Waris kolektif dan dinamika sistem
LAPORAN PENELITIAAN HUKUM WARIS ADAT
Dinamika Perkembangan Sistem Pewarisan
Kolektif di Masyarakat Suku Malayu Di
Kenagarian Gurun Panjang Barat Kabupaten
Pesisir Selatan
Diusulkan oleh:
Rayvo Rahmatullah
(14/366564/HK/20045)
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
DAFTAR ISI
1
BAB I PENDAHULUAN.......................................................1
A. Latar belakang .......................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................2
C. Tujuan penelitian....................................................2
D. Keaslian Penelitisn..................................................3
E. Manfaat Penelitian..................................................4
BAB II TINJAUAN PUSATAKA..............................................5
A. Pengertian umum mengenai hukum waris adat.....5
B. Tentang Suku Malayu..............................................6
BAB III METODE/ CARA PENELITIAN..................................9
A. Jenis dan sifat penelitian........................................9
B. Jenis data................................................................9
C. Penentuan / pemilihan Lokasi Penelitian..............10
D. Subjek penelitian..................................................10
E. Responden dan Narasumber...............................11
F. Teknik dan alat pengumpul data..........................11
G. Analisis hasil.........................................................12
H. Jalannya penelitian...............................................12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................14
A. Konsep dan sistem pewarisan....................................................14
1. Bentuk harta warisan.......................................14
2. Sistem dan mekanisme pewarisan yang digunakan
........................................................................15
B. Pergeseran konsep pewarisan kolektif yang digunakan............17
2
BAB V PENUTUP.............................................................20
A. Kesimpulan...........................................................20
B. Saran....................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah Penelitian
Penelitian ini berangkat dari dinamika perkembangan yang
terjadi di kehidupan masyarakat daerah yang terpengaruh
dengan kemajuan zaman. Perkembangan tersebut tentu juga
akan berpengaruh pada sistem pewarisan adat yang digunakan
oleh kalangan masyarakat adat itu sendiri. Sifat komunal yang
tumbuh dan bekembang dalam kehidupan masyakat adat akan
terus
bergerak
menuju
pola
kehidupan
yang
individual
selayaknya kehidupan masyarakat di perkotaan. Begitupun
dengan masyarakat adat Minangkabau yang dikenal sebagai
corak kehidupan yang
kelompok
daripada
mengutamakan kelangsungan hidup
hanya
sekedar
kemakmuran
individu.
Berdasarkan hukum adat masyarakat Minangkabau, ditentukan
bahwa
sistem
pewarisan
yang
digunakan
adalah
sistem
pewarisan kolektif.
“Menurut Hilman Hadikusuma sistem pewarisan kolektif
adalah harta peninggalan diteruskan atau dialihkan
pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan
yang tidak-tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya,
melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta
peninggalan itu”.1
Tentu
sistem
pewarisan
kolektif
ini
dipengaruhi
oleh
kehidupan dan pemikiran komunal yang ada di masyarakat. Pola
1 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Abadi:
Bandung, hlm. 26
1
kehidupan yang menekankan pada persamaan nasib, satu rasa,
satu cita-cita dan tujuan yang harus dicapai secara bersamasama oleh anggota kelompok atau kaum yang ada dalam
masyarakat. Sehingga kepentingan individu berada setelah
kepentingan
kelompok
telah
terpenuhi.
Hal
inilah
yang
menyebabkan mengapa suatu kebersaman dalam masyarakat
Minangkabau adalah hal yang paling utama.
Konsekuensi langsung dari pewarisan kolektif adalah bahwa
tidak ada kepemilikan secara individu dari ahli waris untuk harta
warisan yang dialihkan. Hanya saja masing-masing individu
tersebut dan mengusahaan dan menikmati hasil dari harta
warisan yang terdapat didalamnya. Salah satu kelemahan dari
sistem pewarisan kolektif ini menurut Hilman Hadikusuma adalah
bahwa
tidak
selamanya
suatu
kerabat
mempunyai
kepemimpinan yang dapat diandalkan dan aktivitas masyarakat
yang makin meluas juga akan menyebabkan rasa setia pada
kawan dan kerabat akan luntur.2
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana bentuk sistem pewarisan di Manangkabau khususnya
di kalangan suku Malayu di kanagarian Gurun Panjang Barat,
Kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu, penelitian ini juga akan
melihat sejauh
mana
pengaruh
dari
perkembangan
hidup
masyarakat tersebut terhadap pergeseran sistem pewarisan
2 Ibid, hlm 28
2
kolektif yang dianut oleh masyarakat hukum adat Minangkabau
selama ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pewarisan yang terlaksana di suku
Malayu yang terdapat di Kanagarian Gurun Panjang
Barat?
2. Bagaimana bentuk pergeseran konsep sistem pewarisan
yang ada di masyarakat suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat?
C.
Tujuan penelitian
Setelah dilakukan penelitian ini, peneliti berharap dapat
menjawab pertanyan mendasar mengenai konsep pewarisan
kolektif yang terdapa di masyarakat Minangkabau khususnya
suku
Malayu
di
kenagarian
Gurun
Panjang
Barat
dengan
mengetahui beberapa hal yaitu:
1. Konsep pewarisan yang terlaksana di suku Malayu yang
terdapat di kanagarian Gurun Panjang Barat
2. Bentuk pergeseran konsep sistem pewarisan yang ada di
masyarakat suku Malayu di kenagarisan Gurun Panjang
Barat.
D.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan pada penelusuran peneliti, penelitian yang
memiliki pembahasan yang mirip dengan penelitian ini adalah
penelitian dari Asri Thaher dari Universitas Diponegoro pada
3
tahun 2006 yang berjudul “Sistem Pewarisan Kekerabatan
Matrlineal dan Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa
Pemerintahan Kota Agam Provinsi Sumatera Barat”.
Penelitian tersebut secara umum membahas beberapa hal
yaitu:
1. bagaimana perkembangan pewarisan harta tak benda
yaitu soko atau gelar yang terdapat di masyarakat
Minangkabau.
2. Penelitian ini juga menganalisis putusan pengadilan Terkait
dengan gugatan menengenai konflik harta pusaka
3. Membahas secara dalam mengenai faktor penyebab
terjadinya perubahan atau pergeseran tersebut.3
Selain dari wilayah penelitian yang berbeda, beberapa substansi
dari kedua penelitian ini juga terdapat beberapa perbedaaan
yang signifikan sehingga nilai keaslian dari penelitian ini dapat
dipertanggugjawabkan.
E.
Manfaat Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil dari
penelitian ini mampu menjawab pertanyan mengenai bentuk dan
pekembangan
sistem
pewarisan
kolektif
di
masyarakat
Minangkabau secara umum dan khususnya di suku Malayu yang
terdapat di kenagarian Gurun Panjang Barat. Di dunia akademis,
penelitian akan sangat bermanfaat sebagai referensi untuk
pembelajaran
ataupun
untuk
pengembagan
penelitian
berikutnya.
3 Asri Thaher, 2006, Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrlineal dan
Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa Pemerintahan Kota Agam
Provinsi Sumatera Barat, Tesis. Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro.
4
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
A.
Pengertian umum mengenai hukum waris adat
Secara umum hukum waris adat adalah sistem hukum yang
mangatur bagaimana proses peralihan ataupun penerusan suatu
harta warisan dari pewaris kepada para ahli waris yang
ditinggalkan
.
Ada
beberapa
ahli
yang
mengemukakan
pendapatnya mengenai hukum waris adat. Menurut Ter Haar,
hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian
dengan proses dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang material dan immaterial dari generasi ke
generasi.4
“Selain itu, menurut Soepomo sebagaimana yang di kutip
oleh Hilman Hadikusuma, hukum waris adat adalah
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda dari satu angkatan
manusia kepada keturunannya5”
Dari pengetian diatas dapat dikatakan bahwa hukum waris adat
tersebut adalah seperangkat hukum yang mengatur bagaimana
proses peralihan ataupun penerusan harta warisan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam hukum adat selain
mengenal harta warisan yang berupa harta benda yaitu hal-hal
yang dapat dinilai dengan uang, juga terdapat harta warisan
4 Ter Haar, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja Paramita d/h J.
B. Wolters: Djakarta, hlm. 197
5 Soepomo dalam Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra
Aditya Abadi: Bandung, hlm. 8
5
yang berupa bukan benda yaitu harta warisan berupa gelar,
tanda kehormatan ataupun yang lainnya
Nampak jelas bahwa kecendrungan masyarakat adat yang
tradisional dan lebih komunal, dan juga tidak melulu berorientasi
pada
kehidupan
materiil.
Sistem
pewarisan
yang
dianut
masyrakat Minangkabau secara umum adalah sistem pewarisan
kolektif.
Sebagaimana
pewarisan
kolektif
yang
adalah
telah
sistem
diketahui
pewarisan
bahwa
sistem
yang
proses
penerusan harta warisan diberikan secara utuh kepada generasi
yang berhak mewaris tanpa adanya pembagian secara individu
dalam kepemilikan harta tersebut.
“Menurut Hilman Hadikusuma sistem pewarisan kolektif
adalah harta peninggalan diteruskan atau dialihkan
pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan
yang tidak-tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya,
melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta
peninggalan itu”.6
Berkenaan dengan kultur masyarakat Minangkabau yang
kental
dengan
kehidupan
islaminya,
maka
seringkali
ada
anggapan bahwa sistem pewarisan kolektif yang ditarik dari
garis ibu adalah hal yang bertentangan dengan aturan waris
menurut agam islam. Hukum waris di Minangkabau berbeda
dengan hukum waris islam, tetapi dalam hal ini tentang apa yang
diwariskanpun juga berbeda. Waris di Minangkabau hanya
6 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 26
6
tentang harta pusaka tinggi dan gelar pusaka yang turuntemurun7
B.
Tentang suku Malayu
Corak kehidupan masyarakat Minangkabau sangat tampak
dalam
dinamika
Minangkabau
pemerintahan
sistem
tingkat
pemerintahan
desa.
desa
di
wilayah
disebut
dengan
pemerintahan nagari. Menurut A.A Navis pengertian nagari
adalah sebagai suatu pemukiman yang telah mempunyai alat
kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurangkurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk
(Penghulu
Pengertian
Tua)
ini
keberadaannya
selaku
adalah
yaitu
pimpinan
pemerintahan
pengertian
pada
zaman
nagari
dahulu
tertinggi. 8
pada
dimana
awal
belum
mengenal wali nagari sebagai pemimpin nagari.
Saat ini apa yang dimaksud dengan nagari diatur dalam
pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat
Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
“Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang
memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi
Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi
Sumatera Barat”.9
7 Idrus Hakimy dt. Rajo Penghulu, 2004, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat
Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm. 117
8 A.A Navis. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta : Grafiti Pers. 1984. hlm. 92
9 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari. , psl. 1 angka 7
7
Nagari dalam lingkungan pemerintahan daerah Sumatera
Barat dapat dipersamakan dengan desa sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa
yang dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 1 angka 1
menyebutkan
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan,
kepentingan
masyarakat
setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”10
Idealnya dalam sebuah nagari terdapat empat suku yang
mendiaminya. Suku-suku tersebut pada mulanya merupakan
unsur yang menjalankan pemerintahan nagari secara bersamasama. Pada masa sekarang sebuah nagari dipimpin oleh seorang
wali nagari setingkat kepala desa. Namun, keberadaan empat
suku tersebut masih sangat esensial dalam kehidupan masyrakat
nagari.
Di nagari Gurun Panjang Barat yang terletak di kecamatan
Bayang, Kabupaten Pesisir selatan terdapat empat suku yang
mendiaminya yaitu suku Caniago, Jambak, Malayu, dan Tanjung.
Setiap suku tersebutpun masih dibagi lagi dalam beberapa kaum
dengan pemimpin yang disebut datuk yang berbeda-beda pula.
Untuk suku Malayu sendiri terdapat dua kaum yaitu kaum yang
10 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, psl. 1 angka 9
8
dipimpin oleh Datuk Rajo Lelo dan Datuk Rajo Putiah. Kaum itu
juga terdiri dari beberapa keluarga yang dipimpin oleh mamak
mereka sendiri-sendiri.
9
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan sifat penelitian
Memperhatikan permasalahan utama dan objeknya, maka
penelitian ini adalah penelitian dengan tipe penelitian yuridis
emiris. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara menggali
informasi secara menyeluruh langsung dari lapangan untuk
mengetahui
permasalahan
yang
sedang
dibahas.
Menurut
Suratman dan Philips Dillah penelitian hukum yuridis empiris
yang disebut juga dengan penelitian sosio legal lebih menitik
beratkan
pada
perilaku
individu
atau
masyarakat
dalam
kaitannya dengan hukum.11 Dalam penelitian ini akan ditemukan
data mengenai bagaimana konsep dari sistem pewarisan yang
dipraktekan di masyarakat suku Malayu di kanagarian gurun
panjang barat. Kemudian akan dilihat bagaimana bekerjanya
hukum adat mengatur kehidupan masyrakat khususnya di bidang
pewarisan. Menurut Soejono Soekantopenelitian empiris terdiri
dari dua macam yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum
(tidak terlihat) dan penelitian trhadap efektifitas hukum.12
Sifat
penelitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif
yaitu
penelitian yang bertujuan untuk melukis tentang suatu hal pada
saat tertentu.13 Dalam penelitian ini masyarakat yang dimaksud
11 Suratman, Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV ALfabeta;
Bandung, hlm. 88
12 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta,
hlm.51
13 Suratman, Philips Dillah, Op.cit, hlm. 47
10
adalah masyarakat anggota suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat.
B.
Jenis data
Dalam penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis
emiris maka jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data
primer. Data primer yaitu data yang diperoleh dari lapangan
secara langsung, maksudnya data tersebut merupakan suatu
dinamika yang digali dari masyrakat yang menjadi objek
penelitian. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari hasil
wawancara dengan pemimpin atau yang disebut masyarakat
sebagai panghulu dari suku Malayu di lokasi
penelitian.
Wawancara juga dilakukan dengan orang tua peneliti yang
merupkan salah satu anggota dari
suku Malayu di lokasi
penelitian ini.
Selain
data
primer
tersebut,
penelitian
ini
juga
mengumpulkan data sekunder sebagai penunjang validitas hasil
penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara penelusuran
bahan-bahan kepustakaan yang terkait seperti buku, jurnal atau
pun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C.
Penentuan / pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah sebuah nagari yang trdapat di
kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat,
yaitu kenagarian Gurun Panjang Barat. Lokasi ini dipilih karena
beberapa
alasan
yaitu
pertama
nagari
tersebut
masih
11
mempraktekkan hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya.
Penggunaan
hukum
adat
tersebut
tersebut
mulai
dari
perkawinan, penyelesaian sengketa tanah ataupun mengenai
permasalahan pewarisan. Peran dari setiap unsur masyarakat
masih dilakasanakan sebagaimana mestinya. Selain itu, lokasi
tersebut juga memiliki kedekatan dengan peneliti sehingga
memudahkan akses dalam memperoleh data penelitian.
D.
Subjek penelitian
Subjek penelitan dalam penelitian ini adalah pihak yang
terlibat
dalam
langsung
dengan
topik
penelitian.
Subjek
penelitian yang di maksud adalah anggota masyarakat dari suku
Minangkabau yang terdapat di kenagarian Gurun Panjang Barat.
Dalam penelitian ini akan digali secara menyeluruh bagaimana
masyarakat melakukan atau mempraktekkan ketentuan hukum
waris adat dalam kehidupannya
E.
Responden
Responden yang dipilih untuk menggali informasi dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan
yang berkaitan dengan materi penelitian ini selain itu juga
terlibat langsung dalam proses pewarisan. Beberapa orang
tersebut adalah dt. Rajo Lelo dan Ibu Tasmi. Dt. Rajo Lelo adalah
pemimpin dari salah satu dari dua suku Malayu yang terdapat di
nagari Gurun Panjang Barat atau dalam masyarakat disebut
sebagai datuak atau panghulu kaum. Dia dirasa cocok untuk
12
dimintai keterangan terkait isu yang akan digali dalam penelitian
ini karena memiliki pengetahuan yang cukup di bidang ini.
Respinden kedua yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah
orang tua dari peneliti sendiri. Pertimbanganya, dikarenakan
penelitian ini juga melihat bagaimana bentuk pewarisan yang
terjadi dalam keluarga peneliti sendiri. Sehingga dirasa sangat
relevan dalam mewawancarai orang tua penelitia sendiri dan
tentu akan mendapatkan data yang valid dan juga tepat sasaran
dalam penelitian ini. Selain itu, keluarga peneliti merupakan
salah satu anggota dari suku
Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat.
F.
Teknik dan alat pengumpul data
Ada
beberapa
cara
yang
peneliti
gunakan
dalam
pengumpulan data penitian ini, cara tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penelusuran bahan kepustakaan, cara ini digunakan untuk
menemukan data sekunder dalam penelitian. Penelusuran
kepustakaan tersebut dilakukan ke beberapa buku terkait
yang membahas hukum waris adat di Indonesia. Selain itu,
juga dilakukan ke beberapa jurnal yang telah dipublis dan
peratutan perundang-undangan yang belaku.
2. Wawancara, hal ini dilakukan kepada para responden yang
telah
ditentukan.
