Cara Orang Tua Mendidik dan Mengoptimalk

CARA ORANG TUA MENDIDIK DAN
MENGOPTIMALKAN KECERDASAN ANAK
Dosen Pengempu : Uswatun Hasanah M.Pd.I
Khala Sazida Arifa
Mahasiswi Prodi PIAUD Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro 2018
Abstrak : Kecerdasan intelektual dan spiritual ibarat koin yang tidak dapat dipisahkan di
samping kecerdasan emosi untuk menentukan kesuksesan seseorang. Namun, ada tren yang bisa
menentukan puncak, bukan hanya sukses tetapi juga kebahagiaan. Ini adalah kecerdasan
spiritual yang akan meningkatkan kesadaran kita sebagai pewaris bumi. Dengan demikian, kita
akan berguna bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk keberlangsungan orangorang di sekitar kita. Kecerdasan spiritual tidak berkembang sebagai orang dewasa, tetapi
harus dipupuk dan dibesarkan dan dilatih sejak usia dini sehingga individu akan menjadi lebih
unggul. Karena itu sangat disesalkan bagi orang tua, karena itu mewakili kebahagiaan anakanak kita dalam hidup mereka. Ketika kecerdasan spiritual tinggi maka seseorang akan dengan
mudah mencapai kebahagiaan. Tetapi sebaliknya akan sulit bagi seseorang untuk
merasakannya. Seberapa pentingkah bagi generasi kita berikutnya (anak-anak), karena itu
adalah hati atau esensi dari tujuan hidup seorang anak manusia.
Kata kunci: Kecerdasan Spiritual, Intelektual, Karakter Anak
Pendahuluan
Saat mengetahui anaknya sangat lemah di bidang tertentu, kebanyakan orang tua akan
melakukan penambahan waktu, tenaga, serta daya upaya untuk berkutat terus-menerus dalam
bidang tersebut. Sebagai contoh, jika ada anak usia dini yang kurang dalam keterampilan

membaca (Kecerdasan Verbal) maka orang tua berusaha untuk memberikan pelajaran tambahan
atau les, dan sebagainya. Berfokus pada kelemahan anak dan cenderung terus berusaha
memperbaikinya justru memperkuat kelemahan itu sendiri. Akhirnya anak justru merasa tersiksa
secara mental. Jalan keluar terbaik adalah orang tua tidak terus-menerus berkutat pada
kelemahan anak. Akan lebih baik jika orang tua dapat bekerja sama dengan guru untuk
mengatasi hal tersebut dengan menggali dan mengasah keunggulan yang dimiliki oleh anak.
Lalu bagaimana mengoptimalkan kecerdasan anak? Bila seorang anak lemah dalam
membaca, misalnya, tetapi ia suka menyanyi (kecerdasan musik), maka orang tua dan guru dapat
mengembangkan kegemaran menyanyi anak untuk aktivitas membaca, yaitu membaca dengan
cara menyanyi. Bila anak lemah dalam matematika, tetapi suka olahraga (kecerdasan tubuh),
maka pengembangan kecerdasan matematika dapat dikembangkan melalui kegiatan atau soalsoal yang berkaitan dengan dunia olahraga. Bila anak belum bisa mengaji dengan benar tetapi
anak mempunyai perilaku yang baik, santun dalam berbicara, sopan kepada orang tua maupun
gurunya, hal ini kita mencoba mengajari anak mengaji dengan penuh kesabaran maka niscaya
lambat laun pasti anak tersebut pandai dalam mengaji. Dan ini merupakan cikal bakal untuk
menuju kecerdasan spiritual anak itu sendiri. Anak-anak akan belajar efektif apabila mereka

merasa suka dan gembira. Jadi, daripada berkutat pada ketidakmampuan anak, yang biasanya
diikuti rasa tidak suka, maka akan lebih baik memanfaatkan potensi anak untuk
memperbaiki kelemahannya.1
Menggali Potensi Kecerdasan Anak

Menurut Howard Garner dalam pembelajaran atraktif

2

mengatakan, anak-anak yang

berada dalam rentang usia antara 0-7 tahun adalah anak-anak usia dini yang berada dalam tahap
eksplorasi. Masa usia dini tersebut adalah saat yang tepat untuk mengenali berbagai kecerdasan
yang dimiliki seorang anak. Agar para orang tua atau guru dapat mengenali atau menggali
potensi kecerdasan sang anak, sebaiknya anak dibebaskan untuk memilih jenis kegiatan yang
disenangi. Dengan demikian, anak maupun orang tua dan guru dapat mengidentifikasi kombinasi
antara kecerdasan anak yang cenderung menonjol atau kuat maupun jenis-jenis kecerdasan yang
tampak kurang berkembang.
Manfaat yang didapat dan dirasakan seorang anak yang mengetahui bahwa ia memiliki
kelebihan atau kekurangan adalah anak merasakan percaya

diri

yang


sehat.

Dengan

teridentifikasinya potensi kecerdasan yang dimiliki seorang anak, orang tua dan guru dapat
bekerja sama untuk mengembangkan diri anak dengan lebih baik. Dalam tahap eksplorasi ini
sebaiknya para orang tua atau guru menghindari vonis yang terlalu dini kepada anak,
misalnya, “Oh, anak saya pandai menggambar. Lebih baik saya melatih anak saya di bidang
seni lukis supaya menjadi pelukis”. Sikap tersebut justru akan merugikan sang anak karena
pilihan tersebut cenderung membatasi atau mempersempit talenta anak. Oleh karena itu, yang
perlu dilakukan oleh para orang tua dan guru adalah menyediakan tempat yang kondusif agar
semua kegiatan untuk menggali kecerdasan sang anak dapat bertumbuh secara optimal.
Tahap selanjutnya disebut dengan tahap spesialisasi, yaitu ketika anak berada dalam
rentang usia 7-14 tahun. Pada masa ini anak-anak dilatih untuk mampu mengembangkan
keterampilan-keterampilan tertentu yang diminatinya hingga menjadi kompeten atau ahli di
bidangnya. Keahlian yang berhasil dicapai pada periode tahap spesialisasi akan membangkitkan
rasa percaya diri yang sehat sehingga ia siap untuk memasuki masa perkembangan selanjutnya.
Tahap sintesis merupakan periode masa ketiga perkembangan seorang anak. Pada masa ini anakanak sudah memasuki usia remaja. Dalam tahapan ini mereka sudah siap mengaplikasikan
keahlian dalam konteks dunia nyata. Ini adalah masa di mana seorang anak mulai belajar dan
sudah dapat menerapkan kombinasi kecerdasannya dalam praktek hidup sehari- hari yang lebih

kompleks. Mereka akan bertumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri, mampu mengatasi
masalah hidup, serta dapat menerima serta mengembangkan dirinya sendiri.
Menurut Dr. Damanhuri Rosadi dalam buku mencerdaskan spiritual anak3 mengatakan
pengembangan kecerdasan anak yang utuh dimulai sejak anak dalam kandungan dan memasuki
masa keemasan atau golden age pada usia 0-6 tahun. Masa keemasan ini ditandai oleh
berkembangnya jumlah dan fungsi sel-sel saraf otak anak. Fungsionalisasi sel-sel saraf tersebut
akan berjalan dengan optimal manakala ada upaya sinergi.
1

Igre Siswanto dan Sri Lestari, Panduan Bagi Guru dan Orang Tua Pembelajaran Alternatif,( Yogyakarta, Andi
Offset,2012),hal 41
2
Ibid, hal. 39
3
Ibid, hal. 40

Pada masa keemasan (golden age), terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan
fisiknya, tetapi sekaligus masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting bagi
perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa datang dengan memperhatikan dan
menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat

tergantikan.

