POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG POLITIK DI INDONESIA

  

POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

BIDANG POLITIK DI INDONESIA

  1 Oleh : TRI HERMINTADI, SH, MH .

A. Pengantar

  Jika konfigurasi politik demokratis maka akan melahirkan karakter hukum yang responsif. Konfigurasi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan

  2

  kebijaksanaan umum, partisipasi ini dapat di tentukan atas dasar mayoritas oleh wakil- wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan di selenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Begitupun jika konfigurasi politik otoriter akan melahirkan karakter hukum yang konservatif atau ortodoks. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif

  3 dalam pembuatan kebijakan negara.

  Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik. Dalam mengidentifikasi apakah suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter, maka indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, kebebasan pers dan peranan pemerintah. Untuk mengidentifikasi apakah suatu produk hukum resfonsif atau ortodoks, maka indikator- indikatornya yang dipergunakan adalah proses pembuatannya sifat dan fungsinya dan kemungkinan penafsirannya. Perundang-undangan di bidang politik dalam hal ini Undang-undang No.12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD dan DPRD, dan Undang-undang Nomor 1 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 2 Penulis adalah Peneliti Pada Puslitbang Kumdil MARI/sebagai struktural di Badilag MARI.

  Menurut hemat penulis Perundang-undangan tersebut dibuat di era reformasi yang menjunjung tinggi semangat kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi baik pada tataran eksekutif, legeslatif serta masyarakat Indonesia pada umumnya, atas dasar tersebut dapat ditafsirkan bahwa UU No.12 tahun 2003, UU No.23 tahun 2003 dan PP No.9 tahun 2004 termasuk berciri konfigurasi politik demokratis yang melahirkan karakter hukum yang responsif. Meskipun dalam praktek proses pembuatan dan pelaksanaannya masih di jumpai penyimpangan-penyimpangan yang mengurangi nilai- nilai keadilan dan demokratisasi. Pandangan Ilmu Hukum Tata Negara terhadap Pemilu, merupakan obyek bahasan yang menarik salah satu kajian ilmu hukum tata negara adalah hal-hal yang ada kaitannya dengna masalah-masalah kekuasaan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan maka dari sudut pandang ilmu hukum tata negara, pemilu merupakan proses pergantian kekuasaan yang di lakukan secara berkala dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh

  4 kontitusi.

  Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat di tandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan ketatanegaraan. Oleh Karena itu, dari kajian Hukum tata Negara, pemilu merupakan proses pengambilan keputusan oleh rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, di samping pemilu memiliki fungsi rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan. Begitu mendasarnya pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat kita telusuri sejak awal berdirinya republik ini hingga kurun waktu orde baru sampai dengan orde reformasi sekarang yang telah dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004 untuk pemilihan legislatif dan 5 Juli 2004 untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu dapatlah dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan ketatanegaraan yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara

  4

  Indonesia yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana di tegaskan dalam Pembukaan UUD 1945. Adanya perubahan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, akan tetapi menurut ketentuan Undang-undang Dasar sesuai Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa :

  ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan di laksanakan menurut Undang-undang D asar”. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum baik untuk anggota DPR, DPD dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden atas dasar itu rakyat dapat memilih langsung wakil-wakilnya di DPR sesuai Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut : Anggota dewan perwakilan rakyat di pilih melalui pemilihan umum, dengan ketentuan ini semua anggota DPR,DPD dan DPRD harus di pilih oleh rakyat tidak ada lagi yang di angkat seperti sebelumnya. Begitupun Presiden dan Wakil Presiden di pilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu seperti dinyatakan dalam Pasal 6 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai berikut : Presiden dan wakil Presiden di pilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dan pasangan calon presiden dan wakil presiden di usulkan oleh partai politik atau

  5 gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

  Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat di laksanakan setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil oleh

  6 sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

  Pemilu Presiden dan wakil Presiden merupakan proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab, dan hal tersebut untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif dan dapat di pertanggung jawabkan.

