BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpindahan Kalor - Solusi Analitik Persamaan Konduksi Kalor Satu Dimensi Non Homogen Menggunakan Metode Fungsi Green Dan Separasi Variabel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perpindahan Kalor

  Kalor adalah energi yang diterima oleh benda sehingga suhu benda atau wujudnya berubah. Ukuran jumlah kalor dinyatakan dalam satuan joule (J). Kalor disebut juga dengan bahang atau kalor adalah energi yang ditransfer dari satu sistem ke sistem lain dengan interaksi termal. Berbeda dengan bekerja, kalor selalu disertai dengan pengalihan entropi. Aliran kalor adalah karakteristik dari objek makroskopik dan sistem, tetapi sumber dan sifatnya dapat dipahami dari segi konstituen mikroskopis mereka. Satuan untuk kalor ini adalah joule. Kalor dapat diukur dengan kalorimeter, atau ditentukan secara tidak langsung dengan perhitungan berdasarkan jumlah yang lain, bergantung misalnya pada hukum pertama termodinamika.

  Perpindahan kalor dapat terjadi dalam berbagai cara: dengan konduksi, radiasi, konveksi. Perpindahan kalor mencakup mengenai perpindahan energi karena perbedaan temperatur diantara dua benda atau material. Di samping itu perpindahan kalor juga meramalkan laju perpindahan kalor pada kondisi tertentu. Cara – cara perpindahan kalor dibagi menjadi tiga, yaitu :

  1. Konduksi

  2. Konveksi

  3. Radiasi

2.1.1 Konduksi

  Konduksi adalah perpindahan kalor di dalam benda (elemen) padat dari suatu elemen bertemperatur lebih tinggi ke suatu elemen bertemperatur lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan pada benda – benda padat khususnya dan untuk berbagai dimensi sebagai berikut :

  1. Satu dimensi (mono dimensional) artinya perpindahan kalor secara perambatan (konduksi) dalam satu arah (satu garis lurus) atau antara dua titik

  (berbeda temperaturnya) dalam elemen yang masih dalam satu bidang datar. Berlaku perumusan :

  (2.1) ̇ = −

  ¶

  dengan: ̇

  = laju aliran kalor (joule/detik atau watt) k = koefisien konduktivitas material (W/ m K)

  2 A = luas penampang tegak lurus aliran kalor satu dimensi (m )

  = gradient penurunan temperatur dalam benda padat (K/m)

  ¶ Persamaan (2.1) disebut hukum Fourier tentang konduksi kalor.

  Persamaan tersebut merupakan persaman dasar dari konduktivitas kalor. Tanda negatif pada persamaan di atas diberikan supaya memenuhi hukum termodinamika yaitu kalor mengalir ke suhu yang lebih rendah, seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:

  ̇

Gambar 2.1 Sketsa yang Menunjukkan Arah Aliran Kalor

  Dari gambar di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa laju aliran kalor melalui bidang datar bergantung pada: a. Beda suhu di antara kedua permukaan – T ; makin besar beda

  1

  2

  ∆T = T suhu, makin cepat perpndahan kalor.

  b. Panjang logam (x); semakin panjang x maka semakin pelan perpindahan kalor.

  c. Luas permukaan A; makin besar luas permukaan, makin cepat perpindahan kalor.

  2. Dua dimensi (dwi dimensional) artinya perpindahan kalor secara perambatan (konduksi) dalam satu arah (satu garis lurus) atau antara dua titik (berbeda temperaturnya) bias dalam dua bidang yang berlainan dan dalam satu bidang datar.

  3. Tiga dimensi artinya perpindahan kalor secara perambatan (konduksi) dalam satu arah (satu garis lurus) atau antara dua titik (berbeda temperaturnya) bias dalam ruang (bidang tiga) yang berlainan temperaturnya dan berarah lurus dalam bidang yang berbeda.

2.1.2 Konveksi

  Konveksi adalah perpindahan kalor karena perpindahan zat. Peristiwa konveksi (aliran zat) terjadi pada perubahan suhu suatu zat. Zat cair atau gas yang terkena kalor molekul-molekulnya bertambah besar dan beratnya tetap. Hal ini akan menyebabkan massa jenisnya menjadi lebih kecil, sehingga zat cair atau gas yag terkena kalor tersebut naik ke atas. Posisinya digantikan oleh zat cair atau gas yang lebih dingin yang massa jenisnya lebih besar. Dari peristiwa aliran inilah, maka kalor dapat merambat secara konveksi.

  Contoh ketika memanaskan air menggunakan kompor, kalor mengalir dari nyala api (suhu lebih tinggi) menuju dasar wadah (suhu lebih rendah). Karena mendapat tambahan kalor, maka suhu dasar wadah meningkat. Karena terdapat perbedaan suhu, maka kalor mengalir dari bagian luar dasar wadah (yang bersentuhan dengan nyala api) menuju bagian dalam dasar wadah (yang bersentuhan dengan air). Suhu bagian dalam dasar wadah pun meningkat. Karena air yang berada di permukaan wadah memiliki suhu yang lebih kecil, maka kalor mengalir dari dasar wadah (suhu lebih tinggi) menuju air (suhu lebih rendah). Perpindahan kalor persatuan waktu secara konveksi dapat dinyatakan dengan persamaan:

  ̇ = ℎ (T − T ) (2.2) dengan : ̇ = laju aliran kalor (joule/detik atau watt)

  2 o

  2

  h = koefisien perpindahan kalor konveksi (Btu/hr-ft . F atau W/m .K) T = suhu permukaan benda (K)

  s

  T = suhu di bagian hulu benda (K)

  ∞ Hubungan ini dinamakan hukum Newton tentang pendinginan.

  Persamaaan ini mendefinisikan koefisien perpindahan kalor konveksi h yang merupakan konstanta proposional (tetapan kesebandingan) yang menghubungkan perpindahan kalor per satuan waktu dan satuan luar dengan beda suhu menyeluruh.

2.1.3 Radiasi

  Perpindahan kalor radiasi adalah pengetahuan mengenai transfer energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Tidak seperti perpindahan konduksi dan konveksi, gelombang elektromagnetik tidak memerlukan medium untuk perambatan energinya. Oleh karena kemampuannya merambat di ruangan vakum, radiasi kalor menjadi dominan pada transfer kalor di ruang hampa dan di luar angkasa. Bukti – bukti dari percobaan menunjukkan bahwa perpindahan kalor radiasi sebanding dengan pangkat empat suhu mutlak, sedangkan konduksi dan konveksi berbanding lurus dengan beda suhu. Hukum Stefan Boltzman yang fundamental menyatakan :

  ̇ = T (2.3) dengan: ̇ = laju aliran kalor (joule/detik atau watt)

  T = suhu mutlak (K)

  2

  4

   = Konstanta perpindahan kalor radiasi(W/m .K ) Sebagai contoh, ketika duduk dan mengelilingi api unggun, maka rasa hangat akan terasa walaupun tidak bersentukan dengan apinya secara langsung.

2.2 Dasar – Dasar Perpindahan Kalor

  2.2.1 Konduktivitas Kalor

  Konduktivitas atau keterhantaran kalor, k, adalah suatu besaran intensif bahan yang menunjukkan kemampuannya untuk menghantarkan kalor. Nilai angka konduktivitas termal menunjukkan berapa cepat kalor mengalir dalam bahan tertentu. Pada umumnya konduktivitas termal itu sangat tergantung pada suhu.

  Secara umum, konduktivitas termal benda padat lebih besar dari pada gas. Benda yang memiliki konduktivitas termal (k) besar merupakan penghantar kalor yang baik (konduktor termal yang baik) dapat disebut dengan konduktor.

