Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Phytium spp.) pada Tanaman Tembakau deli (Nicotiana tabaccum L.) di Pembibitan
UJI EFEKTIFITAS JAMUR ANTAGONIS Trichoderma sp. DAN Gliocladium sp. UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT REBAH SEMAI (Phytium spp.)
PADA TANAMAN TEMBAKAU DELI (Nicotiana tabaccum L.) DI PEMBIBITAN.
SKRIPSI
OLEH:
WENDY NOFTRIYANI SIREGAR 070302035
HPT
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
M E D A N
(2)
UJI EFEKTIFITAS JAMUR ANTAGONIS Trichoderma sp. DAN Gliocladium sp. UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT REBAH SEMAI (Phytium spp.)
PADA TANAMAN TEMBAKAU DELI (Nicotiana tabaccum L.) DI PEMBIBITAN.
SKRIPSI
OLEH:
WENDY NOFTRIYANI SIREGAR 070302035
HPT
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatra Utara, Medan.
Disetujui oleh: Komisi pembimbing
(Dr. Lisnawita SP, MSi) (Ir. Lahmuddin Lubis, MP)
Ketua Anggota
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
M E D A N
(3)
ABSTRAK
Wendy Noftriyani Siregar, “Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Phytium spp.) pada Tanaman Tembakau deli (Nicotiana tabaccum L.) di Pembibitan”, di bawah bimbingan Dr. Lisnawita SP, MSi dan Ir. Lahmuddin Lubis, MP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam berbagai dosis untuk mengendalikan penyakit rebah semai pada tanaman tembakau deli percobaan dilaksanakan di Balai Penelitian Tembakau deli (BPTD) Sampali Medan, Sumatera Utara dari bulan Maret - Juni 2011. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 10 perlakuan dan tiga ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan persentase serangan tertinggi terdapat pada perlakuan F1 (Kontrol) sebesar 8.53% dan terendah pada perlakuan F4 (Trichoderma sp. 18 gr), F5 (Trichoderma sp. 24 gr), F7 (Gliocladium sp. 12 gr/), F8 (Gliocladium sp. 18 gr), F9 (Gliocladium sp. 24 gr) sebesar 0,71 %. Intensitas Serangan tertinggi terdapat pada perlakuan F1 (kontrol) sebesar 6,45%, Sedangkan pada perlakuan F0 (tanpa perlakuan), F4, F5, F8, F9, intensitas serangan masing-masing adalah 0,71%. Jumlah daun tanaman tembakau terbanyak pada perlakuan F5, sebanyak 9,73 helai dan terendah pada perlakuan F1 (kontrol) sebanyak 4,20 helai. Sementara tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan F5 sebesar 29,27cm dan terendah pada perlakuan F1 (kontrol) sebesar 8,25cm. Uji antagonisme jamur Trichoderma sp dan Gliocladium sp. terhadap jamur Pythium spp. menunjukkan pertumbuhan jamur Pythium spp. cenderung menjauhi jamur antagonis di media biakan di Laboratorium.
(4)
ABSTRACT
Wendy Noftriyani Siregar, “Test Efectivity Antagonist Fungi Trichoderma sp. and Gliocladium sp. In Controlling Damping-off Disease on The Plant of Deli Tobacco (Nicotiana tabaccum L.) in Nursery”. under supervised by Dr. Lisnawita SP, MSi dan Ir. Lahmuddin Lubis, MP. This research aim to determine the effectiviness of the antagonistic fungus Trichoderma sp. and Gliocladium sp. in varying doses to control damping-off disease on tobacco plant. This research was done in BPTD Sampali Medan, North Sumatera in March-june 2011. The research used randomized blok design non-factorial with 10 treatment and 3 replication.
The result the highest percentage attack at treatment F1(control) of 8.53 % and lowest in treatment F4 (Trichoderma sp. 18 gr), F5 (Trichoderma sp. 24 gr), F7 (Gliocladium sp. 12 gr), F8 (Gliocladium sp. 18 gr), F9 (Gliocladium sp. 24 gr) of 0.71 %. The highest intensity of attack at treatment F1 (control) of 6.45 %, and the lowest in treatment of F0 (without treatment), F4, F5, F8, F9 of 0.71 %. The number of leaves of tobacco plant as much as on the treatment F5 of 9.73 and the lowest of 4,20. While the highest plant height of treatmen F5 of 29.27 cm and the lowest of 8.25 cm. The test antagonism fungus Trichoderma sp. and Gliocladium sp. against the fungus Pythium spp. The result show the growth of Pythium spp. steer clear the fungus antagonism ploriferate in the media on Laboratory.
(5)
RIWAYAT HIDUP
Wendy Noftriyani lahir pada tanggal 28 November 1989 di Kisaran,
merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Ayahanda A.M Siregar dan
Ibunda Eliana Napitupulu.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu :
- Tahun 2001 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 No. 010083 Kisaran.
- Tahun 2004 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2
Kisaran.
- Tahun 2007 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kisaran.
- Tahun 2007 lulus dan diterima di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.
Pengalaman Kegiatan Akademis :
1. Tahun 2007 - 2011 menjadi anggota Komunitas Muslim (KOMUS) HPT
Universitas Sumatera Utara.
2. Tahun 2007 - 2011 menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Perlindungan
Tanaman (IMAPTAN).
3. Sebagai asisten Pestisida dan teknik Aplikasi pada tahun ajaran 2010/2011.
4. Sebagai asisten Bioteknologi Pertanian pada tahun ajaran 2010/2011.
5. Sebagai asisten Mikrobiologi Pertanian pada tahun ajaran 2011/2012.
6. Sebagai asisten Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman pada tahun ajaran
2011/2012.
7. Sebagai asisten Virologi dan Nematologi Tanaman pada tahun ajaran
(6)
8. Tahun 2008 mengikuti seminar Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
FP USU ’’Motivation Training’’.
9. Tahun 2008 mengikuti seminar Peranan Pertanian dalam Pembangunan
Sumatera Utara.
10.Tahun 2010 mengikuti seminar Syngenta, dengan tema ”How do we feed a
growing population”.
11.Tahun 2011 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juni
sampai Juli di PTPN IV Bahjambi, Kabupaten Simalungun.
12.Melaksanakan penelitian di Balai Perkebunan Tembakau Deli (BPTD),
Sampali, Medan dan Di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan
penelitian ini dengan sebaik-baiknya.
Adapun judul dari skripsi saya ini adalah “Uji Efektifitas Jamur
Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Phytium spp.) pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabaccum L.) di Pembibitan.” Merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pertanian di Departemen Hama dan Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Dr. Lisnawita SP, Msi. selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP. selaku anggota komisi pembimbing yang telah
banyak membantu, mengarahkan dan memberi saran kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tulisan ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga tulisan ini
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, September 2011
(8)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ...iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... ...vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesa Penelitian... 3
Kegunaan Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tembakau ... 5
Syarat Tumbuh ... 6
Iklim... 6
Tanah ... 6
Biologi Penyakit rebah semai (Pythium spp.) ... 7
Gejala Serangan (Pythium spp.) ... 8
Daur Hidup Penyakit (Pythium spp.) ... 10
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit (Pythium spp.) ... 10
Pengendalian ... 11
Biologi Jamur Antagonis Trichoderma sp.. ... 12
Manfaat dan Keunggulan Trichoderma sp. ... 13
Biologi Jamur Antagonis Gliocladium sp. ... 15
Manfaat Gliocladium sp. ... 17
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 19
Bahan dan Alat Penelitian ... 19
(9)
Pelaksanaan penelitian ... 21
Penyediaan Jamur agens antagonis ... 21
Perbanyakan Jamur agens biokontrol ... 21
Penyediaan Pythium spp Sacc. ... 22
Pengujian secara in-Vivo ... 22
Persiapan Pembibitan ... 22
Persiapan media tanam ... 22
Aplikasi Jamur Phytium spp. ... 23
Aplikasi Jamur Antagonis... 23
Penanaman ... 23
Pemeliharaan ... 23
Peubah Pengamatan ... 24
Periode Inkubasi ... 24
Persentase serangan (PS) (%) ... 24
Intensitas Serangan (IS) Jamur Pythium spp. ... 25
Pengujian secara in-Vitro ... 26
Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp dan Gliocladium sp.terhadap jamur Pythium spp... 27
Persentase Zona Penghambat Pertumbuhan ... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN Periode Inkubasi Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau ... 28
Persentase Serangan Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau ... 29
Intensitas Serangan (IS) (%) Jamur Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau. ... 32
Jumlah Daun ... 33
Tinggi Tanaman Tembakau ... 35
Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp dan Gliocladium sp. terhadap jamur Pythium spp. ………...38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41
Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
DAFTAR TABEL
No Judul Hlm 1. Periode Inkubasi Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau (hst)...29
2. Persentase Serangan (%) Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau…....30
3. Intensitas Serangan Penyakit Pythium spp. pada Tanaman Tembakau..33
4. Jumlah daun Tanaman Tembakau………...34 5. Tinggi Tanaman Tembakau………...…..36 6. Persentase Penghambatan Trichoderma sp . dan Gliocladium sp.
terhadap penghambatan pertumbuhan Phytium spp dengan metode
(11)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Hlm
1 Tanaman tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.)………..…….5
2 Biji Tanaman Tembakau ...6
3 Bentuk Klamidospora pada jamur Pythium spp………..9
4 Batang yang terserang Pythium spp...10
5 Akar yang terinfeksi Pythium spp...10
6 Gejala Serangan Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau………...11
6 Konidia Trichoderma sp………...14
7 Isolat Trichoderma sp………...16
8 Konidia Gliocladium sp………...17
9 Isolat Gliocladium sp………...19
10 Uji Antagonisme Trichoderma sp. terhadap Phytium spp………....27
11 Histogram Pemberian jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dan dosis terhadap tinggi tanaman pada tanaman tembakau………...37
12 Uji antagonis Trichoderma sp. terhadap jamur Pythium spp...…………....38
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Hlm
1. Bagan percobaan In-vivo ... 40
2. Bagan Percobaan In-vitro ... 41
3. Data persentase serangan (%) Pythium spp.(3 HST)…..……….42
4. persentase serangan (%) Pythium spp. (6HST) ... 43
5. Data persentase serangan (%) Pythium spp.(9HST)………...…47
6. Data persentase serangan (%) Pythium spp. (12HST). ... 51
7. Data persentase serangan (%) Pythium spp.(15HST)…………...…….54
8. Data persentase serangan (%) Pythium spp.(18HST) ... 58
9. Data persentase serangan (%) Pythium spp.(21HST) ... 52
10. Data persentase serangan (%) Pythium spp.(24HST) ... 66
11. Intensitas Serangan Phytium sp pada tanamn Tembakau...78
(13)
ABSTRAK
Wendy Noftriyani Siregar, “Uji Efektifitas Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Phytium spp.) pada Tanaman Tembakau deli (Nicotiana tabaccum L.) di Pembibitan”, di bawah bimbingan Dr. Lisnawita SP, MSi dan Ir. Lahmuddin Lubis, MP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam berbagai dosis untuk mengendalikan penyakit rebah semai pada tanaman tembakau deli percobaan dilaksanakan di Balai Penelitian Tembakau deli (BPTD) Sampali Medan, Sumatera Utara dari bulan Maret - Juni 2011. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 10 perlakuan dan tiga ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan persentase serangan tertinggi terdapat pada perlakuan F1 (Kontrol) sebesar 8.53% dan terendah pada perlakuan F4 (Trichoderma sp. 18 gr), F5 (Trichoderma sp. 24 gr), F7 (Gliocladium sp. 12 gr/), F8 (Gliocladium sp. 18 gr), F9 (Gliocladium sp. 24 gr) sebesar 0,71 %. Intensitas Serangan tertinggi terdapat pada perlakuan F1 (kontrol) sebesar 6,45%, Sedangkan pada perlakuan F0 (tanpa perlakuan), F4, F5, F8, F9, intensitas serangan masing-masing adalah 0,71%. Jumlah daun tanaman tembakau terbanyak pada perlakuan F5, sebanyak 9,73 helai dan terendah pada perlakuan F1 (kontrol) sebanyak 4,20 helai. Sementara tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan F5 sebesar 29,27cm dan terendah pada perlakuan F1 (kontrol) sebesar 8,25cm. Uji antagonisme jamur Trichoderma sp dan Gliocladium sp. terhadap jamur Pythium spp. menunjukkan pertumbuhan jamur Pythium spp. cenderung menjauhi jamur antagonis di media biakan di Laboratorium.
(14)
ABSTRACT
Wendy Noftriyani Siregar, “Test Efectivity Antagonist Fungi Trichoderma sp. and Gliocladium sp. In Controlling Damping-off Disease on The Plant of Deli Tobacco (Nicotiana tabaccum L.) in Nursery”. under supervised by Dr. Lisnawita SP, MSi dan Ir. Lahmuddin Lubis, MP. This research aim to determine the effectiviness of the antagonistic fungus Trichoderma sp. and Gliocladium sp. in varying doses to control damping-off disease on tobacco plant. This research was done in BPTD Sampali Medan, North Sumatera in March-june 2011. The research used randomized blok design non-factorial with 10 treatment and 3 replication.
The result the highest percentage attack at treatment F1(control) of 8.53 % and lowest in treatment F4 (Trichoderma sp. 18 gr), F5 (Trichoderma sp. 24 gr), F7 (Gliocladium sp. 12 gr), F8 (Gliocladium sp. 18 gr), F9 (Gliocladium sp. 24 gr) of 0.71 %. The highest intensity of attack at treatment F1 (control) of 6.45 %, and the lowest in treatment of F0 (without treatment), F4, F5, F8, F9 of 0.71 %. The number of leaves of tobacco plant as much as on the treatment F5 of 9.73 and the lowest of 4,20. While the highest plant height of treatmen F5 of 29.27 cm and the lowest of 8.25 cm. The test antagonism fungus Trichoderma sp. and Gliocladium sp. against the fungus Pythium spp. The result show the growth of Pythium spp. steer clear the fungus antagonism ploriferate in the media on Laboratory.
(15)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tembakau cerutu merupakan komoditas ekspor nonmigas yang
memberikan kontribusi tinggi terhadap devisa negara Indonesia. Kualitas
tembakau cerutu sangat menentukan harga lelangnya. Tembakau cerutu
di-katakan berkualitas tinggi jika daunnya sehat dan bebas penyakit. Indonesia
mempunyai beberapa jenis tembakau cerutu, dua di antaranya merupakan
unggulan, yaitu cerutu deli dan cerutu besuki (Hidayah dan Titiek, 2007).
Berbagai jenis tembakau dengan berbagai kegunaannya diusahakan di
Indonesia, baik oleh rakyat maupun oleh perusahaan. Penerimaan Negara dari
cukai tembakau setiap tahunnya sangat besar dan terus meningkat. Pada tahun
2007 sebesar Rp. 42 trilyun, tahun 2008 sebesar Rp. 50,2 trilyun dan tahun 2009
ditargetkan mencapai Rp. 52 trilyun, demikian juga pada periode 5 tahun terakhir
devisa yang dihasilkan dari ekspor tembakau senilai US $ 100.627 (48.278 ton).
Areal pertanaman di Indonesia, rata-rata setiap tahun seluas 200.000 Ha dengan
produksi 170.000 ton dan melibatkan sekitar 600.000 KK petani
(Hidayah dan Titiek, 2007).
Beberapa tahun ini terjadi penurunan produksi tembakau yang salah
satunya disebabkan gangguan hama dan penyakit pada bibit tembakau.
Persemaian merupakan kunci dari produksi tembakau. Hal ini dikarenakan
persemaian merupakan awal dari kegiatan penanaman, sehingga bibit yang akan
(16)
penyakit di pembibitan tembakau adalah penyakit rebah semai yang disebabkan
oleh Pythium spp. (Erwin, 2000). Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan
produksi sampai 20%. Jamur umumnya berkembang di daerah tropis
(Erwin, 2000).
Selama ini pengendalian penyakit rebah semai dilakukan secara kimiawi.
Penggunaan fungisida selain membutuhkan biaya yang lebih tinggi juga
memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan, keseimbangan ekosistem
maupun kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu strategi
pengendalian yang tepat dan efektif, disamping itu juga aman terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satunya adalah metode pengendalian
biologis dengan menggunakan agens antagonis (Hermosa, 2000).
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan agens antagonis yang
banyak digunakan untuk mencegah perkembangan beberapa patogen tanah.
Migheli (1994) melaporkan penggunaan Trichoderma sp. secara tunggal atau
bersama-sama dengan spesies Trichoderma sp. lain telah digunakan dalam
mengendalikan beberapa penyakit seperti damping-off (Rhizoctonia sp.), rebah
semai (Pythium sp.) dan abu-abu bercak (Phytophthora infestans) pada tomat.
Trichoderma sp. selain bersifat antagonis terhadap patogen tular tanah
juga mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman (Harman, 2000). Keberhasilan penggunaan
Trichoderma sp. untuk pengendalian penyakit tanaman baik di rumah kaca, pada
pembibitan maupun di lapangan telah banyak dilaporkan. Nurbailis (2008) telah
melakukan penelitian tentang pengendalian penyakit Fusarium sp. pada tanaman
(17)
Gliocladium sp. merupakan agens antagonis yang efektif untuk
mengendalikan berbagai macam patogen tular tanah termasuk R. solani
(Papavizas, 1985). Cendawan ini dapat hidup baik sebagai saprofit maupun parasit
pada cendawan lain. Selain itu dapat menghasilkan zat penghambat dan bersifat
hiperparasit.
Berdasarkan hal di atas maka dirasa perlu dilakukan percobaan
menggunakan jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk
mengendalikan Pythium spp. pada tanaman tembakau deli, mengingat
serangannya di Sumatera Utara sangat merugikan dan pengendalian selama ini
masih menggunakan pengendalian secara kimiawi.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dosis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang tepat
dalam pengendalian Phytium spp. pada tanaman tembakau deli di pembibitan.
2. Untuk mengetahui efektifitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dalam
mengendalikan Phytium spp. pada tanaman tembakau deli di pembibitan.
3. Untuk mengetahui interaksi yang terjadi antara jamur patogen Phytium spp.
(18)
Hipotesa Penelitian
1. Adanya pengaruh pemberian Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dengan
dosis yang tepat akan mampu menekan perkembangan Phytium spp. pada
tanaman tembakau deli di pembibitan.
2. Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mempunyai efektifitas yang berbeda
dalam menekan perkembangan Phytium spp. pada tanaman tembakau deli di
pembibitan.
3. Adanya pengaruh interaksi jamur antagonis Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. Terhadap jamur penyakit rebah semai Pythium spp. Pada
tanaman tembakau di laboratorium dan di pembibitan.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian di Departemen
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.
(19)
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L) Klasifikasi botani tanaman tembakau adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledoneae
Ordo : Personatae
Family : Solanaceae
Genus : Nicotiana
Spesies : Nicotiana tabacum L.
(Murdiyati dan Sembiring, 2004).
Gambar 1 : Tanaman tembakau deli (Nicotiana tabacum L.) Sumber :
Tanaman tembakau memiliki akar tunggang terdapat pula akar- akar
serabut dan galur-galur akar. Memiliki batang yang bercabang, meskipun
(20)
Daun tembakau sangat bervariasi ada yang berbentuk ovalis, oblongus,
orbicularis dan ovatus. Sedangkan bunga tembakau termasuk bunga majemuk
yang berbentuk seperti terompet. Benang sari berjumlah lima buah
(Djojosoedirjo, 1997) (Gambar 1).
Buah tembakau berbentuk bulat lonjong dan berukuran kecil, didalamnya
banyak berisi biji yang bobotnya sangat ringan. Dalam setiap biji berisi 12000
butir biji. Tiap-tiap batang tembakau dapat menghasilkan rata-rata 25 gram biji.
Kira-kira 3 minggu sesudah pembuahan, buah tembakau telah jadi masak, biji dari
tembakau yang baru dipungut kadang-kadang belum dapat bersemai bila
disemaikan, sehingga biji-biji tembakau perlu mengalami masa istrahat atau
dormansi kira-kira 2-3 minggu untuk dapat bersemai. Untuk dapat memperoleh
semai yang baik sekitar 95% biji yang dipetik harus sudah masak dan telah
disimpan dengan baik dengan suhu yang kering
(Abdullah dan Soedarmanto, 1998) (Gambar 2).
Gambar 2 : Biji tanaman tembakau Sumber : foto langsung
Syarat Tumbuh Tanah
Tinggi tempat penanaman tembakau sangat bervariasi. Pada dataran
(21)
dengan jenis tanaman dan varietasnya. Tembakau deli merupakan tanaman yang
spesifik lokasi. Tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian tempat sekitar
12-150 m di atas permukaan laut (Adisewojo, 1996).
Tanah yang dapat ditanami tembakau adalah jenis tanah ber-pH antara 5-6.
Selama masa pertumbuhan memerlukan drainase yang baik dan cukup air.
Tanaman ini ditanam dengan sistem double rows, jarak tanam 45 x 50 x 100 cm
(Setiawan dan Trisnawati, 1993).
Iklim
Curah hujan yang dikehendaki rendah pada saat tanam dan tinggi pada
saat pertumbuhan sampai dengan panen menghendaki kisaran curah hujan
berkisar antara 1500 mm-2000 mm/tahun. Artinya untuk setiap tahunnya, areal
yang akan ditanam tembakau tersebut harus mendapat siraman air hujan sebanyak
1500-2000 mm/tahun. Hal ini dapat di mengerti dengan setiap m2 pada areal
tersebut mampu memperoleh air hujan sebanyak 1,5 m3-2m3/tahun (Erwin, 2000).
Suhu optimal yang dikehendaki tanaman tembakau adalah 270C atau
berkisar antara 220C-330C. Tanaman tembakau di bawah naungan yang ditanam
pada suhu di bawah batas minimum atau di atas batas suhu maksimal akan
terganggu pertumbuhannya (Adisewojo, 1996).
Penyakit rebah semai (Pythium spp.) pada Tembakau. Biologi Penyakit (Pythium spp.)
Penyakit rebah semai pada tanaman tembakau disebabkan oleh jamur
Pythium spp. yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae Divisio : Mycota
(22)
Subdivisio : Eumycotina Kelas : Phycomycetes Ordo : Peronosporales Family : Pythiaceae Genus : Pythium Spesies : Pythium spp. (Erwin, 2000).
Gambar 3. Bentuk Klamidospora pada jamur Pythium spp. Keterangan : a. miselium b. klamidospora
Sumber : Foto langsung
Jamur Pythium spp. mempunyai miselium kasar, lebarnya kadang-kadang
sampai 7 µ m. Selain membentuk sporangium yang berbentuk bulat atau lonjong,
jamur juga membentuk sporangium yang bentuknya tidak teratur seperti batang
atau bercabang-cabang, yang dipisahkan dari ujung hifa. Bagian ini sering disebut
presporangium dan ukurannya dapat mencapai 800 x 20 µ m, sedangkan Oospora
memiliki dinding yang agak tebal dan halus, diameter 17-19 µm. Hifa
Pythium spp. adalah hialin, tidak bersepta dan umumnya memiliki lebar 4-6 µm.
Pada agar kentang jamur membentuk banyak klamidospora bulat yang berukuran
21-39 µm (Semangun, 2000) (Gambar 3).
Sporangia panjangnya bervariasi dari 50-1000 µ m dan umumnya memiliki
cabang multi. Sporangia hanya bersemai dengan produksi vexicle yang
b a
(23)
membebaskan zoospora. Oogonia berbentuk spherical dan terminal dengan
diameter 22-27 µm (Erwin, 2000).
Gejala Serangan (Pythium spp.)
Gejala khas yang disebabkan penyakit rebah semai dapat dilihat pada pagi
hari. Di sekitar tanaman sakit tampak terlihat benang-benang seperti rumah
laba-laba dengan tetes-tetes embun yang tergantung. Sering menyerang tanaman yang
masih muda dan dekat tanah yang menyebabkan hawar daun atau bercak daun
yang lebar (Semangun, 1996).
Gambar 4 : Batang yang terserang Pythium spp. Sumber : Foto langsung
Di kebun, penyakit busuk batang timbul pada hari-hari pertama sesudah
pemindahan. Pangkal batang berlekuk sepanjang 1-15 cm dan membusuk.
Tanaman yang sakit “busuk batang” ini biasanya tidak menunjukkan gejala
kelayuan yang jelas. Kulit batang sama sekali rusak dan empelur batang
berlubang. Kalau batang belum berkayu tanaman akan rebah, karena batang yang
terserang mudah sekali patah. Akhirnya tanaman busuk basah menjadi suatu
massa berwarna gelap atau hitam (Semangun, 2000) (Gambar 4).
Akar tanaman yang terinfeksi jamur Pythium spp. akan berwarna coklat
(24)
umumnya menunjukkan adanya jamur oospora dan beberapa tanaman akan
mengalami penggulungan dan klorotik (Erwin, 2000) (Gambar 5).
Gambar 5 : Akar yang terinfeksi Pythium spp.
Sumber
Pythium spp. juga mengakibatkan Pre emergency damping off yaitu
matinya semai sebelum muncul di permukaan tanah yang ditandai dengan benih
menunjukkan gejala busuk dan berwarna kehitaman disertai dengan miselium
putih pada permukaan benih dan post emergence damping off atau semai yang
telah muncul di permukaan yang menjadi rebah dan mati karena memiliki batang
yang lunak atau karena busuk (Duble, 2000) (Gambar 6).
Gambar 6. Gejala Serangan Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau a : Jaringan yang sakit
Sumber : foto langsung
Daur Hidup Penyakit (Pythium spp.)
Temperatur optimum untuk Pythium spp. yang menyerang tanaman
tembakau bervariasi cukup besar yaitu berkisar 24ºC – 35ºC, pH optimum yang
(25)
diinginkan adalah 5,5. Jamur ini bersifat polifag sehingga dapat mempunyai
beberapa jenis tanaman inang antara lain lamtoro (Leucana leucocephala), bayam
(Amaranthus sp.), kucingan (Mimosa pudica), kerokot (Portulaca oleracea)
(Erwin, 2000).
Pythium spp. terdapat di dalam tanah sebagai saprofit atau dalam
bahan-bahan organik yang mengalami perombakan atau sebagai parasit fakultatif yang
lemah dan dapat bertahan untuk masa waktu tertentu tanpa adanya makanan.
Sporangium akan berfungsi sebagai struktur survival jangka panjang
(Erwin, 2000).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit (Pythium spp.)
Pada tanah yang mengandung air tinggi dan bibit yang rapat merupakan
hal yang tidak dikehendaki untuk proses petumbuhan yang cepat dari jaringan
tembakau. Demikian halnya pH tanah antara 5,4 sampai 7,5 mendukung atau
merangsang untuk berkembangnya rebah semai. Di samping itu faktor-faktor lain
seperti bibit yang lambat tumbuh atau yang terluka oleh kadar garam tinggi dan
infeksi nematoda dapat meningkatkan kerusakan pada tanaman tembakau oleh
patogen ini (Lucas et al., 1985).
Beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban, aerasi, suhu, derajat
keasaman tanah mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Air dalam tanah
membantu penyebaran penyakit baik langsung maupun tidak langsung. Secara
tidak langsung, kebanyakan air menyebabkan kurangnya aerase, sehingga
berpengaruh kurang baik terhadap tanaman tembakau, dengan akibat pertumbuhan
yang lemah. Jamur Pythium spp. ini mempunyai toleransi yang cukup besar
(26)
Pengendalian
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit Pythium spp.
sebagai berikut :
1. Untuk media pembibitan diusahakan tanah yang mudah menyerap air, agar
kelembaban tanah tidak terlalu tinggi, terutama pada musim hujan.
2. Sanitasi, dengan membuang bibit yang sakit untuk menghindari penularan
lebih lanjut, juga membuang bibit disekitar pembibitan yang sakit dengan
radius 1 m atau lebih.
3. Jarak tanam bibit agar tidak terlalu rapat untuk mengurangi kelembaban di
pembibitan.
4. Penyemprotan dengan fungisida terutama yang mengandung bahan aktif
metalaxyl (Erwin, 2000).
Untuk mengurangi busuk batang di kebun-kebun yang selalu mendapat
serangan, di Deli dianjurkan untuk menanam bibit yang agak berkayu. Bibit
ditanam dalam lubang-lubang, hanya akar dan leher akar saja yang ditutup dengan
tanah, karena bagian ini lebih rentan terhadap infeksi. Lubang baru diisi penuh
dengan tanah lebih kurang 7 hari sesudah penanaman. Juga cara ini dilakukan
pada penyulaman tanaman yang mati (Semangun, 2000).
Agens antagonis Trichoderma sp.
Trichoderma sp. dapat digunakan untuk memberikan perlindungan pada
biji untuk melawan persemaian jamur penyebab busuk pangkal batang
(Singh, 1998).
Sifat antagonis jamur Trichoderma sp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi
(27)
menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang
dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari biakan yang ditumbuhkan di dalam
petri. Spesies lain dari jamur ini telah diketahui bersifat antagonistik atau
parasitik terhadap jamur patogen tular tanah yang banyak menimbulkan kerugian
pada tanaman pertanian (Khairul, 2001).
Biologi Agens Antagonis Trichoderma sp.
Dalam Agrios (1996), jamur ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Sub divisio : Deuteromycotina Kelas : Hyphomycetes Ordo : Moniliales Famili : Moniliaceae Genus : Trichoderma sp. Spesies : Trichoderma sp.
Beberapa ciri jamur Trichoderma sp. yang menonjol antara lain koloninya
berwarna hijau muda sampai hijau tua yang memproduksi konidia aseksual
berbentuk globus dengan konidia tersusun seperti buah anggur dan pertumbuhan
nya cepat (fast grower) (Harman, 1998).
Gambar 7.Konidia Trichoderma sp. Keterangan : a. Konidiofor b. Fialida c. Konidia
Sumber:Foto langsung
Konidium (fialospora) jorong, bersel 1, dalam kelompok-kelompok kecil
terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru. Pada umumnya bersifat
a b c
(28)
saprofit dalam tanah, dan banyak jenisnya yang mempunyai daya antagonistik
terhadap jamur-jamur parasit (Semangun, 1998). Koloni jamur pada media agar
menyebar, mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi hijau. Hifa
vegetatif hialin (Gilman, 1971) (Gambar 7).
Manfaat dan Keunggulan Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan jamur antagonis yang sangat penting untuk
pengendalian hayati. Mekanisme pengendalian Trichoderma sp. yang bersifat
spesifik target, membentuk koloni dengan cepat dan melindungi akar dari
serangan jamur patogen, mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan
hasil produksi tanaman, menjadi keunggulan lain sebagai agen pengendali hayati.
Aplikasi dapat dilakukan melalui tanah secara langsung, melalui perlakuan benih
maupun melalui kompos. Selain itu Trichoderma sp. sebagai jasad antagonis
mudah dibiakkan secara massal, mudah disimpan dalam waktu lama dan dapat
diaplikasikan sebagai seed furrow dalam bentuk tepung atau granular/butiran
(Purwantisari dan Rini, 2009). Beberapa keuntungan dan keunggulan
Trichoderma sp. yang lain adalah mudah dimonitor dan dapat berkembang biak,
sehingga keberadaannya di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi
lingkungan, hewan dan manusia lantaran tidak menimbulkan residu kimia
berbahaya yang persisten di dalam tanah.
Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk
biologis tanah adalah jamur Trichoderma sp. Spesies Trichoderma sp. disamping
sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan
stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies Trichoderma sp. telah
(29)
yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan jamur
Trichoderma sp. diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai
biodekomposer, mendekomposisi limbah organik menjadi kompos yang bermutu.
Serta dapat berlaku sebagai biofungisida, yang berperan mengendalikan
organisme patogen penyebab penyakit tanaman. Trichoderma sp. dapat
menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman
antara lain Rigidiporus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani,
Sclerotium rolfsii dan Pythium spp. Disamping kemampuan sebagai pengendali
hayati, Trichoderma sp. memberikan pengaruh positif terhadap perakaran
tanaman, pertumbuhan tanaman, dan hasil produksi tanaman. Sifat ini
menandakan Trichoderma sp. juga berperan sebagai Plant Growth Enhancer
(Herlina dan Dewi, 2010).
Agens Antagonis Gliocladium sp.
Gliocladium sp.adalah agen hayati yang telah diketahui mampu
mengendalikan berbagai macam penyakit tular tanah, seperti penyakit layu
fusarium pada berbagai jenis tanaman seperti pada pisang, gladiol, dan krisan
(Djatnika et al., 2003).Gliocladium sp. juga dapat menekan pertumbuhan patogen
penyebab rebah semai masing-masing secara berurutan sebesar 32% dan 20%.
Adanya mikroba antagonis pada media tanam yang berfungsi sebagai kompetitor
bagi mikroba penyebab penyakit, akan dapat meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap serangan penyakit dan mengurangi intensitas serangan cendawan
penyakit tular tanah .
Gliocladium sp. telah dikenal luas sebagai jamur pengendali hayati
(30)
dapat memacu pertumbuhan tanaman. cendawan tersebut menghasilkan senyawa
gliovirin dan viridin yang mampu menekan pertumbuhan patogen
(Rahardjo dan Djatnika, 2001).
Biologi Agens Antagonis Gliocladium sp.
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), Gliocladium sp. diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Mycetaceae Divisi : Amastigomycota Sub Divisi : Deuteromycotina Kelas : Deuteromycetes Ordo : Hypocreales Famili : Hypocreaceae Genus : Gliocladium sp. Spesies : Gliocladium sp.
Koloni tumbuh sangat cepat dan mencapai diameter 5-8 cm. Perbedaannya
dengan T. viride adalah fialidanya seperti tertekan dan memunculkan satu tetes
besar konidium berwarna hijau, membentuk massa lendir pada setiap gulungan.
Konidiumnya berbentuk bulat telur pendek, berdinding halus, agak besar, dan
kebanyakan berukuran (4,5-6) x (3,5-4) µm (Soesanto, 2008) (Gambar 9).
Gambar 9. Konidia Gliocladium sp. (a. Konidia, b. Konidiofor) Keterangan : a. Konidiofor b. Fialida c. Konidia
Sumber : foto langsung
a b c
(31)
Gliocladium sp. merupakan jamur tanah yang umum dan tersebar di
berbagai jenis tanah, misalnya tanah hutan, dan pada beragam rizosfer tanaman.
Pertumbuhan optimum jamur antagonis terjadi pada suhu 25-32° C. Jamur parasit nekrotof ini mampu tumbuh baik sebagai pesaing saprotof dari jamur lainnya
(Soesanto, 2008).
Gliocladium sp. menghasilkan hifa, konidiofor, fialid, dan konidia. Hifa
bersepta dan hialin. Cabang terakhir memunculkan fialid berbentuk botol. Konidia
bersel satu, oval sampai bentuk silinder. Konidiofor tegak, diakhiri dengan brus
padat seperti susunan cabang yang memuat fialid runcing. Konidia tidak
berwarna, pink atau hijau dan dihasilkan dalam massa basah yang padat dari fialid
(Brown et al., 1980).
Manfaat Gliocladium sp.
Pada pengendalian hayati, persemaian konidia atau klamidospora akan
memudahkan agensia hayati seperti Gliocladium sp. untuk menyerang miselium
F. oxysporum. Gliocladium sp. juga dapat menghambat penyebab penyakit
lainnya seperti Rhizoctonia spp., Phytium spp., Sclerotium rolfsii penyebab
damping off dan penyebab penyakit akar. Gliocladium sp. mampu menekan
S. rolfsii sampai 85% secara in-vitro. Gliocladium sp. dapat mengeluarkan
antibiotik gliotoksin, glioviridin, dan viridin yang bersifat fungistatik. Gliotoksin
dapat menghambat cendawan dan bakteri, sedangkan viridin dapat menghambat
cendawan. Gliocladium sp. dapat tumbuh baik pada substrat organik, media
kering, dan kondisi asam sampai sedikit basah (Winarsih, 2007).
Terjadi interaksi hifa langsung setelah konidia Gliocladium sp. di
introduksikan ke tanah. Konidia akan bersemai di sekitar perakaran tanaman,
(32)
yang singkat yaitu sekitar 7 hari di daerah perakaran tanaman Gliocladium sp.
yang bersifat mikoparasit akan menekan populasi jamur patogen yang sebelumnya
mendominasi.
Kemampuan Gliocladium sp. untuk melindungi tanaman melibatkan
beberapa mekanisme yang terkait dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua
galur Gliocladium sp. yang merupakan fungi biokontrol efektif, akan tumbuh
semakin baik di sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiosis
mutualisme antara fungi biokontrol tersebut dengan tanaman yang dilindunginya.
Oleh karena itu, mekanisme perlindungan tanaman oleh Gliocladium sp. tidak
hanya melibatkan serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan
produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan akar, dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri
(33)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Balai Penelitian Tembakau
Deli (BPTD) PTP Nusantara II Sampali, dengan ketinggian tempat ±25 m di atas
permukaan laut. Penelitian dilaksanakan bulan Maret 2011 sampai dengan Juni
2011.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bibit tembakau deli
varietas F1-45, kompos, pasir, media PDA, alkohol 70%, clorox 0,2%, aquades,
media jagung, kapas, biakan murni Trichoderma sp., Gliocladium sp.,
Phytium spp., tanah, air, polibeg, dan bahan pendukung lainnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung
reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, autoclave, jarum ose, jarum kait, objek glass,
timbangan, shaker, mikroskop, lampu bunsen, oven, label nama, alat tulis, gembor
dan bahan pendukung lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) non
faktorial. Perlakuan yang digunakan adalah dosis jamur agens antagonis yaitu:
F0 : Kontrol (Tanaman sehat)
F1 : Pemberian jamur Pythium spp.
F2 : Trichoderma sp. + media jagung6 gr / bibit
F3 : Trichoderma sp. + media jagung 12 gr/bibit
(34)
F5 : Trichoderma sp. + media jagung 24 gr/bibit
F6 : Gliocladium sp. + media jagung 6 gr/bibit
F7 : Gliocladium sp. + media jagung12 gr/bibit
F8 : Gliocladium sp. +media jagung 18 gr/bibit
F9 : Gliocladium sp. + media jagung24 gr/bibit
Banyaknya ulangan yang akan dilakukan adalah :
(t-1) (r-1) ≥ 15 (10-1) (r-1) ≥ 15 9 r ≥ 24 r ≥ 2,6 r ≥ 3
Banyak ulangan adalah : 3
Jumlah Petak : 10 x 3 = 30 petak
Jumlah tanaman dalam 1 petak : 5 tanaman
Jumlah tanaman keseluruhan : 30 x 5 = 150 tanaman
Model linier yang digunakan adalah ;
Yij = µ + πi + βj +∑ij Dimana
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan yang memperoleh perlakuan taraf ke-I dari faktor I dan taraf ke-j pada faktor II
µ = Nilai tengah umum
πi = Pengaruh taraf ke-i dari faktor I βj = pengaruh taraf ke-j dari faktor II
∑ij = Pengaruh galat ke dua pada satuan percobaan yang memperoleh perlakuan taraf ke-i dari faktor I, taraf ke-j dari faktor II.
(35)
Pelaksanaan Penelitian Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan untuk menentukan wilayah atau lokasi
penelitian yang berada di kebun percobaan BPTD PTPN II Sampali.
Penyediaan agens antagonis
Jamur antagonis Trichoderma sp.dan Gliocladium sp. diperoleh dari isolat
tanah tanaman tembakau yang sehat. Kemudian tanah disebar pada media PDA
dan diinkubasi selama 1 minggu. Pengamatan secara visual dilakukan terhadap
jamur yang tumbuh. Jamur yang memiliki ciri-ciri seperti jamur Trichoderma sp.
dan Gliocladium sp. yaitu berwarna hijau muda sampai hijau tua dipisahkan dan
dibiakan pada media PDA yang baru. Setelah didapat biakan murni selanjutnya
dilakukan identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi
(Domsch et al., 1980)
Perbanyakan agens antagonis
Perbanyakan agens antagonis dilakukan dengan menggunakan media
jagung. Jagung dibersihkan dan dikukus dengan menggunakan dandang
(1/2 matang) atau selama 30 menit mulai dari keluar uap. Hamparkan jagung yang
telah dikukus di atas nampak/baki sampai dingin, kemudian masukkan
masing-masing ke dalam kantong plastik tahan panas sesuai dengan perlakuan. Setelah itu
media disterilkan dalam 30 menit. Biakan murni agens antagonis diinokulasikan
dengan menggunakan cork borer pada media jagung. Diaduk hingga rata
kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 10 – 15 hari. Setelah itu jamur
(36)
Penyediaan Pythium spp.
Sumber inokulum diambil dari tanaman tembakau yang terserang
Pythium spp. Bagian yang terinfeksi seperti akar dibersihkan dengan air steril, lalu
dipotong-potong (0,5 cm). Setelah itu disterilkan dengan klorox 1% selama lebih
kurang 3 menit dan dibilas 2-3 kali dengan air steril. Selanjutnya potongan
tersebut ditanam dalam media PDA dan diinkubasi pada temperatur kamar selama
1 minggu, setelah miselium Pythium spp. tumbuh, diisolasi kembali untuk
mendapatkan biakan murni. Biakan yang digunakan adalah biakan yang berumur
2 minggu atau lebih (Supeno, 1999).
Pengujian secara In-Vivo Persiapan Pembibitan
Persemaian dibuat di bedengan dengan ukuran 1 x 6 m dengan arah
Utara-Selatan. Naungan pembibitan dengan arah Timur-Barat dan tinggi tiang sebelah
timur 100 cm dan sebelah Barat 80 cm.
Sebelum benih disemaikan telah dilakukan perendaman terlebih dahulu
selama ± 72-98 jam sampai benih pecah dan melunak.
Persiapan media tanam
Tanah top soil, pasir dan kompos yang akan digunakan (5:3:2) diayak
terlebih dahulu. Diletakkan pada tempat yang terlindung. Media campuran
tersebut kemudian disterilkan (sterilisasi uap panas) dengan cara memanaskannya
(mengkukus) pada suhu ±105ºC, selama ± 30 menit. Media yang telah dipanaskan
dikeluarkan dari kukusan lalu dikering-anginkan di atas alas plastik di ruangan
(37)
Aplikasi Jamur Phytium spp.
Inokulasi jamur Pythium spp. dilakukan dengan cara menyemprot suspensi
Pythium spp. di atas permukaan tanah sebanyak 30 ml (Rachmawaty et al., 1995).
Dibiarkan selama 1 minggu dengan ditutupi plastik yang bertujuan untuk
menghindari kontaminan dan menjaga kelembaban tetap tinggi
(Santoso et al.,1999).
Aplikasi agens antagonis
Pengaplikasian agens antagonis dilakukan 1 minggu setelah inokulasi
Pythium spp. Aplikasi dilakukan dengan menaburkan substrat jagung sebagai
media perbanyakan agens antagonis selama 1 minggu sebelum penanaman.
Penanaman
Penanaman benih yang telah disemaikan selama 2 minggu, dilakukan
penanaman ke dalam polibeg 1 minggu setelah aplikasi agens antagonis dengan
menanam bibit satu persatu ke dalam polibeg dengan tanah yang telah disterilkan.
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Penyiangan
gulma dilakukan sekali seminggu.
Pengendalian hama dilakukan apabila pada tanaman tembakau terserang
hama, dengan menggunakan insektisida berbahan aktif delta metrin 0,5 cc/l.
Peubah Pengamatan Periode Inkubasi
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengamati kapan tanaman
tembakau pertama kali menunjukkan gejala serangan Pythium spp. pada setiap
(38)
Persentase serangan (PS) (%)
Pengamatan dilakukan dengan mengamati tanaman tembakau yang
terserang jamur Pythium spp. Pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali dengan
interval waktu 3 hari dalam waktu 3 minggu setelah penanaman ke dalam polibeg
(Deptan, 2005). Persentase kerusakan dihitung dengan menggunakan rumus :
P = a X 100% a + b
Dimana :
P = Persentase serangan
a = Jumlah tanaman yang terserang b = Jumlah tanaman yang sehat (Abbott, 1925).
Intensitas Serangan (IS) Jamur Pythium spp.
Pengamatan intensitas serangan Pythium spp. dilakukan pada saat tanaman
berumur 40-45 hari setelah tanam. Hal ini dilakukan karena pada tanaman umur
40-45 bibit tembakau dipindah tanamkan ke lapangan. Phytium spp. adalah
penyakit pembuluh dan bersifat sistemik.
Pada umur 40-45 hari setelah semai, tanaman dibongkar dan akar dicuci
dengan air mengalir. Kemudian dihitung intensitas serangan rebah semai atau
busuk pangkal akar.
Menurut Townsensd dan Hueberger (1948) intensitas serangan rebah
semai (Pythium spp.) dihitung dengan menggunakan rumus :
IS = ∑ (n x V) X 100% (N x Z)
(39)
Dimana:
IS = Intensitas serangan
n = Jumlah tanaman pada setiap skoring
V = Nilai skoring serangan penyakit tiap individu tanaman. Z = Nilai tertinggi kategori kerusakan
N = Jumlah tanaman yang diamati
Skala serangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Skala 0 = Tanaman sehat Skala 1 = 1-25 % busuk Skala 2 = 26-50 % busuk Skala 3 = 51-75% busuk Skala 4 = ≥ 75 % busuk
Skala 5 = Busuk total dan tidak bisa hidup lagi.
Persentase berdasarkan parahnya kerusakan pada setiap tanaman yang
diamati, kemudian dimasukkan sesuai dengan rumus di atas.
Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman
Pengambilan data jumlah daun dan tinggi tanaman dilakukan pada akhir
pengamatan dengan menghitung jumlah daun tanaman tembakau dan mengukur
tinggi tanaman.
Pengujian secara In-Vitro
Uji Antagonisme Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. terhadap Pythium spp. Uji antagonisme dilakukan dengan cara menanam koloni biakan murni
Trichoderma sp., Gliocladium sp., dan Pythium spp. dalam satu cawan petri yang
berdiameter 9 cm. Setelah itu diberi tanda dengan bulatan 0,5 cm pada dua tempat
yang berhadapan dengan jarak 1 cm dari pinggir di dasar petridish. Kemudian
diambil koloni jamur dengan alat cork diameter 5 mm dan ditanam pada
(40)
jamur tersebut pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam dan seterusnya setelah inokulasi
(Syahnen, 2006).
1 cm
Gambar 11. Uji Antagonisme Trichoderma sp. terhadap Phytium spp.
Keterangan :
X = Jamur Trichoderma sp.
Y = Jamur Pythium spp.
Persentase Zona Penghambat Pertumbuhan
Pengamatan persentase zona penghambat pertumbuhan ini dilakukan
setiap hari selama 4 hari. Persentase zona penghambat pertumbuhan ini dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
P = r1-r2 x 100% r1
Keterangan:
P = Persentase zona penghambat pertumbuhan
r1 = Jari-jari koloni Pythium spp.
r2 = Jari-jari koloni jamur antagonis
R2 R1
(41)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Periode Inkubasi Pythium spp. pada Tanaman Tembakau
Hasil pengamatan periode inkubasi yang diamati selama 24 hsi
menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat terdapat pada perlakuan F6
(Gliocladium sp. 6 gr/bibit) yaitu 6 hsi, dilanjutkan dengan perlakuan F1 yaitu 7
hsi, F2 (Trichoderma sp. 6 gr/bibit) yaitu 11 hsi, F3 (Trichoderma sp. 12 gr/bibit)
sebesar 17 hsi, sedangkan perlakuan F4, F5, F7, F8, F9, tidak menunjukkan gejala
serangan. Pinem (2005) mengatakan semakin tinggi dosis Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. yang diberikan maka semakin rendah persentase serangan
Pythium spp. Hal ini disebabkan karena semakin banyak kerapatan konidia dalam
setiap gram media jagung, maka daya parasitasi Trichoderma sp. dan Gliocladium
sp. terhadap Pythium spp. semakin efektif. Sehingga dengan pemberian dosis
yang lebih tinggi maka persentase serangan akan lebih rendah.
Hal yang sama dikemukakan oleh Wibowo (2003) mengatakan
Trichoderma sp. umum digunakan untuk pengendalian patogen dalam bentuk
tepung yang diaplikasikan dengan dosis tertentu. Keunggulannya yang lain adalah
sebagai bioprotektan bagi tanaman muda serta perkebunan. Beberapa keuntungan
dari penggunaan biofungisida tersebut adalah mudah dimonitor dan berkembang
(42)
Tabel 1: Periode Inkubasi Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau (HST)
Perlakuan Hari setelah tanam
F0 -
F1 7
F2 11
F3 17
F4 -
F5 -
F6 6
F7 -
F8 -
F9 -
Persentase Serangan Pythium spp. pada Tanaman Tembakau
Hasil analisis sidik ragam persentase serangan Pythium spp. pada tanaman
tembakau dapat dilihat dari Tabel 2 di bawah ini:
Table 2.: Persentase Serangan (%) Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.
(angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).
PERLAKUAN 3HSI 6HSI 9HSI 12HSI 15HSI 18HSI 21HSI 24HSI
F0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
F1 0 (0.71) 0 (0.71) 13,3 (3.25) 40 (5.35) 53 (6.17)a 53 (6.17)a 73,3 (8.53)A 73 (8.53)A
F2 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98)b 13,3 (3.25)a 13,3 (3.25)B 13,3 (3.25)B
F3 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 13,3 (3.25)B 13,3 (3.25)B
F4 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
F5 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
F6 0 (0.71) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98)b 6,6 (1.98)b 6,6 (1.98)B 6,6 (1.98)B
F7 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
F8 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
(43)
Dari analisis sidik ragam (Tabel 2) dapat dilihat pada 3 hsi belum
ditemukan adanya gejala. Gejala Pythium spp. baru terlihat pada 6 hsi yaitu pada
perlakuan F6 pada pengamatan 3-12 hsi menunjukkan tidak berbeda nyata pada
semua perlakuan. Gejala Pythium spp. tidak ditemukan hingga akhir pengamatan
pada perlakuan F4, F5, F7, F8, F9. Sementara pada perlakuan F1 (Kontrol)
persentase serangan tertinggi yaitu sebesar 8.53%. Hal ini terjadi karena pada
perlakuan F1 tidak diberikan agens antagonis yang berfungsi untuk memberikan
perlindungan pada tanaman dari gangguan Pythium spp. Hal ini sesuai dengan
literatur Migheli (1994) yang menyatakan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
merupakan agens antagonis yang banyak digunakan untuk mencegah
perkembangan beberapa patogen tanah. Penggunaan Trichoderma sp. secara
tunggal atau bersama-sama dengan spesies Trichoderma sp. lain telah digunakan
dalam mengendalikan beberapa penyakit seperti damping-off (Rhizoctonia sp.)
dan rebah semai (Pythium spp.).
Hasil analisis sidik ragam pada tanaman yang menggunakan jamur
Trichoderma sp. didapat persentase serangan Pythium spp. terendah terdapat pada
perlakuan F4 dan F5 sebesar 0,71 % berbeda sangat nyata dengan perlakuan F2
dan F3 dengan persentase serangan sebesar 3,25 %. Hasil ini menunjukkan
adanya perbedaan dosis jamur Trichoderma sp. dapat mempengaruhi persentase
serangan Pythium spp. Hal yang sama juga di dapatkan pada tanaman yang
menggunakan agen antagonis Gliocladium sp. Persentase serangan tertinggi di
dapatkan pada perlakuan F6 (Gliocladium sp. 6 gr/bibit) sebesar 1,98%,
sedangkan persentase serangan terendah di dapat pada perlakuan F7, F8, F9
(44)
Gliocladium sp. di lapangan harus tepat waktu, dosis dan caranya. Inokulasi
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang bermanfaat akan lebih efektif
bila dilakukan bersamaan dengan penanaman benih sehingga agens antagonis
tersebut akan segera mengkolonisasi benih yang berkecambah. Dosis yang tepat
dapat mendukung keberhasilan dominasi agens antagonis introduksi di rhizosfer
tanaman.
Hasil pengamatan persentase serangan di dapat persentase serangan
Pythium spp. pada tanaman yang diberi Trichoderma sp. lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang diberi Gliocladium sp. Hal ini karena jamur
Gliocladium sp. memarasit inangnya dengan cara menutupi atau membungkus
patogen, memproduksi enzim-enzim dan menghancurkan dinding sel patogen
hingga patogen mati. Di samping itu, Gliocladium sp dapat hidup baik sebagai
saprofit maupun parasit pada cendawan lain, dapat berkompetisi akan makanan,
dapat menghasilkan zat penghambat dan bersifat hiperparasit (Papavizas, 1985).
Sedangkan jamur Trichoderma sp. memiliki mekanisme yaitu kompetisi terhadap
ruang dan makanan yang mampu menekan perkembangan patogen pada tanah dan
jaringan tanaman, serta mengumpulkan nutrisi organik, menginduksi ketahanan
dan inaktivasi enzim patogen. Trichoderma sp. dapat menekan pertumbuhan
patogen dengan cara melilit hifa patogen, mengeluarkan enzim β-1,3 glukonase dan kitinase yang dapat menembus dinding sel inang (Saragih et al., 2006).
Selain dapat digunakan sebagai bioprotektan jamur Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. ternyata juga dapat digunakan sebagai biofertilizer (pupuk
hayati), hal ini dapat dilihat dari perlakuan F4, F5, F7, F8, dan F9 yang memiliki
(45)
agens antagonis mengakibatkan Pythium spp. tidak mampu menginfeksi tanaman.
Rahardjo dan Djatnika (2001) melaporkan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
telah dikenal luas sebagai cendawan pengendali hayati beberapa penyakit tular
tanah dan mampu menghasilkan hormon tumbuh sehingga dapat memacu
pertumbuhan tanaman.
Intensitas Serangan Penyakit Pythium spp. pada Tanaman Tembakau Deli Hasil analisis sidik ragam intensitas serangan pythium spp. pada tanaman
tembakau dapat dilihat dari Tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Intensitas serangan penyakit Pythium spp. pada tanaman tembakau deli
Perlakuan Intensitas serangan (%) F0 0 (0.71)C F1 41,3 (6,45)A F2 18.7 (3,64)B F3 5,3 (2,18)B F4 0 (0.71)C F5 0 (0.71)C F6 22.7 (4,70)B F7 0 (0.71)C F8 0 (0.71)C F9 0 (0.71)C
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.
(angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).
Hasil pengamatan intensitas serangan Pythium spp. di dapat intensitas
serangan tertinggi terdapat pada F1 sebesar 6,45 %, selanjutnya berturut- turut
adalah F6 (4,70%), F2 (3,64%), F3 (2,18%), sedangkan untuk perlakuan F4, F5,
(46)
Tingginya intensitas serangan Pythium spp. pada F1 disebabkan pada
perlakuan ini Pythium spp. tidak mempunyai hambatan untuk menginfeksi
tanaman tembakau, selain itu karena tembakau juga merupakan salah satu
tanaman inang dari Pythium spp. Erwin (2000) melaporkan salah satu penyakit di
pembibitan tembakau adalah penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Pythium
spp. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan produksi sampai 20%. Jamur
umumnya berkembang di daerah tropis.
Pemberian jamur Gliocladium sp. 6 gr/bibit belum mampu mengendalikan
Pythium spp. Hal ini terlihat pada perlakuan F6 tidak berbeda sangat nyata dengan
perlakuan F1. Intensitas serangan F6 sebesar 4,70%, ini berarti hampir semua
tanaman pada perlakuan ini terserang gejala Pythium spp. Djatnika (2003)
melaporkan dengan penambahan mikroba tanah menyebabkan terjadinya
kompetisi dalam memperebutkan makanan sehingga nutrisi yang ada pada media
tanam tidak seluruhnya dapat diserap tanaman, akan tetapi sebagian dipakai oleh
mikroba tanah untuk proses metabolismenya, sehingga dengan pemberian media
jagung 6 gr belum mencukupi untuk pertumbuhan Gliocladium sp. maka
(47)
2. Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman.
Dari analisis sidik ragam jumlah daun dan tinggi tanaman tembakau
menunjukkan berbeda nyata pada setiap perlakuan. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman Tanaman Tembakau
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.
Tabel 4. menunjukkan bahwa jumlah daun terendah pada perlakuan F1
sebesar 4,20 dan jumlah daun terbanyak pada perlakuan F5 sebanyak 9,73,
sedangkan perlakuan F0 ( tanaman sehat) tidak berbeda sangat nyata dengan
perlakuan F2 dan F6. Hal ini disebabkan perlakuan yang diberi Trichoderma sp.
dan Gliocladium sp. juga mampu memberikan kesuburan pada tanaman yaitu
pada perlakuan F3, F4, F5, F7, F8, F9. Herlina dan Dewi (2010) menyatakan
bahwa salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk
biologis tanah adalah jamur Trichoderma sp. Spesies Trichoderma sp. disamping
sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan Perlakuan Jumlah
Daun
Tinggi Tanaman
(cm) F0 6,67B 13,58D F1 4,20C 8,25E F2 6,27B 13,05D F3 8,67A 21,21C F4 8,80A 23,70B F5 9,73A 29,27A F6 6,87B 14,21D F7 8,13A 19,17C F8 8,80A 22,37B F9 9,13A 27,77A
(48)
stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies Trichoderma sp. telah
dilaporkan sebagai agensia hayati seperti T. harzianum, T. viridae, dan T. konigii
yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan jamur
Trichoderma sp. diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai
biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting
tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku sebagai biofungisida,
yang berperan mengendalikan organisme patogen penyebab penyakit tanaman.
Hasil yang sama didapat pada pengamatan tinggi tanaman (Tabel 4).
Pemberian jamur antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mempunyai
pengaruh terhadap tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan tanaman tanpa
pemberian agens antagonis. Tinggi tanaman terendah pada perlakuan F1 sebesar
8,25 cm dan tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan F5 sebesar 29,27 cm,
sedangkan perlakuan F0(tanaman sehat) tidak berbeda sangat nyata pada
perlakuan F2 dan F6.
Hasil ini menunjukkan, dengan kata lain semakin tinggi dosis dari pada
jamur antagonis yang diberikan, semakin tinggi rataan tinggi tanamannya. Jamur
antagonis dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman
Nugroho (2010) menyatakan kemampuan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa mekanisme yang terkait dengan
sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua spesies Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. yang merupakan jamur antagonis efektif, akan tumbuh semakin
baik di sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiosis
mutualisme antara jamur antagonis tersebut dengan tanaman yang dilindunginya.
(49)
Gliocladium sp. tidak hanya melibatkan serangan terhadap patogen pengganggu,
tetapi juga melibatkan produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, dan memacu mekanisme
pertahanan tanaman itu sendiri.
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. telah dibuktikan di lapangan untuk
melarutkan fosfor tersedia dan seng di dalam tanah. Organisme ini juga terurai
bahan organik tanah membuat nutrisi seperti kalsium, kalium dan nitrogen
tersedia untuk digunakan tanaman. Tanaman menerima seimbang pembuahan.
Nitrogen dibutuhkan oleh tanaman untuk mensintesis klorofil, pigmen hijau daun
dan biomolekul penting lainnya untuk pertumbuhan tanaman dan perkembangan
(50)
Uji Antagonisme Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. terhadap Pythium spp. secara In-Vitro
1 Hari setelah Inokulasi
Trichoderma sp
Pythium spp.
2 Hari setelah Inokulasi
Trichoderma sp
Pythium spp.
3 Hari setelah Inokulasi
Trichoderma sp.
Inhibiting zone Pythium spp.
4 Hari setelah Inokulasi
Trichoderma sp. Inhibiting zone
Pythium spp.
(51)
1 Hari setelah Inokulasi
Gliocladium sp.
Pythium spp.
2 Hari setelah Inokulasi
Gliocladium sp.
Pythium spp.
3 Hari setelah Inokulasi
Gliocladium sp.
Pythium spp.
Inhibiting zone
4 Hari setelah Inokulasi
Gliocladium sp. Inhibiting zone
Pythium spp.
(52)
Uji antagonisme secara in vitro dilakukan dengan metode dual method
pada medium PDA dalam awan petri berdiameter 9 cm. Mekanisme
penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme ini adalah antibiosis dan
hiperparasit yang dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona
penghambatan pertumbuhan bagi Phytium spp (patogen) dan pertumbuhan
miselium agen antagonis (Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang menutupi
seluruh permukaan medium termasuk koloni Phytium spp.
Pengamatan penghambatan pertumbuhan Phytium spp. dilakukan sejak
inkubasi hari pertama sampai hari keempat. Pada hari pertama dan kedua selama
pengamatan, belum terjadi mekanisme antagonis antara kedua biakan dimana
masing-masing tumbuh tanpa saling mempengaruhi karena jarak tumbuh kedua
biakan tersebut cukup lebar. Pada hari ketiga telah tampak bahwa pertumbuhan
kedua biakan tersebut saling mandekati sehingga terbentuklah zona penghambatan
bagi Phytium spp.zona penghambatan ini tidak bersifat tetap selama pengamatan.
Di sisi lain, pertumbuhan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. semakin
cepat dengan diameter yang hampir memenuhi cawan petri sehingga
Phytium spp. semakin terdesak karena kahabisan ruang tumbuh. Akibatnya
jari-jari pertumbuhan biakan Phytium spp. yang mendekati biakan Trichoderma sp.
dan Gliocladium sp. lebih kecil daripada yang menjauhi Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. ruang dalam medium sudah benar-benar habis, maka Phytium
spp. tumbuh dengan arah tumbuh ke atas. Pada pengamatan setelah hari keempat
menunjukkan bahwa Trichoderma sp dan Gliocladium sp. telah menyerang
Phytium spp. dengan mekanisme penetrasi hifa yaitu kemampuan melilit jamur
(53)
Untuk mengetahui besarnya persentase penghambatan pertumbuhan
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. terhadap penghambatan pertumbuhan
Phytium spp. dapat kita lihat pada Tabel 5 dibawah ini:
Tabel 5. Persentase Penghambatan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. terhadap penghambatan pertumbuhan Phytium spp.
Dari Tabel 5. Dapat kita lihat bahwa persentase penghambatan
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. terhadap penghambatan pertumbuhan
Phytium spp. semakin hari semakin meningkat. Pertumbuhan miselium jamur
Phytium spp. pada media biakan PDA cenderung menjauhi jamur antagonis, hal
ini dikarenakan Trichoderma sp.dan Gliocladium sp. memiliki kemampuan yang
tinggi berkompetisi dalam memperebutkan ruang dan nutrisi. Alfian (1990)
menyatakan adanya daya hambat ini menunjukkan bahwa isolat jamur
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. memiliki sifat antagonis. Mekanisme
antagonis yang terjadi dapat memungkinkan, melalui tiga cara, yaitu kompetisi
ruang, hingga tidak terbentuk zona kosong, kompetisi nutrisi dan akibat zat yang
di hasilkan oleh jamur Trichoderma sp.dan Gliocladium sp.
Pada perbandingan penggunaan agens antagonis Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. diperoleh hasil bahwa Gliocladium sp. lebih baik dibandingkan
dengan Trichoderma sp. Hal ini ditunjukkan pada data persentase serangan pada
pengujian secara In-vivo dan pertumbuhan Gliocladium sp. yang lebih cepat
dibandingkan Trichoderma sp. pada pengujian secara In-vitro. Rahardjo dan
Djatnika (2001) melaporkan bahwa penekanan terhadap cendawan patogen dapat Perlakuan Zona pengambatan (cm)
1 hsi 2 hsi 3 hsi 4 hsi Trichoderma sp. 0,09 0,18 0,4 0,47 Gliocladium sp. 0,17 0,27 0,39 0,52
(54)
terjadi bila cendawan antagonis tersedia dalam jumlah yang cukup besar dalam
tanah. Disamping pertumbuhan koloni Gliocladium yang lebih cepat dibanding
lainnya, cendawan tersebut juga menghasilkan senyawa gliovirin dan viridin yang
(55)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Periode inkubasi tercepat terjadi pada perlakuan F6 (Gliocladium sp. 6gr/bibit) yaitu 6 hsi dan terlama pada perlakuan F3 (Trichoderma sp.12 gr/bibit) yaitu 17 hsi.
2.
Pemberian jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat menekan persentase dan intensitas serangan Pythium spp. pada tanaman tembakau deli.3.
Jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat berfungsi sebagaibiofertilizer (pupuk hayati) karena dapat mempengaruhi jumlah daun dan
tinggi tanaman.
4.
Dosis Trichoderma sp. 18 gr/bibit dan Gliocladium sp. 12 gr/bibit memberikan hasil yang terbaik dalam menekan perkembangan Pythium spp.pada pembibitan tembakau deli.
Saran
Perlu dilakukannya penelitian lajutan tentang pengendalian jamur
Pythium spp. pada tembakau deli dengan menggunakan jenis jamur antagonis
(56)
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2011. diakses tanggal 23 agustus 2011.
Anonimus, 2011. http://www.mycology.adelaide.edu.au/images/Pythium.gif. diakses tanggal 23 agustus 2011.
Abbott, 1925. In Uenterstenhofer, G. 1976. The Basic Principles of Crop Protection Field Trials. Pflanzenschutz-Nachrichten Bayer AG Leverkusen.
Abdullah, A dan Sudarmanto., 1998. Budidaya Tembakau. CV. Yasagunas, Jakarta.
Adisewojo, R. S., 1996. Bercocok Tanam Tembakau. Sumur Bandung, Bandung.
Agrios, G.N., 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal.465.
Brown, F.A., A. Kerr., F.D. Morgan and L.H Rarbery. 1980. Plant Protection. hedges and bell pty Ltd, Melbourne. P.50-52.
Deptan, 2005. Benih tembakau (Nicotiana tabaccum L.) kelas benih dasar dan benih sebar November 2010).
Domsch K. H., W. Gams., T-H Anderson. 1980.Compendium Of Soil Fungi. Volume1. Academic Press. London.
Duble, R.L., 2000. Pythium Blight.
Djatnika, C. Hermanto, dan Eliza. 2003. Pengendalian Hayati Layu Fusarium Pada Tanaman Pisang Dengan Pseudomonas fluorescens dan spp. J. Horti 13(3): 205-211.
Djojosoedirjo, S., 1997. Petunjuk praktis menanam tembakau. Usaha Nasional. Surabaya. Hal 9-14
Erwin, 2000. Hama Dan Penyakit Tembakau Deli. Balai Penelitian Tembakau Deli. PTP. Nusantara II, Medan, Hlm 52-54.
(57)
Gilman, J.C., 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press.USA.
Haque M, Ilias dan Abul H.M, 2010. Trichoderma sp. and Gliocladium sp.diperkaya pupuk hayati sebagai pengganti pupuk anorganik. Dalam jurnal ilmiah kristin . Yayasan para agriculture. Hal. 66-73. Universitas Pertanian. Bangladesh.
Harman, G.E., 1998. Trichoderma sp. Proc. Am. Acad. Sci. USA.
Harman, G.E. 2000. Changes in Perceptions Derived from Research on
Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease / April 2000. Publication No. D-2000-0208-01F.
Herlina, L dan Dewi P. 2010. Penggunaan Kompos Aktif Trichoderma harzianum Dalam Meningkatkan PertumbuhanTanaman Cabai. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Hermosa MR. 2000, Molecular characterization and Karakterisasi molekuler dan identification of Biocontrol isolates of Trichoderma sp. identifikasi isolat biokontrol Trichoderma sp. Appl. Appl. Environ. Lingkungan. Microbial. Mikroba. 66: 1890-1898. 66: 1890-1898.
Hidayah N dan Titiek Y, 2007. Pentingnya Pengendalian Penyakit Ramah Lingkungan Dalam Meningkatkan Mutu Tembakau Cerutu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Surabaya.
Khairul, U. 2001. Pemanfaatan Bioteknologi Untuk Meningkatkan Produksi Pertanian. Dalam makalah falsafah sains (PPS 702) program Pasca sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor,November 2001.
Lucas, G. B., Campbell, and L.T. Lucas. 1985. Introduction To plant Diseases Indentifications and Management. An Avi Book Published by Van Nustrand Reindhold, New York. P. 146-147.
Mahar, S. 2009. Gliocladium virens. http:www.entomology.wisc.edu.htm. Diakses tanggal 15 Januari 2000.
Mehrotra, R.S. 1980. Plant Pathology. Tata McGraw Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi.
, R.S. 1983. Plant Pathology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. p. 376-377.
(58)
Migheli Q. 1994. Fate of Nasib transformed Trichoderma harzianum on the phylloplane of tomato berubah Trichoderma harzianum pada phylloplane tomat plants. tanaman. Mol. Mol. Ecol. Ecol. 3: 153 -159. 3: 153 -159.
Murdiyati, A.S dan H. Sembiring, 2004. Tembakau. Balai Penelitian Tembakau Deli Dan Tanaman Serat.
Nugroho, T.T., Ginting, C. dan Ali, M, 2010. Production and Partial Purification of Chitinolytic Enzymes from Trichoderma sp. and Gliocladium sp. isolated from citrus and cacao orchard soil in Riau, Sumatra. Research Report. Pekanbaru: University of Riau Research Institute.
Nurbailis. 2008. Karakterisasi mekanisme Trichoderma sp. indigenus rizosfir pisang untuk pengendalian Fusarium oxysporum f. sp. cubense penyebab penyakit layu Fusarium pada tanaman pisang. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Papavizas.G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium: Biology, ecology, and potential for biocontrol. Annual Review of Phytopathology. 23: 23–54. Pinem M.I dan Wilesawati, S. 2005. Uji Efektivitas Jamur Trichoderma sp. and
Gliocladium sp. Pada Berbagai Tingkat dosis Terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang (Fusarium oxysporum f.sp passiflorae) Pada Tanaman Markisa Di Lapangan. Dalam jurnal penelitian bidang ilmu pertanian. Vol 3.USU.Medan.
Purwantisari S dan Rini, B.H. 2009Isolasi dan Identifikasi Jamur Indigenous Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa Pakis. Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip. Magelang.
Rahardjo I.B. dan I. Djatnika. 2001. Pengendalian Hayati Bercak Daun Xanthomonas sp. pada Tanaman Sedap Malam dengan Pseudomonas sEdisi Khusus, Oktober, 2001. Universitas Semarang. Semarang. Hal 301-310.
Rachmawaty, A., Ambarwati, H.T dan Toekidjo, M. 1995. Kajian Pengendalian Penyakit Busuk Batang Vanili dengan Trichoderma sp. prosiding Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI, Mataram. Hlm 207-210.
Santoso., E. Maman, T dan Simon, T.N. 1999. Studi Antagonis Trichoderma harzianum rifaii Terhadap Pythium spp. Penyebab Penyakit Ladah Pada Semai Sengun. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwekerto. hlm 553-558.
(59)
Saragih, Y. S, F. H. Silalahi dan A.E Marpaung. 2006. Uji Resistensi Beberapa Kultivar Markisa Asam Terhadap Penyakit Layu Fusarium. J.Horti 16(4): 321-326.
Semangun. H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal. 351-406.
. 2000. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura. Gadjah Mada University, Press, Yogyakarta. hal 59.
Setiawan dan Trisnawati. 1993. Cara Pembudidayaan, Pengelolaan dan Pemasaran Tembakau. Penebar Swadaya, Jakarta.
Singh, R. S. 1998. Plant Diseases. Seventh Edition. Oxford & IBH Publishing CO. PVT. LTD. New Delhi. Hal 640.
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 259-271.
Suara Merdeka, 2002. Trichoderma harzianum biofungisida yang ramah lingkungan. 2010
Supeno, B. 1999. Uji Patogenisitas Jamur Trichoderma harzianum Yang Digunakan Sebagai Agen Pengendali Hayati. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Nasional PFI. Purwekerto. Hlm 48-51.