  5

  Dalam tulisan ini di arahkan untuk memfokuskan pada politik hukum khususnya yang terdapat dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pada awal tulisan di perdalam pembahasan tentang kebijakan pemberlakuan ketentuan perundang-undangan, yaitu UU No.12 tahun 2003 tentang PEMILU Anggota DPR,DPD dan DPRD, UU no.23 tahun 2003 tentang PEMILU Presiden dan Wakil Presiden dan PP No.9 tahun 2004 tentang Kampanye oleh Pejabat Negara, selanjutnya akan diuraikan berbagai permasalahan menyangkut ketiga ketentuan perundang- undangan tersebut.

B. Kebijakan Pemberlakuan

  Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, SH,LLM,Ph.D, undang-undang Pemilihan Umum di samping mengatur tentang bagaimana seorang individu dapat mewakili rakyat dalam lembaga legislatif, bisa juga ditujukan untuk memberi legitimasi

  7 adanya ”demokrasi” di suatu negara.

  Memilih Presiden dan wakil Presiden secara langsung tanpa paksaan dari pihak manapun. Hal ini akan memberikan label demokrasi terhadap Indonesia, begitu juga terhadap PP No.9 tahun 2004 yang mengatur tentang ketentuan kampanye pemilu yang di lakukan oleh pejabat negara seolah-olah akan tergambarkan bahwa pejabat negara harus memenuhi persyaratan tertentu jika ingin melakukan kampanye pemilu. Kondisi ini juga akan melahirkan stigma positif bagi pemerintah. Pertimbangan-pertimbangan di atas merupakan kebijakan pemberlakuan yang memang memiliki muatan politis dan berpihak kepada pembuat Perundangan-undangan, sedangkan kebijakan dasar dari perundangan-undangan tersebut relatif lebih netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembuatan perundang-undangan tersebut.

  7

  Kebijakan dasar UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana di amanatkan UUD 1945. Selain itu untuk mengakomodasi daerah di pilih anggota DPD yang pesertanya perorangan, dan kebijakan dasar UU No.23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden untuk memilih Presiden dan wakil Presiden agar memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana di amanatkan UUD 1945, sedangkan kebijakan dasar PP No.9 tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum oleh Pejabat Negara agar para pejabat negara pada saat melakukan kampanye memenuhi ketentuan penggunaan fasilitas negara yang melekat dan terkait dengan jabatannya, disamping itu, cuti bagi pejabat negara untuk melaksanakan kampanye serta untuk tetap memelihara terselengaranya misi dan kelancaran tugas-tugas pemerintahan. Kebijakan pemberlakuan suatu perundang-undangan memiliki muatan politis dan kerap di pengaruhi oleh faktor, baik faktor internal (dalam negeri) dan faktor eksternal (luar negeri) faktor internal bisa berasal dari, keinginan individu, keinginan partai politik, keinginan LSM dan bahkan keinginan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal berasal dari keinginan negara donor yang mempunai kepentingan tertentu.

C. Ragam Kebijakan Pemberlakuan UU Bidang Politik 1. Faktor Internal

  Faktor internal terpenting yang mempengaruhi proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 adalah sebagai berikut : a.

  Adanya tuntutan pelaksanaan pemilihan langsung oleh rakyat sejalan dengan era reformasi yang mengedepankan kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi menuju kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Adanya pemilihan anggota legislatif, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung di harapkan akan terpilih wakil-wakil rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan pemerintahan.

  b. Mengganti ketentuan yang lama, sebelum UUD 1945 di amandemen, dalam sistem ketatanegaraan, Presiden dan wakil Presiden di pilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku pemegang kedaulatan rakyat. Setelah di amandemen UUD 1945 dan di tetapkan UU No.23 tahun 2003 Presiden dan wakil Presiden dapat di pilih secara langsung oleh rakyat yang telah di laksanakan pada tahun 2004. Adanya kepentingan Politik, dalam proses pembuatan UU No.12 tahun 2003 di indikasi penuh dengan nuansa politis, sehingga banyak pihak menilai UU No.12 tahun 2003 kurang demokratis dan cenderung memihak kelompok tertentu. Bahkan ada juga kelompok yang mengatakan bahwa UU tersebut cacat hukum, namun meskipun demikian UU No.12 tahun 2003, dan UU No.23 tahun 2003 tetap menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu 2004.