Melihat

tantangan

ke

depan

yang

semakin dahsyat.

Melalui bantuan

pendidikan bagi anak telah berkembang luas maka minat mengembangkan kecerdasan
spiritualitas anak akan semakin mudah,
sebenarnya bersumber dari lima macam pemikiran. Pertama, meningkatkan tuntunan
baik terhadap pola pengasuhan anak dari para ibu. Kedua, adanya perhatian khusus yang

dikaitkan dengan pola asuh yang baik. Ketiga, pandangan bahwa pengasuhan anak sebagai
sesuatu kekuatan utama guna membantu para ibu untuk meningkatkan kualitasnya, baik sebagai
ibu maupun sebagai sumber daya manusia pada umumnya, sehingga dapat menggali kecerdasan
spiritual anak. Keempat, adanya hasrat untuk meningkatkan kualitas anak cerdas spiritual.
Kelima, program untuk mencerdaskan anak mempunyai dampak positif terhadap peningkatan
kualitas perkembangan spiritualitas anak 4
Mengoptimalkan Kecerdasan Intelektual Anak
Ketika saat mengetahui anaknya sangat lemah di bidang tertentu, kebanyakan orang tua
akan melakukan penambahan waktu, tenaga, serta daya upaya untuk berkutat terus-menerus
dalam bidang tersebut. Sebagai contoh, jika ada anak usia dini yang kurang dalam keterampilan
membaca (Kecerdasan Verbal) maka orang tua berusaha untuk memberikan pelajaran tambahan
atau les, dan sebagainya. Berfokus pada kelemahan anak dan cenderung terus berusaha
memperbaikinya justru memperkuat kelemahan itu sendiri. Akhirnya anak justru merasa tersiksa
secara mental. Jalan keluar terbaik adalah orang tua tidak terus-menerus berkutat pada
kelemahan anak. Akan lebih baik jika orang tua dapat bekerja sama dengan guru untuk
mengatasi hal tersebut dengan menggali dan mengasah keunggulan yang dimiliki oleh anak.
Bila seorang anak lemah dalam membaca, misalnya, tetapi ia suka menyanyi
(kecerdasan musik), maka orang tua dan guru dapat mengembangkan kegemaran menyanyi
anak untuk aktivitas membaca, yaitu membaca dengan cara menyanyi. Bila anak lemah dalam
matematika, tetapi suka olahraga (kecerdasan tubuh), maka pengembangan kecerdasan

matematika

dapat

dikembangkan

melalui

kegiatan

atau

soal-soal yang berkaitan

dengan dunia olahraga. Anak-anak akan belajar efektif apabila mereka merasa suka dan gembira.
Jadi, daripada berkutat pada ketidakmampuan anak, yang biasanya diikuti rasa tidak suka, maka
akan lebih baik memanfaatkan potensi anak untuk memperbaiki kelemahannya5
Membentuk Karakter Kecerdasan Spiritual Anak
Sekolah yang pertama dan terpenting untuk pembentukan karakter adalah rumah tangga.
Kehidupan rumah tangga adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Kesejahteraan

masyarakat untuk sebagian besar tergantung dari pendidikan yang diterima oleh anak-anak di
4

Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen Strategi Pendidikan Anak, (Yogyakarta, Diva Press,2004) hal 44

5

Lestari, op.cit., hal. 41.

rumah. Salah satu pendidik terbaik untuk pendidikan ialah “Tugas” dan “Pekerjaan” sehari-hari,
yang mengajarkan penurutan, pengendalian diri, perhatian, pengabdian, ketekunan, keterampilan,
dan kepandaian dalam jabatannya, serta kecakapan untuk mengatasi kesulitan dalam
kehidupannya.
Orang-orang yang berkarakter kuat menunjukkan sikap hormat. Ia menghormati
paham religius, pemikiran-pemikiran yang bersih, dan pengajaran-pengajaran, juga menghormati
orang-orang besar masa lampau dan masa kini. Tanpa penghormatan tidak akan ada kepercayaan
kepada Tuhan atau manusia. Manusia yang berkarakter menempatkan kewajiban- kewajibannya
di atas segala sesuatu. Kewajiban adalah fundamen yang memberikan kekuatan kepada semua
kebajikan, akal budi, kebenaran, kebahagiaan, dan kasih agar berdiri teguh. Manusia yang
melalaikan kewajibannya akan melihat segala sesuatu di sekelilingnya menjadi ambruk dan

akhirnya ia berada di tengah keruntuhan kebahagiaan yang dulu dimilikinya. Tidak ada sesuatu
yang dapat membebaskan manusia dari kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Antara berbagai elemen sangat dibutuhkan. Dari kerja sama inilah, ada proses saling
melengkapi, memperbaiki, dan menyempurnakan satu dengan yang lain. peran berbagai elemen
yang ada orang tua, lembaga pendidikan, dan lingkungan masyarakat menjadi prioritas yang
tidak bisa dielakkan. Kita harus tahu bahwa kesiapan bersekolah pada anak tidak timbul dengan
begitu saja. Selain dipengaruhi oleh kematangan, lingkungan tempat anak berkembang juga akan
ikut membentuk kesiapan ini. Hal ini sejalan bahwa kemampuan sekolah anak juga ditentukan
oleh faktor-faktor dari luar, seperti lingkungan dan keluarga.
Di antara berbagai faktor lingkungan yang relevan untuk dibicarakan sehubungan dengan
masalah kesiapan bersekolah adalah sekolah dan keluarga. Keduanya menjadi penting karena
pada usia prasekolah, rangsangan yang diterima anak sangat menentukan perkembangan
selanjutnya. Orang tua sebagai penanggung jawab utama pertumbuhan dan perkembangan anak
jelas memegang kendali dari pendidikan anak usia dini ini, bahkan pada seluruh proses
pendidikan anak pada semua jenjangnya.
Pentingnya Membentuk Karakteristik Anak
Bagaimanapun, keluarga adalah sumber kesuksesan dan juga kegagalan seorang anak.
Keluarga menjadi media internalisasi nilai yang sangat kuat dan menjadi filter segala apa
yang ada, internal maupun eksternal. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam
membentuk karakter anak yakni :

a)

