Pengaruh Budaya Strategis dan Leader ter
Pengaruh Budaya Strategis dan Leader terhadap Arah
Kebijakan Luar Negeri Pakistan Sejak Tahun 2013
Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Analisis Politik Luar Negeri
DOSEN PENGAMPU : ACHMAD FATHONI KURNIAWAN, S.IP., MA.
Oleh
Kurnia Islami
135120401111036
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji tercurah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memperkenankan penulis
dengan rahmat dan nikmatNya untuk menyelesaikan penelitian berjudul Pengaruh Budaya
Strategis dan Leader terhadap Arah Kebijakan Luar Negeri Pakistan Sejak Tahun 2013 .
Penulis mengucapkan permohonan maaf kepada para pembaca sebab penulisan makalah
penelitian yang memiliki banyak sekali kekurangan. Penulis merasa masih banyak yang harus
diteliti lebih dalam namun tidak dapat penulis lakukan sebab keterbatasan waktu dan
banyaknya sumber data yang harus diolah dan digabungkan fakta-faktanya. Penulis harap
dengan adanya makalah peneilitian ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan pembaca
dan menjadi alat bantu meneropong masa depan Pakistan, kawasan Asia Selatan, bahkan
politik internasional.
Malang, Januari 2015
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakistan merupakan sebuah negara yang berdiri pada Agustus 1947 dari sebuah
peristiwa separatisme Islam di India sejak tahun 1930. Setelah berhasil memisahkan diri dari
India, negara ini memiliki luas wilayah 796.095 km² dan terletak di sebelah barat laut India,
berbatasan dengan Afganistan, Iran dan Cina.
Sejak pertama mendapatkan kemerdekaan, Pakistan sudah mengalami berbagai
permasalahan, hubungan tidak baik dengan tetangganya bahkan permasalahan domestik yang
terjadi bersamaan. Pakistan juga menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi
kepentingan nasionalnya sebagai sebuah negara yang baru merangkak dan mengenal dunia
internasional. Berbagai cara dilakukan Pakistan untuk mendapatkan bantuan dalam rangka
memperbaiki domestiknya sebagai sebuah negara baru yang belum stabil dan mandiri.
Sebagai negara yang berlandaskan ideology Islam yang kuat maka negara ini
melakukan upaya lain dengan mencoba melirik dan berteman dengan negara-negara Arab.
Bukan hanya itu, Pakistan juga mencoba mencari bantuan dari negara-negara Barat seperti
Amerika Serikat yang mana tentu mengandung beberapa resiko. Demikian dilakukan
Pakistan dalam menyelamatkan diri dan mencoba menyeimbangkan kemampuan dengan
India agar tidak terjadi dominasi India yang kuat di Asia Selatan. Akibatnya, Pakistan hingga
saat ini menjadi ladang kepentingan banyak negara besar melalui pemberian bantuan seperti
Amerika Serikat, Cina dan Arab Saudi.
Banyaknya keterlibatan asing dalam pembangunan Pakistan ini kemudian menjadi
parameter negara besar pula untuk mengukur kemampuannya menaruh pengaruh terhadap
negara berkembang. Tak hanya itu, Pakistan juga dikenal memiliki cita-cita bersaing dengan
India, menghilangkan dominasi India di kawasan Asia Selatan. Bantuan yang diberikan
negara lain atau pihak internasional otomatis akan membantu Pakistan menjadi negara besar
di regional dan bahkan menjadi penyeimbang kekuatan India. Ketika suatu negara memiliki
kontribusi besar dalam membangun Pakistan sebagai negara berpengaruh di regional, maka ia
juga memiliki hak mendapatkan imbalan dari Pakistan dengan mengontrol gerak Pakistan di
regional Asia Selatan. Artinya negara donatur tersebut dapat memiliki pengaruh yang cukup
besar di Asia Selatan melalui „tangan‟ Pakistan. Oleh karena itu, menarik untuk mengkaji
2
kebijakan luar negeri Pakistan sebab negara ini merupakan salah satu negara poros yang
menentukan masa depan hubungan internasional di regional maupun internasional.
Tak heran, salah seorang sejarawan bernama Paul Kennedy bahwa masa depan Pakistan
ini akan menentukan masa depan regional dan kestabilan internasional khususnya dalam
mempromosikan kepentingan Amerika Serikat. 1
Makalah ini lebih lanjut akan membahas arah kebijakan luar negeri Pakistan dewasa ini
utamanya sejak tahun 2013, paska pemilihan presiden terbaru yang dilakukan parlemen.
Analisis penulis menggunakan peran budaya strategis dan leader dalam mempengaruhi
kebijakan luar negeri Pakistan sebab kedua faktor ini sangat menonjol dari waktu ke waktu
sejak pertama Pakistan menjadi negara merdeka.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peran budaya strategis dan pemimpin negara dalam kebijakan luar negeri
Pakistan
2. Mengetahui arah kebijakan luar negeri Pakistan sejak tahun 2013
Rumusan Penilitian
1. Bagaimana peran budaya strategis dan pemimpin negara dalam kebijakan luar negeri
Pakistan?
2. Bagaimana arah kebijakan luar negeri Pakistan sejak tahun 2013?
Manfaat Penelitian
Praktis
Melalui pengetahuan yang didapatkan tentang arah kebijakan luar negeri Pakistan dewasa
ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan memberikan gambaran pengaruh kebijakan
luar negeri Pakistan terhadap level regional maupun internasional mengingat Pakistan
merupakan salah satu negara poros.
Muqarrab Akbar, Pakistan‟s Foreign Policy : Internal Challenges in New Millennium Berkeley Journal of
Social Sciences Vol. 1 No.2 Feb 2011, hlm 3
1
3
BAB II
PEMBAHASAN
Budaya Strategis
Budaya strategis atau strategic culture merupakan kumpulan norma, nilai dan yang
diyakini elit politik suatu negara dan mempengaruhi interpretasi dan pemahamannya terhadap
isu internasional yang kemudian membentuk respon terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi. 23 Budaya strategis muncul sebagai hasil pengetahuan dan pengalaman di masa
lampau. Selain faktor pengetahuan dan pengalaman, terdapat faktor lainnya yang
mempengaruhi budaya strategis dalam suatu negara yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yakni faktor sosial, fisik ,dan politik. Faktor sosial dapat berupa mitos, legenda, simbol atau
arti tulisan. Sementara faktor fisik dapat berupa geografi, iklim, sumber daya alam dan
teknologi. Terakhir, faktor politik misalnya sejarah dan militer.
Faktor Pembentuk Strategic Culture dalam kebijakan luar negeri Pakistan di awal
kemerdekaan
Sejarah berdirinya Pakistan dan hubungan dengan India
Pendirian negara Pakistan bermula dari separatisme muslim yang terjadi di India pada
1930an. Ide memisahkan diri dari India diusung oleh Dr Muhammad Iqbal yang menyatakan
bahwa pendirian sebuah negara muslim berarti membangun keamanan di area utara India,
dan area barat dan selatan India akan menjadi tanggungjawab keamanan India. Selain itu
diharapkan hubungan keduanya berjalan harmonis, sebagaimana ucapannya “Kita bersatu
sebagai kawan dan tetangga baik dan mengatakan pada dunia „Hands off India‟.”4 Berbagai
kerjasama pun dilakukan antara pemerintah India dan Pakistan dalam pembagian sumberdaya
ketika sebelum dan setelah kemerdekaan Pakistan. Sayangnya peristiwa kerukunan
pembagian sumberdaya dan pertemanan India-Pakistan tidak berlangsung lama.
Selang beberapa waktu, hubungan keduanya memburuk dan tumbuh rasa kebencian
Pakistan terhadap India. Terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab rusaknya hubungan
keduanya menurut Hasan Askari yakni : adanya kericuhan saat pemisahan Pakistan dari India
yang menimbulkan gelombang pengungsi yang sangat besar di India, sengketa pembagian
asset pemerintahan India dimana Pakistan tidak mendapatkan pembagian yang memadai
2
Colin S. Gray, Nuclear Strategy and National Style, (1986), Hamilton Press
Hasan Askari, Pakistan‟s Strategic Culture, Chapter 12 hlm 1
4
Ibid
3
4
cukup untuk membangun administrasi pemerintahan dan militer, serta terjadinya perang
Kashmir pada tahun 1947-1948 disebabkan sengketa teritori Jammu dan Kashmir.
Berbagai permasalahan yang
menghancurkan kerukunan India dan Pakistan ini
sebenarnya telah tampak pada konflik kepentingan antara partai Kongres dan Liga Muslim di
India sebelum terjadi separatisme Pakistan. Konflik tersebut terus berkepanjangan dan
menimbulkan buruknya hubungan India dan Pakistan ditambah lagi dengan perilaku tidak
hangat dari India terhadap Pakistan dalam berbagai masalah seperti kelompok agama
minoritas, sengketa perairan, hingga perdagangan (dimana India melakukan blokade
perdagangan secara unilateral tahun 1950). Akibatnya Pakistan berprasangka dan meyakini
bahwa India tidak mendukung eksistensi Pakistan bahkan berusaha mengancamnya5.
Permasalahan keamanan dengan Afghanistan
Peristiwa berikutnya yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Pakistan adalah klaim
teritori yang dilakukan Afghanistan di bagian barat laut Pakistan tepatnya di Balochistan.
Afghanistan yang mengetahui bahwa pemerintah Inggris pada saat itu meninggalkan India
dan Pakistan akan berdiri, mengambil kesempatan klaim Balochistan dan mengajukan hal ini
pada PBB di tahun 1947. Sebenarnya pasukan militer Afghanistan tidak lebih kuat dari
Pakistan, akan tetapi India memberi dukungan atas klaim yang dilakukan Afghanistan
sehingga memberatkan Pakistan. Fokus keamanan pada tahun 1950-1960 an kemudian harus
terbagi menjadi dua, di perbatasan dengan India dan perbatasan dengan Afghanistan. Pakistan
dalam kondisi ini dituntut memiliki fasilitas militer yang cukup untuk mengamankan
teritorinya. Terlebih lagi kota-kota besar dan ibukota Pakistan terletak dekat dengan
perbatasan yakni Lahore, Sialkot, Kasur dan Islamabad. Sayangnya Pakistan sangat
kekurangan kapasitas ini di awal kemerdekaanya.
Dampak terhadap strategi politik luar negeri Pakistan dalam bidang ekonomi dan keamanan
di awal 30 tahun kemerdekaan
Mengingat ancaman keamanan dari dunia luar tidak hanya datang dari India melainka
juga dari Afghanistan serta lemahnya keamanan Pakistan, maka pencarian keamanan menjadi
fokus utama kepentingan nasional Pakistan di awal kemerdekaannya. Meskipun kebutuhan
manusia di Pakistan sangat kekurangan dan terjadi kemiskinan, pemerintah mengeluarkan
5
Ibid
5
anggaran sebanyak 73% di tahun 1949-1950 untuk mengejar operasional militer yang
memadai.
Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah masih merasa fasilitas militer Pakistan belum
cukup memadai untuk menjamin keamanan negara, Pakistan kemudian mulai membeli
persenjataan dari Inggris dan negara persemakmuran lainnya hingga terjadi kerjasama militer
dengan Amerika Serikat di tahun 1954-1955. Pakistan dan Amerika Serikat menandatangani
perjanjian Mutual Defense Assistance yang mengizinkan adanya pasukan AS di Pakistan,
pelatihan militer oleh ahli dari AS, dan bantuan senjata dan peralatan militer dalam jumlah
besar. Tujuan Pakistan dalam kerjasama ini sebanrnya adalah untuk mengamankan diri dari
serangan luar dan menyeimbangkan kekuatan militer dengan India dimana pada saat itu
pasukan militer Pakistan berjumlah tidak sampai separuh pasukan militer India dan Pakistan
sangat kekurangan senjata dan teknologi militer lainnya. Ini berbeda dengan tujuan AS yang
sebenarnya memberi bantuan untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Asia Selatan.
Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya Desember 1979 Uni Sovyet melakukan
intervensi militer di Afganistan. Amerika Serikat merespon peristiwa ini dengan
mengirimkan bantuan militer untuk Pakistan agar menyeimbangkan kekuatan dengan Uni
Sovyet. Bantuan ini diberikan secara langsung oleh Amerika Serikat tanpa melalui perjanjian
terlebih dahulu. Tahun 1981-1987 AS memberikan bantuan militer dan ekonomi sebesar $3.2
miliar. Sebanyak 55% bantuan ekonomi tersebut merupakan hibah dari AS sementara sisanya
adalah soft loan atau pinjaman yang bisa dikembalikan dengan bunga 10-14%. Berikutnya,
Pakistan kembali menerima bantuan ekonomi sebesar $2.28 miliar dan bantuan militer
sebesar $1.74 miliar dari AS di tahun 1987-1990. Berbagai bantuan tersebut
dioperasionalisasikan untuk menguatkan resistansi Pakistan terhadap militer Uni Sovyet di
Afganistan. Setelah militer Uni Sovyet angkat kaki dari Afganistan, demikian pula bantuan
dari AS mulai menyurut, dan hubungan keduanya sudah hampir usai. Tepat di bulan Oktober
1990, di bawah pemerintahan George Bush, AS menghentikan seluruh bantuan ekonomi dan
militernya.
Strategi lain yang dilakukan Pakistan dalam meningkatkan keamanannya selain dengan
bantuan AS adalah melakukan pendekatan hubungan melalui diplomasi dengan negaranegara Arab khususnya yang memiliki kekayaan minyak mentah seperti Arab Saudi, Kuwait,
,Uni Emirat Arab , Libya, dan Iran. Dengan menjalin hubungan yang baik, Pakistan
mendapatkan bantuan dalam memulihkan ekonomi dan diplomasinya setelah tahun 1971.
Singkat kata dapat disimpulkan bahwa faktor sejarah dan geografis mempengaruhi
budaya strategis elit politik Pakistan yang menimbulkan perasaan tidak aman dari ancaman
6
luar, bersifat konfrontatif terhadap India dan Pakistan sehingga berusaha selalu meningkatkan
kapasitas keamanannya.melalui bantuan asing, terutama Amerika Serikat dan negara-negara
Arab yang mana negara Arab tersebut mudah didekati sebab persamaan ideologi yakni Islam.
Pembentuk Strategic Culture dan pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri Pakistan
sejak tahun 2013
Kebijakan „war on terror‟ tahun 2013
Paska pengeboman yang terjadi di gedung World Trade Center 11 September, Presiden
Amerika Serikat, G.W.Bush menyatakan war on terror secara global. Pada pernyataan
tersebut, AS menujukan kesiapannya secara penuh memerangi segala bentuk terorisme,
khususnya kelompok militan Islam radikalis dan fundamentalis yang melakukan
pembunuhan, pengeboman dan tindakan terorisme lainnya. Terlebih khusus lagi, AS
mengerucutkan sasaran pada Al-Qaeda dan Taliban yang diduga menjadi pelaku pemboman
gedung World Trade Center di AS.
Basis salah satu kelompok Al-Qaeda dan Taliban kebetulan sekali berada di Pakistan
yang dekat dengan perbatasan Afghanistan, sehingga Presiden AS pada saat itu langsung
menelpon Presiden Pakistan Pervez Musharraf dan memberinya dua pilihan apakah “ia akan
berada di pihak Amerika atau tidak” 6 AS juga mengancam Pakistan jika ia tidak berada pada
pihak AS, berarti ia memilih untuk diperlakukan seperti Taliban. Mendengar penawaran
tersebut, Musharraf tentu tidak ingin menjadi korban serangan AS dan membuang seluruh
aset negara hasil perjuangan keras beberapa puluh tahun. Tepat pada tanggal 19 September
2013 Musharraf menyatakan diri secara tidak langsung bahwa ia menerima tawaran AS untuk
bekerjasama memerangi terorisme melalui pernyataannya di televisi nasional :
“We in Pakistan are facing a very critical situation. Perhaps it is as critical as the events
in 1971. If we make the wrong decisions our vital interests will be harmed, our critical
concerns are our sovereignty, second our economy, third our strategic assets, (nuclear,
missiles) and fourth our Kashmir cause. All four will be harmed. If we make these
decisions they must be according to Islam. It is not thequestion of bravery or cowardice.
But bravery without thinking is stupidity. We have to save our interests. Pakistan comes
first everything else is secondary.”
Akibat kerjasama dengan AS, sejak tahun 2013 Pakistan berbagi informasi intelejensi
terkait terorisme dan menerima bantuan logistik serta dana sebesar $ 1miliar. AS juga
menjanjikan bantuan selama 5 tahun sebesar $ 3 miliar yang telah dibayarkan 90% di tahun
2002 dan 2005.7 Tindakan diplomasi koersif AS yang menjelma dalam kemasan tindakan
6
Mirza Jan, dkk, Counter Terrorism Activities in Pakistan : Comparative Study of The Editorials of Elite
Newspaper , Gomal University Journal of Research, 29 Dec 2013, hlm 3
7
Ibid
7
suap ini mengakibatkan setiap tindakan dan kebijakan Pakistan tidak boleh bertentangan
dengan maksud AS.
Krisis Ekonomi
Setelah Presiden Pervez Musharraf mengundurkan diri dari jabatannya tahun 2008,
Pakistan dijerat oleh krisis ekonomi yang sangat berat bersamaan dengan krisis ekonomi
global. Utang asing yang bersifat komersil yang ditanggung Pakistan tercatat sebesar US$ 3
miliar, sedangkan pinjaman dari IMF dan beberapa negara lain mencapai US$ 38 miliar.
Seluruh utang yang sangat masif tersebut tidak mampu dibayar Pakistan pada tenggat waktu
yang telah ditentukan.Akibatnya, kondisi perekonomian Pakistan semakin buruk ditandai
dengan sejumlah gejala yang muncul di tengah masyarakat. Terjadi pemadaman listrik
selama 12 jam sehari bahkan semakin memburuk menjadi 20 jam sehari, pasokan bahan
bakar minyak terbatas, dan sektor perbankan mengalami kemerosotan dengan penarikan
saldo oleh para nasabah secara terburu-buru.8 Cadangan devisa Pakistan bahkan merosot
tajam hingga US$ 4,3 miliar sebab harga bahan bakar terus meningkat. Semakin tahun,
hutang Pakistan yang tak terbayar mengalami peningkatan suku bunga dan pada tahun 2012
jumlah hutang eksternal Pakistan mencapai angka $ 59,6 miliar disesuaikan dengan angka
inflasi. Hal ini kemudian mendorong pemerintah Pakistan untuk memusatkan perhatian
kebijakan domestik dan luar negeri pada peningkatan ekonomi yang diharapkan dapat
melampaui 3,5% setiap tahunnya.
Teori puncak gunung es, peran pemimpin negara dan birokrasi 9
Marijke Breuning dalam Foreign Policy Analysis : A Comparative Introduction
menjelaskan bahwa banyak faktor berkaitan dengan kepemimpinan dan pemerintahan yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri. Pertama adalah ultimate decision unit yang merupakan
entitas dominan terhadap kebijakan dan juga berperan dalam mencegah aktor lain
mempengaruhi kebijakan tersebut. Aktor yang menjadi ultimate decision unit dapat berupa
individu, kelompok, atau koalisi pemerintahan. Aktor ini dapat menggunakan instrumen
pemerintahan atau militer untuk memaksakan suatu kebijakan atau keputusan. Kedua adalah
kepribadian pemimpin negara yang mempengaruhi tata kelola pemerintahan dan cara seorang
pemimpin negara mengarahkan dan menjalankan pemerintahan. Kepribadian pemimpin
8
Siska Amelie, Pakistan, Gelap Gulita Dihantam Krisis Ekonomi, Liputan6.com 15 Agustus 2014. Tersedia
pada https://bisnis.liputan6.com/read/2091690/pakistan-gelap-gulita-dihantam-krisis-ekonomi?p=1
9
Marijke Breuning, Leaders Are Not Alone The Role of Advisorsand Bureaucracies, Foreign Policy Analysis : A
Comparative Introduction Chapter 4
8
negara ini dapat pula dipengaruhi oleh informasi yang didapatkan khususnya melalui para
penasihatnya atau advisory yang berada sangat dekat dengan pemimpin negara. Analisis
Marijke kemudian membahas lebih dalam tentang pengaruh birokrasi dan advisory di
sekeliling pemimpin negara dalam mempengaruhi keputusannya. yang dianalogikan dengan
gunung es dimana pemimpin negara terlihat sangat menonjol padahal banyak faktor
dibawahnya yang berpengaruh yakni advisory, eksekutif, dan kelompok kecil seperti think
tank.
Eksekutif sebuah negara dapat memberikan pengaruh dalam kebijakan luar negeri.
Meskipun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut relatif berdasarkan manajemen
pemimpin suatu negara. Marijke membagi pola manajemen eksekutif menjadi tiga seperti
tampak pada tabel 1.1 di bawah ini:
Manajemen eksekutif dengan pola
formalistik,
seorang
pemimpin
berusaha
menyesuaikan mekanisme pengambilan keputusan sesuai dengan peraturan yang ada dan
struktur organisasinya. Informasi mengenai suatu isu diperoleh melalui penasihat yang sesuai
dengan bidangnya dan sesuai prosedur yang telah ada. Mekanisme ini jika dilihat dari segi
9
regulasi cukup bagus, akan tetapi
memiliki kelemahan apabila penasihat tidak jujur
memberikan informasi. Ini akan berdampak buruk pada keputusan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan di lapangan sebab adanya manipulasi informasi, dan pada pola manajemen
eksekutif yang formalistik manipulasi informasi memiliki tingkat kemudahan yang tinggi
untuk dilakukan dan kemungkinan besar dapat terjadi sebab seorang pemimpin negara tidak
mendapat informasi dari penasihat lainnya dan hanya mengandalkan informasi satu bidang
terbatas pada penasihat di bidang tersebut. Ini berarti pula bahwa penasihat memiliki
pengaruh yang sangat besar pada pemimpin negara dalam mengambil keputusan.
Berikutnya,
pola
manajemen kompetitif.
Pada pola
ini
seorang
pemimpin
mengandalkan informasi dari berbagai pihak di pemerintahan, beberapa penasihat pada
bidang yang berbeda. Kelemahan pada pola ini adalah dampak kompetitif antar penasihat
dalam memberikan informasi lebih dulu dan pengaruh pada pemimpin negara.
Sementara itu pada manajemen eksekutif kolegial, seorang pemimpin negara berusaha
memperoleh informasi dari berbagai sumber sama halnya dengan pendekatan pola kompetitif,
perbedaannya pemimpin negara berusaha menumbuhkan semangat kerjasama antar penasihat
dan birokrat ketimbang menciptakan suasana persaingan. Upaya yang ditempuh adalah
mengumpulkan para birokrat, eksekutif dan penasihat dalam satu forum diskusi untuk
memberikan informasi mengenai suatu isu. Ini berbeda dengan sistem kompetitif dimana
informasi diberikan secara individual kepada leader .
Pola pemerintahan Pakistan dan pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri
Sistem pemerintahan Pakistan
Pakistan menganut sistem pemerintahan demokratis parlementer sejak 2008 dimana
parlemen yang dipilih oleh rakyat memiliki sistem bikameral terdiri dari senat dan majelis
nasional. Keduanya bersama dengan electroral college dan pemimpin negara bagian Pakistan
berhak memilih presiden dengan masa jabatan 5 tahun. Selanjtunya, dengan persetujuan
parlemen, presiden menunjuk perdana menteri dengan masa jabatan 5 tahun yang dapat
diberhentikan parlemen melalui mosi tidak percaya. 10
10
Pakistan Government Structure, Country Studies. Tersedia pada http://countrystudies.us/pakistan/65.htm
10
Sejarah pengaruh birokrasi Pakistan 11
Ketika pertama kali mendirikan negara, Pakistan belum memiliki orang-orang yang
mampu menjalankan pemerintahan sehingga di bawah kepemimpinan Liaquat Ali Khan,
sebagian besar lowongan pemerintahan dan birokrasi dipenuhi birokrat Hindu sebelum
memisahkan diri dengan India. Mereka bekerja dengan profesional berdasarkan pengalaman
sejak masa kolonial Inggris di India. Sementara itu sebagian kecil birokrasi diisi oleh orangorang yang kurang terlatih serta dipilih secara spontan. Dalam bekerja, mereka yang kurang
memiliki kompetensi dan tidak terlatih ini selama bekerja di Civil Services of Pakistan atau
CSP sangat bergantung dengan birokrat-birokrat lama bekas India serta tidak mencoba
belajar mengelola pemerintahan.
Setelah Liaquat Khan wafat, ia digantikan oleh Ghulam Muhammad sebagai gubernur
umum Pakistan. Ghulam dan pemerintahannya kemudian mulai melakukan manipulasi
birokrasi melalui berbagai kebijakan. Salah satu tindakan yang diambil Ghulam untuk
memperkuat kekuasaannya adalah dengan menyatukan 4 provinsi di Pakistan menjadi satu
sehingga kebijakan bersifat terpusat, dan ini sebelumnya tidak dilakukan oleh pemerintah
Inggris.
Berikutnya, tahun 1959 Presiden Ayub Khan menggantikan Ghulam dan membentuk
Komisi Pelayanan dan Pembayaran untuk mengawasi struktur dan kegiatan CSP supaya
dapat merekomendasikan berbagai perubahan yang diperlukan. Meskipun demikian hal ini
tidak mengurangi manipulasi seperti halnya pemerintahan sebelumnya. Komisi Pelayanan
dan Pembayaran dibentuk untuk menarik dukungan pada pemerintahan Ayub Khan.
Eksekutif dan birokrasi yang terdiri dari sipil dan militer memiliki kontrol penuh terhadap
segala kebijakan di Pakistan.
Sifat pasif legislatif Pakistan ,dominasi birokrasi dan eksekutif
Pada umumnya di negara-negara demokratis kebijakan luar negeri ditetapkan oleh
eksekutif dan akan ditinjau secara regulasi oleh legislatif dimana juga dipertimbangkan
apakah kebijakan tersebut memenuhi kepentingan masyarakat atau sebaliknya. Legislatif
dalam hal ini berwenang memberi arah dan batasan kebijakan yang dikeluarkan oleh
eksekutif, termasuk kebijakan luar negeri. Maka dapat dikatakan bahwa legislatif mendapat
peran penting dalam pembuatan kebijakan luar negeri dan oleh sebab itu pemangku jabatan
11
Sumrin Kalia, Bureaucratic Policy Making in Pakistan, The Dialogue, Volume VIII No. 2, University of
Karachi, hlm
11
legislatif harus memiliki kompetensi yang cukup untuk dapat menjalankan tugasnya dengan
optimal sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Sangat disayangkan mekanisme pemerintahan dalam membuat kebijakan luar negeri
kurang berjalan baik di Pakistan. Said Shafqat, seorang pengamat politik dan birokrat di
Pakistan, mengatakan bahwa badan legislatif di negaranya ini tidak profesional dan tidak
mampu mewakili kepentingan rakyat sehingga tidak banyak peraturan yang dibuat dalam
mengarahkan birokrasi dan pemerintahan agar melaksanakan tugas sesuai kebutuhan rakyat.
Hal ini membuat birokrasi dan eksekutif semakin leluasa dalam mengambil kebijakan luar
negeri bahkan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional. Institusi pemerintahan
dibentuk namun ada tidaknya institusi itu tidak memiliki pengaruh pada kebijakan luar negeri
yang bersifat personal, dipengaruhi kuat oleh faktor individu dan ideologi sebagaimana
diungkapkan Said Shafqat ketika diwawancara oleh media The News on Sunday12 :
In Pakistan, unfortunately, policy process is not really institutionalised.Decision-making
is highly personal whether we‟re transitioning to democracy or there is a dictatorial
regime in place. In both cases it is the person who becomes more important but that does
not mean that institutions do not exist. They do exist but are constrained to play an
optimal role.
Pengambilan kebijakan baik domestik maupun luar negeri di Pakistan cenderung
bersifat personal sebab kurangnya diskusi dan pembahasan kebijakan tersebut dengan
masyarakat. Budaya pengambilan kebijakan seperti ini berdampak pada lemahnya dukungan
dari masyarakat. Selain itu kebijakan yang bersifat mementingkan ideologi dan kepentingan
personal, tidak menghiraukan hasil penelitian, pengamatan dan menyebabkan keputusan
yang diambil terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan.
Birokrasi Pakistan hampir separuhnya, sekitar 40% merupakan lulusan luar negeri.
Akan tetapi ketika bekerja di birokrasi, menurut Said mereka menganggapnya lebih sebagai
karir bukan sebagai amanah yang seharusnya dijalankan dengan baik untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat dan kepentingan nasional. Mereka bekerja di bawah struktur yang
mengedepankan ideologi personal dan demikian akhirnya mereka pun selalu menjadikan
ideologi dan prinsip sebagai prioritas dalam melaksanakan segala sesuatu termasuk membuat
keputusan. Cara kerja ini sangat berdampak pada kehidupan domestik dan luar negeri
Pakistan karena birokrasi justru merangkap tugasnya, tidak hanya sebagai pelaksana
peraturan, melainkan juga pembuat regulasi. Tugas membuat regulasi tidak seharusnya
Amel Ghani, “In Pakistan, policy-making is largely done by bureaucracy”, The News on Sunday 26 Januari
2014. Tersedia pada http://tns.thenews.com.pk/pakistan-policy-making-largely-donebureaucracy/#.VKXOzcWSzs4 diakses pada 2 Januari 2015
12
12
dilakukan oleh eksekutif dan birokrasi, apalagi di negara demokratis. Namun seperti yang
telah dijelaskan penulis bahwa Said Shafqat menyatakan legislatif Pakistan tidak memilki
profesionalitas dan kompetensi dalam membuat peraturan.
Perihal lainnya yang semakin menampakkan tidak optimalnya kebijakan luar negeri
Pakistan adalah bahwa negara ini tidak memiliki menteri luar negeri13. Pakistan memiliki
berbagai kantor kedutaan dan berbagai perwakilan diplomatik dengan negara lain. Walaupun
demikian, kementrian luar negeri tidak dipimpin oleh menteri luar negeri melainkan oleh
Perdana Menteri dengan dibantu oleh sekretaris luar negeri.
Banyaknya keterlibatan luar negeri dalam membangun Pakistan membuat negara ini
sangat bergantung dengan negara lain dan harus menjaga hubungan baik dengan negaranegara tersebut jika masih ingin bertahan hidup. Mempercayai seorang menteri luar negeri
kemudian menjadi pilihan yang sangat riskan karena adanya kemungkinan ketidaksesuaian
keinginan perdana menteri Pakistan dengan menteri tersebut dalam menjalin hubungan
dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina atau Arab Saudi. Ketidakhadiran
menteri luar negeri membuat pemimpin negara mampu melangsungkan kebijakan luar
negerinya lebih bebas, sesuai kehendaknya.
Manajemen eksekutif Pakistan
Perdana Menteri sebagai pemeran aktif atau ultimate decision unit dalam kebijakan luar
negeri Pakistan menggunakan pola formalistik dalam memanajemen eksekutif. Ini terbukti
dengan komunikasi yang dilakukan penasihat dengan Perdana Menteri dilakukan melalui
surat-surat, atau secara personal. Dalam situs resmi kementrian luar negeri Pakistan, maka
berbagai dokumen yang menjadi masukan secara personal dari penasihat di abadikan salah
satunya berupa Text of the Statement delivered by Adviser to the Prime Minister on National
Security and Foreign Affairs in the Senate of Pakistan . Pola manajemen yang demikian
mengakibatkan rawannya manipulasi informasi sebab pemimpin hanya mengandalkan
informasi dari salah satu penasihat sesuai bidangnya, dalam hal ini kementrian luar negeri.
13
Shamshad Ahmad, Who runs our foreign policy?, The Express Tribune with The New York Times 14 Maret
2014. Tersedia pada http://tribune.com.pk/story/682902/who-runs-our-foreign-policy diakses pada 2 Januari
2015
13
Arah Kebijakan Luar Negeri Pakistan sejak tahun 2013 berdasarkan pengaruh budaya
strategis dan pemimpin negara
Setelah mengetahui berbagai faktor budaya strategis, pola pemerintahan dan
kepemimpinan negara di Pakistan, kiranya dapat diperoleh gambaran beberapa kebijakan luar
negeri yang dapat menunjukkan pada arah kebijakan luar negeri Pakistan. Pakistan
berdasarkan sejarah kemerdekaannya, memiliki kebijakan luar negeri yang bersifat
konfrontatif terhadap India dan Afghanistan, serta memiliki hubungan persahabatan dengan
negara yang memberi bantuan pada Pakistan seperti AS, Arab Saudi, Cina, dan beberapa
negara Arab. Sementara itu sejak war on terror kebijakan luar negeri Pakistan bertambah
untuk memfokuskan pada pemberantasan terorisme dan kelompok militan Islam ekstremis
dengan bantuan AS. Tambahan fokus kebijakan luar negeri Pakistan yang lainnya adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi krisis ekonomi akibat besarnya hutang
luar negeri yang belum bisa dibayarkan.
Hal yang terpenting, berbagai kebijakan luar negeri ini ditentukan oleh perdana menteri
yang memiliki kewenangan sangat besar sebab secara sekaligus merangkap menjadi
komandan kementerian luar negeri. Melalui mekanisme seperti ini, proses hubungan dengan
luar negeri semakin mudah dilakukan dan pengaruh asing semakin mudah masuk pula. Tanpa
adanya pembentukan Menteri Luar Negeri secara khusus hingga saat ini, menunjukkan
bahwa Pakistan masih akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri dan sangat kental
dengan pengaruh asing.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faktor budaya strategis dan pemimpin negara sangat menonjol dalam menentukan arah
kebijakan luar negeri Pakistan sejak dahulu hingga saat ini, utamanya setelah pemilihan
presiden tahun 2013. Faktor budaya yang mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Pakistan
adalah sejarah kemerdekaan Pakistan, konflik keamanan dengan Afghanistan, war on terror ,
dan krisis ekonomi akibat hutang luar negeri. Faktor ini mengakibatkan arah kebijakan
Pakistan bersifat konfrontatif terhadap India dan Afghanistan, serta memiliki hubungan
persahabatan dengan negara yang memberi bantuan pada Pakistan seperti AS, Arab Saudi,
Cina, dan beberapa negara Arab, pemberantasan terorisme dan kelompok militan Islam
ekstremis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi krisis ekonomi.
Sementara itu faktor pemimpin negara yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan luar
negeri adalah dominasi eksekutif dan birokrasi, manajemen eksekutif pola formalistik dan
tidak adanya menteri luar negeri yang mengakibatkan kendali cukup besar dilakukan oleh
perdana menteri, dan menandakan masih adanya ketergantungan yang besar terhadap pihak
asing.
Saran Kebijakan Luar Negeri Pakistan
Ketidakmampuan Pakistan dalam membangun ekonomi domestik rupanya menjadi
alasan kuat Pakistan untuk tiada henti meminta bantuan asing dan komunitas internasional
bagi negaranya. Cepat atau lambat, hal ini berdampak buruk pada Pakistan dengan adanya
krisis ekonomi dan ketidakmandirian Pakistan yang terus menyandarkan diri pada pihak luar.
Maka sebaiknya Pakistan mulai berupaya melepaskan diri perlahan dari bantuan asing
dengan cara meningkatkan ekonomi domestik diantaranya melalui peningkatan ekspor, usaha
menengah masyarakat dan pencarian mitra dagang bilateral sebanyak-banyaknya. Penulis
menyarankan mitra dagang bilateral sebab kurang memungkinkan bagi Pakistan untuk
mengikuti kerjasama dagang dalam organisasi sebab pencitraan yang kurang baik akibat
besarnya hutang luar negeri.
Pakistan di sisi lain perlu memperbaiki hubungan dengan negara tetangganya
khususnya India dan Afghanistan, agar terjalin rasa aman dan persahabatan sehingga
Pakistan tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu besar pada keamanan dan menelantarkan
kebutuhan penduduknya. Masih ada yang jauh lebih penting dari hanya sekadar keamanan
15
militer, yakni keamanan manusia. Apabila Pakistan masih bermusuhan dengan India dan
Afghanistan, maka tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk terus mengejar kapasitas
militer keduanya, sementara sebenarnya Pakistan tidak mampu kecuali dengan bantuan asing.
Maka Pakistan harus mulai menjalin hubungan yang baik dengan keduanya, bisa melalui
hubungan dagang terlebih dahulu, kemudian bertahap hingga membuat persetujuan dalam
rangka membangun kepercayaan bersama dan menjamin common security. Apabila
hubungan Pakistan dengan India dan Afghanistan membaik, tentu akan menambah keamanan
dan berdampak baik bagi ekonomi Pakistan dimana mitra ekonomi berada tidak terlalu jauh
dan menguatkan regional.
Hal lain yang perlu diperbaiki kiranya adalah sistem pemerintahan yang cenderung
didominasi eksekutif. Parlemen perlu diaktifkan kembali dengan memberikan kepercayaan
terhadap pembentukan regulasi dan memperbaiki kualitas pemangku legislatif. Mengingat
parlemen baru saja mengalami pergantian di tahun 2013 maka perbaikan sumber daya
manusia dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan. Agar hal ini tidak mengeluarkan biaya
yang banyak, Pakistan perlu mencari mitra negara berkembang dengan kualitas parlemen
yang baik untuk memberikan pelatihan, tips dan saran bagi para pemangku legislatif di
Pakistan.
Manajemen eksekutif juga perlu diperbaiki dengan mengarahkan manajemen pada pola
kolegial. Perdana Menteri dapat secara berkala melakukan konsultasi dengan penasihat dan
birokrat dari berbagai bidang dalam suatu forum. Hal ini dapat menimbulkan semangat
kerjasama yang kuat dalam eksekutif sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah.
16
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal dan Buku
Akbar Muqarrab. Pakistan‟s Foreign Policy : Internal Challenges in New Millennium
Berkeley Journal of Social Sciences Vol. 1 No.2 Feb 2011
Askari Hasan. Pakistan‟s Strategic Culture, Chapter 12
Gray Colin S. Nuclear Strategy and National Style, (1986), Hamilton Press
Kalia Sumrin. Bureaucratic Policy Making in Pakistan , The Dialogue, Volume VIII No. 2,
University of Karachi
Mirza Jan, dkk. Counter Terrorism Activities in Pakistan : Comparative Study of The
Editorials of Elite Newspaper , Gomal University Journal of Research, 29 Dec 2013
Breuning Marijke. Leaders Are Not Alone The Role of Advisorsand Bureaucracies, Foreign
Policy Analysis : A Comparative Introduction Chapter 4
Perkuliahan Analisis Politik Luar Negeri oleh Achmad Fathoni K S.IP, M.A Pengaruh
Strategic Culture dalam Kebijakan Luar Negeri
Situs Web
Amel Ghani, “In Pakistan, policy-making is largely done by bureaucracy”, The News on
Sunday 26 Januari 2014. http://tns.thenews.com.pk/pakistan-policy-making-largely-
done-bureaucracy/#.VKXOzcWSzs4
Amelie Siska. Pakistan, Gelap Gulita Dihantam Krisis Ekonomi, Liputan6.com 15 Agustus
2014. https://bisnis.liputan6.com/read/2091690/pakistan-gelap-gulita-dihantam-krisisekonomi?p=1
Kementerian Luar Negeri Pakistan. http://www.mofa.gov.pk
Pakistan Government Structure, Country Studies. http://countrystudies.us/pakistan/65.htm
Shamshad Ahmad, Who runs our foreign policy?, The Express Tribune with The New York
Times 14 Maret 2014. http://tribune.com.pk/story/682902/who-runs-our-foreign-
policy
17
Kebijakan Luar Negeri Pakistan Sejak Tahun 2013
Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Analisis Politik Luar Negeri
DOSEN PENGAMPU : ACHMAD FATHONI KURNIAWAN, S.IP., MA.
Oleh
Kurnia Islami
135120401111036
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji tercurah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memperkenankan penulis
dengan rahmat dan nikmatNya untuk menyelesaikan penelitian berjudul Pengaruh Budaya
Strategis dan Leader terhadap Arah Kebijakan Luar Negeri Pakistan Sejak Tahun 2013 .
Penulis mengucapkan permohonan maaf kepada para pembaca sebab penulisan makalah
penelitian yang memiliki banyak sekali kekurangan. Penulis merasa masih banyak yang harus
diteliti lebih dalam namun tidak dapat penulis lakukan sebab keterbatasan waktu dan
banyaknya sumber data yang harus diolah dan digabungkan fakta-faktanya. Penulis harap
dengan adanya makalah peneilitian ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan pembaca
dan menjadi alat bantu meneropong masa depan Pakistan, kawasan Asia Selatan, bahkan
politik internasional.
Malang, Januari 2015
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakistan merupakan sebuah negara yang berdiri pada Agustus 1947 dari sebuah
peristiwa separatisme Islam di India sejak tahun 1930. Setelah berhasil memisahkan diri dari
India, negara ini memiliki luas wilayah 796.095 km² dan terletak di sebelah barat laut India,
berbatasan dengan Afganistan, Iran dan Cina.
Sejak pertama mendapatkan kemerdekaan, Pakistan sudah mengalami berbagai
permasalahan, hubungan tidak baik dengan tetangganya bahkan permasalahan domestik yang
terjadi bersamaan. Pakistan juga menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi
kepentingan nasionalnya sebagai sebuah negara yang baru merangkak dan mengenal dunia
internasional. Berbagai cara dilakukan Pakistan untuk mendapatkan bantuan dalam rangka
memperbaiki domestiknya sebagai sebuah negara baru yang belum stabil dan mandiri.
Sebagai negara yang berlandaskan ideology Islam yang kuat maka negara ini
melakukan upaya lain dengan mencoba melirik dan berteman dengan negara-negara Arab.
Bukan hanya itu, Pakistan juga mencoba mencari bantuan dari negara-negara Barat seperti
Amerika Serikat yang mana tentu mengandung beberapa resiko. Demikian dilakukan
Pakistan dalam menyelamatkan diri dan mencoba menyeimbangkan kemampuan dengan
India agar tidak terjadi dominasi India yang kuat di Asia Selatan. Akibatnya, Pakistan hingga
saat ini menjadi ladang kepentingan banyak negara besar melalui pemberian bantuan seperti
Amerika Serikat, Cina dan Arab Saudi.
Banyaknya keterlibatan asing dalam pembangunan Pakistan ini kemudian menjadi
parameter negara besar pula untuk mengukur kemampuannya menaruh pengaruh terhadap
negara berkembang. Tak hanya itu, Pakistan juga dikenal memiliki cita-cita bersaing dengan
India, menghilangkan dominasi India di kawasan Asia Selatan. Bantuan yang diberikan
negara lain atau pihak internasional otomatis akan membantu Pakistan menjadi negara besar
di regional dan bahkan menjadi penyeimbang kekuatan India. Ketika suatu negara memiliki
kontribusi besar dalam membangun Pakistan sebagai negara berpengaruh di regional, maka ia
juga memiliki hak mendapatkan imbalan dari Pakistan dengan mengontrol gerak Pakistan di
regional Asia Selatan. Artinya negara donatur tersebut dapat memiliki pengaruh yang cukup
besar di Asia Selatan melalui „tangan‟ Pakistan. Oleh karena itu, menarik untuk mengkaji
2
kebijakan luar negeri Pakistan sebab negara ini merupakan salah satu negara poros yang
menentukan masa depan hubungan internasional di regional maupun internasional.
Tak heran, salah seorang sejarawan bernama Paul Kennedy bahwa masa depan Pakistan
ini akan menentukan masa depan regional dan kestabilan internasional khususnya dalam
mempromosikan kepentingan Amerika Serikat. 1
Makalah ini lebih lanjut akan membahas arah kebijakan luar negeri Pakistan dewasa ini
utamanya sejak tahun 2013, paska pemilihan presiden terbaru yang dilakukan parlemen.
Analisis penulis menggunakan peran budaya strategis dan leader dalam mempengaruhi
kebijakan luar negeri Pakistan sebab kedua faktor ini sangat menonjol dari waktu ke waktu
sejak pertama Pakistan menjadi negara merdeka.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peran budaya strategis dan pemimpin negara dalam kebijakan luar negeri
Pakistan
2. Mengetahui arah kebijakan luar negeri Pakistan sejak tahun 2013
Rumusan Penilitian
1. Bagaimana peran budaya strategis dan pemimpin negara dalam kebijakan luar negeri
Pakistan?
2. Bagaimana arah kebijakan luar negeri Pakistan sejak tahun 2013?
Manfaat Penelitian
Praktis
Melalui pengetahuan yang didapatkan tentang arah kebijakan luar negeri Pakistan dewasa
ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan memberikan gambaran pengaruh kebijakan
luar negeri Pakistan terhadap level regional maupun internasional mengingat Pakistan
merupakan salah satu negara poros.
Muqarrab Akbar, Pakistan‟s Foreign Policy : Internal Challenges in New Millennium Berkeley Journal of
Social Sciences Vol. 1 No.2 Feb 2011, hlm 3
1
3
BAB II
PEMBAHASAN
Budaya Strategis
Budaya strategis atau strategic culture merupakan kumpulan norma, nilai dan yang
diyakini elit politik suatu negara dan mempengaruhi interpretasi dan pemahamannya terhadap
isu internasional yang kemudian membentuk respon terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi. 23 Budaya strategis muncul sebagai hasil pengetahuan dan pengalaman di masa
lampau. Selain faktor pengetahuan dan pengalaman, terdapat faktor lainnya yang
mempengaruhi budaya strategis dalam suatu negara yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yakni faktor sosial, fisik ,dan politik. Faktor sosial dapat berupa mitos, legenda, simbol atau
arti tulisan. Sementara faktor fisik dapat berupa geografi, iklim, sumber daya alam dan
teknologi. Terakhir, faktor politik misalnya sejarah dan militer.
Faktor Pembentuk Strategic Culture dalam kebijakan luar negeri Pakistan di awal
kemerdekaan
Sejarah berdirinya Pakistan dan hubungan dengan India
Pendirian negara Pakistan bermula dari separatisme muslim yang terjadi di India pada
1930an. Ide memisahkan diri dari India diusung oleh Dr Muhammad Iqbal yang menyatakan
bahwa pendirian sebuah negara muslim berarti membangun keamanan di area utara India,
dan area barat dan selatan India akan menjadi tanggungjawab keamanan India. Selain itu
diharapkan hubungan keduanya berjalan harmonis, sebagaimana ucapannya “Kita bersatu
sebagai kawan dan tetangga baik dan mengatakan pada dunia „Hands off India‟.”4 Berbagai
kerjasama pun dilakukan antara pemerintah India dan Pakistan dalam pembagian sumberdaya
ketika sebelum dan setelah kemerdekaan Pakistan. Sayangnya peristiwa kerukunan
pembagian sumberdaya dan pertemanan India-Pakistan tidak berlangsung lama.
Selang beberapa waktu, hubungan keduanya memburuk dan tumbuh rasa kebencian
Pakistan terhadap India. Terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab rusaknya hubungan
keduanya menurut Hasan Askari yakni : adanya kericuhan saat pemisahan Pakistan dari India
yang menimbulkan gelombang pengungsi yang sangat besar di India, sengketa pembagian
asset pemerintahan India dimana Pakistan tidak mendapatkan pembagian yang memadai
2
Colin S. Gray, Nuclear Strategy and National Style, (1986), Hamilton Press
Hasan Askari, Pakistan‟s Strategic Culture, Chapter 12 hlm 1
4
Ibid
3
4
cukup untuk membangun administrasi pemerintahan dan militer, serta terjadinya perang
Kashmir pada tahun 1947-1948 disebabkan sengketa teritori Jammu dan Kashmir.
Berbagai permasalahan yang
menghancurkan kerukunan India dan Pakistan ini
sebenarnya telah tampak pada konflik kepentingan antara partai Kongres dan Liga Muslim di
India sebelum terjadi separatisme Pakistan. Konflik tersebut terus berkepanjangan dan
menimbulkan buruknya hubungan India dan Pakistan ditambah lagi dengan perilaku tidak
hangat dari India terhadap Pakistan dalam berbagai masalah seperti kelompok agama
minoritas, sengketa perairan, hingga perdagangan (dimana India melakukan blokade
perdagangan secara unilateral tahun 1950). Akibatnya Pakistan berprasangka dan meyakini
bahwa India tidak mendukung eksistensi Pakistan bahkan berusaha mengancamnya5.
Permasalahan keamanan dengan Afghanistan
Peristiwa berikutnya yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Pakistan adalah klaim
teritori yang dilakukan Afghanistan di bagian barat laut Pakistan tepatnya di Balochistan.
Afghanistan yang mengetahui bahwa pemerintah Inggris pada saat itu meninggalkan India
dan Pakistan akan berdiri, mengambil kesempatan klaim Balochistan dan mengajukan hal ini
pada PBB di tahun 1947. Sebenarnya pasukan militer Afghanistan tidak lebih kuat dari
Pakistan, akan tetapi India memberi dukungan atas klaim yang dilakukan Afghanistan
sehingga memberatkan Pakistan. Fokus keamanan pada tahun 1950-1960 an kemudian harus
terbagi menjadi dua, di perbatasan dengan India dan perbatasan dengan Afghanistan. Pakistan
dalam kondisi ini dituntut memiliki fasilitas militer yang cukup untuk mengamankan
teritorinya. Terlebih lagi kota-kota besar dan ibukota Pakistan terletak dekat dengan
perbatasan yakni Lahore, Sialkot, Kasur dan Islamabad. Sayangnya Pakistan sangat
kekurangan kapasitas ini di awal kemerdekaanya.
Dampak terhadap strategi politik luar negeri Pakistan dalam bidang ekonomi dan keamanan
di awal 30 tahun kemerdekaan
Mengingat ancaman keamanan dari dunia luar tidak hanya datang dari India melainka
juga dari Afghanistan serta lemahnya keamanan Pakistan, maka pencarian keamanan menjadi
fokus utama kepentingan nasional Pakistan di awal kemerdekaannya. Meskipun kebutuhan
manusia di Pakistan sangat kekurangan dan terjadi kemiskinan, pemerintah mengeluarkan
5
Ibid
5
anggaran sebanyak 73% di tahun 1949-1950 untuk mengejar operasional militer yang
memadai.
Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah masih merasa fasilitas militer Pakistan belum
cukup memadai untuk menjamin keamanan negara, Pakistan kemudian mulai membeli
persenjataan dari Inggris dan negara persemakmuran lainnya hingga terjadi kerjasama militer
dengan Amerika Serikat di tahun 1954-1955. Pakistan dan Amerika Serikat menandatangani
perjanjian Mutual Defense Assistance yang mengizinkan adanya pasukan AS di Pakistan,
pelatihan militer oleh ahli dari AS, dan bantuan senjata dan peralatan militer dalam jumlah
besar. Tujuan Pakistan dalam kerjasama ini sebanrnya adalah untuk mengamankan diri dari
serangan luar dan menyeimbangkan kekuatan militer dengan India dimana pada saat itu
pasukan militer Pakistan berjumlah tidak sampai separuh pasukan militer India dan Pakistan
sangat kekurangan senjata dan teknologi militer lainnya. Ini berbeda dengan tujuan AS yang
sebenarnya memberi bantuan untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Asia Selatan.
Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya Desember 1979 Uni Sovyet melakukan
intervensi militer di Afganistan. Amerika Serikat merespon peristiwa ini dengan
mengirimkan bantuan militer untuk Pakistan agar menyeimbangkan kekuatan dengan Uni
Sovyet. Bantuan ini diberikan secara langsung oleh Amerika Serikat tanpa melalui perjanjian
terlebih dahulu. Tahun 1981-1987 AS memberikan bantuan militer dan ekonomi sebesar $3.2
miliar. Sebanyak 55% bantuan ekonomi tersebut merupakan hibah dari AS sementara sisanya
adalah soft loan atau pinjaman yang bisa dikembalikan dengan bunga 10-14%. Berikutnya,
Pakistan kembali menerima bantuan ekonomi sebesar $2.28 miliar dan bantuan militer
sebesar $1.74 miliar dari AS di tahun 1987-1990. Berbagai bantuan tersebut
dioperasionalisasikan untuk menguatkan resistansi Pakistan terhadap militer Uni Sovyet di
Afganistan. Setelah militer Uni Sovyet angkat kaki dari Afganistan, demikian pula bantuan
dari AS mulai menyurut, dan hubungan keduanya sudah hampir usai. Tepat di bulan Oktober
1990, di bawah pemerintahan George Bush, AS menghentikan seluruh bantuan ekonomi dan
militernya.
Strategi lain yang dilakukan Pakistan dalam meningkatkan keamanannya selain dengan
bantuan AS adalah melakukan pendekatan hubungan melalui diplomasi dengan negaranegara Arab khususnya yang memiliki kekayaan minyak mentah seperti Arab Saudi, Kuwait,
,Uni Emirat Arab , Libya, dan Iran. Dengan menjalin hubungan yang baik, Pakistan
mendapatkan bantuan dalam memulihkan ekonomi dan diplomasinya setelah tahun 1971.
Singkat kata dapat disimpulkan bahwa faktor sejarah dan geografis mempengaruhi
budaya strategis elit politik Pakistan yang menimbulkan perasaan tidak aman dari ancaman
6
luar, bersifat konfrontatif terhadap India dan Pakistan sehingga berusaha selalu meningkatkan
kapasitas keamanannya.melalui bantuan asing, terutama Amerika Serikat dan negara-negara
Arab yang mana negara Arab tersebut mudah didekati sebab persamaan ideologi yakni Islam.
Pembentuk Strategic Culture dan pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri Pakistan
sejak tahun 2013
Kebijakan „war on terror‟ tahun 2013
Paska pengeboman yang terjadi di gedung World Trade Center 11 September, Presiden
Amerika Serikat, G.W.Bush menyatakan war on terror secara global. Pada pernyataan
tersebut, AS menujukan kesiapannya secara penuh memerangi segala bentuk terorisme,
khususnya kelompok militan Islam radikalis dan fundamentalis yang melakukan
pembunuhan, pengeboman dan tindakan terorisme lainnya. Terlebih khusus lagi, AS
mengerucutkan sasaran pada Al-Qaeda dan Taliban yang diduga menjadi pelaku pemboman
gedung World Trade Center di AS.
Basis salah satu kelompok Al-Qaeda dan Taliban kebetulan sekali berada di Pakistan
yang dekat dengan perbatasan Afghanistan, sehingga Presiden AS pada saat itu langsung
menelpon Presiden Pakistan Pervez Musharraf dan memberinya dua pilihan apakah “ia akan
berada di pihak Amerika atau tidak” 6 AS juga mengancam Pakistan jika ia tidak berada pada
pihak AS, berarti ia memilih untuk diperlakukan seperti Taliban. Mendengar penawaran
tersebut, Musharraf tentu tidak ingin menjadi korban serangan AS dan membuang seluruh
aset negara hasil perjuangan keras beberapa puluh tahun. Tepat pada tanggal 19 September
2013 Musharraf menyatakan diri secara tidak langsung bahwa ia menerima tawaran AS untuk
bekerjasama memerangi terorisme melalui pernyataannya di televisi nasional :
“We in Pakistan are facing a very critical situation. Perhaps it is as critical as the events
in 1971. If we make the wrong decisions our vital interests will be harmed, our critical
concerns are our sovereignty, second our economy, third our strategic assets, (nuclear,
missiles) and fourth our Kashmir cause. All four will be harmed. If we make these
decisions they must be according to Islam. It is not thequestion of bravery or cowardice.
But bravery without thinking is stupidity. We have to save our interests. Pakistan comes
first everything else is secondary.”
Akibat kerjasama dengan AS, sejak tahun 2013 Pakistan berbagi informasi intelejensi
terkait terorisme dan menerima bantuan logistik serta dana sebesar $ 1miliar. AS juga
menjanjikan bantuan selama 5 tahun sebesar $ 3 miliar yang telah dibayarkan 90% di tahun
2002 dan 2005.7 Tindakan diplomasi koersif AS yang menjelma dalam kemasan tindakan
6
Mirza Jan, dkk, Counter Terrorism Activities in Pakistan : Comparative Study of The Editorials of Elite
Newspaper , Gomal University Journal of Research, 29 Dec 2013, hlm 3
7
Ibid
7
suap ini mengakibatkan setiap tindakan dan kebijakan Pakistan tidak boleh bertentangan
dengan maksud AS.
Krisis Ekonomi
Setelah Presiden Pervez Musharraf mengundurkan diri dari jabatannya tahun 2008,
Pakistan dijerat oleh krisis ekonomi yang sangat berat bersamaan dengan krisis ekonomi
global. Utang asing yang bersifat komersil yang ditanggung Pakistan tercatat sebesar US$ 3
miliar, sedangkan pinjaman dari IMF dan beberapa negara lain mencapai US$ 38 miliar.
Seluruh utang yang sangat masif tersebut tidak mampu dibayar Pakistan pada tenggat waktu
yang telah ditentukan.Akibatnya, kondisi perekonomian Pakistan semakin buruk ditandai
dengan sejumlah gejala yang muncul di tengah masyarakat. Terjadi pemadaman listrik
selama 12 jam sehari bahkan semakin memburuk menjadi 20 jam sehari, pasokan bahan
bakar minyak terbatas, dan sektor perbankan mengalami kemerosotan dengan penarikan
saldo oleh para nasabah secara terburu-buru.8 Cadangan devisa Pakistan bahkan merosot
tajam hingga US$ 4,3 miliar sebab harga bahan bakar terus meningkat. Semakin tahun,
hutang Pakistan yang tak terbayar mengalami peningkatan suku bunga dan pada tahun 2012
jumlah hutang eksternal Pakistan mencapai angka $ 59,6 miliar disesuaikan dengan angka
inflasi. Hal ini kemudian mendorong pemerintah Pakistan untuk memusatkan perhatian
kebijakan domestik dan luar negeri pada peningkatan ekonomi yang diharapkan dapat
melampaui 3,5% setiap tahunnya.
Teori puncak gunung es, peran pemimpin negara dan birokrasi 9
Marijke Breuning dalam Foreign Policy Analysis : A Comparative Introduction
menjelaskan bahwa banyak faktor berkaitan dengan kepemimpinan dan pemerintahan yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri. Pertama adalah ultimate decision unit yang merupakan
entitas dominan terhadap kebijakan dan juga berperan dalam mencegah aktor lain
mempengaruhi kebijakan tersebut. Aktor yang menjadi ultimate decision unit dapat berupa
individu, kelompok, atau koalisi pemerintahan. Aktor ini dapat menggunakan instrumen
pemerintahan atau militer untuk memaksakan suatu kebijakan atau keputusan. Kedua adalah
kepribadian pemimpin negara yang mempengaruhi tata kelola pemerintahan dan cara seorang
pemimpin negara mengarahkan dan menjalankan pemerintahan. Kepribadian pemimpin
8
Siska Amelie, Pakistan, Gelap Gulita Dihantam Krisis Ekonomi, Liputan6.com 15 Agustus 2014. Tersedia
pada https://bisnis.liputan6.com/read/2091690/pakistan-gelap-gulita-dihantam-krisis-ekonomi?p=1
9
Marijke Breuning, Leaders Are Not Alone The Role of Advisorsand Bureaucracies, Foreign Policy Analysis : A
Comparative Introduction Chapter 4
8
negara ini dapat pula dipengaruhi oleh informasi yang didapatkan khususnya melalui para
penasihatnya atau advisory yang berada sangat dekat dengan pemimpin negara. Analisis
Marijke kemudian membahas lebih dalam tentang pengaruh birokrasi dan advisory di
sekeliling pemimpin negara dalam mempengaruhi keputusannya. yang dianalogikan dengan
gunung es dimana pemimpin negara terlihat sangat menonjol padahal banyak faktor
dibawahnya yang berpengaruh yakni advisory, eksekutif, dan kelompok kecil seperti think
tank.
Eksekutif sebuah negara dapat memberikan pengaruh dalam kebijakan luar negeri.
Meskipun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut relatif berdasarkan manajemen
pemimpin suatu negara. Marijke membagi pola manajemen eksekutif menjadi tiga seperti
tampak pada tabel 1.1 di bawah ini:
Manajemen eksekutif dengan pola
formalistik,
seorang
pemimpin
berusaha
menyesuaikan mekanisme pengambilan keputusan sesuai dengan peraturan yang ada dan
struktur organisasinya. Informasi mengenai suatu isu diperoleh melalui penasihat yang sesuai
dengan bidangnya dan sesuai prosedur yang telah ada. Mekanisme ini jika dilihat dari segi
9
regulasi cukup bagus, akan tetapi
memiliki kelemahan apabila penasihat tidak jujur
memberikan informasi. Ini akan berdampak buruk pada keputusan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan di lapangan sebab adanya manipulasi informasi, dan pada pola manajemen
eksekutif yang formalistik manipulasi informasi memiliki tingkat kemudahan yang tinggi
untuk dilakukan dan kemungkinan besar dapat terjadi sebab seorang pemimpin negara tidak
mendapat informasi dari penasihat lainnya dan hanya mengandalkan informasi satu bidang
terbatas pada penasihat di bidang tersebut. Ini berarti pula bahwa penasihat memiliki
pengaruh yang sangat besar pada pemimpin negara dalam mengambil keputusan.
Berikutnya,
pola
manajemen kompetitif.
Pada pola
ini
seorang
pemimpin
mengandalkan informasi dari berbagai pihak di pemerintahan, beberapa penasihat pada
bidang yang berbeda. Kelemahan pada pola ini adalah dampak kompetitif antar penasihat
dalam memberikan informasi lebih dulu dan pengaruh pada pemimpin negara.
Sementara itu pada manajemen eksekutif kolegial, seorang pemimpin negara berusaha
memperoleh informasi dari berbagai sumber sama halnya dengan pendekatan pola kompetitif,
perbedaannya pemimpin negara berusaha menumbuhkan semangat kerjasama antar penasihat
dan birokrat ketimbang menciptakan suasana persaingan. Upaya yang ditempuh adalah
mengumpulkan para birokrat, eksekutif dan penasihat dalam satu forum diskusi untuk
memberikan informasi mengenai suatu isu. Ini berbeda dengan sistem kompetitif dimana
informasi diberikan secara individual kepada leader .
Pola pemerintahan Pakistan dan pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri
Sistem pemerintahan Pakistan
Pakistan menganut sistem pemerintahan demokratis parlementer sejak 2008 dimana
parlemen yang dipilih oleh rakyat memiliki sistem bikameral terdiri dari senat dan majelis
nasional. Keduanya bersama dengan electroral college dan pemimpin negara bagian Pakistan
berhak memilih presiden dengan masa jabatan 5 tahun. Selanjtunya, dengan persetujuan
parlemen, presiden menunjuk perdana menteri dengan masa jabatan 5 tahun yang dapat
diberhentikan parlemen melalui mosi tidak percaya. 10
10
Pakistan Government Structure, Country Studies. Tersedia pada http://countrystudies.us/pakistan/65.htm
10
Sejarah pengaruh birokrasi Pakistan 11
Ketika pertama kali mendirikan negara, Pakistan belum memiliki orang-orang yang
mampu menjalankan pemerintahan sehingga di bawah kepemimpinan Liaquat Ali Khan,
sebagian besar lowongan pemerintahan dan birokrasi dipenuhi birokrat Hindu sebelum
memisahkan diri dengan India. Mereka bekerja dengan profesional berdasarkan pengalaman
sejak masa kolonial Inggris di India. Sementara itu sebagian kecil birokrasi diisi oleh orangorang yang kurang terlatih serta dipilih secara spontan. Dalam bekerja, mereka yang kurang
memiliki kompetensi dan tidak terlatih ini selama bekerja di Civil Services of Pakistan atau
CSP sangat bergantung dengan birokrat-birokrat lama bekas India serta tidak mencoba
belajar mengelola pemerintahan.
Setelah Liaquat Khan wafat, ia digantikan oleh Ghulam Muhammad sebagai gubernur
umum Pakistan. Ghulam dan pemerintahannya kemudian mulai melakukan manipulasi
birokrasi melalui berbagai kebijakan. Salah satu tindakan yang diambil Ghulam untuk
memperkuat kekuasaannya adalah dengan menyatukan 4 provinsi di Pakistan menjadi satu
sehingga kebijakan bersifat terpusat, dan ini sebelumnya tidak dilakukan oleh pemerintah
Inggris.
Berikutnya, tahun 1959 Presiden Ayub Khan menggantikan Ghulam dan membentuk
Komisi Pelayanan dan Pembayaran untuk mengawasi struktur dan kegiatan CSP supaya
dapat merekomendasikan berbagai perubahan yang diperlukan. Meskipun demikian hal ini
tidak mengurangi manipulasi seperti halnya pemerintahan sebelumnya. Komisi Pelayanan
dan Pembayaran dibentuk untuk menarik dukungan pada pemerintahan Ayub Khan.
Eksekutif dan birokrasi yang terdiri dari sipil dan militer memiliki kontrol penuh terhadap
segala kebijakan di Pakistan.
Sifat pasif legislatif Pakistan ,dominasi birokrasi dan eksekutif
Pada umumnya di negara-negara demokratis kebijakan luar negeri ditetapkan oleh
eksekutif dan akan ditinjau secara regulasi oleh legislatif dimana juga dipertimbangkan
apakah kebijakan tersebut memenuhi kepentingan masyarakat atau sebaliknya. Legislatif
dalam hal ini berwenang memberi arah dan batasan kebijakan yang dikeluarkan oleh
eksekutif, termasuk kebijakan luar negeri. Maka dapat dikatakan bahwa legislatif mendapat
peran penting dalam pembuatan kebijakan luar negeri dan oleh sebab itu pemangku jabatan
11
Sumrin Kalia, Bureaucratic Policy Making in Pakistan, The Dialogue, Volume VIII No. 2, University of
Karachi, hlm
11
legislatif harus memiliki kompetensi yang cukup untuk dapat menjalankan tugasnya dengan
optimal sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Sangat disayangkan mekanisme pemerintahan dalam membuat kebijakan luar negeri
kurang berjalan baik di Pakistan. Said Shafqat, seorang pengamat politik dan birokrat di
Pakistan, mengatakan bahwa badan legislatif di negaranya ini tidak profesional dan tidak
mampu mewakili kepentingan rakyat sehingga tidak banyak peraturan yang dibuat dalam
mengarahkan birokrasi dan pemerintahan agar melaksanakan tugas sesuai kebutuhan rakyat.
Hal ini membuat birokrasi dan eksekutif semakin leluasa dalam mengambil kebijakan luar
negeri bahkan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional. Institusi pemerintahan
dibentuk namun ada tidaknya institusi itu tidak memiliki pengaruh pada kebijakan luar negeri
yang bersifat personal, dipengaruhi kuat oleh faktor individu dan ideologi sebagaimana
diungkapkan Said Shafqat ketika diwawancara oleh media The News on Sunday12 :
In Pakistan, unfortunately, policy process is not really institutionalised.Decision-making
is highly personal whether we‟re transitioning to democracy or there is a dictatorial
regime in place. In both cases it is the person who becomes more important but that does
not mean that institutions do not exist. They do exist but are constrained to play an
optimal role.
Pengambilan kebijakan baik domestik maupun luar negeri di Pakistan cenderung
bersifat personal sebab kurangnya diskusi dan pembahasan kebijakan tersebut dengan
masyarakat. Budaya pengambilan kebijakan seperti ini berdampak pada lemahnya dukungan
dari masyarakat. Selain itu kebijakan yang bersifat mementingkan ideologi dan kepentingan
personal, tidak menghiraukan hasil penelitian, pengamatan dan menyebabkan keputusan
yang diambil terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya di lapangan.
Birokrasi Pakistan hampir separuhnya, sekitar 40% merupakan lulusan luar negeri.
Akan tetapi ketika bekerja di birokrasi, menurut Said mereka menganggapnya lebih sebagai
karir bukan sebagai amanah yang seharusnya dijalankan dengan baik untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat dan kepentingan nasional. Mereka bekerja di bawah struktur yang
mengedepankan ideologi personal dan demikian akhirnya mereka pun selalu menjadikan
ideologi dan prinsip sebagai prioritas dalam melaksanakan segala sesuatu termasuk membuat
keputusan. Cara kerja ini sangat berdampak pada kehidupan domestik dan luar negeri
Pakistan karena birokrasi justru merangkap tugasnya, tidak hanya sebagai pelaksana
peraturan, melainkan juga pembuat regulasi. Tugas membuat regulasi tidak seharusnya
Amel Ghani, “In Pakistan, policy-making is largely done by bureaucracy”, The News on Sunday 26 Januari
2014. Tersedia pada http://tns.thenews.com.pk/pakistan-policy-making-largely-donebureaucracy/#.VKXOzcWSzs4 diakses pada 2 Januari 2015
12
12
dilakukan oleh eksekutif dan birokrasi, apalagi di negara demokratis. Namun seperti yang
telah dijelaskan penulis bahwa Said Shafqat menyatakan legislatif Pakistan tidak memilki
profesionalitas dan kompetensi dalam membuat peraturan.
Perihal lainnya yang semakin menampakkan tidak optimalnya kebijakan luar negeri
Pakistan adalah bahwa negara ini tidak memiliki menteri luar negeri13. Pakistan memiliki
berbagai kantor kedutaan dan berbagai perwakilan diplomatik dengan negara lain. Walaupun
demikian, kementrian luar negeri tidak dipimpin oleh menteri luar negeri melainkan oleh
Perdana Menteri dengan dibantu oleh sekretaris luar negeri.
Banyaknya keterlibatan luar negeri dalam membangun Pakistan membuat negara ini
sangat bergantung dengan negara lain dan harus menjaga hubungan baik dengan negaranegara tersebut jika masih ingin bertahan hidup. Mempercayai seorang menteri luar negeri
kemudian menjadi pilihan yang sangat riskan karena adanya kemungkinan ketidaksesuaian
keinginan perdana menteri Pakistan dengan menteri tersebut dalam menjalin hubungan
dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina atau Arab Saudi. Ketidakhadiran
menteri luar negeri membuat pemimpin negara mampu melangsungkan kebijakan luar
negerinya lebih bebas, sesuai kehendaknya.
Manajemen eksekutif Pakistan
Perdana Menteri sebagai pemeran aktif atau ultimate decision unit dalam kebijakan luar
negeri Pakistan menggunakan pola formalistik dalam memanajemen eksekutif. Ini terbukti
dengan komunikasi yang dilakukan penasihat dengan Perdana Menteri dilakukan melalui
surat-surat, atau secara personal. Dalam situs resmi kementrian luar negeri Pakistan, maka
berbagai dokumen yang menjadi masukan secara personal dari penasihat di abadikan salah
satunya berupa Text of the Statement delivered by Adviser to the Prime Minister on National
Security and Foreign Affairs in the Senate of Pakistan . Pola manajemen yang demikian
mengakibatkan rawannya manipulasi informasi sebab pemimpin hanya mengandalkan
informasi dari salah satu penasihat sesuai bidangnya, dalam hal ini kementrian luar negeri.
13
Shamshad Ahmad, Who runs our foreign policy?, The Express Tribune with The New York Times 14 Maret
2014. Tersedia pada http://tribune.com.pk/story/682902/who-runs-our-foreign-policy diakses pada 2 Januari
2015
13
Arah Kebijakan Luar Negeri Pakistan sejak tahun 2013 berdasarkan pengaruh budaya
strategis dan pemimpin negara
Setelah mengetahui berbagai faktor budaya strategis, pola pemerintahan dan
kepemimpinan negara di Pakistan, kiranya dapat diperoleh gambaran beberapa kebijakan luar
negeri yang dapat menunjukkan pada arah kebijakan luar negeri Pakistan. Pakistan
berdasarkan sejarah kemerdekaannya, memiliki kebijakan luar negeri yang bersifat
konfrontatif terhadap India dan Afghanistan, serta memiliki hubungan persahabatan dengan
negara yang memberi bantuan pada Pakistan seperti AS, Arab Saudi, Cina, dan beberapa
negara Arab. Sementara itu sejak war on terror kebijakan luar negeri Pakistan bertambah
untuk memfokuskan pada pemberantasan terorisme dan kelompok militan Islam ekstremis
dengan bantuan AS. Tambahan fokus kebijakan luar negeri Pakistan yang lainnya adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi krisis ekonomi akibat besarnya hutang
luar negeri yang belum bisa dibayarkan.
Hal yang terpenting, berbagai kebijakan luar negeri ini ditentukan oleh perdana menteri
yang memiliki kewenangan sangat besar sebab secara sekaligus merangkap menjadi
komandan kementerian luar negeri. Melalui mekanisme seperti ini, proses hubungan dengan
luar negeri semakin mudah dilakukan dan pengaruh asing semakin mudah masuk pula. Tanpa
adanya pembentukan Menteri Luar Negeri secara khusus hingga saat ini, menunjukkan
bahwa Pakistan masih akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri dan sangat kental
dengan pengaruh asing.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faktor budaya strategis dan pemimpin negara sangat menonjol dalam menentukan arah
kebijakan luar negeri Pakistan sejak dahulu hingga saat ini, utamanya setelah pemilihan
presiden tahun 2013. Faktor budaya yang mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Pakistan
adalah sejarah kemerdekaan Pakistan, konflik keamanan dengan Afghanistan, war on terror ,
dan krisis ekonomi akibat hutang luar negeri. Faktor ini mengakibatkan arah kebijakan
Pakistan bersifat konfrontatif terhadap India dan Afghanistan, serta memiliki hubungan
persahabatan dengan negara yang memberi bantuan pada Pakistan seperti AS, Arab Saudi,
Cina, dan beberapa negara Arab, pemberantasan terorisme dan kelompok militan Islam
ekstremis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi krisis ekonomi.
Sementara itu faktor pemimpin negara yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan luar
negeri adalah dominasi eksekutif dan birokrasi, manajemen eksekutif pola formalistik dan
tidak adanya menteri luar negeri yang mengakibatkan kendali cukup besar dilakukan oleh
perdana menteri, dan menandakan masih adanya ketergantungan yang besar terhadap pihak
asing.
Saran Kebijakan Luar Negeri Pakistan
Ketidakmampuan Pakistan dalam membangun ekonomi domestik rupanya menjadi
alasan kuat Pakistan untuk tiada henti meminta bantuan asing dan komunitas internasional
bagi negaranya. Cepat atau lambat, hal ini berdampak buruk pada Pakistan dengan adanya
krisis ekonomi dan ketidakmandirian Pakistan yang terus menyandarkan diri pada pihak luar.
Maka sebaiknya Pakistan mulai berupaya melepaskan diri perlahan dari bantuan asing
dengan cara meningkatkan ekonomi domestik diantaranya melalui peningkatan ekspor, usaha
menengah masyarakat dan pencarian mitra dagang bilateral sebanyak-banyaknya. Penulis
menyarankan mitra dagang bilateral sebab kurang memungkinkan bagi Pakistan untuk
mengikuti kerjasama dagang dalam organisasi sebab pencitraan yang kurang baik akibat
besarnya hutang luar negeri.
Pakistan di sisi lain perlu memperbaiki hubungan dengan negara tetangganya
khususnya India dan Afghanistan, agar terjalin rasa aman dan persahabatan sehingga
Pakistan tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu besar pada keamanan dan menelantarkan
kebutuhan penduduknya. Masih ada yang jauh lebih penting dari hanya sekadar keamanan
15
militer, yakni keamanan manusia. Apabila Pakistan masih bermusuhan dengan India dan
Afghanistan, maka tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk terus mengejar kapasitas
militer keduanya, sementara sebenarnya Pakistan tidak mampu kecuali dengan bantuan asing.
Maka Pakistan harus mulai menjalin hubungan yang baik dengan keduanya, bisa melalui
hubungan dagang terlebih dahulu, kemudian bertahap hingga membuat persetujuan dalam
rangka membangun kepercayaan bersama dan menjamin common security. Apabila
hubungan Pakistan dengan India dan Afghanistan membaik, tentu akan menambah keamanan
dan berdampak baik bagi ekonomi Pakistan dimana mitra ekonomi berada tidak terlalu jauh
dan menguatkan regional.
Hal lain yang perlu diperbaiki kiranya adalah sistem pemerintahan yang cenderung
didominasi eksekutif. Parlemen perlu diaktifkan kembali dengan memberikan kepercayaan
terhadap pembentukan regulasi dan memperbaiki kualitas pemangku legislatif. Mengingat
parlemen baru saja mengalami pergantian di tahun 2013 maka perbaikan sumber daya
manusia dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan. Agar hal ini tidak mengeluarkan biaya
yang banyak, Pakistan perlu mencari mitra negara berkembang dengan kualitas parlemen
yang baik untuk memberikan pelatihan, tips dan saran bagi para pemangku legislatif di
Pakistan.
Manajemen eksekutif juga perlu diperbaiki dengan mengarahkan manajemen pada pola
kolegial. Perdana Menteri dapat secara berkala melakukan konsultasi dengan penasihat dan
birokrat dari berbagai bidang dalam suatu forum. Hal ini dapat menimbulkan semangat
kerjasama yang kuat dalam eksekutif sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah.
16
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal dan Buku
Akbar Muqarrab. Pakistan‟s Foreign Policy : Internal Challenges in New Millennium
Berkeley Journal of Social Sciences Vol. 1 No.2 Feb 2011
Askari Hasan. Pakistan‟s Strategic Culture, Chapter 12
Gray Colin S. Nuclear Strategy and National Style, (1986), Hamilton Press
Kalia Sumrin. Bureaucratic Policy Making in Pakistan , The Dialogue, Volume VIII No. 2,
University of Karachi
Mirza Jan, dkk. Counter Terrorism Activities in Pakistan : Comparative Study of The
Editorials of Elite Newspaper , Gomal University Journal of Research, 29 Dec 2013
Breuning Marijke. Leaders Are Not Alone The Role of Advisorsand Bureaucracies, Foreign
Policy Analysis : A Comparative Introduction Chapter 4
Perkuliahan Analisis Politik Luar Negeri oleh Achmad Fathoni K S.IP, M.A Pengaruh
Strategic Culture dalam Kebijakan Luar Negeri
Situs Web
Amel Ghani, “In Pakistan, policy-making is largely done by bureaucracy”, The News on
Sunday 26 Januari 2014. http://tns.thenews.com.pk/pakistan-policy-making-largely-
done-bureaucracy/#.VKXOzcWSzs4
Amelie Siska. Pakistan, Gelap Gulita Dihantam Krisis Ekonomi, Liputan6.com 15 Agustus
2014. https://bisnis.liputan6.com/read/2091690/pakistan-gelap-gulita-dihantam-krisisekonomi?p=1
Kementerian Luar Negeri Pakistan. http://www.mofa.gov.pk
Pakistan Government Structure, Country Studies. http://countrystudies.us/pakistan/65.htm
Shamshad Ahmad, Who runs our foreign policy?, The Express Tribune with The New York
Times 14 Maret 2014. http://tribune.com.pk/story/682902/who-runs-our-foreign-
policy
17