Kedudukan Pengadilan Pajak Terkait Eksis
KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK TERKAIT
EKSISTENSINYA SEBAGAI LEMBAGA YUDISIAL
DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang
sangat
potensial
untuk
pembiayaan
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintahan, pertahanan dan pembangunan nasional dengan tujuan
akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak
memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa.
Penting
dan
strategisnya
peran
sektor
perpajakan
dalam
penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun yang
disampaikan
pemerintah,
yaitu
terjadinya
peningkatan
persentase
sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun. 1
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau
kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi
mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia,
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa,
“Segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undangundang”. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan,
diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh
negara untuk mengenakan pajak.
1 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2008),
hal. 11.
1
Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations
mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal
dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The Four Maxim”
dengan uraian sebagai berikut:2
1. Equality (asas persamaan)
Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak
tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada
negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing,
yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di
bawah perlindugan negara. Yang dimaksud dengan “keuntungan” di
sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah
perlindunga negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan
suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak.
2. Certainty (asas kepastian)
Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti
tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini
kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek
dan objek pajak.
3. Conveniency of Payment (asas menyenangkan)
Pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling
menyenangkan bagi wajib pajak, misalnya : pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut
pada saat mereka memperoleh uang, yaitu pada saat panen.
4. Low Cost of Collection (asas efisiensi)
Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh
lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak
disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara.
Walaupun pajak dipungut oleh negara berdasarkan asas equality
(asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), pada
kenyataannya sering kali masih terjadi sengketa pajak. Terjadinya
2 C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan : Ratmoko,
Djembatan, 1973, hal 216. Dalam H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2010), hal. 41-42.
2
Sengketa
Pajak
atau
Bea
dan
Cukai
diawali
dengan
adanya
ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara : 3
1. Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak (aparat Direktoral
Jenderal Pajak) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak
Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak; atau
2. Wajib Pajak dengan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan
Daerah
(aparat
Dinas
Pendapatan
Daerah)
setempat
(Propinsi/Kabupaten/Kota) atas penetapan Pajak terutang untuk
Pajak-Pajak daerah; atau
3. Orang (perseorangan atau Badan Hukum)/Wajib Pajak dengan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai (aparat Direktoral Jenderal Bea
dan Cukai) atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi
administrasinya, serta Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak
Pertambahan Nilai Impor, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah Impor.
Prinsip pemungutan perpajakan yang dianut Indonesia adalah self
assessment, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada wajib
pajak
untuk
melaksanakan
hak
dan
kewajiban
perpajakannya.
Pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak dituangkan dalam
bentuk pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) di bidang pajak. Surat
Pemberitahuan Tahunan dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir
tahun pajak, secara periodik. Atas dasar prinsip self assessment tersebut
petugas pajak mempunyai wewenang untuk meneliti dan memeriksa
kebenaran pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak, seperti
ditentukan dalam pasal 17 dan pasal 17A UU KUP. Adapun hasil dari
penelitian atau pemeriksaan yang bersifat administratif, dapat diterbitkan
3 Atep Adya Barata, Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, (Jakarta:
Sociadana, LP3AB-IBTA 2002), hal. 5.
3
Ketetapan/Keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), dan Surat Tagihan Pajak (STP).4
Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan salah satu
penerimaan negara yang perlu ditingkatkan dan dikelola secara bijak dan
adil, agar tercapai kemandirian pembiayaan bernegara dan melepaskan
diri dari keterikatan utang luar negeri. Akan tetapi, pada kenyataannya
upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan lebih
mudah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan upaya meningkatkan
keadilannya. Masyarakat selaku Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa
peningkatan kewajiban perpajakan tidak memenuhi asas keadilan,
sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara pemerintah (instansi
perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak.
Perpajakan erat kaitannya dengan proses pembuatan keputusan,
yang mempunyai beberapa kemungkinan dan perkiraan/prediksi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang mempunyai banyak cabang. Hal ini
disebut sebagai evaluasi dan merupakan proses yang lebih kompleks.
Pembentukan suatu sistem peradilan pajak yang berkaitan dengan
sengketa/perselisihan (contentieus), akan didahului oleh
penciptaan
sistem, paradigma atau proses desain sistem. Pada kenyataannya,
terdapat suatu perbedaan yang signifikan antara teori sistem dan
aplikasinya. Untuk menjembatani, diperlukan suatu pendekatan sistem
yang dapat digunakan sebagai alat dan teknik untuk mencapai tujuan
tersebut. Teori sistem berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan struktur, proses, perilaku, interaksi, fungsi dan lainnya
dari institusi.5
Namun, sebesar apapun usaha pemerintah untuk menyelaraskan
beban pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan keadilannya,
tetap saja terjadi sengketa di antara pemerintah (instansi perpajakan)
4 Ibid., hal. 20-21.
5 Luthan, Fred, Organisational Behavior, McGrawiHill Inc. New York, 7th Edition, 1998,
p. 464-498. Dalam Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding
Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2006), hal. 9-10.
4
dengan Wajib Pajak. Untuk itu, diperlukan adanya suatu lembaga
penyelesaian perselisihan pajak di Indonesia.
Saat
ini,
penyelesaian
permasalahan
sengketa
di
bidang
perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak.
Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan
Pajak
yang
kemudian
berkembang
menjadi
Badan
Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan
kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan
Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Lahirnya
Pengadilan Pajak
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang
memang terkesan memunculkan dualisme bahwa
seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu
berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru yang telah
mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman lama.
Dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Artinya, pengadilan pajak merupakan bagian dari kekuasaan
kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung karena menjalankan
fungsi yudisial.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002
yang menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”.
5
Kemudian Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa :
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masingmasing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai
dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2002
menjelaskan bahwa “Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Departemen Keuangan. Dengan demikian, Pengadilan
Pajak memiliki dua Pembina yakni Mahkamah Agung dan Departemen
Keuangan. Artinya, terdapat perbedaan pengaturan pembinaan antara
norma yang dimaksud dalam UU No. 48 Tahun 2009 dengan UU No. 14
Tahun 2002.
Penempatan pembinaan di dua lingkungan institusi yang berbeda
tersebut menimbulkan perdebatan secara konseptual dan independensi
pengadilan dipertanyakan. Hal ini juga menimbulkan keraguan terhadap
independensi hakim di lingkungan pengadilan pajak.
Sistem pembinaan yang mendua seperti itu kiranya patut
dicermati karena meskipun menurut sementara tidak mengurangi
kemandirian hakim dalam menjalankan fungsi peradilan, namun menurut
Yahya
Harahap
pendapat
tersebut
mengandung
kekeliruan
dan
ketidakbenaran dengan alasan:6
1. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif – dalam hal ini
departemen – meskipun yang ditempatkan di bawahnya hanya
organisatoris, administratif dan finansial, sistem seperti ini baik
6 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 32. Dalam bagian buku tersebut diajukan
kritik mengenai sistem pembinaan yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 yang mengandung
dualism, seperti juga yang terjadi dalam Pengadilan Pajak.
6
langsung atau tidak langsung merupakan simbol pengakuan yurdis
bahwa badan peradilan berada di bawah departemen yang
bersangkutan. Lebih lanjut, simbol tersebut memberi aba-aba
peringatan kepada para hakim mengenai batas otonomi kebebasan
mereka, bahwa dalam menjalankan fungsi dan kewenangan
peradilan mereka berada di bawah kontrol pihak departemen. Oleh
karena itu, meskipun secara teoritis yang dibina dan diawasi
departemen hanya administratif, personal dan finansial, namun
daya pengaruh simbol yang terkandung di dalamnya menimbulkan
efek politik dan psikologis yang sangat luas terhadap otonomi
kemandirian kebebasan hakim, dan juga berdampak luas terhadap
nilai “loyalitas” para hakim itu sendiri, dalam bentuk kebimbangan,
apakah harus loyal kepada fungsi dan kewenangan kekuasaan
kehakiman atau mesti loyal kepada kebijaksanaan departemen
yang bersangkutan.
2. Sistem dualisme yang ada sekarang ini menimbulkan kesulitan dan
hambatan terhadap upaya sumbangan konsep dan program
pengawasan dan pembinaan yang komprehensif dan integratif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
implikasi
perbedaan
pengaturan
pembinaan
Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Mahkamah Agung
dan di lingkungan Kementerian Keuangan?
2. Bagaimana independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan
pembinaan yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di
lingkungan Kementerian Keuangan?