2. Faktor Eksternal

  Faktor eksternal terpenting yang mempengaruhi proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden secara langsung adalah sebagai berikut : a. Menarik simpati dunia internasional

  Gelombang demokratisasi yang melanda negara-negara di belahan dunia menarik minat Indonesia untuk turut serta, demokrasi seolah telah menjadi mata uang yang berlaku di negara manapun, penegakan demokrasi (dan juga HAM) di suatu negara menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa di mata dunia internasional. Salah satu wujud demokrasi yang menarik perhatian dunia internasioanl pada saat-saat ini adalah pemilihan langsung anggota legislatif, Presiden dan wakil Presiden di Indonesia. Indonesia di nilai banyak pengamat internasional telah mengalami kemajuan dibidang demokratisasi yang pesat, terutama sejak pemilu, legislatif dan pemilu Presiden dan wakil Presiden yang terbilang lancar dan aman. Jadi tak dapat di sangkal bahwa proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 oleh b. Melakukan Harmonisasi Hukum di Indonesia. Harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu hal yang penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjerumus pada keseragaman di bidang infrastruktur hukum akan berdampak pada kenyaman untuk berinvestasi dari pelaku usaha negara maju di Indonesia yang berkembang.

  Harmonisasi hukum di Indonesia, seperti harmonisasi UU di Bidang politik di tuntut oleh negara maju dalam rangka kampanye demokratisasi yang beraroma

  western yang melegalkan pemilihan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden

  secara langsung, tampaknya perundang-undangan kita tentang Pemilu mengadopsi dari hukum barat dalam hal ini khususnya Amerika Serikat, negara yang selama ini mempunyai ”kepentingan besar” di Indonesia. Harmonisasi UU politik ini memang cukup mengakomodir kepentingan asing di Indonesia. Hal ini karena pertimbangan opini internasional tentang perkembangan demokratisasi dan penegakan HAM di Indonesia.

  c. Merespon Kebutuhan Masyarakat Dalam banyak kesempatan, negara-negara donor mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu Undang- undang. Kepentingan asing tersebut ”membungkus” kepentingannya dengan mengatakan bahwa apa yang di lakukan adalah kebutuhan masyarakat Indonesia.

  Bahkan pesan-pesan sponsor asing telah menyusup menjadi agenda kerja para pejabat dan politisi. Dalam UU No.23 tahun 2003 secara tersirat tidak tertutup kemungkinan mengandung pesan sponsor yang mempunyai kepentingan di Indonesia.

D. Permasalahan Seputar Pelaksanaan Rangkaian Pemilu

  Permasalahan seputar UU No.23 tahun 2003 lebih besar pada aspek pelanggaran pada pelaksanaan rangkaian pemilu, kurang sosialisasi atau memang ketaatan masyarakat pada undang-undang masih sangat rendah. Pelanggaran- a.

  Melakukan Politik Uang Untuk Mempengaruhi Pemilih. Praktek-praktek politik uang selama masa kampanye putaran pertama melanggar beberapa peraturan seperti, Pasal 77 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003, selama masa kampanye sampai di laksanakan pemungutan suara, calon DPR, DPD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di larang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.

  Dalam Pasal 39 SK KPU 701 tahun 2003 menyebutkan bahwa selama masa dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD dan DPRD Propinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota di larang menjanjikan dan atau/ memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.

  b. Melakukan Kampanye di luar Jadwal Kampanye Pemilu legislatif yang telah dilaksanakan pada tahun 2004 lalu banyak terjadi pelanggaran dimana para Parpol melaksanakan kampanye di luar jadwal, padahal Pasal 138 ayat (3) UU No.12 tahun 2003 mengatakan antara lain sebagai berikut :

  Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU untuk masing-masing peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), di ancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Hal tersebut di atas menimbulkan polemik di masyarakat apakah yang dilakukan parpol termasuk kampanye atau bukan. Untuk menjelaskan hal ini, dalam

  Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 07 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada ketentuan umum di sebutkan lima unsur mengenai batasan apa itu yang disebut kampanye, baik untuk Parpol ataupun calon anggota DPD. Kelima unsur tersebut adalah pertama dilakukan oleh pengurus parpol dan

