pekerja seksual di Wamena positif HIV, dan 35.4
persen terinfeksi gonore, 31.4 persen menderita sifilis dan 44.8 persen menderita klamidia.
Secara umum transaksi seksual melibatkan pekerja seksual yang tidak aman, dengan
beberapa pengecualian usaha (kepercayaan lokal) untuk mengurangi risiko: seperti para lakilaki melukai dirinya untuk mengeluarkan darah kotor setelah mengunjungi pekerja seksual.

Penyediaan wanita penghibur atau pekerja seksual sebagai hadiah di jaringan yang
dilindungi pegawai pemerintahan saat ini menjadi hal yang biasa atau standar, dan hal ini
mungkin bisa membantu menjelaskan adanya bukti anekdot yang menunjukkan bahwa lakilaki Papua yang paling cepat tertular HIV adalah para pegawai negeri: seperti kepala
kampung, anggota komisi pemilihan umum, dan seterusnya. Di kecamatan Ninia yang
merupakan bagian dari kabupaten Yahukimo, kampung halaman Bupati yaitu Balingama/Yabi
memiliki angka HIV yang tertinggi saat diidentifikasi oleh LSM lokal yang bekerja di wilayah
tersebut.

Faktor lain yang ikut mendukung tingginya tingkat penularan adalah budaya dan kepercayaan
lokal yang masih menerima pemerkosaan sebagai hak prerogatif laki-laki untuk dianggap
kuat: di survey terbaru yang dilakukan oleh lembaga berbasis gereja di Tolikara, mayoritas
perempuan muda mengaku bahwa hubungan seksual pertama mereka adalah karena
pemaksaan.

Banyak lelaki yang bekerja diluar kampung mereka kembali pulang dengan membawa
penyakit. Dan karena tidak adanya sistem pelayanan kesehatan di lokasi ini, akibat terburuk
yang dapat ditimbulkan sangat terasa. Contohnya, prevalensi penyakit menular seksual
mungkin dapat membantu menjelaskan beberapa kasus infertilitas di wilayah pegunungan
baik pada pria maupun wanita, yang dicatat oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang
kesehatan sebagai hal mulai banyak terjadi dan patut dipertimbangkan.

Untuk mereka yang benar-benar mencari pertolongan untuk mengobati HIV melalui terapi
ARV (Obat anti viral), ketersediaan obat cukup sulit, bahkan kadang di Jakarta. Di Papua,
sangat sulit untuk menjaga ketersediaan obat ARV kecuali mereka sangat kaya. Sementara
di belahan dunia lain HIV termasuk penyakit yang dapat di kelola, di Papua – dan khususnya
di wilyah pegunungan – kondisi ini merupakan hukuman mati untuk beberapa orang. Untuk
lebih jelasnya dapat dibaca di tulisan dan foto karya Carole Reckinger dan Antoine Lemaire
mengenai HIV di Papua.

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

14

Bukti anekdot mengindikasikan bahwa hampir semua orang papua yang meninggal karena
penyakit yang berhubungan dengan AIDS tidak menyadari bahwa mereka mengidap HIV.
Begitupula dengan keluarga mereka. Di perkampungan di wilayah pegunungan saya
mendengar kasus demi kasus tentang suami istri yang masih cukup muda meninggal karena
penyakit yang tidak diketahui, dan diikuti juga oleh kematian anak-anak mereka.

Untuk penduduk Papua yang telah didiagnosa, gagasan tentang kerahasiaan pasien tidak
ada: kondisi mereka yang positif HIV mungkin akan tersebar di masyarakat dan
lingkungannya. Dan mereka sangat ketakutan akan stigma, dimana masyarakat dan keluarga
akan segera menjauhi orang-orang yang terkena HIV. Gereja lokal mengkhutbahkan bahwa
HIV merupakan hukuman Tuhan bagi yang berbuat dosa. Media spiritual yang digambarkan
bedasarkan kepercayaan sebelum Kristen, mengajarkan bahwa HIV/AIDS merupakan hasil,
bukan karena tidakan atau perilaku, melainkan akibat kutukan yang dapat disembuhkan
melalui cara-cara spritual yang dapat menggagalkan kutukan tersebut.