C. Kerangka Teori
Dalam menganalisa dualisme pembinaan di pengadilan pajak ini,
penulis hendak menggunakan teori pemisahan kekuasaan (separation of
powers) dengan check and balances dan the principle of judicial
7
independence. Hal ini untuk melihat letak secara konseptual dari
pengadilan pajak dan efek yang terjadi pada organisasi dan kinerjanya.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “Negara Indonesia ialah
negara hukum.” Konsepsi negara hukum atau rechtssaat, diidealkan
bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu,
jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut
prinsip negara hukum adalah “the rule of law, not of man”.7
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut
dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu :8
1) Perlindungan hak asasi manusia;
2) Pembagian kekuasaan;
3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4) Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 13 pokok negara
hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman modern sekarang, sebagai
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern
sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law, ataupun
rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu : 9
1) Supremasi hukum (supremacy of law);
2) Persamaan dalam hukum (equality before the law);
3) Asas legalitas (due process of law);
4) Adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan undang-undang
dasar;
5) Berfungsinya organ-organ negara yang independen dan saling
mengendalikan;
6) Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak;
7) Tersedianya upaya peradilan Tata Usaha Negara;
7 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 297.
8 Ibid., hal. 304.
9 Ibid., hal. 309-310.
8
8) Tersedianya upaya peradilan tata usaha negara (constitutional
adjudication);
9) Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia;
10)Bersifat demokratis (democratic rule of law atau democratische
rechsstaat)
sehingga
pembentukan
hukum
yang
bersifat
demokratis dan partisipatoris dapat terjamin;
11)Berfungsi
sebagai
sarana
mewujudkan
tujuan
bernegara
(welfare rechsstaat);
12)Adanya pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan
negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya
mekanisme kontrol sosial yang terbuka;
13)Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam konsep bernegara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat),
erat kaitannya dengan pembahasan mengenai prinsip pemisahan negara
(separation of power). Seperti yang ditulis dan dikembangkan oleh
Montesquieu yang dikenal dengan Teori Trias Politica dalam buku The
Spirit of the Laws yang merupakan penyempurnaan dari ajaran John
Locke dengan bukunya L’espirit de droit atau kalau diterjemahkan menjadi
“jiwa undang-undang”.10
Untuk menghindari tindakan sewenang-wenang penguasa,
kekuasaan
negara
menurut
Montesquieu
dipisahkan
dalam
tiga
undang-undang
(La
kekuasaan, yaitu :11
1. Kekuasaan
Legislatif,
yaitu
pembuat
puissance leglistative);
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan
pemerintahan (La puissance executive);
3. Kekuasaan peradilan (La puissance de juge), kekuasaan
mempertahankan keadilan berdasarkan undang-undang.
10 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak,
Pabean, dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) hal.
5.
11 Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), cet. I, hal. 23.
9
Dalam prinsip ini terdapat pemisahan kekuasaan yang sangat
ketat dan tegas yang menyebabkan masing-masing pusat kekuasaan
tersebut menjadi dominan akan teritorial kekuasaannya. Sehingga muncul
perkembangan terhadap prinsip ini yang terjadi di Amerika Serikat yaitu,
check and balances.
Menurut Charles O. Jones, sistem pemisahan kekuasaan
dengan prinsip checks and balances menggambarkan kenyataan yakni,
setiap kekuasaan saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain. 12
Jadi, prinsip pemisahan kekuasaan dengan ‘checks and
balances’ dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang dapat mencegah
konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan mencegah
adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masingmasing dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang diatur
dalam konstitusi negara yang bersangkutan. 13 Setelah perubahan pertama
sampai dengan keempat, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut
prinsip pemisahan kekuasaan dengan checks and balances.
Pemisahan
kekuasaan
juga
terkait
dengan
independensi
peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu
menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari
pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami
dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus
independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumus
undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan
dilakukan. Meskipun anggota parlemen dan presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan
kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahaminya tetap
berada di tangan para hakim.14
12Lihat Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal.317.
13 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia (Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009),
hal. 72.
14 Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal. 523.
10
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa
dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan (judicial system), yaitu :
(i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial
impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di
semua negara yang disebut hukum modern atau “modern constitutional
state”.15
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan
dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang
dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai
pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan,
masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian
para hakim.16
BAB II
PEMBAHASAN
15 Ibid., hal. 530.
16 Ibid.
11
A. Sejarah institusi Peradilan Pajak
Sejarah institusi atau lembaga yang berfungsi menyelesaikan
sengketa perpajakan dimulai dari Majelis Pertimbangan Pajak (selanjutnya
disebut MPP), Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya disebut
BPSP) hingga ke Pengadilan Pajak.
Majelis Petimbangan Pajak (MPP) telah hadir sejak adanya
Staatsblad Nomor 707 tanggal 11 Desember 1915 tetapi masih belum
dapat dikatakan sebagai badan peradilan yang independen karena
berkedudukan langsung dibawah Gouverneur General di mana ketuanya
adalah Directeur van Financien (sama dengan Menteri Keuangan). Demi
terciptanya proses peradilan yang independen dalam menyelesaikan
sengketa perpajakan, maka pada tahun 1927 di adakanlah perombakan
dan penyempurnaan ordonansi sehingga lahirlah Ordonnantietot Regeling
van het Beroep in Belastingzaken, Stbld. No. 29 Tahun 1927 dengan
nama Raad van Beroep Voor Belastingzaken atau biasa disebut Raad van
Beroep. MPP adalah sebuah badan peradilan administrasi bidang
perpajakan, oleh karenanya pengambilan sumpah oleh badan eksekutif
dinilai tidak sesuai, sehingga ordonansi mengenai pendirian MPP perlu
diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1959 (L.N No. 13 Tahun
1959) khususnya pasal 4 di mana kata-kata “Gouverneur der Provincie
West Java” diganti dengan kata-kata “Ketua Mahkamah Agung”. 17
MPP diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus
permohonan banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
Penyelesaian sengketa pajak ini meliputi selain pajak-pajak negara
(pemerintah pusat), juga pajak-pajak daerah. Struktur organisasi MPP,
telah memenuhi sebagai suatu organisasi, yaitu dengan dibantu oleh
Sekretariat yang mengepalai kesekretariatan dan kegiatan administrasi
yuridis dan umum, seperti diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 20
Tahun 1986. Dengan adanya majelis tersebut, banyak sengketa pajak
yang telah dapat diselesaikan, sehingga kebenaran, keadilan dan
17 Hadi Buana, Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak Di
Indonesia, (Jakarta: IND HILL CO, 2012), hal. 122-123.
12
pengakan hukum di bidan perpajakan mulai dirasakan oleh masyarakat,
khususnya para pelaku bisnis.18
Untuk
memberikan
warna
yang
lebih
jelas
bagi
institusi
penyelesaian sengketa pajak, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1997,
dibentuk
suatu
badan
semacam
peradilan
yakni
Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan ini mempunyai kewenangan
yang lebih luas dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis
Pertimbangan Pajak yakni selain memeriksa dan memutus masalah
sengketa pajak, juga pabean dan cukai. Meskipun bukan berbentuk
pengadilan, tetapi forum pemeriksaan dan pemutus sengketa, terdiri atas
Ketua dan anggota (berjumlah tiga orang), bertindak sebagai hakim.
Putusannya berbentuk putusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak atau BPSP. Dengan adanya perluasan peradilan termaksud.
Anggota-anggota BPSP selain berasal dari pajak, para ahli perpajakan
(konsultan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat), pengusaha, juga ahli-ahli
di bidang kepabeanan dan cukai. Hal ini dilakukan sehubungan telah
diundangkannya
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun
1995 tentang
Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tentang Cukai. Bidang
sengketa di bidang pabean dan cukai selama ini diselesaikan melalui dan
oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusannya bersifat final dan
segera dapat dilaksanakan. Sedangkan upaya hukum ke tingka yang lebih
tinggi, tidak dimungkinkan, sehingga dirasakan bahwa kekuasaan
birokrasi terlalu luas dan orang yang melakukan kegiatan kepabeanan
tidak mempunyai hak untuk membela diri. Guna mendukung dan
mengantisipasi timbulnya sengketa di bidang ini, unsur kepabeanan dan
cukai mulai dimasukkan dalam peradilan pajak. Tentang kedudukan BPSP
saat itu, ada yang mengusulkan untuk disubordinasikan kepada
Mahkamah Agung, disebabkan BPSP sebagai lembaga peradilan, belum
berpuncak kepada Mahkamah Agung. Atas usulan ini, muncul pemikiran
untuk memisahkan antara putusan-putusan yang bersifat umum dan yang
bersifat khusus atau teknis tertentu. Masalah sengketa pajak yang
18 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 38.