Membentuk seseorang dalam pikiran atau pengetahuan dan tidak dalam moral serta
karakternya adalah ancaman dalam komunitas

b) Kemauan keras diperlakukan dalam membentuk karakter. Tidak mungkin ada pembentukan
karakter tanpa kata kunci dan rahasia kemauan keras, yaitu “Harus”, “Bisa”, dan “Akan
bisa”.
c) Apakah yang dibutuhkan untuk memiliki kemauan keras dan pernyataan kemauan itu?
Jawabannya: perasaan, pemikiran, dan keberanian (tekad). Jalan untuk mewujudkan
kemauan akan ditemukan atau dibangun oleh kemauan keras itu sendiri. “Di mana ada
kemauan, di situ ada jalan!”

d) Membangun karakter dimulai dari bayi dan berlanjut terus sampai kematian (Eleanor
Roosevelt).
e) Mengajarkan perilaku yang baik adalah benar, tetapi lebih benar lagi jika mengajar motivasi
yang baik. Tindakan apa pun tidak bisa disebut baik kalau tidak bersumber dari motivasi
yang baik.
f)


Membangun motivasi yang benar dalam diri anak ketika melakukan sesuatu bukan
karena takut atau ingin mendapat ganjaran, tetapi tahu dan ingin melakukan yang benar.

g)

Karakter tidak dapat dikembangkan dalam suasana nyaman dan tenang. Hanya
melalui pengalaman yang penuh dengan percobaan dan penderitaanlah jiwa dapat
dikuatkan, ambisi digugah, dan sukses dicapai.
Pembentukan karakter ialah menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang baik! Karakter akan

menunjukkan siapa kita sebenarnya, dengan karakter yang terbentuk pada setiap orang, maka
karakter itu akan menunjukkan siapa kita sebenarnya, apakah keputusan-keputusan yang kita
buat baik atau tidak, merugikan atau menguntungkan orang lain, semua dipengaruhi oleh sikap
dan karakter. Karakter juga menentukan sikap, perkataan, dan tindakan seseorang. Oleh karena
itu, orang yang memiliki karakter baik, setiap tindakan dan perkataannya pun baik. Karakter
yang baik memberikan integritas kepada seseorang.
Setiap masalah dan kesuksesan berakar pada karakter. Sejarah mencatat orang-orang
yang sukses memiliki karakter dan integritas baik, sedangkan

orang-orang

yang

gagal

kebanyakan memiliki karakter yang jelek. Apa itu Karakter yang Baik? Karakter yang baik
adalah motivasi dalam untuk melakukan apa yang benar dalam keadaan suka ataupun tidak suka
sehingga setiap situasi harus bersumber dari dalam hati. Karakter yang baik juga tidak mengenal
perbedaan usia, status, ras, pendidikan, jenis kelamin, kepribadian6
Menggali Kecerdasan Spiritual Anak Melalui Sikap Disiplin
Disiplin adalah mempertahankan setiap peraturan tata tertib (hukum) yang dibutuhkan
untuk ketertiban dan kelancaran kehidupan bersama. Disiplin ada tiga macam, yaitu: Pertama,
barang siapa menjamah besi yang sangat panas dengan tangan telanjang, ia akan segera
mendapatkan sakit karena kurang berhati-hati. Inilah disiplin yang bersifat “Empiris- otomatis”.
Kedua, disiplin kedua adalah disiplin yang berasal dari masyarakat dan lingkungan. Inilah yang
bersifat sosial. Ketiga, disiplin ketiga disiplin yang berasal dari diri sendiri (self-discipline)
secara bebas dan sadar. “Aku harus berpikir, bicara, dan bertindak demikian. Jika berbuat
demikian, maka aku akan maju dan pasti mendapat sukses.” Oleh karena itu, ambillah keputusan,
“Sekarang aku akan hidup menurut peraturan”. Untuk meraih ini yang harus dimiliki adalah
“Pengendalian diri sendiri” atau “Self-control”. Manusia yang ingin mendidik diri sendiri harus
bisa memenuhi lima syarat: membaca dengan baik, bisa memperhatikan atau mengamati dengan
baik, bisa mendengarkan dengan baik, bisa berbicara dengan baik, dan bisa mengingat dengan
baik 7
Adapun menurut Tony Buzan dalam buku bimbingan dan konseling di sekolah
mengatakan, ciri-ciri anak yang mempunyai kecerdasan spiritual adalah anak suka berbuat baik,
6
7

Lestari, op.cit., hal. 88
Lestari, op.cit., hal. 90

anak suka menolong orang lain, anak suka mencari tujuan hidup, berusaha untuk selalu mandiri,
turut memikul sebuah misi luhur kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan tertentu
dan masih banyak lagi 8
Ada beberapa prinsip yang dapat digunakan membantu mencerdaskan spiritualitas anak
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berorientasi pada Kebutuhan Anak
Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak.
Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan

upaya-upaya pendidikan untuk

mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun psikis,
yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio-emosional.
2. Bermain merupakan sarana belajar anak usia dini. Melalui bermain, anak diajak untuk
bereksploitasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di
sekitarnya.
3. Lingkungan yang Kondusif
Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan
dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar
melalui bermain.
4. Menggunakan Pembelajaran Terpadu
Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang
dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan minat
anak dan bersifat kontekstual. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep
secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi mudah dan bermakna bagi anak.
5. Mengembangkan Berbagai Kecakapan Hidup
Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses
pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri,
bertanggung jawab, dan memiliki disiplin diri.
6. Menggunakan Berbagai Media Edukatif dan Sumber Belajar
Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahanbahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik/ guru.
7. Dilaksanakan secara Bertahap dan Berulang-ulang
Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari
konsep yang sederhana dan dekat dengan anak, agar konsep dapat dikuasai dengan baik
hendaknya guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang berulang.
Tujuh prinsip pendidikan anak usia dini ini harus diperhatikan, karena sangat menentukan
kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Jangan main paksa, instruksional, dan sejenisnya
yang membuat kreativitas dan dinamika akal anak tidak berkembang secara eksploratif.
Menurut Eli Tohonan Tua Pane, setiap orang tua sangat menginginkan anaknya lebih
baik, lebih hebat dan lebih berhasil dari mereka. Sebaliknya, tidak ada orang tua di muka bumi
ini yang menginginkan anak-anaknya lebih rendah

kedudukan

sosialnya,

gagal

dalam

hidupnya, dan tidak memiliki masa depan yang cerah.
8

Akhmad Muhammad Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak, (Yogyakarta, KATAHATI,2010), hal 49

Anak adalah anugerah Yang Maha Kuasa, sehingga setiap orang yang dikaruniai seorang
anak wajib untuk mengasihi, membimbing, memberikan pendidikan yang terbaik, serta
mengupayakan kesejahteraannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki orang tua, karena
anak adalah masa depan keluarga.
Menurut Martin Luther (1483-1546), keluarga adalah pihak paling penting dalam
pendidikan anak. Jika orang tua dapat memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anakanaknya, maka sikap anak tidak jauh beda dari orang tuanya. Demikian sebaliknya, apabila orang
tua tidak dapat memberikan contoh dan teladan yang baik, maka orang tua tidak bisa berharap
banyak anak-anaknya akan menjadi lebih baik dan sesuai dengan keinginan orang tua. Bukankah
buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?
Khusus orang tua, ada beberapa kiat khusus yang harus diwujudkan untuk mewujudkan
pendidikan dalam kecerdasan anak berkualitas. Mendidik anak

membutuhkan tips yang akan

mengantarkannya meraih kecerdasan. Di antara beberapa tips cerdas tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan Keteladanan
Karena anak usia dini sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dan
sepak terjang orang tua sangat berpengaruh terhadap anak. Cara orang tua dalam berbicara,
berperilaku, dan bergaul dengan orang lain menjadi cermin bagi anak. Di sinilah orang tua
memberikan teladan sempurna kepada anak-anaknya dalam bertutur sapa, berperilaku, dan
bergaul.
Perilaku seseorang biasanya terpengaruh dari faktor agama. Karena itu, orang tua harus
memantapkan diri dalam hal agama dan menanamkan nilai-nilai agama yang suci dan luhur
kepada anak-anaknya. Dari cahaya keimanan dan ketakwaan yang suci inilah keagungan moral
dan ketinggian budi akan menyinari perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menjadikan Rumah Sebagai Taman Ilmu
Rumah adalah tempat lahir, tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Dari rumahlah
pendidikan dimulai. Kalau rumah menjadi sumber ilmu, amal, dan perjuangan anak, maka anak
akan tumbuh menjadi kader yang handal, mantap, dan penuh prestasi.
Menjadikan rumah sebagai taman ilmu berarti merancang dan

melaksanakan

kegiatan yang serat ilmu di rumah, misalnya rajin membaca dengan sendirinya. Karena
membaca adalah sumber ilmu, maka menyediakan bacaan yang berkualitas adalah kebutuhan
utama. Apa yang dibaca anak akan berpengaruh terhadap cara pandang dan cita-cita besarnya di
kemudian hari. Menyediakan komputer untuk menulis dan berkarya juga menjadi salah satu
strategi jitu melatih anak melek teknologi mutakhir yang menjadi ciri khas era informasi global
sekarang. Melibatkan anak dalam musyawarah atau diskusi menjadi media aktualisasi paling
efektif dalam menggali kemampuan anak dan mengembangkannya secara maksimal.

3. Menyediakan Wahana Kreativitas
Anak membawa ciri khasnya sendiri-sendiri. Ia memiliki kelebihan dan keunggulan yang
khas yang tidak ada pada orang lain. Namun, banyak anak tidak menyadarinya, begitu juga orang

tua. Mereka tidak menyadari bakat hebat yang ada pada anak. Padahal, jika terasah dengan baik
akan menjadi faktor kesuksesan dan kegemilangannya di masa depan.
Di sinilah pentingnya menyediakan wahana kreativitas anak. Anak diberi ruang penuh
untuk menampakkan jati diri dan identitasnya. Anak dibiarkan bermain komputer, membaca
buku, menulis, main catur, dan apapun. Anak harus dibimbing untuk menemukan bakat terbesar
yang ada pada dirinya.
Dari wahana kreativitas inilah, bakat terbesar anak akan tampak. Jika bakat terbesarnya
sudah kelihatan, orang tua harus bergerak cepat membimbing dan memaksimalkan secara
maksimal. Misalnya, dengan memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan sesuai bakat anak.
Dalam hal ini, orang tua berperan sebagai motivator yang tidak bosan-bosan mendorong anakanaknya menggali dan mengembangkan bakat.
4. Hindari Emosi Negatif
Emosi dalam arti marah, kecewa, dan tersinggung adalah hal-hal alami yang
ada

pada setiap manusia. Namun,

jika

tidak

bisa mengendalikannya, apalagi

mengekspresikan dalam bentuk yang negatif, maka sangat berbahaya, terlebih bila dilakukan di
hadapan anak.
oleh sebab itu, dalam mendidik anak, khususnya usia dini, stabilitas ekonomi sangat
penting. Kearifan, kebijaksanaan, kematangan, dan kecermatan di dapatkan dari stabilitas emosi
ini. Oran tua harus berhati-hati. Masalah apapun yang dihadapi, jangan diselesaikan dengan
emosi. Jika emosi yang dikedepankan, anak akan mengalami trauma psikologis

yang

berkepanjangan dan bisa mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya.
Lebih baik diam dari pada melampiaskan emosi. Diam bisa menetralkan tegangan otot
yang terjadi. Diam juga menjadi wahana evaluasi efektif terhadap kekurangan dan kelebihan
sikap dan strategi yang dipilih.
5. Rajin Berdoa
Sehebat dan sesempurna apapun manusia, pasti banyak kekurangan. Manusia tidak boleh
menggantungkan hasil hanya kepada kerja kerasnya. Semua persoalan sebaiknya juga diserahkan
kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu manusia harus menambah kedekatan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam konteks ini, berdoa menjadi wahana untuk memohon
pertolongan Tuhan. Berdoa dengan tulus dan konsisten membuat spiritualitas dan religiusitas
manusia bertambah kuat9
Maka, rajin-rajinlah berdoa agar kasih sayang dan pertolongan Tuhan dekat dengan kita.
berdoalah agar Tuhan menjadikan anak-anak kita menjadi kader masa depan bangsa yang
bermoral, mempunyai kapasitas intelektual tinggi, dan mempunyai dedikasi sosial yang
memadai.
Lembaga pendidikan merupakan media transfer of knowledge, science, value, and skills.
Sementara, lingkungan sosial menjadi media aktualisasi potensi dalam menorehkan prestasi.
Kerjasama lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat akan menghasilkan potensi yang hebat
kepada anak usia dini, baik secara moral, intelektual, sosial, spiritual, dan profesional. Kerja

