Politisi dan Kemiskinan dan kota

Politisi dan Kemiskinan
Oleh : Rahmatul Ummah (Pegiat Diskusi Majelis Cangkir Kamisan)
Setiap kali menjelang pemilu, simbol-simbol kemiskinan selalu akrab dengan yel-yel
kampanye para politisi, mulai mengerahkan tukang becak, mengonsumsi nasi aking di
kampung-kampung, hingga tradisi baru blusukan di pasar dan tempat-tempat kumuh.
Dan setelah hajat itu selesai, rakyat tak lagi menjadi penting, tidak ada lagi simbol-simbol
kejelataan, tidak ada lagi drama nasi aking dan tukang becak, sayup-sayup jeritan kemiskinan
di perdesaan tenggelam dalam hentakan syahwat politik yang tak lagi terbendung. Rakyat dan
pakaian kemiskinannya hanya penting ketika Pemilu.
Padahal, idealnya politisi harus selalu bicara tentang kepentingan rakyat, kepentingan bangsa
dan negara sebagai suatu keharusan retorika dan kampanye politik, tetapi bukan hanya ketika
kampanye, karena retorika itu akan memiliki makna penting untuk dijalankan ketika mereka
justeru memegang kekuasan.
Kekuasaan mesti digunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat, demokrasi harus
digerakkan kepada hal-hal yang lebih substantif, kesejahteraan rakyat. Jika diabaikan, akan
membawa kita langsung kembali ke situasi politik yang lebih kejam dari Orde Baru, dimana
kemiskinan selalu dijadikan komoditas politik.
"Kemiskinan adalah kekerasaan dalam bentuk yang paling buruk." Kalimat itu pernah
diucapkan Gandhi. Kita memang tak tahu persis bagaimana orang miskin harus dilindungi.
Menyedihkan. Orang miskin adalah ilustrasi hidup tentang nasib buruk.
Bagi orang miskin, kemiskinan bukan sebuah vakansi dari kejenuhan hidup mewah atau

kegenitan mencari yang lebih alami di tengah kesumpekan materialisme. Kemiskinan
bukanlah sebuah kesudahan yang tragis. Ia adalah keseharian yang harus dijalani. Lalu,
bagaimana orang miskin mesti dilindungi?
Dalam risalahnya, Beyond the Crisis: the Development Strategies in Asia, yang diterbitkan
Institute of South East Asian Studies, 1999, yang kemudian diterjemahkan menjadi
Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan oleh penerbit Mizan (2000), Amartya Kumar Sen
bicara tentang pentingnya kebebasan. Dengan antusias ia menulis, walau tak ada korelasi
yang konklusif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, sejarah menunjukkan kelaparan
yang dahsyat tak pernah terjadi di negara merdeka, demokratis, dan memiliki pers yang
bebas.
Sebab itu, pembangunan haruslah dilihat sebagai sebuah proses peningkatan berbagai jenis
kebebasan manusia yang secara intrinsik penting bagi dirinya. Kebebasan membutuhkan
beragam lembaga yang baik. Dalam konteks ini, kebebasan harus dilihat sebagai tujuan akhir
sekaligus instrumen dari pembangunan. Dengan perspektif inilah krisis keuangan di Asia
harus diinterpretasikan.
Dengan masygul, Sen menunjuk Indonesia secara spesifik: Para korban di Indonesia mungkin
tak begitu terpikat pada demokrasi ketika ekonomi berjalan lancar. Tetapi, ketika ekonomi
runtuh, ketiadaan lembaga demokrasi telah membungkam suara mereka.

Ironis, demokrasi tak hadir justru pada saat ia begitu dibutuhkan. Itulah yang menjelaskan

mengapa demokrasi kemudian menjadi isu utama di masa krisis. Ketiadaan demokrasi juga
erat kaitannya dengan krisis keuangan yang ada di Asia.
Ketiadaan demokrasi membawa akibat pada absennya transparansi dalam bisnis, khususnya
lemahnya ruang bagi publik untuk menilai perjanjian bisnis dan keuangan. Implikasinya:
Terbukanya ruang bagi praktek-praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Pemilu legislatif, Pemilu Gubernur dan Pemilu Presiden tahun 2014 telah kita lewati,
sekarang kita sedang menyongsong pemilihan kepala daerah kabupaten/kota di Lampung, ada
baiknya kita mawas diri sebagai rakyat.
Ada beberapa upaya yang harus dilakukan terkait dengan upaya mencegah pengkhianatan
terhadap mandat rakyat oleh pejabat publik yang berhasil duduk sebagai wakil rakyat.
Pertama, memberikan sanksi sosial terhadap politisi penjahat yang tidak bertanggungjawab,
para incumbent yang kembali mencalonkan diri pada pesta demokrasi berikutnya, sudah
layak untuk dievaluasi dan diberikan perlakukan oleh rakyat sesuai amal perbuatannya
selama ini.
Kedua, pers bisa memainkan peranannya dengan lebih leluasa tanpa pengekangan oleh
kekuasaan, pers dan media elektronik dapat menyumbang banyak kepada kontrol terhadap
kekuasaan. Demikian pun kelompok-kelompok kritis seperti kelompok civil society, para
mahasiswa dan kalangan kampus umumnya, dapat menyumbang kepada kontrol sosial dan
kritik terhadap penggunaan kekuasaan, berdasar pada keahlian dan pengalaman mereka
dalam bidang yang digelutinya. Membeber dan mengumumkan kejahatan-kejahatan politik

yang dilakukan oleh para politisi.
Sikap Mawas Diri
Dengan demikian, untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap kekuasaan sebagaimana di
atas, rakyat harus melakukan, pertama, mengadakan desakralisasi kekuasaan. Kekuasaan
tidak berasal dari sumber-sumber yang gaib, mistik, dan magis, tetapi berasal dari rakyat.
Adalah rakyat yang memberikan kekuasaan dan rakyat jugalah yang memungkinkan sebuah
kekuasaan dijalankan melalui ketundukannya kepada kekuasaan tersebut.
Kalau kekuasaan berasal dari rakyat dan kalau rakyat kemudian tunduk kepada penguasa
yang telah menerima kekuasaan dari mereka, kewajiban penguasa untuk membuktikan dia
layak mendapat kepercayaan rakyatnya, dan ketundukan rakyat kepada kekuasaannya
mempunyai alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Legitimasi adalah kelayakan sebuah orde
politik untuk mendapatkan pengakuan dari rakyatnya.
Kedua, kekuasaan mempunyai tendensi bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat
dirinya, melainkan juga memusatkan dirinya. Karena itulah pemikiran demokratis tentang
kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan.
Pengalaman dalam Orde Baru menunjukkan bahwa pemusatan kekuasaan ini telah berjalan
dengan amat ekstrem, baik dalam bidang politik dengan demikian besarnya kekuasaan
Presiden Soeharto pada waktu itu, maupun dalam bidang ekonomi dalam bentuk berbagai
praktek monopoli dan oligopoli.


Pemusatan kekuasaan politik ini amat ditunjang gambaran bahwa penguasa adalah seorang
bapak keluarga yang baik hati yang akan berbuat segala sesuatu untuk kepentingan anakanaknya. Anak-anak selayaknya memercayakan segala urusan kepada bapak mereka, dan etos
politik yang berlaku adalah "terserah Bapak". Analogi ini jelas keliru dengan akibat yang
amat pahit. Penguasa adalah penguasa dan bapak keluarga adalah bapak keluarga. Keluarga
adalah lingkungan personal yang termasuk private sphere, tetapi kekuasaan pemerintah
semata-mata bersifat fungsional dan termasuk dalam public sphere.
Dengan demikian, langkah kedua untuk memperlakukan kekuasaan secara demokratis adalah
depaternalisasi kekuasaan. Penguasa jangan lagi dipandang secara paternalistis seakan-akan
mempunyai watak kebapakan, tetapi harus dipandang secara lugas sebagai seorang yang
mempunyai potensi menyalahgunakan kekuasaan yang kalau tidak diawasi dapat berkembang
sampai tingkat sewenang-wenang. Setelah kita pilih, mari kita awasi mereka!