13
mempunyai corak, sifat, dan karakteristik sendiri dapat diserahkan kepada
suatu peradilan khusus. Sedangkan sengketa atas keputusan dalam
lingkup administrasi negara yang lain tetap diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara. Setelah melalui perbincangan dan
perdebatan yang sangat ketat baik di masyarakat, antara para pakar
maupun para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya pada
tahun 2002 Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189 Tahun
2002.19
B. Pemikiran pembentukan Pengadilan Pajak
Adanya kebebasan bagi wajib pajak untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya dan Peradilan Pajak merupakan suatu sarana atas
kemungkinan penyelesaian sengketa pajak yang adil berdasarkan
kebenaran dengan prosedur yang cepat, murah, dan sederhana. 20
Pendekatan sistim dari perundang-undangan yang ada, seperti
sistim kenegaraan, administrasi negara (termasuk tata usaha negara),
Mahkamah Agung, serta kekuasaan kehakiman dan lainnya, akan
merupakan dasar filosofis dari sistim manajemen Pengadilan Pajak
Nasional, yang diharapkan akan dapat mengelola dengan baik masalahmasalah yang ada dan pada akhirnya menghasilkan solusi-solusi yang
diperlukan.21
Idealnya sebuah Pengadilan Pajak memiliki visi penegak keadilan
berdasarkan Undang-undang. Karenanya ia sewajarnya mempunyai misi
menyelamatkan pungutan pajak yang diperintahkan Undang-undang dan
sebaliknya membersihkan kas negara pajak dari pungutan yang tidak
diperintahkan atau berdasarkan Undang-undang, singkatnya Pengadilan
Pajak itu sewajarnya memiliki misi to save the only legal tax artinya hanya
menyematkan pemungutan atau penerimaan pajak sebagaimana yang
19Ibid., hal. 38-41.
20 Ibid., hal. 16.
21 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 12-13.
14
diatur dengan Undang-undang dengan perkataan lain tidak menolelir ada
perampokan oleh Negara (robbery by the state).
Kekhususan dan karakteristik tersendiri dari pajak, menyebabkan
pemerintah berusaha memisahkan antara Kekuasaan Peradilan Tata
Usaha Negara dengan Peradilan khusus perpajakan yang berfungsi untuk
menjembatani hubungan antara publik (kebanyakan dari dunia usaha) dan
aparat perpajakan. Badan ini akan merupakan tempat dimana para wajib
pajak
dapat
memperoleh
hak-haknya
kembali
dan
mendapatkan
kebenaran dan keadilan. Sebagai realisasi dari wacana tersebut, dibentuk
suatu peradilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak yang
terjadi dalam masyarakat dalam lingkup pengadilan tata usaha negara. 22
Pola dasar pemikiran atas pembentukan Pengadilan pajak
disusun berlandaskan :23
a. Karakterisitik perpajakan, perpajakan mempunyai ciri dan corak
tersendiri dan berbeda dengan kasus-kasus dalam pengadilan
lainnya. Penekanan dalam pengadilan pajak adalah pada
kepatuhan dan keadilan bagi wajib pajak dalam mempertahankan
apa yang menjadi hak-haknya;
b. Pandangan mikro, permasalahan pajak merupakan suatu hal yang
sifatnya mikro dan khusus/tertentu serta mempunyai bidang
tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih besar (makro), yaitu
keuangan negara;
c. Interdependensi, artinya terjadi keterkaitan dan ketergantungan,
yaitu antara pemungutan pajak yang merupakan perwujudan
pengabdian masyarakat dan tidak terlepas dari peran serta wajib
pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib pajak dan
peran serta mereka untuk membayar pajak, pemungutan pajak
tidak akan terlaksana. Sifat interdependensi ini diwujudkan di
dalam sistem pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian
22 Ibid., hal. 7.
23 Ibid., hal. 24.
15
dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan yang diambil oleh
birokrat/eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan
mendasar dalam penyelesaian Sengketa Pajak dan merupakan babak
baru
hukum
positif
di
Indonesia
yang
melandasi
keberadaan
lembaga/badan Peradilan Pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan
semata-mata penggantian istilah lembaga Peradilan Pajak menjadi
Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak, yaitu :
1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga
Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan
dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain;
2. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus
menyangkut sengketa perpajakan;
3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak
Terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis
perpajakan,
kepastian
dikenakan
sehingga
hukum
Wajib
tentang
kepadanya.
Pajak
besarnya
Sebagai
langsung
Pajak
akibatnya
memperoleh
Terutang
jenis
yang
putusan
Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum
diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan
sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak
yang masih harus dibayar.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak, antara lain sebagai berikut :
1. Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara;
2. Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sedang
pembinaan
organisasi,
administrasi,
dan
keuangan
dilakukan oleh Departemen Keuangan;
16
3. Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak
dalam
acara
pemeriksaannya
hanya
mewajibkan
kehadiran
Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau
Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya
sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan
yang cukup jelas;
4. Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen
Keuangan dengan melibatkan Mahkamah Agung;
5. Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan
kehakiman juga merupakan bagian integral dari proses penerimaan
negara yang bermuara di Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN);
6. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak;
7. Putusan
Pengadilan
Pajak
merupakan
putusan
akhir
dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pembentukan Pengadilan Pajak tunduk kepada Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002, dengan pertimbangan, antara lain disebutkan
bahwa :24
Peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman
para
wajib
melaksanakan
pajak
akan
peraturan
hak
dan
kewajibannya
perundang-undangan
dalam
perpajakan.
Kesadaran dan pemahaman ini menyebabkan tidak dapat
dihindarkan timbulnya sengketa pajak. Sebaliknya aparat fiskus
yang semakin sadar akan pelaksanaan pemerintahan yang baik
dan
bersih, teliti
dan
hati-hati
(good
governance) dalam
menjalankan tugasnya.
Sengketa pajak memerlukan suatu penyelesaian yang adil dengan
prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana, oleh
karena itu memerlukan wadah untuk memfasilitasi sengketa yang
terjadi.
24 Ibid., hal. 41-42.
17
BPSP, meskipun sudah komprehensif dan mempunyai cakupan
lebih luas, tetapi belum menunjukkan sebagai suatu badan
peradilan yang dapat memeriksa dan memutus sengketa yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengingat hal-hal di atas, dipandang perlu untuk membentuk
suatu pengadilan pajak yang selaras dengan sistem kekuasaan
kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Sebagai negara berdasarkan
atas hukum, prinsip penting yang harus dilaksanakan secara murni dan
konsekuen ialah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka. Dibutuhkan suatu pengadilan yang sesuai dengan sistem
kekuasaan kehakiman Indonesia.
Maka pada tahun 2002 lahirlah Undang-Undang 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak. Undang-undang ini lah yang menjadi dasar dari
penyelesaian sengketa pajak melalui mekanisme pengadilan.
Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dimuat pengertian mengenai Pengadilan Pajak, yaitu:
“Pengadilan
Pajak
adalah
badan
peradilan
yang
melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa Pajak”.
Dalam pengertian di atas terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
(1) Pengadilan Pajak adalah suatu badan peradilan khusus, di mana
kekhususan
ini
ditunjukkan
dengan
bidang
yang
menjadi
kewenangan untuk meemriksa dan memutuskan, yakni mengenai
sengketa perpajakan saja;
(2) Melaksanakan kekuasaan kehakiman, berarti setaraf dengan
badan peradilan lainnya yang telah ditentukan, sesuai dengan
peraturan perundang-unangan yang ada;
(3) Pengadilan yang mempunyai kekhususan, di bidang fiskal, karena
mempunyai corak, sifat dan karakteristik tersendiri. Meskipun
18
demikian Pengadilan Pajak masih dalam lingkup Pengadilan Tata
Usaha Negara.
C. Implikasi perbedaan pengaturan pembinaan Pengadilan Pajak
yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan
Kementerian Keuangan
Seiring
adanya
perubahan
dalam
ketatanegaraan
yaitu
diamandemennya UUD 1945, tepatnya sejak amandemen pertama, UUD
1945 telah secara resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan
kekuasaan, sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi
justru semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan
pada fungsi dan tugas sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Prinsip
pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai
suatu kekuasaan yang dijalankan memiliki kekuasaan yang melebihi
badan (organ) lainnya, tetapi harus seimbang dan saling mengawasi, jadi
dapat dibuat kerjasama antar lembaga kekuasaan negara, misalnya
antara parlemen dengan pemerintah (Presiden) dalam pembuatan suatu
undang-undang.
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, pembinaan teknisnya berada di bawah Mahkamah
Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya
menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan.
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2002 menjelaskan bahwa
Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
Selanjutnya
ayat
2
menyebutkan
Pembinaan
organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
oleh Departemen Keuangan.
19
Mahkamah
Agung
Kementrian
Keuangan
Pengadilan
Pajak
Perbedaan penempatan pembinaan ke dalam kedua institusi
sebagaimana disebutkan di atas, hendaknya perlu ditinjau dari beberapan
peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut, beberapa peraturan
tersebut antara lain, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, UU tentang Mahkamah Agung.