Memperbaiki sistem
Langkah-langkah yang perlu digunakan untuk memperbaiki layanan kesehatan yang telah
rusak ini secara umum adalah sama dengan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk
memperbaiki sistem pendidikan di wilayah pegunungan. Pertama, pihak-pihak terkait harus
menyadari alasan mengapa sistem yang ada tidak bekerja. Apa yang dibutuhkan oleh para
petugas kesehatan supaya mereka hadir di tempat kerja mereka, termasuk petugas yang
mengelola bidang kesehatan di tingkat kabupaten yang bertanggung jawab untuk mengelola
pelayanan kesehatan di wilayah tersebut. Obat-obatan harus tersedia untuk pengobatan
yang memerlukan jangka waktu lama. Hal ini berarti mampu mengelola keberlangsungan
rantai pengadaan obat, penyimpanan yang baik dan benar, dan menjaga agar suhu
penyimpanan yang sesuai (secara umum disebut sebagai rantai dingin atau ‘cold chain’),
dengan keberadaan petugas yang terlatih mengiringi setiap langkah ini.

Menjaga suhu merupakan hal yang sangat penting: tanpa hal ini, obat-obatan tidak berguna.
Pada kenyataannya, dapat lebih buruk daripada tidak berguna: contohnya adalah mencoba
melakukan pengobatan TB dengan regimen yang tidak dapat dipenuhi karena adanya
kesalahan dalam rantai penyediaan obat atau penyimpanan dengan suhu yang tidak baik
(merusak obat) akan mengakibatkan kegagalan pengobatan dan mendorong kea rah TB
MDR dan XDR yang akan lebih sulit, atau tidak mungkin di obati.

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

15

Pasien menunggu pemeriksaan di Bonohaik. Bapak ini berjalan selama beberapa hari untuk
mengobati tangannya yang terluka. Dia bias terkena sepsis bila lukanya terinfeksi dan tidak
segera diobati. (Foto: Bobby Anderson)

Petugas yang tidak masuk kerja atau tidak memiliki kualifikasi yang sesuai harus diganti. Di
struktur feodal yang kami sebut ‘desentralisasi’, Bupati memiliki kekuasaan yang sangat
besar. Tetapi mereka perlu dibebaskan dari hak yang dapat mempengaruhi proses pemilihan
sumber daya manusia untuk layanan kesehatan di kabupaten. Satu hal untuk menghargai
petugas yang tidak hadir di birokrasi sipil, dimana gaji yang mereka terima diambil dari dana
kesehatan yang ada, namun akibat dari hal ini adalah kematian yang seharusnya tidak terjadi.
Posisi yang penting seperti ini seharusnya menjadi pertimbangan dan harus dilindungi.

Petugas kesehatan seharusnya digaji di tempat dan juga didukung dengan fasilitas yang
mereka butuhkan. Dukungan fasilitas ini seharusnya diberikan hanya kepada petugas
kesehatan baru atau mereka yang memiliki catatan yang baik dalam bekerja. Memberikan
tambahan dukungan fasilitas kepada mereka yang tidak hadir dalam melaksanakan tugas
dengan harapan mereka akan bekerja adalah sama dengan memberikan penghargaan
kepada orang yang lalai.

Dalam periode sementara perbaikan sistem pemerintahan, salah satu pilihan untuk
pemerintah kabupaten dan provinsi adalah dengan secara formal mengenali institusi paralel
yang telah di bentuk untuk mengisi kekurangan dalam layanan kesehatan. Pemberi layanan
kesehatan berbasis kelompok masyarakat – seperti Yasumat, Kalvari, dll – telah dikenali

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

16

sebagai bagian yang sangat penting dalam sistem. Para pekerjanya seharusnya dapat
dimasukkan dalam sistem pemberian gaji oleh pemerintah, tetapi dibayarkan melalui gereja
atau lembaga lainnya yang mengelola sistem tersebut.

