PENDAHULUAN Latar Belakang - Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. Dan Gliocladium sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium

  PENDAHULUAN Latar Belakang

  Cabai merah adalah salah satu komoditas sayuran penting yang banyak diusahakan oleh petani di dataran rendah, dalam arti luas tanam dan nilai produksinya.

  Luas pertanaman cabai merah di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat dan berkembang ke dataran tinggi sampai pada ketinggian 1400 m di atas permukaan air laut (Sumarna, 1998).

  Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar 2.000 spesies yang terdiri dari tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Dari banyaknya spesies tersebut, hampir dapat dikatakan sebagian besar merupakan tumbuhan negeri tropis. Namun yang dapat dimanfaatkan hanya beberapa spesies saja. Di antaranya adalah kentang (Solanum

  

tuberosum ), cabai (Capsicum annuum), dan tembakau (Nicotiana tabacum)

(Sinaga, 2009).

  Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Buah cabai selain dapat dikonsumsi segar untuk campuran bumbu masak/rempah, juga dapat diawetkan misalnya untuk acar, saus dan tepung cabai dan buah kering. Diantara jenis-jenis cabai yang banyak dibudidayakan di dataran rendah adalah cabai besar (cabai merah), cabai keriting dan cabai kecil seperti cabai rawit (Sutarya et al., 1995).

  Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum, termasuk dalam kelompok penyakit tular tanah, yang dapat bertahan dalam waktu yang lama. Patogen ini, umumnya menginfeksi pada bagian akar atau pangkal batang tanaman. Gejala layu Fusarium tampak pada bagian atas tanaman. Penyakit tular tanah umumnya, sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas dan dapat bertahan hidup dalam tanah dengan waktu yang lama, serta gejala awal sulit diidentifikasi, akibatnya penyakit sering dapat diketahui ketika serangan sudah lanjut (Djaenuddin, 2011).

  Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini, tetapi belum memberikan harapan dan hasil yang memuaskan. Pengendalian hayati patogen tular- tanah merupakan pilihan yang perlu dikembangkan, sebab relatif murah dan mudah dilakukan, serta bersifat ramah lingkungan. Penggunaan agensia pengendali hayati yang berasal dari bakteri antagonis telah banyak dilaporkan (Soesanto dan Rahayuniati, 2009).

  Asas pengendalian biologis sudah dipakai sejak tahun 1970-an terhadap jamur akar putih (Rigidoporus microporus) pada karet. Usaha ini ditingkatkan lagi pada tahun 1980-an dengan pemberian belerang untuk membantu berkembangnya Trichoderdma sp. Dalam tanah yang mempunyai daya antagonistik terhadap jamur akar putih . Untuk menjamin adanya antagonis yang efektif dalam tanah, sejak beberapa tahun yang lalu tersedia campuran “Sako-P” yang mengandung T. koningii untuk menginokulasi tanah (jamur diproduksi oleh Pusat Penelitian Karet Sungei Putih). Dewasa ini di banyak Negara diketahui bahwa Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat dipakai untuk mengendalikan macam-macam penyakit bawaan tanah (Semangun, 1996).

  Beberapa tahun belakangan ini telah dicoba pengendalian dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis. Diantara jamur antagonis yang umun digunakan adalah

  Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Kedua jamur ini diketahui dapat memarasit miselium jamur Rhizoctonia dan Sclerotium, serta menghambat pertumbuhan banyak jamur seperti Phytium, Fusarium dan mengurangi penyakit yang disebabkan oleh sebagian patogen tersebut (Agrios, 1996).

  Berdasarkan hal diatas maka perlu dilakukan percobaan menggunakan berbagai jamur antagonis Trichoderma sp. dan juga Gliocladium sp. untuk mengendalikan patogen Fusarium oxysporum f.sp capsici untuk mengurangi pengendalian yang selama ini masih menggunakan pengendalian secara kimiawi.

  Tujuan penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk menguji daya antagonisme beberapa jamur

  

Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam mengendalikan

  F. oxysporum f.sp. capsici penyebab penyakit layu pada tanaman cabai terhadap pertumbuhannya di rumah kasa.

  Hipotesis penelitian

  Diduga adanya pengaruh berbagai spesies Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp capsici di lapangan.

  Kegunaan penelitian 1.

  Sebagai sumbangsih pengetahuan bagi para petani untuk menggunakan

  Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Untuk mengendalikan layu Fusarium pada tanaman cabai.

  TINJAUAN PUSTAKA Patogen penyebab penyakit Biologi patogen

  Menurut Agrios (1996), penyakit layu Fusarium dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Fungi Divisio : Ascomycota Kelas : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Nectriaceae Genus : Fusarium Spesies : Fusarium oxysporum f.sp. capsici

  

Fusarium memiliki konidiofor yang bercabang maupun tidak, mikrokonidia

  bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk ovoid–elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0-12,0) x (2,2-3,5) nm. Makrokonidia jarang terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3. Klamidiospora terdapat dalam hifa atau dengan konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau agak kasar, berbentuk semi bulat dengan diameter 5,0-15 nm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal (Gandjar et al, 1999 dalam Indrawan, 2008) (Gambar 1).

  Gambar 1. F. oxysporium f.sp. capsici. a. Konidiofor, b. Makrokonidia,

  c. Klamidospora, d. Mikrokonidia Sumber: Sinaga (2009).

  

Fusarium oxysporum f.sp. capsici menghasilkan 3 jenis spora. Mikrokonidia

  tidak berwarna, bersel tunggal, berbentuk bulat dengan panjang 6-15 μm dan berdiameter 3 5

  μm. Makrokonidia berbentuk bulan sabit, tidak berwarna, mempunyai 3-5 sekat, masing-masing panjangnya 30-50 μm dan berdiameter 2-5 μm. Klamidiospora halus, berbentuk bola, bersel tunggal yang menghasilkan miselium yang tua dan rata-rata berdiameter 10

  μm (Lucas et al, 1985 dalam Sinaga, 2011). Jamur membentuk miselium bersekat dan dapat tumbuh dengan baik pada bermacam-macam media-agar yang mengandung ekstrak sayuran. Mula-mula miselium tidak berwarna, semakin tua warna menjadi krem, akhirnya koloni tampak mempunyai benang-benang berwarna oker. Pada miselium yang lebih tua terbentuk klamidospora yang berdinding tebal. Jamur membentuk banyak mikrokonidium bersel 1, tidak berwarna, lonjong atau bulat telur, 6-15 x 2,5-4

  μm (Semangun, 1996).

  Gejala Serangan

  Pada cabai terdapat penyakit layu disebabkan oleh jamur

  Fusarium oxysporum Schlecht. Yang mana tulang-tulang daun yang halus menguning,

  dimulai daun yang tua. Jamur berada didalam pembuluh kayu dan menyebabkan jaringan ini berwarna cokelat. Berbeda dengan pada layu bakteri, disini batang tidak mengeluarkan lender bila dipotong. Selain itu pada layu bakteri sering terjadi pembusukan pada empelur (Semangun, 2004) (Gambar 2).

  Gambar 2. Gejala serangan F. oxysporum (A) daun layu, (B) akar busuk Gejala penyakit yang diamati adalah gejala penyakit yang umum disebabkan oleh cendawan patogen F. solani dan F. oxysporum, antara lain meliputi rebah semai, busuk akar dan pangkal batang, layu Fusarium. Gejala penyakit internal berupa perubahan warna coklat atau nekrosis juga diamati dengan cara memotong pengkal batang tanaman uji tersebut ( Istikorini, 2005).

  Gejala penyakit layu Fusarium diawali dengan menguningnya daun, terutama permukaan bawah daun, kemudian berlanjut pada daun yang lebih muda di atasnya, dan akhirnya seluruh tanaman layu. Gejala layu Fusarium terlihat pada tepi daun bawah berwarna kuning tua, kemudian coklat dan mengering. Gejala yang paling khas adalah gejala dalam, apabila pangkal batang dibelah membujur, terlihat garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari batang ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai (Soesanto dan Rahayuanita, 2009).

  Daur Hidup

  mempunyai daerah penyebaran yang luas, dapat bertahan pada

  F. oxysporum

  tanah selama lebih dari 17 tahun dan pada air lebih dari 7 tahun. Kisaran pH pada medium untuk pertumbuhan Fusarium, yaitu 2,2–9,0, dengan pH optimum 7,7 (Musa

  et al. , 2005).

  

F. oxysporum dapat bertahan lama dalam tanah dalam bentuk klamidospora.

  Jamur ini adalah jamur tanah, atau yang lazim disebut sebagai soil inhabitant. Tanah yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan kembali dari jamur ini. Tanpa adanya tumbuhan inang, jamur dapat bertahan dalam tanah lebih dari 10 tahun. Jamur mengadakan infeksinya pada akar, terutama melalui luka-luka, atau melalui luka pada akar yang terjadi akibat munculnya akar lateral (Semangun, 1996).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit o

  Penyakit layu Fusarium berkembang pada suhu tanah 21-33

  C, dengan suhu

  o

  optimum 28

  C. Sedangkan kelembapan tanah yang membantu tanaman, ternyata juga membantu perkembangan penyakit. Seperti kebanyakan Fusarium, penyebab penyakit ini dapat hidup pada pH tanah yang luas variasinyana (Semangun, 1996).

  Pada suhu yang tinggi yaitu 37 C umumnya tanaman lebih stres dan lebih rentan terhadap F. oxysporum f.sp. capsici. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa perubahan iklim yaitu peningkatan suhu merupakan satu-satunya penyebab peningkatan status perkembangan penyakit layu Fusarium (Wiyono 2007 dalam Sinaga, 2011).

  Pengendalian penyakit

  Karena tanah yang terinfeksi susah dibebaskan dari Fusarium, usaha higienis sangat penting. Alat pertanian yang habis dipakai dilahan yang terinfestasi dapat diinfestasi dengan formalin 5%. Harus diusahakan agar tidak menanam bibit (beserta tanah) dari persemaian yang terinfestasi. Tidak menanam benih (biji) yang diambil dari buah tanaman sakit (Semangun, 1996).

  Cara pengendalian penyakit layu Fusarium adalah dengan penanaman jenis tanaman yang tahan. Beberapa usaha untuk mengendalikan penyakit dengan fungisida tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi diberitakan bahwa pencelupan akar benomyl 1.000 ppm memberikan hasil yang baik. Usaha untuk mengendalikan penyakit dengan meningkatkan suhu tanah dengan mulsa plastik memberikan banyak harapan, namun masih memerlukan banyak penelitian untuk dapat dianjurkan dalam praktek (Semangun, 2000).

  Pengendalian secara biologis juga dapat dilakukan dengan pathogen yang tidak virulen dari jenis yang sama sebagai pesaing. Di Jepang penyakit layu Fusarium pada ubi jalar dan stroberi (F. oxysporum) dikendalikan dengan jamur F. oxysporum nonpatogenik. Busuk akar pada bit gula karena Rhizoctonia solani dikendalikan dengan jamur R. solani nonpatogenik dan yang berinti dua (binucleate) (Semangun, 1996).

  Trichoderma dan Gliocladium

Trichoderma harzianum menghasilkan beberapa antibiotik, di antaranya

  antibiotik peptaibol yang bekerja secara sinergis dengan enzim ß (1,3) glukanase, senyawa 3-(2-hidroksipropil)-4-(2-heksadienil)-2(5H) furanon yang membantu proses penghambatan terhadap F. oxysporum dan senyawa alkil piron (6-n-pentil-2H- piran-2- on atau 6PP) yang bersifat fungistasis dan mampu mengubah penyebaran biomassa cendawan dengan kisaran luas. Asam amino bebas seperti asam aspartat, asam glutamat, alanin, leusin dan valin serta dua senyawa ninhidrin positif lainnya yang dihasilkan T.

  harzianum secara in vitro juga dapat menurunkan patogenitas cendawan patogen (Mukarlina, 2010).

  Jamur Gliocladium sp. memarasit inangnya dengan cara menutupi atau membungkus patogen, memproduksi enzim-enzim dan menghancurkan dinding sel patogen hingga patogen mati. Di samping itu, Gliocladium sp. dapat hidup baik sebagai saprofit maupun parasit pada cendawan lain, dapat berkompetisi akan makanan, dapat menghasilkan zat penghambat dan bersifat hiperparasit Sedangkan jamur Trichoderma sp. memiliki mekanisme yaitu kompetisi terhadap ruang dan makanan yang mampu menekan perkembangan patogen pada tanah dan jaringan tanaman, serta mengumpulkan nutrisi organik, menginduksi ketahanan dan inaktivasi enzim patogen. Trichoderma sp. dapat menekan pertumbuhan patogen dengan cara melilit hifa patogen, mengeluarkan enzim

  β-1,3 glukonase dan kitinase yang dapat menembus dinding sel inang (Agustina, 2013).

  Keberadaan agen antagonis selain mampu menekan perkembangan penyakit juga dapat menyediakan ketersediaan hara bagi tanaman sehingga pertumbuhan kedua sifat tanaman tersebut dapat berlangsung dengan normal. Agen antagonis dapat melakukan proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari sekam padi dan pupuk kandang yangdigunakan sebagai media tanam. Dalam proses dekomposisi tersebut agen antagonis baik Trichoderma sp. maupun Gliocladium sp. akan mengubah unsur yang ada dalam bentuk larut sehingga bisa diserap oleh tanaman (Hartal et al, 2010).

  Mikroorganisme yang diisolasi daerah rhizosfer mempunyai daya hambat yang berbeda setiap jenisnya. Gliocladium sp. adalah cendawan yang dapat mengeluarkan gliovirin dan viridian merupakan zat antibiotik yang bersifat fungistatik pada patogen. pada uji antagonisme ini adalah antibiosis. Hal ini dapat diketahui dengan terbentuknya zone penghambatan di sekitar koloni jamur antagonis (Soenartiningsih dan Djaenuddin, 2011).

  Potensi jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Departemen Pertanian, 2011).

Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. Dan Gliocladium sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium

23 267 52

Uji Antagonisme Gliocladium dan Trichoderma Terhadap Penyakit Layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense di Laboratorium

1 37 43

Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Phytium spp.) pada Tanaman Tembakau deli (Nicotiana tabaccum L.) di Pembibitan

1 84 59

Penggunaan Jamur Antagonis Gliocladium virens Miller untuk Menghambat Pertumbuhan Penyakit Fusarium oxysporum f. sp. passiflora pada Pembibitan Markisa di Rumah Kassa

5 48 107

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma harzianum Rifai Dan Kompos Dalam Menekan Penyakit Layu Fusarium oxysporum f.sp. passiflora Pada Pembibitan Markisa

5 50 125

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

1 2 64

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

2 2 9

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

0 1 13

Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. Dan Gliocladium sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium

0 0 8