Kemudian dalam pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa :
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial
badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk masingmasing lingkungan peradilan diatur dalam
undangundang sesuai dengan kekhususan lingkungan
peradilan masingmasing.
Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
disebutkan bahwa :
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang
20
berada di
bawahnya
dalam menyelenggarakan
kekuasaan
kehakiman.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua
badan peradilan yang berada di bawahnya.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang
berada di bawahnya.
Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat terdapat perbedaan
pengaturan antara pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Bahwa UU
Kekuasaan
Kehakiman
dan
UU
Mahkamah Agung
menyebutkan
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung sedangkan UU Pengadilan Pajak
menyebutkan berbeda bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan
keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan
(sekarang disebut kementerian keuangan).
Perbedaan pengaturan oleh kedua peraturan di atas menunjukkan
adanya ketidakselarasan untuk pengaturan hal yang sama, dengan kata
lain memunculkan suatu konflik norma. 25 Baik UU Kekuasan Kehakiman
dan UU Mahkamah Agung (perubahan II) merupakan hasil produk
undang-undang terbaru yang menggantikan undang-undang yang lama
25 Undang-undang merupakan produk lembaga legislatif sebagai hasil dari kegiatan
kristalisasi, formalisasi, atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik
melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik mayoritas (Lihat dalam
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, Ed. Revisi, Cet. III. 2010),
hal. 5) Oleh kenyataan itu, menyebabkan tujuan hukum tereduksi oleh kepentingan elit politik
semata, sehingga memunculkan norma yang saling bertentangan, tidak sesuai, tidak selaras satu
sama lain.
21
atau dibandingkan dengan UU Pengadilan pajak yang belum direvisi
kedua undang-undang tersebut muncul belakangan. Kondisi inilah
menurut penulis yang memungkinkan adanya perbedaan pengaturan atau
perbedaan makna yang terdapat dalam kedua peraturan yang berbeda
namun mengatur hal yang sama. Baik UU Kekuasan Kehakiman, UU
Mahkamah Agung, maupun UU Pengadilan Pajak berdasarkan hirarki
peraturan perundang-undangan berada dalam strata yang sama atau
setara kedudukannya, namun bila dilihat dari karakteristik dari undangundang ini menunjukkan perbedaan yang jelas, bahwa UU Kekuasaan
Kehakiman secara muatan dan tujuan pengaturannya menjadi lebih tinggi
dari UU Pengadilan Pajak karena pengadilan pajak merupakan bagian
dari penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dari
kontruksi di atas menunjukkan telah terjadi konflik norma yaitu, antara
norma umum dengan norma khusus.
Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang
paling tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan yang setara
atau sederajat sekalipun merupakan satu kesatuan integral yang saling
mengisi dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau bersifat hirarki
komplementer.
Terkait bahwa pengadilan pajak merupakan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, perlu melihatnya juga dari berbagai peraturan
yang ada, yaitu :
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV,
yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
22
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kemudian dalam Pasal 25 ayat (1) nya, bahwa Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 1 angka 8 nya juga menyebutkan bahwa Pengadilan
Khusus
adalah
pengadilan
yang
mempunyai
kewenangan
untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 27 nya disebutkan bahwa :
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang
undang.
Dalam penjelasan ayat (1) Pasal ini menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan
bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
23
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
menyatakan, bahwa : Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Selain itu, Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, menyebutkan “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undangundang”. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak. Kemudian
dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara”. Dengan demikian sangat jelas bahwa
ketiga
undang-undang
itu
memasukan
Pengadilan
Pajak
dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat bahwa
pengadilan pajak merupakan bagian dari penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, juga berada di bawah lingkungan
Mahkamah Agung karena salah satu badan peradilan yang berada di
bawah lingkungan Mahkamah Agung adalah Peradilan Tata Usaha
Negara.
Penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua institusi
ditinjau pula dari sudut pandang prinsip pemisahan kekuasaan (separation
of power). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa prinsip ini
mencegah konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan
mencegah adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga
24
masing-masing dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang
diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Pemisahan kekuasaan
ini dibagi ke dalam tiga, yaitu: kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Mahkamah Agung merupakan lembaga yudikatif sedangkan kementrian
keuangan merupakan lembaga eksekutif. Dilihat dari fungsinya, UU
Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau wilayah kekuasaan
yudikatif. Artinya, secara konseptual pembinaan yang ditempatkan di satu
sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dan di sisi lain
pembinaan ditempatkan di Kementerian Keuangan sebagai lembaga
eksekutif tidak konsisten atau menciptakan kontradiksi. Seharusnya
berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan terdapat pemisahan yang
tegas antara lembaga yudikatif dan eksekutif, dengan kata lain untuk
seluruh pembinaan di pengadilan pajak menjadi satu atap atau
dilaksanakan oleh satu intitusi saja dalam hal ini Mahkamah Agung.
Indonesia sebagai negara hukum atau rechsstaat, terdapat
pemisahan kekuasaan yang tegas dan menjalankan hukum secara
konsekuen. Namun, dengan adanya pengaturan yang berbeda atas
penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua institusi
perspektif tertentu, hal ini dapat dianggap inkonstitusional sehingga
membuka peluang untuk melakukan judicial review26 di Mahkamah
Konstitusi dan jika dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang
lebih
tinggi dalam hal
ini
Undang-Undangan
Dasar 1945
akan
menghasilkan konsekuensi yuridis timbulnya ketidakpastian hukum yang
tentu saja merugikan masyarakat banyak serta legalitas Pengadilan Pajak
kemudian akan dipertanyakan keabsahannya. Dampak selanjutnya adalah
sengketa pajak menjadi terbengkalai.
26 Mekanisme Judicial Review yang dikenal atau berdasarkan hukum yang berlaku di
Indonesia adalah : (1) Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), (2) Pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar 1945 (konstitusi) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 29
ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
25
D. Independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan pembinaan
yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan
Kementerian Keuangan
Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah
menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga perlu adanya
kemandirian dan ketidakberpihakan dalam memutus suatu perkara.
Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak
independen.
Kekuasaan kehakiman dan peradilan dalam pandangan Moh.
Mahfud M.D adalah Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta
memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundangundangan. Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugastugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak
memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh
karena itu, badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau
kekuasaan pemerintah.27
Pengadilan pajak sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman
seharusnya kaidah-kaidahnya menyesuaikan dengan UU Kekuasaan
Kehakiman.
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting
negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
27 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, ( Bandung: P.T. Alumni, 2008),
hal. 120.
26
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Lahirnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman merupakan sebagai upaya untuk
memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system).28
Yang dimaksudkan disini juga terkait segala urusan mengenai
peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan
organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap
yaitu Mahkamah Agung.
Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka harus dipahami sebagai terbebas dari
pengaruh kekuasaan lain yakni, eksekutif dan legislatif, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Hal ini sebagai perwujudan dari prinsip pemisahan
kekuasaan yang dianut oleh negara hukum.29
Pengadilan Pajak “dua atap” berimplikasi pada kinerja Pengadilan
Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait
28 Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN 5076.
29 Lihat Jimly Asshddiqie op.,cit, hal. 512.
27
rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya
pendukungnya,
serta
pengejawantahan
prinsip
transparansi
dan
keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak
seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi “satu atap” dan mutlak
sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan teknis
peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi
tanggung jawab Mahkamah Agung. Konstruksi Pengadilan Pajak sebagai
“satu atap” merujuk pada sebuah perancangan tersendiri Pengadilan
Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
pengadilan khusus.
Peran pengawasan yang tumpang tindih antara Kementerian
Keuangan,
Mahkamah
Agung,
dan
Komisi
Yudisial,
berpotensi
menimbulkan penolakan pengawasan pada setiap instansi yang akan
mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan.
Dengan beradanya pembinaan di satu sisi di Mahkamah Agung
(sebagai lembaga yudikatif) dan di sisi lain di Kementerian Keuangan
(sebagai lembaga eksekutif) akan mempengaruhi independen pengadilan
pajak
karena
di
wilayah
tersebut
menimbulkan
kotradiksi
yakni,
Kementerian Keuangan yang menjalankan fungsi eksekutif dan ketika
terjadi sengketa pajak menjalankan fungsi yudikatif. Padahal kedua
lembaga tersebut seharusnya terpisah untuk menjalankan fungsi saling
mengontrol
atau
mengawasi.
Dalam
keadaan
yang
demikian
memunculkan kondisi untuk mengawasi institusi sendiri.
Bahwa
terhadap
seluruh
pembinaan
baik
teknis
maupun
organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
maka Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan
peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan dengan konstruksi
yuridis
yang
mengharuskan
Pengadilan
Pajak
berada
di
bawah
Mahkamah Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras
dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang paling
tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan
EKSISTENSINYA SEBAGAI LEMBAGA YUDISIAL
DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang
sangat
potensial
untuk
pembiayaan
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintahan, pertahanan dan pembangunan nasional dengan tujuan
akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak
memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa.
Penting
dan
strategisnya
peran
sektor
perpajakan
dalam
penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun yang
disampaikan
pemerintah,
yaitu
terjadinya
peningkatan
persentase
sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun. 1
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau
kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi
mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia,
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa,
“Segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undangundang”. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan,
diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh
negara untuk mengenakan pajak.
1 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2008),
hal. 11.
1
Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations
mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal
dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The Four Maxim”
dengan uraian sebagai berikut:2
1. Equality (asas persamaan)
Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak
tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada
negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing,
yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di
bawah perlindugan negara. Yang dimaksud dengan “keuntungan” di
sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah
perlindunga negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan
suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak.
2. Certainty (asas kepastian)
Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti
tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini
kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek
dan objek pajak.
3. Conveniency of Payment (asas menyenangkan)
Pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling
menyenangkan bagi wajib pajak, misalnya : pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut
pada saat mereka memperoleh uang, yaitu pada saat panen.
4. Low Cost of Collection (asas efisiensi)
Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh
lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak
disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara.
Walaupun pajak dipungut oleh negara berdasarkan asas equality
(asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), pada
kenyataannya sering kali masih terjadi sengketa pajak. Terjadinya
2 C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan : Ratmoko,
Djembatan, 1973, hal 216. Dalam H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2010), hal. 41-42.
2
Sengketa
Pajak
atau
Bea
dan
Cukai
diawali
dengan
adanya
ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara : 3
1. Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak (aparat Direktoral
Jenderal Pajak) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak
Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak; atau
2. Wajib Pajak dengan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan
Daerah
(aparat
Dinas
Pendapatan
Daerah)
setempat
(Propinsi/Kabupaten/Kota) atas penetapan Pajak terutang untuk
Pajak-Pajak daerah; atau
3. Orang (perseorangan atau Badan Hukum)/Wajib Pajak dengan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai (aparat Direktoral Jenderal Bea
dan Cukai) atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi
administrasinya, serta Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak
Pertambahan Nilai Impor, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah Impor.
Prinsip pemungutan perpajakan yang dianut Indonesia adalah self
assessment, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada wajib
pajak
untuk
melaksanakan
hak
dan
kewajiban
perpajakannya.
Pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak dituangkan dalam
bentuk pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) di bidang pajak. Surat
Pemberitahuan Tahunan dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir
tahun pajak, secara periodik. Atas dasar prinsip self assessment tersebut
petugas pajak mempunyai wewenang untuk meneliti dan memeriksa
kebenaran pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak, seperti
ditentukan dalam pasal 17 dan pasal 17A UU KUP. Adapun hasil dari
penelitian atau pemeriksaan yang bersifat administratif, dapat diterbitkan
3 Atep Adya Barata, Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, (Jakarta:
Sociadana, LP3AB-IBTA 2002), hal. 5.
3
Ketetapan/Keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), dan Surat Tagihan Pajak (STP).4
Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan salah satu
penerimaan negara yang perlu ditingkatkan dan dikelola secara bijak dan
adil, agar tercapai kemandirian pembiayaan bernegara dan melepaskan
diri dari keterikatan utang luar negeri. Akan tetapi, pada kenyataannya
upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan lebih
mudah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan upaya meningkatkan
keadilannya. Masyarakat selaku Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa
peningkatan kewajiban perpajakan tidak memenuhi asas keadilan,
sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara pemerintah (instansi
perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak.
Perpajakan erat kaitannya dengan proses pembuatan keputusan,
yang mempunyai beberapa kemungkinan dan perkiraan/prediksi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang mempunyai banyak cabang. Hal ini
disebut sebagai evaluasi dan merupakan proses yang lebih kompleks.
Pembentukan suatu sistem peradilan pajak yang berkaitan dengan
sengketa/perselisihan (contentieus), akan didahului oleh
penciptaan
sistem, paradigma atau proses desain sistem. Pada kenyataannya,
terdapat suatu perbedaan yang signifikan antara teori sistem dan
aplikasinya. Untuk menjembatani, diperlukan suatu pendekatan sistem
yang dapat digunakan sebagai alat dan teknik untuk mencapai tujuan
tersebut. Teori sistem berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan struktur, proses, perilaku, interaksi, fungsi dan lainnya
dari institusi.5
Namun, sebesar apapun usaha pemerintah untuk menyelaraskan
beban pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan keadilannya,
tetap saja terjadi sengketa di antara pemerintah (instansi perpajakan)
4 Ibid., hal. 20-21.
5 Luthan, Fred, Organisational Behavior, McGrawiHill Inc. New York, 7th Edition, 1998,
p. 464-498. Dalam Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding
Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2006), hal. 9-10.
4
dengan Wajib Pajak. Untuk itu, diperlukan adanya suatu lembaga
penyelesaian perselisihan pajak di Indonesia.
Saat
ini,
penyelesaian
permasalahan
sengketa
di
bidang
perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak.
Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan
Pajak
yang
kemudian
berkembang
menjadi
Badan
Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan
kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan
Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Lahirnya
Pengadilan Pajak
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang
memang terkesan memunculkan dualisme bahwa
seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu
berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru yang telah
mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman lama.
Dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Artinya, pengadilan pajak merupakan bagian dari kekuasaan
kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung karena menjalankan
fungsi yudisial.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002
yang menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”.
5
Kemudian Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa :
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masingmasing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai
dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2002
menjelaskan bahwa “Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Departemen Keuangan. Dengan demikian, Pengadilan
Pajak memiliki dua Pembina yakni Mahkamah Agung dan Departemen
Keuangan. Artinya, terdapat perbedaan pengaturan pembinaan antara
norma yang dimaksud dalam UU No. 48 Tahun 2009 dengan UU No. 14
Tahun 2002.
Penempatan pembinaan di dua lingkungan institusi yang berbeda
tersebut menimbulkan perdebatan secara konseptual dan independensi
pengadilan dipertanyakan. Hal ini juga menimbulkan keraguan terhadap
independensi hakim di lingkungan pengadilan pajak.
Sistem pembinaan yang mendua seperti itu kiranya patut
dicermati karena meskipun menurut sementara tidak mengurangi
kemandirian hakim dalam menjalankan fungsi peradilan, namun menurut
Yahya
Harahap
pendapat
tersebut
mengandung
kekeliruan
dan
ketidakbenaran dengan alasan:6
1. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif – dalam hal ini
departemen – meskipun yang ditempatkan di bawahnya hanya
organisatoris, administratif dan finansial, sistem seperti ini baik
6 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 32. Dalam bagian buku tersebut diajukan
kritik mengenai sistem pembinaan yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 yang mengandung
dualism, seperti juga yang terjadi dalam Pengadilan Pajak.
6
langsung atau tidak langsung merupakan simbol pengakuan yurdis
bahwa badan peradilan berada di bawah departemen yang
bersangkutan. Lebih lanjut, simbol tersebut memberi aba-aba
peringatan kepada para hakim mengenai batas otonomi kebebasan
mereka, bahwa dalam menjalankan fungsi dan kewenangan
peradilan mereka berada di bawah kontrol pihak departemen. Oleh
karena itu, meskipun secara teoritis yang dibina dan diawasi
departemen hanya administratif, personal dan finansial, namun
daya pengaruh simbol yang terkandung di dalamnya menimbulkan
efek politik dan psikologis yang sangat luas terhadap otonomi
kemandirian kebebasan hakim, dan juga berdampak luas terhadap
nilai “loyalitas” para hakim itu sendiri, dalam bentuk kebimbangan,
apakah harus loyal kepada fungsi dan kewenangan kekuasaan
kehakiman atau mesti loyal kepada kebijaksanaan departemen
yang bersangkutan.
2. Sistem dualisme yang ada sekarang ini menimbulkan kesulitan dan
hambatan terhadap upaya sumbangan konsep dan program
pengawasan dan pembinaan yang komprehensif dan integratif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
implikasi
perbedaan
pengaturan
pembinaan
Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Mahkamah Agung
dan di lingkungan Kementerian Keuangan?
2. Bagaimana independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan
pembinaan yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di
lingkungan Kementerian Keuangan?
C. Kerangka Teori
Dalam menganalisa dualisme pembinaan di pengadilan pajak ini,
penulis hendak menggunakan teori pemisahan kekuasaan (separation of
powers) dengan check and balances dan the principle of judicial
7
independence. Hal ini untuk melihat letak secara konseptual dari
pengadilan pajak dan efek yang terjadi pada organisasi dan kinerjanya.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “Negara Indonesia ialah
negara hukum.” Konsepsi negara hukum atau rechtssaat, diidealkan
bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu,
jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut
prinsip negara hukum adalah “the rule of law, not of man”.7
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut
dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu :8
1) Perlindungan hak asasi manusia;
2) Pembagian kekuasaan;
3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4) Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 13 pokok negara
hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman modern sekarang, sebagai
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern
sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law, ataupun
rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu : 9
1) Supremasi hukum (supremacy of law);
2) Persamaan dalam hukum (equality before the law);
3) Asas legalitas (due process of law);
4) Adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan undang-undang
dasar;
5) Berfungsinya organ-organ negara yang independen dan saling
mengendalikan;
6) Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak;
7) Tersedianya upaya peradilan Tata Usaha Negara;
7 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 297.
8 Ibid., hal. 304.
9 Ibid., hal. 309-310.
8
8) Tersedianya upaya peradilan tata usaha negara (constitutional
adjudication);
9) Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia;
10)Bersifat demokratis (democratic rule of law atau democratische
rechsstaat)
sehingga
pembentukan
hukum
yang
bersifat
demokratis dan partisipatoris dapat terjamin;
11)Berfungsi
sebagai
sarana
mewujudkan
tujuan
bernegara
(welfare rechsstaat);
12)Adanya pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan
negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya
mekanisme kontrol sosial yang terbuka;
13)Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam konsep bernegara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat),
erat kaitannya dengan pembahasan mengenai prinsip pemisahan negara
(separation of power). Seperti yang ditulis dan dikembangkan oleh
Montesquieu yang dikenal dengan Teori Trias Politica dalam buku The
Spirit of the Laws yang merupakan penyempurnaan dari ajaran John
Locke dengan bukunya L’espirit de droit atau kalau diterjemahkan menjadi
“jiwa undang-undang”.10
Untuk menghindari tindakan sewenang-wenang penguasa,
kekuasaan
negara
menurut
Montesquieu
dipisahkan
dalam
tiga
undang-undang
(La
kekuasaan, yaitu :11
1. Kekuasaan
Legislatif,
yaitu
pembuat
puissance leglistative);
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan
pemerintahan (La puissance executive);
3. Kekuasaan peradilan (La puissance de juge), kekuasaan
mempertahankan keadilan berdasarkan undang-undang.
10 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak,
Pabean, dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) hal.
5.
11 Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), cet. I, hal. 23.
9
Dalam prinsip ini terdapat pemisahan kekuasaan yang sangat
ketat dan tegas yang menyebabkan masing-masing pusat kekuasaan
tersebut menjadi dominan akan teritorial kekuasaannya. Sehingga muncul
perkembangan terhadap prinsip ini yang terjadi di Amerika Serikat yaitu,
check and balances.
Menurut Charles O. Jones, sistem pemisahan kekuasaan
dengan prinsip checks and balances menggambarkan kenyataan yakni,
setiap kekuasaan saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain. 12
Jadi, prinsip pemisahan kekuasaan dengan ‘checks and
balances’ dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang dapat mencegah
konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan mencegah
adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masingmasing dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang diatur
dalam konstitusi negara yang bersangkutan. 13 Setelah perubahan pertama
sampai dengan keempat, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut
prinsip pemisahan kekuasaan dengan checks and balances.
Pemisahan
kekuasaan
juga
terkait
dengan
independensi
peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu
menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari
pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami
dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus
independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumus
undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan
dilakukan. Meskipun anggota parlemen dan presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan
kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahaminya tetap
berada di tangan para hakim.14
12Lihat Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal.317.
13 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia (Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009),
hal. 72.
14 Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal. 523.
10
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa
dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan (judicial system), yaitu :
(i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial
impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di
semua negara yang disebut hukum modern atau “modern constitutional
state”.15
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan
dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang
dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai
pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan,
masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian
para hakim.16
BAB II
PEMBAHASAN
15 Ibid., hal. 530.
16 Ibid.
11
A. Sejarah institusi Peradilan Pajak
Sejarah institusi atau lembaga yang berfungsi menyelesaikan
sengketa perpajakan dimulai dari Majelis Pertimbangan Pajak (selanjutnya
disebut MPP), Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya disebut
BPSP) hingga ke Pengadilan Pajak.
Majelis Petimbangan Pajak (MPP) telah hadir sejak adanya
Staatsblad Nomor 707 tanggal 11 Desember 1915 tetapi masih belum
dapat dikatakan sebagai badan peradilan yang independen karena
berkedudukan langsung dibawah Gouverneur General di mana ketuanya
adalah Directeur van Financien (sama dengan Menteri Keuangan). Demi
terciptanya proses peradilan yang independen dalam menyelesaikan
sengketa perpajakan, maka pada tahun 1927 di adakanlah perombakan
dan penyempurnaan ordonansi sehingga lahirlah Ordonnantietot Regeling
van het Beroep in Belastingzaken, Stbld. No. 29 Tahun 1927 dengan
nama Raad van Beroep Voor Belastingzaken atau biasa disebut Raad van
Beroep. MPP adalah sebuah badan peradilan administrasi bidang
perpajakan, oleh karenanya pengambilan sumpah oleh badan eksekutif
dinilai tidak sesuai, sehingga ordonansi mengenai pendirian MPP perlu
diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1959 (L.N No. 13 Tahun
1959) khususnya pasal 4 di mana kata-kata “Gouverneur der Provincie
West Java” diganti dengan kata-kata “Ketua Mahkamah Agung”. 17
MPP diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus
permohonan banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
Penyelesaian sengketa pajak ini meliputi selain pajak-pajak negara
(pemerintah pusat), juga pajak-pajak daerah. Struktur organisasi MPP,
telah memenuhi sebagai suatu organisasi, yaitu dengan dibantu oleh
Sekretariat yang mengepalai kesekretariatan dan kegiatan administrasi
yuridis dan umum, seperti diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 20
Tahun 1986. Dengan adanya majelis tersebut, banyak sengketa pajak
yang telah dapat diselesaikan, sehingga kebenaran, keadilan dan
17 Hadi Buana, Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak Di
Indonesia, (Jakarta: IND HILL CO, 2012), hal. 122-123.
12
pengakan hukum di bidan perpajakan mulai dirasakan oleh masyarakat,
khususnya para pelaku bisnis.18
Untuk
memberikan
warna
yang
lebih
jelas
bagi
institusi
penyelesaian sengketa pajak, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1997,
dibentuk
suatu
badan
semacam
peradilan
yakni
Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan ini mempunyai kewenangan
yang lebih luas dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis
Pertimbangan Pajak yakni selain memeriksa dan memutus masalah
sengketa pajak, juga pabean dan cukai. Meskipun bukan berbentuk
pengadilan, tetapi forum pemeriksaan dan pemutus sengketa, terdiri atas
Ketua dan anggota (berjumlah tiga orang), bertindak sebagai hakim.
Putusannya berbentuk putusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak atau BPSP. Dengan adanya perluasan peradilan termaksud.
Anggota-anggota BPSP selain berasal dari pajak, para ahli perpajakan
(konsultan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat), pengusaha, juga ahli-ahli
di bidang kepabeanan dan cukai. Hal ini dilakukan sehubungan telah
diundangkannya
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun
1995 tentang
Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tentang Cukai. Bidang
sengketa di bidang pabean dan cukai selama ini diselesaikan melalui dan
oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusannya bersifat final dan
segera dapat dilaksanakan. Sedangkan upaya hukum ke tingka yang lebih
tinggi, tidak dimungkinkan, sehingga dirasakan bahwa kekuasaan
birokrasi terlalu luas dan orang yang melakukan kegiatan kepabeanan
tidak mempunyai hak untuk membela diri. Guna mendukung dan
mengantisipasi timbulnya sengketa di bidang ini, unsur kepabeanan dan
cukai mulai dimasukkan dalam peradilan pajak. Tentang kedudukan BPSP
saat itu, ada yang mengusulkan untuk disubordinasikan kepada
Mahkamah Agung, disebabkan BPSP sebagai lembaga peradilan, belum
berpuncak kepada Mahkamah Agung. Atas usulan ini, muncul pemikiran
untuk memisahkan antara putusan-putusan yang bersifat umum dan yang
bersifat khusus atau teknis tertentu. Masalah sengketa pajak yang
18 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 38.
13
mempunyai corak, sifat, dan karakteristik sendiri dapat diserahkan kepada
suatu peradilan khusus. Sedangkan sengketa atas keputusan dalam
lingkup administrasi negara yang lain tetap diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara. Setelah melalui perbincangan dan
perdebatan yang sangat ketat baik di masyarakat, antara para pakar
maupun para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya pada
tahun 2002 Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189 Tahun
2002.19
B. Pemikiran pembentukan Pengadilan Pajak
Adanya kebebasan bagi wajib pajak untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya dan Peradilan Pajak merupakan suatu sarana atas
kemungkinan penyelesaian sengketa pajak yang adil berdasarkan
kebenaran dengan prosedur yang cepat, murah, dan sederhana. 20
Pendekatan sistim dari perundang-undangan yang ada, seperti
sistim kenegaraan, administrasi negara (termasuk tata usaha negara),
Mahkamah Agung, serta kekuasaan kehakiman dan lainnya, akan
merupakan dasar filosofis dari sistim manajemen Pengadilan Pajak
Nasional, yang diharapkan akan dapat mengelola dengan baik masalahmasalah yang ada dan pada akhirnya menghasilkan solusi-solusi yang
diperlukan.21
Idealnya sebuah Pengadilan Pajak memiliki visi penegak keadilan
berdasarkan Undang-undang. Karenanya ia sewajarnya mempunyai misi
menyelamatkan pungutan pajak yang diperintahkan Undang-undang dan
sebaliknya membersihkan kas negara pajak dari pungutan yang tidak
diperintahkan atau berdasarkan Undang-undang, singkatnya Pengadilan
Pajak itu sewajarnya memiliki misi to save the only legal tax artinya hanya
menyematkan pemungutan atau penerimaan pajak sebagaimana yang
19Ibid., hal. 38-41.
20 Ibid., hal. 16.
21 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 12-13.
14
diatur dengan Undang-undang dengan perkataan lain tidak menolelir ada
perampokan oleh Negara (robbery by the state).
Kekhususan dan karakteristik tersendiri dari pajak, menyebabkan
pemerintah berusaha memisahkan antara Kekuasaan Peradilan Tata
Usaha Negara dengan Peradilan khusus perpajakan yang berfungsi untuk
menjembatani hubungan antara publik (kebanyakan dari dunia usaha) dan
aparat perpajakan. Badan ini akan merupakan tempat dimana para wajib
pajak
dapat
memperoleh
hak-haknya
kembali
dan
mendapatkan
kebenaran dan keadilan. Sebagai realisasi dari wacana tersebut, dibentuk
suatu peradilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak yang
terjadi dalam masyarakat dalam lingkup pengadilan tata usaha negara. 22
Pola dasar pemikiran atas pembentukan Pengadilan pajak
disusun berlandaskan :23
a. Karakterisitik perpajakan, perpajakan mempunyai ciri dan corak
tersendiri dan berbeda dengan kasus-kasus dalam pengadilan
lainnya. Penekanan dalam pengadilan pajak adalah pada
kepatuhan dan keadilan bagi wajib pajak dalam mempertahankan
apa yang menjadi hak-haknya;
b. Pandangan mikro, permasalahan pajak merupakan suatu hal yang
sifatnya mikro dan khusus/tertentu serta mempunyai bidang
tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih besar (makro), yaitu
keuangan negara;
c. Interdependensi, artinya terjadi keterkaitan dan ketergantungan,
yaitu antara pemungutan pajak yang merupakan perwujudan
pengabdian masyarakat dan tidak terlepas dari peran serta wajib
pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib pajak dan
peran serta mereka untuk membayar pajak, pemungutan pajak
tidak akan terlaksana. Sifat interdependensi ini diwujudkan di
dalam sistem pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian
22 Ibid., hal. 7.
23 Ibid., hal. 24.
15
dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan yang diambil oleh
birokrat/eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan
mendasar dalam penyelesaian Sengketa Pajak dan merupakan babak
baru
hukum
positif
di
Indonesia
yang
melandasi
keberadaan
lembaga/badan Peradilan Pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan
semata-mata penggantian istilah lembaga Peradilan Pajak menjadi
Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak, yaitu :
1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga
Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan
dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain;
2. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus
menyangkut sengketa perpajakan;
3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak
Terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis
perpajakan,
kepastian
dikenakan
sehingga
hukum
Wajib
tentang
kepadanya.
Pajak
besarnya
Sebagai
langsung
Pajak
akibatnya
memperoleh
Terutang
jenis
yang
putusan
Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum
diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan
sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak
yang masih harus dibayar.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak, antara lain sebagai berikut :
1. Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara;
2. Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sedang
pembinaan
organisasi,
administrasi,
dan
keuangan
dilakukan oleh Departemen Keuangan;
16
3. Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak
dalam
acara
pemeriksaannya
hanya
mewajibkan
kehadiran
Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau
Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya
sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan
yang cukup jelas;
4. Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen
Keuangan dengan melibatkan Mahkamah Agung;
5. Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan
kehakiman juga merupakan bagian integral dari proses penerimaan
negara yang bermuara di Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN);
6. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak;
7. Putusan
Pengadilan
Pajak
merupakan
putusan
akhir
dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pembentukan Pengadilan Pajak tunduk kepada Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002, dengan pertimbangan, antara lain disebutkan
bahwa :24
Peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman
para
wajib
melaksanakan
pajak
akan
peraturan
hak
dan
kewajibannya
perundang-undangan
dalam
perpajakan.
Kesadaran dan pemahaman ini menyebabkan tidak dapat
dihindarkan timbulnya sengketa pajak. Sebaliknya aparat fiskus
yang semakin sadar akan pelaksanaan pemerintahan yang baik
dan
bersih, teliti
dan
hati-hati
(good
governance) dalam
menjalankan tugasnya.
Sengketa pajak memerlukan suatu penyelesaian yang adil dengan
prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana, oleh
karena itu memerlukan wadah untuk memfasilitasi sengketa yang
terjadi.
24 Ibid., hal. 41-42.
17
BPSP, meskipun sudah komprehensif dan mempunyai cakupan
lebih luas, tetapi belum menunjukkan sebagai suatu badan
peradilan yang dapat memeriksa dan memutus sengketa yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengingat hal-hal di atas, dipandang perlu untuk membentuk
suatu pengadilan pajak yang selaras dengan sistem kekuasaan
kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Sebagai negara berdasarkan
atas hukum, prinsip penting yang harus dilaksanakan secara murni dan
konsekuen ialah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka. Dibutuhkan suatu pengadilan yang sesuai dengan sistem
kekuasaan kehakiman Indonesia.
Maka pada tahun 2002 lahirlah Undang-Undang 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak. Undang-undang ini lah yang menjadi dasar dari
penyelesaian sengketa pajak melalui mekanisme pengadilan.
Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dimuat pengertian mengenai Pengadilan Pajak, yaitu:
“Pengadilan
Pajak
adalah
badan
peradilan
yang
melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa Pajak”.
Dalam pengertian di atas terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
(1) Pengadilan Pajak adalah suatu badan peradilan khusus, di mana
kekhususan
ini
ditunjukkan
dengan
bidang
yang
menjadi
kewenangan untuk meemriksa dan memutuskan, yakni mengenai
sengketa perpajakan saja;
(2) Melaksanakan kekuasaan kehakiman, berarti setaraf dengan
badan peradilan lainnya yang telah ditentukan, sesuai dengan
peraturan perundang-unangan yang ada;
(3) Pengadilan yang mempunyai kekhususan, di bidang fiskal, karena
mempunyai corak, sifat dan karakteristik tersendiri. Meskipun
18
demikian Pengadilan Pajak masih dalam lingkup Pengadilan Tata
Usaha Negara.
C. Implikasi perbedaan pengaturan pembinaan Pengadilan Pajak
yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan
Kementerian Keuangan
Seiring
adanya
perubahan
dalam
ketatanegaraan
yaitu
diamandemennya UUD 1945, tepatnya sejak amandemen pertama, UUD
1945 telah secara resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan
kekuasaan, sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi
justru semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan
pada fungsi dan tugas sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Prinsip
pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai
suatu kekuasaan yang dijalankan memiliki kekuasaan yang melebihi
badan (organ) lainnya, tetapi harus seimbang dan saling mengawasi, jadi
dapat dibuat kerjasama antar lembaga kekuasaan negara, misalnya
antara parlemen dengan pemerintah (Presiden) dalam pembuatan suatu
undang-undang.
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, pembinaan teknisnya berada di bawah Mahkamah
Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya
menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan.
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2002 menjelaskan bahwa
Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
Selanjutnya
ayat
2
menyebutkan
Pembinaan
organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
oleh Departemen Keuangan.
19
Mahkamah
Agung
Kementrian
Keuangan
Pengadilan
Pajak
Perbedaan penempatan pembinaan ke dalam kedua institusi
sebagaimana disebutkan di atas, hendaknya perlu ditinjau dari beberapan
peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut, beberapa peraturan
tersebut antara lain, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, UU tentang Mahkamah Agung.
