Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat Pasisi Barus

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA MASYARAKAT PASISI
BARUS
TESIS
Oleh: YENNY PUSPITA SARAGIH
117009028/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA MASYARAKAT PASISI
BARUS
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh: YENNY PUSPITA SARAGIH
117009028/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara

Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi


: Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat Pasisi Barus
: Yenny Puspita Saragih : 117009028 : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S) Ketua
Ketua Program Studi,

(Dr. Nurlela, M.Hum) Anggota
Dekan,

(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D)

(Dr. Syahron Lubis, M.A)

Tanggal Lulus : 28 Agustus 2013

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada tanggal 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua Anggota

: Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S : 1. Dr. Nurlela, M.Hum
2. Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D 3. Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D 4. Dr. Dwi Widayati, M.Hum

Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN
Judul Tesis KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA
MASYARAKAT PASISI BARUS
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Agustus 2013
Yenny Puspita Saragih, S.Pd
Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.
Kata kunci: kearifan lokal, kesantunan berbahasa, tindak tutur, masyarakat Pasisi Barus, antropolinguistik, pragmatik.
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.
Key Word: local wisdom, language politeness, speech acts, Pasisi Barus Society, anthropolinguistic, pragmatic.
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang sekaligus juga sebagai Dosen Penguji I pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penyusunan tesis ini.
4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran serta memotivasi dan membantu dalam penyusunan tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan banyak sekali masukan dan saran, serta memotivasi dan membantu penulis dalam penulisan tesis ini.
6. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, Ph.D selaku dosen penguji pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penulisan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku dosen penguji pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penulisan tesis ini
8. Seluruh dosen pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
9. Orang tua penulis, H. Abdullah Saragih dan Nursiah serta saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang.
10. Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu bersama-sama.
11. Kepala Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib Darur Rachmad Sibolga yang telah memberi ijin meninggalkan tugas saat proses ujian-ujian berlangsung.
12. Rekan-rekan guru dan staf tata usaha di Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib Darur Rachmad Sibolga yang telah membantu untuk menggantikan tugas penulis saat meninggalkan tugas mengajar.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin
Medan, Agustus 2013 Penulis
Yenny Puspita Saragih
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi Nama Lengkap Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Alamat Rumah
Nomor HP Agama

: Yenny Puspita Saragih, S.Pd : Wanita : Sibolga, 15 Januari 1981 : Jalan Aso-Aso No. 73 Kelurahan Pancuran Pinang Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga, Sumatera Utara : 081376251251 : Islam


II. Riwayat Pendidikan SD SMP SMA S1
S2

: SD Negeri 084086 Kota Sibolga Lulus Tahun 1992
: MTs Swasta Darur Rachmad Kota Sibolga Lulus Tahun 1996
: SMA Negeri 3 Kota Sibolga Lulus Tahun 1999
: Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan Lulus Tahun 2003 : Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2013

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................. ABSTRACT ................................................................................................ KATA PENGANTAR ................................................................................ RIWAYAT HIDUP .................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................

Halaman i ii iii v vi viii x xi

BAB I

PENDAHULUAN ..................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................. 1.2 Ruang Lingkup .................................................................. 1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................. 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................

1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................... 1.5.2 Manfaat Praktis .....................................................

1 1 8 9 9 10 10 10

BAB II

KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 2.1 Konsep ..............................................................................
2.1.1 Kearifan Lokal ...................................................... 2.1.2 Kesantunan Berbahasa .......................................... 2.2 Kerangka Teori .................................................................. 2.2.1 Teori Kesantunan ................................................... 2.2.2 Pembentukan Kesantunan ..................................... 2.2.3 Tindak Tutur........................................................... 2.2.4 Konteks ................................................................. 2.2.5 Pragmatik ............................................................. 2.2.6 Antropolinguistik .................................................. 2.2.7 Kerangka Teori Yang Diterapkan ......................... 2.3 Kajian Pustaka ...................................................................

11 11 11 14 17 17 26 29 34 36 38 40 42

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Tengah ............... 3.1.1 Geografi Kabupaten Tapanuli Tengah ................... 3.1.2 Demografi Kabupaten Tapanuli Tengah................ 3.1.3 Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah ..................... 3.2 Barus Sebagai Wilayah Bahasa Pesisir ............................. 3.3 Penutur Bahasa Pasisi ....................................................... 3.4 Gambaran Bahasa Pasisi ...................................................

47 47 47 49 51 55 60 63

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

METODE PENELITIAN ........................................................ 4.1 Jenis Penelitian .................................................................. 4.2 Lokasi Penelitian ............................................................... 4.3 Data dan Sumber Data ...................................................... 4.4 Metode Pengumpulan Data ............................................... 4.5 Metode Analisis Data ........................................................


67 67 67 67 68 69

BAB V

PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN ............................. 5.1 Pendahuluan ...................................................................... 5.2 Paparan Data .....................................................................
5.2.1 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menolak ......................................................
5.2.2 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Meminta ......................................................
5.2.3 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Memerintah ................................................
5.2.4 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Melarang .....................................................
5.2.5 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menawarkan ...............................................
5.3 Pembahasan ....................................................................... 5.3.1 Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ....................................... 5.3.2 Pola Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ........................................................... 5.3.3 Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus .......................................

73 73 73
73
80
83
86
87 88
88

108
113

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 5.1 Simpulan ........................................................................... 5.2 Saran ..................................................................................

120 120 121

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 123

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No. Judul

Halaman

2.1 Jumlah dusun/lingkungan menurut desa/kelurahan ............................. 31

5.1 Strategi Kesantunan Memberi Alasan Pada Tindak Tutur Menolak ... 68


5.2 Strategi Kesantunan Meminta Maaf Pada Tindak Tutur Menolak ..... 71

5.3 Strategi Kesantunan Berterima Kasih Pada Tindak Tutur Menolak ..... 72

5.4 Strategi Kesantunan Menunda Pada Tindak Tutur Menolak ............... 73

5.5 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Menolak .. 74

5.6 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Meminta... 75

5.7 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis Pada Tindak Tutur Meminta ... 75

5.8 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung

Pada Tindak Tutur Meminta ................................................................. 76

5.9 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Meminta.................................................................. 77


5.10 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar

Pada Tindak Tutur Memerintah ............................................................ 78

5.11 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis

Pada Tindak Tutur Memerintah ............................................................ 78

5.12 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung

Pada Tindak Tutur Memerintah ............................................................ 79

5.13 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Memerintah ............................................................ 80

Universitas Sumatera Utara

5.14 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan Pada Tindak Tutur Melarang ................................................................

5 15 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak langsung Pada Tindak Tutur Melarang ................................................................
5.16 Strategi Kesantunan Menawarkan Pada Tindak Tutur Menawarkan ...

81
82 83

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

No. Judul

Halaman

2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff ................................................................... 18

2.2 Skala Kesantunan Leech ....................................................................... 21

2.3 Skala Kesantunan Brown & Levinson .................................................. 26

2.4 Rangkuman Kerangka Teori ................................................................. 27

2.5 Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 42

3.1 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah ........................................................ 44

3.2 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah Berdasarkan Kecamatan ................ 45

3.3 Perbandingan jumlah penduduk kabupaten Tapanuli Tengah

di rinci menurut kecamatan tahun 2011 ............................................... 46

3.4 Lambang Kabupaten Tapanuli Tengah ................................................ 49

3.5 Peta Kecamatan Barus .......................................................................... 55

4.1 Komponen Analisis Data Model Interaktif .......................................... 66

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

Halaman

1. Biodata Informan dan Transkripsi Dialog ............................................ 126

2. Biodata Narasumber ............................................................................. 135

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.
Kata kunci: kearifan lokal, kesantunan berbahasa, tindak tutur, masyarakat Pasisi Barus, antropolinguistik, pragmatik.
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.
Key Word: local wisdom, language politeness, speech acts, Pasisi Barus Society, anthropolinguistic, pragmatic.
Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa yang pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi untuk saling
bertukar informasi, juga menjadi perekat hubungan antara pembicara dan pendengar. Untuk dapat merekatkan hubungan antara pembicara dan pendengar dalam suatu peristiwa tutur, penutur dan petutur diharapkan menggunakan bahasa yang santun. Dengan menggunakan bahasa yang santun, kemungkinan terjadinya konflik akan semakin kecil sehingga perselisihan yang saat ini semakin marak kita saksikan baik di televisi maupun di lingkungan sekitar kita dapat dihindari dan suasana damai akan lebih mendominasi kehidupan ini.
Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas berkaitan dengan fenomena di masyarakat Indonesia terutama di bidang politik yang terjadi sejak lepas dari masa orde baru dan beralih ke masa reformasi. Masa reformasi yang telah berjalan hampir 15 tahun ini ditandai dengan uforia kebebasan berbicara oleh masyarakat Indonesia. Uforia kebebasan berbicara yang terkadang tak lagi menghiraukan kesantunan itu dapat dilihat pada suasana unjuk rasa, acara diskusi dan debat di televisi, bahkan di ruang sidang anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya tak jarang kita saksikan terjadi konflik antara dua orang yang berseberangan pendapat yang dijadikan narasumber dalam suatu acara di televisi atau perang mulut antar anggota DPR yang terkadang juga berakhir anarkis. Hal-hal tersebut sebenarnya dapat dihindari jika kita masih berpedoman pada prinsip-prinsip
Universitas Sumatera Utara

kesantunan dalam berkomunikasi. Tawuran pelajar hingga memakan korban jiwa juga sering dipicu oleh komunikasi yang tidak santun antara seorang siswa dengan siswa lain yang akhirnya melebar menjadi konflik antarsekolah.
Fenomena berbahasa yang terlihat saat ini sangat membuat miris perasaan. Tayangan televisi didominasi oleh acara-acara yang mempertontonkan orang-orang yang menggunakan bahasa yang tidak santun, sehingga tidak jarang terlihat dua narasumber yang berseberangan pendapat saling memotong pembicaraan, berebut kesempatan untuk memberikan pendapatnya masing-masing. Fenomena seperti ini dinilai kurang santun`karena tidak mengikuti pola giliran yang dianjurkan oleh
Ketidaksantunan dalam berbahasa yang terjadi di masyarakat cenderung dilakukan oleh remaja. Contoh tuturan yang menunjukkan ketidaksantunan berbahasa berikut ini adalah tuturan seorang siswa yang merasa tidak terima dengan hukuman yang diberikan salah seorang guru kepadanya.
A: Elok-elok muncung Bapak tu mangeccek. (Bagus-bagus muncung Bapak kalau berbicara)
Kata muncung yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘mulut’ namun merupakan kata yang sangat tidak santun dan kasar jika digunakan dalam pertuturan formal di sekolah, apalagi jika tuturan tersebut dituturkan oleh seorang siswa yang terhadap guru. Kata-kata yang tidak santun yang dituturkan oleh siswa tersebut pada contoh tuturan di atas sangat memungkinkan memicu konflik yang besar jika saja sang bapak guru tidak dapat menahan emosi. Di sinilah terjadinya penggunaan kekerasan terhadap siswa tersebut, yang kemudian si siswa mengadukan kepada orang tuanya tentang berlakunya kekerasan terhadap anaknya. Tanpa menyelidiki
Universitas Sumatera Utara

dulu latar belakang terjadinya peristiwa tersebut, terjadilah konflik yang melebar hingga melibatkan aparat polisi.
Media jejaring sosial di dunia maya, seperti twitter dan facebook yang saat ini sangat digemari oleh masyarakat dunia terutama generasi muda, juga menunjukkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari yang disaksikan di televisi. Fenomena penggunaan bahasa yang tidak santun di media jejaring sosial bahkan dapat dikatakan lebih parah jika dibandingkan dengan di televisi. Sering kali terjadi pengguna media ini menuliskan kata-kata yang penuh caci-maki di akun facebook atau twitternya, yang terkadang ditujukan langsung kepada orang yang dimaksud, atau tanpa menyebutkan secara eksplisit nama orang yang dituju. Komentar-komentar orang yang berseberangan pendapat terhadap suatu berita di situs berita online juga menggunakan bahasa yang jauh dari kata-kata santun, apalagi jika topik berita menyangkut masalah SARA.
Ironisnya, sebagian masyarakat semakin permisif dalam menanggapi masalah ketidaksantunan berbahasa ini dengan dalih perkembangan zaman akibat modernisasi dan globalisasi sehingga terjadi pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran kesantunan dalam berbahasa.
Untuk itulah masalah kesantunan berbahasa perlu diangkat dan dibahas dalam topik penelitian ini agar hasil penelitian ini dapat menyumbang pemikiran kepada masyarakat untuk peka mengenai masalah ketidaksantunan berbahasa bagi kaum muda yang lebih sering mengabaikan hal ini.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk mempelajari suatu bahasa, mau tak mau kita juga harus mempelajari
Universitas Sumatera Utara

budaya penutur bahasa tersebut sebab bahasa hanya mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya (Sibarani, 2004: 65). Seperti kata kepeng memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan antara bahasa Pesisir yang penuturnya terdapat di Sibolga dan sebagian Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) dengan bahasa Minangkabau (Sumatera Barat). Dalam bahasa Pesisir kata kepeng bermakna ‘uang’ atau ‘duit’ sedangkan bagi masyarakat Minang kata tersebut merupakan kata yang tabu diucapkan sebab kata tersebut merujuk pada organ tubuh yang lazim ditutupi oleh pakaian sehingga tidak sopan diucapkan di depan orang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Selain budaya, faktor- faktor sosial seperti status sosial, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan juga mempengaruhi pembentukan kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa dalam suatu masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat lainnya. Sebab, seperti telah disinggung sebelumnya, bahasa erat kaitannya dengan budaya.
Kesantunan berbahasa dalam bahasa rakyat (folk speech) sebagai bagian dari kebudayaan daerah di nusantara ini merupakan salah satu wujud dari tradisi lisan yang selayaknya ditumbuhkembangkan untuk menemukan kembali pedomanpedoman leluhur yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tersebut. Melalui tradisi lisan bahasa rakyat, yang dalam hal ini berupa bahasa tutur, kita dapat
Universitas Sumatera Utara

menggali kearifan lokal yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tutur tersebut untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan bangsa saat ini yang tak lepas dari ancaman disintegrasi akibat terjadinya konflikkonflik sosial yang salah satu penyebabnya adalah hilangnya nilai-nilai kesantunan berbahasa dalam berkomunikasi.
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan keragaman kebudayaan yang sering dijadikan ladang penelitian. Keragaman kebudayaan ini biasanya dimiliki oleh suku-suku minoritas yang tinggal di pedalaman dan pedesaan di wilayah nusantara ini. Dalam masing-masing keragaman kebudayaan ini terdapat nilai-nilai luhur yang masih tetap dipertahankan dan menjadi kearifan lokal bagi masyarakat pemilik kebudayaan tersebut.
Penggalian kearifan lokal dalam suatu kebudayaan memiliki arti penting dalam upaya untuk keberlanjutan kebudayaan tersebut. Terlebih lagi di tengah modernisasi yang disebabkan oleh globalisasi menjadi penyebab bergesernya nilainilai budaya lokal yang berganti dengan budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.
Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 112). Sejaln dengan pernyataan Sibarani di atas, kearifan lokal digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kedamaian dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya tersebut.
Universitas Sumatera Utara

Kearifan lokal dalam suatu kebudayaan digali melalui nilai-nilai budaya yang hanya dapat disimpulkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia yang diwariskan secara turun temurun. Namun nilai-nilai tersebut hanya dapat diperoleh pada masyarakat yang masih kokoh mempertahankan tradisi yang jumlahnya semakin sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang mengalami pergeseran nilai-nilai sebagai akibat dari modernisasi.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat ini tetap bertahan ditengah gencarnya ancaman budaya luar yang begitu mudah mempengaruhi masyarakat terutama generasi muda melalui media televisi dan internet yang menjadi imbas dari globalisasi informasi dan modernisasi. Pemertahanan nilai-nilai dalam kebudayaan ini biasanya melalui proses pewarisan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah masyarakat pemilik kebudayaan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka.
Dari pengamatan penulis, kesantunan berbahasa saat berkomunikasi masih terlihat dalam interaksi pergaulan sehari-hari masyarakat Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah. Berikut adalah percakapan saat seorang ibu menyuruh kepada anak laki-laki tertuanya untuk memperbaiki atap rumah dan percakapan antara dua tetangga.
1. Ibu : Talok kuti mamparekkikan atok kito tu? ‘Bisa kuti memperbaiki atap (rumah) kita? (Kuti adalah panggilan untuk anak laki-laki tertua dalam keluarga) Anak : Jadi. Sabanta lai yo mak. “Ya. Sebentar lagi bu’.
2. A: Jadi pai ka Medan barisuk? ‘jadi pergi ke Medan besok?’ Ado tampek-tampek makkan maccam etek Ana. Di medan katonyo dibalinyo. ‘Ada peralatan makan seperti punya bu Ana. Katanya dia beli di Medan.’
Universitas Sumatera Utara

B: Bekko la kok sampat ambo carikan. ‘Kalau sempat saya nanti saya cari.’ Pada percakapan pertama, kalimat suruhan atau perintah yang seharusnya bermodus imperatif, tetapi dalam realisasinya si ibu menggunakan kalimat pertanyaan atau interogatif. Pertanyaan tersebut juga menyiratkan bahwa si ibu memberikan pilihan kepada si anak apakah ia mau melakukan yang diperintahkan atau tidak. Hal ini menunjukkan kesantunan berbahasa walaupun jelas-jelas yang disuruh adalah anaknya sendiri. Dalam hal ini si ibu juga menunjukkan kearifan kepada sang anak untuk membiasakan diri bersikap santun. Kesantunan yang ditunjukkan B dalam percakapan kedua adalah dengan menjanjikan hal yang belum tentu dapat ia lakukan. Hal ini dilakukan hanya untuk menyenangkan hati A. Untuk meminta B melakukan hal yang diinginkannya, A tidak secara langsung mengutarakan maksudnya meminta B untuk membelikan suatu barang. Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menemukan dan menggali kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang disimpulkan dan ditafsirkan dari bahasa tutur masyarakat tersebut. Barus merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara, yang menurut para sejarawan kebudayaannya telah dimulai sejak pertengahan abad 9 M. Bahasa tutur atau bahasa rakyat (folk speech) yang digunakan masyarakat Barus saat ini adalah bahasa Pesisir (Pasisi) yang merupakan kombinasi bahasa Melayu, Batak dan Minang. Penutur bahasa Pesisir ini tersebar di daerah-daerah pesisir pantai Barat Sumatera dari Singkil (Nangroe Aceh Darussalam) hingga Natal (Madina, Sumatera Utara). Namun, Bahasa Pesisir yang digunakan masyarakat Barus
Universitas Sumatera Utara

memiliki perbedaan dan ciri khas dibandingkan dengan penutur bahasa Pesisir di Sibolga, Sorkam, dan daerah lainnya.
1.2 Ruang Lingkup Kesantunan berbahasa merupakan salah satu objek kajian pragmatik.
Pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas pemakaian bahasa di dalam proses komunikasi. Oleh karena itu, teori pragmatik dinilai cocok untuk memahami masalah, menganalisis data, dan mendeskripsikan hasil analisis data tentang kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa dalam satu masyarakat berhubungan dengan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut. Jadi, penelitian ini juga merupakan kajian antropolinguistik yang mengkaji tentang hubungan bahasa dengan kebudayaan. Antropolinguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah antara hubungan bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Antropologi linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.
Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, tepatnya di Desa Pasar Batu Gerigis, Desa Kampung Solok, Desa Pasar Tarandam dan Desa Kedai Gadang ini, dibatasi dengan hanya meneliti bagaimana kesantunan anggota masyarakat pada saat saling berkomunikasi dalam ranah keluarga dan
Universitas Sumatera Utara

lingkungan tetangga di keempat desa tersebut. Penetapan keempat desa ini dilatari oleh letak geografisnya yang berada di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.
1.3 Rumusan Masalah Dalam usaha untuk menemukan kearifan lokal dalam bahasa tutur masyarakat
Barus, penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut;
1. Bagaimanakah strategi pembentukan kesantunan berbahasa dalam bahasa tutur pada masyarakat Pasisi Barus?
2. Bagaimanakah pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus? 3. Bagaimanakah kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi
Barus?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut; 1. Menjelaskan strategi kesantunan berbahasa dalam bahasa tutur pada masyarakat Pasisi Barus. 2. Mendeskripsikan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. 3. Menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan mengenai kesantunan berbahasa yang berasal dari data bahasa daerah memperkaya khazanah penelitian tentang bahasa-bahasa daerah di Indonesia. 1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu usaha untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya lokal kepada generasi muda khususnya kesantunan bahasa pada budaya masyarakat Barus yang telah mulai tergerus modernisasi yang berpotensi menggeser nilai-nilai budaya lokal dan menggantinya dengan budaya asing dari luar. Kearifan lokal kesantunan berbahasa masyarakat Barus yang tergali dalam penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Barus pada khususnya yang pada akhirnya dapat memberikan kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Universitas Sumatera Utara

BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep 2.1.1 Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986). Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar, 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, 3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli, 4. mempunyai kemampuan mengendalikan, 5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Dalam Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur
Universitas Sumatera Utara

tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit
Universitas Sumatera Utara

dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilainilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Pengertian kearifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.
Universitas Sumatera Utara

Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilainilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut. 2.1.2 Kesantunan Berbahasa
Dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik
Universitas Sumatera Utara

penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Dengan menggunakan bahasa manusia menjalin kebersamaan dalam keteraturan hidup kemasyarakatan dan kebudayaan serta saling bekerja sama. Kebersamaan dan kerjasama sangat ditentukan oleh fungsi bahasa.
Bahasa tutur atau bahasa lisan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari memerankan hal yang sama, yaitu menciptakan kebersamaan dan mendorong terciptanya kerjasama. Melalui penggunaan bahasa tutur yang baik, benar dan sesuai dengan konteks sosial, pada akhirnya, rasa kebersamaan akan semakin meningkat, yang menghasilkan peningkatan kerjasama. Hal ini karena, secara lisan, penggunaan bahasa tutur mengandung etika dalam komunikasi interpersonal, tahu dan paham akan kondisi psikologis mitratutur. Konsekuensinya, terciptalah penguatan silaturahmi, interaksi, kebersamaan, kerjasama, dan saling ketergantungan. Singkatnya, terjalinnya harmonisasi dalam berkomunikasi, berhubungan dan bekerjasama sebagai sebuah solidaritas sosial.
Untuk itu dalam bahasa tutur seharusnya tidak lepas dari kesantunan untuk menjaga harmonisasi dalam berkomunikasi. Kesantunan (kesopansantunan) sama dengan tata karma atau etika. Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati dalam perilaku sosial (Sibarani, 2004: 170).
Universitas Sumatera Utara

