Untaian Fatwa dan Nasihat Ulama

Mengaminkan Doa Khotib Untaian Fatwa

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah

  dan Nasihat Ulama

  ditanya : Apakah mengaminkan doa imam setelah selesai

  Daftar Isi :

  khutbah pada sholat Jum'at termasuk bid'ah, atau ketika sang imam berdoa lalu kita menjawab sesudah doanya dengan ucapan 'amin'. Apakah

  • Mengaminkan Doa Khotib

  hal ini termasuk bid'ah? Berikanlah faidah untuk

  • Memutus Sholat Sunnah Ketika Iqomah kami, jazakumullahu khairan.
  • Mengeraskan Bacaan Basmalah - Meninggalkan Sholat Sunnah Rawatib

  Beliau menjawab :

  • Puasa Tetapi Tidak Sholat - Berkumur-Kumur Ketika Puasa

  Membaca 'amin' setelah doa khotib pada khutbah

  • Menyambut Ramadhan dengan Apa?

  terakhir yaitu ketika dia mulai mendoakan

  • Fatwa Puasa oleh Syaikh Ahmad an-Najmi

  kebaikan bagi kaum muslimin adalah perkara yang

  • Cara Menasihati Penguasa

  dianjurkan bukan bid'ah. Akan tetapi hendaknya

  • Hukum Demonstrasi dan Unjuk Rasa

  tidak dengan suara bersama-sama (diseragamkan)

  • Hukum Bom Bunuh Diri

  dan dikeraskan. Namun semestinya setiap orang

  • Jihad Tanpa Ijin

  mengaminkan sendiri-sendiri dengan suara yang

  • Menyikap Ketergelinciran Ulama

  lirih saja, sehingga tidak menimbulkan semacam

  • Merayakan Ulang Tahun

  'kegaduhan' atau suara-suara yang keras (apalagi

  • Mengenal Wali Allah teriakan, pent). Hendaklah setiap orang

  mengaminkan doa sang khotib dengan suara lirih

  • Penarikan Kesimpulan Yang dan dibaca sendiri-sendiri.

  Mengagumkan

  • Mengakui Kebodohan

  Sumber : Majmu' Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan,

  • Pemberontakan Bukan Solusi

  hlm. 272

  • Pengaruh Aqidah terhadap Manhaj Dakwah - Mengenal Tawadhu’
  • Sebuah Pelajaran bagi Penimba Ilmu

  Memutus Sholat Sunnah

  • Orang-Orang Yang Beruntung

  Ketika Iqomah

  • Nasihat Bagi Pendakwah - Pentingnya Ikhlas

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah

  • Berpegang Teguh dengan Sunnah

  ditanya :

  • Pemadam Fitnah

  Saya melihat sebagian orang ketika sedang

  • Wasiat Para Imam

  menunaikan sholat sunnah lalu imam mulai

  • Perkara Paling Agung

  mendirikan sholat [wajib] padahal dia telah

  • Pentingnya Aqidah Tauhid

  melakukan sholat satu raka'at dan baru mulai masuk ke raka'at kedua tiba-tiba dia memutuskan Penyusun : sholatnya tanpa menyelesaikan raka'at keduanya.

  Redaksi al-mubarok.com

  Apakah hal ini boleh ataukah tidak?

  Fanspage : Kajian Islam al-Mubarok Telegram : Belajar Tauhid al-Mubarok

  Beliau menjawab :

  Website : Yukberinfak.com E-mail : yapadijogja@gmail.com

  Apabila sholat [wajib] mulai ditegakkan -atau iqomah dikumandangkan, pent- sementara ada seorang muslim yang sedang mengerjakan sholat sunnah yang telah dia mulai sebelum iqomah maka hendaklah dia menyempurnakannya dengan singkat (tidak berlama-lama, pent) dan tidak perlu memutuskannya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membatalkan

  amal-amal kalian.” (Muhammad : 33). Padahal

  tidak ada faktor pendorong yang mengharuskan dia memutus sholat sunnah yang sedang dia kerjakan itu. Adapun setelah dikumandangkannya iqomah tidak boleh bagi ma'mum untuk memulai mengerjakan sholat sunnah. Akan tetapi yang dimaksud dalam kasus tadi adalah orang yang sudah memulai mengerjakan sholat sunnah sebelum iqomah/sebelum sholat jama'ah didirikan. Oleh karena itu wajib baginya menyempurnakan sholat itu secara ringan/tidak lama kemudian ikut bergabung bersama imam, dan dia tidak boleh memutuskan sholat sunnahnya tadi.

  Sumber : Majmu' Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan,

  hlm. 290

  Mengeraskan Bacaan Basmalah

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya : Apa hukum membaca basmalah di dalam sholat dengan keras yaitu pada sholat jahriyah (sholat yang dikeraskan bacaannya semisal maghrib dan 'isyak, pent)? Beliau menjawab : Mengeraskan bacaan basmalah dalam sholat jahriyah; apabila hal itu dikerjakan kadang-kadang maka tidak mengapa, hanya saja tidak semestinya hal itu dikerjakan secara terus-menerus. Karena sesungguhnya dalil yang sahih dari Sunnah Nabi

  shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah para

  khulafa' rasyidin menunjukkan bahwa mereka tidak mengeraskan 'bismillahirrahmanirrahim'. Dan bahwasanya mereka mengeraskan bacaan al-Fatihah pada sholat jahriyah, mereka juga mengeraskan bacaan surat setelah al-Fatihah. Adapun 'bismillahirrahmanirrahim' tidak ada riwayat sahih yang menunjukkan bahwa mereka mengeraskannya. Oleh sebab itu tidak selayaknya mengeraskannya secara terus-menerus. Namun jika ia mengerjakan hal itu dalam sebagian kesempatan (kadang-kadang) maka tidak mengapa.

