Pengaruh Variasi Waktu Penyimpanan Campuran Lateks Polistirena Dan Lateks Pekat Karet Alam Terhadap Kestabilan Emulsi Dengan Menggunakan Emulsifier Natrium Lauril Sulfat

(1)

PENGARUH VARIASI WAKTU PENYIMPANAN CAMPURAN

LATEKS POLISTIRENA DAN LATEKS PEKAT KARET ALAM

TERHADAP KESTABILAN EMULSI MENGGUNAKAN

EMULSIFIER NATRIUM LAURIL SULFAT

Disusun Oleh :

ARDIANSYAH TANJUNG

100822038

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGARUH VARIASI WAKTU PENYIMPANAN CAMPURAN LATEKS POLISTIRENA DAN LATEKS PEKAT KARET ALAM TERHADAP

KESTABILAN EMULSI DENGAN MENGGUNAKAN EMULSIFIER NATRIUM LAURIL SULFAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ARDIANSYAH TANJUNG

100822038

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH VARIASI WAKTU PENYIMPANAN

CAMPURAN LATEKS POLISTIRENA DAN LATEKS PEKAT KARET ALAM TERHADAP KESTABILAN EMULSI DENGAN MENGGUNAKAN EMULSIFIER NATRIUM LAURIL SULFAT

Kategori : SKRIPSI

Nama : ARDIANSYAH TANJUNG

Nomor Induk Mahasiswa : 10822038

Program Studi : SARJANA (S1)/ KIMIA EKSTENSI

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di, Medan, Agustus 2012

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr.Darwin Yunus Nst,MS Dr.Yugia Muis, M.S

NIP. 195508101981031001 NIP. 195310219800322003

Menyetujui

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH VARIASI WAKTU PENYIMPANAN CAMPURAN LATEKS POLISTIRENA DAN LATEKS PEKAT KARET ALAM TERHADAP

KESTABILAN EMULSI DENGAN MENGGUNAKAN EMULSIFIER NATRIUM LAURIL SULFAT

SKRIPSI

Dengan kesadaran sepenuhnya saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing dicantumkan sumber aslinya.

Medan, Juli 2012

ARDIANSYAH TANJUNG 100822038


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang mencurahkan rahmat, berkah dan hidayahNya, serta shalawat beriring salam kepada Rasulullah Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya penulis menyampaikan penghargaan dan cinta kasih yang tulus kepada kedua orang tua yang sangat penulis sayangi, Ayahanda tercinta Abdul Hakim Tanjung dan Ibunda tercinta Masroihanah S.pd, yang tiada terhingga atas doa restu dan cintanya yang tiada henti serta semua pengorbanan baik itu secara moril maupun materil. Terima kasih yang juga penulis sampaikan kepada adik-adik tersayang Ahmad Zaini Tanjung dan Rahmi Milasari Tanjung serta yang terspesial Dima Fitria yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Yugia Muis,MS selaku dosen pembimbing I dan Dr.Darwin Yunus,MS selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis. Kepada Dr. Rumondang Bulan Nst, MS dan Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku Ketua dan Sekertaris Departemen Kimia FMIPA USU, staf laboratorium polimer dan Kimia Fisika, Bg edi suratno, rinna, rudnin, tisna, aswin S.M dan seluruhnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Rekan-rekan mahasiswa/I Ekstensi Kimia angkatan 2010 sekaligus sahabat-sahabat yang lain yang telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesmpurnaan dalam materi dan penyajian. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak yang dapat menjadi bahan masukan bagi penulsi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Juli 2012 Penulis


(6)

ABSTRAK

Pembuatan lateks polistirena menggunakan pengemulsi natrium lauril sulfat (NLS) telah dilakukan dengan cara melarutkan styrofoam (polistirena foam) dalam toluena (30/70). Selanjutnya larutan polistirena dicampur dengan aquades, dengan variasi perbandingan larutan polistirena dan aquades (v/v) adalah 70:30, 30:70, 50:50, 90:10, dan 10:90 kemudian ditambahkan 10 ml larutan natrium lauril sulfat (NLS) dengan konsentrasi 30%, dan lateks polistirena yang stabil ditambahkan lateks pekat dengan variasi perbandingan 30:70, 70:30, 50:50, 10:90, 90:10, 20:80, 80:20, 40:60, dan 60:40.Karakterisasi lateks polistirena meliputi pengujian kestabilan selama masa penyimpanan dengan cara mengukur densitasnya dan penentuan ukuran dan bentuk partikel dengan pengamatan mikroskop optik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lateks polistirena dengan perbandingan 90:10 merupakan lateks yang paling stabil dengan nilai densitas konstan selama masa penyimpanan yaitu 0,848 g/ml untuk NLS 30%. Ukuran partikel rata-rata 1,566 m dengan distribusi ukuran partikel yang semakin besar sebanding dengan penambahan lateks pekat yaitu 8,3 m. Hasil fotografi mikroskop optik menunjukkan bahwa lateks polirtirena NLS 30% memiliki bentuk dan ukuran partikel yang lebih seragam.


(7)

ABSTRACT

Preparation of latex polystyrene with emulsifier ammonium lauril sulfate (ALS) has carried out by dissolved Styrofoam (foam polystyrene) in toluene (30/70). And then polystyrene solution mixed with aquadest, at ratio polystyrene and aquadest (v/v) were 90:10, 70:30, 50:50, 70:30, and 10:90 then added 10 ml of natrium lauril sulfate (NLS) solution at concentrations 30%. The characterizations of the latex polystyrene included the stability determination during storage by density measurement and the determination particle sizes and forms by microscopic optic observation. The results shows that latex polystyrene ratio 90:10 is the most stable with density value constant during storage, are 0,848 g/ml for 30%. The particle sizes average are 1,566m with the distribution particle sizes decrease as latex are 8,3 m. Photomicrograph microscope optic shows that latex polystyrene NLS 30% has a familiar particle forms and sizes.


(8)

DAFTAR ISI Halaman Persetujuan ii Pernyataan iii Penghargaan iv Abstrak v Abstract vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Pembatasan Masalah 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Metodologi Penelitian 4

1.7. Lokasi Penelitian 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koloid 6

2.1.1. Penggolongan Koloid 7

2.1.2. Sifat-Sifat Koloid 7

2.1.2.1. Sifat Fisika 7

2.1.2.2. Sifat Koligatif 7

2.1.2.3. Sifat Optis 8

2.1.2.4. Sifat kinetik 8

2.1.2.5. Sifat Listrik 9

2.1.3. Kestabilan Koloid 10

2.2. Emulsi 10

2.2.1. Kestabilan Emulsi 13

2.3. Surfaktan 14

2.3.1. Klasifikasi Surfaktan 13

2.4. Natrium Lauril Sulfat 14

2.5.Polistirena 15

2.5.1.Polistirena Foam 16

2.6. Karet alam 17


(9)

2.7. Tehnik Pencampuran 19

2.7.1.Teori Pencampuran 19

2.7.2.Tehnik Pencampuran 19

2.7.2.1. Pencampuran Reaksi 20

2.7.2.2.Polimerisasi 20

2.7.2.3.Pencampuran secara mekanik 20

2.8. Karakterisasi Partikel Emulsi 21

2.8.1.Ukuran Partikel 21

2.8.2.Mikroskop Optik 21

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat 24

3.2. Bahan-bahan 24

3.3. Prosedur Penelitian 25

3.3.1. Pembuatan Larutan Polistirena Pekat 25

3.3.2. Pembuatan Larutan Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30% 25

3.3.3. Pembuatan Lateks Polistirena 25

3.3.4 .Pembutan larutan campuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam 25

3.3.5. Pengujian Kestabilan Lateks Polistirena 26

3.3.6. Penentuan Ukuran dan Bentuk Partikel Lateks Polistirena 26

3.4. Skema Penelitian 27

3.4.1. Pembuatan Larutan Polistirena Pekat 27

3.4.2. Pembuatan Larutan Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30% 27

3.4.3. Pembuatan Lateks Polistirena 28

3.4.4. Pembuatan campuran Lateks PS dengan lateks pekat karet alam 29

3.5. Pengujian Kestabilan Lateks Polistirena 30

3.5.1.Penentuan Densitas 30

3.5.2. Penentuan Ukuran dan Bentuk Partikel Lateks Polistirena 30

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 32

4.2. Pembahasan 35

4.2.1. Analisa Pengujian Kestabilan Lateks Polistirena 35 4.2.2. Analisa Ukuran dan Bentuk Partikel Lateks Polistirena 39

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran 40

5.1. Kesimpulan 40


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Data Karakterisitik Natrium lauril sulfat (E,Merck,2008). 6

Tabel 4.1. Data Hasil Pengukuran Densitas Lateks Polistirena dengan Konsentrasi

Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30% pada Berbagai Waktu Penyimpanan. 32 Tabel 4.2. Data Hasil Pengukuran Densitas Campuran Lateks Polistirena dan lateks pekat dengan Konsentrasi Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30% pada Berbagai

Waktu Penyimpanan. 33

Tabel 4.3 Data Distibusi Penyebaran Ukuran Partikel Lateks Polistirena pada

Konsentrasi Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30%. 34 Tabel 4.4. Data Distibusi Penyebaran Ukuran Partikel Campuran Lateks Polistirena dan Lateks pekat pada Konsentrasi Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30% 35


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.5. Gambaran Penentuan Ukuran Partikel untuk Partikel yang Tidak

Berbentuk Bulat. 23

Gambar 4.1. Grafik antara Densitas Versus Waktu Penyimpanan Lateks Polistirena dengan Bahan Pengemulsi Natrium Lauril Sulfat 30% 36 Gambar 4.2. Grafik antara Densitas Versus Waktu Penyimpanan Campuran Lateks Polistirena dan lateks pekat karet lam dengan Bahan Pengemulsi

Natrium Lauril sulfat 30%. 37

Gambar 4.3. Grafik Distibusi Penyebaran Ukuran Partikel Lateks Polistirena dan Campuran Lateks Polistirena dan Lateks pekat karet alam pada

Konsentrasi Natrium Lauril Sulfat (NLS) 30% 39 Gambar 4.5. Foto Micrograph Mikroskop Optik Lateks Polistirena NLS 30% dengan

Perbesaran 400x. 40

Gambar 4.6. Foto Micrograph Mikroskop Optik Lateks Polistirena dan Campuran


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A. Fotografi Lateks Polistirena NLS 30%

LAMPIRAN B. Fotografi Lateks Polistirena dan Campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam

LAMPIRAN C. Penentuan Ukuran Diameter Rata – rata Partikel Lateks Polistirena LAMPIRAN D. Penentuan Ukuran Diameter Rata – rata Partikel Campuran Lateks Polistirena dengan lateks pekat karet alam

LAMPIRAN E. Nilai Densitas Larutan Polistirena Dan Aquades LAMPIRAN F. Spesifikasi Lateks Pekat Karet alam


(13)

ABSTRAK

Pembuatan lateks polistirena menggunakan pengemulsi natrium lauril sulfat (NLS) telah dilakukan dengan cara melarutkan styrofoam (polistirena foam) dalam toluena (30/70). Selanjutnya larutan polistirena dicampur dengan aquades, dengan variasi perbandingan larutan polistirena dan aquades (v/v) adalah 70:30, 30:70, 50:50, 90:10, dan 10:90 kemudian ditambahkan 10 ml larutan natrium lauril sulfat (NLS) dengan konsentrasi 30%, dan lateks polistirena yang stabil ditambahkan lateks pekat dengan variasi perbandingan 30:70, 70:30, 50:50, 10:90, 90:10, 20:80, 80:20, 40:60, dan 60:40.Karakterisasi lateks polistirena meliputi pengujian kestabilan selama masa penyimpanan dengan cara mengukur densitasnya dan penentuan ukuran dan bentuk partikel dengan pengamatan mikroskop optik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lateks polistirena dengan perbandingan 90:10 merupakan lateks yang paling stabil dengan nilai densitas konstan selama masa penyimpanan yaitu 0,848 g/ml untuk NLS 30%. Ukuran partikel rata-rata 1,566 m dengan distribusi ukuran partikel yang semakin besar sebanding dengan penambahan lateks pekat yaitu 8,3 m. Hasil fotografi mikroskop optik menunjukkan bahwa lateks polirtirena NLS 30% memiliki bentuk dan ukuran partikel yang lebih seragam.


(14)

ABSTRACT

Preparation of latex polystyrene with emulsifier ammonium lauril sulfate (ALS) has carried out by dissolved Styrofoam (foam polystyrene) in toluene (30/70). And then polystyrene solution mixed with aquadest, at ratio polystyrene and aquadest (v/v) were 90:10, 70:30, 50:50, 70:30, and 10:90 then added 10 ml of natrium lauril sulfate (NLS) solution at concentrations 30%. The characterizations of the latex polystyrene included the stability determination during storage by density measurement and the determination particle sizes and forms by microscopic optic observation. The results shows that latex polystyrene ratio 90:10 is the most stable with density value constant during storage, are 0,848 g/ml for 30%. The particle sizes average are 1,566m with the distribution particle sizes decrease as latex are 8,3 m. Photomicrograph microscope optic shows that latex polystyrene NLS 30% has a familiar particle forms and sizes.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Polistirena bekas merupakan bahan polimer sintetis yang banyak digunakan terutama yang dalam bentuk stereoform, polistirena sendiri tidak dapat dengan mudah direcycle sehingga pengolahan limbah polistirena harus dilakukan secara benar agar tidak merugikan lingkungan. Pemanfaatan bahan-bahan polistirena bekas merupakan salah satu cara untuk meminimalisir limbah polistirena tersebut. Kelebihan dari polistirena adalah ringan, keras, tahan panas, agak kaku, tidak mudah patah dan tidak beracun (Damayanthi, 2007).

Polistirena adalah polimer termoplastik yang berwujud kristal yang mempunyai banyak kelebihan. Polistirena berwujud kristal yang bening, transparan, tidak beracun, memiliki permukaan yang halus dan menghasilkan warna yang tidak terbatas. Selain sifat fisis diatas, polistirena juga mempunyai sifat mekanik, elektris dan sifat optik yang baik. Namun, polistirena ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu rapuh dan melunak di bawah suhu 1000C

Emulsi merupakan dispersi koloid dimana zat terdispersi dan medium pendispersi merupakan cairan yang tidak saling bercampur. Agar terjadi suatu sistem yang stabil maka perlu ditambahkan suatu zat pengemulsi atau emulsifier (Yazid, E., 2005). Dalam pembuatan emulsi, kesulitannya adalah pengontrol kestabilan sistem dan menghindari terjadinya destabilisasi selama proses penyimpanan, contohnya ketika kondisi lingkungan, seperti temperatur, yang sewaktu – waktu dapat berubah (Drelich,2010).

Emulsifier merupakan bahan yang digunakan untuk mengurangi tegangan permukaan antara dua fasa yang dalam keadaan normal tidak saling bercampur,


(16)

sama-sama berfungsi sebagai penstabil, emulsifier dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi karena memiliki kedua gugus ujungnya yang sangat penting (Atmaja, 2000).

Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan selalu dibutuhkan untuk mencapai emulsi yang stabil. Maka ketika sedikit sabun ditambahkan sedikit demi sedikit kedalam sistem,hasil dari pencampuran tersebut merupakan emulsi yang sebenarnya dan terpisah sangat lambat (Adamson,1990).

Bahan pengemulsi sodium lauril sulfat, telah berhasil memberikan nilai sensitivitas yang baik dalam menurunkan tegangan permukaan dari lateks pekat, dan lateks pekat keret alam dapat digunakan sebagai bahan modifikasi polimer, terutama untuk meningkatkan kekuatan bahan polimer lain. Lateks pekat yang digunakan adalah lateks pekat jenis amonia tinggi, agar lateks pekat yang digunakan stabil dalam jangka waktu yang lama (Muis.2010).

Penelitian tentang pembuatan lateks polistirena telah banyak dilakukan oleh para peneliti Xuefeng Hu dkk, (2009) telah meniliti pembuatan nano lateks polistirena dengan polimerisasi emulsi induksi UV rutin, Penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran dari rantai polimer hidroksil yang difungsionalkan dapat membantu stabilitas kolid lateks partikel kecil dan mencegah pengumpalan bahkan pada konsentrasi surfaktan yang sedikit.

Lebih lanjut penelitian tentang pembuatan lateks polistirena Xinbo Wang dan Zhicheng Zhang (2006) telah meniliti pembuatan partikel lateks polistirena dengan polimerisasi emulsi bebas emulsifier induksi sinar-γMonomer surfaktan asam 10((9) -hidroksil-9 (10)-alil oktadekanoik (HAEOA) tidak hanya berperan sebagai monomer pembantu tetapi juga stabilizer kepolimerisasi dengan stirena dengan menstabilkan partikel lateks polistirena.

Dikarenakan oleh beberapa penilitian diataslah penulis terdorong untuk melakukan studi tentang pembuatan pengaruh variasi waktu penyimpanan campuran


(17)

lateks polistirena dan lateks pekat karet alam terhadap kestabilan emulsi dengan menggunakan emulsifier natrium lauril sulfat.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana teknik pencampuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam.

2. Bagaimana pengaruh waktu penyimpanan terhadap kestabilan emulsi campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam.

3. Bagaimana pengaruh penambahan lateks pekat karet alam pada lateks polistirena terhadap kestabilan emulsi.

1.3.Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah pada :

1. Emulsifier yang digunakan adalah natrium lauril sulfat dengan konsentrasi 30% dan volume konstan untuk setiap variasi perbandingan yaitu 10 ml 2. Variasi perbandingan polistirena dan air yang digunakan adalah

10:90,30:70,50:50,70:30 dan 10:90.

3. Waktu penentuan kestabilan lateks polistirena dan campuran lateks Polistirena dengan lateks pekat karet alam yang digunakan adalah 1,3,5 dan 7 hari

1.4.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui cara preparasi lateks polistirena dari styrofoam dengan natrium lauril sulfat sebagai bahan pengemulsi.

2. Untuk mengetahui variasi perbandingan volume dan nilai densitas campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam (v/v) yang paling stabil .

3. Untuk mengetahui pengaruh penambahan lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam terhadap ukuran dan bentuk partikel.


(18)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

Memberikan gambaran cara preparasi campuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam dengan emulsifier natrium lauril sulfat.

1.6. Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium dan bahan yang digunakan adalah styrofoam yang diperoleh secara sembarang dari beberapa tempat. Dimana pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu:

1. Tahapan Preparasi larutan polistirena

Pembuatan larutan polistirena dilakukan dengan cara melarutkan styrofoam kedalam toluene sehingga diperoleh larutan polistirena yang kental.

2. Tahap pembuatan lateks polistirena

Pada tahapan ini pertama larutan polistirena kental ditambahkan aquadest dengan natrium lauril sulfat dan diaduk menggunakan mixer.

3. Tahap pembuatan pencampuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam Pada tahapan ini pertama larutan lateks polistirena dan lateks pekat karet alam dicampurkan secara bersamaan kedalam satu beaker glass.

4. Tahap Pengujian kestabilan lateks polistirena dan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam .

Pada tahap ini Pengujian kestabilan ini dilakukan dengan mengukur densitas lateks polistirena dan campuran lateks PS dengan lateks pekat karet alam selama masa penyimpanan 1,3,5 dan 7 hari.

5. Tahap Penentuan ukuran dan bentuk partikel

Pada tahap ini Penentuan ukuran dan bentuk partikel lateks polistirena dan campuran lateks PS dengan lateks pekat karet alam dilakukan dengan melihat dibawah mikroskop optik dengan menggunakan pembesaran 400 x dan dihitung rata-rata ukuran partikel.


(19)

Variabel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

- Variabel bebas : - Volume larutan polistirena 90,70,50,30,dan 10 ml - Volume aquadest 10,30,50,70 dan 90 ml

- Volume lateks pekat 10,20,30,40,50,60,70,80 dan 90 ml - Waktu penyimpanan lateks politirena dan campuran

lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam.1,3,5 dan 7 hari

- Variabel terikat : - Kestabilan emulsi, Ukuran dan bentuk partikel - Variabel tetap : - Volume masing – masing NLS 10 ml

1.7.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Polimer, Kimia Fisika, BFS (Bengkel Fotografi Sains), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koloid

Dalam larutan sejati, seperti larutan gula atau larutan garam,partikel zat terlarut mengandung ion atau molekul tunggal. Pada sisi lain ada yang disebut dengan suspensi,yang mana partikelnya mengandung lebih dari satu molekul dan cukup besar untuk dilihat oleh mata atau dibawah mikroskop .Diantara keduanya akan ditemukan suatu koloid,yang mana partikelnya mungkin mengandung lebih dari satu molekul tetapi tidak cukup besar untuk dapat dilihat dengan mikroskop biasa (Laider,1982).

