Strategi komunikasi Majelis Ulama Indonesia dalam mensosialisasikan Fatwa haram Korupsi kepada Ummat Islam

(1)

DALAM MENSOSIALISASIKAN FATWA HARAM KORUPSI

KEPADA UMAT ISLAM INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

INDRA GUNAWAN NIM: 105051001895

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M


(2)

ISLAM INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

OLEH : INDRA GUNAWAN

NIM: 105051001895

Pembimbing,

Drs. Wahidin Saputra, MA NIP: 19700903 1996031 001

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H/ 2010 M


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3) Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanlsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, April 2010

Indra Gunawan


(4)

105051001895

Strategi Komunikasi Majelis Ulama Indonesia Dalam Mensosialisasikan Fatwa Haram Korupsi Kepada Ummat Islam Indonesia

Hingga kini, bangsa Indonesia dihadapkan pada sekian banyak permasalahan dalam segala bidang, baik dari sisi politik, sosial dan budaya, sehingga bangsa Indonesia harus bersama-sama membenahinya. Dari sisi sosial, seluruh lapisan masyarakat harus bersama-sama memberantas korupsi yang sudah mengakar sejak masa Orde Baru. Dalam hal ini Ulama tentunya ikut bertanggung jawab untuk menanggulangi tindak pidana korupsi sesuai dengan kapasitasnya sebagai ahli agama. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah para ulama turut andil dalam mencegah praktek korupsi, pada Musyawarah Nasional (MUNAS) VI, MUI mengadakan sidang fatwa yang membahas tentang suap (risywah), korupsi (ghulul), dan hadiah kepada para pejabat. Hasilnya pada tanggal 29 Juli 2000 ditetapkan bahwa hukum korupsi adalah haram. Fatwa yang dihasilkan dari ijtihad ulama tentunya menjadi acuan aktivitas ummat Islam. Judul skripsi ini dipilih sebagai upaya untuk mengetahui strategi komunikasi MUI dalam mensosialisasikan fatwa korupsi.

Adapun perumusan masalah meliputi strategi komunikasi apa yang dilakukan MUI?, bagaimana implementasi sosialisasi fatwa haram korupsi? Apakah upaya yang dilakukan MUI berhasil atau tidak? dan bagaimana hasil evaluasinya?.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, di mana penliti mendeskripsikan atau mengkonstruksi dari bahan-bahan atau buku-buku yang mendukung sesuai subjek penelitian, terutama hasil wawancara dengan sekretaris dan wakil komisi Fatwa MUI. Dengan demikian penelitian ini menggunakan model kualitatif

Dalam mensosialisasikan fatwa haram korupsi, MUI menggunakan strategi yang umum digunakan meliputi rumusan strategi yang menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Setelah itu melakukan impelementasi dan diakhiri dengan evaluasi. Namun sangat disayangkan, strategi yang dirumuskan MUI rupanya tidak dibarengi dengan targetan kerja yang jelas. Dialog dengan KPK misalnya, baru diadakan pada tahun 2008 pada kepemimpinan Atasari Azhar. MUI hanya bertumpu pada website sebagai media sosialisai. Sehingga tidak aneh jika dalam kurun waktu delapan tahun sejak dikeluarkannya fatwa, banyak suara yang menyindir MUI agar lebih baik mengeluarkan fatwa haram korupsi daripada mengeluarkan fatwa haram golput. Suara tersebut mengindikasikan bahwa sosialisasi MUI kurang efektif. Hal ini dikuatkan dengan pengakuan Aminudin Yakub selaku Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.


(5)

Bismilaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Strategi Komunikasi Majelis Ulama Indonesi Dalam Mensosialisasikan Fatwa Haram Korupsi Kepada Umat Islam Indonesia” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjanah Ilmu Komunikasi Islam, pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

Shalawat serta salam untuk seorang manusia yang teramat mulia. Atas izin-Mu, melalui dirinya dunia tercerahkan. Kekasih-Mu yang keindahan akhlaknya membuat jagat raya berdecak kagum. Dialah Rasul-Mu, Nabi Muhammad Saw yang hamaba rindukan syafaatnya di akhirat kelak.

Merupakan sebuah kebahagiaan dan anugerah terindah yang dirasakn oleh penulis setelah pada akhirnya skripsi ini terselesaikan juga. Tak ada bangunan yang berdiri sendiri. Begitu juga penulis, yang tak mungkin bisa menyelesaikan skripsi ini tanpa dukungan dari berbagai macan pihak.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

Drs. Wahidin Saputra, MA, Drs. H. Mahmud Djalal, MA., serta Drs. Study Rizal LK, MA, selaku pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi


(6)

Penyiaraan Islam.

3. Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku dosen Pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar serta pegawai Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang selama ini telah memberikan ilmu pengetahuan. Semoga ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat.

5. Kedua orang tua tercinta, Muhammad Noer dan Nur Hayati atas segala kasih sayang, perhatian, doa, dan segala bantuan baik berupa dukungan moril maupun materil.

6. Wakil Seketaris Komisi Fatwa MUI Bapak Drs. H. Asrorun Ni’am Sholeh, M.Ag, dan Bapak Drs. Aminuddin Ya’qup, MA, yang telah meluangkan waktunya serta memberikan informasi tentang strategi komunikasi fatwa haram korupsi dalam mensosialisasikan kepada ummat islam ditengah sibuk jadwal beliau.

7. Saudara kandungku tercinta, Wahyu Hidayat, Andrian dan Muhammad Fikri yang selalu memberikan nasihat, masukan dan kritik untuk kebaikan semoga kelak engkau semua bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi agama, kedua orang tua kita dan negara Indonesia tercinta, serta Alm. Haris Kurniawan semoga segala amal ibadahnya mendapat tempat disisi-Nya.


(7)

perhatianya yang begitu tulus, semoga kelak nanti kamu menjadi orang yang bermanfaat bagi agama dan negara.

9. Kawan–kawan seperjuangan KPI B angkatan 2005, Noviyanto, S.Sos.I, Yuswita Lailah, S.Sos.I, Zaka Abdul Malik Syam, S.Kom.I, Irfanul Hakim, Ahmad Afandi, S.Kom.I, A. Syamsul Anwar, S.Kom.I, , Erwin Ardiyansyah, Laily Syahidah, S.Sos.I, Rijalullah AS, dan yang tidak bisa saya tulis namanya satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa sayang beriring cinta serta bahagia dan terima kasih penulis pada kalian semua.

10.Kawan–kawan satu kosan H. Usman El-Alfani, Faiz S. Hum, Imron Al-Wahdi S. Hum, Arif Bahriah dan Zamroni, serta Noviyanto, S.Sos.I yang telah banyak berpartisipasi baik berupa tenaga, pikiran dan kenyamanan dalam menyelesaikan skripsi ini

Akhirnya hanya kepada Allah AWT jualah, penulis kembalikan semoga semua yang telah diberikan kepada penulis akan menjadi amal ibadah yang tak terhapus selamanya. Dengan demikian, mesti diakui masih terdapat banyak kekurangan dalam tulisan ini. Oleh karenanya, sanagt diharapkan saran dan kritik juga larat dari pembaca sekalian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, April 2010

Indra Gunawan


(8)

Lembar Pengesahan - - - i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian - - - -ii

Lembar Pernyataan - - - iii

Abstrak - - - vi

Kata Pengantar - - - -v

Daftar Isi - - - viii

BAB I PENDAHULUAN - - - -1

A. Latar Belakang Masalah - - - -1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah - - - -8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian - - - -9

D. Metodologi Penelitian - - - -9

E. Tinjauan Pustaka - - - -13

F. Sistematika Penulisan - - - -14

BAB II LANDASAN TEORI - - - -15

A. Strategi Komunikasi - - - 15

1. Pengertian Strategi - - - 15

2. Pengertian Strategi Komunikasi - - - -18

3. Teori Manajemen Strategi - - - -20

B. Komunikasi - - - - - - - - - -21

1. Pengertian Komunikasi - - - 21

2. Komponen Komunikasi - - - -23

3. Media Komunikasi - - - -24

C. Sosialisasi - - - -28

1. Pengertian Sosialisasi - - - -28

2. Jenis Sosialisasi - - - -30

3. Agensi Sosialisasi - - - -31


(9)

- viii -

1. Pengertian Fatwa - - - -32

2. Syarat-Syarat Pemberi Fatwa (Muf’ti) - - - -33

E. Pengertian Korupsi - - - 35

BAB III GAMBARAN UMUM MUI - - - -38

A. Sejarah - - - 38

B. Program Kerja Komisi Fatwa MUI - - - 43

C. Struktur Komisi Fatwa MUI - - - -45

D. Dasar Penetapan Fatwa MUI - - - 47

E. Lahirnya Fatwa Haram Korupsi - - - -50

BAB IV ANALISIS DAN HASIL TEMUAN - - - -62

A. Strategi Sosialisasi MUI - - - -62

B. Strategi Sosialisasi Fatwa Haram Korupsi Dalam Praktek - - - - 65

1. Perumusan Strategi - - - -66

2. Implementasi Strategi - - - -71

3. Evaluasi Strategi - - - 75

C. Analisis Optimalisasi Sosialisasi Fatwa Haram Korupsi - - - -77

BAB V PENUTUP -- - - 80

A. Kesimpulan - - - -80

B. Saran - - - -83

DAFTAR PUSTAKA - - - -85 LAMPIRAN


(10)

Strategi Komunikasi Majelis Ulama Indonesia Dalam Mensosialisasikan Fatwa Haram Korupsi Kepada Ummat Islam Indonesia

Hingga kini, bangsa Indonesia dihadapkan pada sekian banyak permasalahan dalam segala bidang, baik dari sisi politik, sosial dan budaya, sehingga bangsa Indonesia harus bersama-sama membenahinya. Dari sisi sosial, seluruh lapisan masyarakat harus bersama-sama memberantas korupsi yang sudah mengakar sejak masa Orde Baru. Dalam hal ini Ulama tentunya ikut bertanggung jawab untuk menanggulangi tindak pidana korupsi sesuai dengan kapasitasnya sebagai ahli agama. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah para ulama turut andil dalam mencegah praktek korupsi, pada Musyawarah Nasional (MUNAS) VI, MUI mengadakan sidang fatwa yang membahas tentang suap (risywah), korupsi

(ghulul), dan hadiah kepada para pejabat. Hasilnya pada tanggal 29 Juli 2000 ditetapkan bahwa hukum korupsi adalah haram. Fatwa yang dihasilkan dari ijtihad ulama tentunya menjadi acuan aktivitas ummat Islam. Judul skripsi ini dipilih sebagai upaya untuk mengetahui strategi komunikasi MUI dalam mensosialisasikan fatwa korupsi.