  Sumber : Majmu' Fatawa Syaikh al-Fauzan, hlm.

  259

  Meninggalkan Sholat Sunnah Rawatib

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya : Dalam sebagian kesempatan saya merasakan sedikit kerisauan -sedang banyak pikiran, pent- setelah mengerjakan sholat. Atau terkadang saya merasa mengantuk dan malas sehingga saya pun tidak mengerjakan sholat sunnah rawatib. Apakah saya bersalah karena hal itu? Beliau menjawab : Hendaknya selalu menjaga sholat sunnah rawatib karena ia adalah sunnah mu'akkad/sangat ditekankan. Apabila seorang insan condong menuruti kemalasannya maka sifat malas itu justru akan semakin menjadi-jadi. Adapun rasa kantuk; jika memang mengantuk berat dimana hal itu akan mengganggu ketika sedang sholat dan tidak mengerti apa yang anda baca maka dalam kondisi semacam ini hendaknya anda tidur. Adapun apabila sekadar rasa kantuk yang ringan maka tidak selayaknya anda tinggalkan sholat sunnah rawatib. Padahal sebenarnya sholat sunnah rawatib ini tidak akan memakan banyak waktu. Oleh sebab itu hendaknya anda senantiasa menjaganya selama hal itu memungkinkan untuk anda kerjakan.

  Sumber : Majmu' Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan,

  hlm. 276

  Puasa Tetapi Tidak Sholat

  Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

  rahimahullah ditanya :

  Apakah hukum berpuasa Ramadhan tetapi meninggalkan sholat? Beliau menjawab : Sesungguhnya orang yang berpuasa tetapi tidak sholat maka puasanya tidak bermanfaat baginya dan tidak diterima, dan tidak bisa menggugurkan tanggungan/kewajibannya. Bahkan, seseungguhnya orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidaklah dituntut berpuasa selama dia berada dalam keadaan tidak menunaikan sholat. Karena orang yang tidak mengerjakan sholat sama halnya dengan Yahudi dan Nasrani. Bagaimanakah pendapat kalian apabila ada orang Yahudi atau Nasrani melakukan puasa sementara dia tetap berada di dalam agamanya, apakah amalan itu akan diterima? Tentu saja tidak. Oleh sebab itu kami katakan kepada orang ini : Bertaubatlah kepada Allah dengan kembali mengerjakan sholat dan -kemudian- berpuasalah. Barangsiapa yang mau bertaubat niscaya Allah akan menerima taubatnya.

  Sumber : Tsamaniyah wa Arba'uuna Su'aalan fish Shiyam, hlm. 25 Berkumur-Kumur Ketika Puasa

  Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

  rahimahullah pernah ditanya :

  Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudhu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadhan? Beliau menjawab : Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudhu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudhu.

  Sama saja apakah hal itu pada siang hari Ramadhan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah ta'ala (yang artinya), “Maka cucilah wajah-wajah kalian.” (al-Ma'idah : 6) Meskipun demikian tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq -menghirup air ke hidung- dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu

  'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Sempurnakanlah wudhu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi dan Nasa'i, disahihkan

  al-Albani)

  Sumber : Tsamaniyah wal Arba'una Su'alan fish Shiyam, hlm. 58 Menyambut Ramadhan Dengan Apa?

  Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya : Apakah disana ada perkara-perkara khusus yang disyari'atkan bagi setiap muslim dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan? Beliau menjawab : Bulan Ramadhan adalah bulan paling utama dalam setahun. Karena Allah subhanahu wa ta'ala mengistimewakannya dengan menjadikan puasa pada bulan itu sebagai sebuah kewajiban dan menjadi rukun keempat diantara rukun-rukun Islam. Dan Allah mensyari'atkan kepada kaum muslimin untuk menunaikan sholat [sunnah] pada malam harinya. Hal itu sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi

  shallallahu 'alaihi wa sallam, “Islam dibangun di atas lima perkara. Syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (Muttafaq 'alaih) Beliau 'alaihis sholatu was salam bersabda,

  “Barangsiapa menunaikan sholat malam di bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mencari pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (Muttafaq 'alaih)

  Saya tidak mengetahui ada suatu perkara/amalan tertentu guna menyambut datangnya Ramadhan selain hendaknya seorang muslim menyambut datangnya bulan itu dengan perasaan gembira dan senang, bahagia, dan bersyukur kepada Allah yang mempertemukannya dengan bulan Ramadhan. Dimana Allah berikan taufik kepadanya; ketika Allah jadikan dia termasuk golongan orang yang masih hidup -pada bulan itu- sehingga bisa berlomba-lomba untuk melakukan amal-amal salih. Karena sesungguhnya tibanya bulan Ramadhan merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu 'alaihi wa

  • Beliau ditanya : Apakah masuknya bulan Ramadhan bisa ditetapkan berdasarkan ru'yah/persaksian melihat bulan dari seorang saksi saja? Beliau menjawab : Ya. Telah datang riwayat dari Nabi shallallahu

  sallam dahulu memberikan kabar gembira kepada

  para sahabatnya dengan kedatangan Ramadhan itu. Beliau pun menjelaskan kepada mereka tentang berbagai keutamaannya serta apa saja yang telah dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang berpuasa dan menunaikan sholat malam -di bulan itu- dengan pahala yang sangat besar. Dan disyari'atkan bagi setiap muslim untuk menyambut bulan yang mulia ini dengan melakukan taubat yang tulus (taubatan nasuha) dan bersiap-siap untuk menunaikan puasa dan sholat malam/tarawih dengan diringi niat yang lurus dan tekad yang bulat.

