Tindakan Aborsi Dengan Alasan Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan

BAB II KETENTUAN PIDANA ABORSI MENURUT KUHP DAN UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN D. Alasan Penghapusan Pidana Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Alasan penghapus pidana dirumuskan dalam Buku Kesatu, yaitu terdapat

  dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 (sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 (Undang- Undang tentang Peradilan Anak).

  1. Dalam Pasal 44 KUHPidana (pelaku yang sakit/ terganggu jiwanya) Dalam Pasal 44 KUHPidana ini, pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi setiap pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karan sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan olehnya. Sakit jiwa atau kurang sempurna akal yang pada diri si pelaku memang sesuatu yang ada atau yang dialaminya sejak ia lahir ayt atau timbul kemudian (pada seseorang yang tadinya normal) pada saat ia melakukan

  18 perbuatan pidana tersebut.

  18 Pasal 44 KUHPidana

  2. Dalam Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa).

  Pasal 48 KUHPidan ini merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “paksaan tersebut. Akan tetapi menurut Memorie Van Toeliching, maka yang dimaksud dengan paksaan itu adalah een kracht, een drang, een dwang waaran men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan

  19 yang tidak dapat dilawan, tidak dapat ditahan.

  3. Dalam Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri) Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela badan/tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri ataupun orang lain.

  b. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya.

  c. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam keadaan darurat, tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut.

19 Ibid

E. Alasan-alasan menghilangkan pidana pada tindak pidana aborsi

  Adapun alasan-alasan untuk menghilangkan pidana atau hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana diatur dalam Bab III buku kesatu KUHP dan telah diuraikan pada bab terdahulu dari tulisan ini.

  Sedangkan alasan-alasan / indikasi untuk melakukan aborsi dapat

  20

  diperinci:

  1. Alasan-alasan medis

  a. Untuk menyelamatkan si ibu

  b. Untuk menjaga kesehatan si ibu

  c. Untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap terhadap keselamatan si ibu d. Untuk mencegah bahaya terhadap jiwa si ibu e. Untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat fisik atau mental yang berat.

  2. Alasan-alasan sosial-ekonomi

  a. Sudah mempunyai tiga anak atau lebih

  b. Sudah mempunyai lima anak atau lebih

  c. Jika ibu memikul tanggung jawab bagi penghasilan keluarga atau anak

  d. Untuk mereka yang belum kawin si lelaki tidak mau bertanggung jawab terhadap anak yang akan dilahirkan.

  20 http://faizalkhan-faizal.blogspot.com/2010/09/alasan-alasan-menghilangkan-pidana- pada.html diakses tanggal 1 Mei 2013

  3. Alasan-alasan kemanusiaan Kehamilan disebabkan oleh

  a. Perkosaan (persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan) b. Perbuatan sumbang ( incest ) c. Persetubuhan dengan gadis masih dibawah umur.

  Dari pasal-pasal KUHP Pasal 346,347,348,349 yang merupakan keseluruhan pasal-pasal tentang buku pengguguran kandungan. Hanya menekankan pada perempuan dan barang siapa yang sengaja melakukan pelanggaran atau menyuruh orang lain untuk melakukan pengguguran pada badannya harus dihukum apapun alasannya

  Ditinjau dari sistimatikanya maka kejahatan aborsi ini harus ditinjau kepada buah kandungan yang masih hidup. Dengan demikian untuk penuntutan perkara ini jaksa harus membuktikan bahwa buah kandungan itu masih hidup pada waktu dilakukan tindakan tersebut. Hal ini sulit untuk terlaksana pada pasal 346 dan 348 KUHP. Untuk memperluas pembuktian ini maka pasal 299 dapat digunakan untuk menyeret para aborsi :

  Pasal 299 KUHP berbunyi : Ayat (1) : barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,dengan diberitahukan atau ditimbulkan arapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama4 tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu Rupiah. Ayat (2) : jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan terssebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan, atau juru obat, pidananya ditambah sepertiga.