Adapun perumusan masalah meliputi strategi komunikasi apa yang dilakukan MUI?, bagaimana implementasi sosialisasi fatwa haram korupsi? Apakah upaya yang dilakukan MUI berhasil atau tidak? dan bagaimana hasil evaluasinya?.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, di mana penliti mendeskripsikan atau mengkonstruksi dari bahan-bahan atau buku-buku yang mendukung sesuai subjek penelitian, terutama hasil wawancara dengan sekretaris dan wakil komisi Fatwa MUI. Dengan demikian penelitian ini menggunakan model kualitatif

Dalam mensosialisasikan fatwa haram korupsi, MUI menggunakan strategi yang umum digunakan meliputi rumusan strategi yang menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Setelah itu melakukan impelementasi dan diakhiri dengan evaluasi. Namun sangat disayangkan, strategi yang dirumuskan MUI rupanya tidak dibarengi dengan targetan kerja yang jelas. Dialog dengan KPK misalnya, baru diadakan pada tahun 2008 pada kepemimpinan Atasari Azhar. MUI hanya bertumpu pada website sebagai media sosialisai. Sehingga tidak aneh jika dalam kurun waktu delapan tahun sejak dikeluarkannya fatwa, banyak suara yang menyindir MUI agar lebih baik mengeluarkan fatwa haram korupsi daripada mengeluarkan fatwa haram golput. Suara tersebut mengindikasikan bahwa sosialisasi MUI kurang efektif. Hal ini dikuatkan dengan pengakuan Aminudin Yakub selaku Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.


(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak bisa kita pungkiri, Islam merupakan agama terbesar yang dianut masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sangat wajar jika ummat Islam Indonesia memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar bagi kemajuan Indonesia. Namun satu yang tidak boleh kita nafikkan bahwa ummat Islam masih menghadapi problem internal dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik ataupun budaya.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan kebangsaan pada era reformasi dewasa ini yang dimulai dengan adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, demokrasi dan beradab. Maka adalah suatu keharusan bagi Ulama untuk meneguhkan jati diri dan i’tikad dengan suatu wawasan untuk menghela proses perwujudan peradaban Islam di dunia, khususnya perwujudan masyarakat hairul ummat.1

Pasca Reformasi Indonesia pada tahun 1998, bangsa Indonesia dihadapkan pada masa transisi yang serba labil dalam segala aspek, sehingga bangsa Indonesia harus bersama-sama membenahinya. Dari sisi sosial, seluruh lapisan masyarakat harus bersama-sama memberantas korupsi yang sudah berakar sejak masa Orde Baru. Dalam hal ini Ulama tentunya ikut bertanggung jawab

1

Wawasan PD/PRT MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005). h.3.


(12)

untuk menanggulangi tindak pidana korupsi sesuai dengan kapasitasnya sebagai ahli agama.2

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.3

Korupsi hingga kini masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia, karena korupsi merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi sudah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. Korupsi menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak sistem hukum dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih dan demokratis. Dengan kata lain, korupsi sudah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).4

2

Wawancara Dengan Bpk. Ni’am selaku anggota Komisi Fatwa MUI pada 3 Februari 2010.

3

Laporan Dwi Mingguan Ke XV Juni 2009 Sector Development Reform Project, h.1. 4

Tim Task Force, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan RUU,


(13)

Survey dari Transparancy International (TI) tahun 2006 menempatkan Indonesia pada peringkat ke tujuh dari 163 negara dengan nilai index 2,4. Meskipun peringkat tersebut sedikit lebih baik dai tahun sebelumnya (posisi keenam dari 159 negara), namun angka tersebut tetap menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tinggi tingkat korupsinya.5

KKN menjadi tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan prinsif demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuhkembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. Dalam hal ini Hernando de Soto (1992) yang dikutip Tim USDRP menjelaskan. “….terdapat perilaku rasional

(rational choice) dari masyarakat untuk menjadi “informal” secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari perilaku birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.”6

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan

5

Tim Task Force, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan RUU, h. 6. 6


(14)

Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).7

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan

7


(15)

Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan.8

Melihat banyaknya akibat negatif yang ditimbulkan korupsi, Ulama dan ummat Islam juga mempunyai kewajiban untuk menyeru kepada kebaikan. Dakwah atau menyeru kepada kebaikan merupakan pelaksanaan atas seruan wahyu Ilahi dan juga merupakan tugas yang luhur tetapi juga tanggung jawab yang sangat berat. Karena esensi dari aktifitas dakwah adalah amar ma’ruf

(menyerukan kepada kebaikan) dan nahyi ‘an al-munkar (mencegah kemungkaran), yang aplikasinya berupa da’wah bi al-lisan dan da’wah bi al-hal.9

Seiring dengan banyaknya problematika dakwah yang semakin kompleks, maka pelaksanaan dakwah tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja, akan tetapi harus diselenggarakan oleh pelaksana dakwah yang bekerja sama dalam satu

8

Yogi Suwarno dan Deny Junanto, Strategi Pemberantasan Korupsi. h.95. 9

Abdul Hakim, Teologi Dakwah, Jurnal ilmu Dakwah, (Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, vol.6 No.2 Oktober 2002), h.2.


(16)

wadah. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan dakwah dapat terarah dengan baik. Untuk iu dibutuhkan sebuah sistem kerja yang efektif dan efisien.10

Oleh karena itu penerapan manajemen mutlak digunakan untuk keberhasilan sebuah dakwah. Sebab dalam manajemen terdapat cara bagaimana sebuah wadah organisasi atau lembaga merencanakan sebuah kegiatan mengorganisasikan dengan mendelegasikan wewenang kepada personil organisasi, menggerakkan organisasi untuk melaksanakan program dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan dakwah selama waktu yang ditentukan. Karena tanpa adanya sebuah manajemen, maka sebuah wadah dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Ini berarti visi dan misi serta tujuan yang diemban akan terbengkalai.11

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan sebagai lembaga yang merespon berbagai persoalan ummat dengan ijtihad sehingga kemudian menghasilkan fatwa yang semestinya dipatuhi oleh ummat Islam di Indonesia. Dengan demikian, sebagai lembaga penghasil fatwa, MUI harus mengakomodir dan menyalurkan aspirasi ummat Islam yang sangat beragam aliran, paham dan pemikiran serta organisasi keagamaan.12

Fatwa yang dihasilkan MUI sebagai respon terhadap problematika ummat tentunya tidak hanya untuk diketahui oleh para ulama atau golongan tertentu, melainkan harus disosialisasikan kepada publik agar ummat Islam Indonesia tahu dan mengerti mengenai keputusan MUI dalam menanggapi sebuah masalah.

10

Abdul Rasyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h.101

11

Moekijat, Pengantar Sistem Informasi Manajemen, (Bandung: PT Remaja Roesda Karyua, 1994), h.89.

12

Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005), h.24.


(17)

Dengan demikian ummat Islam akan menjadikan fatwa MUI tersebut sebagai pegangan keagamaan dalam menjalankan kehidupan sosialnya.13

Menyikapi persoalan korupsi yang mengakar lama di Indonesia sejak masa Orde Baru menggerakkan Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan fatwa menganai korupsi. Bersamaan dengan Musyawarah Nasional (MUNAS) VI, MUI mengadakan sidang fatwa yang membahas tentang suap (risywah), korupsi

(ghulul), dan hadiah kepada para pejabat. Kemudian pada tanggal 29 Juli 2000 ditetapkanlah bahwa hukum korupsi adalah haram.14

Dalam hal ini, yang menarik adalah menyoroti stretegi komunikasi MUI dalam mensosialisasikan fatwa-fatwa yang lahir dari ijtihad ulama Indonesia. Setidaknya sejak berdirinya MUI, terdapat lebih dari seratus fatwa sudah dikeluarkan MUI melalui ijtihad Ulama. Sehingga wajar jika publik mempertanyakan bagaimana strategi yang digunakan MUI dalam mensosialisasi fatwa-nya?.

Strategi komunikasi MUI sangatlah diperlukan dalam proses mensosialisasikan dakwah-fatwanya, karena berhasil atau tidaknya kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh strategi komunikasi. Terutama jika komunikasi dilakukan oleh media massa yang memiliki kelayakan lebih luas dan beragam, maka MUI seharusnya menyiapkan perencanaan yang matang dalam penyampaian pesan yang ingin disosialisasikan. Strategi komunikasi, baik secara makro (planned multimedia strategy) maupun secara mikro (single communication medium strategy) yang mempunyai fungsi ganda:

13

Wawancara Dengan Bpk. Ni’am selaku anggota Komisi Fatwa MUI pada 3 Februari 2010.