  • Beliau ditanya : Kapankah waktu berniat bagi orang yang hendak puasa atau niat puasa itu? Beliau menjawab : Niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari yaitu sebelum terbit fajar kedua (sebelum waktu subuh, pent). Adapun puasa sunnah maka kapan saja dia meniatkan boleh walaupun setelah terbit matahari dengan syarat dia belum makan atau minum, maka puasanya tetap sah.

  Sumber : Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, hlm. 9-10

  Fatwa Puasa oleh Syaikh Ahmad an-Najmi

  Beliau ditanya : Apa saja syarat-syarat puasa? Beliau menjawab : Syarat puasa ialah dilakukan oleh seorang muslim yang mukallaf/sudah terbebani syari'at, dan dia sanggup berpuasa.

  'alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah

  menetapkan masuknya Ramadhan berdasarkan persaksian seorang lelaki badui. Lelaki itu mengatakan bahwa dia telah melihat hilal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu bersaksi

  bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?”

  maka dia pun menjawab, “Ya.” Maka beliau pun memerintahkan puasa (HR. Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Tirmidzi) Beliau juga ditanya : Apakah orang yang berpuasa wajib makan sahur? Beliau menjawab : Tidak wajib tetapi mustahab/dianjurkan, karena badan akan menjadi semakin kuat dengan hal itu.

  • Beliau ditanya : Kami menghendaki nasihat untuk para pelajar/mahasiswa yang berbuat curang/mencontek ketika ujian pada bulan Ramadhan? Beliau menjawab : Para pelajar itu sungguh mengalahkanku. Mereka tidak mendengar ucapanku ketika aku mengawasi mereka pada saat ujian. Aku ingatkan mereka akan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
  • Beliau juga ditanya : Apakah wajib bagi orang yang berpuasa untuk berbuka ketika terbenamnya matahari? Beliau menjawab : Tidak wajib, akan tetapi hal itu dianjurkan/mustahab. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang dari perbuatan wishol/menyambung puasa. Beliau menyatakan, “Barangsiapa ingin melakukan

  wishol/menyambung puasa maka hendaklah dia wishol hingga waktu sahur -artinya dia tunda buka hingga saat sahur, pent-.” (HR. ad-Darimi)

  “Orang yang berbangga dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya seolah-olah dia seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  Dengan demikian, wajib bagimu wahai saudaraku pelajar untuk mencukupkan diri dengan ilmu yang diberikan Allah kepadamu. Itu sudah cukup untuk menjawab soal-soal.

  Sumber : Fatawa ash-Shiyam oleh Syaikh Ahmad

  bin Yahya an-Najmi. Cet. Darul Minhaj

  • Beliau ditanya : Apakah hukum orang yang berpuasa tetapi meninggalkan sholat? Beliau menjawab : Apabila dia tidak sholat sedangkan dia berpuasa maka saya katakan : Puasa tidak diterima dari orang yang tidak sholat. Apabila Allah beri petunjuk kepadanya niscaya Allah akan berikan taubat kepadanya, dan taubat itu akan menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.

  Cara Menasihati Penguasa

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya : Bolehkah menampakkan aib pemerintah kaum muslimin di hadapan masyarakat dan di depan orang banyak? Beliau menjawab : Sudah sering dan berulang-ulang pembicaraan mengenai hal ini. Bahwa tidak boleh hukumnya membicarakan aib pemerintah. Karena hal ini akan memunculkan keburukan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Dan hal itu akan menceri-beraikan jama'ah kaum muslimin. Dan mengakibatkan dibencinya para penguasa kaum muslimin pada hati rakyat. Dan juga membuat rakyat dibenci oleh penguasa. Dan hal itu akan menimbulkan perselisihan dan keburukan.

  • Beliau ditanya : Seorang yang tidak sholat kecuali ketika Ramadhan, bagaimana hukum puasanya? Beliau menjawab : Orang ini seolah-olah tidak mengerjakan sholat dan juga tidak puasa.
  • rakyat- maka hal itu bisa disampaikan dengan cara-cara yang telah diatur di dalam syari'at dan cara-cara yang dibenarkan oleh syari'at. Adapun melakukan demonstrasi/unjuk rasa maka hal ini pada akhirnya akan menimbulkan pertumpahan darah, dan menyebabkan penghancuran harta/aset masyarakat. Oleh sebab itu perkara-perkara semacam ini tidak diperbolehkan. (lihat al-Ijabat al-Muhimmah fil Masyakil

  Bahkan terkadang hal itu akan menyeret kepada tindakan pemberontakan kepada pemerintah, terjadinya pertumpahan darah dan berbagai perkara yang tidak terpuji hasilnya. Maka apabila anda memiliki catatan atau kritikan maka sampaikan kepada penguasa secara rahasia; bisa dengan berbicara secara langsung jika anda mampu, atau melalui tulisan/surat, atau dengan mengabarkan kepada orang yang bisa berhubungan dengannya untuk menyampaikan nasihat itu kepada penguasa tersebut. Dan hendaknya nasihat itu diberikan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, bukan secara terang-terangan. Hal ini telah disebutkan di dalam hadits. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

  Setiap amalan yang tidak sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya maka hal itu tertolak, walaupun dilandasi dengan niat baik. Karena tujuan tidak menghalalkan segala cara. Suatu tujuan yang disyari'atkan maka sarana yang ditempuh pun harus sesuai dengan syari'at.