Partikel – paritkel yang terletak dalam jarak ukuran koloidal mempunyai luas permukaan yang sangat besar dibanding dengan luas permukaan partikel – partikel yang lebih besar dengan volume yang sama. (Moechtar,1989) Diameter partikel dalam larutan sejati lebih kecil dari 1 mµ. Bila diameter partikel – partikel dalam larutan terletak diantara 1- 100 mµ ,sistem disebut campuran kasar atau dispersi kasar (Sukardjo,1997).

Sistem dispersi adalah sistem dimana suatu zat terbagi halus atau terdispersi dalam zat lain, koloid merupakan suatu sistem dispersi, karena terdiri dari dua fasa, yaitu fasa terdispersi (fasa yang tersebar halus) dan fasa pendispersi. Fase terdispersi umumnya memiliki jumlah yang lebih kecil atau mirip dengan zat terlarut dan fasa pendispersi jumlahnya lebih besar atau mirip pelarut dalam suatu larutan(Yazid,2005). Zat yang terdispersi tersebut berjarak ukuran antara dimensi partikel – partikel atomik dan molekular sampai partikel – partikel yang berukuran milimeter, ukurannya dapat diklasifikasikan baik yang sebagai membentuk dispersi molekular maupun dispersi koloidal. Beberapa suspensi dan emulsi dapat mengandung suatu jarak ukuran partikel sedemikian sehingga partikel – partikel nya yang kecil masuk dalam jarak koloidal,sedangkan yang besar – besar dapat diklasifikasikan sebagai partikel – partikel kasar (Moechtar,1989).


(21)

2.1.1.Penggolongan Koloid

Menurut Bird (1993),cara penggolongan koloid yang lebih umum adalah:

1. Dispersi koloid, sistem ini terjadi secara termodinamik tidak stabil karena nisbah permukaan volume yang sangat besar.

2 . Larutan koloid sejati, yang terjadi dari larutan dengan zat terlarut yang berat Molekulnya tinggi (makromolekul seperti protein ,karbohidrat, dan sebagainya) sistem ini secara termodinamik stabil.

3. Koloid asosiasi (Association colloid) (kadang-kadang dinamakan koloid elektrolit (colloid electrolyte). Sistem ini terdiri dari molekul – molekul yang berat molekulnya rendah yang beragreasi membentuk partikel berukuran koloid.Sistem ini juga stabil secara termodinamik.

2.1.2. Sifat - sifat Koloid 2.1.2.1. Sifat Fisika

Sifat fisika koloid berbeda-beda tergantung jenis koloidnya. Pada koloid hidrofob sifat-sifat seperti rapatan, tegangan permukaan dan viskositasnya hampir sama dengan medium pendispersinya. Pada koloid hidrofil karena terjadi hidrasi, sifat-sifat fisikanya sangat berbeda dengan mediumnya. Viskositasnya lebih besar dan tegangan permukaannya lebih kecil.

2.1.2.2. Sifat Koligatif

Suatu koloid dalam medium cair juga mempunyai sifat koligaif. Sifat ini hanya bergantung pada jumlah partikel koloid bukan pada jenisnya. Sifat-sifat koligatif koloid umumnya lebih rendah daripada lautan sejati dengan jumlah partikel yang sama (Yazid, 2005). Ini disebabkan karena butir-butir koloid terdiri atas beribu-ribu molekul,sedangkan pengaruh terhadap sifat koligatif hanya ditentukan oleh jumlah molekul (Sukardjo, 1997)


(22)

2.1.2.3. Sifat Optis

Walaupun secara definisi partikel koloid terlalu kecil untuk dapat dilihat oleh mikroskop biasa mereka dapat dideteksi secara optikal. Ketika cahaya dilewatkan melalui medium yang mengandung partikel yang tidak lebih besar daripada 10-9 m, berkas cahaya tersebut tidak dapat dideteksi dan medium tersebut disebut optically clear. Ketika partikel koloid hadir, bagaimanapun, sebagian cahaya akan dihamburkan, dan sebagian lagi akan diteruskan dalam intensitas yang rendah. Penghamburan ini dikenal dengan nama efek Tyndall (Laider, 1982).

Efek Tyndall dapat digunakan untuk mengamati partikel-partikel koloid dengan menggunakan mikroskop. Karena intensitas hamburan cahaya bergantung pada ukuran partikel, maka efek Tyndall juga dapat digunakan untuk memperkirakan berat molekul koloid. Partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran kecil, cendrung untuk menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang pendek. Sebaliknya partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran besar cendrung untuk menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih panjang (Bird, 1993).

2.1.2.4. Sifat kinetik

a. Gerak Brown

Partikel koloid bila diamati dibawah mikroskop ultra akan nampak sebagai bitik-bintik bercahaya yang selalu bergerak secara acak dengan jalan berliku-liku. Gerakan acak partikel koloid dalam suatu medium pendispersinya disebut gerak Brown. Terjadinya gerakan ini disebabkan oleh banyaknya tabrakan molekul-molekul medium pendispersi tidak sama (tidak setimbang) (Yazid, 2005).

b. Pengendapan (sedimentasi)

Partikel-partikel koloid mempunyai kecendrungan untuk mengendap karena pengaruh gravitasi bumi. Hal tersebut bergantung pada rapat massa partikel terhadap mediumnya. Jika rapat massa partikel lebih besar dari medium


(23)

pendispersinya, maka partikel tersebut akan mengendap. Sebaliknya bila rapat massanya lebih kecil akan mengapung.

Koagulasi endapan koloid dapat dipercepat oleh suhu tinggi dan pengadukan serta dengan penambahan elektrolit tertentu. Dengan suhu tinggi berarti akan menurunkan viskositas dan menaikkan selisih rapatan. Namun faktor-faktor ini pengaruhnya relatif kecil terhadap kecepatan pengendapan (Yazid, 2005).

c. Difusi

Partikel zat terlarut akan mendifusi dari larutan yang konsentrasinya tinggi ke daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Difusi erat kaitannya dengan gerak Brown, sehingga dapat dianggap molekul-molekul atau partikel-partikel koloid mendifusi karena adanya gerak Brown. Kecendrungan dari zat untuk berdifusi dinyatakan dengan koefisien difusi. Menurut Graham, butir-butir koloid berdifusi sangat lambat karena ukuran partikelnya relatif besar (Yazid, 2005).

2.1.2.5. Sifat Listrik

Permukaan partikel koloid mempunyai muatan listrik karena terjadinya ionisasi atau penyerapan ion-ion dalam larutan. Akibatnya partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik. (Yazid, 2005). Bila partikel koloid yang bermuatan ditempatkan pada medan listrik, maka partikel tadi akan bergerak ke arah salah satu elektroda bergantung pada muatannya. Proses ini dikenal dengan nama elektroforesis. Laju gerakan partikel (cm/det) dalam medan listrik dengan gradien potensial (volt/cm) dikenal sebagai mobilitas partikel tersebut (Bird, 1993).

2.1.3. Kestabilan Koloid

Ada dua gaya pada sistem koloid yang menentukan kestabilkan koloid tersebut.Gaya yang pertama adalah gaya tarik-menarik yang dikenaldengan nama gaya London-van der waals. Gaya ini cenderung menyebabkan partikel-partikel koloid


(24)

Gaya yang kedua adalah gaya tolak menolak yang disebabkan oleh pertumpang tindihan lapisan ganda elektrik yang bermuatan sama.Gaya ini menstabilkan dispersi koloid.

Sebenarnya ada gaya ketiga yang mempengaruhi kestabilan koloid.Gaya ini kadang – kadang dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan terkadan juga dapat meningkatkan kestabilan koloid.Gaya tersebut adalah gaya tarik menarik antara partikel koloid dengan medium pendispersinya.Biasanya gaya tarik ini cenderung untuk menstabilkan partikel koloid dan dalam beberapa hal memegang peranan penting dalam menentukan kestabilan sistem koloid secara keseluruhan.(Bird,1993).

2.2.Emulsi

Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak tercampur, biasanya air dan minyak cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini akan bergabung dan membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Dalam fase air dapat mengandung zat-zat terlarut seperti pengawet, zat pewarna, dan perasa. Air yang digunakan sebaiknya adalah air. Zat perasa dan pengawet yang berada dalam fase air yang mungkin larut dalam minyak harus dalam konsentrasi cukup untuk memenuhi yang diinginkan (Anief,M.,1999).

Pada emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu : pertama, bagian zat yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir minyak. Kedua, medium pendispersi yang dikenal sebagai fase bertahap, biasanya terdiri dari air. Bagian ketiga adalah emulgator yang berfungsi sebagai penstabil koloid untuk menjaga agar butir-butir minyak tetap terdispersi dalam air. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk zat pengemulsi diantaranya emulgator, emulsifier, stabilizer atau agen pengemulsi. Bahan ini dapat berupa sabun, detergen, protein atau elektrolit. Jenis emulsi tergantung dari zatnya dan emulgator yang dipakai misalnya emulsi minyak dalam air emulgator yang baik adalah sabun atau logam-logam alkali. Berdasarkan jenisnya emulsi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:


(25)

1. Emulsi o/w yaitu Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air, dimana pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase eksternal. Teknik inverse: fase air dimasukkan ke dalam fase minyak, awalnya terbentuk w/o, viskositas naik karena volume fase internal naik sampai titik inverse terbentuk o/w.

2. Emulsi w/o Fase air ditambahkan ke dalam fase minyak dengan pengadukan konstan, lalu dihomogenkan, digiling untuk mengecilkan ukuran partikel fase internal untuk meningkatkan stabilitas dan memperbaiki kilatnya emulsi.

(http.staff.ui.ac.id/internal/material/Emulsion).

Faktor-faktor yang menentukan apakah akan terbentuk emulsi A/M atau M/A tergantung pada dua sifat kritis:

1. Terbentuknya butir tetesan

2. Terbentuknya rintangan antarmuka.

Rasio fase volume, yaitu jumlah relatif minyak dan air, menentukan jumlah relatif butir tetesan, dan menaikkan kemungkinan terjadinya benturan, makin besar jumlah butir tetesan, makin besar kesempatan untuk benturan. Biasanya fase ekstern dalam jumlah volume yang besar. Tipe emulsi ditentukan oleh sifat-sifat emulgator, dan dapat disusun aturan sebagai berikut:

1. Bila emulgator hanya dapat larut atau lebih suka air (sabun natrium) maka akan terbentuk tipe emulsi M/A. Tetapi bila emulgator hanya dapat larut atau lebih suka minyak (sabun kalsium) akan terbentuk tipe emulsi A/M.

2. Bagian polar dari molekul emulgator umumnya lebih baik untuk melindungi koalesen daripada bagian rantai hidrokarbon. Maka itu memungkinkan membuat emulsi M/A dengan fase intern yang volumenya relatif tinggi. Sebaliknya emulsi A/M akan terbatas, dan apabila jumlah air cukup banyak akan mudah terjadi inversi.

Sebagai contoh sistem air-minyak untuk membentuk emulsi A/M dapat terjadinya baik bila jumlah air di bawah 40%, bila lebih yang stabil adalah bentuk emulsi M/A. Di samping itu untuk emulsi A/M dengan 20% dan 30% air akan terjadi bila air ditambahkan pada minyak dengan diaduk. Hal itu perlu untuk kadar air > 10%. Jangan


(26)

tersebut baik untuk tipe M/A. Tipe emulsi yang terbentuk juga dipengaruhi oleh viskositas pada tiap fase, emulsi yang stabil.

Apabila mencampurkan campuran, dua zat cair yang tak tercampurkan akan terjadi salah satu cairan terbagi menjadi butir-butir (tetesan) yang kecil dalam cairan yang lain. Apabila pencampuran berhenti, maka butir-butir cairan tersebut akan mengumpul menjadi satu, dan terjadi suatu pemisahan. Kegagalan dalam usaha mencampur dua cairan tersebut disebabkan kohesif antarmolekul dari masing-masing cairan terpisah adalah lebih besar daripada kekuatan adhesif antara dua cairan. Kekuatan kohesif ini disebabkan adanya tegangan antarmuka pada batas antara dua cairan tersebut.

Dengan mencampurkan, tegangan antarmuka dapat mudah dipecah, sehingga terjadi butir-butir tetes yang halus. Dengan mengusahakan penurunan atau pembebasan efek tegangan antar muka secara permanen, maka akan terbentuk emulsi yang stabil. Terlihat bahwa efek kekuatan ini (tegangan antarmuka) dapat dibedakan dengan tiga cara:

a. Dengan penambahan substansi yang menurunkan tegangan antarmuka antara dua cairan yang tak tercampur.

b. Dengan penambahan substansi yang menempatkan diri (menyusun) melintang di antara permukaan dari dua cairan,

c. Dengan penambahan zat yang akan membentuk lapisan film di sekeliling butir-butir fase disfers, jadi secara mekanis melindungi mereka dari penggabungan tetes-tetes (Anief,M.,1999).

2.2.1. Kestabilan emulsi

Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya krim, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik. Beberapa peneliti mendefinisikan ketidak stabilan suatu emulsi hanya dalam hal terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk. Krim yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakpastian. Tetapi suatu emulsi


(27)

mengambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam yang sempurna. Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi adalah inversi fase, yang dapat membantu atau merusak dalam teknologi emulsi. Inversi fase meliputi perubahan tipe emulsi dari o/w menjadi w/o atau sebaliknya. Begitu terjadi inversi fase setelah pembuatan, secara logis hal ini dapat dipertimbangkan sebagai suatu pertanda dari ketidak stabilan (Martin,A.,1993).

Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi. Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang globulanya tidak seragam.

Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung.

2.3. Surfaktan

Surfaktan merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofil dan liofil sekaligus, sehingga dapat menggabungkan cairan yang terdiri dari minyak dan air. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekul-molekulnya,Molekul surfaktan memiliki bagian polar suka air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka minyak (lipofilik). Biasanya bagian non polar merupakan suatu rantai alkil yang panjang, sedangkan bagian yang polar mengandung gugus hidroksil.(Rossen,1994).

Surfaktan merupakan suatu molekul yang memliki struktur kimia dimana membuatnya secara khusus dapat bertahan di antar-muka. Oleh sebab itu, mereka disebut surface active agents, atau disingkat menjadi surfaktan (Goodwin, 2004).


(28)

makanan, tekstil, plastik dan lain-lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. (Masyithah, 2010).

2.3.1.Klasifikasi Surfaktan

Surfaktan dapat dibagi dalam berbagai cara, tergantung pada kebutuhan dan tujuan dari yang memakainya. Surfaktan dapat diklasifikasikan sebagai emulsifier, bahan pembusa, bahan pebasah, pendispersi dan sejenisnya.

Klasifikasi Surfaktan yang paling umum Menurut Pratama (2008) adalah sebagai berikut:

a. Surfaktan Anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Contohnya Alkyl Benzene Sulfonate (ABS), Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LAS), Alpha Olein Sulfonate (AOS)

b. Surfaktan Kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. Contohnya garam ammonium

c. Surfaktan Nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbiton asam lemak, ester sukrosa asam lemak.

d. Surfaktan Amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino.

2.4.Natrium Lauril Sulfat

Natrium lauril sulfat berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air. Natrium laurIl sulfat merupakan surfaktan yang umum yang memiliki sifat amfifil karena rantai C12 (lipofilik) yang menempel pada gugus sulfat (hidrofilik) yang berguna sebagai wetting agent. (http//www.vinamaxorganics.com).

Natrium lauril sulfat adalah surfaktan yang sangat kuat yang umum digunakan sebagai pembersih noda, dan Sodium lauril sulfat banyak digunakan dalam


(29)

konsentrasi tinggi dalam produk – produk industri, seperti detergen karena efek pengentalannya dan kemampuannya menghasilkan busa. (http//www.chem-is-try.org)

Tabel 2.1. Data Karakterisitik Natrium lauril sulfat (E,Merck,2008).

2.5. Polistirena

Polistirena ditemukan sekitar tahun 1930, polistirena merupakan polimer tinggi yaitu molekul yang mempunyai massa molekul besar. Terdapat di alam (benda hidup, hewan/tumbuhan) atau disintesis di laboratorium. Polistirena merupakan makromolekul, yaitu molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana (monomer). Polistirena rata-rata berat molekulnya mendekati 300.000. Stirena adalah bahan kimia pembentuk polimer hidrokarbon jenuh dengan rumus kimia C6H5CH=CH. Dikenal dengan nama vinilbenzena, phenilethilena.

Menurut kirk dan Othmer (1992), stirena adalah cairan tak berwarna dengan bau aromatik yang secara tak terbatas larut dalam aseton, karbon tetraklorida, benzena, eter n-heptana dan etanol. Uap stirena mempunyai bau dengan ambang batas 50-150 ppm.

Sementara itu menurut Small Business Publications (SBP), polistirena bersifat Rumus molekul C12H25NaO4S

Berat molekul 288,37 g/mol

Titik didih 204 - 207ºC

Densitas 1,1 g/cm3

Kelarutan H2O 150 g/l

Titik nyala > 150ºC


(30)

yang encer. Larutan polistirena akan mengeras pada suhu ruangan dan contact pressurebiasa cukup untuk perekatan.

Polistirena atau polifeniletena dapat dipolimerkan dengan panas, sinar matahari atau katalis. Derajat polimerisasi polimer tergantung pada kondisi polimerisasi. Polimer yang sangat tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan suhu di atas sedikit suhu ruang. Polistirena merupakan termoplastis yang bening (kecuali jika ditambahkan pewarna/pengisi) dan dapat dilunakkan pada suhu ±100oC. Tahan terhadap asam, basa dan zat korosif lainnya. Tapi mudah larut dalam mempengaruhi kekuatan dan ketahanan polimer terhadap panas. Banyak digunakan untuk membuat lembaran, penutup dan barang pencetak. (Tim Penulis,2007).

Polistirena dampak-rendah larut dalam toluena panas sedangkan HDPE atau PP nyaris tak larut di dalamnya. Akan tetapi bila polistirena tadi mengandung sedikit butadiena terkopolimerisasi, karena adanya sel ikat silang polimer itu menjadi tidak sempurna larut dalam toluena panas. Jadi memang seringkali, walau polimernya sederhana. Polistirena yang aromatik, jadi tak serupa poliolefin, bila dibakar (terus dalam api) akan mengeluarkan banyak asap (Hartomo,J.,1995).

2.5.1. Polistirena Foam

Polistirena foam dibuat dengan cara memasukkan campuran monomer stirena dan panas atau katalis ke dalam sekitar 90 % konversi monomer. Polistirena foam (IPS, HIPS) dibuat secara komersil dengan mendisperiskan partikel kecil dari karet butadieana ke dalam monomer stirena. Lalu diikuti dengan pra-polimerisasi massa dari stirena dan polimerisasi sempurna baik dalam massa maupun suspensi berair. Selama pra-polimerisasi, stirena mulai mengalami polimerisasi dengan sendirinya, pembentukan dari tetesan-tetesan polistirena dengan fase pemisahan. Ketika volume fase yang hampir sama diperoleh, fase inversi juga diperoleh, dan tetesan polistirena menjadi fase kontinu yang mana partikel karet didispersi. Kekuatan foam meningkat bersamaan dengan ukuran partikel dan konsentasi karet, sementara kehalusan permukaan dan kekakuannya menurun.


(31)

Salah satu jenis polistirena yang cukup populer di kalangan masyarakat produsen maupun konsumen adalah polistirena foam. Polistirena foam dikenal luas dengan istilah styrofoam yang seringkali digunakan secara tidak tepat oleh publik karena sebenarnya styrofoam merupakan nama dagang yang telah dipatenkan oleh perusahaan Dow Chemical. Oleh pembuatnya Styrofoam dimaksudkan untuk digunakan sebagai insulator pada bahan konstruksi bangunan (Badan POM, 2008).

2.6. Karet alam

Lateks karet alam diperoleh dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari kawasan tropical Amazon, Amerika selatan. Lateks karet alam adalah cairan getah yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Cairan ini belum mengalami penggumpalan entah itu dengan tambahan atau tanpa bahan penstabil. Lateks karet alam yang berasal dari Hevea Brasiliensis ini adalah cairan seperti susu yang diperoleh dari proses penorehan batang pohon karet. Cairan ini terdiri dari 30-40% partikel hidrokarbon yang terkandung di dalam serum dan juga mengandung protein, karbohidrat dan komposisi-komposisi organik serta bukan organik (J.Sugito,1999).