14


(18)

1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informasi persuasif, dan intruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperluas hasil optimal. 2. Menjembatani cultural gap akibat kuatnya media massa yang jika dibiarkan

akan merusak nilai-nilai budaya. 15

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini tidak melebar dari tema yang dibahas, maka penelitian ini dibatasi pada periode 2000-2010, yakni tahun dikeluarkannya fatwa haram korupsi hingga lima tahun setelah dikeluarkannya fatwa.Adapun pembatasan tempat agar tidak mengalami pelebaran hanya sekitar DKI Jakarta.

2. Perumusan Masalah

Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam pertanyaan berikut :

1. Bagaimana strategi MUI dalam mensosialisasikan fatwa haram korpusi kepada ummat Islam Indonesia?

2. Program apa saja yang telah dicapai MUI dalam mensosoilisasikan fatwa haram korupsi?

3. Apa saja kendala dan program yang belum dilaksanakan MUI dalam mensosialisasikan fatwa haram korupsi?

15

Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992).h.1


(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini selain bertujuan sebagai tugas akhir kuliah, juga bertujuan untuk:

a) Memahami strategi komunikasi MUI dalam mensosialisasikan fatwanya kepada ummat Islam Indonesia.

b) Mampu mengukur sejauh mana kinerja MUI dalam mengoptimalkan sosialisasi fatwa yang telah diputuskan kepada ummat Islam Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah karya akademis, manfaat penelitian studi ini di antaranya: a) Menambah khazanah intelektual Islam Indonesia

b) Mengetahui kelebihan dan kekurangan MUI sebagai lembaga yang menaungi ummat Islam untuk kemudian menjadi catatan bagi para Ulama di MUI dalam mengambil strategi kebijakan yang lebih baik.

D. Metodologi Penelitian

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis, di mana penulis berupaya memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai strategi Majelis Ulama Indonesia dalam mensosialisasikan fatwa kepada ummat Islam Indonesia. Dengan demikian penelitian ini menggunakan pendekatan model kualitatif, sehingga yang menjadi objek penelitian adalah Majelis Ulama Indonesia.


(20)

Penelitian ini melakukan penelusuran terhadap berbagai literatur. Sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif,16 di mana peneliti mendeskripsikan atau mengkonstruksi dari bahan-bahan atau buku-buku yang mendukung sesuai dengan subjek penelitian dan hasil wawancara terhadap subjek penelitian. Selanjutnya peneliti bertindak sebagai aktivis yang ikut memberi makna secara kritis pada realitas yang dikonstruksi subjek penelitian.

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan secara bertahap di Perpustakaan MUI, tepatnya di Jl. Proklamasi No.51 Menteng Jakarta Pusat. Di tempat ini juga penulis melakukan wawancara dengan sekretaris Komisi Fatwa MUI.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni dimulai dari observasi, wawancara dam dokumentasi.

a. Observasi

Observasi dalam hal ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu teks berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer, sekaligus dapat dijadikan bahan pelengkap ataupun pembanding. Dalam hal ini peneliti menggunakan data primer dan sekunder dalam mengumpulkan data-data.

1) Data Primer (Primary-Sources), yaitu hasil wawancara yang mendalam dengan sekretaris Komisi Fatwa MUI.

16

Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.3


(21)

2) Data sekunder (secondary-sources), yaitu berupa buku-buku dan tulisan berkaitan dengan masalah yang menjadi objek studi ini.

a. Field Work Research, yaitu mengumpulkan data dari penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan. Untuk mempermudah penelitian di lapangan perlu ditentukan teknik pengumpulan data agar yang dihimpun dapat efektif dan efisien.

b. Library Research, yaitu suatu penelitian dengan cara mempelajari dan mengumpulkan berbagai bacaan atau literatur, dokumen, serta media massa yang ada hubungannya dengan penulisan penelitian.

b. Wawancara

Wawancara terstruktur, wawancara yang telah dipersiapkan oleh peneliti sebagai pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Penulis mewancarai dua nara sumber dari komisi fatwah, Drs. H. Ashrorun Niam Shaleh, M.Ag dan Drs. H. Aminudin Yakub, MA

c. Dokumentasi

Dokumentasi bisa berupa dokumen publik ataupun privat. Dokumen publik contohnya adalah media cetak ataupun media online. Adapun dokumen privat adalah dokumen yang merupakan arsip instansi ataupun perorangan.17

3. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam pendekatan kualitatif-konstruktif didahului oleh upaya mengungkap trutsworthiness dari para subjek penelitian. Yaitu menguji

17

Kriyantono, Rachmat, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2006), h.388


(22)

kebenaran dan kejujuran subjek penelitian dalam mengungkap realitas.

Trustworthiness ini diuji melalui pengujian: credibility subjek, dengan menguji jawaban-jawaban pertanyaan berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang khas. Berikutnya adalah menguji authenticity, yaitu peneliti memberi kesempatan dan memfasilitasi pengungkapan konstruksi personal yang lebih detail. Selanjutnya peneliti melakukan traingulation analytis, yaitu menganalisis jawaban subjek peneliti dengan meneliti autentitasnya berdasar data empiris yang ada. Peneliti menjadi fasilitator menguji keabsahan setiap jawaban dokumen atau data lain, serta reasoning yang logis.

Tahapan berikut adalah menguji intersubjectivity analysis. Artinya semua pandangan, pendapat ataupun data dari subjek penelitian, didialogkan dengan pendapat, pandangan, ataupun data dari subjek lainnya.18

Setelah melakukan dialog dan menguji keabsahan sumber, maka penulis melakukan analisis SWOT (Streengt, Weakness, Opportunity, Traethment),

menganalisa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman untuk mensosialisasikan fatwa haram korupsi. Kekuatan apa saja yang dimiliki MUI, baik itu media, ataupun jaringan di pemerintah, kelemahan apa saja yang menghambat sosialisasi, peluang apa saja yang dimiliki MUI, dan ancaman apa saja yang menghambat sosialisasi fatwa.

Adapun dalam penulisan berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis, dan Disertasi”, ceQda (Centre for Quality Development and Assurance) UIN Jakarta.pada tahun 2007.

18


(23)

E. Tinjauan Pustaka

Majelis Ulama Indonesia bukan organisasi yang baru. Terhitung dari awal didirikannya pada tahun 1975, saat ini Majelis Ulama Indonesia menginjak tahun ke tiga puluh lima. Tentunya dengan perjalanan waktu yang sedemikian panjang, banyak juga para akademisi yang menulis dan membahas organisasi wadah Ulama Indonesia ini. Abdul Aziz misalnya, menulis mengenai Majelis Ulama Indonesia pada masa Prof. Dr. Hamka (1975-1981). Penelitiannya menggunakan pendekatan historis, namun dengan menggunakan analisa deskriptif mengenai capaian-capaian yang dilakukan MUI pada masa kepemimpinan Hamka. Namun tidak disinggung sama sekali mengenai sosialisasi fatwa pada masa masa kepemimpinan Hamka.

Muhammad Atho Mudzhar juga menulis mengenai Fatwa-Fatwa MUI; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 yang diterbitkan oleh INIS (Indonesian-Netherland Islamic Studies). Buku tersebut sangat komprehensif dalam membahas Majelis Ulama Indonesia daripada tulisan Abdul Aziz. Dalam hal ini Muhammad Atho Mudzhar tidak hanya menjelaskan mengenai pemikiran hukum Islam di Indonesia melalui kacamata MUI, melainkan juga membahas sejarah MUI dengan disertai analisis yang sangat kritis, terutama dalam hal hubungan MUI dengan pemerintah. Namun kekurangan dalam tulisan tersebut ia tidak menjelaskan mengenai bagaimana strategi dan implementasi sosialisasi fatwa yang dilakukan MUI.

Nampaknya tulisan Saripudin yang berjudul Strategi Manajemen MUI Kab. Bogor dalam misi dakwah Islam lebih dekat dengan penelitian ini. Namun sayangnya penelitiannya tersebut sebatas pada MUI di Bogor, bukan di pusat.


(24)

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teoritis Membahas definisi strategi, teori-teori komunikasi, sebagai dasar untuk perbandingan strategis sosialisasi fatwa yang direalisasikan olah MUI.

BAB III Gambaran Umum MUI Menjelaskan sejarah berdirinya MUI, visi dan misinya, apa saja yang melatar belakangi berdirinya MUI, serta respon ummat Islam Indonesia dalam menanggapi fatwa MUI.

BAB IV Analisis Penelitian Bab ini merupakan ini dari penelitian. Di mana penulis menjelaskan strategi sosialisasi fatwa MUI berdasarkan penjelasan pengurus MUI, serta dijelaskan kelemahan strategi ini.


(25)

LANDASAN TEORI

A. Strategi Komunikasi 1. Pengertian Strategi

Strategi secara etimologi berasal dari kata majemuk bahasa Yunani, yakni

Stratos yang berarti pasukan dan kata agein yang berarti memimpin. Jadi strategi berarti perihal memimpin pasukan. Ilmu strategi adalah ilmu tentang memimpin pasukan.1 Konteks awalnya, strategi diartikan sebagai generalship

atau suatu yang dilakukan oleh para jenderal dengan membuat rencana untuk menaklukan musuh dan menaklukan peperangan.2 Sehingga tidak mengherankan jika konsep strategi kerap melekat pada lingkungan militer dan usaha untuk memenangkan perang.

Pengertian strategi mengalami perluasan. Perang sebagai gejala kenegaraan, perang sebagai gejala kemasyarakatan, perang sebagai sebagai gejala sejarah dan kemanusiaan, merupakan kenyataan yang sangat kompleks yang saling berkaitan satu sama lain di mana terdapat interelasi antara berbagai faktor, baik yang berkenaan dengan tujuan yang akan dicapai, sasaran-sasaran, batas waktu dan konsekuensi lainnya.