  Ayat (3) : jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu. Jika pasal diatas dianalisis maka tidak perlu dibuktikan adanya kandungan yang masih hidup bahkan tidak perlu dibuktikan bahwa wanita itu benar sedang hamil. Pasal ini hanya memberikan harapan bahwa buah kandungannya akan gugur.

  Berbagai hasil penelitian mempraktekan bahwa aborsi banyak dilakukan oleh anak gadis (remaja/belum menikah) dengan penyebab yang bervariasi.

  Terdapat kecenderungan cukup tinggi untuk melakukan aborsi yang disebabkan perbuatan pemerkosaan karena janin yang dikandung tidak dikehendaki untuk dilahirkan.

  Apabila ditelusuri perilaku aborsi berkaitan erat dengan posisi wanita yang cenderung sering menjadi korban dari perilaku kekerasan seksual. Pelecehan dan pemerkosaan merupakan dorongan menyapa seorang wanita melakukan tindakan aborsi. Aborsi jenis ini merupakan abortus criminalis. Kadang-kadang Hukum Pidana Indonesia melarang hal ini selain itu Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan juga melarang hal tersebut.

  Disatu sisi pemerkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk wanita yang menjadi korban. Jika pemerkosaan itu mengakibatkan kehamilan, maka pengalaman traumatis akan bertambah besar. Permasalahan akan muncul apakah pemerkosaan itu bisa dijadikan alasan agar wanita itu bisa melakukan aborsi, dan apakah pemerkosaan bisa dijadikan alasan medis atau terapentik ?

  Apabila persoalan ini di jawab aborsi pada wanita yang hamil akibat tindakan / perilaku pemerkosaan hanya dapat dilakukan bilamana terdapat indikasi medis dan aborsi tanpa indikasi medis tetap dilarang. Padahal indikasi medis itu berada pada ahli-ahli kedokteran, baik kandungan maupun kejiwaan. Pasal 15 Undang-undang No 23 Tahun 1992 menyebut :

  4. Ayat (1) : dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

  5. Ayat (2) : tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan : a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenang untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

  c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.

  d. Pada saran kesehatan tertentu.

  e. Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai tindaka dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

  Dalam pangaturan KUHP semua perbuatan atau tindakan aborsi dilarang tanpa kecuali. Sedangkan dalam Undang-undang No 23 Tahun 1992 dinyatakan bahwa untuk alasan medis aborsi tersebut diperkenankan. Apabila aborsi dilakukan terhadap wanita hamil karena pemerkosaan dapat dimasukan atau digolongkan dengan alasan medis atau dengan indikasi medis tidak sama dengan indikasi kesehatan.

  Telah dikatakan bahwa pemerkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis apalagi akibat dari perbuatan itu di wanita menjadi hamil. Kedaan traumatis ini dapat merupakan alasan indikasi medis maupun kesehatan untuk melakukan aborsi.

  Dengan demikian maka aborsi terhadap wanita yang hamil akibat perkosaan dapat menghilangkan pidana bagi pelakunya dengan alasan medis atau kesehatan.

  Pasal 299 KUHP berbunyi : Ayat (1) : barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,dengan diberitahukan atau ditimbulkan arapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama4 tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu Rupiah. Ayat (2) : jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan terssebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan, atau juru obat, pidananya ditambah sepertiga. Ayat (3) : jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu

  Jika pasal diatas dianalisis maka tidak perlu dibuktikan adanya kandungan yang masih hidup bahkan tidak perlu dibuktikan bahwa wanita itu benar sedang hamil. Pasal ini hanya memberikan harapan bahwa buah kandungannya akan gugur.

  Berbagai hasil penelitian mempraktekan bahwa aborsi banyak dilakukan oleh anak gadis (remaja / belum menikah ) dengan penyebab yang bervariasi.

  Terdapat kecenderungan cukup tinggi untuk melakukan aborsi yang disebabkan perbuatan pemerkosaan karena janin yang dikandung tidak dikehendaki untuk dilahirkan. Apabila ditelusuri perilaku aborsi berkaitan erat dengan posisi wanita yang cenderung sering menjadi korban dari perilaku kekerasan seksual. Pelecehan dan pemerkosaan merupakan dorongan menyapa seorang wanita melakukan tindakan aborsi. Aborsi jenis ini merupakan abortus criminalis. Kadang-kadang Hukum Pidana Indonesia melarang hal ini selain itu Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan juga melarang hal tersebut.

  Disatu sisi pemerkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk wanita yang menjadi korban. Jika pemerkosaan itu mengakibatkan kehamilan, maka pengalaman traumatis akan bertambah besar. Permasalahan akan muncul apakah pemerkosaan itu bisa dijadikan alasan agar wanita itu bisa melakukan aborsi, dan apakah pemerkosaan bisa dijadikan alasan medis atau terapentik ? Apabila persoalan ini di jawab aborsi pada wanita yang hamil akibat tindakan / perilaku pemerkosaan hanya dapat dilakukan bilamana terdapat indikasi medis dan aborsi tanpa indikasi medis tetap dilarang. Padahal indikasi medis itu berada pada ahli-ahli kedokteran, baik kandungan maupun kejiwaan. Pasal 15 Undang- undang No 23 Tahun 1992 menyebut: Ayat (1) : dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Ayat (2) : tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan : a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenang untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

  c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.

  d. Pada saran kesehatan tertentu. Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai tindaka dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

  Dalam pangaturan KUHP semua perbuatan atau tindakan aborsi dilarang tanpa kecuali. Sedangkan dalam Undang-undang No 23 Tahun 1992 dinyatakan bahwa untuk alasan medis aborsi tersebut diperkenankan. Apabila aborsi dilakukan terhadap wanita hamil karena pemerkosaan dapat dimasukan atau digolongkan dengan alasan medis atau dengan indikasi medis tidak sama dengan indikasi kesehatan.

  Telah dikatakan bahwa pemerkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis apalagi akibat dari perbuatan itu di wanita menjadi hamil. Kedaan traumatis ini dapat merupakan alasan indikasi medis maupun kesehatan untuk melakukan aborsi.

  Dengan demikian maka aborsi terhadap wanita yang hamil akibat perkosaan dapat menghilangkan pidana bagi pelakunya dengan alasan medis atau kesehatan.

F. Faktor-faktor Yang Menjadi Pembenaran Dalam Melakukan Aborsi

  Dari sudut pandang moralitas, aborsi dan kematian ibu keduanya dipermasalahkan karena sama-sama mengancam kelangsungan hidup janin dan ibu. Namun perlu didudukkan dalam proporsinya masing-masing, manakah pilihan yang lebih bermanfaat dan membawa kebaikan (mashlahat) dalam

  21

  menyelesaikan masalah ini. Diperbolehkannya aborsi jika benar-benar dalam keadaan darurat, dengan syarat kedaruratannya itu pasti, bukan sekedar persangkaan atau dugaan, sesuai dengan kaidah hukum Islam bahwa sesuatu yang

  22 yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur dengan kadar daruratnya.

  1. Aborsi berdasarkan pertimbangan medis Aborsi berdasarkan pertimbangan medis maksudnya adalah aborsi yang dilakukan oleh karena adanya tanda atau keadaan yang menunjukkan atau menggambarkan pelangsungan kehamilan akan menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan ibu yang tidak bisa dipulihkan atau bahkan bisa menyebabkan

  23 kematian ibu.

  Aborsi ini misalnya bila kehamilan itu diteruskan dapat membahayakan keselamatan (nyawa) ibu yang bersangkutan. Atas pertimbangan medis maka janin yang dikandung dapat digugurkan. Atau bila mengindap suatu penyakit,

  

24

  misalnya mengalami gangguan jiwa atau jantung. Alasan yang membenarkan melakukan aborsi adalah demi menyelematkan jiwa si ibu, bila jiwanya terancam 21 22 Maria Ulfah Anshor, Op. Cit., hal. 54. 23 Zuhroni, dkk, Op. Cit., hal. 170.

  C.B Kusmaryanto, Tolak Aborsi Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian, Op.

  Cit., hal. 121. 24 Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikorelegi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 60. disebabkan oleh kandungan. Alasan ini dikenal dengan sebutan alasan medis artinya alasan yang berdasarkan ilmu kedokteran. Alasan medis ini dibenarkan dalam syariat Islam dengan catatan bahwa aborsi tersebut dilakukan dalam

  25

  keadaan darurat yang mengancam si ibu secara berkepanjangan. Aborsi dibolehkan jika dilakukan pada tahap penciptaan janin atau setelah peniupan roh, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini dokter diperbolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam, aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk upaya pengobatan, sebagaimana Nabi menganjurkan berobat. Bagi dokter yang melaksanakan pengguguran ini hanya diperbolehkan jika setelah melalui pemeriksaan yang cermat dan tidak gegabah, dengan tinjauan dari berbagai aspek

  26 yang terkait.

  Pengguguran kandungan berdasarkan pertimbangan medik telah mendapatkan pengaturan di dalam Pasal 75 ayat 2 (a) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan :

  Pasal 75 ayat 2 (a) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan : indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Penafsiran terhadap 25 Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas Dharmawangsa, Medan, 1995, hal. 82. 26 Zuhroni, Loc. Cit.

  Pasal 75 ayat 2 (a), aborsi hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat, yakni keadaaan jiwa ibu hamil terancam kematian, kalau proses kehamilan.101 Mengenai indikasi medis dan menyelamatkan jiwa ibu, sering kali menjadi bahan perdebatan, sebab undang-undang hanya menyebutkan kondisi yang benar-benar

  27

  mengharuskan diambil tindakan pengguguran kandungan. Sa’id Ramadhan al- Buthi menyatakan, seluruh ulama sepakat mengharamkan aborsi sesudah usia kandungan 120 hari kecuali dalam kasus yang ada alas an mendesak seperti ancaman terhadap nyawa si ibu, merugikan anak yang sedang menyusui, atau

  28

  diduga anak yang akan lahir cacat. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tiga hak : 1) Hak janin

  Sebelum 40 hari, kehamilan masih suatu tetes benih hidup yang tanpa bentuk atau nyawa. Adapun setelah pembentukan, setelah penyawaan, maka aborsi dilarang. 2) Hak orang tua

  Mereka mempunyai hak untuk melanjutkan atau mengakhirinya dalam 40 hari atas persetujuan bersama. Namun apabila aborsi itu akan membahayakan ibu maka tidak diperbolehkan. 3) Hak masyarakat

  Ini berhubungan dengan konsekuensi umum dari aborsi. Apabila hal itu menjadi kelaziman (melampauin batas), masyarakat mempunyai hak untuk turun tangan. Demikianlah wacana hukum di kalangan ulama klasik. Sedangkan menurut ulama Indonesia antara lain menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia 27 28 Wila Chandra Supriadi, Op. Cit., hal. 77.

  Ibid., hal. 78. Nomor 4 Tahun 2005 tentang aborsi dinyatakan bahwa pengguguran kandungan dengan cara apa pun dilarang ajaran Islam, karena perbuatan itu merupakan pembunuhan yang dilarang oleh syariat Islam, kecuali untuk menyelamatkan jiwa

  29 si ibu.

  2. Aborsi janin yang cacat Cacat bawaan merupakan kelainan dalam pertumbuhan bayi yang timbul sejak kehidupan. Cacat bawaan ini dapat berbentuk satu kelainan saja atau dapat pula merupakan gabungan dari beberapa kelainan. Sebab langsung dari cacat bawaan sering kali sukar diketahui. Cacat bawaan yang disebabkan oleh faktor genetic adalah oleh karena kelainan kromosom. Faktor lingkungan dapat berupa

  30 factor obat, umur ibu, radiasi, kekurangan gizi, dan lain-lain.

  Kemajuan ilmu kedokteran telah mampu mendeteksi kemungkinan ada dan tidaknya cacat pada janin sebelum berusia 4 bulan sebelum mencapai masa

  31 ditiupkannya ruh. Deteksi ini diakukan dengan pemeriksaan laboratorium darah.

  Deteksi tersebut dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan air ketuban pada

  32

  kehamilan 20 minggu, dan pemeriksaan USG Jika cacat itu bersifat genetik yang menular keturunan, maka ia masih bisa dicegah dengan cara menghentikan kehamilan untuk sementara waktu. Apabila terdapat cacat pada janin sebelum ditiup ruh, para hanafiyah dan syafi’iyah telah menjelaskan pada fase tersebut. Yaitu, boleh melakukan aborsi dan tidak berdosa.

  Melakukan tindakan aborsi karena ada sebab atau bahkan tanpa sebab yang jelas, 29 30 Zuhroni, dkk, Op. Cit., hal. 162. 31 M. Jusuf Hanafiah, Op. Cit., hal. 130. 32 Zuhroni, dkk, Op. Cit., hal. 168 M. Jusuf Hanafiah, Op. Cit., hal. 131. tetap boleh karena sebuah janin yang belum bernyawa menurut mereka tidak bisa disebut sebagai jiwa manusia yang haram dibunuh. Contoh dari uzdur adalah apabila tidak bisa menghentikan kehamilan, sementara itu di antara suami-istri atau salah satunya memiliki penyakit keturunan yang dapat menular. Maka dalam situasi darurat seperti ini, aborsi diperbolehkan sebelum usia janin mencapai 120 hari. Adapun janin yang memiliki cacat yang masih bisa diobati secara medis, atau penyakit yang bisa cepat ditangani atau penyakit yang masih memungkinkan janin dapat hidup normal, maka hal seperti ini bukan tergolong cacat yang darurat

  33 yang memperbolehkan aborsi.

  Dalam kasus demikian, dalam menentukan hukum menggugurkannya,

  

34

  ulama dihadapkan dengan berbagai kemungkinan :

  b. Terdapat kemungkinan janin lahir dengan membawa penyakit yang diturunkan secara genetik c. Dicurigai adanya cacat bawaan lahir

  d. Suatu diagnosis kandung kemih terhadap janin menunjukkan adanya kelainan parah yang tidak sesuai dengan kehidupan.

  Para ilmuwan fikih telah membagi kecacatan pada janin menjadi dua

  35

  bagian : 1) Kecacatan yang terjadi sebelum ditiupkannya ruh Maksudnya, pada janin tersebut telah terdeteksi adanya cacat bawaan sebelum ditupkannya ruh.

  Mayoritas Ulama kontemporer membolehkan aborsi janin tersebut pada fase 33 34 Adil Yusuf Al-Izazy, Op. Cit., hal. 109. 35 Zuhroni, dkk, Op. Cit., hal. 168.

  Kholid Bin Ali Al Musyaiqih, http://kaahil.wordpress.com/2011/06/11/bolehkah- aborsikarena-alasan-kelainan-medis-kecacatan-pada-janin/ , 10 Mei 2013. ini. Aborsi adalah bahaya. Akan tetapi keluarnya janin dalam keadaan cacat akan membahaykan dirinya dan kedua orang tuanya.

  2) Cacat bawaan yang terdeteksi setelah ditiupkannya ruh Pada kasus ini aborsi tidak boleh dilakukan. Sebagaimana telah disebutkan dalil-dalil yang menunjukkan diharamkannya membunuh jiwa. Karena janin tersebut setelah ditiupkan padanya ruh menjadi jiwa yang terjaga tidak boleh dibunuh dan dilanggar kehormatannya. Akan tetapi mayoritas Ulama ini membolehkan dilakukannya aborsi terhadap janin setelah ditiupkannya ruh apabila keberadaannya terbukti membahayakan sang ibu. Atas dasar ini,apabila sang janin mengalami cacat bawaan atau sakit yang dapat membahayakan sang ibu, berupa kematian yang terbukti atas dasar berkenaan dengan silang pendapat antara Ulama kontemporer dan Ulama terdahulu tentang hukum aborsi. Ulama terdahulu berpendapat tidak diperbolehkan dilakukannya aborsi sedangkan ulama kontemporer berpendapat, jika terbukti sang janin akan mengakibatkan kematian sang ibu,maka boleh dilakukan aborsi.

  3. Aborsi akibat pemerkosaan Perkosaan adalah perbuatan yang sangat biadab, bukan saja dari segi perbuatannya, tapi dari juga menimbulkan beban psikologis kepada korban yang sulit disembuhkan, apalagi kalau sampai berakibat kehamilan pada perempuan

  36

  yang diperkosa. Tidak bisa diragukan, perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk perempuan yang menjadi korban. Banyak korban perkosaan membutuhkan waktu lama untuk mengatasi pengalaman traumatis ini, dan 36 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 29. mungkin ada juga yang tidak pernah lagi dalam keadaan normal seperti sebelumnya. Jika perkosaan itu ternyata mengakibatkan kehamilan, pengalaman

  37

  traumatis itu bertambah besar lagi. Teori feminis mendefinisikan perkosaan adalah sebagai tindakan dan institusi sosial yang melanggengkan dominasi patriarkhis dan yang didasarkan pada kekerasan bukan sekedar kejahatan

  38 kekerasan.

  Dalam kasus semacam ini indikasi medis dapat dipertimbangkan, karena

  39

  aborsi diperlukan untuk menjamin kesehatan jiwa si korban. Wanita yang diperkosa tidak menanggung sama sekali terhadap apa saja yang terjadi pada diri mereka, selama mereka telah berusaha menolak dan melawannya, sedangkan dalam mereka dalam keadaan terancam keselamatan jiwanya dengan kekerasan.

  Mengenai kehamilan akibat perkosaan pada dasarnya makhluk baru ini harus dihormati, oleh karena itu pengguguran kandungan disini pada dasarnya terlarang.

  Namun perlu dipertimbangkan oleh suatu tim yang terdiri dari ahli syara’, dokter

  40 dan cendikiawan lainnya, jika ada permintaan untuk menggugurkannya.

  Aborsi sebagai akibat pemerkosaan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan :

  1. Pasal 75 ayat 2 (a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic

  37 38 K. Bertens, Op. Cit., hal. 47.

  Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hal. 388. 39 40 Ibid., hal. 48.

  M. Jusuf Hanafiah, Op. Cit., hal. 132. berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau (b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

  2. Pasal 75 ayat 3 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

  3. Pasal 75 ayat 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan

  Peraturan Pemerintah.

  4. Pasal 76 (a) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (b) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; (c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; (d) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan (e) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

  Adapun mengenai hukum aborsi akibat perkosaan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Sebelum menerangkan hukumnya, perlu dipertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan terjadinya perkosaan. Para ulama memberikan tuntutan umum, jika terjadi perkosaan, maka pemerkosanya harus dihukum berat. Tetapi bagi pihak korban, masalahnya sangat rumit dan

  41

  tidak mudah menyelesaikannya. Maka aborsi akibat perkosaan yang mengakibatkan stress berat, kalau tidak digugurkan akan menjadikannya mengalami sakit jiwa atau gila sebagai dampak psikologis tindak perkosaan, maka

  42 hukumnya dibolehkan.

  41 42 Zuhroni, dkk, Op. Cit., hal. 165.

  Ibid., hal. 167.