  d. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah

  hafizhahullah

  c. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah alu Syaikh

  b. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah

  Apabila hal ini telah jelas bagi kita, maka sesungguhnya perbuatan atau aksi bom bunuh diri adalah tindakan yang dikecam dan tidak diperbolehkan oleh para ulama di masa kini. Diantara ulama yang melarang perbuatan semacam ini adalah : a. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

  “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim)

  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

  al-Mulimmah, 1/72) Hukum Bom Bunuh Diri

  “Barangsiapa yang ingin memberikan nasihat kepada seorang penguasa maka janganlah dia tampakkan hal itu secara terang-terangan -di muka umum-. Hendaklah dia mengambil tangannya -menasihatinya secara langsung, pent-. Apabila dia mau mendengar maka itulah yang diharapkan. Apabila tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ibnu Abi 'Ashim

  Inilah ajaran agama Islam. Adapun hak-hak

  Islam adalah agama yang santun dan penuh rahmat. Agama yang penuh keteraturan, tidak mengajarkan kekacauan dan keributan, dan tidak suka membangkitkan fitnah/kerusakan.

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya : Apakah termasuk dalam sarana berdakwah dengan melakukan berbagai bentuk demonstrasi demi mengatasi berbagai problematika umat? Beliau menjawab : Agama kita bukanlah agama kekacauan. Agama kita adalah agama yang penuh keteraturan, agama yang penuh tatanan, santun dan ketenangan. Adapun demonstrasi bukanlah termasuk amal kaum muslimin, dan tidaklah kaum muslimin mengenalinya sejak dahulu. Agama

  al-Mulimmah, 1/11) Hukum Demonstrasi dan Unjuk Rasa

  (lihat al-Ijabat al-Muhimmah fil Masyakil

  'alaihi wa sallam.

  dan dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hal ini telah datang maknanya dari Rasulullah shallallahu

  e. Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah f. Syaikh Abdul Muhsin al-'Ubaikan

  hafizhahullah

  Syaikh Dr. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

  hafizhahullah telah memaparkan dalil-dalil syari'at

  yang menunjukkan haramnya aksi bom bunuh diri dalam kitabnya al-Jihad fil Islam (hlm. 114-118). Diantara dalil yang beliau bawakan, firman Allah (yang artinya), “Janganlah kalian membunuh diri

  kalian, sesungguhnya Allah terhadap kalian sangat penyayang. Barangsiapa melakukan hal itu dalam rangka menimbulkan permusuhan dan kezaliman maka Kami akan memasukkannya ke dalam neraka, dan adalah hal itu sangat mudah bagi Allah.” (an-Nisaa' : 29-30)

  Ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang melakukan perbuatan bunuh diri. Bahkan dalam aksi-aksi bunuh diri semacam itu telah terhimpun banyak kerusakan berupa tindakan bunuh diri, membunuh wanita, anak-anak, dan orang-orang tua serta orang-orang yang tidak bersalah lainnya. Dengan demikian perbuatan itu termasuk tindakan permusuhan dan kezaliman, sehingga pelakunya layak mendapat bagian dari ancaman keras yang ada di dalam ayat ini.

  Dalil dari hadits, diantaranya adalah sabda Nabi

  shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/cara maka dia akan disiksa dengan alat/cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit

  bin Dhahhak radhiyallahu'anhu) Diantara alasan yang menunjukkan bahwa aksi semacam ini tidak bisa diterima oleh akal adalah : [1] Aksi-aksi semacam ini pada akhirnya justru mendatangkan bencana dan musibah bagi Islam dan kaum muslimin. Baik yang terjadi di Palestina atau di tempat-tempat lainnya. Dan pada hakikatnya aksi-aksi semacam ini merupakan bentuk peremehan terhadap darah kaum muslimin. [2] Aksi-aksi semacam ini bahkan menjadi jalan yang akan mewujudkan tujuan-tujuan jahat dari musuh Islam secara tidak langsung. Karena dengan adanya tindakan semacam itu akan membuka celah bagi mereka untuk merealisasikan tujuan mereka dengan mudah. Dan di saat yang sama kaum muslimin tidak mampu untuk membela dirinya.

  Demikian ringkasan faidah dari penjelasan Syaikh Dr. Abdussalam as-Suhaimi hafizhahullah dalam kitabnya al-Jihad fil Islam (hlm. 116)

  Jihad Tanpa Ijin

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya : Apa hukum berangkat jihad tanpa ijin pemerintah? Sementara dosa mujahid akan diampuni semenjak tetesan pertama darahnya, dan apakah dia bisa dikatakan mati syahid dalam kondisi semacam itu? Beliau menjawab : Tidaklah orang itu disebut mujahid apabila dia durhaka kepada pemerintah dan durhaka kepada kedua orang tuanya sehingga dia memaksa untuk pergi. Maka dia bukanlah termasuk mujahid, bahkan termasuk pelaku maksiat.

  Sumber : al-Ijabat al-Muhimmah fil Masyakil al-Mulimmah, Juz 1 hlm. 52 Menyikapi Ketergelinciran Ulama

  oleh : Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah Suatu saat Syaikh ditanya : Apakah hukum syari'at bagi ketergelinciran seorang ulama; apakah dia mendapatkan hukuman atas hal itu ataukah kesalahan itu terkubur oleh lautan kebaikan-kebaikannya? Beliau menjawab : Apabila seorang ulama tersalah dalam perkara ijtihad, maka dia tetap mendapatkan pahala. Dan apabila dia benar maka dia mendapatkan dua pahala. Seorang ulama apabila terjatuh dalam kesalahan tanpa sengaja berbuat kekeliruan namun semata-mata demi mencari kebenaran; hanya saja ketika itu dia terjatuh dalam kekeliruan maka orang semacam itu mendapatkan pahala. Dan tidak boleh merendahkan dirinya dengan sebab itu, atau menganggap hal itu sebagai aib/cacat baginya.