Kompleksitas ini membawa perang menjadi semakin bersifat total, dan bahkan batas antara perang dan damai pun menjadi sukar untuk ditegaskan. Kompleksitas ini membuat manusia meluaskan paham dan pengertiannya

1

Ali Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta : Centre for Strategic and International Studies-CSIS, 1978). H.7

2

Setiawan Hari Purnomo dan Zulkifirmansyah, Manajemen Strategi; Sebuah Konsep Pengantar, (Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1999) h.8


(26)

mengenai apa yang dinamakan strategi. Orang mulai dengan membedakan antara strategi dan direk indirek. Orang mulai berbicara tentang strategi militer, strategi politik, strategi ekonomi, strategi sosial, strategi budaya, strategi komunikasi dan lain sebagainya. Semuanya membahas strategi dalam arti luas dan sempit. Strategi bukanlah hanya sekedar paham di saat terjadi peperangan, tetapi strategi juga menjadi paham di saat-saat damai. Strategi pada hakikatnya menjadi berarti. Hal-hal yang berkaitan dengan cara pakai dan usaha menguasai dan mendayagunakan segala sumber daya suatu masyarakat, suatu bangsa untuk mencapai tujuannya. Sudah jelas bahwa di Indonesia mengikuti paham strategi yang luas.3

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan adalah ilmu dan seni menggunakan sumber daya bangsa-bangsa untuk melaksanakan kebijakan tertentu dalam keadaan perang dan damai. Atau rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.4

Sedangkan dalam manajemen suatu organisasi, strategi diartikan sebagai kiat, cara, dan taktik utama yang dirancang sebagai sistematik dalam melaksanakan fungsi manajemen yang terarah pada tujuan strategi organisasi.5

Kemudian menurut Stainer dan Minner, strategi adalah penempatan misi perusahaan, penetapan sasaran organisasi dalam meningkatkan kekuatan eksternal dan internal, perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk

3

Ali Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta : Centre for Strategic and International Studies-CSIS, 1978). H.8

4

Pustaka Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). H.1092

5

Hadari Nawawi, Manajemen Strategi Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan,


(27)

mencapai sasaran dan implementasinya secara tepat, sehingga tujuan dan sasaran organisasi akan tercapai.6

Dengan demikian strategi merupakan suatu rumusan rencana terhadap suatu hal untuk mencapai tujuan tertentu yang diharapkan dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan segala sumberdaya yang ada. Strategi umumnya dilakukan oleh suatu organisasi dalam menjalankan kegiatannya, namun strategi juga dapat dilakukan oleh individu-individu dalam mencapai maksud yang diinginkan.

Menurut Ali Murtopo, Strategi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memusatkan perhatian kepada kekuatan. Dalam pendekatan strategis, kekuatan bagaikan fokus pokok.

b. Memusatkan perhatian kepada analisa dinamik, analisa gerak dan analisa aksi.

c. Strategi memusatkan perhatian kepada tujuan yang ingin dicapai serta gerak untuk mencapai tujuan tersebut.

d. Strategi memperhitungkan faktor-faktor waktu (masa lalu, masa kini dan terutama masa depan) serta faktor lingkungan.

e. Strategi berusaha menemukan masalah-masalah yang terjadi dari peristiwa yang ditafsirkan berdasarkan konteks kekuatan, kemudian mengadakan analisis mengenai kemungkinan-kemungkinan serta memperhitungkan pilihan-pilihan dan langkah-langkah yang dapat diambil dalam rangka gerak menuju kepada tujuan itu.7

6

George Steiner dan John Minner, Manajemen Strategi: Jakarta: Erlangga, 1999). H.20 7

Ali Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta : Centre for Strategic and International Studies-CSIS, 1978). H.8


(28)

Adapun pengambilan keputusan strategi (strategic decision) meliputi tiga aspek, yakni:

a) Penentuan Tujuan

b) Macam-macam perumusan kebijaksanaan c) Pelaksanaan (operasional)8

2. Pengertian Strategi Komunikasi

Strategi Komunikasi adalah paduan antara perencanaan komunikasi

(communication planning) dengan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi komunikasi harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan. Dalam arti pendekatan bisa berbeda sewaktu-waktu tegantung situasi dan kondisi.

Dengan demikian strategi komunikasi adalah keseluruhan perencanaan taktik, cara yang akan dipergunakan guna melancarkan komunikasi dengan memperlihatkan keseluruhan aspek yang ada pada proses komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.9

Barbara O’Keefe mengajukan dua pendekatan mengenai teori produksi pesan yang disebutnya sebagai model pilihan strategi (strategy choice) dan disain pesan (message disain). Model pilihan strategi melihat bagaimana komunikator memilih di antara berbagai strategi pesan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan model disain pesan memberikan perhatiannya pada bagaimana komunikator membangun pesan untuk mencapai tujuan.

8

Bintoro Tjokroamidjojo, teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: Haji Masagung, 1988). H.15

9

Dr. Muhammad Arni, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: BUmi Aksara, 2004), cet.6 h.65-66


(29)

Upaya agar orang lain mematuhi apa yang kita inginkan merupakan tujuan komuikasi yang paling umum dan paling sering digunakan. Mendapatkan kepatuhan (gaining compliance) adalah upaya yang kita lakukan agar orang lain melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan atau agar mereka menghentikan pekerjaan yang tidak kita sukai. Pesan-pesan yang dibuat agar orang memiliki kepatuhan (compliance gaining massages) merupakan salah satu topik yang paling banyak diteliti dalam ilmu komunikasi. Banyak riset mengenai strategi memperoleh kepatuhan ini terutama didorong oleh terbitnya hasil penelitian dari Gerald Marwell dan David Schmitt.

Marwell dan Schmitt menggunakan pendekatan teori pertukaran. Menurut mereka, kepatuhan adalah suatu pertukaran dengan sesuatu hal lain yang diberikan oleh pencari kepatuhan. Jika anda mengerjakan apa yang saya inginkan, maka saya memberikan anda sesuatu sebagai imbalannya seperti penghormatan, persetujuan, uang, pembebasan kewajiban, perasaan yang menyenangkan dan sebagainya. Pendekatan berdasarkan pertukaran, yang sering digunakan dalam teori sosial, disusun berdasarkan asumsi bawa orang bertindak untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain sebagai pertukaran bagi hal lainnya. Model ini memiliki orientasi pada kekuasaan. Dengan kata lain, anda akan memperoleh kepatuhan mereka jika anda memiliki sumber daya yang cukup untuk memberikan atau tidak memberikan sesuatu yang mereka inginkan.10

10

Morissan, Andi Corry Wardhany, Teori Komunikasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h.106


(30)

3. Teori Manajemen Strategi

Menurut Fred. R. David, proses strategi tidak hanya sebatas merumuskan konsep hingga implementasi, melainkan juga harus disertai evaluasi untuk mengukur sejauh mana strategi itu tercapai. Secara garis besar teori manajemen strategi Fred R. David melalui tiga tahapan, yaitu :11

a. Perumusan Strategi

Dalam perumusan strategi, konseptor harus mempertimbangkan mengenai peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan secara internal, menetapkan suatu objektifitas, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi untuk dilaksanakan.

Perumusan Strategi berusaha menemukan masalah-masalah yang terjadi dari peristiwa yang ditafsirkan berdasarkan konteks kekuatan, kemudian mengadakan analisis mengenai kemungkinan-kemungkinan serta memperhitungkan pilihan-pilihan dan langkah-langkah yang dapat diambil dalam rangka gerak menuju kepada tujuan itu.12

b. Implementasi Strategi

Langkah berikutnya adalah melaksanakan strategi yang ditetapkan tersebut. Dalam tahap pelaksanaan, strategi yang dipilih sangat membutuhkan komitmen dan kerjasama dalam pelaksanaan strategi, maka proses formulasi dan analisis strategi hanya akan menjadi impian yang jauh dari kenyataan.

Implementasi strategi bertumpu pada alokasi dan pengorganisasian sumber daya yang ditampakkan melalui penetapan struktur organisasi dan

11

Fred R. David, Manajemen Strategi Konsep, (Jakarta: Prenhalindo, 2002). H.3 12

Ali Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta : Centre for Strategic and International Studies-CSIS, 1978). H.8


(31)

mekanisme kepemimpinan yang dijalankan bersama budaya perusahaan dan organisasi.13

c. Evaluasi Strategi

Tahap terakhir dari strategi adalah evaluasi implementasi strategi. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan yang telah dicapai dapat diukur kembali untuk menetapkan tujuan berikutnya. Evaluasi menjadi tolak ukur untuk strategi yang akan dilaksanakan kembali oleh suatu organisasi dan evaluasi sangat diperlukan untuk memastikan sasaran yang dinyatakan telah dicapai.

Setidaknya ada tiga macam langkah dasar untuk mengevaluasi strategi, yaitu :

1. Meninjau faktor-faktor eksternal dan internal

2. Mengukur prestasi dengan membandingkan hasil yang diharapkan dengan kenyataan

3. Mengembalikan tindakan korektif untuk memastikakn bahwa prestasi sesuai dengan rencana

B. Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi secara etimologi berasal dari bahasa latin “communication”. Istilah ini bersumber dari perkataan communis yang artinya ‘sama’, sama di sini maksudnya serupa makna dan artinya. Jadi komunikasi terjadi jika

13


(32)

terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator yang diterima oleh komunikan.14

Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antara manusia yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Dalam bahasa komunikasi, pernyataan dinamakan pesan (message), orang yang menyatakan pesan disebut komunikator (communicator), sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan (communicant).