Diharapkan
dengan
dilakukannya
13
wawancara ini diperoleh informasi yang akurat dan tepat
untuk menjawab pertanyaan dasar dari penelitian ini.
G.
Analisis hasil
Setelah mendapatkan seluruh data yang kami butuhkan,
peneliti akan melakukan aalisis data dengan cara kualitatif yaitu
dengan cara menyajikan data dalam bentuk pendeskripsian
secara komprehensif. Data yang akan diolah adalah data-data
hasil
dari
penelitian
lapangan
berupa
wawancara.
Kami
melakukan proses penyuntingan, dan juga men-transcript data
yang kami peroleh. Data yang sudah kami olah akan dianalisis
untuk selanjutnya ditafsirkan.
Tahapan akhir dalam penelitian kami adalah penarikan
kesimpulan.
Proses penarikan kesimpulan dilakukan dengan
cara induktif. Peneliti awalnya mancari fakta-fakta yang detail da
bersifat khusus di lapangan untuk kemudian dicari satu benang
merah dalam penarikan kesimpulan
H.
Jalannya penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan studi kepustakaan oleh
peneliti sendiri di perpustakaan fakultas hukum UGM serta
perpustakaan pusat UGM selama beberapa hari dan juga
dilakukan dengan penelusuran internet untuk menemukan jurnal,
peneleitian sebelumnya, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Setelah bahan kepustakaan dirasa cukup kemudian
peneliti melakukan penelitian lapangan dengan cara wawancara
14
dengan para responden. Wawancara
dilakukan via telepon
antrara peneliti dengan para responden. Hal tersebut dilakukan
mengingat
posisi
peneliti
dan
responden
yang
tidak
memungkinkan untuk dilakukan wawancara dengan berhadapan
secara langsung.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep pewarisan di suku Malayu Kenagarian Gurun
Panjang Barat
1. Bentuk Harta Warisan
Berdasarkan hukum adat Minangkabau dikenal beberapa
jenis harta warisan yang dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Jenis harta tersebut adalah:
1. Pusaka berupa sawah dan ladang, emas dan perak
peninggalan dari nenek moyang.
2. Soko adalah gelar yang diterima secara turun temurun
menurut garis ibu.
3. Sangsoko, adalah gelar jabatan di dalam adat
umpamanya gelar khatib adat, bilai adat, imam, dan
manti adat, ataupun yang lainnya.14
Harta pusaka terbagi lagi ke dalam dua bagian yaitu
pertama bentuk harta pusaka tinggi dan kedua harta pusaka
rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta yang telah dapat
dipertahankan keberadaannya oleh suatu kaum dari generasi ke
generasi dalam beberapa derajat. Maksud dapat dipertahankan
disini adalah bahwa suatu bentuk harta pusaka yang terdapat
dalam satu keluarga tersebut telah diwariskan dalam waktu
tertentu secara turun-temurun, dimana harta tersebut tidak
hilang dari penguasaan keluarga tersebut baik dikarenakan
proses penjualan ataupun hal yang lainnya contoh dari harta
pusaka tinggi seperti rumah gadang dan tanah pusaka.
14 Idrus Hakimy dt Rajo Penghulu, Op.cit, hlm.118
16
Menurut keterangan dari responden, dikenal pula dua jenis
tanah pusaka tinggi yang dapat diwariskan berdasarkan hukum
adat Minangkabau.
Pertama, tanah kariang (kering) yaitu tanah warisan yang
diperuntukan
sebagai
lahan
yang
dapat
digunakan
untuk
perumahan.15 Jadi, di tanah kering ini dapat dipergunakan
anggota kelurga untuk membangun rumah baru. kedua, ada
yang disebut dengan tanah basah. Tanah basah adalah tanah
yang
peruntukanya
dimaksudkan
untuk
pengolahan
lahan
pertanian.16
Sedangkan yang dimaksud dengan harta pusaka rendah
adalah harta pusaka yang dapat diwariskan oleh sebuah keluaga
inti (nuclear family) di Minangkabau. Maksudnya harta tersebut
termasuk kedalam harta bersama dalam suatu perkawinan yang
dihasilkan secara bersama oleh suami istri pada saat perkawinan
tersebut.
2. Sistem dan Mekanisme Pewarisan yang Digunakan
Praktek pewarisan yang terjadi di lokasi penelitian masih
menggunakan sistem pewarisan adat Minangkabau itu sendiri.
Suatu
harta
berikutnya
warisan
dapat
yang
akan
dilakukan
saat
diturunkan
pewaris
ke
generasi
atau
generasi
15 Wawancara dengan dt. Rajo Lelo per telpon pada 13 November 2016
16 Wawancara dengan dt. Rajo Lelo per telpon pada 13 November 2016
17
sebelumnya masih hidup. Hal tersebut sesuai dengan ciri khas
hukum
waris
adat
dan
merupan
salah
satu
hal
yang
membedakannya dengan sistem hukum waris barat ataupun
sistem hukum waris islam.
Misalnya dalam pengusahaan sebuah lahan pertanian dapat
dilakukan oleh generasi ahli waris selagi pewaris masih hidup.
Hal tersebut dapat terjadi jika pewaris menginginkan hal
demikian, tetapi ahli warispun berkewajiban memberikan apa
yang disebut dengan patigaan yaitu bentuk bagian hasil panen
dari lahan pertanian tersebut untuk membiayai kebutuhan si
pewaris yang sudah tua.17
Sebagaimana
yang
diketahui
bahwa
sistem
pewarisan
kolektif memiliki konsekuensi bahwa harta warisan tersebut tidak
dapat dibagi kepemilikannya diantara para ahli waris. Sehingga
harta warisan tersebut harus diusahakan secara bersama dan
hasilnya pun harus dirasakan manfaatnya secara bersama oleh
ahli waris.
Di suku Malayu itu juga terdapat aturan mengenai tugas dan
fungsi antara ahli waris yang perempuan dengan laki-laki.
Sebagaimana
dengan
ketentuan
adat
Minangkabau
pada
umumnya, laki-laki merupakan seorang pemimpin di dalam
keluarga atau pun kaumnya, maka dalam hal penguasaan harta
pusaka seorang laki-laki bertindak sebagai mamak rumah 18.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah bahwa seorang lakilaki harus bertindak sebagai paga (pagar) bagi harta pusaka
17 Wawancara dengan Ibu Tasmi per telpon pada 15 November 2016
18 dalam literatur hukum dan adat Minangkabau pada umumnya dikenal
dengan mamak kepala waris
18
keluarganya. Selain itu, seorang mamak dalam kaum juga
bertindak sebagai penyelesai sengketa yang terjadi antara
anggota kaum.
Seorang mamak harus dapat menjaga keutuhan harta
pusaka
dan
tetap
utuh
menjadi
kepemilikan
kaum
yang
dipimpinnya. Tujuan dari mempertahankan keberadaan harta
pusaka dalam penguasaan suatu keluarga dikarenakan fungsi
utama dari penerusan harta pusakan tinggi di Minangkabau
adalah untuk menjamin kelangsungan hidup anggota kaum baik
yang sekarang maupun yang akan datang. Sehingga penting
untuk mempertahankan harta pusaka tersebut dan tidak lepas ke
pihak yang lain.
Masyarakat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai
penyambung eturanan di dalam keluarga atau kaum, maka
peran
utamanya
adalah
penyambung
garis
keturanan
matrilineal. Harta pusaka tinggi yang diwariskan berada dalam
kekuasaan
perempuan,
tetapi
dibawah
pengawasan
dan
pemeliharaan seorang mamak. Perempuan di Minangkanbau
berperan sebagai Ambun Puro Aluang Bunian (pemegang kunci
harta kekayaan).19
19 Sjahmunir, Kedudukan Wanita dalam Kepemilikan Hak Ulayat di
Minangkabau, dalam Alfan Miko, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah
Ulayat, Andalas University Press; Padang, hlm. 201
19
Perempuan di dalam kaum Malayu tersebut merupakan
pihak yang dapat memanfaatkan harta pusaka tersebut dengan
cara mengusahakannya demi memenuhi kebutuhan anggota
keluarga lainnya seperti anak-anaknya. Pengusahaan tersebut
dapat dilakukan dengan mengolah sawah atau ladang untuk
tanah basah atau juga dapat menggunakan tanah kariang untuk
mendirikan
bangunan
rumah
tempat
tinggal
keluarga.
Disebutkan bahwa dalam pengusahaan harta pusaka tidak dapat
dilakukan secara terpisah dengan satu yang lainnya. Maksudnya
suatu harta pusaka dalam suatu keluarga merupakan suatu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Akibat dari
ketentuan tersebut adalah setiap perempuan yang menjadi
anggota keluarga harus dapat menikmati manfaat dari harta
pusaka tersebut.
Sebagai contoh yang diberikan oleh responden misalnya
terdapat dua lahan sawah yang diwariskan ke suatu generasi
dalam keluarga, tetapi dalam keluarga tersebut terdapat tiga
perempuan yang berhak untuk memanfaatkannya, sehingga hal
yang dapat dilakukan adalah dua lahan sawah tersebut dapat
diolah oleh ketiga perempuan tersebut secara bergilir untuk
setiap musim bercocok tanam.20
Di suku Malayu tersebut juga tidak menutup kemungkinan
jika seorang laki-laki dapat memanfaatkan harta pusaka yang
kemudian digunakan untuk menghidupi anak dan istrinya. Hal
terseut dapat terjadi jika semua anggota keluarga perempuan
20 Wawancara dengan bu Tasmi orang tua peneliti per telpon pada 15
November 2016
20
menyetujuinya dan mereka telah hidup berkecukupan baik dari
usahanya sendiri ataupun dari pemanfaatan harta pusakanya.
B. Pergeseran konsep pewarisan kolektif yang digunakan
Sebagaimana
halnya
dengan
kehidupan
kelompok
masyarakat pada umumnya tentu akan terdapat permasalahan
yang terjadi dalam anggota keluarga. Permasalahan tersebut
tentu disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara
satu anggota dengan anggota keluarga yang lainnya. Terdapat
beberapa permasalahan yang sering muncul yang berkaitan
dengan pewarisan dalam suku Malayu di nagari Gurun Panjang
Barat yaitu:
1.
Adanya
konflik
atara
para
ahli
waris
terkait
dengan
pemanfaatan atau penggunaan harta pusaka yang telah
diwarisi
bersama.
Konflik
tersebut
seperti
adanya
ketidaksepahaman atau kesepakatan ketika satu anggota
memnfaatkan harta pusaka yang dianggap melebihi haknya.
Sebagai contoh dalam beberapa keluarga yang memiliki
sebuah lahan tanah kariang, lahan tersebut dapat dibangun
rumah oleh salah satu anggota keluarga yang terlebih
dahulu memiliki kemampuan materil untuk melakukannya.
Biasanya rumah yang dibangun tersebut dipergunakan
untuk keperluan keluarga intinya sendiri. Tidak masalah jika
anggota keluarga lain secara diam-diam atau terang-
21
terangan menyetujuinya. Persetujuan tersebut terjadi jika
anggota keluarga yang lain juga mendapat kesempatan
yang sama. Namun, jika hal tersebut tidak disetujui oleh
anggota
keluarga
yang
lain
tentu
akan
menimbulkan
permasalahan. Untuk permasalahan inilah peran seorang
mamak sangat dibutuhkan. Dalam hal ini juga terihat bahwa
dalam kondisi tertentu penguasaan secara individual juga
2.
mulai terlihat dalam proses pewarisannya.
Adakalanya terdapat suatu keadaan dimana suatu keluarga
mengalami
kesulitan
dalam
hal
ekonomi
yang
mengharuskan mereka untuk menjual harta pusaka yang
dimilikinya. Permasalahannya adalah di Minangkabau sangat
tidak dikehendaki untuk melepaskan harta pusaka apalagi
dengan proses jual-beli yang artinya kepemilikan harta
tersebut sudah lepas secara permanen dari keluarga yang
bersangkutan. Sehingga, tujuan dari adanya harta pusaka di
Minangkabau yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup
generasi
berikutnya
menjadi
tidak
terjamin.
Dalam
permasalahan ini biasanya harus ada musyawarah terlebih
dahulu
didalam keluarga
yang
dipimpin
oleh
seorang
mamak. Opsi pertama yang akan ditawarkan biasanya
adalah dengan menggadaikannya.
Menurut responden yang diwawancara ada tiga syarat untuk
dapat menggadaikan sebuah harta pusaka tinggi yaitu:
a. gadih gadang nak balaki maksudnya keluarga tidak
memiliki biaya yag cukup untuk membiayai serangkaian
prosesi pernikahan anak perempuan dalam keluarga,
22
b.
c.
rumah gadang katirisan maksudnya adalah bahwa
keluarga tidak memiliki biaya yang cukup memperbaiki
kerusakan yang ada di rumah gadang keluarga,
gadang dirantau nak ka pulang, sebagaimana kebiasaan
masyarakat Minangkabau bahwa seseorang pemuda
dianjurkan untuk merantau, tetapi adakalanya mereka
tidak berhasil dan tidak memiliki biaya untuk pulang
kampong.21
Jika dengan cara menggadaikan dirasa masih tidak
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh keluarga
maka opsi untuk menjual harta pusaka dapat dilakukan
dengan persetujuan semua anggota keluarga.
Dari kedua permasalahan tersebut diatas tampak bahwa
ada pergeseran dalam sistem pewarisan kolektif yang ada di
Minangkabau. Pada permasalahn pertama, dapat dilihat bahwa
pemanfaatan suatu harta pusaka tinggi dapat dinikmati secara
individu oleh masing-masing anggota. Suatu harta pusaka tinggi
dalam bentuk tanah kariang dapat dibangun sebuah rumah
untuk kebutuhan kluarga inti dari salah satu anggota kaum.
Awalnya tanah karian dapat dimanfaatkan untuk keperluan
keluarga inti salah satu anggota kaum dikarenakan rumah gang
yang dimiliki kaun tersebut tidak dapat menampung semua
anggota kaum. Selain itu, pelaksanaannya dikomandoi oleh
mamak rumah dari kaum tersebut.
Pada
permasalahan
kedua,
pergeseran
terjadi
pada
ketentuan yang menyatakan bahwa harta pusaka tinggi dalam
21 Wawancara dengan dt. Rajo Lelo per telpon tanggal 15 November 2016
23
suatu kaum tidak untuk diperjual belikan. Salah tujuannya adalah
seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya
yaitu untuk menjamin kelangsungan kehidupan generasi yang
akan datang. Namun, disebabkan karena situasi dan
kondisi
suatu kaum yang tidak dapat dipastikan seperti permasalahan
ekonomi memaksa masyaraka untuk melakukan pergesran dari
ketentuan tersebut. Tentu memperjual-belikan harta pusaka
tinggi tersebut dilakukan karena tidak ada jalan lain dan
tujuannya untuk kelangsungan hidup anggota kaum tersebut.
24
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas dapat di
ketahui bahwa kehidupan anggota suku Malayu di nagari Gurun
Panjang Barat masih mempraktekkan ketentuan hukum waris
adat Minangkabau dalam kehidupan sehari-harinya. Kaum-kaum
yang terdapat dalam suku Malayu tersebut dalam proses
pewarisannya sesuai dengan prinsip-prinsip pewarisan kolektif
yang digunakan masyrakat Minangkabau pada umumnya.
Hanya
saja
terdapat
pergeseran
prinsip-prinsip
dari
pewarisan di Minangkabau itu sendiri dalam beberapa hal
adapun bentuk pergeseran tersebut adalah
1. Adanya kesan bahwa harta pusaka tersebut dapat dibagibagi dalam penguasaan individu walaupun tidak dimiliki
secara individu. Hal tersebut dari penggunaan tanah
kariang untuk mendirikan rumah oleh anggota keluarga
2. Adanya pergeseran dari aturan dasar bahwa harta pusaka
tinggi tersebut tidak untuk diperjual-belikan. Penjualan
harta pusaka tinggi tersebut hanya dilakukan dalam
keadaan yang terpaksa
B. Saran
Dalam mempertahankan corak kehidupan masyarakat yang
memegang
teguh
adat
sebagai
jati
dirinya
maka
sangat
25
dibutuhkan peran seorang pimimpin dalam menyelasaikan setiap
permasalahan yang terjadi di antara anggota keluarganya. Suku
Malayu
di
kenagarian
Gurun
Panjang
Barat
dapat
mempertahankan corak kehidupan tradisional dengan peran
semua unsurnya baik dari mamak, bundo kanduang, kemenakan,
dan anggota kelompok lainnya.
26
Daftar Pustaka
Buku-buku
Ter Haar, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja
Paramita d/h J. B. Wolters: Djakarta
Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya
Abadi: Bandung
Miko, Alfan, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas
University Press; Padang.
Navis, A.A, 1984, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers.
Penghulu,
Idrus
Pengetahuan
Hakimy
Adat
dt.
Alam
Rajo,
2004,
Pokok-Pokok
Minangkabau,
PT
Remaja
Rosdakarya: Bandung,
Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,
Jakarta
Suratman, Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV
ALfabeta; Bandung
Skripsi dan tesis
Asri Thaher, 2006, Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrlineal dan
Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa Pemerintahan
Kota Agam Provinsi Sumatera Barat,
Tesis. Fakultas
Hukum, Universitas Diponegoro.
Peraturan perundang-undangan
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa
27
Dinamika Perkembangan Sistem Pewarisan
Kolektif di Masyarakat Suku Malayu Di
Kenagarian Gurun Panjang Barat Kabupaten
Pesisir Selatan
Diusulkan oleh:
Rayvo Rahmatullah
(14/366564/HK/20045)
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
DAFTAR ISI
1
BAB I PENDAHULUAN.......................................................1
A. Latar belakang .......................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................2
C. Tujuan penelitian....................................................2
D. Keaslian Penelitisn..................................................3
E. Manfaat Penelitian..................................................4
BAB II TINJAUAN PUSATAKA..............................................5
A. Pengertian umum mengenai hukum waris adat.....5
B. Tentang Suku Malayu..............................................6
BAB III METODE/ CARA PENELITIAN..................................9
A. Jenis dan sifat penelitian........................................9
B. Jenis data................................................................9
C. Penentuan / pemilihan Lokasi Penelitian..............10
D. Subjek penelitian..................................................10
E. Responden dan Narasumber...............................11
F. Teknik dan alat pengumpul data..........................11
G. Analisis hasil.........................................................12
H. Jalannya penelitian...............................................12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................14
A. Konsep dan sistem pewarisan....................................................14
1. Bentuk harta warisan.......................................14
2. Sistem dan mekanisme pewarisan yang digunakan
........................................................................15
B. Pergeseran konsep pewarisan kolektif yang digunakan............17
2
BAB V PENUTUP.............................................................20
A. Kesimpulan...........................................................20
B. Saran....................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah Penelitian
Penelitian ini berangkat dari dinamika perkembangan yang
terjadi di kehidupan masyarakat daerah yang terpengaruh
dengan kemajuan zaman. Perkembangan tersebut tentu juga
akan berpengaruh pada sistem pewarisan adat yang digunakan
oleh kalangan masyarakat adat itu sendiri. Sifat komunal yang
tumbuh dan bekembang dalam kehidupan masyakat adat akan
terus
bergerak
menuju
pola
kehidupan
yang
individual
selayaknya kehidupan masyarakat di perkotaan. Begitupun
dengan masyarakat adat Minangkabau yang dikenal sebagai
corak kehidupan yang
kelompok
daripada
mengutamakan kelangsungan hidup
hanya
sekedar
kemakmuran
individu.
Berdasarkan hukum adat masyarakat Minangkabau, ditentukan
bahwa
sistem
pewarisan
yang
digunakan
adalah
sistem
pewarisan kolektif.
“Menurut Hilman Hadikusuma sistem pewarisan kolektif
adalah harta peninggalan diteruskan atau dialihkan
pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan
yang tidak-tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya,
melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta
peninggalan itu”.1
Tentu
sistem
pewarisan
kolektif
ini
dipengaruhi
oleh
kehidupan dan pemikiran komunal yang ada di masyarakat. Pola
1 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Abadi:
Bandung, hlm. 26
1
kehidupan yang menekankan pada persamaan nasib, satu rasa,
satu cita-cita dan tujuan yang harus dicapai secara bersamasama oleh anggota kelompok atau kaum yang ada dalam
masyarakat. Sehingga kepentingan individu berada setelah
kepentingan
kelompok
telah
terpenuhi.
Hal
inilah
yang
menyebabkan mengapa suatu kebersaman dalam masyarakat
Minangkabau adalah hal yang paling utama.
Konsekuensi langsung dari pewarisan kolektif adalah bahwa
tidak ada kepemilikan secara individu dari ahli waris untuk harta
warisan yang dialihkan. Hanya saja masing-masing individu
tersebut dan mengusahaan dan menikmati hasil dari harta
warisan yang terdapat didalamnya. Salah satu kelemahan dari
sistem pewarisan kolektif ini menurut Hilman Hadikusuma adalah
bahwa
tidak
selamanya
suatu
kerabat
mempunyai
kepemimpinan yang dapat diandalkan dan aktivitas masyarakat
yang makin meluas juga akan menyebabkan rasa setia pada
kawan dan kerabat akan luntur.2
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana bentuk sistem pewarisan di Manangkabau khususnya
di kalangan suku Malayu di kanagarian Gurun Panjang Barat,
Kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu, penelitian ini juga akan
melihat sejauh
mana
pengaruh
dari
perkembangan
hidup
masyarakat tersebut terhadap pergeseran sistem pewarisan
2 Ibid, hlm 28
2
kolektif yang dianut oleh masyarakat hukum adat Minangkabau
selama ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pewarisan yang terlaksana di suku
Malayu yang terdapat di Kanagarian Gurun Panjang
Barat?
2. Bagaimana bentuk pergeseran konsep sistem pewarisan
yang ada di masyarakat suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat?
C.
Tujuan penelitian
Setelah dilakukan penelitian ini, peneliti berharap dapat
menjawab pertanyan mendasar mengenai konsep pewarisan
kolektif yang terdapa di masyarakat Minangkabau khususnya
suku
Malayu
di
kenagarian
Gurun
Panjang
Barat
dengan
mengetahui beberapa hal yaitu:
1. Konsep pewarisan yang terlaksana di suku Malayu yang
terdapat di kanagarian Gurun Panjang Barat
2. Bentuk pergeseran konsep sistem pewarisan yang ada di
masyarakat suku Malayu di kenagarisan Gurun Panjang
Barat.
D.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan pada penelusuran peneliti, penelitian yang
memiliki pembahasan yang mirip dengan penelitian ini adalah
penelitian dari Asri Thaher dari Universitas Diponegoro pada
3
tahun 2006 yang berjudul “Sistem Pewarisan Kekerabatan
Matrlineal dan Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa
Pemerintahan Kota Agam Provinsi Sumatera Barat”.
Penelitian tersebut secara umum membahas beberapa hal
yaitu:
1. bagaimana perkembangan pewarisan harta tak benda
yaitu soko atau gelar yang terdapat di masyarakat
Minangkabau.
2. Penelitian ini juga menganalisis putusan pengadilan Terkait
dengan gugatan menengenai konflik harta pusaka
3. Membahas secara dalam mengenai faktor penyebab
terjadinya perubahan atau pergeseran tersebut.3
Selain dari wilayah penelitian yang berbeda, beberapa substansi
dari kedua penelitian ini juga terdapat beberapa perbedaaan
yang signifikan sehingga nilai keaslian dari penelitian ini dapat
dipertanggugjawabkan.
E.
Manfaat Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil dari
penelitian ini mampu menjawab pertanyan mengenai bentuk dan
pekembangan
sistem
pewarisan
kolektif
di
masyarakat
Minangkabau secara umum dan khususnya di suku Malayu yang
terdapat di kenagarian Gurun Panjang Barat. Di dunia akademis,
penelitian akan sangat bermanfaat sebagai referensi untuk
pembelajaran
ataupun
untuk
pengembagan
penelitian
berikutnya.
3 Asri Thaher, 2006, Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrlineal dan
Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa Pemerintahan Kota Agam
Provinsi Sumatera Barat, Tesis. Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro.
4
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
A.
Pengertian umum mengenai hukum waris adat
Secara umum hukum waris adat adalah sistem hukum yang
mangatur bagaimana proses peralihan ataupun penerusan suatu
harta warisan dari pewaris kepada para ahli waris yang
ditinggalkan
.
Ada
beberapa
ahli
yang
mengemukakan
pendapatnya mengenai hukum waris adat. Menurut Ter Haar,
hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian
dengan proses dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang material dan immaterial dari generasi ke
generasi.4
“Selain itu, menurut Soepomo sebagaimana yang di kutip
oleh Hilman Hadikusuma, hukum waris adat adalah
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda dari satu angkatan
manusia kepada keturunannya5”
Dari pengetian diatas dapat dikatakan bahwa hukum waris adat
tersebut adalah seperangkat hukum yang mengatur bagaimana
proses peralihan ataupun penerusan harta warisan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam hukum adat selain
mengenal harta warisan yang berupa harta benda yaitu hal-hal
yang dapat dinilai dengan uang, juga terdapat harta warisan
4 Ter Haar, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja Paramita d/h J.
B. Wolters: Djakarta, hlm. 197
5 Soepomo dalam Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra
Aditya Abadi: Bandung, hlm. 8
5
yang berupa bukan benda yaitu harta warisan berupa gelar,
tanda kehormatan ataupun yang lainnya
Nampak jelas bahwa kecendrungan masyarakat adat yang
tradisional dan lebih komunal, dan juga tidak melulu berorientasi
pada
kehidupan
materiil.
Sistem
pewarisan
yang
dianut
masyrakat Minangkabau secara umum adalah sistem pewarisan
kolektif.
Sebagaimana
pewarisan
kolektif
yang
adalah
telah
sistem
diketahui
pewarisan
bahwa
sistem
yang
proses
penerusan harta warisan diberikan secara utuh kepada generasi
yang berhak mewaris tanpa adanya pembagian secara individu
dalam kepemilikan harta tersebut.
“Menurut Hilman Hadikusuma sistem pewarisan kolektif
adalah harta peninggalan diteruskan atau dialihkan
pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan
yang tidak-tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya,
melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta
peninggalan itu”.6
Berkenaan dengan kultur masyarakat Minangkabau yang
kental
dengan
kehidupan
islaminya,
maka
seringkali
ada
anggapan bahwa sistem pewarisan kolektif yang ditarik dari
garis ibu adalah hal yang bertentangan dengan aturan waris
menurut agam islam. Hukum waris di Minangkabau berbeda
dengan hukum waris islam, tetapi dalam hal ini tentang apa yang
diwariskanpun juga berbeda. Waris di Minangkabau hanya
6 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 26
6
tentang harta pusaka tinggi dan gelar pusaka yang turuntemurun7
B.
Tentang suku Malayu
Corak kehidupan masyarakat Minangkabau sangat tampak
dalam
dinamika
Minangkabau
pemerintahan
sistem
tingkat
pemerintahan
desa.
desa
di
wilayah
disebut
dengan
pemerintahan nagari. Menurut A.A Navis pengertian nagari
adalah sebagai suatu pemukiman yang telah mempunyai alat
kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurangkurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk
(Penghulu
Pengertian
Tua)
ini
keberadaannya
selaku
adalah
yaitu
pimpinan
pemerintahan
pengertian
pada
zaman
nagari
dahulu
tertinggi. 8
pada
dimana
awal
belum
mengenal wali nagari sebagai pemimpin nagari.
Saat ini apa yang dimaksud dengan nagari diatur dalam
pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat
Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
“Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang
memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi
Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi
Sumatera Barat”.9
7 Idrus Hakimy dt. Rajo Penghulu, 2004, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat
Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm. 117
8 A.A Navis. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta : Grafiti Pers. 1984. hlm. 92
9 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari. , psl. 1 angka 7
7
Nagari dalam lingkungan pemerintahan daerah Sumatera
Barat dapat dipersamakan dengan desa sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa
yang dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 1 angka 1
menyebutkan
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan,
kepentingan
masyarakat
setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”10
Idealnya dalam sebuah nagari terdapat empat suku yang
mendiaminya. Suku-suku tersebut pada mulanya merupakan
unsur yang menjalankan pemerintahan nagari secara bersamasama. Pada masa sekarang sebuah nagari dipimpin oleh seorang
wali nagari setingkat kepala desa. Namun, keberadaan empat
suku tersebut masih sangat esensial dalam kehidupan masyrakat
nagari.
Di nagari Gurun Panjang Barat yang terletak di kecamatan
Bayang, Kabupaten Pesisir selatan terdapat empat suku yang
mendiaminya yaitu suku Caniago, Jambak, Malayu, dan Tanjung.
Setiap suku tersebutpun masih dibagi lagi dalam beberapa kaum
dengan pemimpin yang disebut datuk yang berbeda-beda pula.
Untuk suku Malayu sendiri terdapat dua kaum yaitu kaum yang
10 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, psl. 1 angka 9
8
dipimpin oleh Datuk Rajo Lelo dan Datuk Rajo Putiah. Kaum itu
juga terdiri dari beberapa keluarga yang dipimpin oleh mamak
mereka sendiri-sendiri.
9
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan sifat penelitian
Memperhatikan permasalahan utama dan objeknya, maka
penelitian ini adalah penelitian dengan tipe penelitian yuridis
emiris. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara menggali
informasi secara menyeluruh langsung dari lapangan untuk
mengetahui
permasalahan
yang
sedang
dibahas.
Menurut
Suratman dan Philips Dillah penelitian hukum yuridis empiris
yang disebut juga dengan penelitian sosio legal lebih menitik
beratkan
pada
perilaku
individu
atau
masyarakat
dalam
kaitannya dengan hukum.11 Dalam penelitian ini akan ditemukan
data mengenai bagaimana konsep dari sistem pewarisan yang
dipraktekan di masyarakat suku Malayu di kanagarian gurun
panjang barat. Kemudian akan dilihat bagaimana bekerjanya
hukum adat mengatur kehidupan masyrakat khususnya di bidang
pewarisan. Menurut Soejono Soekantopenelitian empiris terdiri
dari dua macam yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum
(tidak terlihat) dan penelitian trhadap efektifitas hukum.12
Sifat
penelitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif
yaitu
penelitian yang bertujuan untuk melukis tentang suatu hal pada
saat tertentu.13 Dalam penelitian ini masyarakat yang dimaksud
11 Suratman, Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV ALfabeta;
Bandung, hlm. 88
12 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta,
hlm.51
13 Suratman, Philips Dillah, Op.cit, hlm. 47
10
adalah masyarakat anggota suku Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat.
B.
Jenis data
Dalam penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis
emiris maka jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data
primer. Data primer yaitu data yang diperoleh dari lapangan
secara langsung, maksudnya data tersebut merupakan suatu
dinamika yang digali dari masyrakat yang menjadi objek
penelitian. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari hasil
wawancara dengan pemimpin atau yang disebut masyarakat
sebagai panghulu dari suku Malayu di lokasi
penelitian.
Wawancara juga dilakukan dengan orang tua peneliti yang
merupkan salah satu anggota dari
suku Malayu di lokasi
penelitian ini.
Selain
data
primer
tersebut,
penelitian
ini
juga
mengumpulkan data sekunder sebagai penunjang validitas hasil
penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara penelusuran
bahan-bahan kepustakaan yang terkait seperti buku, jurnal atau
pun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C.
Penentuan / pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah sebuah nagari yang trdapat di
kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat,
yaitu kenagarian Gurun Panjang Barat. Lokasi ini dipilih karena
beberapa
alasan
yaitu
pertama
nagari
tersebut
masih
11
mempraktekkan hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya.
Penggunaan
hukum
adat
tersebut
tersebut
mulai
dari
perkawinan, penyelesaian sengketa tanah ataupun mengenai
permasalahan pewarisan. Peran dari setiap unsur masyarakat
masih dilakasanakan sebagaimana mestinya. Selain itu, lokasi
tersebut juga memiliki kedekatan dengan peneliti sehingga
memudahkan akses dalam memperoleh data penelitian.
D.
Subjek penelitian
Subjek penelitan dalam penelitian ini adalah pihak yang
terlibat
dalam
langsung
dengan
topik
penelitian.
Subjek
penelitian yang di maksud adalah anggota masyarakat dari suku
Minangkabau yang terdapat di kenagarian Gurun Panjang Barat.
Dalam penelitian ini akan digali secara menyeluruh bagaimana
masyarakat melakukan atau mempraktekkan ketentuan hukum
waris adat dalam kehidupannya
E.
Responden
Responden yang dipilih untuk menggali informasi dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan
yang berkaitan dengan materi penelitian ini selain itu juga
terlibat langsung dalam proses pewarisan. Beberapa orang
tersebut adalah dt. Rajo Lelo dan Ibu Tasmi. Dt. Rajo Lelo adalah
pemimpin dari salah satu dari dua suku Malayu yang terdapat di
nagari Gurun Panjang Barat atau dalam masyarakat disebut
sebagai datuak atau panghulu kaum. Dia dirasa cocok untuk
12
dimintai keterangan terkait isu yang akan digali dalam penelitian
ini karena memiliki pengetahuan yang cukup di bidang ini.
Respinden kedua yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah
orang tua dari peneliti sendiri. Pertimbanganya, dikarenakan
penelitian ini juga melihat bagaimana bentuk pewarisan yang
terjadi dalam keluarga peneliti sendiri. Sehingga dirasa sangat
relevan dalam mewawancarai orang tua penelitia sendiri dan
tentu akan mendapatkan data yang valid dan juga tepat sasaran
dalam penelitian ini. Selain itu, keluarga peneliti merupakan
salah satu anggota dari suku
Malayu di kenagarian Gurun
Panjang Barat.
F.
Teknik dan alat pengumpul data
Ada
beberapa
cara
yang
peneliti
gunakan
dalam
pengumpulan data penitian ini, cara tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penelusuran bahan kepustakaan, cara ini digunakan untuk
menemukan data sekunder dalam penelitian. Penelusuran
kepustakaan tersebut dilakukan ke beberapa buku terkait
yang membahas hukum waris adat di Indonesia. Selain itu,
juga dilakukan ke beberapa jurnal yang telah dipublis dan
peratutan perundang-undangan yang belaku.
2. Wawancara, hal ini dilakukan kepada para responden yang
telah
ditentukan.
Diharapkan
dengan
dilakukannya
13
wawancara ini diperoleh informasi yang akurat dan tepat
untuk menjawab pertanyaan dasar dari penelitian ini.
G.
Analisis hasil
Setelah mendapatkan seluruh data yang kami butuhkan,
peneliti akan melakukan aalisis data dengan cara kualitatif yaitu
dengan cara menyajikan data dalam bentuk pendeskripsian
secara komprehensif. Data yang akan diolah adalah data-data
hasil
dari
penelitian
lapangan
berupa
wawancara.
Kami
melakukan proses penyuntingan, dan juga men-transcript data
yang kami peroleh. Data yang sudah kami olah akan dianalisis
untuk selanjutnya ditafsirkan.
Tahapan akhir dalam penelitian kami adalah penarikan
kesimpulan.
Proses penarikan kesimpulan dilakukan dengan
cara induktif. Peneliti awalnya mancari fakta-fakta yang detail da
bersifat khusus di lapangan untuk kemudian dicari satu benang
merah dalam penarikan kesimpulan
H.
Jalannya penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan studi kepustakaan oleh
peneliti sendiri di perpustakaan fakultas hukum UGM serta
perpustakaan pusat UGM selama beberapa hari dan juga
dilakukan dengan penelusuran internet untuk menemukan jurnal,
peneleitian sebelumnya, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Setelah bahan kepustakaan dirasa cukup kemudian
peneliti melakukan penelitian lapangan dengan cara wawancara
14
dengan para responden. Wawancara
dilakukan via telepon
antrara peneliti dengan para responden. Hal tersebut dilakukan
mengingat
posisi
peneliti
dan
responden
yang
tidak
memungkinkan untuk dilakukan wawancara dengan berhadapan
secara langsung.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep pewarisan di suku Malayu Kenagarian Gurun
Panjang Barat
1. Bentuk Harta Warisan
Berdasarkan hukum adat Minangkabau dikenal beberapa
jenis harta warisan yang dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Jenis harta tersebut adalah:
1. Pusaka berupa sawah dan ladang, emas dan perak
peninggalan dari nenek moyang.
2. Soko adalah gelar yang diterima secara turun temurun
menurut garis ibu.
3. Sangsoko, adalah gelar jabatan di dalam adat
umpamanya gelar khatib adat, bilai adat, imam, dan
manti adat, ataupun yang lainnya.14
Harta pusaka terbagi lagi ke dalam dua bagian yaitu
pertama bentuk harta pusaka tinggi dan kedua harta pusaka
rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta yang telah dapat
dipertahankan keberadaannya oleh suatu kaum dari generasi ke
generasi dalam beberapa derajat. Maksud dapat dipertahankan
disini adalah bahwa suatu bentuk harta pusaka yang terdapat
dalam satu keluarga tersebut telah diwariskan dalam waktu
tertentu secara turun-temurun, dimana harta tersebut tidak
hilang dari penguasaan keluarga tersebut baik dikarenakan
proses penjualan ataupun hal yang lainnya contoh dari harta
pusaka tinggi seperti rumah gadang dan tanah pusaka.
14 Idrus Hakimy dt Rajo Penghulu, Op.cit, hlm.118
16
Menurut keterangan dari responden, dikenal pula dua jenis
tanah pusaka tinggi yang dapat diwariskan berdasarkan hukum
adat Minangkabau.
Pertama, tanah kariang (kering) yaitu tanah warisan yang
diperuntukan
sebagai
lahan
yang
dapat
digunakan
untuk
perumahan.15 Jadi, di tanah kering ini dapat dipergunakan
anggota kelurga untuk membangun rumah baru. kedua, ada
yang disebut dengan tanah basah. Tanah basah adalah tanah
yang
peruntukanya
dimaksudkan
untuk
pengolahan
lahan
pertanian.16
Sedangkan yang dimaksud dengan harta pusaka rendah
adalah harta pusaka yang dapat diwariskan oleh sebuah keluaga
inti (nuclear family) di Minangkabau. Maksudnya harta tersebut
termasuk kedalam harta bersama dalam suatu perkawinan yang
dihasilkan secara bersama oleh suami istri pada saat perkawinan
tersebut.
2. Sistem dan Mekanisme Pewarisan yang Digunakan
Praktek pewarisan yang terjadi di lokasi penelitian masih
menggunakan sistem pewarisan adat Minangkabau itu sendiri.
Suatu
harta
berikutnya
warisan
dapat
yang
akan
dilakukan
saat
diturunkan
pewaris
ke
generasi
atau
generasi
15 Wawancara dengan dt. Rajo Lelo per telpon pada 13 November 2016
16 Wawancara dengan dt. Rajo Lelo per telpon pada 13 November 2016
17
sebelumnya masih hidup. Hal tersebut sesuai dengan ciri khas
hukum
waris
adat
dan
merupan
salah
satu
hal
yang
membedakannya dengan sistem hukum waris barat ataupun
sistem hukum waris islam.
Misalnya dalam pengusahaan sebuah lahan pertanian dapat
dilakukan oleh generasi ahli waris selagi pewaris masih hidup.
Hal tersebut dapat terjadi jika pewaris menginginkan hal
demikian, tetapi ahli warispun berkewajiban memberikan apa
yang disebut dengan patigaan yaitu bentuk bagian hasil panen
dari lahan pertanian tersebut untuk membiayai kebutuhan si
pewaris yang sudah tua.17
Sebagaimana
yang
diketahui
bahwa
sistem
pewarisan
kolektif memiliki konsekuensi bahwa harta warisan tersebut tidak
dapat dibagi kepemilikannya diantara para ahli waris. Sehingga
harta warisan tersebut harus diusahakan secara bersama dan
hasilnya pun harus dirasakan manfaatnya secara bersama oleh
ahli waris.
Di suku Malayu itu juga terdapat aturan mengenai tugas dan
fungsi antara ahli waris yang perempuan dengan laki-laki.
Sebagaimana
dengan
ketentuan
adat
Minangkabau
pada
umumnya, laki-laki merupakan seorang pemimpin di dalam
keluarga atau pun kaumnya, maka dalam hal penguasaan harta
pusaka seorang laki-laki bertindak sebagai mamak rumah 18.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah bahwa seorang lakilaki harus bertindak sebagai paga (pagar) bagi harta pusaka
17 Wawancara dengan Ibu Tasmi per telpon pada 15 November 2016
18 dalam literatur hukum dan adat Minangkabau pada umumnya dikenal
dengan mamak kepala waris
18
keluarganya. Selain itu, seorang mamak dalam kaum juga
bertindak sebagai penyelesai sengketa yang terjadi antara
anggota kaum.
Seorang mamak harus dapat menjaga keutuhan harta
pusaka
dan
tetap
utuh
menjadi
kepemilikan
kaum
yang
dipimpinnya. Tujuan dari mempertahankan keberadaan harta
pusaka dalam penguasaan suatu keluarga dikarenakan fungsi
utama dari penerusan harta pusakan tinggi di Minangkabau
adalah untuk menjamin kelangsungan hidup anggota kaum baik
yang sekarang maupun yang akan datang. Sehingga penting
untuk mempertahankan harta pusaka tersebut dan tidak lepas ke
pihak yang lain.
Masyarakat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai
penyambung eturanan di dalam keluarga atau kaum, maka
peran
utamanya
adalah
penyambung
garis
keturanan
matrilineal. Harta pusaka tinggi yang diwariskan berada dalam
kekuasaan
perempuan,
tetapi
dibawah
pengawasan
dan
pemeliharaan seorang mamak. Perempuan di Minangkanbau
berperan sebagai Ambun Puro Aluang Bunian (pemegang kunci
harta kekayaan).19
19 Sjahmunir, Kedudukan Wanita dalam Kepemilikan Hak Ulayat di
Minangkabau, dalam Alfan Miko, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah
Ulayat, Andalas University Press; Padang, hlm. 201
19
Perempuan di dalam kaum Malayu tersebut merupakan
pihak yang dapat memanfaatkan harta pusaka tersebut dengan
cara mengusahakannya demi memenuhi kebutuhan anggota
keluarga lainnya seperti anak-anaknya. Pengusahaan tersebut
dapat dilakukan dengan mengolah sawah atau ladang untuk
tanah basah atau juga dapat menggunakan tanah kariang untuk
mendirikan
bangunan
rumah
tempat
tinggal
keluarga.
Disebutkan bahwa dalam pengusahaan harta pusaka tidak dapat
dilakukan secara terpisah dengan satu yang lainnya. Maksudnya
suatu harta pusaka dalam suatu keluarga merupakan suatu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Akibat dari
ketentuan tersebut adalah setiap perempuan yang menjadi
anggota keluarga harus dapat menikmati manfaat dari harta
pusaka tersebut.
Sebagai contoh yang diberikan oleh responden misalnya
terdapat dua lahan sawah yang diwariskan ke suatu generasi
dalam keluarga, tetapi dalam keluarga tersebut terdapat tiga
perempuan yang berhak untuk memanfaatkannya, sehingga hal
yang dapat dilakukan adalah dua lahan sawah tersebut dapat
diolah oleh ketiga perempuan tersebut secara bergilir untuk
setiap musim bercocok tanam.20
Di suku Malayu tersebut juga tidak menutup kemungkinan
jika seorang laki-laki dapat memanfaatkan harta pusaka yang
kemudian digunakan untuk menghidupi anak dan istrinya. Hal
terseut dapat terjadi jika semua anggota keluarga perempuan
20 Wawancara dengan bu Tasmi orang tua peneliti per telpon pada 15
November 2016
20
menyetujuinya dan mereka telah hidup berkecukupan baik dari
usahanya sendiri ataupun dari pemanfaatan harta pusakanya.
B. Pergeseran konsep pewarisan kolektif yang digunakan
Sebagaimana
halnya
dengan
kehidupan
kelompok
masyarakat pada umumnya tentu akan terdapat permasalahan
yang terjadi dalam anggota keluarga. Permasalahan tersebut
tentu disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara
satu anggota dengan anggota keluarga yang lainnya. Terdapat
beberapa permasalahan yang sering muncul yang berkaitan
dengan pewarisan dalam suku Malayu di nagari Gurun Panjang
Barat yaitu:
1.
Adanya
konflik
atara
para
ahli
waris
terkait
dengan
pemanfaatan atau penggunaan harta pusaka yang telah
diwarisi
bersama.
Konflik
tersebut
seperti
adanya
ketidaksepahaman atau kesepakatan ketika satu anggota
memnfaatkan harta pusaka yang dianggap melebihi haknya.
Sebagai contoh dalam beberapa keluarga yang memiliki
sebuah lahan tanah kariang, lahan tersebut dapat dibangun
rumah oleh salah satu anggota keluarga yang terlebih
dahulu memiliki kemampuan materil untuk melakukannya.
Biasanya rumah yang dibangun tersebut dipergunakan
untuk keperluan keluarga intinya sendiri. Tidak masalah jika
anggota keluarga lain secara diam-diam atau terang-
21
terangan menyetujuinya. Persetujuan tersebut terjadi jika
anggota keluarga yang lain juga mendapat kesempatan
yang sama. Namun, jika hal tersebut tidak disetujui oleh
anggota
keluarga
yang
lain
tentu
akan
menimbulkan
permasalahan. Untuk permasalahan inilah peran seorang
mamak sangat dibutuhkan. Dalam hal ini juga terihat bahwa
dalam kondisi tertentu penguasaan secara individual juga
2.
mulai terlihat dalam proses pewarisannya.
Adakalanya terdapat suatu keadaan dimana suatu keluarga
mengalami
kesulitan
dalam
hal
ekonomi
yang
mengharuskan mereka untuk menjual harta pusaka yang
dimilikinya. Permasalahannya adalah di Minangkabau sangat
tidak dikehendaki untuk melepaskan harta pusaka apalagi
dengan proses jual-beli yang artinya kepemilikan harta
tersebut sudah lepas secara permanen dari keluarga yang
bersangkutan. Sehingga, tujuan dari adanya harta pusaka di
Minangkabau yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup
generasi
berikutnya
menjadi
tidak
terjamin.
Dalam
permasalahan ini biasanya harus ada musyawarah terlebih
dahulu
didalam keluarga
yang
dipimpin
oleh
seorang
mamak. Opsi pertama yang akan ditawarkan biasanya
adalah dengan menggadaikannya.
Menurut responden yang diwawancara ada tiga syarat untuk
dapat menggadaikan sebuah harta pusaka tinggi yaitu:
a. gadih gadang nak balaki maksudnya keluarga tidak
memiliki biaya yag cukup untuk membiayai serangkaian
prosesi pernikahan anak perempuan dalam keluarga,
22
b.
c.
rumah gadang katirisan maksudnya adalah bahwa
keluarga tidak memiliki biaya yang cukup memperbaiki
kerusakan yang ada di rumah gadang keluarga,
gadang dirantau nak ka pulang, sebagaimana kebiasaan
masyarakat Minangkabau bahwa seseorang pemuda
dianjurkan untuk merantau, tetapi adakalanya mereka
tidak berhasil dan tidak memiliki biaya untuk pulang
kampong.21
Jika dengan cara menggadaikan dirasa masih tidak
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh keluarga
maka opsi untuk menjual harta pusaka dapat dilakukan
dengan persetujuan semua anggota keluarga.
Dari kedua permasalahan tersebut diatas tampak bahwa
ada pergeseran dalam sistem pewarisan kolektif yang ada di
Minangkabau. Pada permasalahn pertama, dapat dilihat bahwa
pemanfaatan suatu harta pusaka tinggi dapat dinikmati secara
individu oleh masing-masing anggota. Suatu harta pusaka tinggi
dalam bentuk tanah kariang dapat dibangun sebuah rumah
untuk kebutuhan kluarga inti dari salah satu anggota kaum.
Awalnya tanah karian dapat dimanfaatkan untuk keperluan
keluarga inti salah satu anggota kaum dikarenakan rumah gang
yang dimiliki kaun tersebut tidak dapat menampung semua
anggota kaum. Selain itu, pelaksanaannya dikomandoi oleh
mamak rumah dari kaum tersebut.
Pada
permasalahan
kedua,
pergeseran
terjadi
pada
ketentuan yang menyatakan bahwa harta pusaka tinggi dalam
21 Wawancara dengan dt. Rajo Lelo per telpon tanggal 15 November 2016
23
suatu kaum tidak untuk diperjual belikan. Salah tujuannya adalah
seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya
yaitu untuk menjamin kelangsungan kehidupan generasi yang
akan datang. Namun, disebabkan karena situasi dan
kondisi
suatu kaum yang tidak dapat dipastikan seperti permasalahan
ekonomi memaksa masyaraka untuk melakukan pergesran dari
ketentuan tersebut. Tentu memperjual-belikan harta pusaka
tinggi tersebut dilakukan karena tidak ada jalan lain dan
tujuannya untuk kelangsungan hidup anggota kaum tersebut.
24
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas dapat di
ketahui bahwa kehidupan anggota suku Malayu di nagari Gurun
Panjang Barat masih mempraktekkan ketentuan hukum waris
adat Minangkabau dalam kehidupan sehari-harinya. Kaum-kaum
yang terdapat dalam suku Malayu tersebut dalam proses
pewarisannya sesuai dengan prinsip-prinsip pewarisan kolektif
yang digunakan masyrakat Minangkabau pada umumnya.
Hanya
saja
terdapat
pergeseran
prinsip-prinsip
dari
pewarisan di Minangkabau itu sendiri dalam beberapa hal
adapun bentuk pergeseran tersebut adalah
1. Adanya kesan bahwa harta pusaka tersebut dapat dibagibagi dalam penguasaan individu walaupun tidak dimiliki
secara individu. Hal tersebut dari penggunaan tanah
kariang untuk mendirikan rumah oleh anggota keluarga
2. Adanya pergeseran dari aturan dasar bahwa harta pusaka
tinggi tersebut tidak untuk diperjual-belikan. Penjualan
harta pusaka tinggi tersebut hanya dilakukan dalam
keadaan yang terpaksa
B. Saran
Dalam mempertahankan corak kehidupan masyarakat yang
memegang
teguh
adat
sebagai
jati
dirinya
maka
sangat
25
dibutuhkan peran seorang pimimpin dalam menyelasaikan setiap
permasalahan yang terjadi di antara anggota keluarganya. Suku
Malayu
di
kenagarian
Gurun
Panjang
Barat
dapat
mempertahankan corak kehidupan tradisional dengan peran
semua unsurnya baik dari mamak, bundo kanduang, kemenakan,
dan anggota kelompok lainnya.
26
Daftar Pustaka
Buku-buku
Ter Haar, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja
Paramita d/h J. B. Wolters: Djakarta
Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya
Abadi: Bandung
Miko, Alfan, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas
University Press; Padang.
Navis, A.A, 1984, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers.
Penghulu,
Idrus
Pengetahuan
Hakimy
Adat
dt.
Alam
Rajo,
2004,
Pokok-Pokok
Minangkabau,
PT
Remaja
Rosdakarya: Bandung,
Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,
Jakarta
Suratman, Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV
ALfabeta; Bandung
Skripsi dan tesis
Asri Thaher, 2006, Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrlineal dan
Pekembangannya di Kecamatan Banuhampa Pemerintahan
Kota Agam Provinsi Sumatera Barat,
Tesis. Fakultas
Hukum, Universitas Diponegoro.
Peraturan perundang-undangan
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa
27