  Bahkan apa yang dilakukan olehnya adalah suatu hal yang terpuji. Sebab mencari kebenaran serta berusaha sekuat tenaga untuk menemukannya yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas/kemampuan ilmiah maka hal ini adalah perkara yang terpuji, walaupun dia kemudian jatuh dalam kesalahan [tanpa sengaja]. Meskipun begitu, dia tidak boleh terus-menerus bersikukuh di atas kekeliruannya apabila telah jelas baginya kekeliruan itu. Sehingga apabila telah jelas baginya letak kebenaran maka wajib atasnya untuk rujuk kepadanya.

  Sumber : al-Farqu Baina an-Nashihah wa at-Tajrih, hlm. 34 Merayakan Ulang Tahun

  Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

  rahimahullah pernah ditanya :

  Apa hukum mengadakan hari perayaan ulang tahun kelahiran untuk anak atau yang berkaitan dengan pernikahan (ulang tahun pernikahan)? Beliau menjawab : Tidak ada di dalam Islam perayaan kecuali hari Jum'at sebagai hari raya pekanan, hari pertama dari bulan Syawwal yaitu Idul Fitri (kembali berbuka) setelah Ramadhan, tanggal 10 bulan Dzulhijjah atau Idul Ad-ha. Dan hari Arafah pun bisa disebut sebagai hari raya bagi jama'ah haji di Arafah. Hari-hari Tasyriq juga disebut sebagai hari raya karena mengikuti hari raya Idul Ad-ha.

  Adapun perayaan ulang tahun seseorang atau anak-anaknya atau yang berkaitan dengan hari pernikahannya dan yang semacam itu maka itu semuanya tidak disyari'atkan. Perayaan semacam itu lebih dekat kepada bid'ah daripada perkara yang mubah.

  Sumber : Fatawa Arkanil Islam, hlm. 176 Mengenal Wali Allah

  Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya : Sebagian orang disebut-sebut sebagai wali Allah. Apakah sifat-sifat mereka yang hakiki? Bagaimana mereka bisa mencapai derajat ini. Apakah mereka hanya hidup pada masa tertentu, ataukah mereka bisa ada di sepanjang masa? Beliau menjawab : Sifat wali-wali Allah itu sebagaimana telah ditentukan oleh Allah ta'ala dengan firman-Nya (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya

  para wali Allah itu tidak perlu merasa takut dan bersedih, yaitu orang-orang yang bertakwa dan senantiasa bertakwa.” (Yunus : 62-63)

  Jadi, para wali Allah itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Inilah sifat mereka. Maka barangsiapa yang memiliki sifat iman dan takwa, sesungguhnya dia termasuk wali-wali Allah 'azza wa jalla. Dan hal ini bisa dicapai oleh setiap muslim sesuai dengan kadar imannya, di sepanjang waktu dan di mana saja.

  Wallahu a'lam.

  Sumber : Majmu' Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan,

  1/49

Penarikan Kesimpulan Yang Mengagumkan

  Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video ceramahnya yang membahas urgensi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan sebuah contoh pelajaran dakwah yang sangat agung.

  Sebagaimana diketahui bersama, bahwa di dalam Kitab Tauhid-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan sebuah bab khusus yang membahas tentang keutamaan dakwah tauhid. Salah satu keutamaan dakwah tauhid itu adalah bahwa ia merupakan jalan hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata.

  Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...”

  (Yusuf : 108) Dari ayat tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menarik sebuah kesimpulan berharga, bahwasanya seorang yang berdakwah hendaklah ikhlas di dalam dakwahnya; karena banyak orang yang berdakwah sebenarnya mengajak manusia kepada dirinya sendiri, bukan kepada agama Allah. Ini adalah sebuah pelajaran tauhid yang sangat berharga untuk kita... Dakwah tauhid adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tentu ibadah yang agung ini yaitu dakwah tidak akan diterima oleh Allah apabila pelakunya tidak ikhlas karena-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi,

  “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku, Aku akan tinggalkan dia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim)

  Bagaimana bisa seorang yang mengajak kepada tauhid dan keikhlasan justru menjadi orang yang mencampuri niatnya dalam beramal dan berdakwah demi mencari kepentingan-kepentingan duniawi yang semu dan sementara?! Ikhlas dalam berdakwah adalah perkara yang membutuhkan latihan dan perjuangan. Sebab hawa nafsu manusia cenderung cinta kepada sanjungan, haus pujian, dan lapar terhadap popularitas. Berbeda dengan tabiat orang yang ikhlas yang selalu berusaha untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebisa mungkin. Lihatlah apa yang dilakukan para ulama hadits kita terdahulu dan yang sekarang... Mereka adalah orang-orang yang berjasa besar kepada umat manusia. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf, “Para malaikat adalah penjaga langit,

  sedangkan ahli hadits adalah penjaga bumi.” Para

  ulama hadits mengisi hembusan nafasnya dengan kalimat-kalimat dan petunjuk Nabi shallallahu

  'alaihi wa sallam. Mereka nukilkan kepada

  generasi sesudahnya hadits-hadits tanpa memelintir makna dan maksudnya menurut hawa nafsu mereka. Oleh sebab itu karya para ulama hadits penuh dengan berkah di sepanjang masa. Bukan karena mereka menjunjung tinggi akal, perasaan dan pendapat-pendapatnya; akan tetapi karena mereka meriwayatkan sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi dengan Hadits Arba'in-nya, dengan Riyadhush Shalihin-nya, dan para ulama-ulama sebelum beliau seperti Imam Bukhari dengan kitab Sahih-nya dan Imam Muslim dengan Sahih-nya pula...