Syahnen, 2006. Prosedur Operasi Standar/Standard Operasional Procedure (SOP) Perbanyakan Jamur Trichoderma. Balai Pengembangan proteksi Tanaman Perkebunan, Sumatera Utara-Medan.
Townsend dan Hueberger, 1948. In Uenterstenhofer, G. 1976. The Basic Principles of Crop Protection Field Trials. Pflanzenschutz-Nachrichten Bayer AG Leverkusen.
Wibowo, Arif dan Suryanti. 2003. Isolasi dan Identifikasi Jamur-Jamur Antagonis Terhadap Patogen Penyebab Penyakit Busuk Akar dan Pangkal Batang Pepaya. Jurnal Fitopatologi Indonesia (Vol 7) No. 2: 38-44 pp.
Winarsih, S. 2007. Pengaruh Bahan Organik pada Pertumbuhan Gliocladium virens dan Daya Antagonisnya Terhadap Fusarium oxisporum secara In-Vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus(3): 386-390.
(1)
terjadi bila cendawan antagonis tersedia dalam jumlah yang cukup besar dalam tanah. Disamping pertumbuhan koloni Gliocladium yang lebih cepat dibanding lainnya, cendawan tersebut juga menghasilkan senyawa gliovirin dan viridin yang mampu menekan pertumbuhan patogen
(2)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Periode inkubasi tercepat terjadi pada perlakuan F6 (Gliocladium sp. 6gr/bibit) yaitu 6 hsi dan terlama pada perlakuan F3 (Trichoderma sp. 12 gr/bibit) yaitu 17 hsi.2.
Pemberian jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat menekan persentase dan intensitas serangan Pythium spp. pada tanaman tembakau deli.3.
Jamur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat berfungsi sebagaibiofertilizer (pupuk hayati) karena dapat mempengaruhi jumlah daun dan tinggi tanaman.
4.
Dosis Trichoderma sp. 18 gr/bibit dan Gliocladium sp. 12 gr/bibit memberikan hasil yang terbaik dalam menekan perkembangan Pythium spp. pada pembibitan tembakau deli.Saran
Perlu dilakukannya penelitian lajutan tentang pengendalian jamur Pythium spp. pada tembakau deli dengan menggunakan jenis jamur antagonis lainnya.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2011.
diakses tanggal 23 agustus 2011.
Anonimus, 2011. http://www.mycology.adelaide.edu.au/images/Pythium.gif.
diakses tanggal 23 agustus 2011.
Abbott, 1925. In Uenterstenhofer, G. 1976. The Basic Principles of Crop Protection Field Trials. Pflanzenschutz-Nachrichten Bayer AG Leverkusen.
Abdullah, A dan Sudarmanto., 1998. Budidaya Tembakau. CV. Yasagunas, Jakarta.
Adisewojo, R. S., 1996. Bercocok Tanam Tembakau. Sumur Bandung, Bandung.
Agrios, G.N., 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal.465.
Brown, F.A., A. Kerr., F.D. Morgan and L.H Rarbery. 1980. Plant Protection. hedges and bell pty Ltd, Melbourne. P.50-52.
Deptan, 2005. Benih tembakau (Nicotiana tabaccum L.) kelas benih dasar dan
benih sebar
November 2010).
Domsch K. H., W. Gams., T-H Anderson. 1980.Compendium Of Soil Fungi.
Volume1. Academic Press. London.
Duble, R.L., 2000. Pythium Blight.
Djatnika, C. Hermanto, dan Eliza. 2003. Pengendalian Hayati Layu Fusarium Pada Tanaman Pisang Dengan Pseudomonas fluorescens dan spp. J. Horti 13(3): 205-211.
Djojosoedirjo, S., 1997. Petunjuk praktis menanam tembakau. Usaha Nasional. Surabaya. Hal 9-14
Erwin, 2000. Hama Dan Penyakit Tembakau Deli. Balai Penelitian Tembakau Deli. PTP. Nusantara II, Medan, Hlm 52-54.
(4)
Gilman, J.C., 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press.USA.
Haque M, Ilias dan Abul H.M, 2010. Trichoderma sp. and Gliocladium
sp.diperkaya pupuk hayati sebagai pengganti pupuk anorganik.
Dalam jurnal ilmiah kristin . Yayasan para agriculture. Hal. 66-73. Universitas Pertanian. Bangladesh.
Harman, G.E., 1998. Trichoderma sp. Proc. Am. Acad. Sci. USA.
Harman, G.E. 2000. Changes in Perceptions Derived from Research on
Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease / April 2000. Publication No. D-2000-0208-01F.
Herlina, L dan Dewi P. 2010. Penggunaan Kompos Aktif Trichoderma
harzianum Dalam Meningkatkan PertumbuhanTanaman Cabai.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Hermosa MR. 2000, Molecular characterization and Karakterisasi molekuler dan identification of Biocontrol isolates of Trichoderma sp. identifikasi isolat biokontrol Trichoderma sp. Appl. Appl. Environ. Lingkungan. Microbial. Mikroba. 66: 1890-1898. 66: 1890-1898.
Hidayah N dan Titiek Y, 2007. Pentingnya Pengendalian Penyakit Ramah Lingkungan Dalam Meningkatkan Mutu Tembakau Cerutu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Surabaya.
Khairul, U. 2001. Pemanfaatan Bioteknologi Untuk Meningkatkan Produksi Pertanian. Dalam makalah falsafah sains (PPS 702) program Pasca sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor,November 2001.
Lucas, G. B., Campbell, and L.T. Lucas. 1985. Introduction To plant Diseases Indentifications and Management. An Avi Book Published by Van Nustrand Reindhold, New York. P. 146-147.
Mahar, S. 2009. Gliocladium virens. http:www.entomology.wisc.edu.htm. Diakses tanggal 15 Januari 2000.
Mehrotra, R.S. 1980. Plant Pathology. Tata McGraw Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi.
, R.S. 1983. Plant Pathology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. p. 376-377.
(5)
Migheli Q. 1994. Fate of Nasib transformed Trichoderma harzianum on the phylloplane of tomato berubah Trichoderma harzianum pada phylloplane tomat plants. tanaman. Mol. Mol. Ecol. Ecol. 3: 153 -159. 3: 153 -159.
Murdiyati, A.S dan H. Sembiring, 2004. Tembakau. Balai Penelitian Tembakau Deli Dan Tanaman Serat.
Nugroho, T.T., Ginting, C. dan Ali, M, 2010. Production and Partial Purification of Chitinolytic Enzymes from Trichoderma sp. and
Gliocladium sp. isolated from citrus and cacao orchard soil in Riau, Sumatra. Research Report. Pekanbaru: University of Riau Research Institute.
Nurbailis. 2008. Karakterisasi mekanisme Trichoderma sp. indigenus rizosfir pisang untuk pengendalian Fusarium oxysporum f. sp. cubense penyebab penyakit layu Fusarium pada tanaman pisang. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Papavizas.G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium: Biology, ecology, and potential for biocontrol. Annual Review of Phytopathology. 23: 23–54. Pinem M.I dan Wilesawati, S. 2005. Uji Efektivitas Jamur Trichoderma sp. and
Gliocladium sp. Pada Berbagai Tingkat dosis Terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang (Fusarium oxysporum f.sp passiflorae) Pada Tanaman Markisa Di Lapangan. Dalam jurnal penelitian bidang ilmu pertanian. Vol 3.USU.Medan.
Purwantisari S dan Rini, B.H. 2009Isolasi dan Identifikasi Jamur Indigenous Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa Pakis. Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip. Magelang.
Rahardjo I.B. dan I. Djatnika. 2001. Pengendalian Hayati Bercak Daun Xanthomonas sp. pada Tanaman Sedap Malam dengan Pseudomonas sEdisi Khusus, Oktober, 2001. Universitas Semarang. Semarang. Hal 301-310.
Rachmawaty, A., Ambarwati, H.T dan Toekidjo, M. 1995. Kajian Pengendalian Penyakit Busuk Batang Vanili dengan Trichoderma sp. prosiding Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI, Mataram. Hlm 207-210. Santoso., E. Maman, T dan Simon, T.N. 1999. Studi Antagonis Trichoderma
harzianum rifaii Terhadap Pythium spp. Penyebab Penyakit Ladah Pada Semai Sengun. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwekerto. hlm 553-558.
(6)
Saragih, Y. S, F. H. Silalahi dan A.E Marpaung. 2006. Uji Resistensi Beberapa Kultivar Markisa Asam Terhadap Penyakit Layu Fusarium. J.Horti 16(4): 321-326.
Semangun. H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal. 351-406.
. 2000. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura. Gadjah Mada University, Press, Yogyakarta. hal 59.
Setiawan dan Trisnawati. 1993. Cara Pembudidayaan, Pengelolaan dan Pemasaran Tembakau. Penebar Swadaya, Jakarta.
Singh, R. S. 1998. Plant Diseases. Seventh Edition. Oxford & IBH Publishing CO. PVT. LTD. New Delhi. Hal 640.
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 259-271.
Suara Merdeka, 2002. Trichoderma harzianum biofungisida yang ramah
lingkungan.
2010
Supeno, B. 1999. Uji Patogenisitas Jamur Trichoderma harzianum Yang Digunakan Sebagai Agen Pengendali Hayati. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Nasional PFI. Purwekerto. Hlm 48-51.
Syahnen, 2006. Prosedur Operasi Standar/Standard Operasional Procedure (SOP) Perbanyakan Jamur Trichoderma. Balai Pengembangan proteksi Tanaman Perkebunan, Sumatera Utara-Medan.
Townsend dan Hueberger, 1948. In Uenterstenhofer, G. 1976. The Basic Principles of Crop Protection Field Trials. Pflanzenschutz-Nachrichten Bayer AG Leverkusen.
Wibowo, Arif dan Suryanti. 2003. Isolasi dan Identifikasi Jamur-Jamur Antagonis Terhadap Patogen Penyebab Penyakit Busuk Akar dan Pangkal Batang Pepaya. Jurnal Fitopatologi Indonesia (Vol 7) No. 2: 38-44 pp.
Winarsih, S. 2007. Pengaruh Bahan Organik pada Pertumbuhan Gliocladium virens dan Daya Antagonisnya Terhadap Fusarium oxisporum secara In-Vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus(3): 386-390.