  (keanggotaan di tandai oleh kartu tanda anggota). Ketiga untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya (misal ajakan tertulis atau lisan untuk mencoblos tanda gambar dan nama calon tertentu) dengan menawarkan program. Keempat melalui media/ruang terbuka/ruang tertutup. Kelima dilaksanakan pada 11 Maret 2004 hingga 1 April 2004, sedangkan untuk calon anggota DPD ada perbedaan yakni tidak ada unsur meyakinkan pemilih bukan anggota dan bersifat komulatif artinya harus memenuhi semua unsur tersebut bila dikategorikan pelanggaran.

  c. Penyalahgunaan Fasilitas Jabatan, Fasilitas Pemerintah dan fasilitas Umum. Penyalahgunaan fasilitas jabatan, fasilitas pemerintah dan fasilitas umum, termasuk pelanggaran yang cukup banyak pada pelaksanaan kampanye pemilihan anggota legislatif, pada tahun 2004. Selanjutnya apa yang dimaksud dengan fasilitas jabatan, fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum ? Pasal 75 ayat (2) huruf a UU No.12 tahun 2003 menyebutkan bahwa : Pejabat negara yang berasal dari partai politik yaitu, Presiden/wakil Presiden/Menteri/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/wakil Bupati/Wali kota/Wakil Walikota.

  Dalam kampanye harus memenuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, fasilitas yang terkait dengan jabatannya adalah semua bentuk kewenangan, barang, jasa dan fasilitas lainnya yang melekat pada jabatan, dibiayai sebagian atau seluruhnya oleh APBN/APBD yang pemanfaatannya berada dibawah wewenang dan tanggung jawab jabatannya dan untuk mendukung kegiatan penyelenggaraan negara, pemerintah dan pembangunan.

E. Penutup

  Kesimpulan Identifikasi suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter, indikator- indikator yang di pergunakan adalah peranan partai politik dan Lembaga Perwakilan Rakyat, kebebasan pers dan peranan pemerintah. Sedangkan untuk mengidentifikasi yang dipergunakan adalah proses pembuatannya, sifat dan fungsinya dan kemungkinan penafsirannya. Undang-undang No.12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang No.23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2004 tentang kampanye oleh Pejabat Negara berciri konfigurasi politik demokratis yang melahirkan karakter hukum yang responsif. Pemilu merupakan proses pengambilan keputusan oleh rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, disamping Pemilu memiliki fungsi rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab, untuk menjamin pelaksanaan pemilu Presiden dan wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipasi dan dapat dipertanggung jawabkan. Memilih Presiden dan wakil Presiden secara langsung tanpa paksaan dari pihak manapun, akan memberikan label demokrasi terhadap Indonesia, sedangkan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh pejabat negara akan tergambarkan bahwa pejabat negara harus memenuhi persyaratan tertentu jika ingin melakukan kampanye pemilu. Kondisi tersebut juga akan melahirkan stigma positif bagi Indonesia. Faktor internal terpenting yang mempengaruhi pelaksanaan langsung oleh rakyat adalah sejalan dengan era reformasi yang mengedepankan kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi menuju kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, mengganti ketentuan lama yang dinilai kurang demokratis maupun dikatakan cacat hukum dengan ketentuan yang baru yang menjadi payung hukum pelaksanaan pemilu.tahun 2004. Faktor eksternal terpenting yang mempengaruhi proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung adalah, menarik simpati dunia internasional, melakukan harmonisasi hukum di Indonesia, merespon kebutuhan masyarakat

  Permasalahan seputar Undang-undang No.23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden lebih besar pada aspek pelanggaran dalam rangkaian Pemilu, kurang sosialisasi atau memang ketaatan masyarakat pada undang-undang masih rendah.

  

Daftar Pustaka

  Arianto, Satya. Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia. 2002..

  Muhammad, Asrun dan Nurtjahjo, Hendra. 70 tahun Prof.Dr.Harun Alrasid. Jakarta.

  Fakultas Hukum UI. 2000. Himahanto, Juwana. Politik Hukum Undang-undang Bidang Ekonomi di Indonesia.

  Makalah.2004. Lembaga Informasi Nasional. Pemilihan Presiden dan wakil Presiden.

  Jakarta :LIN.2004. RI. Undang-undang Dasar 1945 Amandemen. RI. Undang-undang No.12 tahun 2003 tentang PEMILU Anggota DPR,DPD dan DPRD.

  RI. Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang PEMILU Presiden dan Wakil Presiden.

  Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2004 tentang Kampanye oleh Pejabat Negara.