  Lihatlah pula apa yang dilakukan oleh para ulama hadits ketika menyampaikan hadits dalam majelis-majelis mereka. Sebagian mereka mengatakan, bahwa terkadang sebuah hadits itu membutuhkan berkali-kali pelurusan niat. Sebab terkadang niat itu berubah-ubah. Bahkan mereka dengan rendah hati menuturkan, “Dahulu kami

  menimba ilmu bukan murni karena Allah. Akan tetapi ilmu enggan kecuali menyeret kami agar selalu ikhlas karena Allah.”

  Sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah. Maka bagaimana lagi seorang yang menisbahkan diri sebagai juru dakwah...

Mengakui Kebodohan

  Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan : Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia pun mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya.

  Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya.

  Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya.

  Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

  [lihat al-Fawa'id, hlm. 36]

  Keterangan :

  Di dalam kalimat-kalimat di atas, Ibnul Qayyim

  rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita

  bagaimanakah sikap yang benar dalam mengabdi kepada Allah. Seorang hamba siapa pun dia tidak bisa mengelak bahwa dirinya sangat butuh kepada Allah. Setiap insan adalah ciptaan Allah. Sebelumnya dia tidak ada kemudian Allah menciptakan dirinya sehingga ada. Dengan demikian setiap hamba harus menghadirkan di dalam hatinya perasaan butuh sepenuhnya kepada Allah. Seperti yang kita ucapkan di dalam sayyidul istighfar, '...Khalaqtani wa ana 'abduka...' artinya, “Engkau lah yang telah menciptakan aku

  sedangkan aku ini adalah hamba-Mu.”

  Kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba ciptaan Allah. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Kita wajib mengakui segala macam bentuk nikmat yang Allah curahkan kepada kita bahwa itu memang datang dari-Nya. Seorang hamba tidak bisa lepas dari bantuan Allah sekecil apapun kebaikan yang ingin dia kerjakan dan sekecil apapun bahaya yang ingin dia hindari. Dengan keyakinan semacam itulah dia akan ingat bahwa kebaikan-kebaikan yang bisa dia lakukan selama ini benar-benar merupakan anugerah Allah kepadanya, bukan semata-mata hasil kerja keras dan jerih payahnya. Oleh sebab itu sebagian ulama ketika ditanya apa rahasia sehingga dia bisa begitu bersemangat dan mengumpulkan ilmu yang begitu banyak, mereka menjawab, “Aku tidak

  tahu, sesungguhnya hal itu hanyalah taufik...”

  Banyak orang yang bisa mencapai keberhasilan

  • sebagaimana yang biasa dijadikan ukuran
keberhasilan oleh manusia- akan tetapi tidak banyak orang yang ketika berhasil bisa menyandarkan keberhasilannya itu kepada Allah. Banyak orang merasa hebat dan tangguh dengan segala pengorbanan dan kebaikan yang telah dilakukannya. Perasaan ini pada akhirnya membuatnya lupa bahwa hal itu merupakan akibat pertolongan Allah kepadanya. Oleh sebab itu sebagian ulama terdahulu mengatakan,

  “Dahulu kami diuji dengan musibah, maka kami bisa bersabar. Akan tetapi ketika kami diuji dengan nikmat-nikmat kami justru gagal.”

  Ketika musibah melanda banyak orang kembali ingat kepada Allah dan betapa besar kebutuhan mereka kepada-Nya. Sementara dalam kondisi senang dan berlimpah nikmat, banyak orang justru hanyut dalam kegembiraan dan lalai dari mensyukuri nikmat-Nya.

  Kelalaian inilah yang pada akhirnya akan menyeret mereka dalam berbagai bentuk sikap kufur nikmat kepada-Nya. Dia pun menyandarkan nikmat itu kepada selain Allah. Seperti yang dialami oleh Qarun ketika dia menyombongkan diri seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku diberikan ini

  semuanya karena ilmu yang aku miliki.”

  Di sisi lain, seorang hamba harus selalu menyadari akan dosa-dosa dan kesalahan yang dia kerjakan. Dengan mengingat hal itu niscaya akan semakin besar perasaan butuhnya kepada Allah. Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Dia. Sebaik apapun amal yang dia lakukan maka dia sadar bahwa hak-hak Allah sangatlah agung dan terlalu sempurna untuk bisa dia tunaikan hak-hak-Nya itu dengan baik. Seburuk apapun dosa dan maksiat yang telah dia lakukan maka dia akan tetap melihat bahwa Allah senantiasa membuka pintu taubat untuk hamba-Nya. Dia pun sadar bahwa apabila dia tidak bertaubat kepada-Nya nasibnya berada di dalam bahaya. Dia sadar bahwa apabila Allah menerima amalnya itu pun karena kemurahan Allah kepada dirinya. Dan apabila Allah tidak menerimanya maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah menyaksikan curahan nikmat

