Hubungan Masyarakat Lokal dengan Kearifan Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Masyarakat Lokal dengan Kearifan Lokal

  Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu hal tersebut dijelaskan oleh Ridwan (2007). Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami berama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.

  Menurut Djatmiko (1999) masyarakat lokal di sekitar hutan (local

  

communities) ialah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan memanfaatkan

  hutan, namun tidak memiliki atau menguasai kawasan hutan. Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antar masyarakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan di sekitarnya, bahwa kearifan lokal identik dengan pengetahuan tradisional yang merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari (Zakaria,1994).

  Suhartini (2009) juga menyatakan bahwa kondisi terkini kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal tidak bisa dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan komunitas yang memegang peranan penting dalam menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan di Indonesia terkait dengan bagaimana cara pengelolaan sumber daya alam yang ada. Cara pengelolan sumberdaya alam dan lingkungan oleh mayarakat adat telah terbukti memperkaya keanekaragaman sumberdaya alam dan keberlanjutan. Masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara Indonesia dan sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

  Keberhasilan pengelolaan hutan sebagai sumber daya milik bersama, sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan karena kelembagaan berfungsi mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990; Rodgers 1994). Kelembagaan juga dapat menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraannya lebih dapat diprediksi (Kasper & Streit 1998).

  Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Sartini (2004), menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh berbagi faktor. Dimana kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk moderenisasi, dan kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Hubungan antar individu atau kelompok yang juga akan berpengaruh terhadap kebudayaan.

  Kriteria masyarakat hukum adat berdasarkan definisi dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kriteria masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdiri dari beberapa komponen antara lain: 1)

  Kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu; 2)

  Adanya ikatan pada asal usul leluhur; 3)

  Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup; 4)

Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum adat

  Hutan dan fungsi hutan tidak dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Dengan diterimanya posisi masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan di semua fungsi hutan ( produksi, lindung, dan konservasi), maka semangat dan kesadaran msyarakat dapat didorong untuk membangun, memelihara, dan memanfaatkan suberdaya hutan secara lestari. Ketergantungan antara hutan dan masyarakat dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat teradap produksi dan jasa hasil hutan. Hutan sebagai sumberdaya juga memerlukan masyarakat untuk pengelolaannya ( Awang,2004).

  Ruang Lingkup Kearifan Lokal

  Dalam pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Menurut Sahlan (2009) hutan memiliki fungsi-fungsi penting bagi kehidupan warga masyarakat sekitarnya, khususnya di hutan negara dengan sistem pengeolahan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa menggangu fungsi pokoknya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity) ( Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2011).

  Kearifan tradisional yang bersifat lokal sesuai dengan daerahnya masing- masing merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat dan secara turun-temurun dilaksanakan oleh kelompok masyarakat bersangkutan. Lampe (2009) menjelaskan bahwa dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan lokal tradisional sangat menguntungkan karena secara langsung ataupun tidak langsung dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

  Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif, Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal.

  Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.

  Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional). Esensi kemajuan yang dicapai berbagai bangsa tersebut menunjukkan bahwa pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat bangsa itu sendiri. Budaya yang digali dari kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan dalam era global, namun justru menjadi penyaring budaya dan kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa.

  Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa di era global.

  Kearifan lokal dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local

  

knowledge ) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada

  bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan,dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat ini.

  Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dari Kearifan Lokal

  Nygren (1999) mengemukakan pengetahuan lokal merupakan istilah yang problematik. Pengetahuan lokal dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan lokal tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan lokal yang tidak ilmiah dan yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri. Pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. Pengetahuan dalam bentuk pragmatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam dan dalam bentuk supranatural, ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah (unreason). Untuk yang pragmatis ini, pengetahuannya berubah, karena berhubungan dengan pihak lain dari wilayahnya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki metodologi dan dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar memelihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal (Negara Timur), yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara Barat dan Timur.

  Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam bahwa “kearifan lokal” identik dengan pengetahuan tradisional (traditional knowladge). Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Pengetahuan dimaksud merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi, yang bercorak

  

cosmismagis dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu

  sendiri diamana terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungannya dengan alam semesta. Termasuk dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab (Muspida,2008).

  Pada dasarnya, pengetahuan tradisional terkait dengan Sumber Daya Genetik yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang bersifat teknis fungsional dan dapat langsung digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan dalam hidup keseharian masyarakat hukum adat dan masyarakat terkait lainnya. Asaad (2011) menyebutkan berbeda dengan karakter dasar dari obyek-obyek hak kekayaan intelektual konvensional, beberapa karakteristik kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat, antara lain: 1.

  Adanya keterkaitan dengan budaya atau masyarakat tertentu; 2. Jangka waktu penciptaan dan pengembangan yang cukup lama, biasanya melalui tradisi lisan;

  3. Bersifat dinamis (dynamic) dan senantiasa berubah seiring waktu dan perubahan kondisi alam;

  4. Terdapat dalam bentuk yang terulis/terkodifikasi maupun tidak tertulis/tidakterkodifikasi seperti bentuk tutur kata, mitos dan bentuk lainnya (folklore); 5. Disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi (inter-

  generation ) Bersifat lokal dan seringkali diungkapkan dalam bahasa

  setempat; 6. Diciptakan melalui proses yang unik dan kreatif seperti lahir dari mimpi,

  Pengetahuan Masyarakat Mengenai Tanaman Obat

  Potensi tanaman obat yang ada di hutan dan kebun/pekarangan sangat besar, baik industri obat tradisional ataupun fitofarmaka memanfaatkannya sebagai penyedia bahan baku obat. Dilihat dari segi habitusnya, spesies-spesies tumbuhan obat yang terdapat di berbagai formasi hutan Indonesia dapat dapat dikelompokkan ke dalam tujuh macam yaitu : habitus bambu, herba, liana pemanjat, perdu, pohon, dan semak. Dari ketujuh habitus ini, spesies tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih tinggi dibandingkan habitus lainnya ( Zuhud, 2008).

  Pemanfaatan tanaman obat atau bahan obat alam pada umumnya bukanlah merupakan hal yang baru. Upaya pengobatan tradisional merupakan hal yang baru. Upaya pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisional merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan sekaligus merupakan merupakan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan (Tukiman, 2004).

  Teknik dan Praktek oleh Masyarakat Lokal

  Kebakaran selalu berawal dari kejadian api kecil yang menyebar secara liar. Timbulnya api-api kecil yang bersifat setempat umumnya berasal dari sumber-sumber api pemicu yang bersifat rutin pada ladang didesa-desa sekitar hutan. Hal-hal yang sering menjadi pertanyaan adalah apakah kejadian kebakaran ini ada hubungannya dengan menurunnya nilai kearifan lokal tentang penggunaan api di lahan untuk berladang masih ada pada sebagian penduduk sekitar hutan.

  Keyakinan-keyakinan tradisional mengandung sejumlah besar data empiris potensial yang berhubungan dengan fenomena, proses, sejarah perubahan lingkungan (Adimihardja, 1998).

  Pada dasarnya kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh multi-faktor yang sangat kompleks mencakup aspek fisik yaitu bahan bakar,iklim, ekologi, sosial ekonomi dan budaya antropologis masyarakat, teknologi dan sistem kelembagaan serta intensitas pengelolaan hutan dan lahan termasuk aspek silvikultur. Dari sekian permasalahan yang ada, awal kebakaran berasal dari api kecil dengan sumber-sumber pemicu di masyarakat, sehingga nilai-nilai kearifan lokal menjadi sangat penting untuk dikaji (Akbar,2011).

  Bentuk pemanfaatan hutan rakyat adat yang berada di luar kawasan hutan larangan biasanya dimanfaatkan untuk usaha tani, perkebunan kelapa sawit dan karet. Sedangkan hutan larangan adat merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Pemanfaatan jenis tumbuhan di hutan larangan adat antara lain pengambilan kayu bakar, bahan makanan, bahan obat-obatan, dan rotan (Nurhayati, 2005).

  Bentuk- Bentuk Kearifan Lokal Dalam Masyarakat Lokal

Tabel 1. Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan

pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari

  No Bentuk Kearifan Lokal Contoh

  1 Kepercayaan dan/atau

  • Manusia berkaitan erat dari unsur ( tumbuhan, binatang,

  pantangan faktor non-hayati lainnya) dan proses alam sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan

  • Keberhasilan Penanaman ( misalnya padi, rotan ) berkaitan dengan gejala lingkungan seperti tumbuhan, ataupun bulan;
  • Pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting, atau memotong rotan terlampau rendah ;

  2 Etika dan aturan

  • Menebang pohon hanya sesuai dengankebutuhan dan wajib melakukan penanamannya kembali ;
  • Tidak melakukan perladangan pada lahan yang sama secara terus-menerus (biasanya hanya satu hinggan dua kali panen);
  • Tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom ;
  • Mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi ladang.

  3 Teknik dan teknologi

  • Membuat ‘sekat bakar’ dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun/tanaman petani lainnya ;
  • Menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), kegelapan warna tanah diameter pohon dan kehijauan warna

    tumbuhannya;

  • Membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna dan lain-lain.

  4 Praktek dan tradisi

  • Menetapakan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung

  pengelolaan untuk kepentingan bersama ( komunal); hutan/lahan

  • Melakukan ‘koleksi’ berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman ( konservasi ek-situ)
  • Mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman /hasil hutan yang berharga.

  Sumber : Sarjono (2004).