Lateks karet alam mengandung karet dan partikel bukan karet yang terdapat dalam serum. Agar lateks karet alam tetap dalam bentuk emulsi untuk pembuatan produk jadi, maka ditambahkan bahan pengemulsi asam lemak berantai panjang. Kandungan karet dalam lateks segar biasanya ditingkatkan menjadi 60% kandungan karet kering melalui proses pemekatan sebelum digunakan untuk membuat produk. Faktor-faktor seperti jenis pohon karet, cara menoreh, keadaan tanah dan juga cuaca mempengaruhi kandungan karet kering dalam pohon yang ditoreh.

Ada beberapa macam karet alam yang dikenal, diantaranya merupakan bahan olahan ada yang setengah jadi atau sudah jadi. Ada juga karet yang diolah kembali berdasarkan karet yang sudah jadi dan Jenis-jenis karet alam yang dikenal luas adalah, bahan olahan karet (Lateks kebun, sheet angin, slab tipis dan lump segar), karet konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes dan pale crepes), lateks pekat, karet


(32)

2.6.1. Lateks Pekat

Lateks kebun (lateks segar) adalah getah yang baru disadap dengan kandungan karet kering sekitar 30%. Lateks kebun ini umumnya sangat encer, jadi perlu dipekatkan lebih dulu hingga kadar karet kering sekitar 60%. Lateks yang telah mengalami kepekatan disebut dengan lateks pekat.

Menurut ( Muis,Y.2010) adapun persyaratan lateks pekat adalah sebagai berikut: - Dapat disaring dengan saringan 40 mesh

- Tidak terdapat kotoran atau benda-benda lain seperti daun atau kayu - Tidak bercampur dengan bubur lateks, air atau serum lateks

- Berwarna putih dan berbau karet segar

- Mempunyai kadar karet kering berkisar 60-62%

Lateks pekat umumnya bersifat tidak stabil atau cepat mengalami penggumpalan. Lateks dikatakan stabil apabila sistem koloidnya stabil yang tidak terjadi flokuasi atau penggumpalan selama penyimpanan.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks adalah :

1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air (serum)

2. Adanya interaksi antara partikel-partikel itu sendiri Di samping kedua faktor di atas, ada tiga faktor lain yang dapat menyebabkan

sistem koloid partikel-partikel karet tetap stabil (Darusamin, A. 1985), yaitu : 1. Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi gaya tolak menolak antara dua atau lebih partikel karet tersebut.

2. Adanya interaksi antara molekul air dengan partikel karet yang menghalangi terjadi penggabungan partikel-partikel karet tersebut.

3. Energi bebas antara permukaan yang rendah Ketidakstabilan lateks terjadi

disebabkan karena rusaknya lapisan pelindung karet yang terdispersi dalam serum lateks. Rusaknya sistem kestabilan lateks dapat terjadi dengan sengaja atau tidak sengaja.

Lateks pekat yang dijual dipasaran dibuat melalui proses pendadihan (creamed latex) atau pemusingan (sentrifuged latex), pada masa sekarang ini creamaed lateks tidak banyak dibuat. Kebanyakan tempat pengolahan lateks lebih suka membuat lateks


(33)

pekat dengan cara pemusingan. Akibatnya lateks pekat yang diperdagangkan lebih banyak dari jenis lateks pusingan.

Adapun produk yang dibuat dari lateks karet alam yang banyak digunakan dan dimanfaatkan masyarakat (Setiawan,2005). Produk lateks pekat karet alam yang digunakan untuk menghasilkan produk – produk seperti sarung tangan, benang karet, alat – alat medis yang bermutu tinggi dan alat-alat keperluan masyarakat.

(Moctil, M, 2005)

2.7. Pencampuran

2.7..1. Teori Pencampuran

Dalam rekaya industri , pencampuran adalah operasi unit yang melibatakan sistem fisik heterogen , dengan maksud untuk membuatnya lebih homogen . Suatu campuran adalah sebuah zat yang dibuat dengan menggabungkan dua zat atau lebih yang brebeda tanpa reaksi kimia yang terjadi ( objek tidak menempel satu sama lain).

Menurut Paul (2004), pencampuran adalah mengurangi ketidak – homogenan bahan untuk menghasilkan produk sesuai yang diinginkan. Ketidak – homogenan bisa berupa konsentarsi , fasa, atau temperatur dan juga memiliki efek juga terhadap aliran massa, reaksi dan sifat produk. Tujuan pencampuran adalah untuk melapisi partikel dengan pengikat, dan untuk mencapai distribusi pengikat yang seragam juga partikel seluruh bahan baku, pencampuran ini dimaksudkan untuk membuat sifat bahan campuran yang seragam dan juga menjaga batas keseragaman yang diinginkan pada keadaan yang optimal sejak proses pencampuran. Tingkat keseragaman diperoleh berdasarkan siafat alamai (dasar ) dari setiap komponen campuran dan tehnik pencampurannya serta pengaruh kondisi.

2.7.2 Tehnik Pencampuran


(34)

campuran dan tehnik campurannya. Adapun tehnik pencampuran dapat diuraikan sebagai berikut.

2.7.2.1 Pencampuran reaksi

Metode pencampuran reaksi merupakan metode yang begitu inovatif . Penggunaan metode ini memudahkan dalam penyamarataan sifat dan karakteristik bila material baru yang memiliki ketidaksesuain yang tinggi . Proses ini sering kali melibatkan penambahan bahan reaktif ketiga, seperti bahan multifungsional. Peningkatan kemampuan campuran reaktif untuk memperlihatkan efek emulsi rantai plastik atau bahan co-polimer tambahan yang terbentuk selama proses pencampuran. Campuran yang lebih sempurna dengan tingkat produktif yang tinggi dapat diperoleh dengan metode ini, tetapi harus melalui pengendalian proses produksi yang lebih intensif.

2.7.2.2 Polimerisasi

Metode polimerisasi digunakan untuk mempersiapkan campuran bahan, terutama pada polimerisasi emulsi. Bahan-bahan dibutuhkan dalam bentuk lateks atau emulsi. Proses pencampuran bahan lateks yang ukurannya sangat kecil, akan berkurang dalam skala satu mikron atau lebih, saat pemisahan yang sempurna oleh air. Tidak ada pengaruh panas, tegangan dan bahan pengikat, jika lateks diuapkan atau dibekukan. Campuran bahan yang padat biasanya dapat diperoleh dengan proses pemisahan antara kedua komponen.

2.7.2.3 Pencampuran secara mekanik

Pencampuran antara dua buah atau lebih bahan seperti plastik pada titik cairnya merupakan praktek secara langsung proses mekanik ( mesin) secara langsung, dimana komposisi campuran sudah ditemukan dan ditentukan dengan jelas. Untuk alasan ekonomi, pencampuran secara mekanik lebih mendominasi. Ukuran partikel pada fase pemisahan sangat perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan kinerja campuran. Biasanya pencampuran mekanik hanya memproduksi campuran kasar.


(35)

Sifat campuran dipengaruhi oleh kecepatan dan suhu pencampuran. Keseragaman campuran hanya dapat dicapai setelah tahap proses pencairan. Contoh mesin yang digunakan pada pencampuran mekanik adalah two rool mill dan internal mixer (Tarigan.W, 2011).

2.8 Karakterisasi Partikel Emulsi 2.8.1.Ukuran Partikel

Setiap kumpulan partikel biasanya disebut polidispersi. Karenanya perlu untuk mengetahui tidak hanya ukuran dari suatu partikel tertentu, tapi juga berapa banyak partikel-partikel dengan ukuran yang sama ada dalam sampel. Jadi kita perlu sutau perkiraan kisaran ukuran tertentu yang ada dan banyaknya atau berat fraksi dari tiap-tiap ukuran partikel, dari sini kita bisa menghitung ukuran partikel rata-rata untuk sampel tersebut (Martin,1990).

Nilai diameter rata-rata, n, dihitung dengan cara yang sama seperti menghitung berat molekul rata-rata polimer yaitu:

(2.2)

dimana ni adalah jumlah dan fi adalah fraksi partikel yang ditemukan di rentang ukuran Di. Kelompokkan ukuran yang sama untuk membentuk suatu histogram. Secara prakteknya, tentu saja, pengelompokan ini sangat baik bersamaan dengan berbagai jenis resolusi dari peralatan. Standar deviasi, s, dan koefisien variasi, cv, dapat dituliskan:

; (2.3)


(36)

2.8.2. Mikroskop Optik

Mikroskop optik merupakan peralatan yang sangat berguna di laboratorium koloid. Dengan optik modern, kita dapat melihat banyak rentang ukuran koloid. Walaupun masih terbatas pada batas terbesar dari rentangan untuk data ukuran. Dengan partikel dispersi di dalam larutan, kita dapat melihat dengan segara apakah paritkel terdispersi ke dalam larutan, terkoagulasi atau sedikit terflokulsi.

Gerak Brown dari partikel yang terdispersi menimbulkan sedikit masalah dengan resolusi jika ukuran yang akurat dibutuhkan. Pengeringan sampel mungkin dapat mengatasi masalah ini tetapi kebanyakan pengukuran partikel dalam keadaan basah sangat dibutuhkan. Sistem perekam fotografi yang baik selalu dibutuhkan untuk mengoptimasi metode ini, baik itu dalam keadaan trasmisi normal, daerah gelap atau flouroesense.

Gambar 2.5. Gambaran Penentuan Ukuran Partikel Untuk Partikel yang Tidak Berbentuk Bulat, dalam hal ini, Piringan.

Pada gambar 2.5. dapat kita lihat berbagai macam metode penentuan diameter suatu partikel yang berbentuk piringan. Pada gambar (a) merupakan gambar tiga dimensi, gambar tersebut masih menunjukkan topotgrafi permukaan; (b) Gambar proyeksi, yang mana sudah kehilangan topografi permukaannya; pada gambar (c) Penentuan diameternya menggunakan panjang yang membagi patikel – diameter Martin, dM; Gambar (d) menggunakan garis tegak lurus antara garis singgung sisi yang berlawanan – diameter Feret, dF; (e) Diameter lingkaran yang sesuai dengan proyeksi area, da; (f) Diameter lingkaran yang sesuai dengan area permukaan, ds; (g) Diameter lingkaran yang sama dengan volume, dv.


(37)

Ketika suatu gambaran telah diperoleh gambar tersebut dapat langsung dianalisa secara manual, atau biasanya dengan komputerisasi sistem analisa gambar. Jika partikel berbentuk bulat, penentuannya dapat langsung dilakukan, diameternya langsung ditentukan. Tetapi untuk partikel yang tidak berbentuk bulat tidak dapat langsung ditentukan, seperti pada gambar 2.5. Pada gambar tersebut, partkel digambarkan dalam bentuk piringan yang mana sama dengan partikel tanah liat kaolin. Kristal tanah liat tersebut memiliki topografi permukaan yang detail yang mana hilang ketika dalam gambar proyeksi (Goodwin, 2004).


(38)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini

Alat - alat Spesifikasi Merek

Gelas beaker Gelas ukur

Neraca Analitis Presisi ±0,0001g Mettler toledo

Piknometer 5 ml Pyrex

Labu takar 100 ml

Mixer Spatula Pipet tetes

Pipet volume 10 ml

Mikroskop optik Perbesaran 400x Olympus

Bola karet penghisap

3.2 Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini

Bahan-bahan Spesifikasi Merek

Aquadest

Polistirena foam -

-Lateks pekat kaaret alam - Lampiran E

Toluena p.a E. Merck


(39)

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Pembuatan larutan polistirena pekat

Sebanyak 70 ml toluena dimasukkan ke dalam gelas beaker. Kemudian ditambahkan 30 g polistirena foam sedikit demi sedikit. Lalu diaduk hingga semua polistirena foam larut. Larutan yang terbentuk diukur densitasnya.

3.3.2. Pembuatan larutan Natrium Lauril Sulfat 30%

Ditimbang sebanyak 30,3 g Natrium Lauril Sulfat, dimasukkan kedalam gelas beaker. Ditambahkan 50 ml aquadest, diaduk dan dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan diencerkan hingga garis batas.

3.3.3. Pembuatan lateks polistirena

Sebanyak 90 ml larutan polistirena dimasukkan ke dalam gelas beaker. Ditambahkan 10 ml aquades, kemudian ditambahkan 10 ml larutan natrium lauril sulfat 30 % setetes demi setetes secara perlahan-lahan sambil diaduk hingga homogen. Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk larutan polistirena dan aquades dengan perbandingan 70:30, 50:50, 30:70,90:10 dan 10:90. Hasil yang diperoleh diuji kestabilannya dan diamati bentuk dan ukuran partikelnya yang stabil.

3.3.4. Pembuatan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam

Sebanyak 50 ml larutan lateks polistirena dimasukkan secara bersama ke dalam gelas beaker. Ditambahkan 50 ml lateks pekat karet alam. Kemudian diaduk dengan menggunakan mixer. Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk larutan polistirena dan lateks pekat karet alam dengan perbandingan 70:30, 80:20, 20:80, 60:40, 40:60 30:70, 90:10 dan 10:90. Hasil yang diperoleh diuji kestabilannya dan diamati bentuk dan ukuran partikelnya yang stabil.


(40)

3.3.5. Pengujian kestabilan lateks polistirena

Pengujian ini dilakukan pada semua lateks polistirena dan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam yang terbentuk selama masa penyimpanan 1, 3, 5, dan 7 hari. Disiapkan piknometer 5 ml, ditimbang massa piknometer kosong. Dimasukkan lateks polistirena ke dalam piknometer. Kemudian ditimbang massanya dengan menggunakan neraca analitis, penimbangan dilakukan sebanyak tiga kali dan dihitung nilai densitasnya.

3.3.6. Penentuan ukuran dan bentuk partikel.

Analisis ini dilakukan pada sampel lateks polistirena dan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat yang paling stabil. Satu tetes lateks polistirena diletakkan di atas kaca preparat. Dihidupkan mikroskop optik, diletakkan kaca preparat tersebut bawah lensa mikroskop. Diamati lateks polistirena di bawah mikroskop optik dengan perbesaran 400x. Dihitung distribusi ukuran partikelnya kemudian dihitung ukuran rata-rata partikelnya.


(41)

3.4. Skema Penelitian

3.4.1.Pembuatan Larutan polistirena pekat

Dimasukkan kedalam beaker glass Ditambahkan 70 ml toluena secara perlahan – lahan

Diaduk sampai semua polistirena Larut

Didiamkan 1,3,5 dan 7 hari

Dihitung nilai densitas

3.4.2.Pembuatan Larutan Natrium lauril sulfat 30 %

dimasukkan kedalam gelas beaker ditambahkan 50 ml aquadest

dimasukkan kedalam labu takar 100 nl diencerkan hingga garis batas

dihomogenkan Polistirena Foam

Larutan polistirena- Pekat

Nilai Densitas

30,3 g Natrium lauril sulfat


(42)

3.4.3. Pembuatan Lateks polistirena

Dimasukkan kedalam beaker glass Ditambahkan 10 ml aquadest

Ditambahkan 10 ml Natrium lauril sulfat dengan konsentrasi 30% secara lahan sambil diaduk

Didiamkan 1,3,5 dan 7 hari

Catt. Dilakukan prosedur yang sama :

1. Perbandingan lateks polistirena dan aquadest yaitu : 70:30, 50:50, 30:70 ,90:10 dan 10: 90 untuk memperoeh emulsi yang stabil.

2. Untuk semua perbandingan lateks polistirena dengan waktu penyimpanan 1,3,5 dan 7 hari

Campuran

Polistirena pekat dan aquadest

Lateks polistirena 90 ml Larutan polistirena pekat

Uji kestabilan Penentuan ukuran dan


(43)

3.4.4. Pembuatan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam

Dimasukkan kedalam beaker glass Ditambahkan 50 ml lateks pekat

Diaduk dengan menggunakan mixer Didiamkan 1,3,5 dan 7 hari

Catt. Dilakukan prosedur yang sama :

1. Perbandingan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam yaitu : 70:30, 30:70,,40:60,60:40, 20:80,80:20,10:90 dan 90:10 untuk memperoeh

emulsi yang stabil.

2. Untuk semua perbandingan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam waktu penyimpanan 1,3,5 dan 7 hari

Campuran

Lateks Polistirena dengan Lateks pekat karet alam

Campuran

Lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam 50 ml Larutan Lateks

polistirena

Uji kestabilan Penentuan ukuran dan bentuk partikel


(44)

3.5. Pengujian kestabilan Lateks Polistirena 3.5.1. Penentuan densitas

dimasukkan sebanyak 5 ml kedalam piknometer

ditimbang dengan neraca analitis sebanyak tiga kali

dihitung densitasnya

Catt. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua perbandingan lateks polistirena.dan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam dengan waktu penyimpanan 1,3,5 dan 7 hari.

3.6. Penentuan Ukuran dan bentuk partikel.

Diletakkan satu tetes diatas kaca preparat Diamati di bawah mikroskop optik dengan perbesaran 400x.

Dihitung distribusi ukuran partikelnya. Dihitung diameter rata-rata partikelnya.

Catt. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua perbandingan lateks polistirena.dan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam.

Emulsi lateks polistirena

Nilai densitas

Lateks Polistirena


(45)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Lateks polistirena diperoleh dari campuran antara larutan polistirena dengan aquades, diikuti dengan penambahan bahan pengemulsi yaitu NLS. Pencampuran dilakukan pada berbagai variasi perbandingan larutan polistirena dan aquades yaitu 30:70; 70:30; 50:50; 90:10 dan 10:90. Masing-masing perbandingan ditambahkan bahan pengemulsi dengan konsentrasi 30%. Dari hasil pencampuran tersebut diperoleh bahwa lateks polistirena terbentuk pada perbandingan 90:10; 70:30; 50:50 dan 30:70 pada semua konsentrasi larutan bahan pengemulsi seperti yang terlihat pada gambar di Lampiran A, B dan C.

Selanjutnya Lateks Polistirena yang terbentuk dilakukan pengujian kestabilan dengan cara mengukur densitasnya selama masa penyimpanan 1, 3 ,5, dan 7 hari. Data hasil penentuan densitas lateks polistirena yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.1,dan Tabel 4.2 berikut ini.

Tabel 4.1. Data Hasil Pengukuran Densitas Lateks Polistirena dengan Konsentrasi NLS 30% pada Berbagai Waktu Penyimpanan.

Konsentrasi bahan pengemulsi

(% v/v)

Larutan polistirena (ml) : Aquades (ml)

Densitas (g/ml) waktu penyimpanan (hari)

1 3 5 7

30 %

90 : 10 0,848 0,848 0,848 0,848

70 : 30 0,934 0,976 0,986 0,986

50 : 50 1,056 1,056 1,064 1,13


(46)

Tabel 4.2. Data hasil pengukuran densitas campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam dengan Konsentrasi NLS 30% pada Berbagai Waktu Penyimpanan.

Konsentrasi bahan pengemulsi

(% v/v)

Larutan polistirena (ml) : Lateks pekat karet

alam (ml)

Densitas (g/ml) waktu penyimpanan (hari)

1 3 5 7

30 %

90 : 10 0,812 1,006 1,010 1,010

10 : 90 0,984 0,984 0,998 1,022

30 : 70 0,982 1,004 0,998 1,012

70 : 30 1,018 1,018 1,022 1,028

50 : 50 0,998 0,998 0,998 0,998

40 : 60 0,996 1,002 1,004 1,008

60 : 40 1,006 1,010 1,018 1,022

20 : 80 0,983 0,983 1,016 1,022

80 : 20 0,808 0.993 1,010 1,010

Lateks polistirena yang paling stabil diperoleh pada perbandingan 90:10 pada konsentrasi NLS 30%. Selanjutnya pada lateks polistirena yang paling stabil tersebut ditambahkanm lateks pekat karet alam dengan perbandingan 30:70, 70:30, 40:60, 60:40,50:50,20:80 dan 80:20,dan diperoleh yang paling stabil pada perbandingan 50:50 dilakukan uji pengamatan ukuran dan bentuk partikel dengan cara mengamati dibawah mikroskop optik dengan perbesaran 400x. Dari hasil pengamatan diperoleh data distribusi ukuran partikel lateks polistirena dan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam pada konsentrasi NLS 30% seperti yang terlihat pada Tabel 4,3 dan Tabel 4.4.


(47)

Tabel 4.3. Data Distibusi Penyebaran Ukuran Partikel Lateks Polistirena pada Konsentrasi NLS 30%.

Ukuran Partikel Lateks Polistirena (m)

Frekuensi Distribusi Partikel Lateks Polistirena (%)

NLS 30%

1 75

2 11,1

3 4,9

4 3,4

5 2,3

6 1,5

7 0,6

8 0,1


(48)

Tabel 4.4. Data Distibusi Penyebaran Ukuran Partikel Campuran Lateks Polistirena dengan Lateks pekat karet alam pada Konsentrasi NLS 30%

Ukuran Partikel CampuranLateks Polistirena dengan lateks

pekat karet alam (m)

Frekuensi Distribusi Campuran Partikel Lateks Polistirena dengan

lateks pekat karet alam (%)

NLS 30%

1

-2

-3

-4 10

5 10

6 10

7 10

8 10

9 10

10 20

12 20

4.2. Pembahasan

4.2.1. Analisis Kestabilan Lateks Polistirena.

Pengujian kestabilan ini berdasarkan hubungan antara densitas fase terdispersi, densitas fase pendispersi, densitas emulsi dan volume fraksi yang menentukan konsentrasi partikel minyak (Weiss, 2002).


(49)

Dari data pengukuran densitas pada Tabel 4.1, dan Tabel 4.2 diperoleh gambaran kestabilan Lateks polistrena dan campuran lateks Polistirena dengan lateks pekat karet alam selama masa penyimpanan seperti yang terlihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 4.1. Grafik antara Densitas Versus Waktu Penyimpanan Lateks Polistirena dengan Bahan Pengemulsi NLS 30%.

Pada gambar 4.1 terlihat bahwa nilai densitas lateks polistirena pada perbandingan 90 : 10 tidak mengalami perubahan yaitu 0,848 g/ml selama masa penyimpanan . Hal ini menunjukkan bahwa lateks polistirena dengan NLS 30% pada perbandingan 90 : 10 stabil selama masa penyimpanan dengan nilai densitas 0,848 g/ml.

Sedangkan untuk lateks polistirena dengan perbandingan 70 : 30 nilai densitasnya mengalami perubahan pada penyimpanan hari ketiga, dengan kenaikan nilai densitas yang sangat signifikan yaitu dari 0,934 g/ml menjadi 0,976 g/ml dan kemudian stabil pada hari kelima dan ketujuh dengan nilai densitas 0,986 g/ml. Hal ini memperlihatkan bahwa lateks polistirena pada perbandingan 70 : 30 hanya mampu stabil selama dua hari, yang kemudian mengalami proses pemisahan fase.


(50)

Lain halnya dengan lateks polistirena perbandingan 50 : 50 dan 30 : 70. Lateks polistirena pada perbandingan 50:50 hanya stabil selama dua hari dan telah mengalami pemisahan fase pada hari penyimpanan hari kelima dan ketujuh. Seperti yang telihat pada Gambar 4.1, lateks polistirena dengan perbandingan 50 : 50 mengalami kenaikan nilai densitas dari 1,056 g/ml menjadi 1,064 g/ml. Dan untuk lateks polistirena perbandingan 30 : 70 hanya stabil pada hari pertama dan terus mengalami kenaikan sekitar 0,008 g/ml pada setiap penyimpanan.

Gambar 4.2. Grafik antara densitas terhadap waktu penyimpanan campuran Lateks Polistirena dengan lateks pekat karet alam dengan Bahan Pengemulsi NLS 30%.

Sedangkan pada campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam yang stabil adalah pada perbandingan 50:50. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.2, dari gambar tersebut terlihat bahwa campuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam dengan perbandingan 50 : 50 tidak mengalami perubahan nilai densitas selama masa penyimpanan, dengan nilai densitas yang konstan yaitu 0,998 g/ml.Dari grafik 4.2 menunjukkan bahwa campuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam NLS 30% pada perbandingan 50 : 50 stabil selama masa penyimpanan. Hal ini diakibatkan


(51)

peningkatan derajat rangkai silang dari kedua komponen sehingga menghasilkan fasa yang lebih homogen dan sifat sinergetik kedua campuran meningkat (Thamrin, 2003).

Untuk campuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam perbandingan 10 : 90 nilai densitasnya mengalami kenaikan yang sangat signifikan pada hari penyimpanan kelima. Pada hari penyimpanan kelima nilai densitasnya menjadi 0,998 g/ml dimana pada hari penyimpanan pertama dan ketiga nilai densitasnya adalah 0,984 g/ml. Dari grafik pada Gambar 4.2 tersebut terlihat bahwa kenaikan densitas campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam perbandingan 10 : 90 pada hari penyimpanan ketiga adalah sekitar 0,014 g/ml. Sama halnya seperti perbandingan 70:30, pada perbandingan 70 : 30 juga hanya stabil selama dua kali masa penyimpanan.

Untuk perbandingan 30 : 70 dan perbandingan 90 : 10 . Pada kedua perbandingan ini lateks polistirena telah mengalami pemisah fase pada hari penyimpanan ketiga. Hal ini terlihat dari naiknya nilai densitas campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam pada hari penyimpanan kedua yaitu dari 0,982 g/ml menjadi 1,004 g/ml untuk perbandingan 30 : 70 dan pada perbandingan 90 : 10 kenaikannya dari 0,812 g/ml menjadi 1,006 g/ml. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya keteraturan molekul dalam campuran dengan meningkatnya kandungan PS, dominasi PS yang bersifat linear sehingga penyusun molekul dalam campuran yang dihasilkan menjadi teratur dan berat jenis campuran meningkat. (Kemala.T,2010).

Dari grafik pada Gambar 4.2 terlihat bahwa densitas campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam pada perbandingan 40:60 dan 60:40 mengalami pemisahan fase selama masa penyimpanan hari ketiga dan terus menunjukkan peningkatan nilai densitas sampai penyimpanan hari ketujuh yaitu 1,008 g/ml untuk perbandingan 40:60 dan 1,022 g/ml untuk perbandingan 60:40. Hal ini menunjukkan bahwa pada perbandingan 40:60 dan perbandingan 60:40 tersebut mengalami pemishan fase selama masa penyimpanan.


(52)

Sedangkan untuk perbandingan 20:80 nilai densitasnya mengalami kenaikan yang sangat signifikan pada hari penyimpanan kelima, yaitu dari 0,983 g/ml menjadi 1,016 g/ml . Hal ini memperlihatkan bahwa lateks polistirena pada perbandingan tersebut hanya stabil selama empat hari masa penyimpanan yang kemudian pada hari kelimanya mengalami proses pemisahan fase.

Begitu pula yang terjadi pada lateks polistirena dengan perbandingan 80:20. Lateks pada perbandingan ini mengalami pemisahan fase pada hari ketiga masa penyimpanan. Hal ini terlihat pada gambar 4.2, campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam perbandingan 80:20 mengalami kenaikan nilai densitas dari 0,993 g/ml menjadi 1,010 g/ml pada perbandingan ini mengalami kenaikan nilai densitas sekitar 0,017 pada campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam.Semua itu menunjukkan bahwa campuran lateks polistirena dan lateks pekat karet alam perbandingan 50 : 50 memiliki tingkat kestabilan yang paling baik yang terlihat dari nilai densitas yang tidak mengalami perubahan selama masa pernyimpanan.

Hal ini menunjukan bahwa campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam perbandingan 50 : 50 selama masa penyimpanan tidak mengalami proses pemisahan fase.

4.2.2. Analisa Ukuran dan Bentuk Partikel Lateks .

Analisa distribusi ukuran partikel lateks polistirena dilakukan dengan metode manual, yaitu dengan cara menghitung jumlah partikel lateks polistirena yang tampak pada hasil fotografi pengamatan partikel lateks polistirena dengan menggunakan mikroskop optik.


(53)

Dari data distibusi ukuran partikel pada tabel 4.4. diperoleh grafik sebaran distibusi ukuran partikel lateks seperti yang terlihat pada gambar berikut:

Gambar 4.3. Grafik Distribusi Ukuran Partikel Lateks Polistirena dan campuran lateks PS dengan lateks pekat karet alam.

Dari grafik pada gambar diatas dapat diperoleh bahwa nilai rata-rata diameter ( ) partikel lateks polistirena adalah 1,566 m, sedangkan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam adalah 8,3 m. Hal ini memperlihatkan bahwa tambahan campuran lateks pekat karet alam pada Lateks polistirena membuat ukuran partikel lateks polistirena yang terbentuk semangkin besar. Dikarenakan proses campuran polimerisasi emulsi yang cepat sehingga memungkinkan pada satu misel terkandung rantai polimer dalam jumlah yang banyak yang dapat menyebabkan misel tersebut pecah, misel yang pecah dapat menimbulkan grit, karena tidak ada misel yang menahan, ukuran partikel polimer yang dihasilkan menjadi besar (Budianto,E,2008).


(54)

Gambar 4.4. Foto Micrograph Mikroskop Optik Lateks Polistirena dengan Perbesaran 400x

Pada gambar 4.4. Dapat kita lihat berbagai macam jenis ukuran partikel. Pada gambar (a) merupakan partikel ukuran 29 µm; (b) ukuran partikel 1 µm; (c) Ukuran partikel 2 µm; (d) Ukuran partikel 3 µm; (e) Ukuran partikel 4 µm; (f) Ukuran partikel 5 µm; (g) Ukuran partikel 6 µm; (h) Ukuran partikel 7 µm; (i) Ukuran 8 µm; dan (j) ukuran 9 µm.


(55)

Gambar 4.5. Foto Micrograph Mikroskop Optik campuran Lateks Polistirena dan lateks pekat karet alam dengan Perbesaran 400x

Pada gambar 4.5. Dapat kita lihat berbagai macam jenis ukuran partikel. Pada gambar (a) Ukuran partikel 4 µm; (b) Ukuran partikel 5 µm; (c) Ukuran partikel 6 µm; (d) Ukuran partikel 7 µm; (e) Ukuran partikel 8 µm; (f) Ukuran partikel 9 µm; (g) Ukuran partikel 10 µm; dan (h) Ukuran partikel 12 µm.

Dari hasil fotografi partikel polistirena dengan menggunakan mikroskop optik seperti yang telihat di Gambar 4.4, dan Gambar 4.5. secara visual terlihat bahwa lateks polistirena pada gambar 4.4 memiliki ukuran dan bentuk partikel yang lebih seragam dibandingkan campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam. Menurut (Goodwin,2004) Bentuk ukuran partikel emulsi masih dalam skala ukuran partikel emulsi secara umum yaitu 1- 10 m. Karena tegangan permukaan merupakan parameter penting dalam mengontrol ukuran partikel emulsi. Jika tegangan permukaan diturunkan ke level yang sangat rendah, ukuran partikel dapat berkurang lebih jauh lagi.


(56)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari data penelitan yang diperoleh, disimpulkan sebagai berikut:

1. Lateks polistirena dapat dibuat dengan memanfaatkan polistirena foam bekas yang dilarutkan ke dalam toluena dengan fase pendispersi air dan Natrium lauril sulfat sebagai bahan pengemulsi.