  Allah dan selalu memperhatikan aib diri dan amalan kita. Dengan melihat curahan nikmat akan tumbuh kecintaan kepada Allah. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal kita niscaya akan membuahkan perendahan diri dan pengagungan kepada-Nya. Dengan cinta dan pengagungan itulah kita akan bisa beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Karena ibadah kepada Allah adalah ketundukan kepada-Nya yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Bukanlah hamba Allah apabila dia menyombongkan dirinya. Bukan hamba Allah apabila dia merasa hebat dan sombong di hadapan-Nya. Bukanlah hamba Allah orang yang melakukan ketaatan tanpa rasa kecintaan kepada-Nya. Hamba Allah yang sejati adalah yang tulus beribadah kepada-Nya dengan penuh perendahan diri dan kecintaan kepada-Nya. Sampai pun apabila Allah tidak menerima amalnya dia memandang bahwa dirinya layak untuk mendapatkan perlakuan itu. Bahkan ketika Allah timpakan musibah kepadanya hal itu pun merupakan bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya; agar mereka bertaubat kepada-Nya atau semakin bersyukur akan nikmat-Nya. Oleh sebab itu orang yang bisa merasakan lezatnya iman adalah mereka yang ridha Allah sebagai rabb. Artinya dia merasa puas bahwa Allah semata sesembahannya, Allah semata yang mengatur kehidupannya, dan Allah pula yang menetapkan takdir musibah kepadanya. Dia yakin bahwa Allah Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Apabila Allah berikan musibah artinya Allah menguji kesabarannya. Apabila Allah berikan nikmat artinya Allah ingin melihat sejauh mana dia bisa mensyukuri nikmat itu. Demikian seterusnya...

  • ahlus sunnah- tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan penguasa/pemerintah yang mengatur urusan-urusan kami. Meskipun mereka bertindak aniaya. Kami tidak mendoakan keburukan terhadap mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka. Kami memandang bahwa ketaatan kepada mereka adalah bagian dari ketaatan kepada Allah 'azza wa jalla yang wajib hukumnya. Selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat. Kami mendoakan agar mereka selalu diberikan kebaikan dan keselamatan. (lihat Syarh

  daulah islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di bumi kalian.” (lihat Masa'il 'Ilmiyah Fi Da'wah wa Siyasah Syar'iyah, hlm. 21)

  Itulah yang diisyaratkan oleh salah seorang da'i masa kini dengan ucapannya, “Tegakkanlah

  Allah tidak akan mengubah nasib/keadaan suatu kaum sehingga mereka yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra'd : 11).

  Syaikh al-Albani mengomentari nasihat Imam Ibnu Abil 'Izz di atas. Beliau mengatakan : Di dalam keterangan ini terkandung penjelasan bahwa jalan keluar/solusi dari kezaliman para penguasa -yang mereka itu berasal dari bangsa kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita- (sebagaimana yang dimaksud dalam suatu hadits, pent) adalah dengan cara kaum muslimin bertaubat kepada Rabb mereka, meluruskan akidah mereka, mendidik diri mereka dan keluarga mereka di atas ajaran Islam yang benar sebagai perwujudan dari firman Allah ta'ala (yang artinya), “Sesungguhnya

  Syarh ath-Thahawiyah, hlm. 381)

  apabila rakyat menghendaki untuk terbebas dari kezaliman penguasa/pemerintah yang zalim hendaklah mereka meninggalkan kezaliman. (lihat

  • yaitu melakukan revolusi bersenjata melawan penguasa melalui aksi kudeta militer- sesungguhnya cara semacam itu selain termasuk bid'ah kontemporer maka perbuatan ini juga menyelisihi maksud dalil-dalil syari'at yang memerintahkan untuk mengubah apa-apa yang ada pada diri kita (lihat juga ar-Riyadh an-Nadiyah, hlm. 136) Keterangan di atas juga menjadi penjelas bagi kita bahwa apabila ada orang yang menggunakan dalil ayat di atas -ar-Ra'd ayat 11- sebagai pembenar atas terjadinya revolusi melawan pemerintahan muslim yang sah, maka jelas itu adalah sebuah kesalahan. Disinilah letak pentingnya kita untuk kembali kepada para ulama dan menyerahkan urusan kepada ahlinya.

  Oleh sebab itu Imam Ibnu Abil 'Izz berpesan setelah membawakan ayat Allah (yang artinya),

  “Demikianlah akan Kami jadikan berkuasa sebagian orang yang zalim itu kepada sebagian yang lain disebabkan apa-apa yang mereka kerjakan.” (al-An'am : 129). Beliau berkata : Maka

  ath-Thahawiyah, hlm. 381)

  Imam Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi menjelaskan : Adapun kewajiban untuk tetap taat kepada mereka walaupun mereka bertindak aniaya, hal itu disebabkan resiko yang harus diambil akibat memberontak kepada mereka adalah terjadinya berbagai kerusakan/kekacauan yang jauh lebih besar daripada kezaliman yang mereka perbuat sebelumnya. Akan tetapi justru dengan bersabar menghadapi kezaliman mereka menjadi sebab terampuninya dosa-dosa dan dilipatgandakannya pahala. Karena sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan mereka menindas diri-diri kita kecuali disebabkan rusaknya amal-amal kita. Balasan itu diberikan sejenis dengan amal yang dikerjakan. Oleh sebab itu, wajib atas kita untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar/memohon ampunan kepada Allah, berdoa, dan memperbaiki amalan. (lihat Syarh

  Mengapa kita harus patuh kepada penguasa muslim walaupun mereka bertindak aniaya dan merampas hak-hak rakyatnya? Mungkin inilah pertanyaan yang sering terlontar diantara kita.

  ath-Thahawiyah, hlm. 379)

  Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi berkata : Kami

  Pemberontakan Bukan Solusi

  Syaikh al-Albani melanjutkan keterangannya : Sehingga bukanlah jalan keluar bagi masalah ini sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang Pengaruh Aqidah terhadap Manhaj Dakwah Bismillah.