  Sebaliknya, benda yang memiliki konduktivitas termal yang kecil merupakan merupakan penghantar kalor yang buruk (konduktor termal yang buruk) dapat disebut dengan isolator ya ng baik. Setiap materi memiliki lebar batasan dari konduktivitas kalor. Konsep dasar konduktivitas kalor adalah kecepatan dari proses difusi energi kinetik molekular pada suatu materi yang menghantarkan kalor. Faktor – faktor yang mempengaruhi konduktivitas kalor adalah :

   Kandungan uap air  Suhu  Berat jenis  Keadaan pori – pori bahan.

  2.2.2 Difusivitas Kalor

  Suatu variabel dari istilah- istilah yang telah dibahas adalah difusivitas kalor α. Difusivitas kalor adalah konduktivitas termal dibagi dengan densitas dan kapasitas kalor spesifik pada tekanan konstan. Difusivitas dapat dinyatakan sebagai: k

  (2.4) α ≡

  C ρ dengan:

  2

  /s) α = difusivitas kalor (m C p = kapasitas kalor spesifik (J / (kg · K)

  3

   = densitas ( kg/ m ) k = koefisien konduktivitas kalor (W / m · K) Makin besar nilai α, makin cepat kalor membaur dalam bahan itu. Nilai α yang besar dapat disebabkan oleh salah satu hal berikut:

  1. Nilai konduktivitas kalor yang tinggi menunjukkan laju perpindahan energi yang pesat.

  2. Nilai kapasitas kalor spesifik C p  yang rendah. Nilai kapasitas kalor yang rendah berarti bahwa energi yang yang berpindah melalui batang itu yang diserap dan digunakan untuk menaikkan suhu jumlahnya sedikit, jadi energi yang masih dapat dipindahkan lebih banyak.

2.3 Persamaan Diferensial

  Persamaan diferensial adalah hubungan antara sekelompok fungsi dengan

  turunan-turunannya. Persamaan diferensial muncul secara alami dalam sains fisik, model matematika, dan dalam matematika itu sendiri. Jika hanya satu variabel bebasnya, maka persamaannya disebut Persamaan Diferensial Biasa. Sedangkan jika variabel bebasnya lebih dari satu maka persamaannya disebut persamaan Diferensial Parsial.

2.3.1 Persamaan Diferensial Linear Order Satu

  Salah satu tipe dari persamaan diferensial orde satu yang sering dipakai dalam aplikasi adalah persamaan linear. Persamaan linear order satu dapat disajikan dalam bentuk:

  • dengan

  ( ) ( ) = ( ) (2.5)

  ( ) ≠ 0, ( ), dan ( ) merupakan fungsi dari x dan y tidak tergantung pada y. Jika (2.5) dinyatakan dalam bentuk lain, maka persamaan diferensial linear ditulis sebagai

  ( ) = ( ) (2.6)

atau

  • ( ) =

  ( ) (2.7) Dengan

  ( ) ( )

  dan merupakan fungsi yang kontiniu pada sebuah ( ) = ( ) =

  ( ) ( )

  interval subset dari R. Persamaan (2.6) dan (2.7) distribusi dengan bentuk standar dari persamaan linear. Persamaan ini memiliki faktor integrasi yang dapat dibuat dalam bentuk

  ∫ ( )

  ( ) = (2.8)

  ∫ ( )

  Faktor integral akan membawa persamaan diferensial ( ) = linier order satu berbentuk + ( ) =

  ( ) menjadi PD eksak. Secara umum suatu fakt or integral adalah faktor μ(x, y) dapat mengubah persamaan diferensial tidak eksak menjadi persamaan diferensial eksak.

2.3.2 Persamaan Diferensial Parsial

  Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan yang di dalamnya terdapat suku-suku diferensial parsial, yang dalam matematika diartikan sebagai suatu hubungan yang mengaitkan suatu fungsi yang tidak diketahui, yang merupakan fungsi dari beberapa variabel bebas, dengan turunan-turunannya melalui variabel- variabel yang dimaksud. PDP digunakan untuk melakukan formulasi dan menyelesaikan permasalahan yang melibatkan fungsi-fungsi yang tidak diketahui, yang merupakan dibentuk oleh beberapa variabel, seperti penjalaran suara dan kalor, elektrostatika, elektrodinamika, aliran fluida, elastisitas, atau lebih umum segala macam proses yang terdistribusi dalam ruang, atau terdistribusi dalam ruang dan waktu. Kadang beberapa permasalahan fisis yang amat berbeda memiliki formulasi matematika yang mirip satu sama. Bentuk paling sederhana dari persamaan diferensial adalah

  T ( , )

  = 0 (2.9) Dengan T merupakan suatu fungsi tak diketahui dari x dan t. Hubungan ini mengisyaratkan bahwa nilai-nilai ( , ) adalah tidak bergantung dari t. Oleh karena itu solusi umum dari persamaan ini adalah

  T ( , ) = ( ) (2.10) di mana f adalah suatu fungsi sembarang dari variabel x. Analogi dari persamaan diferensial biasa untuk persamaan ini adalah

  = 0 (2.11) yang memiliki solusi T(t) = c.

2.4 Deret Fourier

  Deret Fourier merupakan penguraian fungsi periodik menjadi jumlahan fungsi- fungsi berosilasi, yaitu fungsi sinus dan kosinus, ataupun eksponensial kompleks. Studi deret Fourier merupakan cabang analisis Fourier. Deret Fourier diperkenalkan oleh Joseph Fourier (1768 1830) untuk memecahkan - masalah persamaan kalor di lempeng logam.

  Persamaan kalor merupakan persamaan diferensial parsial. Sebelum Fourier, pemecahan persamaan kalor ini tidak diketahui secara umum, meskipun solusi khusus diketahui bila sumber kalor berperilaku dalam cara sederhana, terutama bila sumber panas merupakan gelombang sinus atau kosinus. Solusi sederhana ini kadang-kadang disebut sebagai solusi eigen. Gagasan Fourier adalah memodelkan sumber kalor ini sebagai superposisi (atau kombinasi linear) gelombang sinus dan kosinus sederhana, dan menuliskan pemecahannya sebagai superposisi solusi eigen terkait. Superposisi kombinasi linear ini disebut sebagai deret Fourier.

  Meskipun motivasi awal adalah untuk memecahkan persamaan kalor, kemudian terlihat jelas bahwa teknik serupa dapat diterapkan untuk sejumlah besar permasalahan fisika dan matematika. Deret Fourier saat ini memiliki banyak penerapan di bidang teknik elektro, analisis vibrasi, akustika, optika, pengolahan citra, mekanika kuantum, dan lain-lain.

2.4.1 Fungsi Genap dan Ganjil

  Perhitungan koefisien Fourier seringkali dipermudah jika fungsi f(x) yang diuraikan memiliki sifat istimewa tertentu, yakni genap atau ganjil terhadap sumbu x = 0. Keduanya didefenisikan sebagai berikut : Sebuah fungsi f(x) adalah:

  (a) genap, jika berlaku: f(-x) = f(x) (b) ganjil, jika berlaku: f(-x) = -f(x) untuk semua x dalam daerah defenisi f(x).

2 Sebagai contoh, fungsi x dan cos x adalah genap, karena menurut defenisi

  2

  2

  di atas (-x) = x dan cos(- x ) = cos x, sedangkan fungsi x dan sin x, misalnya , adalah ganjil karena (-x) = -x dan sin(-x) = -sin x. Pada umumnya, fungsi pangkat genap adalah genap dan fungsi pangkat ganjil adalah ganjil.

  Integrasi fungsi genap dan ganjil dalam selang simetris seperti –L < x < L, ternyata menjadi sederhana. Tinjau misalnya f(x) adalah genap, maka: =

  • Terhadap integral pertama di ruas kanan, yang dedefenisikan dalam selang negatif adalah x: -L < x <0, jika dilakukan sisipan variabel integral baru, u = -x, sehingga f(x) = f(-u). Karena fungsi f adalah genap, maka f(-u) = f(u). Dengan demikian, jumlah kedua integral di atas menjadi: f

  ( ) ( ) ( ) (2.12)

  (x)dx = − f(u)du + f(x)dx = f(u)du + f(x)dx (2.13) Dengan menamakan ulang variabel integrasi u dengan x, diperoleh : f

  (x)dx = 2 f(x)dx (2.14) Uraian Fourier fungsi periodik genap dan ganjil, khususnya perhitungan koefisien a n dan b n yang bersangkutan, menjadi lebih sederhana. Tinjau dahulu fungsi f(x) adalah ganjil. Karena cos npx genap, maka f(x) cos npx adalah ganjil, dan f(x) sin npx adalah genap. Dengan demikian, dalam selang simetris –L<x< L, a n adalah integral dari suatu fungsi ganjil, sehingga nilainya adalah nol. Tetapi b n adalah integral dari suatu fungsi genap dalam selang simetris, karena itu nilainya adalah dua kali integral dalam selang 0 hingga L. Jadi kita peroleh:

  1. Jika f(x) ganjil, maka,

  a. a n = 0

  b. b = ∫ f(x) sin npx dx (2.15)

  Dalam hal ini dikatakan bahwa f(x) teruraikan dalam deret sinus (a = 0,

  n sehingga tidak ada suku cosinus).

  2. Jika f(x) genap, maka:

  a. a = ∫ f(x) cos npx dx (2.16)

  b. b n = 0 Dalam hal ini , f(x) dikatakan teruraikan dalam deret cosinus.

2.5 Persamaan Kalor

  Persamaan kalor merupakan hal yang mendasar dalam berbagai macam bidang ilmiah. Dalam matematika, persamaan kalor itu persamaan diferensial parsial prototipe parabola. Dalam teori probabilitas, persamaan kalor dihubungkan dengan studi gerak Brown melalui persamaan Fokker-Planck. Dalam matematika keuangan persamaan kalor digunakan untuk memecahkan persamaan diferensial parsial Black-Scholes. Persamaan difusi, versi yang lebih umum dari persamaan kalor, muncul sehubungan dengan studi difusi kimia dan proses terkait lainnya. Persamaan kalor berasal dari hukum Fourier dan konservasi energi maka hukum Fourier untuk persamaan kalor dapat ditulis:

  (2.17) ̇ = − T

  Persamaan Kalor satu dimensi mempunyai bentuk persamaan diferensial parsial biasa sebagai berikut: T

  − T = 0 (2.18) Dengan T

  = T ( , ) yang diturunkan dari rumusan sederhana suatu batangan sebagai media perambatan kalor. Sebagaimana telah diketahui bahwa kalor merambat dari temperatur tinggi ke temperatur rendah dan dengan anggapan kalor hanya merambat secara 1 (satu) arah / dimensi yakni x saja, atau dengan kata lain sisi dari batangan logam yang ditinjau diisolasi dengan sempurna secara lateral dan dianggap adiabatik (tidak ada kalor yang masuk maupun keluar secara lateral atau boleh juga dianggap kalor yang masuk sama dengan kalor yang keluar). Persamaan kalor dapat ditulis sebagai:

  ∂T =

  αT (2.19) ∂t k T T

  = (2.20) c ρ atau k

  ∂T ∂ T =

  (2.21) c ρ

  ∂t ∂x Karena , maka persamaan kalor juga dapat ditulis dengan:

  α = ∂T ∂ T

  = 0 α (2.22)

  ∂t − ∂x Sedangkan, untuk persamaan kalor satu dimensi non homogen dinyatakan sebagai:

  T( , ) T( , ) =

  − ( , ) (2.23) Atau dapat ditulis dengan:

  T − T = ( , ) (2.24)

  Dengan: ( , ) : laju aliran kalor pada batang logam konduktor

2.5.1 Syarat Awal dan Syarat Batas Persamaan Kalor Satu Dimensi

  Batang dengan penampang seragam diisolasi secara lateral. Panjang batang = L dan diletakkan pada sumbu x. Temperatur pada batang pada suatu waktu hanya tergantung pada posisi , T = T( , ).

  y z X = 0 X = L x

Gambar 2.2 Pemodelan Aliran Kalor Satu Dimensi

  Ada dua macam syarat batas untuk masalah perpindahan kalor konduksi yaitu kondisi batas (boundary condition) dan kondisi awal (initial condition). Kondisi batas adalah kondisi pada batas (ujung) batang pada waktu t sembarang. Kondisi awal adalah temperatur pada x sembarang pada waktu t=0. Syarat batas untuk perpindahan kalor konduksi 1 dimensi adalah :

  1. Jika temperatur awalnya adalah f(x) dan temperatur pada ujung dijaga konstan pada nol, maka kondisi batasnya : T

  ( 0, ) = 0 (2.25) T

  ( , ) = 0 , > 0 (2.26) Syarat awal

  ( ) = T ( , 0 ) (2.27)

  2. Bila batang diisolasi secara keseluruhan, termasuk pada x = 0 dan x = L maka pada x= 0 dan x = L kalor tidak bisa masuk atau keluar (fluks kalor = 0) sehingga kondisi batasnya adalah :

  = 0 = 0 (2.28)

2.6 Fungsi Green

2.6.1 Mengkonstruksi Fungsi Green Persamaan Diferensial Linear Orde-n Melalui Metode Variasi Parameter

  Persamaan diferensial linear tak homogen orde-n:

  ( ) ( )

  … + ( ) ’ + ( ) = ( )

  • ( ) ( ) ( ) ’’ +
dengan fungsi f (x) merupakan fungsi yang kontinyu. Solusi umum persamaan diferensial di atas adalah : ( ) = ( ) + ( ) (2.29) dengan

  ( ) merupakan solusi umum persamaan diferensial homogen pautannya dengan ( ) merupakan suatu solusi khusus atau solusi partikulirnya.

  Untuk menentukan solusi partikulirnya, dapat dilakukan dengan cara mengkonstruksi fungsi green. Adapun langkah yang dilakukan dalam mengkontruksi fungsi green adalah sebagai berikut : 1. Menentukan solusi bebas linear persamaan diferensial homogen. Persamaan diferensial linear tak homogen orde-n di atas dapat di selesaikan dengan mensubsitusikan , kemudian menentukan bilangan tepat t

  = sehingga memenuhi persamaan diferensial linear tak homogen orde-n. Karena , , , dan seterusnya hingga .

  = ′ = ′′ = = Bila disubsitusikan dalam persamaan (2.36) akan didapatkan suatu persamaan dalam t, yaitu :

  ( ) ( )

  • (

  ⋯ + ) = 0

  tx

  karena e ≠ 0, maka

  ( ) ( )

  • ( +

  ⋯ + ) = 0 (2.30) Persamaan (2.30) tersebut disebut persamaan karakteristik dari persamaan diferensial linear tak homogen orde-n, dan akar – akar karakteristik. Ada tiga kemungkinan solusi bebas linear dari persamaan diferensial linear tak homogen orde-n, yaitu : a. Bila akar – akarnya real dan berlainan, maka selesian bebasnya yaitu ,

  , . . . ,

  b. Bila akar – akarnya real dan sama, maka solusi bebas linearnya yaitu , , . . . ,

  c. Bila akar – akarnya kompleks, maka selesain bebas linearnya yaitu

  ( ) ( )

  atau ( + atau )

  Apabila solusi bebas linear dari persamaan diferensial homogennya dimisalkan

  • ( ), ( ), . . . , ( ), maka ( ) = ( ) ( ) ( )
  • . . . + dengan , , , . . .

  merupakan konstanta.

  2. Memisalkan y p dengan mengganti konstanta , , . . . , dengan fungsi ( ), ( ) , . . . , ( )yang akan ditentukan. Jadi, ( ) =

  (2.31) ( ) ( ) + ( ) ( ) + . . . + ( ) ( )

  3. Menyelesaikan system untuk menentukan u ’(x) dengan aturan Cramer,

  k

  sehingga diperoleh :

  ( ) ( )

  ( ) =

  [ ( ), ( ),…, ( )]

  4. Menentukan u k (x) dengan mengintegralkan u k ’(x) terhadap t diperoleh :

  ( ) ( )

  ; k = 1, 2, . . ., n (2.32) ( ) = ∫

  [ ( ), ( ),…, ( )]

  5. Mensubsitusikan persamaan (2.32) pada persamaan (2.31) sehingga diperoleh: ( ) = ( )

  ( ) = ( , ) ( )

  Dari langkah – langkah tersebut, maka di dapat fungsi green

  ( ) ( ) ⋯ ( ) ( )

  (2.32) ( , ) =

  [ ( ), ( ),…, ( )]

  Jadi solusi umum persamaan diferensial linear tak homogen orde-n adalah : ( )

  ( , ) ( ) = ( ) + ∫

  Fungsi ( , ) dikatakan fungsi green untuk masalah nilai awal persamaan diferensial di atas jika memenuhi kondisi berikut ini: a. ( , ) terdefinisi pada daerah

  = dari semua titik ( , ) dengan x dan t terletak dalam selang I.

  b. , ( , ), , , … , merupakan fungsi yang kontinu pada =

  c. Untuk setiap x dalam selang I, fungsi adalah y p (x) = ( , ) ( )

  ∫ solusi persamaan diferensial di atas yang memenuhi kondisi awal

  ( )

  ( ) ( ) = ′ ( ) = ′′ ( ) = = 0

  Fungsi green merupakan bagian dari solusi persamaan diferensial non homogen yang berbentuk : )

  ( ) = ( ) ( , (2.33) Dengan ( , ) adalah fungsi Green yang menyatakan pengaruh fungsi sumber f(x) posisi x dari fungsi sumber pada posisi x.

2.7 Separasi Variabel

  Separasi variabel adalah salah satu dari beberapa metode untuk memecahkan persamaan diferensial biasa dan parsial, di mana aljabar memungkinkan seseorang untuk menulis ulang persamaan sehingga masing-masing dari dua variabel terjadi pada sisi yang berbeda dari persamaan .

  Salah satu syarat penggunaan metode separasi variabel adalah persamaan tersebut merupakan persamaan diferensial parsial linear homogen dengan kondisi batas linier . Dengan menggunakan metode separasi variabel, kondisi awal dari suatu persamaan diferensial kurang terpenuhi. Metode pemisahan variabel bergantung pada asumsi bahwa fungsi dari bentuk

  T ( , ) = ( ) ( )

  Persamaan di atas akan menjadi solusi dari persaan diferensial parsial homogen linear dalam x dan t . Persamaan tersebut juga harus memiliki kondisi batas yang homogen dan linear . Namun, seperti disebutkan di atas metode separasi variabel akan jarang memenuhi kondisi awal.

  Tidak semua persamaan diferensial dapat diselesaikan dengan metode ini. Metode ini hanya dapat dikerjakan pada persamaan yang berbentuk

  ( ) + ( ) = 0, dengan A (x) adalah fungsi dari x saja dan B (y) adalah fungsi dari y saja.