2. Kestabilan yang paling baik ( campuran yang sinergis) campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam (v/v) adalah 50 : 50, dimana nilai densitas selama masa penyimpanan 0,998g/ml, dengan variasi waktu penyimpanan 1, 3, 5 dan 7 hari.

3. Adanya tambahan lateks pekat karet alam pada lateks polistirena menaikkan ukuran rata-rata partikel lateks polistirena, yaitu 1,566m menjadi 8,3m setelah ditambahkan campuran lateks pekat karet alam pada lateks polistirena.

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang telah diperoleh disarankan supaya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jenis surfaktan yang lain dan menggunakan lateks segar karet alam sebagai bahan campuran.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Adamson, A. W.1990. Physical Chemistry of Surfaces. Fifth Edition Jhon Willey and Sons Inc. New York

Atmadja. 2000. Studi Pemurnian dan karakterisasi emulsifaier Campuran mono dan Diasilgliserol yang Diproduksi dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit dengan Teknik Esterifikasi Enzimatis Menggunakan Lipase Rhizomucor miehe. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Anief,M., 1999, Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Kemasan Polistirena Foam (styrofoam). Vol 9. No 5. ISSN 1829-9334. Jakarta.

Bird, T. 1993.Kimia Fisik Untuk Universitas. Cetakan Kedua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Damayanthi, R.,2007. Proses Pembuatan Bahan Bakar Cair dengan Memanfaatkan Limbah Ban Bekas Menggunakan Katalis Zeolit Y dan ZSM-5. Semarang : Universitas Diponegoro.

Drelich. A., Gomez, F., dan Clausse, D. 2010. Evolution of water-in-oil emulsions stabilized with solid particles influence of add emulsifier. Journal of Colloids and surface A: Physicochemical and Engineering Aspect, 365 (2010) 171-177.

Budianto. E., Mardatullah. N., dan Tresye. 2008. Pengaruh Teknik Polimerisasi Emulsi Terhadap Ukuran partikel kopoli (stirena/ Butil akrilat/ Metil Metakrilat).Jurnal Kimia Makara Sains, volume12 april (2008) hal: 15-22

Goodwin, J. W. 2004. Colloids and Interfaces with Surfactants and Polymers – An Introduction. Jhon Willey and Sons Inc. England

Hu, X., Zhang, J., Yang. W. 2009. Preparation of Transparent Polystyrene Nano-Latexes by an UV-Induced Routine Emulsion Polymerization, Polymer 50 (2009) 141-147.

Hartomo,J,A., (1995), Penuntun Analisis Polimer Aktual, Penerbit Andi, Yogyakarta http://chem-is-try.org.Diakses pada 01 Oktober 2011

http://staff.ui.ac.id/inetrnal/130674809/material/Emulsion processing. Diakses pada 05 Oktober 2011

http://vinamaxorganic.comDiakses pada 05 Oktober 2011

Kemala, T., Fahmi, S., dan Achmadi, S.S. 2010. Pembuatan Dan Pencirian Polipaduan Polistirena –Pati. Jurnal Sains Materi Indonesia, vol 12 hal: 30-35


(58)

Laider, K. J. 1982. Physical Chemistry. The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc. California

Martin, A. N. 1998. Farmasi Fisik. Edisi ketiga. Jilid 2. UI-Press.fd. Jakarta

Moechtar, 1989.Farmasi Fisika Bagian Larutan dan Sistem Dispersi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Muis, Y. 2010. Studi Bahan Pengemulsi Berbasis Minyak Kelapa Sawit Unutk Produk Film Lateks Pekat Alam Dengan Agen Vulkanisasi Sulfur Dan Dikumil Peroksida. Disertasi PPS-USU Medan.

Moctil, M. Schaller, R., Termal, A., and Kern ,W. (2005). Determination fo residual

vulcanitation accelerations in Natural Rubber Film Using FTIR Spektroscopy. Journal

of Rubber Chemistry and Technology. 78 (1) : 28-41

Paul, Edward, L.,dkk 2004. Handbook Industrial Mixing Science And Practice. New Jersey : John Willey And Sons

Sukardjo. 1997.Kimia Fisika. Rineka Cipta. Jakarta

Setiawan, D. 2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet, Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sugito, J., 1989. Karet Strategi Pemasaran Budidaya Dan Pengolahan karet, Penebar Swadaya. Jakarta.

Tim penulis. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Tarigan,W.,2011. Studi Temperatur Optimal Terhadap Sifat Mekanik Dengan Campuran Bahan Polypropylen Dan Polyethilen Pada Proses Mixing.Skripsi FT-USU Medan

Wang, X. 2006. Preparation of Polystyrene Latex Particle by γ-Rays-Induced Emulsifier-Free Emulsion Polymerization. Radiation Physics and Chemistry, 75 (2006) 1001-1005.

Weiss, J. 2002. Emulsion Stability Determination. Current Prorocol in Food Analitical Chemistry D3.4.1-D3.2.17. Jhon Willey and Sons Inc.


(59)

(60)

Lampiran A. Fotografi Lateks Polistirena NLS 30% setelah 7 hari penyimpanan

Lateks Polistirena 90:10 (v/v) Lateks Polistirena 70:30 (v/v)


(61)

Lampiran B. Fotografi Campuran Lateks Polistirena dan Lateks Pekat NLS 30%

Lateks Polistirena 90:10 (v/v) Lateks Polistirena 10:90 (v/v)


(62)

Lateks Polistirena 50:50 (v/v)


(63)

(64)

LAMPIRAN C Penentuan Ukuran Diameter Rata-rata Partikel Lateks Polistirena

Ukuran Partikel Lateks Polistirena

(m)

Frekuensi Distribusi Partikel Lateks Polistirena (%)

1 75

2 11,1

3 4,9

4 3,4

5 2,3

6 1,5

7 0,6

8 0,1

9 0,3

29 0,1

Frekuensi Distribusi Partikel Lateks Polistirena (%) : 1m 2m 3m 4m

5m 6m

7m 8m

9m 29m

.


(65)

= (1 x 75%) + (2 x 11%) + (3 x 4,9%) + (4 x 2,3%) + (5 x 1,5%) + (6 x 1,5%) + (7 x 0,6%) + (8 x 0,1%) + (9 x 0,3%) + (29 x 0,1%)


(66)

LAMPIRAN D Penentuan Ukuran Diameter Rata-rata Partikel Campuran Lateks Polistirena Dan Lateks Pekat

Ukuran Partikel CampuranLateks

Polistirena dan lateks pekat (m)

Frekuensi Distribusi Campuran Partikel Lateks Polistirena dan lateks pekat karet

alam (%)

1

-2

-3

-4 10

5 10

6 10

7 10

8 10

9 10

10 20

12 20

Frekuensi Distribusi Partikel Campuran Lateks Polistirena dengan Lateks pekat karet alam (%) :

4m 5m

6m 7m

8m 9m


(67)

Diameter rata-rata partikel campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam :

= (1 x 0%) + (2 x 0%) + (3 x 0%) + (4 x 10%) + (5 x 10%) + (6 x 10%) + (7 x 10%) + (8 x10%) + (9 x 10%)+(10 x20%) + (12x 20%).

= 8,3m.

Lampiran E. Nilai Densitas Larutan Polistirena Dan Aquades

Sampel

Massa (g)

Densitas (g/ml)

m1 m2 m3

Piknometer

kosong 11,10 11,10 11,10 11,10

-Larutan

polistirena 4,75 4,75 4,75 4,75 0,95

Aquadest 4,99 5 5 4,99 0,99

Lampiran F. Spesifikasi Lateks Pekat

Sampel Spesifikasi TSC (Total Solid Content) DRC (Dry Rubber Content) MST (Mechanical Stability Time) NH3 KOH Lateks Pekat LP (MA) 60%


(1)

Lateks Polistirena 50:50 (v/v)

Lateks Polistirena 60:40 (v/v) Lateks Polistirena 40:60 (v/v)


(2)

(3)

LAMPIRAN C Penentuan Ukuran Diameter Rata-rata Partikel Lateks Polistirena

Ukuran Partikel Lateks Polistirena

(m)

Frekuensi Distribusi Partikel Lateks Polistirena (%)

1 75 2 11,1 3 4,9 4 3,4 5 2,3 6 1,5 7 0,6 8 0,1 9 0,3 29 0,1

Frekuensi Distribusi Partikel Lateks Polistirena (%) : 1m 2m

3m 4m

5m 6m

7m 8m

9m 29m

. Diameter rata-rata partikel lateks polistirena.


(4)

= (1 x 75%) + (2 x 11%) + (3 x 4,9%) + (4 x 2,3%) + (5 x 1,5%) + (6 x 1,5%) + (7 x 0,6%) + (8 x 0,1%) + (9 x 0,3%) + (29 x 0,1%)


(5)

LAMPIRAN D Penentuan Ukuran Diameter Rata-rata Partikel Campuran Lateks Polistirena Dan Lateks Pekat

Ukuran Partikel CampuranLateks

Polistirena dan lateks pekat (m)

Frekuensi Distribusi Campuran Partikel Lateks Polistirena dan lateks pekat karet

alam (%) 1 -2 -3 -4 10 5 10 6 10 7 10 8 10 9 10 10 20 12 20

Frekuensi Distribusi Partikel Campuran Lateks Polistirena dengan Lateks pekat karet alam (%) :

4m 5m

6m 7m

8m 9m

10m 12m


(6)

Diameter rata-rata partikel campuran lateks polistirena dengan lateks pekat karet alam :

= (1 x 0%) + (2 x 0%) + (3 x 0%) + (4 x 10%) + (5 x 10%) + (6 x 10%) + (7 x 10%) + (8 x10%) + (9 x 10%)+(10 x20%) + (12x 20%).

= 8,3m.

Lampiran E. Nilai Densitas Larutan Polistirena Dan Aquades

Sampel

Massa (g)

Densitas (g/ml)

m1 m2 m3

Piknometer

kosong 11,10 11,10 11,10 11,10

-Larutan

polistirena 4,75 4,75 4,75 4,75 0,95

Aquadest 4,99 5 5 4,99 0,99

Lampiran F. Spesifikasi Lateks Pekat

Sampel Spesifikasi TSC (Total Solid Content) DRC (Dry Rubber Content) MST (Mechanical Stability Time) NH3 KOH Lateks Pekat LP (MA) 60%