Kemudian dalam pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa :
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial
badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk masingmasing lingkungan peradilan diatur dalam
undangundang sesuai dengan kekhususan lingkungan
peradilan masingmasing.
Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
disebutkan bahwa :
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang
20
berada di
bawahnya
dalam menyelenggarakan
kekuasaan
kehakiman.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua
badan peradilan yang berada di bawahnya.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang
berada di bawahnya.
Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat terdapat perbedaan
pengaturan antara pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Bahwa UU
Kekuasaan
Kehakiman
dan
UU
Mahkamah Agung
menyebutkan
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung sedangkan UU Pengadilan Pajak
menyebutkan berbeda bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan
keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan
(sekarang disebut kementerian keuangan).
Perbedaan pengaturan oleh kedua peraturan di atas menunjukkan
adanya ketidakselarasan untuk pengaturan hal yang sama, dengan kata
lain memunculkan suatu konflik norma. 25 Baik UU Kekuasan Kehakiman
dan UU Mahkamah Agung (perubahan II) merupakan hasil produk
undang-undang terbaru yang menggantikan undang-undang yang lama
25 Undang-undang merupakan produk lembaga legislatif sebagai hasil dari kegiatan
kristalisasi, formalisasi, atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik
melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik mayoritas (Lihat dalam
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, Ed. Revisi, Cet. III. 2010),
hal. 5) Oleh kenyataan itu, menyebabkan tujuan hukum tereduksi oleh kepentingan elit politik
semata, sehingga memunculkan norma yang saling bertentangan, tidak sesuai, tidak selaras satu
sama lain.
21
atau dibandingkan dengan UU Pengadilan pajak yang belum direvisi
kedua undang-undang tersebut muncul belakangan. Kondisi inilah
menurut penulis yang memungkinkan adanya perbedaan pengaturan atau
perbedaan makna yang terdapat dalam kedua peraturan yang berbeda
namun mengatur hal yang sama. Baik UU Kekuasan Kehakiman, UU
Mahkamah Agung, maupun UU Pengadilan Pajak berdasarkan hirarki
peraturan perundang-undangan berada dalam strata yang sama atau
setara kedudukannya, namun bila dilihat dari karakteristik dari undangundang ini menunjukkan perbedaan yang jelas, bahwa UU Kekuasaan
Kehakiman secara muatan dan tujuan pengaturannya menjadi lebih tinggi
dari UU Pengadilan Pajak karena pengadilan pajak merupakan bagian
dari penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dari
kontruksi di atas menunjukkan telah terjadi konflik norma yaitu, antara
norma umum dengan norma khusus.
Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang
paling tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan yang setara
atau sederajat sekalipun merupakan satu kesatuan integral yang saling
mengisi dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau bersifat hirarki
komplementer.
Terkait bahwa pengadilan pajak merupakan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, perlu melihatnya juga dari berbagai peraturan
yang ada, yaitu :
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV,
yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
22
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kemudian dalam Pasal 25 ayat (1) nya, bahwa Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 1 angka 8 nya juga menyebutkan bahwa Pengadilan
Khusus
adalah
pengadilan
yang
mempunyai
kewenangan
untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 27 nya disebutkan bahwa :
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang
undang.
Dalam penjelasan ayat (1) Pasal ini menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan
bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
23
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
menyatakan, bahwa : Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Selain itu, Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, menyebutkan “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undangundang”. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak. Kemudian
dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara”. Dengan demikian sangat jelas bahwa
ketiga
undang-undang
itu
memasukan
Pengadilan
Pajak
dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat bahwa
pengadilan pajak merupakan bagian dari penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, juga berada di bawah lingkungan
Mahkamah Agung karena salah satu badan peradilan yang berada di
bawah lingkungan Mahkamah Agung adalah Peradilan Tata Usaha
Negara.
Penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua institusi
ditinjau pula dari sudut pandang prinsip pemisahan kekuasaan (separation
of power). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa prinsip ini
mencegah konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan
mencegah adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga
24
masing-masing dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang
diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Pemisahan kekuasaan
ini dibagi ke dalam tiga, yaitu: kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Mahkamah Agung merupakan lembaga yudikatif sedangkan kementrian
keuangan merupakan lembaga eksekutif. Dilihat dari fungsinya, UU
Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau wilayah kekuasaan
yudikatif. Artinya, secara konseptual pembinaan yang ditempatkan di satu
sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dan di sisi lain
pembinaan ditempatkan di Kementerian Keuangan sebagai lembaga
eksekutif tidak konsisten atau menciptakan kontradiksi. Seharusnya
berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan terdapat pemisahan yang
tegas antara lembaga yudikatif dan eksekutif, dengan kata lain untuk
seluruh pembinaan di pengadilan pajak menjadi satu atap atau
dilaksanakan oleh satu intitusi saja dalam hal ini Mahkamah Agung.
Indonesia sebagai negara hukum atau rechsstaat, terdapat
pemisahan kekuasaan yang tegas dan menjalankan hukum secara
konsekuen. Namun, dengan adanya pengaturan yang berbeda atas
penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua institusi
perspektif tertentu, hal ini dapat dianggap inkonstitusional sehingga
membuka peluang untuk melakukan judicial review26 di Mahkamah
Konstitusi dan jika dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang
lebih
tinggi dalam hal
ini
Undang-Undangan
Dasar 1945
akan
menghasilkan konsekuensi yuridis timbulnya ketidakpastian hukum yang
tentu saja merugikan masyarakat banyak serta legalitas Pengadilan Pajak
kemudian akan dipertanyakan keabsahannya. Dampak selanjutnya adalah
sengketa pajak menjadi terbengkalai.
26 Mekanisme Judicial Review yang dikenal atau berdasarkan hukum yang berlaku di
Indonesia adalah : (1) Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), (2) Pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar 1945 (konstitusi) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 29
ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
25
D. Independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan pembinaan
yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan
Kementerian Keuangan
Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah
menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga perlu adanya
kemandirian dan ketidakberpihakan dalam memutus suatu perkara.
Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak
independen.
Kekuasaan kehakiman dan peradilan dalam pandangan Moh.
Mahfud M.D adalah Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta
memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundangundangan. Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugastugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak
memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh
karena itu, badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau
kekuasaan pemerintah.27
Pengadilan pajak sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman
seharusnya kaidah-kaidahnya menyesuaikan dengan UU Kekuasaan
Kehakiman.
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting
negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
27 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, ( Bandung: P.T. Alumni, 2008),
hal. 120.
26
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Lahirnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman merupakan sebagai upaya untuk
memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system).28
Yang dimaksudkan disini juga terkait segala urusan mengenai
peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan
organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap
yaitu Mahkamah Agung.
Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka harus dipahami sebagai terbebas dari
pengaruh kekuasaan lain yakni, eksekutif dan legislatif, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Hal ini sebagai perwujudan dari prinsip pemisahan
kekuasaan yang dianut oleh negara hukum.29
Pengadilan Pajak “dua atap” berimplikasi pada kinerja Pengadilan
Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait
28 Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN 5076.
29 Lihat Jimly Asshddiqie op.,cit, hal. 512.
27
rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya
pendukungnya,
serta
pengejawantahan
prinsip
transparansi
dan
keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak
seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi “satu atap” dan mutlak
sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan teknis
peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi
tanggung jawab Mahkamah Agung. Konstruksi Pengadilan Pajak sebagai
“satu atap” merujuk pada sebuah perancangan tersendiri Pengadilan
Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
pengadilan khusus.
Peran pengawasan yang tumpang tindih antara Kementerian
Keuangan,
Mahkamah
Agung,
dan
Komisi
Yudisial,
berpotensi
menimbulkan penolakan pengawasan pada setiap instansi yang akan
mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan.
Dengan beradanya pembinaan di satu sisi di Mahkamah Agung
(sebagai lembaga yudikatif) dan di sisi lain di Kementerian Keuangan
(sebagai lembaga eksekutif) akan mempengaruhi independen pengadilan
pajak
karena
di
wilayah
tersebut
menimbulkan
kotradiksi
yakni,
Kementerian Keuangan yang menjalankan fungsi eksekutif dan ketika
terjadi sengketa pajak menjalankan fungsi yudikatif. Padahal kedua
lembaga tersebut seharusnya terpisah untuk menjalankan fungsi saling
mengontrol
atau
mengawasi.
Dalam
keadaan
yang
demikian
memunculkan kondisi untuk mengawasi institusi sendiri.
Bahwa
terhadap
seluruh
pembinaan
baik
teknis
maupun
organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
maka Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan
peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan dengan konstruksi
yuridis
yang
mengharuskan
Pengadilan
Pajak
berada
di
bawah
Mahkamah Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras
dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang paling
tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan