Kehamilan Dan Prevalensi Terjadinya Melasma

KEHAMILAN DAN PREVALENSI TERJADINYA MELASMA DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran MARWAN SOFYAN

G 0008125

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

KEHAMILAN DAN PREVALENSI TERJADINYA MELASMA DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran MARWAN SOFYAN

G 0008125

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Kehamilan dan Prevalensi Terjadinya Melasma di RSUD Dr. Moewardi

Marwan Sofyan, NIM : G0008125, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari Rabu, Tanggal 16 November 2011

Pembimbing Utama

Nama : Muhammad Eko Irawanto, dr., SpKK NIP

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. Kiyatno, dr., MOR, PFK, AIFO NIP

Penguji Utama

Nama : Nugrohoaji Dharmawan, dr., SpKK., M.Kes NIP

Anggota Penguji

Nama : Arie Kusumawardani, dr., SpKK NIP

Surakarta,........................

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes

Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 16 November 2011

Marwan Sofyan NIM. G0008125

Marwan Sofyan, G0008125, 2011. Kehamilan dan Prevalensi Terjadinya Melasma di RSUD Dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan antara kehamilan dengan prevalensi terjadinya melasma.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2011 di RSUD Dr. Moewardi. Jumlah sampel adalah 38 wanita hamil dan 37 wanita tidak hamil. Lokasi penelitian di Poliklinik Obsgyn, Ruang Rawat Inap Mawar 1 dan Mawar 3 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Masing- masing sampel mengisi lembar biodata dan inform consent sebagai tanda persetujuan kemudian sampel difoto untuk selanjutnya dikonsultasikan ke dokter spesialis kulit. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Logistik yang diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Hasil Penelitian: Melasma terjadi pada 15,8% wanita hamil di RSUD Dr. Moewardi. Tidak terdapat hubungan yang signiifikan antara kehamilan dan prevalensi terjadinya melasma setelah mengontrol variabel perancu paparan sinar matahari, obat, kosmetik, dan kontrasepsi.

Simpulan Penelitian: Tidak terdapat hubungan antara kehamilan dengan prevalensi terjadinya melasma dimana kehamilan tidak meningkatkan risiko terjadinya melasma.

Kata kunci : wanita hamil, prevalensi melasma

Marwan Sofyan, G0008125, 2011. Pregnancy and Prevalency the Occurance of Melasma in RSUD Dr. Moewardi. Medical Faculty of Sebelas Maret University

Surakarta.

Research Purpose: To detect the relationship between pregnancy and prevalency the occurance of melasma.

Research Method: This research was an observational analytic research with cross-sectional approach that held on Juny until September 2011 at RSUD Dr. Moewardi. Sample that used in this research was 38 pregnant women and 37 unpregnant women. The research was located at Obsgyn Clinic, Mawar 1 and Mawar 3 ward RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Each sample were instructed to fill the identity form and inform consent as agreement, and then got their photo taken for further consultation with ermatologist. The data was analyzed by using regression logistic model, run on Statistical Product and Service Solution (SPSS)

17.00 for Windows.

Research Result: The Research shows that 15.8% pregnant woman in RSUD Dr. Moewardi are suffered from melasma. There is no correlation between pregnancy and prevalency the occurance of melasma after adjusting the false variable of sunlight shelf, drug, cosmetic, and contraception.

Research Conclusion: There is no corelation between pregnancy and the occurance of melasma where the pregnancy not increase the risk of melasma.

Keyword: pregnant woman, prevalency of melasma

PRAKATA

Alhamdulillaah, segala puji syukur bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan taufik, hidayah, dan kekuatan serta kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Kehamilan dan Prevalensi Terjadinya Melasma di RSUD Dr. Moewardi”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zaenal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM , selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi beserta tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Muhammad Eko Irawanto, dr., SpKK, selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.

4. Dr. Kiyatno, dr., MOR, PFK, AIFO, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.

5. Nugrohoaji Dharmawan, dr., SpKK., M. Kes selaku Penguji Utama yang telah memberikan bimbingan dan nasehat.

6. Arie Kusumawardani, dr., SpKK, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan bimbingan dan nasehat.

7. Bapak, Ibu, kakak serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

8. Teman-teman Kos “Techno House” yang selalu memotivasi penulis dengan tawa dan semangatnya.

9. Teman-teman mahasiswa angkatan 2008 atas bantuannya selama penelitian ini.

10. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 10 November 2011

Marwan Sofyan

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur .................................................. 26

Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan ........................................... 26 Tabel 4.3 Analisis Bivariat tentang Kehamilan dan Prevalensi Melasma............ 27 Tabel 4.4 Analisis Bivariat tentang Penggunaan Obat dan Prevalensi

Melasma……………………………………………………………… 28 Tabel 4.5 Analisis Bivariat tentang Pemakaian Kosmetik dengan Prevalensi

Melasma................................................................................................ 30 Tabel 4.6 Analisis Bivariat tentang Paparan Sinar Matahari dengan Prevalensi

Melasma ............................................................................................... 31 Tabel 4.7 Analisis Bivariat tentang Penggunaan Kontrasepsi dengan Prevalensi

Melasma .............................................................................................. 32 Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Dengan Analisis

Bivariat tentang Hubungan antara Kehamilan dengan Prevalensi Melasma................................................................................................ 34

Gambar 2.1 Skema Alur Sintesis Melanin .......................................................... 27 Gambar 4.1 Grafik Persentase antara Kehamilan dengan Prevalensi Melasma .. 27 Gambar 4.2 Persentase antara Konsumsi Obat dengan Prevalensi Melasma ...... 29 Gambar 4.3 Persentase antara Pemakaian Kosmetik dan Prevalensi

Melasma............................................................................................ 30

Gambar 4.4 Persentase antara Paparan Sinar Matahari dan Prevalensi

Melasma.. ......................................................................................... 31

Gambar 4.5 Persentase antara Penggunaan Kontrasepsi dengan Prevalensi

Melasma............................................................................................ 33

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Obat-obatan dan Zat Kimia yang Menyebabkan Hiperpigmentasi

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dari RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 4. Contoh Foto Hasil Penelitian Lampiran 5. Hasil Analisis Data Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan pigmentasi kulit merupakan masalah yang harus diwaspadai oleh setiap orang agar mampu menyikapinya dengan benar. Penelitian yang dilakukan Taylor et al (2008) menunjukkan dari 140 sampel yang diteliti, 80 % di antaranya mengalami gangguan pigmentasi kulit. Salah satu penyakit yang terkait dengan pigmentasi kulit adalah melasma. Di Asia Tenggara, sekitar 0,25% sampai 4% pasien yang berkunjung ke klinik kulit menderita melasma (Goh and Dlova, 1999). Secara medis melasma merupakan masalah kesehatan, dan secara estetika dapat merusak kecantikan wanita (Yani, 2008). Walaupun tidak memberikan gejala, melasma terbukti akan memberi dampak pada kehidupan sosial dan psikologis seseorang sehingga perlu dilakukan lebih banyak penelitian mengenai masalah ini (Arellano and Saul, 2009; Taylor, et al., 2008).

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris adanya hubungan antara kehamilan dan timbulnya melasma. Diperkirakan jumlah ibu hamil di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 6.532.800, sedangkan untuk Kota Surakarta diperkirakan berjumlah 13.768 (Depkes, 2009; BPS, 2010). Jika terbukti memiliki hubungan yang kuat antara kehamilan dengan melasma diharapkan ibu hamil dapat tetap waspada akan perubahan pigmentasi kulit yang akan dideritanya dan dapat berkonsultasi dengan dokter ahli untuk dilakukan pemeriksaan. Sedangkan jika tidak terbukti, maka ibu hamil diharapkan tidak khawatir mengalami

Melasma adalah hipermelanosis didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua, mengenai area yang terpajan sinar ultra violet dengan tempat predileksi pada pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu (Soepardiman, 2007). Melasma sendiri lebih banyak mengenai wanita daripada laki-laki, hingga 90 % dari semua kasus, dan umumnya mengenai wanita pada usia reproduktif dengan jumlah terbanyak pada usia 30-44 tahun (Wijaya, 2010). Namun, penelititan terhadap orang latin menunjukkan bahwa melasma sering dijumpai pria dan juga dikaitkan dengan kualitas hidup

seseorang (Pichardo, 2009). Melasma lebih sering dijumpai pada orang kulit

cokelat atau kulit hitam (seperti dari Asia, India, dan Amerika Selatan) (Wolff and Johnson, 2007).

Etiologi melasma sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah sinar ultraviolet, hormon, obat, genetik, ras, dan kosmetika (Soepardiman, 2007). Pengaruh hormonal dinilai cukup berperan dalam timbulnya melasma dan sering dikaitkan dengan kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral.

Kehamilan merupakan suatu fase alamiah yang dilewati oleh kebanyakan wanita. Kehamilan adalah suatu keadaan mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh setelah penyatuan sel telur dengan spermatozoa (Dorland, 2006). Terdapat beberapa perubahan anatomik dan fisiologik pada wanita hamil, khususnya pada alat genitalia eksterna dan interna. Perubahan lain yang juga signifikan dapat terlihat pada sistem endokrin, metabolisme tubuh, sirkulasi darah, traktus

wanita hamil (Szamkolowicz, et al., 2005). Perubahan ini antara lain dipengaruhi oleh faktor endokrin, metabolisme, psikologi, dan imunologis (Evans, 2007). Faktor endokrin yang berperan antara lain karena terdapat peningkatan hormon estrogen dan progesteron pada wanita hamil (Nading, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa melanosit dalam tubuh yang berperan dalam pigmentasi kulit mengekspresikan reseptor estrogen. Namun, sampai saat ini masih terdapat kontroversi mengenai patogenesis terjadinya melasma dan kaitannya dengan pengaruh estrogen (Slominski, et al., 2010).

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas penulis bermaksud mengadakan penelitian yang dapat menjelaskan apakah terdapat hubungan antara kehamilan dengan timbulnya melasma.

B. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara kehamilan dengan prevalensi terjadinya melasma?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui hubungan antara kehamilan dengan prevalensi terjadinya melasma.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis 1. Manfaat Teoritis

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan ibu hamil lebih waspada terhadap perubahan kulit yang akan diderita dan mengurangi kekhawatiran yang akan berdampak pada kondisi sosial dan psikologisnya.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Melasma

a. Definisi

Melasma adalah suatu bercak hipermelanosis berwarna coklat muda sampai coklat tua yang timbul pada daerah muka yang sering terpapar sinar matahari, yaitu pada kedua pipi, dagu, bibir atas, dan dapat meluas sampai ke leher (Harahap, 2000; Arellano and Saul, 2009). Lesi pada melasma berupa makula dengan batas tidak jelas dan biasanya terdistribusi simetris bila mengenai pipi (Wolff and Johnson, 2007).

b. Etiologi

Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah sinar ultraviolet, hormon, obat, genetik, ras, kosmetika (zat kimia), dan idiopatik (Soepardiman, 2007). Obat- obatan dan zat kimia yang dapat menyebabkan hiperpigmentasi terdiri dari berbagai jenis (lihat lampiran).

Melasma disebabkan karena peningkatan jumlah dan aktivitas melanosit walaupun patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Dalam banyak kasus, terdapat hubungan yang erat dengan aktivitas hormonal pada wanita karena dapat timbul dalam masa

c. Klasifikasi

Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis, pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan dengan sinar wood . Berdasarkan gambaran klinis terdapat 3 bentuk melasma, yaitu: 1). Bentuk sentro-fasial (63%), meliputi daerah dahi, hidung, dagu,

dan di atas bibir. 2). Bentuk malar (21%) meliputi hidung dan pipi. 3). Bentuk mandibular (16%) meliputi daerah mandibula (Wolff

and Johnson, 2007).

Ada kalanya dada depan dan lengan bagian belakang dapat juga terkena melasma (Wolff and Johnson, 2007).

Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar wood, melasma dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: 1). Tipe epidermal, melasma tampak lebih jelas dengan sinar wood

dibanding dengan sinar biasa. 2). Tipe dermal, dengan sinar wood tak tampak warna kontras

dibanding dengan sinar biasa. 3). Tipe campuran, tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang

lainnya tidak jelas.

wood lesi ini menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa lebih jelas terlihat (Soepardiman, 2007).

d. Patogenesis

Masih banyak yang belum diketahui. Banyak faktor yang menyangkut proses ini, antara lain: 1). Peningkatan produksi melanosom karena hormon maupun

karena sinar ultraviolet. Kenaikan melanosom ini juga dapat disebabkan karena bahan farmakologik seperti perak dan psoralen.

2). Penghambatan dalam malphigian cell turnover, keadaan ini dapat terjadi karena obat sitostatik (Soepardiman, 2007).

e. Diagnosis

Diagnosis melasma ditegakkan hanya dengan pemeriksaan klinis. Untuk menentukan tipe melasma dilakukan pemeriksaan sinar wood , sedangkan pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu (Soepardiman, 2007).

2. Kulit

Kulit merupakan pembungkus elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Fungsi dari kulit adalah sebagai pelindung, pengatur suhu, penyerap, indera perasa, dan kelenjar sekretoris. Kulit terbagi menjadi tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium,

Epidermis terdiri atas lima lapisan (stratum), yaitu stratum germinativum (lapisan basal), stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Lapisan basal terdiri dari satu lapis sel-sel kuboid yang tegak lurus terhadap dermis. Di dalam sel terdapat sitoplasma yang basofilik dengan inti yang besar, lonjong, dan berwarna hitam. Sel-sel basal ini tersusun sebagai tiang pagar (palisade). Lapisan basal merupakan lapisan paling bawah dari epidermis dan berbatas dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat juga melanosit yang mengandung butir-butir pigmen (melanosom) (Wasitaatmadja, 2007).

b. Dermis

Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan di atas jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang di lapisan atasnya terjalin rapat (pars paillaris), sedangkan di bagian bawahnya terjalin lebih longgar (pars reticularis). Lapisan pars reticularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea (Harahap, 2000).

c. Jaringan Subkutan

Jaringan subkutan merupakan lapisan yang terletak langsung di bawah dermis. Batas antara dermis dan jaringan subkutan tidak tegas. Sel-sel yang terbanyak adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan juga mengandung saraf, pembuluh Jaringan subkutan merupakan lapisan yang terletak langsung di bawah dermis. Batas antara dermis dan jaringan subkutan tidak tegas. Sel-sel yang terbanyak adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan juga mengandung saraf, pembuluh

3. Sistem Pigmentasi Kulit

Warna kulit sangat beragam, dari yang berwarna putih mulus, kuning, coklat, kemerahan atau hitam. Setiap warna kulit mempunyai keunikan tersendiri yang jika dirawat dengan baik dapat menampilkan karakter yang menarik. Warna kulit terutama ditentukan oleh :

a. Oxyhemoglobin yang berwarna merah

b. Hemoglobin tereduksi yang berwarna biru

c. Melanin yang berwarna coklat

d. Karoten yang memberi warna kuning (Wolff, et al., 2007; Arellano and Saul, 2009).

Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit, yang paling menentukan warna kulit adalah pigmen melanin. Banyaknya pigmen melanin di dalam kulit ditentukan oleh faktor-faktor ras, individu, dan lingkungan. Jumlah, tipe, ukuran dan distribusi pigmen melanin ini akan menentukan variasi warna kulit berbagai golongan ras atau bangsa di dunia (Wolff, et al, 2007; Arellano and Saul, 2009).

Proses pembentukan pigmen melanin kulit terjadi pada butir-butir melanosom yang dihasilkan oleh sel-sel melanosit. Melanosit terbanyak ditemukan di kulit dan folikel rambut. Pada manusia, melanosit terletak

melanin yang kemudian disimpan dalam organel melanosom untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam keratinosit melalui proses dendritik melanosit (melanocyte dendritic processes). Dibutuhkan sintesis dan perpindahan melanosom dari melanosit menuju kerationosit secara konstan untuk mengatur pigmentasi kulit. Pigmentasi, meliputi sintesis dan distribusi melanin yang terjadi di epidermis, harus melewati beberapa langkah, yaitu transkripsi protein yang dibutuhkan untuk melanogenesis sehingga menghasilkan tirosin, biogenesis melanosom, pemindahan protein melanogenik menuju melanosom, pemindahan melanosom menuju ujung melanosit, dan pemindahan melanosom menuju keratinosit (Park, et al., 2008). Proses melanogenesis ini diperantarai oleh perlekatan dari α-melanocyte stimulating hormone pada Human Melanocortin 1 Receptor (MC1-R) di dalam melanosit (Lieberman and Moy, 2008). Ada 2 jenis melanin yang disintesis dalam melanosom, yaitu eumelanin dan pheomelanin. Melanin merupakan turunan dari DOPA yang terbentuk dalam melanosom melalui beberapa tahapan oksidasi. Sintesis melanin dimulai dari proses oksidasi asam amino tirosin menjadi L-DOPA dengan bantuan enzim tirosinase. Selanjutnya L-DOPA akan dioksidasi menjadi DOPA-quinone yang selanjutnya akan diubah menjadi 5,6-dihydroxyindole (DHI) yang nantinya akan menghasilkan melanin berwarna hitam atau 5,6- melanin yang kemudian disimpan dalam organel melanosom untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam keratinosit melalui proses dendritik melanosit (melanocyte dendritic processes). Dibutuhkan sintesis dan perpindahan melanosom dari melanosit menuju kerationosit secara konstan untuk mengatur pigmentasi kulit. Pigmentasi, meliputi sintesis dan distribusi melanin yang terjadi di epidermis, harus melewati beberapa langkah, yaitu transkripsi protein yang dibutuhkan untuk melanogenesis sehingga menghasilkan tirosin, biogenesis melanosom, pemindahan protein melanogenik menuju melanosom, pemindahan melanosom menuju ujung melanosit, dan pemindahan melanosom menuju keratinosit (Park, et al., 2008). Proses melanogenesis ini diperantarai oleh perlekatan dari α-melanocyte stimulating hormone pada Human Melanocortin 1 Receptor (MC1-R) di dalam melanosit (Lieberman and Moy, 2008). Ada 2 jenis melanin yang disintesis dalam melanosom, yaitu eumelanin dan pheomelanin. Melanin merupakan turunan dari DOPA yang terbentuk dalam melanosom melalui beberapa tahapan oksidasi. Sintesis melanin dimulai dari proses oksidasi asam amino tirosin menjadi L-DOPA dengan bantuan enzim tirosinase. Selanjutnya L-DOPA akan dioksidasi menjadi DOPA-quinone yang selanjutnya akan diubah menjadi 5,6-dihydroxyindole (DHI) yang nantinya akan menghasilkan melanin berwarna hitam atau 5,6-

Glutathione or cysteine

Tyrosinase

Tyrosinase or TRP-2

Gambar 2.1 Alur mekanisme biosintesis melanin (Masuda, et al., 1996)

Fungsi utama dari melanin adalah sebagai pelindung dari sinar UV yang dapat menyebabkan kerusakan DNA dengan menyerap dan menghamburkan sinar UV. Sinar UV yang diserap oleh melanin akan diubah menjadi panas. Namun, pada orang kulit terang, paparan sinar UV yang terus-menerus bukan hanya dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan melanin dalam melindungi dari kerusakan DNA melainkan juga akan menyebabkan mutasi pada melanin itu sendiri (Park, et al., 2008). Pigmen melanin yang terdapat pada manusia bersifat heterogen

Indole 5,6- quinone

Indole 5,6-quinone

carboxylic acid

Alanyl-hydroxy- benzothiazine

DHI melanin

DHICA melanin

Pheomelanin

Tyrosine

DHICA

DOPAquinone

L-DOPA

berbagai anggota tubuh (Costin and Hearing, 2007).

4. Kehamilan

a. Definisi

Kehamilan adalah suatu keadaan mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh setelah penyatuan sel telur dengan spermatozoa (Dorland, 2006). Terdapat perubahan anatomi, fisiologi, dan biokimia pada ibu hamil. Banyak dari perubahan ini timbul segera setelah proses fertilisasi dan dilanjutkan pada masa gestasi. Perubahan yang terjadi ini akan kembali normal hampir seperti sebelum masa kehamilan setelah kelahiran dan laktasi (Sulin, 2008).

b. Siklus ovarium pada kehamilan

Siklus ovarium pada wanita terkait dengan interaksi dari hypothalamic-pituitary axis (Cunningham, 2007).

Pada waktu lahir di dalam ovarium terdapat 2 juta oosit yang kemudian akan terus berkurang jumlahnya sampai 400.000 folikel pada masa pubertas. Setelah itu, folikel masih akan dibuang sekitar 1.000 folikel tiap bulan sampai usia 35 tahun. Hanya sekitar 400 folikel yang dapat mengalami ovulasi selama masa reproduksi (Cunningham, 2007). FSH akan dikeluarkan dari glandula pituitari untuk membantu perkembangan folikel. Folikel yang berkembang kemudian mensekresikan estrogen yang akan menstimulus

folikel yang berkembang juga akan memproduksi inhibin-B yang juga menekan sekresi FSH dari pituitari (Olive and Palter, 2007; Cunningham, 2007). Di samping itu, kadar LH mengalami penurunan sebagai respon dari meningkatnya estrogen. Setelah estrogen menurun, LH kemudian akan meningkat secara signifikan yang disebabkan rangsangan dari hipotalamus (Olive and Palter, 2007; Schwartz, 2005). Peningkatan LH kemudian akan menginduksi sekresi progesteron dan prostaglandin yang akan memicu terjadinya ovulasi. Selanjutnya sisa jaringan folikel akan membentuk corpus luteum melalui proses yang disebut luteinisasi (Cunningham, 2007; Guyton, 2007). Pada kehamilan, corpus luteum dipertahankan dan akan terus mensekresikan progesteron sehingga dapat menekan kontraksi uterus agar embrio melekat kuat di uterus. Ketika embrio telah tertanam di uterus, plasenta akan menghasilkan HCG (Human Chorionic Gonadotropin) untuk mempertahankan corpus luteum dan juga membentuk hormon lain yang penting dalam kehamilan, yaitu estrogen, progesteron, dan human chorionic somatomammotropin . Selain itu, kelenjar endokrin dari ibu juga memberi reaksi nyata pada kehamilan, di antaranya peningkatan produksi glukokortikoid yang berfungsi untuk mobilisasi asam-asam amino dari jaringan ibu sehingga asam–asam amino dapat dipakai untuk sintesis jaringan fetus (Guyton, 2007).

Terdapat peningkatan kortisol yang cukup tinggi selama kehamilan. Pada awal kehamilan kadar Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) justru sedikit menurun. Namun, selama proses kehamilan berlangsung, kadar dari ACTH dan kortisol bebas akan meningkat. Peningkatan ini dibutuhkan untuk menjaga homeostasis sebagai respon dari meningkatnya kadar progesteron (Cunningham, 2007). Sewaktu terjadi sekresi ACTH oleh kelenjar hipofisis anterior, beberapa jenis hormon lain yang mempunyai sifat-sifat kimiawi yang serupa akan disekresikan juga. Alasan untuk peristiwa ini adalah karena molekul RNA yang menyebabkan pembentukan ACTH pada awalnya menyebabkan pembentukan suatu molekul protein sangat besar, yaitu preprohormon (proopiomelanokortin), yang mengandung ACTH sebagai subunitnya. Preprohormon yang sama ini juga mengandung beberapa hormon lain, termasuk Melanocyt Stimulating Hormone (MSH) (Guyton, 2007).

Diperkirakan karena adanya pembesaran pada lobus tengah dari glandula pituitari, kadar Melanocyte Stimulating Hormone (MSH) meningkat secara signifikan terutama pada minggu ke-8 kehamilan. (Cunningham, 2007).

MSH akan menyebabkan melanosit, yang banyak terdapat di antara dermis dan epidermis kulit, membentuk pigmen gelap melanin dan menyebarkannya di sel-sel epidermis. Penyuntikan MSH pada MSH akan menyebabkan melanosit, yang banyak terdapat di antara dermis dan epidermis kulit, membentuk pigmen gelap melanin dan menyebarkannya di sel-sel epidermis. Penyuntikan MSH pada

5. Hubungan antara kehamilan dan timbulnya melasma

Kejadian melasma dikaitkan dengan peningkatan estrogen, progesteron, dan MSH, terutama di trimester kedua dan ketiga pada masa kehamilan. Hasil uji in vitro menunjukkan kultur melanosit manusia mengekspresikan reseptor estrogen. Estradiol meningkatkan kadar enzim melanogenik terutama Tyrosinase-Related Proteins-2 (TRP-2) dalam melanosit manusia normal. Bukti lain juga menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor estrogen pada lesi kulit penderita melasma. Hal ini mengisyaratkan bahwa melanosit pada pasien melasma lebih sensitif terhadap peningkatan konsentrasi estrogen dan mungkin juga hormon seks lainnya (Kang and Ortonne, 2010).

Sedangkan menurut Sulin (2008), peningkatan kadar serum MSH pada akhir bulan kedua masih sangat diragukan sebagai penyebabnya. Namun, telah diketahui bahwa estrogen dan progesteron mempunyai peran dalam proses melanogenesis dan diduga bisa menjadi faktor pendorongnya (Sulin, 2008).

Terdapat beberapa studi yang menunjukkan bahwa estrogen diduga menjadi faktor utama dari patogenesis terjadinya melasma. Telah

melanocyte stimulating hormone pada Human Melanocortin 1 Receptor (MC1-R) di dalam melanosit dan ditemukan bahwa ß-estradiol meningkatkan level dari MC1-R dan tirosinase (Lieberman and Moy, 2008; Miot, et al., 2010). Selain itu, kultur melanosit menunjukkan bahwa melanosit mengekspresikan reseptor estrogen dan progesteron di dalam sitosol dan nukleus. Telah diketahui juga bahwa keratinosit merespon sinar ultraviolet melalui peningkatan ekspresi dari α-MSH dan ACTH. Akan tetapi, hubungan paparan sinar ultraviolet pada ekspresi reseptor estrogen masih belum diselidiki. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui mekanisme bertambahnya ekspresi reseptor estrogen pada melanosit terkait interaksinya dengan sinar ultraviolet. Hipotesis yang ada adalah reseptor estrogen menyebabkan melanogenesis dari pengikatan estradiol melalui peningkatan kadar MC1- R (Lieberman and Moy, 2008).

Beberapa penelitian menunjukkan penumpukan jumlah melanin pada penderita melasma. Tidak ditemukan peningkatan jumlah melanosit, tetapi melanosit bertambah besar dan menunjukkan peningkatan aktivitas melanogenesis, terutama dalam menghasilkan eumelanin. Pada kehamilan, khususnya trimester ketiga, peningkatan kadar estrogen dan progesteron dikaitkan dengan timbulnya melasma. Hormon steroid ini juga bisa meningkatkan transkripsi gen enzim melanogenik dalam melanosit, terutama Dopachrome Tautomerization (DCT) dan tirosinase Beberapa penelitian menunjukkan penumpukan jumlah melanin pada penderita melasma. Tidak ditemukan peningkatan jumlah melanosit, tetapi melanosit bertambah besar dan menunjukkan peningkatan aktivitas melanogenesis, terutama dalam menghasilkan eumelanin. Pada kehamilan, khususnya trimester ketiga, peningkatan kadar estrogen dan progesteron dikaitkan dengan timbulnya melasma. Hormon steroid ini juga bisa meningkatkan transkripsi gen enzim melanogenik dalam melanosit, terutama Dopachrome Tautomerization (DCT) dan tirosinase

C. Hipotesis

Terdapat hubungan yang positif antara kehamilan dengan prevalensi terjadinya melasma pada ibu hamil di RSUD Moewardi.

Kehamilan

Estrogen dan progesteron

Melanogenesis

MC1-R

Kosmetik Obat-obatan Sinar matahari

Kontrasepsi hormonal

DCT, TRP-2, dan tirosinase

Aktivitas mitosis dari keratinosit

ACTH

Melasma

Faktor genetik Idiopatik

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan metode cross sectional yaitu menentukan hubungan kehamilan dengan timbulnya melasma yang dilakukan dengan pengukuran sesaat.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Obsgyn, Ruang Rawat Inap Mawar 1 dan Mawar 3 RSUD Dr. Moewardi.

C. Subyek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien yang berada di Poliklinik Obsgyn, Ruang Rawat Inap Mawar 1 dan Mawar 3 RSUD Dr. Moewardi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

D. Teknik Sampling

Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik Purposive Sampling , yaitu suatu teknik pemilihan sampel yang dipilih berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian subjek dipilih secara acak, sehingga setiap subjek dalam populasi yang telah dikelompokkan memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih (Hadi, 2000).

E. Besar Sampel

Jumlah sampel ditentukan dari variabel independen x (15-20 observasi) (Hair, et al., 1998: 166). Dalam penelitian ini terdapat 5 variabel

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a. Wanita yang berkunjung ke Poliklinik Obsgyn, Ruang Rawat Inap Mawar 1 dan Mawar 3 RSUD Dr. Moewardi

b. Berusia 15 - 45 tahun

c. Bersedia menjadi subjek penelitian

2. Kriteria Eksklusi

Tidak bersedia mengikuti penelitian

G. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

: Hamil

2. Variabel terikat

: Melasma

3. Variabel Perancu

a. Terkendali : Obat, kosmetik, sinar matahari, dan

kontrasepsi

b. Tidak terkendali

: Genetik dan idiopatik

H. Definisi operasional variabel

1. Melasma Melasma adalah timbulnya bercak hiperpigmentasi kecoklatan pada daerah muka, yaitu pipi, dahi, bibir atas, dan dapat meluas sampai ke leher. Alat ukur yang digunakan adalah pengamatan oleh indera penglihatan yang dikonsulkan ke dokter spesialis kulit melalui foto. Hasilnya adalah melasma

2. Kehamilan Kehamilan adalah kondisi hamil yang sedang dialami pasien.

a. Alat ukur

: kuesioner

b. Skala pengukuran : nominal

3. Sinar matahari Terpaparnya responden dengan sinar matahari yang dinilai berdasarkan paparan sinar matahari dalam kegaitan sehari-hari.

a. Alat ukur

: kuesioner

b. Skala pengukuran : nominal

4. Kosmetik Suatu bahan berupa krim wajah yang mengandung bahan-bahan kimia tertentu pemicu hiperpigmentasi yang dipakai oleh responden secara terus-menerus.

a. Alat ukur

: kuesioner

b. Skala pengukuran : nominal

5. Obat-obatan Obat-obatan oral tertentu pemicu hiperpigmentasi yang dikonsumsi responden untuk terapi penyakit yang sedang dialami.

a. Alat ukur

: kuesioner

b. Skala pengukuran : nominal

6. Kontrasepsi hormonal Alat kontrasepsi yang mengandung hormon berupa pil, suntikan, 6. Kontrasepsi hormonal Alat kontrasepsi yang mengandung hormon berupa pil, suntikan,

: kuesioner

b. Skala pengukuran : nominal

I. Alat dan Bahan

1. Data diri dan persetujuan responden sebagai sampel penelitian

2. Kuesioner yang diisi oleh responden

3. Kamera digital Sony 7,2 megapixel

J. Cara Kerja

1. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada bagian penelitian RSUD Moewardi.

2. Membagikan kuesioner penelitian kepada pasien wanita yang berkunjung ke Poliklinik Obsgyn maupun yang dirawat di Ruang Rawat Inap Mawar 1 dan Mawar 3 RSUD Dr. Moewardi.

3. Peneliti melakukan restriksi terhadap kelompok sampel dengan menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi pada hasil pengisian kuesioner sehingga didapatkan jumlah total akhir sampel yang memenuhi kriteria tersebut

4. Peneliti memfoto wajah pasien yang diteliti dan kemudian mengkonsultasikannya kepada dokter spesialis kulit.

5. Teknik analisis data

K. Rancangan Penelitian

L. Teknik Analisis Data

Analisis statistik dalam penelitian ini adalah analisis regresi ganda logistik. Analisis regresi ganda logistik adalah alat statistik yang sangat kuat untuk menganalisis pengaruh antara sebuah paparan dan penyakit (yang diukur ordinal) dan dengan serentak mengontrol pengaruh sejumlah faktor perancu potensial.

Menurut Murti (1997: 368-369), model regresi logistik selanjutnya dapat digunakan untuk:

1. Mengukur pengaruh antara variabel respon dan variabel prediktor setelah mengontrol pengaruh prediktor (kovariat) lainnya.

Tidak hamil

Analisis data

analisis ganda linier adalah kemampuannya mengkonversi koefisien regresi (bi) menjadi Odds Ratio (OR). Untuk variabel prediktor yang berskala katagorial, maka rumus OR = Exp (bi).

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Murti, 1997: 368-369):

ln

= a+b1x1+b2x2+b3x3+b4x4+b5x5

di mana :

p : Probabilitas untuk terjadinya melasma

1 - p : Probabilitas untuk tidak terjadinya melasma

a : Konstanta b1...b5 : Konstanta regresi variabel bebas x1…x5 x1 : riwayat kehamilan

x2 : sinar matahari

0 : tidak hamil

0 : terpapar

1 : hamil

1 : tidak terpapar x3 : kosmetik

x4 : obat-obatan

0 : tidak memakai

0 : tidak mengkonsumsi

1 : memakai

1 : mengkonsumsi

x5 : kontrasepsi

0 : tidak menggunakan

1 : menggunakan

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai Kehamilan dan Prevalensi Terjadinya Melasma di RSUD Dr. Moewardi telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2011 di Poliklinik Obsgyn, Ruang Rawat Inap Mawar 1 dan Mawar 3 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Berikut ditampilkan hasil penelitian yang telah didapat.

A. Karakteristik Sampel Penelitian

1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur Dalam penelitian ini didapatkan bahwa subjek penelitian paling banyak adalah wanita usia 31 - 44 tahun (51%), sedangkan yang paling sedikit adalah wanita yang berumur 15 - 20 tahun (5%) (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur No

1 15 - 20 tahun

2 21 - 30 tahun

3 31 - 44 tahun

2. Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa subjek penelitian yang paling banyak adalah ibu rumah tangga (76%), sedangkan yang paling sedikit bekerja sebagai pegawai negeri (4%) (Tabel 4.2).

2 Pelajar/Mahasiswa 4

3 Pegawai negeri

4 Wiraswasta

7 10

5 Ibu rumah tangga 57 76

Jumlah

75 100

B. Analisis Bivariat Uji Tabulasi Silang atau Chi Square

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi Square, dengan uji tersebut dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel secara statistik bermakna. Penelitian ini mengamati hubungan antara variabel bebas kehamilan dengan variabel terikat melasma dan variabel perancu kontrasepsi, obat, kosmetik, dan paparan sinar matahari. Adanya variabel perancu berpengaruh terhadap hasil analisis data yang didapat. Untuk mengendalikannya, dilakukan analisis regresi logistik. Setelah hasil Chi Square didapat maka dapat dilihat nilai signifikasinya. Hubungan signifikan jika p < 0.05. Selain itu, jika p < 0.25, maka variabel tersebut memenuhi syarat analisis regresi logistik.

1. Analisis Bivariat tentang Kehamilan dan Prevalensi Melasma Hasil penelitian ini menunjukkan kelompok wanita hamil dengan melasma negatif sebanyak 32 orang (84.2 %) dan melasma positif sebanyak 6 orang (15.8 %). Pada kelompok wanita tidak hamil dengan

antara kehamilan dengan melasma menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p = 0.145) tetapi memenuhi syarat untuk dilakukan uji regresi logistik (p < 0.25). Kelompok sampel dengan kehamilan memiliki risiko untuk menderita melasma 3,3 kali lebih besar daripada kelompok sampel tidak hamil (OR = 3.2; CI95 % 0.617 s.d 17.44), tetapi hasil ini belum mengontrol pengaruh dari variabel perancu. Dari hasil ini juga diperoleh bahwa 15,8 % wanita hamil menderita melasma (Tabel 4.3 dan Gambar 4.1).

Tabel 4.3 Analisis bivariat tentang kehamilan dan prevalensi melasma

Variabel

Kejadian melasma

Total

OR p

negatif n (%)

positif n (%)

Tidak hamil

35 (94.6)

2 (5.4)

37 (100)

2. Analisis Bivariat tentang Konsumsi Obat dan Prevalensi Melasma Hasil penelitian ini menunjukkan kelompok yang mengkonsumsi obat dengan melasma negatif sebanyak 14 orang (77.8 %) dan melasma positif sebanyak 4 orang (22.2 %). Pada kelompok yang tidak mengkonsumsi obat dengan melasma negatif sebanyak 53 orang (93.0 %) dan kejadian melasma positif sebanyak 4 orang (7.0 %). Analisis bivariat terhadap hubungan antara konsumsi obat dengan prevalensi melasma menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.068) tetapi variabel obat memenuhi syarat analisis regresi logistik (Tabel 4.4 dan Gambar 4.2).

Tabel 4.4 Analisis Bivariat tentang Penggunaan Obat dengan Prevalensi Melasma

Variabel

Kejadian melasma

Total

OR P

negatif n (%) positif n (%)

Konsumsi obat

Tidak konsumsi obat

53 (93.0)

4 (7.0)

57 (100)

Gambar 4.2 Persentase antara Konsumsi Obat dengan Prevalensi Melasma

3. Analisis Bivariat tentang Penggunaan Kosmetik dan Prevalensi Melasma

Hasil penelitian ini menunjukkan kelompok yang memakai kosmetik dengan melasma negatif sebanyak 10 orang (71.4 %) dan melasma positif sebanyak 4 orang (28.6 %). Pada kelompok yang tidak memakai kosmetik dengan melasma negatif sebanyak 57 orang (93.4 %) dan kejadian melasma positif sebanyak 4 orang (6.6 %). Analisis bivariat terhadap hubungan antara pemakaian kosmetik dengan prevalensi melasma menunjukkan hubungan yang signifikan (p = 0.016) sehingga variabel kosmetik memenuhi syarat analisis regresi logistik (Tabel 4.5 dan Gambar 4.3).

Prevalensi Melasma

Variabel

Kejadian melasma

Total

OR P

negatif n (%) positif n (%)

Memakai kosmetik

Tidak memakai kosmetik

Gambar 4.3 Persentase antara Pemakaian Kosmetik dengan Prevalensi

Melasma

4. Analisis Bivariat tentang Paparan Sinar Matahari dan Prevalensi Melasma

Hasil penelitian ini menunjukkan kelompok yang terpapar sinar matahari dengan melasma negatif sebanyak 16 orang (72.7 %) dan

(96.2 %) dan kejadian melasma positif sebanyak 2 orang (3.8 %). Analisis bivariat terhadap hubungan antara paparan sinar matahari dengan prevalensi melasma menunjukkan hubungan yang signifikan (p = 0.003) sehingga variabel sinar matahari memenuhi syarat analisis regresi logistik (Tabel 4.6 dan Gambar 4.4).

Tabel 4.6 Analisis Bivariat tentang Paparan Sinar Matahari dengan

Prevalensi Melasma

Variabel

Kejadian melasma

Total

OR P

negatif n (%) positif n (%)

Paparan sinar matahari

Tidak terpapar sinar matahari

Gambar 4.4 Persentase antara Paparan Sinar Matahari dengan Prevalensi

Melasma Hasil penelitian ini menunjukkan kelompok yang menggunakan kontrasepsi dengan melasma negatif sebanyak 10 orang (83.3 %) dan melasma positif sebanyak 2 orang (16.7 %). Pada kelompok yang tidak menggunakan kontrasepsi dengan melasma negatif sebanyak 57 orang (90.5 %) dan kejadian melasma positif sebanyak 6 orang (9.5 %). Analisis bivariat terhadap hubungan antara penggunaan kontrasepsi dengan prevalensi melasma menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p = 0.463) dan variabel kontrasepsi tidak dapat dianalisis regresi logistik (Tabel 4.7 dan Gambar 4.5).

Tabel 4.7 Analisis Bivariat tentang Penggunaan Kontrasepsi dengan

Prevalensi Melasma

Variabel

Kejadian melasma

Total

OR P

negatif n (%) positif n (%)

Menggunakan kontrasepsi

Tidak menggunakan kontrasepsi

57 (90.5)

6 (9.5)

63 (100)

Gambar 4.5 Persentase antara Penggunaan Kontrasepsi dengan Prevalensi

Melasma

C. Analisis Regresi Logistik Ganda Berdasarkan hasil di atas, variabel yang dapat dilakukan analisis regresi logistik ganda adalah kehamilan, obat, kosmetik, dan paparan sinar matahari. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kehamilan dengan prevalensi melasma (p = 0.098). Wanita hamil berisiko untuk mengalami melasma 5 kali lebih besar daripada wanita tidak hamil (OR = 5.0; CI 95 % 0.743 s.d 34.384). Hubungan ini sudah mengontrol variabel perancu obat, kosmetik, dan paparan sinar matahari (Tabel 4.8). Karena Odds Ratio (OR) yang tanpa mengendalikan pengaruh faktor perancu (tabel 4.3) berbeda dengan C. Analisis Regresi Logistik Ganda Berdasarkan hasil di atas, variabel yang dapat dilakukan analisis regresi logistik ganda adalah kehamilan, obat, kosmetik, dan paparan sinar matahari. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kehamilan dengan prevalensi melasma (p = 0.098). Wanita hamil berisiko untuk mengalami melasma 5 kali lebih besar daripada wanita tidak hamil (OR = 5.0; CI 95 % 0.743 s.d 34.384). Hubungan ini sudah mengontrol variabel perancu obat, kosmetik, dan paparan sinar matahari (Tabel 4.8). Karena Odds Ratio (OR) yang tanpa mengendalikan pengaruh faktor perancu (tabel 4.3) berbeda dengan

Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda dengan Analisis

Bivariat tentang Hubungan antara Kehamilan dengan Prevalensi Melasma

(Analisis Multivariat Regresi

Logistik)

(Analisis Bivariat)

Batas bawah

Batas

atas

Batas bawah

Batas atas

Sinar matahari

0.03 1.754 52.135 Tidak terpapar

N observasi

-2 log likelihood

35.4 Negelkerke R 2 37.8

PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Kehamilan dan Prevalensi Terjadinya Melasma di RSUD Dr. Moewardi” dilakukan sejak bulan Juni sampai dengan September 2011 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan didapatkan 75 sampel yang terdiri dari 38 sampel wanita hamil dan 37 sampel wanita tidak hamil.

Dalam penelitian ini seluruh sampel berjenis kelamin wanita. Hal ini dikarenakan penyakit melasma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria, hingga 90 % dari semua kasus (Wolff and Johnson, 2007). Bahkan menurut penelitian Febrianti et al. (2005), kejadian melasma terjadi pada 97,93 % pada wanita dan 2,07 % pada pria. Kejadian melasma sering dikaitkan dengan hormon seks, khususnya estrogen yang mana hormon ini lebih banyak dimiliki oleh wanita. Berdasarkan karakteristik umur, sampel berkisar dari usia 15 – 44 tahun, dengan terbanyak pada usia 31 – 44 tahun berjumlah 38 orang (51%), dan paling sedikit berusia 15 - 20 tahun bejumlah 4 orang (5 %). Penetapan umur sampel didasarkan pada usia reprodukti wanita, yaitu antara umur 15 – 44 tahun (Olive and Palter, 2007). Selain itu, melasma umumnya juga mengenai wanita dengan usia terbanyak sekitar 30-44 tahun (Wijaya, 2010).

Faktor pekerjaan dapat juga berpengaruh kepada kejadian melasma. Berdasarkan penelitian Siska (2008), melasma terjadi pada 90 % wanita yang bekerja sebagai penyapu jalan. Pekerjaan yang diduga berperan menimbulkan melasma adalah pekerjaan yang dilakukan di luar rumah/gedung yang Faktor pekerjaan dapat juga berpengaruh kepada kejadian melasma. Berdasarkan penelitian Siska (2008), melasma terjadi pada 90 % wanita yang bekerja sebagai penyapu jalan. Pekerjaan yang diduga berperan menimbulkan melasma adalah pekerjaan yang dilakukan di luar rumah/gedung yang

Kehamilan merupakan salah satu faktor yang memicu terjadinya melasma. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 38 orang (50,7 %) responden sedang hamil. Berdasarkan kejadian melasma, sampel positif melasma lebih banyak diderita wanita hamil yaitu sebanyak 6 orang (75 %) dan sampel positif melasma yang tidak sedang hamil sebanyak 2 orang (15 %). Hasil pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kehamilan dan terjadinya melasma dilihat dari uji Chi Square (p = 0.098) dan melasma terjadi pada 15,8 % wanita hamil. Selain itu, didapatkan bahwa faktor kehamilan meningkatkan risiko terjadinya melasma sebesar 5 kali. Hal ini pun sejalan dengan penelitian Moin et al. (2006) yang menyebutkan bahwa melasma terjadi pada 15,8 % wanita hamil.

Pada masa kehamilan terjadi peningkatan pigmentasi sampai 90 % pada wanita hamil dan kebanyakan lebih ditonjolkan pada tipe kulit yang lebih gelap. Dalam kelompok kecil wanita hamil, hiperpigmentasi terjadi di ketiak atau paha atas bagian dalam, sedangkan melasma atau sering disebut topeng kehamilan terjadi pada 50 % wanita hamil (Lapeere, et al., 2008). Melasma dapat hilang dengan sendirinya setelah beberapa saat setelah melahirkan atau juga dapat bertahan hingga beberapa bulan atau beberapa tahun (Leffel, 2000).

dan MSH, terutama di trimester kedua dan ketiga pada masa kehamilan. Hasil uji in vitro menunjukkan kultur melanosit manusia mengekspresikan reseptor estrogen. Estradiol meningkatkan kadar enzim melanogenik terutama Tyrosinase- Related Proteins-2 (TRP-2) dalam melanosit manusia normal. Bukti lain juga menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor estrogen pada lesi kulit penderita melasma. Hal ini mengisyaratkan bahwa melanosit pada pasien melasma lebih sensitif terhadap peningkatan konsentrasi estrogen dan mungkin juga hormon seks lainnya (Kang and Ortonne, 2010). Menurut Bolanca et al. (2008.), kejadian melasma pada wanita hamil lebih disebabkan karena peningkatan hormon progesteron dibanding estrogen. Hal ini juga didukung dengan lebih tingginya prevalensi melasma pada wanita menopause yang menggunakan terapi hormon progesteron dibanding wanita menopause yang menggunakan terapi estrogen. Sedangkan menurut Sulin (2008), peningkatan kadar serum MSH pada akhir bulan kedua masih sangat diragukan sebagai penyebabnya. Namun, telah diketahui bahwa estrogen dan progesteron mempunyai peran dalam proses melanogenesis dan diduga bisa menjadi faktor pendorongnya.

Pada penelitian ini sampel wanita hamil dipilih tidak berdasarkan usia kehamilan. Sebaiknya penelitian lebih ditekankan pada wanita hamil trimester kedua atau ketiga di mana terjadi peningkatan estrogen, progesteron, dan MSH yang lebih signifikan. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel wanita hamil yang lebih representatif dan populasi yang lebih luas.