Menurut Yule (2006:104) kesantunan berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain. Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri
Wujud kesantunan dapat dilihat dari dua cara, yaitu cara verbal dan cara nonverbal. Kesantunan verbal merupakan aktivitas berbahasa yang di dalamnya tercermin nilai- nilai kesopanan/ kesantunan berdasarkan nilai sosial dan budaya penutur. Kesantunan berbahasa verbal merujuk kepada percakapan, lisan dan pertuturan. Kesantunan nonverbal adalah tindakan nonkebahasaan yang dianggap lazim menurut tolak ukur nilai sosial dan budaya. Yang termasuk ke dalam kesantunan nonverbal di antaranya adalah unsur suprasegmental, paralinguistik dan proksemika. Unsur suprasegmental seperti tekanan, nada dan tempo senantiasa melekat pada unsur segmental. Unsur paralinguistik seperti airmuka, gerakan tubuh dan sikap badan adalah sistem tanda yang menyertai tuturan verbal, terutama tuturan bersemuka. Unsur paralinguistik ini dapat diamati langsung saat komunikasi terjadi. Proksemika adalah unsur nonverbal yang tidak termasuk dalam unsur paralinguistik. Misalnya, saling menjaga jarak atau tidak saling menjaga jarak antara penutur dan petutur. Pada penelitian ini penulis hanya memperhatikan dari proses verbal (kebahasaannya) saja tanpa mempertimbangkan faktor nonverbal yang mempengaruhi.
Kartomiharjo (1981) menyatakan bahwa dalam menggunakan bahasa, penutur tidak bisa lepas dari norma-norma sosial dan budaya yang dimilikinya. Kesantunan
Universitas Sumatera Utara

ataupun kesopanan dalam berbahasa dapat terefleksi pada kepatuhan penutur terhadap norma-norma sosial dan budayanya. Dalam budaya Jawa norma-norma kesantunan mengacu pada tiga nilai, yakni: (1) Empan papan, menerangkan bahwa dalam berinteraksi penutur hendaknya menyatakan segala sesuatu secara wajar dan benar sesuai dengan tataran masyarakat, (2) Urip mapan, menerangkan bahwa tututran itu hendaknya digunakan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat, (3) Mapanake wong tuwo, mengacu pada konsep bahwa yang lebih tua itu selayaknya dituakan.
Sementara itu Gunarwan (1998, dalam Gunarwan 2007) menjabarkan normanorma kesantunan budaya Jawa dalam empat bidal, yaitu: (1) Kurmat atau (hormat), (2) Andaphasor (rendah hati), (3) Ampan-papan (sadar akan tempat), dan (4) Tepaslira (tenggang rasa).
2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Teori Kesantunan
Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa diamtaranya adalah Lakoff (1973), Leech (1983) dan Brown & Levinson (1987). Teori ketiga pakar ini beranjak dari kenyataan bahwa ternyata Prinsip Kerja Sama Grice lebih sering dilanggar oleh penutur dalam komunikasi pada umumnya. Berikut akan dijelaskan mengenai teori ketiga pakar tersebut mengenai kesantunan berbahasa.
(1) Teori Kesantunan Lakoff
Universitas Sumatera Utara

Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas (formality), 2) ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti menganggap penutur dan lawan tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang.
Kaidah Kesantunan Lakoff

Formalitas (Formality)

Ketidaktegasan (Hesitancy)

Persamaan atau Kesekawanan (Equality
or Camaraderie)

Tidak memaksa

Memberikan pilihan

Menganggap sama

Gambar 2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff (1973) (2) Teori Kesantunan Leech Menurut Leech (1983) prinsip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2) Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, (b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan

Universitas Sumatera Utara

menyatakan : (a) minimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, (b) maksimalkan rasa hormat terhadap orang lain. (4) Maksim Kerendahan Hati menyatakan : (a) pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. (5) Maksim Kesepakatan menyatakan : (a) usahakan agar ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, (b) usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin. (6) Maksim Simpati menyatakan : (a) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain, (b) tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.
Leech menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech dijelaskan sebagai berikut.
1) Cost- benefit scale atau skala kerugian da