  Satu hal yang diyakini oleh kaum muslimin, bahwa amalan hati memiliki pengaruh kuat terhadap amalan lahiriah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhuma yang menjelaskan pentingnya hati bagi amalan, dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam

  59). Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi

  rakyat untuk tetap taat kepada penguasa muslim selama dia tidak memerintahkan kemaksiatan dan tidak tampak darinya perbuatan kufur yang sangat jelas. Inilah aqidah Ahlus Sunnah, berbeda dengan aqidah sekte Mu'tazilah yang mengharuskan pemberontakan kepada penguasa apabila mereka berbuat dosa besar; dimana mereka [Mu'tazilah] menganggap bahwa hal itu termasuk amar ma'ruf dan nahi mungkar. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada

  shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan

  Barjas rahimahullah, hlm. 44-45) Salah satu pokok aqidah yang dilalaikan oleh banyak orang di masa kini adalah tidak bolehnya memberontak kepada pemerintah muslim yang sah ketika mereka melakukan penyimpangan yang tidak mencapai derajat kekafiran (akbar). Rasul

  ad-Da'wah as-Salafiyah oleh Syaikh Abdussalam

  Ibrahim 'alaihis salam saja sedemikian besar merasa takut dari syirik padahal beliau lah orang yang menghancurkan berhala kaumnya maka bagaimanakah lagi dengan orang lain yang berada di bawah kedudukannya?! (lihat Ushul

  “Dan jauhkanlah aku beserta anak keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35). Kalau

  atau seruan lain yang serupa. Orang yang mengucapkan kalimat semacam itu mungkin lupa atau pura-pura lupa terhadap ucapan imamnya ahli tauhid; yaitu Ibrahim 'alaihis salam ketika beliau berdoa kepada Rabbnya (yang artinya),

  'Mengapa kita begitu besar memperhatikan masalah tauhid? Tidakkah sebaiknya kita memperhatikan persoalan-persoalan kaum muslimin dan masalah yang menghimpit mereka?'

  Oleh sebab itu suatu hal yang membuat hati pilu ketika ada sebagian orang yang mengatakan

  shallallahu 'alaihi wa sallam selama berdakwah di Mekah dan di Madinah.

  kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia.” (al-A'raaf :

  tubuh ada segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan

  tauhid kepada umatnya. Di mana setiap rasul berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai

  'alaihimus salam yang senantiasa menanamkan

  [Khawarij] itu, “...membunuhi umat Islam dan membiarkan bebas para pemuja berhala...” (HR. Bukhari dan Muslim) Karena itulah kita dapati para ulama salaf sangat besar perhatiannya dalam masalah aqidah dan amalan-amalan hati. Dan dalam hal ini mereka telah meniti jalan dakwah para nabi dan rasul

  shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka

  Dan lihatlah apa dampak keyakinan ini -yang menganggap Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berlaku adil- terhadap perbuatan mereka dan terhadap umat. Disebutkan dalam hadits Nabi

  riwayat lain disebutkan bahwa lelaki itu bernama Dzul Khuwaishirah, dia berkata, “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” (HR. Bukhari dan Muslim).

  Muhammad.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam

  Oleh sebab itu apabila kita lihat dalam sejarah umat Islam, penyimpangan kaum Khawarij bermula dari keyakinan seorang yang mencela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tatkala dia berkata kepada beliau, “Bertakwalah, wahai

  Qawil Matin oleh Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah, hlm. 44)

  hadits ini para ulama memetik sebuah faidah bahwasanya kerusakan lahiriah merupakan dalil/tanda terhadap rusaknya batin (lihat Fat-hul

  kenyataannya, sesungguhnya perbuatan kaum Mu'tazilah inilah sebesar-besar kemungkaran; karena begitu banyak dampak buruk yang timbul karenanya seperti kekacauan, kerusakan urusan (umat), perselisihan kalimat (perpecahan), dan memberikan celah/kesempatan bagi musuh untuk menindas kaum muslimin.” (lihat Min Ushul 'Aqidati Ahlis Sunnah, hlm. 31)

  26) Cara yang benar adalah memberikan nasihat kepada pemerintah secara rahasia atau sembunyi-sembunyi melalui lisan secara langsung

  wa sallam bersabda, “...Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihatnya melakukan suatu bentuk kemaksiatan kepada Allah maka hendaklah dia membenci perbuatan kemaksiatan kepada Allah itu tetapi janganlah sekali-kali dia mencabut ketaatan darinya.” (HR. Muslim)

  al-Manhaj as-Salafi, Ta'rifuhu wa Simaatuhu hlm.

  Oleh sebab itu salah satu manhaj/metode Ahlus Sunnah dalam hal ini adalah mereka tidak menempuh cara-cara yang menyebabkan perpecahan umat atau menanamkan kebencian dalam hati rakyat kepada penguasa mereka. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah tidak menyebut-nyebut keburukan pemerintah di atas mimbar-mimbar, dalam ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan. Bukanlah termasuk manhaj salaf mengobral aib-aib penguasa melalui mimbar-mimbar -atau yang sekarang marak dalam bentuk demonstrasi, pen- karena cara-cara semacam ini justru akan mengantarkan kepada kekacauan serta tidak adanya sikap mendengar dan taat pada perkara yang ma'ruf (lihat

  kezaliman para penguasa merupakan salah satu pokok diantara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama'ah.” (lihat dalam al-Manhaj as-Salafi, Ta'rifuhu wa Simaatuhu hlm. 22)

  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi