BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lateks - Pembuatan Spesimen Sarung Tangan Berbahan Dasar Lateks Pekat 60% Dengan Pengisi Montmorillonit Yang Dimodifikasi Dengan CTAB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lateks

  Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut getah yang dikeluarkan oleh pohon karet. Lateks terdapat pada bagian kulit, daun dan integument biji karet. Lateks diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis, diolah dan diperdagangkan sebagai bahan industri dalam bentuk karet sheet, crepe, lateks pekat dan karet remah (Crumb rubber).

Gambar 2.1 lateks kebun

  Lateks merupakan suatu larutan koloid dengan partikel karet dan bukan karet yang tersupensi di dalam suatu media yang banyak menganding bermacam-macam zat. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut sempurna, melainkan terpencar secara atau merata di dalam air. Partikel- partikel koloidal ini sedemikian kecil dan halusnya sehingga dapat menembus saringan. Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen yang pertama adalah bagian yang mendispersikan atau memancarkan bahan-bahan yang terkandung secara merata, biasa disebut serum. Bahan-bahan bukan karet yang larut dalam air, seperti protein, garam- garam mineral, enzim dan lainnya termasuk ke dalam serum. Komponen kedua adalah butir-butir karet yang dikelilingi lapisan tipis protein.

Gambar 2.2 Struktur molekul karet alam

  Lateks yang dikeluarkan oleh pohon karet, warnanya putih susu sampai kuning. Lateks mengandung 25-40 % bahan karet mentah (crude rubber) dan 60-77 % serum (air dan zat yang larut). Karet mentah mengandung 90-95% karet murni, 2-3 % protein, 1-2 % asam lemak, 0,2 % gula, 0,5 % garam dari Na, K, Mg, P, Ca, Cu, Mn, dan Fe. Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan mikromolekul poliisoprene (C

  5 H 8 ) n dengan rumus kimia 1,4-cis-

  poliisoprene. Partikel karet tersuspensi atau tersebar secara merata dalam serum lateks dengan ukuran 0.04-3.00 mikron dengan bentuk partikel bulat sampai lonjong (Triwijoso, 1995).

  Lateks pekat adalah lateks dari karet alam yang sekurang-kurangnya mengandung 60% kadar karet kering. Penggolongan lateks pekat didasarkan dengan cara pemekatan dan jenis pengawetannya. Untuk membuat barang jadi lateks, maka terlebih dahulu lateks harus dipekatkan. Pemekatan lateks bertujuan untuk:

  • Memperoleh kadar karet kering sebanyak 60%
  • Mengurangi biaya produksi
  • Mengetahui jumlah air yang ditambahkan pada pengenceran lateks sampai kadar yang dikehendaki Beberapa cara pemekatan lateks yang sering dijumpai dalam perdagangan salah satunya dengan yaitu cara pemusingan (centrifuging). Proses pemusingan (centrifuging) adalah proses pemekatan lateks dengan menggunakan centrifuge atau sejenisnya, lateks diberi amoniak dan dicentrifuge dengan kecepatan ±6000-7000rpm (Fachry dkk, 2012).

  Sifat-sifat mekanik yang baik dari karet alam menyebabkannya dapat digunakan untuk berbagai keperluan umum seperti sarung tangan. Pada suhu kamar, karet tidak berbentuk kristal padat dan juga tidak berbentuk cairan. Perbedaan karet dengan benda-benda lain, tampak nyata pada sifat karet yang lembut, fleksibel dan elastis. Sifat-sifat ini memberi kesan bahwa karet alam adalah suatu bahan semi cairan alamiah atau suatu cairan dengan kekentalan yang sangat tinggi. Namun begitu diperlukan pemahaman tentang teknologi karet. Teknologi karet meliputi perancangan formula (resep) karet, mastikasi dan penggilingan, pengujian karakterik vulkanisasi, dan pengujian sifat fisik dan sifat kimia vulkanisat karet.

  Salah satu dari bagian teknologi karet yang cukup penting adalah mastikasi. Proses mastikasi ini mengurangi keliatan atau viskositas karet alam sehingga akan memudahkan proses selanjutnya saat bahan-bahan lain ditambahkan. Banyak sifat-sifat karet alam ini yang dapat memberikan keuntungan atau kemudahan dalam proses pengerjaan dan pemakainnya, baik dalam bentuk karet atau kompon maupun dalam bentuk vulkanis (Hasan, 2013).