Bahkan usaha melakukan perubahan ini hanya akan memperbaiki bagian luarnya saja
(kosmetik). Hal yang busuk masih tetap disana, karena kondisi ini terjadi tidak hanya pada
posisi pendidikan dan kesehatan saja, dimana pegawai tidak hadir dan melakukan
pekerjaannya. Tidak ada satupun elemen dalam birokrasi Papua yang tidak terpengaruh
dengan penyakit malas ini. Otonomi khusus tidak berjalan. Tetapi kegagalannya secara
mudah ditutupi oleh hal sederhana yang dikaitkan dengan hak masyarakat Papua yang mana
tidak memperbaiki apa yang rusak dalam sistem. Kebijakan hak terhadap minoritas telah
disalah artikan sebagai kembalinya kekayaan Papua menjadi milik individual. Yang
mengambil keuntungan adalah para elite lokal dan mereka yang memiliki koneksi dengan
para elit tersebut baik melalui marga, suku atau ikatan lainnya. Masyarakat umum telah
dicurangi haknya untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan karena hal ini.

Digilas roda modernitas?
Saya teringat akan gambaran tentang anak muda Papua dengan badan kurus yang
berjongkok di kardus yang telah diratakan, dekat tumpukan sampah yang telah dibuang oleh
pemilik toko yang merupakan seorang pendatang atau migran. Saya berjalan kearahnya
pada suatu malam di Jayapura, pada bulan September 2011, saya berhenti dan bicara
kepadanya. Dia barusaja datang di Jayapura dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang
terbatas. Dia

berjalan dari kampung di Keerom, yang berjarak satu hari. Dia memeluk

lututnya, tasnya ditumpuk di belakangnya. Semua keahliannya yang berasal dari kampung
telah usang dan tidak lagi sesuai dengan dunia yang beraspal dan papan sirkuit yang jauh
berbeda dari dunianya.

Hal ini sudah lumrah terjadi dari satu budaya ke budaya lainnya yang tidak berhenti berdarah
karena masuknya modernitas keseluruh pelosok dunia. Penetrasi ekonomi modern dan
perubahan budaya yang datang bersama mereka tidak dapat dibendung. Namun efek ini
dapat diredam dengan memberikan pengetahuan dan alat bagi masyarakat yang budayanya
mulai tenggelam. Hanya dengan persiapan dan perlengkapan yang baik mereka akan
mampu bertahan dalam dunia baru ini, dan mereka mampu untuk mengambil keputusan
untuk diri mereka sendiri tentang bagaimana cara mereka dapat beradaptasi, tidak perduli
seberapa berat keputusan yang telah mereka ambil. Pendidikan dan kesehatan sangat
penting untuk mempertahankan diri.

Saat mereka sangat membutuhkan pendidikan dan kesehatan, mereka dicekoki dengan
fantasi yang berlebihan tentang kemerdekaan yang harus terjadi dan dijanjikan bahwa hal ini
akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tetapi bila daerah perkampungan Papua
tidak memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan yang berfungsi, mereka
akan hancur dalam beberapa generasi mendatang. Keberlanjutan akan sistem yang rusak

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

17

dan tidak berfungsi akan menghasilkan kampung yang angka buta huruf dan tingkat
pertumbuhan penduduknya negatif, mereka hanya akan berdagang seadanya sampai
mereka mati sebelum waktunya. Setiap orang yang mengambil gaji tanpa datang bekerja
baik di bidang pendidikan atau kesehatan di wilayah pegunungan, ikut terlibat di dalam
proses yang membuktikan adanya autogenocide (genosida yang terjadi dengan sendirinya).
Ikut menjadi pengamat dalam melanjutkan tragedi ini dan juga untuk ikut bersekongkol di
dalamnya.

Ini adalah masalah yang mendesak.

Bobby Anderson (rubashov@yahoo.com) bekerja di bidang kesehatan, pendidikan dan pemerintahan
di Indonesia Timur, dan dia sering mengunjungi provinsi Papua. Artikel ini dan juga artikel lainnya dapat
ditemukan di http://independent.academia.edu/BobbyAnderson/

Mati Sia-Sia

Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014

18