Pendapat hampir sama dengan yang dikemukakan Astrid S Susanto, yaitu perkataan komunikasi berasal dari kata communicare yang dalam bahasa latin memiliki arti ‘berpartisipasi’ atau ‘memberitahukan’. Kasta communis berarti ‘milik bersama’ atau ‘berlaku di mana-mana’.15

Para ahli komunikasi juga mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lain dalam menafsirkan makna komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, gagasan, emosi, keterampilan dan seterusnya melalui penggunaan simbol kata, gambar, angka, grafis, dan lain-lain. Kemudian Shammon dan Weaver mengartikan komunikasi sebagai mencakup prosedur melalui makna pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lain.16

Menurut Onong Uchjana Effendy, ada beberapa sebab mengapa manusia melakukan komunikasi, yaitu untuk:

a) Mengubah sikap (to change the attitude)

b) Mengubah opini, pendapat, pandangan (to change opinion).

14

Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992). H.3

15

Astrid S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Bina Cipta, 1998). H.10

16


(33)

c) Mengubah perilaku (to change behavior)

d) Mengubah masyarakat (to change the society). 2. Komponen Komunikasi

Dalam bahasa komunikasi komponen atau unsur adalah sebagai berikut:

a) Sumber (Source)

Sumber adalah dasar yang digunakan di dalam penyampaian pesan yang digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri. Sumber dapat berupa orang, lembaga, buku dan sejenisnya.17

b) Penyampai Pesan (Communicator)

Komunikator dapat berupa individu yang sedang berbicara, menulis, kelompok orang, organisasi komunikasi seperti: surat kabar, radio, televisi, film dan sebagainya. Komunikator dalam penyampaian pesannya bisa juga sebagai komunikan, begitu juga sebaliknya. Syarat-syarat yang harus diperhatikan oleh seorang komunikator di antaranya adalah:

1. Memiliki kredibiliteas yang tinggi bagi komunikasinya 2. Keterampilan berkomunikasi

3. Mempunyai pengetahuan yang luas 4. Sikap

5. Memiliki daya tarik

c) Pesan (Message)

Pesan keseluruhan dari apa yang disampaikan si penyampai. Pesan dapat berupa informatif, memberi keterangan-keterangan yang kemudian komunikan dapat mengambil kesimpulan sendiri. Persuasif bujukan, yakni

17


(34)

membangkitkan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan berupa pendapat atau sikap, sehingga ada perubahan. Coersif memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi, coersif dapat berbentuk perintah, instruksi.

d) Saluran (channel)

Saluran komunikasi selalu menyampaikan pesan yang dapat diterima melalui panca indera atau menggunakan media. Pada dasarnya komunikasi yang sering dilakukan dapat berlangsung menurut dua saluran, yaitu : 1) Saluran formal atau bersifat resmi

2) Saluran informal, atau bersifat tidak resmi

e) Penerima Pesan (Communicant)

Komunikan atau penerima pesan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: personal, kelompok, dan massa.

f) Hasil (effect)

Efek adalah hasil akhir dari proses komunikasi, yakni sikap dan tingkah laku orang, baik sesuai atau tidak sesuai dengan yang kita inginkan. 18

3) Media Komunikasi

Media massa saat ini telah merasuk (pervasive) ke dalam kehidupan modern. Melalui media, orang mampu membentuk opini dari informasi dan interpretasi atas informasi yang mereka terima. Ini berarti bahwa bahkan liputan berita sekalipiun, mengandung unsure persuasi. Akan tetapi upaya media untuk melakukan persuasi biasanya dilakukan melalui editorial (tajuk rencana) dan alas an atau komentar yang jelas-jelas bertujuan persuasi.

18


(35)

Hampir semua media memisahkan antara materi yang didesain untuk membujuk dengan materi berita. Koran mengamas artikel opininya dalam bagian editorial. Ulasan di televise biasanya berisi opini.

Pesan media yang paling jelas dimaksudkan untuk keperluan persuasi adalah advertisement (iklan). Iklan mengajak audiens atau pembaca untuk menuruti apa yang dikehendaki iklan, contohnya membeli pasta gigi, makanan ataupun lainnya. Public Relations adalah persuasi yang lebih halus, berusaha membujuk tetapi biasanya tidak mengajak untuk melakukan tindakan langsung. Public Relations berusaha membentuk sikap, biasanya dengan mengajak audiens media massa untuk melihat suatu institusi atau aktivitas tertentu dari sudut pandang tertentu. John Vivian menyebutkan ada tujuh media komunikasi, yakni buku, majalah, koran, radio, advertising, internet, dan televisi.19

Adapun jenis-jenis media massa yang bersifat “komunikasi massa” telah berkembang pesat dari segi kuantitas maupun kualitas, antara lain adalah;

1) Buku

Produksi buku secara massal pertama kali dilakukan pada pertengahan 1400-an, telah mengubah sejarah manusia dengan mempercepat pertukaran ide dan informasi antar manusia. Buku merupakan gudang penyimpan kebudayaan. Buku adalah wahana utama dalam dalam mengajarkan nilai-nilai sosial kepada generasi baru dan sarana utama bagi generasi baru untuk memahami pelajaran dari generasi lama.

19


(36)

2) Koran

Koran adalah medium massa utama bagi orang untuk memperoleh berita. Di sebagian besar kota, tidak ada sumber berita uang bisa menyamai keluasan dan kedalaman liputan berita koran. Ini memperkuat popularitas dan pengaruh koran. Banyaknya para pembaca membuat koran menjadi media efektif dalam menyampaikan pesan.

3) Majalah

Saat ini majalah-majalah besar merupakan medium massa yang mempengaruhi kultur negara-negara maju, termasuk Amerika. Literatur besar dan ide-ide besar lainnya masuk dalam format majalah yang berbeda dengan buku, dapat dijangkau oleh hampir semua orang.

Periklanan memanfaatkan majalah di antaranya membangun pasar nasional untuk produk-produk mereka. Karena orang mempunyai selera yang sangat luar biasa pada majalah. Singkatnya majalah adalah medium pervasif. Keluasan audien majalah membuat majalah menjadi medium yang amat kompetitif. 20

4) Advertising

Advertising adalah ekonomi konsumen yang penting. Tanpa iklan, orang sulit mengetahui bermacam-macam produk dan jasa yang tersedia.

Advertising dalam kenyataannya adalah penting untuk masyarakat yang makmur. Advertising juga merupakan basis finansial dari media massa yang kontemporer. Walaupun demikian, advertising bukan medium massa, tetapi mengandalkan pada media untuk menyampaikan pesannya.

20


(37)

5) Radio

Radio telah menjadi medium massa yang sangat luas, ada di berbagai tempat dan di sepanjang waktu. Tetapi sebagai sebuah industri, ada tanda-tanda yang menggelisahkan. Acara utama radio, yakni musik, telah tersedia dalam bentuk perangkat lain dan banyak yang tanpa iklan. Audiens utama radio, yakni kelompok usia 18 sampai 24 tahun telah banyak berkurang.

6) Televisi

Banyaknya audiens televisi menjadikannya sebagai medium dengan efek yang besar terhaadap orang dan kultur dan juga terhadap media lain. Sekarang televisi adalah medium massa dominan untuk hiburan dan berita. Tidak bisa dipungkiri, di Indonesia hampir setiap rumah tangga memiliki satu televisi. Jelas bahwa televisi mampu mempengaruhi gaya hidup masyarakat.

7) Internet

Internet muncul sebagai medium massa besar yang melebihi media tradisional dalam banyak hal. Setiap perusahaan media massa besar menempatkan produknya di internet. Ribuan perusahaan baru membangun jaringan di internet. Teknologi ini sangat langsung dan aksesnya murah, sehingga jutaan individu bisa membuat situs milik sendiri.21

21


(38)

C. Sosialisasi

1. Pengertian Sosialisasi

Sosialisasi didefinisikan sebagai proses seseorang berinteraksi sosial sepanjang hidupnya yang di dalam proses itu ia mempunyai pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan prilaku yang penting supaya bisa terlibat secara efektif dalam hidup bermasyarakat.

sosialisasi menjadi proses pesiapan untuk para pendatang baru sebagai anggota sebuah kelompok dan persiapan untuk berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan cara yang dilakukan oleh kelompok tersebut.22

Lingkungan sosial yaitu merupakan lingkunagn masyarakat yang ada di dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu yang lain. sebelum kita membahas pegertian sosialisasi, harus diketahui terlebih dahulu siapa saja yang terlibat dari proses sosialisasi tersebut. yaitu manusia sebagai makhluk sosial, yang berhubungan dengan sekitarnya, serta adanya dorongan untuk mengabdi kepada masyarakat. karena manusia sebagai makhluk sosial, maka dlam tindakan-tindakanya manusia juga sering menjurus pada kepentingan – kepentingan masyarakat. Sebaliknya, apabila manusia lebih cenderung individual, maka ia lebih mementingkan kehidupan pribadinya.23

Seperti yang dikemukakan oleh Qunkel sebagai seorang tokoh dalam psikologi individual, bahwa manusia itu mempunyai dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri (Ichahtigkeif) dan dorongan untuk mengabdi

22

M Amin Nurdin dan Ahamd Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. Ke-1 h. 73

23

Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Yogayakarta : Ardi, 2002), ed. III, cet. Ke-1, h.22


(39)

kepada masyarakat (Suchlichkeit) secara bersama-sama. Manusia merupakan kesatuan dari keduanya.24

Seperti yang telah di utarakan di atas tentang lingkup dan tindakan sosial. Sosialisasi secara garis besar mengandung pengertian proses belajar seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat di lingkungannya. Juga di artikan usaha untuk mengubah milik perseorangan menjadi milik umum.25

Apabila dilihat dari pengertian pertama, sosialisasi mengandung pengertian adaptasi seseorang terhadap orang lain, serta adaptasi seseorang dengan lingkungan dan kebudayaan yang ada. Sedang pengertian kedua adalah bagaimana pengenalan sebuah perusahaan yang membawa “brand image” produksinya agar dikenal dan mendapat tempat di kalangan masyarakat. Dapat dikatakan pula sebagai proses promosi suatu barang hasil produksi agar menarik dan nantinya akan diminati oleh masyarakat luas.

Dalam sebuah perusahaan, terdapat tekanan dalam memperkenalkan produk baru atau produk yang diperbaiki, tekanan tersebut merupakan sesuatu yang normal seiring dengan permintaan pasar terhadap produk yang dikeluarkan, dan itu berlangsung terus semakin cepat. kecendrungan pembiakan lini produksi ini berakar dalam keharusan menunjang pertumbuhan dan profitabilitas sejalan dengan produk lama mencapai puncak dan menurun. Produk baru biasanya harus lekas diperkenalkan agar dapat menunjang pertumbuhan seluruh laba komulatif perusahaan.26

24

Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, h.22 25

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), ed.III, cet. Ke-2, h.1085

26


(40)

Sebuah perusahaan yang mensosialisasikan hasil produksinya atau mensosialisasikan jasa, seperti kepolisian yang ingin mensosialisasikan sebuah peraturan penggunaan sabuk pengaman tetap membutuhkan sistem produksi. Sistem produksi yang dimaksud adalah wahana yang dipakai dalam mengubah masukan-masukan (input) sumber daya untuk menciptakan barang dan jasa yang bermanfaat, proses produksi ialah proses transformasi.

2. Jenis Sosialisasi

Berdasarkan jenisnya, sosilisasi dibagi menjadi dua:

a. Sosialisasi primer ini terjadi pada masa pertumbuhan, yakni dengan cara mengucapkan kalimat, cara mengucapkan kata, cara bersikap dn lain sebagainya. Pada masa ini agen sosialisasi utamnya adalah keluarga. diharapkan Menurut Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu menjadi anggota masyarakat (keluarga). Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitarnya. Selain itu, disebut primer juga karena kelompok ini bisa menjadi instrument penting untuk control social. Sebagai agensi sosialisasi, kelompok primer berusaha menjaga agar norma dan sosial yang dianut bersama bisa membentuk sikap dan prilaku anggota kelompoknya seperti yang masyarakat.

b. Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam instiusi sosial, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua insitusi tersebut, terdapt sejumlah individu dalam situasi


(41)

yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalini hidup terkukung, dan diatur secara formal.27

3. Agensi Sosialisasi

Kejadian Sejarah dan sosial di setiap ruang dan waktu ditentukan oleh agen-agen sosialisasi. Kornblum membedakan antara agensi (agency) dan agen (agent).

Agensi Sosialisasi adalah individu-individu, seperti orang tua,dan guru, yang melakukan sosialisasi kepada orang lain. Agensi Sosialisasi adalah sekelompok orang, yang didalmnya setiap anggotanya terus menerus berinteraksi, yang bisa mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang sepanjang hidupnya. Agensi sosialisasi yang paling kita kenal ada emapat yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, lembaga pendidikan (sekolah), masyarakat dan negara serta agen-agen lain.28

Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi kerana dikacaukan oleh agen sosialisasi yang baerlainan.

Agen sosialisasi di antaranya adalah : a. Keluarga (kinship)

b. Teman Pergaulan (Peers Group)

27

www.wikipedia.co.id. Di ambil pada tanggal 01 januari 2010, pukul 21.30 WIB 28

M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakrta: UIN Jakarta Press, 2006), cet. ke-1 h. 80.


(42)

c. Lembaga Pendidikan Formal (sekolah) d. Media Massa

e. Masyarakat dan Negara

f. Agen Lainnya seperti institusi agama, tetangga, lingkungan pekerjaan29

D. Fatwa

1. Pengertian Fatwa

Menurut bahasa, kata fatwa berasal dari bahasa Arab fatwa yang merupakan bentuk jama’ dari fa-taa-wa yang berarti fatwa atau pendapat resmi atau nasihat. Sedangkan kata afta masdar dari ifta dalam kamus kontemporer Indonesia mempunyai arti pemberian fatwa, yang secara sederhana dimengerti sebagai ‘pemberi keputusan’. Atau juiga bisa diartikan sebagai nasihat yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah daripadanya, baik tingkatan umurnya, ilmu, maupun tingkat kewibawaannya.

Sedangkan menurut Istilah (terminologi), fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi), baik perorangan maupun kolektif, baik dikenal ataupun tidak dikenal. Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau sebagai jawaban yang diajukan peminta dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.30

29

www.wikipedia.co.id, Di ambil pada tanggal 01 januari 2010, pukul 21.50 WIB. 30

A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Haeve 1996), h.326


(43)

2. Syarat-Syarat Pemberi Fatwa (Mufti)

Memberikan fatwa (ifta) bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang nanti akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Hal ini mengingat tujuan pekerjaan tersebut adalah menjelaskan hukum Allah kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkan. Oleh karena itu, seseorang secara moral dan ilmiah harus memenuhi sejumlah persyaratan agar dapat disebut mufti.

Menurut ulama ushul fiqih, persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut: a. Baligh, Berakal, Merdeka

b. Adil

c. Memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa.

Terkait dengan masalah adil bagi mufti, ulama ushul fiqih mengemukakan implikasi dan syarat ini. Menurut mereka ada tiga hal yang harus diperhatikan para mufti dalam kaitannya dengan syarat adil ini. Pertama, sertiap fatwanya harus senantiasa dilandasi oleh dalil , apabila fatwanya itu diambil dari pendapat mujtahid terdahulu, maka ia harus memilih pendapat yang terkuat dalilnya, dan lebih berorientasi pada kemaslahatan.

Kedua, apabila mufti tersebut kapasitas ilmiah untuk mengistinbathkan hukum, maka ia harus menggali hukum dari nash dengan mempertimbangkan berbagai realitas yang ada. Ketiga, fatwa itu tidak mengikuti kehendak peminta fatwa (almustafi), tetapi atas pertimbangan dan mengikuti dalil dan


(44)

kemaslahatan ummat. Akan tetapi persyaratan di atas belumlah cukup. Di samping itu juga harus memenuhi beberapa persyaratan lain, seperti mengetahui secara persis kasus yang diminta fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa, dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut dari segi positif dan negatifnya, sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.

Dalam MUI, penyusunan fatwa dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI. Komisi itu diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Pada waktu pembentukannya di tahun 1975, komisi Fatwa terdiri dari tujuh anggota, tetapi hal tersebut dapat berubah karena adanya anggota yang meninggal atau terjadi pergantian anggota. Komisi Fatwa mengalami perombakan kepengurusan setiap lima tahun sekali. Adapun ketua komisi Fatwa secara otomatis merangkap sebagai salah seorang wakil ketua MUI.

Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan jika MUI dimintai pendapat oleh pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu tentang hukum Islam. Persidangan semacam itu biasanya di samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh para undangnan dari luar, baik dari ulama bebas atau ilmuan sekuler yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.

Untuk mengehasilkan satu fatwa biasanya memerlukan hingga enam kali sidang, tetapi adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang. Tetapi terkadang juga satu sidang menghasilkan beberapa fatwa.


(45)

Proses dihasilkannya fatwa dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah mengadakan sidang pada tanggal tertentu sesuai dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang atau badan-badan tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil-dalil tersebut berbeda panjang dan kedalamannya bagi masing-masing fatwa. Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai dari Al-Qur’an hadits serta kutipan naskah-naskah fiqih bahasa Arab. Dalil-dalil menurt akal juga diberikan sebagai keterangan pendukung. Setelah itu barulah pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan di bagian akhir.31

E. Pengertian Korupsi

Kata korupsi sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang sekarang ini berasal dari bahasa Inggris corruption. Sebetulnya kata corruption tersebut berasal dari kata dalam bahasa Latin “corruptus” yang berarti “merusak habis-habisan”. Kata “corruptus‟ itu sendiri berasal dari kata dasar corrumpere, yang tersusun dari kata com (yang berarti “menyeluruh’) dan rumpere yang berarti merusak secara total kepercayaan khalayak kepada si pelaku yang tak jujur itu.32

Pengertian masyarakat umum terhadap kata korupsi adalah berkenaan dengan keuangan negara yang dimiliki secara tidak sah. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan

31

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta : Indonesian-Netherlands Islamic Studies, 1993). H.79

32

Jhon M Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 149


(46)

uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Pengertian korupsi berdasarkan Undang-Undang No.3 tahun 1971 lebih luas, yang jika disimpulkan terdiri dari perbuatan seseorang yang merugikan keuangan negara dan yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa. Jika hal ini dipahami, maka dapat diketahui bahwa tujuan UU pemberantasan tindak Pidana Korupsi adalah mencegah kerugian keuangan negara serta mencapai aparat pemerintah yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa.

Semua hal-hal yang dimuat dalam UU No.3 tahun 1971 terkait dengan salah satu dari dua hal di atas. Dua hal di atas mempunyai hubungan yang sangat erat, karena uang negara tidak terlepas dari aparat pemerintah yang mengelolanya, sehingga aparat pemerintah harus bersih.33

Dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi, sedangkan jabatan merupakan kedudukan yang dipercayakan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga, baik lembaga swasta, lembaga negara ataupun nirlaba.34

Korupsi berarti memungut uang untuk keuntungan dengan menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi juga berarti tidak melaksanakan tugas karena lalai atau tidak sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah. Korupsi dapat terjadi di dalam organisasi (misalnya pemerasan). Menurut Klitgaard, korupsi terkadang dapat membawa dampak

33

Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi; Masalah dan Pemecahannya, bagian kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992. h.149

34

Robert Klitgaard dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah,


(47)

positif di bidang sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan dan ketimpangan.

Tindak korupsi mempunyai sebaran dan jenis yang berbeda-beda. Korupsi ada yang dilakukan secara freelance, artinya pejabat secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap. Namun korupsi bisa mewabah menjadi sistematis. Klitgaard membagi korupsi sebagai berikut: Pertama, korupsi dalam arti bermain curang seperti dalam pertandingan olah raga, kedua, korupsi yang menentukan permainan curang dan tidak mematuhi sanksinya. Dalam hal ini Lousi Moreno Ocampo menyebut korupsi yang sama sekali tidak menghiraukan aturan main disebut

hypercorruption. Herbert Werlin menyebutnya secondary corruption, yang disamakan dengan kecanduan minuman keras.35

Dilihat dari sisi modus operandinya Korupsi yang terjadi di Indonesia dapat digolongkan antara lain

1. Suap menyuap 2. Pungutan liar

3. Mark Up

4. Kredit macet dan pembobolan perbankan 5. Penggelapan uang Negara36

35

Robert Klitgaard dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah,

h.3 36

Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, (Jakarta : Republika, 2004). h.1


(48)

GAMBARAN UMUM MAJELIS ULAMA INDONESIA

A. Sejarah

Pada masa pemerintahan Soeharto, desakan untuk membentuk semacam majlis ulama Nasional tampak mudah dan jelas ketika pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah diwakili Departemen Agama mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan Majlis Ulama tingkat nasional. Empat nama disebut duduk dalam panitia itu: H. Sudirman (Pensiunan Jenderal Angkatan Darat) selaku ketua, dan tiga orang ulama terkenal sebagai penasihat : Dr. Hamka, K.H. Abdullah Syafi’i dan K.H. Syukri Ghozali.

Tiga minggu kemudian, suatu muktamar nasional ulama dilangsungkan dari tanggal 21-27 Juli 1975. Para peserta meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang

tokoh cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.1

Pada akhir muktamar tersebut dibuat suatu deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta yang mengumumkan terbentuknya Majlis Ulama Indonesia dengan ketua umum pertama yang terpilih adalah Dr. Hamka. Ada dua alasan mengapa Hamka menerima baik kedudukan sebagai ketua umum MUI.

1

Website MUI, diakses pada 5 januari 2010 dari http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami.


(49)

Pertama, Hamka berkata bahwa untuk menghadapi ideologi komunis di Indonesia, orang harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, Islam. Untuk mencapai hal ini, kaum muslimin seharusnya dapat bekerjasama dengan

pemerintah Soeharto yang juga bersifat anti-komunis. Kedua, ia beranggapan

bahwa pemerintah bersikap tidak percaya terhadap kaum muslim, sekalipun maksud kaum muslimin baik. Pada waktu yang bersamaan setiap usaha pihak pemerintah demi perbaikan nasib rakyat yang sebagian beragama Islam telah dianggap sekuler dan palsu. Hamka berpendapat bahwa dengan pembentukan MUI, keadaan demikian akan diperbaiki.

Sebagaimana dugaan semula, tidak semua orang Islam dapat menyetujui argumen yang diajukan Hamka. Sehingga pada tanggal 26 Juli 1975 sejumlah pemuda Islam mendatangi tempat kediaman Hamka dan menuntut agar ia menolak pengangkatannya, tetapi rupanya Hamka sudah menentukan

pendiriannya.2

Keterlibatan pemerintah dalam pembentukan MUI tidak saja hanya pada dorongan semangat dan pemberian kemudahan-kemudahan tetapi sampai kepada pemberian pengarahan-pengarahan kepada konferensi. Sejumlah pejabat tinggi negara memberikan ceramah mengenai beberapa masalah. Presiden Soeharto menyempaikan pidato pembukaan, ketua MPR/DPR memberikan pidato tentang peranan ulama selaku pemimpin masyarakat dalam kehidupan konstitusional Indonesia, menteri Agama mengenai peranan para ula selaku penggerak pembangunan nasional dan daerah, Menteri Pertahanan mengenai ulama dan ketahanan nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai pendidikan di

2

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993). h.56


(50)

Indoneisa, Menteri Penerangan mengenai perananan penerangan dan komunikasi dalam menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional, ketua Bappenas mengenai Rencana Pembangunan Lima Tahun kedua (1974-1979), wakil ketua BAKIN tentang dunia Islam dan Timur Tengah, dan K.H. Syukri Ghozali tentang ajaran dasar dan program yang diusulkan bagi Majelis lama Indonesia.

Gagasan untuk membentuk MUI sebenarnya diajukan pemerintah ketika situasi umat Islam kecewa terhadap pemerintah ketika itu. Sehingga pihak muslimin cenderung menolak gagasan tersebut karena khawatir digunakan pemerintah hanya untuk membatasi gerakan kaum muslimin.

Tanda-tanda bahwa pemerintah bermaksud hendak mengendalikan kaum muslimin menjadi jelas ketika pada tahun 1973 pemerintah mendesak agar keemat partai politik Islam yang sudah ada menghapuskan sebutan Islam dan menggabungkan diri dalam satu partai yang diberi nam partai Persatuan Pembangunan (PPP). (62) Mukti Ali, Menteri Agama (1971-1978) pada waktu peresmian pimpinan dewan MUI pertama 27 Juli 1975 mengatakan:

“Hari ini adalah hari terbentuknya MUI, pada hari ini, di tempat ini, kita kubur untuk selamanya perpecahan antar kaum muslimin. Pada hari ini, di tempat ini juga, kita kubur rasa saling tidak percaya dan saling curiga antara ulama dan

pemerintah”3

Secara ringkas dapat diakui bahwa hubungan antara MUI dan pemerintah telah berkembang dengan pesat. Namun walaupun demikian MUI senantasa berada di bawah tekanan untuk membela kebijakan dan program pemerintah.

3

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, h.57-59


(51)

Misalnya pada tahun 1971 sekelompok ulama terkemuka telah mengeluarkan

fatwa yang menyatakan bahwa penggunaan alat kontrasepsi IUD (Intra Uterine

Devices) dalam pelaksanakan Keluarga Berencana dilarang dalam Islam, karena pemasangannya melanggar aurat wanita.

Menanggapi fatwa tersebut, pemerintah beranggapan bahwa fatwa tersebut merugikan keberhasil program Keluarga Berencana nasional, dan oleh karena itu berusaha sekuat-kuatnya untuk membujuk para ulama untuk menarik kembali fatwa tersebut. Barulah setelah dua belas tahun, akhirnya pemerintah berhasil membujuk para ulama atas bantuan keuangan adari Departemen Agama dan badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional, telah diadakan konferensi para ulama Jakarta pada tahun 1983, di mana larangan terhadap penggunaan IUD dicabut oleh para ulama. Dari contoh tersebut, jelaslah pemerintah mengintervensi MUI untuk memberikan pembenaran agama pada kebijakan pemerintah.

Contoh lain adalah mengenai persoalan kehadiran orang Islam dalam upacara perayaan natal kaum Kristen. Menanggapi hal itu pada bulan Maret 1981 MUI mengeluarkan suatu fatwa yang menyatakan bahwa menghadiri perayaan natal diharamkan bagi kaum muslim. Pada mulanya tidak terjadi perdebatan, karena hanya diterbitkan pada media MUI yang hanya dibaca pada lingkungan terbatas. Tetapi dalam waktu empat bulan, fatwa tersebut dimuat di surat kabar dan majalah hingga terjadi perdebatan. Sehingga pemerinitah meminta MUI menarik fatwa tersebut.

Tekanan pemerintah terhadap MUI cukup kuat sehingga pada bulan berikutnya, Hamka terpaksa melepaskan kepemimpinan MUI karena alasan kesehatan. Padahal dari surat pengunduran diri Hamka diketahui bahwa penyebab


(52)

mundurnya Hamka dari MUI akibat perselisihannya dengan Menteri Agama, Alamsjah Ratu Prawiranegara. Menurut Rusjdi Hamka, anak Hamka, ayahnya sendirilah yang menulis surat tersebut kemudian menyuruh anaknya untuk diketik,

surat yang bertanggal 18 Mei 1981 itu dibacakan dalam rapat tertutup MUI.4

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)

4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

4

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, h.71


(53)

5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar5

B. Program Kerja Komisi Fatwa MUI

Komisi Fatwa MUI bertugas untuk menindak lanjuti pertanyaan masyarakat mengenai permasalahan-permasalahan yang belum diketahui ketetapan hukum secara pasti di dalam hukum Islam. Hal ini desebabkan karena kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan - persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan. Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam pada dasawarsa terakhir semakin tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan. Umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimana kedudukan hal tersebut dalam ajaran islam atau bagai manakah sebenarnya pandangan islam terhadapnya. Padahal menurut MUI, pandangan Islam tentang hal tersebut boleh jadi telah termuat dalam sumber ajaran Islam. Kitab suci Al-Qur'an dan sunnah Nabi, boleh jadi telah termuat dalam khazanah klasik karya peninggalan ulama terdahulu, dan tidak tertutup pula kemungkinan bahwa hal tersebut tidak termuat secara tegas (eksplisit) dan sumber ajaran islam maupun dalam khzanah klasik itu, atau bahkan belum pernah tersentuh sama sekali.

Jika jawaban persoalan itu telah terkandung dalam al-qur'an atau sunnah maupun dalam khazanah klasik, permasalahannya tetap belum selesai sampai di

5

Website MUI, diakses pada 5 januari 2010 dari http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami


(1)

82

MUI, website, serta seminar dan dialog dengan para ahli, instansi pemerintah dan lembaga yang terkait dengan pemberantasan dan penanggulangan korupsi. 3. Dalam Evaluasi MUI Tidak menetapkan batasan (Limitasi) yang jelas kapan akan dilakukan evaluasi. Pertahun, perlimatahun atau mungkin persepuluh tahun. Tidak adanya batasan tersebut mengakibatkan kekacauan dalam melakukan kinerja. Karena jika dihitung per lima tahun terhitung dari dikeluarkannya fatwa (2005-2010), tentu saja strategi yang dilakukan MUI kurang maximal. Karena MUI hanya melakukan satu kali seminar pada tahun 2003, kemudian sosialisasi baru diintensifkan pada lima tahun kedua (2005-2010). Lima tahun kedua (2005-2010), sosialisasi MUI bisa dikatakan cukup berhasil dengan diadakannya beberapa sosialisasi melalui dialog bersama para pemuka agama dan KPK mengenai dampak korupsi pada 2 Desember 2008, pada Oktober 2009 MUI bersama para ahli seperti ekonom Faisal Basri dan sosiolog Imam Prasodjo mendesak KPK agar mengusut tuntas kasus-kasus korupsi, pada 27 Februari 2010 di Masjid Istiqlal, MUI mengadakan seminar tentang korupsi. Dalam seminar tersebut Din Syamsuddin menekan pemerintah agar mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan oknum pejabat negara. Adapun aksi MUI di daerah, hanya ditunjukkan MUI daerah Sergai yang mendesak KPK dan BPK agar mengusut pembangunan Dermaga Tanjung Beringin yang menghabiskan kas daerah sebesar 10 milyar.

Kurang efektifnya sosialisasi yang merupakan komunikasi antara Majelis Ulama Indonesia dengan ummat Islam Indonesia didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:


(2)

1. Tidak adanya limitasi strategi, sehingga tidak ada batasan untuk mengevaluasi strategi yang diterapkan.

2. Tidak adanya jadwal ketika merumuskan strategi. Sehingga tidak ada acuan kegiatan yang akan dicapai dalam setiap bulannya.

3. Kurangnya sosialisasi MUI ditingkatan daerah untuk mensosialisasikan fatwa haram korupsi, sehingga masyarakat pada umumnya kurang mengetahui bagaimana fatwa MUI tentang korupsi, untuk kemudian menjadi landasan hukum bagi ummat Islam Indonesia.

B. Saran

Adapun saran dari penulis mengenai pensosialisasian fatwa haram korupsi, yang diusung oleh Majelis Ulama Indonesia sebaiknya melakukan koordinasi dengan lembaga atau organisasi pemerintah maupun masyarakat. Seperti KPK, LSM, dan institusi atau kelembagaan keagamaan serta media massa dalam mensosialisasikan fatwa tersebut kepada masyarakat atau khalayak tentang bahayanya dampak korupsi. Dan mengenai implementasinya lebih memfokuskan kepada teknis secara langsung, maksudnya dari pihak MUI secara langsung menyampaikan pemahaman bahwasanya haram korupsi sangat tidak dibenarkan dan dampaknya sangat merusak, kepada tokoh-tokoh atau pemuka agama di setiap daerah secara pararel.

Dan untuk mencapai terwujudnya harapan fatwa secara maximal dibutuhkan strategi dalam melaksanakan pensosialisasian fatwa tersebut, merumuskan masalah, dan pengevaluasian terhadap pembahsan yang di angkat,


(3)

84

sehingga dapat diketahui kekurangan dan kelemahan strategi awal, dan untuk lebih mengoptimalkan sosialisasi pada fatwa-fatwa berikutnya.

Saran untuk ummat Islam Indonesia, tentu saja hendaknya tidak hanya menunggu Majelis Ulama Indonesia dalam mensosialisasikan fatwanya, melainkan harus kreatif untuk mencari tahu mengenai fatwa apa saja yang dikeluarkan oleh MUI. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi komunikasi satu sisi (hanya dari MUI ke ummat Islam).

Untuk seluruh mahasiswa, khususnya saya hendaknya terus menelusuri kinerja MUI dalam mengeluarkan dan mensosialisasikan fatwa-fatwanya. Ini tidak dimaksudkan untuk mencari celah kebobrokan MUI, melainkan untuk menerapkan daya kritis di kalangan MUI, sehingga pada akhirnya dapat memberikan saran yang lebih baik agar sosialisasi fatwa dan kinerja MUI berjalan dengan optimal.


(4)

Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs,

(Jakarta: Republika, 2004).

David, Fred, R., Manajemen Strategi Konsep, (Jakarta: Prenhalindo, 2002). Echol, Jhon, M, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:

Gramedia, 2003).

Efendy,Onong, Uchjana Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992).

Fisher Aubery, Teori Komunikasi, (Bandung : Remaja Karya, 1986).

Gie, Kwik, Kian Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, (Jakarta: tp, tt).

Hakim, Abdul, Teologi Dakwah, Jurnal ilmu Dakwah, (Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, vol.6 No.2 Oktober 2002).

Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005).

Keputusan Fatwa Haram MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2000).

Klitgaard, Robert, dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah, (Jakarta: Obor, 2002).

KPK, Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, edisi pertama,

(Jakarta: KPK, 2006).

Marpaung, Laden, Tindak Pidana Korupsi; Masalah dan Pemecahannya, bagian kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Moekijat, Pengantar Sistem Informasi Manajemen, (Bandung: PT Remaja Roesda Karyua, 1994).

Mudzhar,Mohammad, Atho, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta : Indonesian-Netherlands Islamic Studies, 1993).

Murtopo, Ali, Strategi Kebudayaan, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies-CSIS, 1978).


(5)

86

Nawawi,Hadari, Manajemen Strategi Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, (Yogyakarta, Gadjah Mada Press, 2000).

Purnomo, Setiawan, Hari dan Zulkifirmansyah, Manajemen Strategi; Sebuah Konsep Pengantar, (Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1999).

Pustaka Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). H.1092

Shaleh, Abdul, Rasyad, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1997)

Susanto, Astrid, S, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Bina Cipta, 1998).

Steiner, George dan John Minner, Manajemen Strategi: Jakarta: Erlangga, 1999). Tjokroamidjojo, Bintoro, teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta:

Haji Masagung, 1988).

Wawasan PD/PRT MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005).

Widjaja, Komunikasi dan hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002).

Referensi Tambahan

Badan Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional. Diakses pada 15

Februari 2010. http://www.bphn.go.id/puslitbang/index.php?action=activity&cat=Seminar

&title=Pertemuan+Ilmiah)

Berita Detik News, diakses pada 15 Februari 2010 dari:

http://www.detiknews.com/read/2008/12/02/163133/1046768/10/kpk-gandeng-pemuka-agama-berantas-korupsi-di-daerah

Berita KPK, berita diakses pada 15 Februari 2010 dari : http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=900

DETIKNEWS, berita diakses pada 15 Februari 2010 dari:

http://www.detiknews.com/read/2008/12/02/163133/1046768/10/kpk-gandeng-pemuka-agama-berantas-korupsi-di-daerah

H. A. Malik Madany, Korupsi SebagaiKejahatan Terhadap Kemanusian Dalam Perspektif Islam, artikel diakses pada tanggal 16 Desember 2007 pada


(6)

http://www.nu-antikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=192

Inilah.com, berita diakses pada 15 Februari 2010 dari : http://www.inilah.com/news/read/politik/2008/12/02/65937/kpk-gandeng-tokoh-tokoh-agama/

Irdamisraini, KorupsiPerspektif Pidana Islam (Jurnal Hukum Islam Vol.8 No.2 Desember 2008).

Laporan Dwi Mingguan Ke XV Juni 2009 Sector Development Reform Project.

M. Masyhuri Na’im, Korupsi Dalam Perspektif Islam, Sebuah Upaya Mencari Solusi Bagi Pemberantasan Korupsi, artikel diakses pada tanggal 16

Desember 2007 pada, http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=236

Republika Online 29 Januari 2009, MUI Telah Keluarkan Fatwa Haram Korupsi.

Berita diakses pada 15 Februari 2010 dari : http://www.ssffmp.or.id/koran/14/28438/MUI_Telah_Keluarkan_Fatwa_

Haram_Korupsi

Sinar Indonesia, berita diakses pada 15 Februari 2010 dari : http://hariansib.com/?p=51327

skalaindonesia.com. Berita diakses pada 15 Februari 2010 dari http://skalaindonesia.com/node/2108

TEMPO|interaktif, berita diakses pada 15 Februari 2010 dari : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/20040110-06,id.html

Tim Task Force, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan RUU, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2008).

Viva News, Fatwa MUI; Korupsi Haram, Berita diakses pada 15 Februari 2010 dari : http://korupsi.vivanews.com/news/read/25082-fatwa_mui__korupsi_haram

Wawancara Dengan Drs. H. Asrorun Ni’am Sholeh, M.Ag selaku sekretaris Komisi Fatwa MUI pada 3 Februari 2010

Website Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, diakses pada 15 Februari 2010 http://www.depkominfo.go.id/berita/berita-utama-berita/mui-dukung-batasan-pemberian-parsel/

Website MUI, diakses pada 5 Januari 2010 dari :http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami Yogi Suwarno dan Deny Junanto, Strategi Pemberantasan Korupsi.