2.2 Sarung Tangan Lateks

  Kontak pada kulit tangan merupakan permasalahan yang sangat penting apabila terpapar bahan kimia yang korosif dan beracun. Sarung tangan menjadi solusi, tidak hanya melindungi tangan terhadap karakteristik bahaya bahan kimia, sarung tangan juga dapat memberi perlindungan dari peralatan gelas yang pecah atau rusak, permukaan benda yang kasar atau tajam, dan material yang panas atau dingin. Jenis sarung tangan yang sering dipakai di laboratorium, diantaranya, terbuat dari bahan karet, kulit dan pengisolasi (asbestos) untuk temperatur tinggi. Pembuatan barang menjadi karet, seperti sarung tangan lateks adalah salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah karet alam dan untuk mengembangkan industri berbasis karet alam dalam negeri. Sarung tangan lateks merupakan produk barang jadi karet yang dikataegorikan sebagai produk karet penggunaan umum. Produk ini memiliki serapan konsumsi karet alam yang cukup besar sehingga apabila dapat mengembangkan industrinya seperti melalui mendesain kompon karet dengan biaya yang lebih murah maka berdampak pada peningkatan konsumsi karet dalam negeri. Jenis karet yang digunakan pada sarung tangan, diantaranya adalah karet butil atau alam, neoprene, nitril, dan Polivinil klorida (PVC).

  Sarung tangan lateks yang bermutu biasanya dibuat dari karet alam. Hal ini disebabkan karet alam mempunyai beberapa keunggulan, yaitu memiliki kepegasan pantul yang baik, kalor timbul yang rendah, tegangan putus tinggi, ketahanan retak lentur baik, fleksibel baik, kuat dan tahan lama, bahkan dapat

  o

  digunakan pada suhu -60

  F. Sifat-sifat inilah yang diperlukan dalam pembuatan sarung tangan lateks. Sarung tangan lateks adalah produk yang digunakan untuk melapisi tangan dalam mengerjakan pekerjaan tertentu. Sarung tangan dari lateks karet alam banyak beredar dipasaran dengan berbagai jenis kegunaan dan cara pembuatan. Ada sarung tangan dokter dan sarung tangan bedah yang sekali pakai langsung buang,ada sarung tangan industri untuk makanan, bahan kimia dan tahan panas.

  Penggunaan sarung tangan lateks di Indonesia sampai saat ini mencapai 2 juta pasang/tahun, 90% lebih masih diimpor, walaupun Indonesia merupakan negara produsen karet alam nomor 2 (dua) di dunia, sementara itu kebutuhan sarung tangan lateks di dunia sekitar 540 juta pasang (Utama, 2011). Karakteristik sarung tangan karet harus sesuai dengan persyaratan mutu SNI

  2

  16 –2623 –1992, meliputi tegangan putus 270,1 N/mm , perpanjangan putus

  2

  2

  801%, modulus 1,2 N/mm , dan ketahanan sobek 680 N/ mm . Penambahan kalsium bentonit pada lateks pekat pembuatan sarung tangan diharapkan dapat menambah kualitas sarung tangan karet, dimana parameter uji nya adalah menguji kuat tarik, uji ketahanan sobek dan uji FTIR dari sarung tangan lateks serta diharapkan dapat menekan biaya produksi.

2.3 Montmorillonit

  Montmorillonit (MMT) adalah salah satu diantara silikat terlapis yang sering dimanfaatkan karena sifatnya yang ramah lingkungan dan juga tersedia melimpah di alam sehingga harganya relatif murah. Kisi kristal MMT terdiri dari lapisan-lapisan berbentuk lembaran oktahedral dengan ketebalan 1 nm yang berada diantara dua lembaran silika tetrahedral dengan aspek rasio sekitar 100. Susunan dari lapisan-lapisan tersebut mengarah pada terbentuknya celah Van der Waals yang lebih dikenal dengan gallery. Lapisan tersebut bermuatan negatif dan muatan ini disetimbangkan oleh kation alkali

  • 2+

  seperti Na , Li , atau Ca diantara lapisan-lapisan aluminosilikat. Clay Na- MMT adalah hidrofilik dengan luas permukaan yang tinggi (Tjong, 2006 ; Taghizadeh, dkk,2013).

Gambar 2.3 Bentonit Alam

  Kation-kation antarlapis dari MMT dapat dengan mudah diubah secara ionik oleh atom-atom bermuatan positif atau ion-ion organik seperti kuarter ammonium atau garam-garam posponium. Penggunaan ion-ion organik ke dalam ruang-ruang antarlapis tidak hanya menyebabkan meningkatnya sifat hidrofilik dari pilosilikat tetapi juga dapat meningkatkan harga d-spacing dari silikat tersebut, bergantung pada fungsionalitas, kerapatan, dan panjang molekul organik yang digabungkan (Lagaly dan Beneke, 1991). Jadi

  

organoclay memperbaiki kompatibilitas dengan matriks polimer dan

  interkalasi dari polimer. Rantai organik mungkin terletak sejajar dengan lapisan silikat, membentuk lapisan tunggal atau lapisan ganda atau menjauh dari permukaan, membentuk mono- atau bimolekular dengan d-spacing antarlapis yang lebih tinggi.

2.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Montmorillonit

  Struktur bangun lembaran montmorillonit terdiri dari 2 lapisan tetrahedral yang disusun unsur utama Silika (O, OH) yang mengapit satu lapisan oktahedral yang disusun oleh unsur M (O,OH) (M = Al, Mg, Fe) yang disebut juga mineral tipe 2:1. Struktur utama MMT selalu bermuatan negatif karena terjadinya substitusi isomorfik ion-ion, yaitu pada lapisan tetrahedral terjadi

  4+ 3+

  substitusi ion Si oleh Al , sedangkan lapisan oktahedral terjadi substitusi

  3+ 2+ 2+

  ion Al oleh Mg dan Fe . Ruang dalam lapisan montmorillonit dapat mengembang dan diisi oleh molekul-molekul air dan kation-kation lain (Alexandre dan Dubois, 2000).

  Montmorillonit atau bentonit merupakan mineral aluminosilikat (Al- silikat) yang banyak digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan berbagai produk di berbagai industri dan juga sebagai reinforcement. Ketebalan setiap lapisan montmorilonit sekitar 0,96 nm, tiap dimensi permukaan umumnya 300-600 nm, sedangkan d spacing 1,2 – 1,5 nm (Utracki dan Kamal, 2002).

Gambar 2.4 Struktur Kristal Montmorillonit

  Pada proses pembuatan nanokomposit antara material polimer dan organoclay pada fasa leleh, diharapkan dengan adanya gaya puntir (shear) jarak antar layer pada organoclay akan semakin membesar dan akhirnya terjadi delaminasi struktur pada bentonit atau lebih dikenal dengan istilah exfoliasi, dimana lapisan-lapisan bentonit dalam ukuran nano ini akan terdispersi dalam matriks polimer (Syuhada dkk, 2009).

  Monmorilonit umumnya berukuran sangat halus, sedangkan komponen- komponen dalam lapisan tidak terikat kuat. Jika mengadakan persentuhan dengan air, maka ruang diantara lapisan mineral mengembang, menyebabkan volume clay dapat berlipat ganda. Terdapat tanda bahwa jarak dasar (basal spacing) monmorilonit meningkat secara seragam jika terjadi penyerapan air. Beberapa peneliti mencatat bahwa meningkatnya jarak dasar dapat berlangsung pelan-pelan, yaitu pertanda pembentukan kulit hidrasi di sekeliling kation-kation yang terdapat di antara lapisan. Tingginya daya mengembang atau mengerut ari monmorilonit menjadi alasan kuat mengapa mineral ini dapat menyerap dan memfiksasi ion-ion logam dan persenyawaan organik. Dari keanekaragaman jenis lempung, monmorilonit ditemukan dalam bentuk tanah kebanyakan. Tingginya daya plastis, mengembang dan mengkerut , mineral ini menyebabkan tanah menjadi plastis jika basah dan keras jika kering. Retakan-retakan pada permukaan tanah akan terlihat jika permukaan tanah mengering (Indawahyuni, 2013).

2.4 Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB)

  

Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) adalah surfaktan kationik dengan

  rumus molekul C

19 H

  42 BrN, dengan berat molekul 364,45 g/mol, berbentuk o

  serbuk putih dengan titik lebur 237-243 C.

Gambar 2.5 Hexadecyltrimethylammonium (cetrimonium) bromida

  CTAB dalam larutan akan terionisasi menjadi CTA dan Br . Karena akan

  • terbentuk ion CTA yang bersifat

Gambar 2.6 Rumus Molekul CTAB Bentonit yang semula bersifat hidrofilik berubah menjadi organofilik.

  Bentonit hasil modifikasi disebut organoclay. Perubahan sifat bentonit merupakan hasil dari penggantian kation anorganik pada bentonit dengan kation organik surfaktan CTAB. Dengan masuknya surfaktan ke dalam bentonit, d-spacing pada bentonitpun bertambah besar (terinterkalasi).

2.5 Elastomer

  Elastomer adalah polimer amorf yang berada di atas suhu transisi kaca, sehingga gerak segmental yang cukup adalah mungkin. Pada suhu kamar, karet relatif lunak (E~3MPa) dan mampu berdeformasi. Elastomer merupakan polimer dengan viscoelasticity (elastisitas), umumnya memiliki modulus Young yang rendah dan hasil regangan yang tinggi dibandingkan dengan bahan lain. Istilah polimer elastis, sering digunakan bergantian dengan istilah karet, meskipun yang terakhir lebih disukai ketika mengacu pada istilah

  vulcanisates . Setiap monomer yang menghubungkan membentuk polimer biasanya terbuat dari karbon, hidrogen, oksigen dan / atau silikon.

  Penggunaan utama mereka adalah untuk segel, perekat dan bagian yang dapat terbentuk dengan fleksibel.

  Elastomer biasanya bersifat termoset (membutuhkan vulkanisasi) tetapi mungkin juga bersifat termoplastik. Rantai polimer yang panjang lintas-garis yang terjadi pada selama pemeraman, yang disebut dengan vulkanisir. Struktur molekul dari elastomer dapat dibayangkan sebagai struktur 'spaghetti dan bakso', dengan bakso yang menandakan crosslink. Elastisitas berasal dari kemampuan rantai panjang untuk mengkonfigurasi ulang diri untuk mendistribusikan tegangan. Ikatan kovalen silang memastikan bahwa elastomer akan kembali ke konfigurasi semula ketika stres dihilangkan. Sebagai hasil dari fleksibilitas ekstrim ini, elastomer reversibel dapat diperpanjang hingga 5-700%, tergantung pada bahan tertentu. Tanpa adanya lintas-hubungan, rantai merenggang ulang, tegangan akan menghasilkan deformasi permanen.

  Beberapa tahun belakangan ini nanokomposit berbasis karet telah diteliti dan dibahas secara meluas oleh para ahli terutama yang berhubungan dengan potensi pemanfaatan nanoelement seperti silikat berlapis, talek, silica, nanobiofiller dan carbon nanotube. Namun yang paling sering digunakan pada 10 tahun belakangan dalam mempersiapkan nanokomposit berbasis karet adalah silikat berlapis dan carbon nanotube. Penggabungan clay atau silikat berlapis ke dalam matriks polimer dapat memberikan 4 struktur yang berbeda: (1). konvensional, (ii). sebagian terinterkalasi dan sebagaian tereksfoliasi, (iii). terinterkalasi penuh dan dan terdispersi, (iv). Tereksfoloiasi penuh dan terdispersi.Hal ini bergantung pada konsentrasi dari clay dan derajat pendistribusian ke dalam kompositnya (Luo dan Daniel, 2003).

  Dalam mikrokomposit atau komposit konvensional, partikel-partikel tidak mudah dimasukkan ke dalam matriksnya karena mudahnya membentuk gumpalan (agregat) sehingga tidak memberi dampak yang berarti bagi perbaikan sifat mekanik komposit. Pada nanokomposit yang terinterkalasi kelihatan nanofiller tersusun secara teratur menyerupai kristal dalam rantai- rantai polimer matriksnya. Namun, pada struktur tereksfloasi lapisan-lapisan dari filler tidak tersusun dengan baik. Biasanya untuk karet nanokomposit secara morfologi berada diantara kedua struktur di atas karena umumnya terjadi interkalasi dan eksfloasi sebagian (Galimberti, 2011).

  Karena alasan kurang kompatibel antara komponen karet (organik) terhadap silikat (anorganik), untuk mendapatkan nanokomposit yang interkalatif, fase anorganik perlu dimodifikasi secara organik. Dengan demikian interaksi antara karet yang hidrofobik dengan bahan pengisi yang hidrofilik dapat diperbaiki untuk mendapatkan sifat yang fisika dan kimia yang khas (Carli, dkk, 2011). Modifikasi organik ini telah memperbaiki dispersi silikat berlapis ke dalam matriks karet yang bersifat hidrofobik sebagaimana diamati dari uji morfologi (Jia dkk, 2008).

2.6 Pengujian Sarung Tangan Lateks

2.6.1 Pengujian Kuat Tarik (Tensile Strength)

  Uji tarik adalah salah satu uji stress-strain mekanik yang bertujuan mengetahui kekuatan bahan terhadap gaya tarik. Dengan melakukan uji tarik kita mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material bertambah panjang. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang.

Gambar 2.7 Gaya Tarik terhadap Pertambahan Panjang

  Hal yang menjadi perhatian dalam gambar tersebut adalah kemampuan maksimum bahan dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut

  "Ultimate Tensile Strength" disingkat dengan UTS. Untuk semua bahan, pada

  tahap sangat awal uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke, yaitu : rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan Bentuk sampel uji secara umum digambarkan seperti

gambar 2.8 di bawah ini:Gambar 2.8 Spesimen Uji Tarik ASTM D 638-II

  Pengujian dilakukan sampai sampel uji patah, maka pada saat yang sama diamati pertambahan panjang yang dialami sampel uji. Kekuatan tarik atau tekan diukur dari besarnya beban maksimum (F maks ) yang digunakan untuk memutuskan/mematahkan spesimen bahan dengan luas awal A . Umumnya

  2

  kekuatan tarik polimer lebih rendah dari baja 70 kg.f/mm . Hasil pengujian adalah grafik beban versus perpanjangan (elongasi). Enginering Stess (

  ) : ………............................……………(1)

  σ = Fmaks =Beban yang diberikan arah tegak lurus terhadap penampang spesimen (N)

  2 A o =Luas penampang awal spesimen sebelum diberikan pembebanan (m )

  • 2

  ) σ =Enginering Stress (Nm Enginering Strain (ε): 1

  − ∆

  = …….....................………………. (2) ε =

  ε = Enginering Strain l o = Panjang mula-mula spesimen sebelum pembebanan Δl = Pertambahan panjang Hubungan antara stress dan strain dirumuskan:

  E = ……..........…………........…..….……. (3) E = Modulus Elastisitas atau Modulus Young (Nm-2) σ = Enginering Stress (Nm-2)

  ε = Enginering Strain Dari gambar kurva hubungan antara gaya tarikan dan pertambahan panjang kita dapat membuat hubungan antara tegangan dan regangan (stress vs

  

strain ). Selanjutnya kita dapat gambarkan kurva standar hasil eksperimen uji

tarik. Deformasi Plastis

Gambar 2.9 Kurva Tegangan dan Regangan Hasil Uji Tarik

  Daerah Linear ( elastic limit)

  Bila sebuah bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula (tepatnya

  

hampir kembali ke kondisi semula ) yaitu regangan “nol” pada titik O. Tetapi

  bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku dan terdapat perubahan permanen dari bahan tersebut. Terdapat konvensi batas regangan permamen (permanent strain) sehingga disebut perubahan elastis yaitu kurang 0.03%, tetapi sebagian referensi menyebutkan 0.005% .

  Titik Luluh atau batas proporsional

  Titik dimana suatu bahan apabila diberi suatu beban memasuki fase peralihan deformasi elastis ke plastis. Yaitu titik sampai di mana penerapan hokum Hook masih bisa ditolerir. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis.

  Deformasi plastis (plastic deformation)

  Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula, yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional.

  Ultimate Tensile Strength (UTS) Merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik.

  Titik Putus Merupakan besar tegangan di mana bahan yang diuji putus atau patah.

2.7 Spektrofotometer FT-IR

  Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran.

Dokumen yang terkait

Pembuatan Spesimen Sarung Tangan Berbahan Dasar Lateks Pekat 60% Dengan Pengisi Montmorillonit Yang Dimodifikasi Dengan CTAB

5 87 63

Pengaruh Variasi Waktu Penyimpanan Campuran Lateks Polistirena Dan Lateks Pekat Karet Alam Terhadap Kestabilan Emulsi Dengan Menggunakan Emulsifier Natrium Lauril Sulfat

2 79 67

Perolehan Kembali (Recovery) Amoniak Dari Serum Pengolahan Lateks Pekat Dengan Metode Stripping

0 48 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Hewan - Pembuatan Gel Ekstrak Teripang (Holothuroidea Sp.) Dengan Penambahan Kitosan Untuk Pengobatan Luka Sayat

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Waktu Vulkanisasi dan Pembebanan Pengisi Tepung Kulit Singkong Termodifikasi Penyerasi Alkanolamida pada Pembuatan Produk Film Lateks Karet Alam

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Suhu Vulkanisasi dan Komposisi Bentonite Clay yang Dimodifikasi dengan Alkanolamida dari Bahan Baku RBDPKO Pada Produk Lateks Karet Alam

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Regangan Tarik Benang Karet Terhadap Penentuan Waktu Kemantapan Mekanis Lateks Pt.Industri Karet Nusantara

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Genteng - Pembuatan Genteng Polimer Berbahan Baku Debu Vulkanik Gunung Sinabung Dengan Perekat Resin Polipropilen

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Suhu Vulkanisasi Pada Pembuatan Produk Film Lateks Karet Alam Berpengisi Tepung Kulit Singkong Termodifikasi Penyerasi Alkanolamida

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposit 2.1.1 Defenisi Komposit - Pembuatan Dan Karakterisasi Komposit Serat Kulit Jagung Dengan Matriks Epoksi

0 0 19