9

Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen Strategi Pendidikan Anak, (Yogyakarta, Diva Press,2009,)hal 75

sama sekolah, keluarga, dan masyarakat juga akan membentuk pendidikan terpadu yang
berkualitas tinggi. Semua memegang peranan penting dalam proses pendidikan anak usia dini.
Dalam konteks ini, lagi-lagi keteladanan menjadi kunci kesuksesan pendidikan anak usia
dini. Keteladanan merupakan faktor penting dalam perilaku baik dan buruknya anak. Disadari
maupun tidak disadari, anak akan mencontoh orang tua dengan menirukan perilaku, tata cara
pergaulan, dan aktivitas sehari-harinya. Sebagaimana yang kita alami di rumah sehari- hari,
sering orang tua berharap kepada anaknya untuk shalat, berperilaku baik, berkata baik, serta
mempunyai perangai, sifat atau karakter yang menyenangkan. Namun sayang, orang tua tidak
mencontohkannya di hadapan anak atau diajarkan untuk melakukannya. Jika anak melihat
perbuatan dan mendengar perkataan yang memberikan kesan pada dirinya dan mendapat
penerimaan lingkungannya, maka ia akan menirukannya. Peniruan ini biasanya disebut dengan
imitasi untuk anak berusia di bawah 10 tahun, sebelum akhir balig. Jika peniruan terjadi pada
anak yang telah memasuki akhir balig, maka peniruan ini disebut identifikasi.
Imitasi adalah peniruan sesaat yang dilakukan anak setelah memperhatikan perilaku dan
perkataan maupun sikap orang lain. peniruan akan terjadi apabila perilaku dan perkataan itu
menarik, menyenangkan, dan mempunyai kesan tersendiri pada dirinya. Berlangsungnya imitasi
ini sangat singkat dan sesaat. Peniruan yang lama akan hilang dan ditinggalkan apabila ia
mendapat peniruan yang baru. Peniruan akan menetap sewaktu anak mendapat respons positif
maupun respons negatif. Yang dimaksud respons positif adalah setiap peniruan yang mendapat
tanggapan penerimaan dari lingkungannya. Adapun yang dimaksudkan dengan respons negatif
adalah setiap peniruan yang mendapat tanggapan penolakan dari lingkungannya. Umumnya,
anak di bawah usia 5 tahun menirukan kata-kata yang tidak baik atau kata-kata yang kotor,
mungkin diawali dari teman sebayanya atau mungkin dari orang tuannya.
Jika orang tua merespons positif dengan tertawa atau meminta mengulanginya karena
perbuatan tersebut dianggap lucu, maka anak akan terus mengulanginya. Demikian juga jika
orang tua merespons negatif, dengan melarang atau memarahinya, anak akan mengulangi katakata tersebut sewaktu orang tuanya tidak ada dan kemungkinan anak mengulangi di hadapan
orang tuanya. Imitasi juga dilakukan anak pada mulanya hanya sebatas mencontoh saja, seperti
dalam gaya berbicara.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, usahakan untuk tidak merespons tindakannya, baik
positif maupun negatif. Abaikan saja, kemudian berikan contoh (teladan) dengan kata-kata yang
baik untuk menghilangkan peniruan yang tidak baik itu. yang lebih penting adalah tidak
mengomentari perkataan dan tingkah laku yang tidak baik kepada anak dengan paksaan dan
tekanan sebagai larangan.
Anak akan menerima bahwa perkataan dan tingkah laku tersebut tidak baik, jika
mendapat informasi yang jelas, singkat, padat. Dan terarah. Misalnya, sewaktu anak melihat
sesuatu yang membuat anak kagum, ia akan mengatakan “gila”, maka saat itu orang tua
yang mendengar tidak perlu memarahi dan melarangnya atau mengomentari kata-kata tersebut,
melainkan berikan teladan dengan mengucapkan “subhanallah”, dengan intonasi yang lebih
baik dan menarik buat anak. Dalam memberikan penjelasan, usahakan untuk tidak terjadi dialog,
perdebatan atau pertentangan dalam kesalahpahaman. 10
10

Ibid, hal 82

Terjadinya imitasi anak kepada orang tua atau orang-orang yang ada di sekitarnya,
disebabkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1.

Menarik. Informasi yang menarik akan lebih cepat diperhatikan, dan anak akan berusaha
untuk mencontohnya. Informasi yang menarik adalah informasi yang tidak membosankan,
tidak menjenuhkan, dan tidak menjadi beban.

2.

Baru. Yang baru, baik itu perilaku maupun perkataan, akan menimbulkan rasa
keingintahuan ini, anak akan berusaha untuk mencoba. Apabila mendapat kesempatan dan
mampu untuk melakukannya, maka ia akan mencobanya. Oleh karena itu, sebagai
pendidik, usahakanlah untuk melakukan tingkah laku dan perkataan yang baik dengan
memodifikasikan perkataan, sehingga perkataan dan tingkah laku tersebut terkesan baru.

3. Konsisten. Yaitu perilaku dan perkataan yang dilakukan terus menerus.
Hal tersebut akan menjadi perhatian anak untuk dapat dicontohkannya.
4.

Berkesan. Setiap perbuatan dan perkataan yang dilakukan di hadapan anak dengan
menyenangkan dan tidak membosankan, maka hal itu akan berkesan pada diri anak. Sesuatu
yang berkesan itulah yang akan di imitasi dengan perasaan senang. Kesan ini pula yang akan
memberikan bekas kepadanya hingga ia kelak dewasa dengan mengabaikan suatu peniruan
yang tidak baik dan diganti dengan bentuk peniruan yang lebih baik, dengan sendirinya
kebiasaan anak untuk melakukan kebaikan akan tertanam, sehingga ia dapat menolak suatu
perbuatan tidak baik yang dilihat dan didengarnya.
Selain imitasi, anak juga mengalami proses identifikasi, yaitu peniruan terhadap figur

orang-orang yang dikagumi atas sifat-sifat atau karakternya. Identifikasi merupakan peniruan
dengan mengambil totalitas dari hal-hal yang dilakukan orang tua maupun orang lain yang
menjadi perhatian dan kesan yang tertanam pada anak. Identifikasi akan berhasil dilalui apabila
ia telah benar-benar matang dalam proses perkembangannya dan telah mengenal dirinya dari
suatu proses pendidikan yang didapatnya. Proses identifikasi diri merupakan kematangan anak
dalam menilai perilaku dan kepribadian orang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan terlebih dahulu, yaitu telah menyelesaikan masa perkembangannya sebelum ia akil balig.
Kematangan terjadi dari pertumbuhan dan perkembangan yang berjalan dengan baik.
Yaitu, bagaimana ia telah mengenal dan memahami siapa dirinya dan mengetahui potensi dan
kemampuan dirinya. Dengan kematangan, ia akan mampu untuk mengikuti dan mencontoh
secara identik (sama persis) pada orang lain yang disesuaikan dengan dirinya, kebutuhan, motif
serta perkembangannya. Dengan pribadi yang matang, anak akan siap menerima segala sesuatu
yang datang dari luar dirinya secara efektif. Ia akan melihat dan mempertimbangkan mana yang
baik dan pantas untuk menjadi figur dirinya. Apabila figur yang dikagumi melakukan suatu yang
tidak sesuai dengan dirinya, ia berani untuk menolak dan meninggalkan figur tersebut meskipun
teman-teman sebayanya mengikuti figur yang menjadi idolanya.
Anak-anak akan mengadakan identifikasi utama pada orang tuanya. Apabila dalam diri
orang tuanya tidak sesuai dengan pola perkembangannya, maka anak akan mencari contoh atau
teladan dari luar diri orang tuanya (orang lain). identifikasi sifatnya menetap dan akan terjadi
jalinan dan hubungan batin yang kuat di antara orang yang diidentifikasi dan orang
mengidentifikasi. Sehingga, anak yang benar-benar mengadakan identifikasi, akan sangat kuat
untuk mencari figur yang dapat diterima dan sesuai dengan proses pembentukan dirinya. Adapun

mereka yang telah terbebas dari beban dan tekanan diri dan lingkungannya akan dengan mudah
menjalankan proses identifikasi yang sesuai dengan kemampuan dan potensi dirinya.
Dari keterangan di atas dipahami bahwa pendidikan anak usia dini menjadi kesempatan
emas membentuk karakter, moralitas, pengetahuan, keterampilan, dan life skill yang memadai
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak ke depan. Oleh sebab itu, kerja sama semua pihak
dari keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi solusi terbaik demi suksesnya pendidikan anak
usia dini ini. Khusus bagi keluarga, tugas dan tanggung jawabnya dalam menyukseskan
pendidikan anak usia dini sangat besar, mengingat dari keluargalah seorang anak lahir dan
berkembang. Warna dalam keluarga sangat menentukan pola pikir, kebiasaan dan pandangan
dalam memotret kehidupan dunia yang penuh kompetisi, aktualisasi, dan Dinamisasi
Pola Pengasuhan Islami Sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan.
Pendidikan merupakan sektor yang paling menentukan dalam keberhasilan pembangunan.
Rendahnya kualitas pendidikan

akan berdampak kepada rendahnya kualitas sumber daya

manusia (SDM). Jika kualitas SDM rendah, mana mungkin dapat membangun secara optimal.
Sumber daya insanilah kunci kemajuan dan keberhasilan. Namun, membangun mutu insani yang
berkualitas tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan kecerdasan intelektual, tetapi harus
didukung oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan tersebut harus pula
didesain oleh kesadaran akan kebenaran sejati yang didorong oleh kekuatan dan kesadaran untuk
mencari rida Allah SWT sehingga terbentuklan suatu pribadi yang memiliki komitmen dan
integritas tinggi serta ketakwaan.
Profil hasil pendidikan harus mampu membentuk karakter peserta didik yang memiliki
multiple intelligence, baik yang berkaitan dengan intelektual, emosional, dan spiritual sehingga
mereka mampu menghadapi problema hidup dan kehidupannya. Selalu berupaya memecahkan
problema tersebut dengan motivasi yang tinggi serta mencari solusinya, yang pada akhirnya
mereka dapat hidup mandiri dan memiliki prinsip hidup hanya kepada Allah SWT.
Pendidikan yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual tanpa menyinergikan nilainilai kecerdasan emosional dan spiritual, dikhawatirkan pendidikan akan menghasilkan peserta
didik yang pintar tetapi buta hati. Terbukti banyak orang berpendidikan tinggi gelar di depan dan
di belakang, tetapi masih tetap melakukan korupsi, kolusi, dan manipulasi; banyak lulusan
pendidikan yang tidak dapat berkiprah di dunia pekerjaan sehingga terjadilah pengangguran
intelektual. Apabila populasi pengangguran meningkat, terjadilah masalah sosial, seperti krisis
moral yang dapat berbuntut pada multikrisis yang kita saksikan dan dirasakan sekarang ini.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi anak dengan anggota
keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya.
Orangtua sebagai pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kegiatan pengasuhan
orangtua tidak hanya bagaimana orangtua memperlakukan anak, tetapi bagaimana cara orangtua
mendidik, membimbing dan melindungi anak dari kecil hingga dewasa sesuai dengan nilai,
norma dan kebudayaan masyarakat.
Kecerdasan emosional yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam pendidikan di
antaranya empati, mengendalikan amarah, kemandirian, disukai, ketekunan, kesetiakawanan,

keramahan,

sikap hormat, kemampuan beradaptasi, kemampuan memecahkan masalah,

kecakapan sosial, integritas, konsisten, komitmen jujur, berpikir terbuka, memiliki prinsip,
kreatif, bersifat adil, bijaksana, kemampuan mendengarkan, kemampuan berkomunikasi,
motivasi, kemampuan bekerja sama, keinginan untuk memberi kontribusi, dan masih banyak lagi
kualitas-kualitas emosional yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan.
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita
secara profesional dalam konteks makna yang lebih luas; kecerdasan spiritual dapat dijadikan
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan emosional.
Kecerdasan emosional yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam proses pendidikan, di
antaranya adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa pada
setiap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju
manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya kepada
Allah SWT.
Menurut Baharuddin, sebagaimana dikutip Huraniyah, dalam pandangan psikologi Islami
manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam (nature), manusia (sosial) dan Tuhan,
ketiga hal tersebut turut memberikan andil dalam membentuk tingkah laku manusia, salah satu
lingkungan sosial yang sering berhubungan dengan anak dari masa kecil sampai remaja adalah
lingkungan keluarga.11
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi anak dengan anggota
keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya.
Bagi anak, orang tua merupakan model nyang harus diteladani dan ditiru. Sebagai model, orang
tua seharusya memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan perilaku
orang tua harus mencerminkan akhlak mulia12. Kepribadian orangtua, sikap dan cara hidupnya
merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan mempengaruhi
pertumbuhan kepribadian anak. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembentukan
kepribadian tersebut adalah pola asuh orangtua.
Kegiatan pengasuhan orangtua tidak hanya bagaimana orangtua memperlakukan anak,
tetapi bagaimana cara orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak dari kecil hingga
dewasa sesuai dengan nilai, norma dan kebudayaan masyarakat. Orangtua memelihara
pertumbuhan, bertanggung jawab dan berkewajiban mengusahakan perkembangan anak agar
sehat jasmani dan rohani.
Pola asuh Islami menurut Darajat, adalah suatu kesatuan yang utuh dari sikap dan
perlakuan orangtua kepada anak sejak masih kecil,

baik dalam mendidik, membina,

membiasakan dan membimbing anak secara optimal berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.13
Perkembangan agama pada seseorang terjadi melalui pengalaman hidupnya semenjak kecil
hingga remaja bahkan sampai dewasa yang diperolehnya dari dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat lingkungannya. Semakin banyak pengalamannya yang sesuai dengan ajaran agama
akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi
11

Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap Kematangan Beragama dan Kontrol Diri.
(Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2004) hal. 19
12
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra
Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 47.
13
Zakiyah Daradjat. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: Ruhama, 1995), hal 23.

hidup akan sesuai dengan ajaran agamanya.
Pada hakekatnya mengasuh anak adalah usaha nyata dari orangtua dalam mensyukuri
karunia Allah, serta mengemban amanat Nya sehingga anak menjadi sumber kebahagiaan,
penerus keturunan dan menjadi manusia yang mandiri. Usaha nyata orangtua dimaksudkan
adalah mengembangkan totalitas potensi yang ada pada diri anak, secara garis besar potensi
anak dapat dibedakan menjadi dua, potensi rohaniah dan potensi jasmaniah. Potensi rohaniah
meliputi potensi pikir, potensi rasa, dan potensi karsa. Sedangkan potensi jasmaniah meliputi
potensi kerja dan
potensi sehat.14
Senada dengan hal tersebut diatas Faramaz dan Mahfuzh, 15 mengatakan bahwa hakekat
pola asuh Islami adalah :
a. Menyelamatkan fitrah Islamiyah anak.
Pada dasarnya setiap anak yang terlahir kedunia ini menurut pandangan Islam telah
membawah fitrah Islamiyah. Oleh karena itu, setiap orangtua wajib menyelamatkan dengan
usaha yang nyata. Usaha-usaha dalam mengembangkan potensi fitrah anak bisa ditempuh
dengan tiga cara, yaitu: (1) memanfaatkan berbagai kesempatan ketika berkumpul bersama anak,
baik siang maupun malam, (2) menjelaskan tentang ke-Maha Kuasa-an Allah dalam menciptakan
manusia, (3) di dalam menanamkan tauhid (akidah) di dalam jiwa anak, bisa berkiblat kepada
langkah-langkah serta sterategi yang pernah dipergunakan oleh para ulama.
b. Mengembangkan potensi pikir anak
potensi kedua yang harus dikembangkan setelah potensi fitrah Islamiah adalah potensi pikir
anak, karena potensi inilah yang membedakan antara mahluk Allah yang bernama manusia
dengan mahluk lain. Potensi pikir yang dimilki oleh anak perlu dikembangkan melalui
pendidikan khususnya pendidikan formal, sehingga potensi ini tidak jumud dan statis.
Berkembangnya potensi pikir anak harus didasari oleh nilai-nilai fitrah Islamiah yang ia
bawah sejak lahir. Jangan sampai dengan berkembangnya pemikiran anak, justru mencabut
nilai-nilai aqidah yang telah diikrarkan di hadapan Allah sebelum dilahirkan ke dunia. Berkaitan
dengan potensi pikir ini, Rasulullah saw bersabda :
“Pikirkanlah ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah Ta’ala sebab kalian akan
rusak.”(H.R. Abu Syekh).
Hadis ini mengandung makna agar seluruh ummat manusia agar mempergunakan akal
sehatnya secara optimal untuk memikirkan segala ciptaan Allah yang ada di dunia ini.
c. Mengembangkan potensi rasa anak
Bersamaan dengan diberikannya potensi pikir, setiap anak juga dilengkapi dengan potensi
rasa. Perasaan yang dijiwai oleh kaidah Islamiyah anak akan tumbuh dewasa menjadi orangorang yang berakhlak baik dalam menjalin hubungan sang pencipta dan berakhlak baik pula
dalam bergaul sesama mahluk ciptaan-Nya. Masalah potensi rasa ini dijelaskan Allah dalam
firman-Nya:
14
15

Huroniyah, F. op.cit, 35.
Huroniyah, F. op.cit, 36.

“…

dan

kami

jadikan

mereka

berpendengaran,

berpenglihatan dan berperasaan…” (Q.S. al-Ahkaf: 26)
Berdasarkan ayat di atas diharapkan menyadari betul bahwa pendengaran, penglihatan dan
perasaan manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Berdasarkan ayat di atas, para orangtua muslim hendaknya menanamkan pula kesadaran
pada anak, bahwa perasaan itu akan dimintakan pertanggungjawaban pada akhir kemudian.
Dengan terbiasanya perasaan terarah pada obyek yang positif menurut pandangan aqidah dan
terjauh dari obyek yang negative, niscaya akan terbentuklah sebuah karakter muslim yang
benar-benar membekas pada diri anak.
d. Mengembangkan potensi karsa anak
Apabila fitrah Islamiah anak yang berupa akidah Islamiah anak yang berupa akidah Islamiah
itu telah terkembangkan sedemikian rupa oleh pendidikan orangtua, sehingga potensi pikir dan
potensi rasanya selalu menyuarakan nilai-nilai akidahnya, maka potensi karsa anak pun akan
semakin cendrung untuk senantiasa berkarsa positif.
e. Mengembangkan potensi kerja anak
Manusia tidak akan dikatakan manusia tanpa dilengkapi dengan tubuh atau aspek jasmaniah.
Dengan kelengkapan jasmaniah, manusia memiliki potensi kerja. Oleh karena itu setiap manusia
yang terlahir ke dunia memiliki potensi untuk bekerja.
Kerja pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas untuk mendapatkan materi demi
tercukupinya kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan.
f.

Mengembangkan potensi kesehatan anak
Setiap anak memiliki potensi sehat, dengan potensi sehat inilah anak-anak dapat tumbuh

secara wajar dan dapat melakukan segala aktivitasnya dengan baik sehingga faktor kesehatan
pun mendapatkan tekanan yang serius dalam Islam. Karena dengan kesehatan itulah, seseorang
dapat berpikir baik, dapat merasa dengan baik, dapat berkarsa dengan baik dan dapat pula
bekerja dengan baik.
Orangtua dalam keluarga memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan emosi,
sehingga mereka dituntut untuk memahami cara mendidik anak. Gottman dan DeClaire, 16
menyebutkan lima prinsip dalam mendidik dan melatih emosi anak.
a. Menyadari emosi. Orangtua mampu menyadari emosi diri dan menyelaraskannya dengan
perasaan anak.
b. Mengakui emosi anak sebagai peluang kedekatan dan mengajar.
c. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan emosi anak.
d. Menamai emosi anak.
e. Menetukan batas-batas emosi dan membantu anak dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
Dampak pola asuh orangtua terhadap perkembangan anak selanjutnya sangat luas.
16

Ibid, hal. 17.

Gotmann dan De Claire menemukan bahwa orangtua yang terampil secara emosional memiliki
anak yang sukses dalam pergaulan, memperlihatkan lebih banyak kasih sayang dan sedikit
konflik dengan orangtua, lebih pintar dalam menangani emosi, dan lebih efektif dalam
mengendalikan emosi.17
Secara umum remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama lingkungan
keluarga yakni kedua orangtua. Lingkungan keluarga merupakan suatu istilah yang sering di
jumpai

dalam

berbagai pembicaraan mengenai perkembangan anak, karena lingkungan

keluarga mempunyai peran yang cukup penting dan mendasar dalam pembentukan kepribadian
anak. Menurut Kartono,18 keluarga merupakan lembaga pertama dan terutama bagi anak sebagai
tempat sosialisasi dan mendapatkan pendidikan serta merasakan suasana yang aman, lebih
lanjut dikemukakan bahwa seluruh anggota keluarga diikat oleh suatu perasaan sentimen yang
dalam, rasa kasih sayang, loyalitas dan rasa solidaritas yang murni.
Pola asuh yang berdasarkan ajaran Islam

mengedepankan keteladanan, pembiasaan,

perhatian, dan nasehat atau bimbingan yang disampaikan dengan dialog, humor maupun logika
argumentatif, tetapi tetap menegakkan disiplin dengan memberikan tindakan tegas (hukuman)
jika diperlukan. Semua metode ini dilaksanakan atas dasar kasih sayang, penghargaan terhadap
anak, kesabaran dan ketulusan. Keteladanan adalah tekhnik yang berpengaruh dan terbukti
sangat berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial
anak. sepanjang waktu anak selalu mengawasi atau mengamati serta memperhatikan apa yang
dilakukan orangtua dan secara disadari bahwa perilaku orangtua akan direkam oleh anak dan
dijadikan internalisasi dalam dirinya.
Kecerdasan Spiritualitas Anak Melalui Keharmonisan Keluarga
Keharmonisan keluarga sangat erat kaitannya dengan perkembangan kecerdasan anak itu
sendiri. Bila anak tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang harmonis, maka
kecerdasannya pun juga ikut berkembang dengan baik pula. Namun bila anak dibesarkan dalam
keluarga yang tidak harmonis biasanya akan mengalami masalah yang dalam perkembangan
kecerdasannya.
Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang sangat didambakan oleh semua orang,
akan tetapi untuk mewujudkan hal itu sangatlah tidak mudah. Keluarga harmonis tidak harus
berasal dari keluarga kaya yang rumahnya bagus, punya mobil mewah dan pekerjaan dengan
gaji besar. Keluarga harmonis bukan tidak mungkin terwujud dari keluarga yang hidupnya
sederhana, bahkan rumah pun terkadang masih kontrak, tidak punya kendaraan pribadi dan
penghasilannya pun juga kecil. Keluarga harmonis dibangun berdasarkan hubungan antar
keluarga yang rukun, saling menyayangi, menghormati dan saling membutuhkan. Itulah
sebenarnya sendi-sendi kehidupan dalam keluarga yang harus diciptakan dan dibina.
Terkadang kita sering mendengar bahwa keluarga yang harmonis adalah identik dengan
keluarga yang serba berkecukupan sandang, pangan dan papan atau rumah. Orang yang
berkecukupan dijamin akan harmonis dalam keluarganya. Pendapat yang seperti ini belum
selamanya benar, terkadang justru ada yang sebaliknya, sebab tidak sedikit pasangan suami istri
17
18

Ibid, hal 25.
Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. (Jakarta, Rajawali, 1986), hal.27.

yang kemesraannya renggang atau bahkan rusak justru setelah sang suami mendapatkan
penghasilan yang jauh lebih besar.19
Sekali lagi yang membuat keluarga harmonis bukanlah masalah keluarga kaya atau
miskin, melainkan bagaimana keluarga itu dibangun dengan sepenuh hati dan penuh tanggung
jawab dan rasa kasih sayang yang selalu dipancarkan dalam setiap nafas hidupnya. Sungguh
membangun keluarga yang harmonis memang menjadi suatu keharusan,di samping itu
kebahagiaan rumah tangga yang sudah merupakan tujuan utama dari setiap orang yang
membangun kekeluargaan, dalam hal ini juga sangat penting untuk pertumbuhan kecerdasan
emosional anak atau bahkan kecerdasan spiritualitas anak. Anak-anak yang dalam keluarga yang
harmonis akan mempunyai ketenangan batin dan kegembiraan. Dua hal ini sangat penting
perannya dalam menciptakan suasana agar proses mencerdaskan potensi spiritualitas anak akan
semakin mudah.
Anak-anak yang hatinya merasa tenang karena dalam keluarganya tidak ada masalah
yang membuat hatinya risau akan jauh lebih mudah dalam berpikir dan memahami sesuatu.
Dengan demikian anak-anak yang hatinya gembira karena orang tuanya tidak memberikan
tekanan, seluruh anggota keluarga bisa menjadi sahabat yang menyenangkan, atau orang
tuanya selalu memberikan motivasi sudah barang tentu akan lebih bersemangat dalam belajar.
Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam kondisi keluarga harmonis akan lebih mudah
untuk mengambangkan kecerdasan spiritualitas karena di dorong oleh keluarga yang penuh
dengan kehangatan dan keharmonisan. Didik dengan akhlak yang baik, didik dan diajari tata
krama kepada orang tua bahkan sama bapak ibu gurunya ketika mereka sudah sekolah karena
selalu mendapatkan asuhan dan nasihat yang benar sesuai tatanan agama.
Di samping itu anak-anak bila anak dibesarkan dalam kondisi kegembiraan, kebahagiaan,
maka akan lebih untuk mengambangkan kecerdasan intelektual bahkan agama. Hal ini bisa
terjadi karena masing- masing anggota dari keluarga yang harmonis, terutama diajari dan
dinasihati dan diberikan contoh oleh kedua orang tuanya. Sungguh dukungan yang penuh dari
keluarga adalah moral yang sangat kuat penting dalam proses perkembangan kecerdasan anak.
Demikian pula dengan kemauan bisa berbagi dari masing-masing anggota keluarga,
sesungguhnya ini merupakan modal yang sangat penting agar anak-anak dapat mengembangkan
kecerdasannya, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan bahkan kecerdasan
dalam kearifan lokal

Kesimpulan
Kecerdasan spiritual ibarat mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dengan
kecerdasan emosional ataupun intelektual dimana kecerdasan
menentukan

keberhasilan

spiritual

itu

memang

seseorang. Akan tetapi ada kecenderungan tinggi yang bisa

menentukan bukan saja kesuksesan semata melainkan juga kebahagiaan seseorang. Kecerdasan
spiritual akan membangkitkan kesadaran kita sebagai khalifah di bumi. Dengan demikian, bukan
saja kita akan berguna bagi diri kita melainkan juga bagi keberlangsungan orang-orang di
sekeliling kita. Kecerdasan spiritual tidak tumbuh ketika dewasa, akan tetapi harus dipupuk dan
19