Etika Altruisme dan Ekonomi Kekeluargaan

Etika altruisme dan Ekonomi kekeluargaan
Victor Christianto1

Teks: Kisah Para Rasul 2:45
"dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya
kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing."
Pendahuluan
Salah satu permasalahan utama dalam bidang ekonomi adalah bagaimana menafsirkan dan
menjabarkan Pasal 33 UUD 1945 (6)(7). Sudah banyak upaya untuk melakukan Judicial
Review terhadap berbagai Undang-undang yang berhubungan dengan Pasal 33 tersebut.
Artikel ini juga merupakan salah satu upaya untuk merefleksikan Pasal 33 tersebut,
khususnya dalam perspektif altruisme dan Etika Kristen.
Egoisme dan maksimalisasi utilitas
Sejak zaman dahulu kala, manusia cenderung mendahulukan egonya ketimbang
sesamanya. Hal ini seakan dirumuskan oleh Adam Smith yang menulis antara lain bahwa
masyarakat akan menjadi makmur jika setiap orang bebas mengejar kepentingankepentingannya secara individual. Itulah yang kemudian menjadi dasar dari suatu prinsip
ekonomi yaitu memaksimalkan utilitas ("utility maximisation"), sehingga egoisme dan
keserakahan merupakan dasar dari ekonomi kapitalistik (15).
Prinsip ekonomi tersebut tampaknya lalu memperoleh penegasan lagi oleh buku Richard
Dawkins berjudul The Selfish Gene (4), yang intinya mengajarkan bahwa sel-sel dalam
tubuh manusia juga mengutamakan kepentingannya sendiri. Dawkins dikenal sebagai

tokoh Neo Darwinisme.
Dengan kata lain kita sampai pada kesimpulan yang meresahkan yaitu bahwa egoisme
(selfishness) tampaknya dibenarkan atau bahkan dianjurkan dalam ilmu ekonomi maupun
biologi modern. Itulah sebabnya banyak manusia dewasa ini cenderung menjadi sangat
individualis dan hanya mengejar kemakmuran diri sendiri.
Benarkah demikian halnya? Adakah pendekatan ekonomi yang tidak bertumpu pada
egoisme dan keserakahan?
Altruisme
Altruisme yang artinya "selflessness" atau mendahulukan kepentingan liyan daripada
kepentingan diri sendiri,* merupakan lawan kata dari egoisme, meskipun kata altruisme
memang agak jarang terdengar dewasa ini. Dalam konteks iman Kristen, altruisme atau
1

Independent Researcher from Indonesia. url: www.sci4God.com,
http://researchgate.net/profile/Victor_Christianto. email: victorchristianto@gmail.com

1|P ag e

kasih adalah perwujudan cinta kepada Tuhan yang kita teruskan kepada sesama yang
menderita. Jadi jelas bahwa altruisme adalah salah satu inti dari Etika Kristen (Mat. 22:3741). Lihat (5).

Mari kita lihat beberapa kisah dari Kitab Injil. Ajaran Yesus tentang altruisme nampak
misalnya dalam kisah pemuda yang datang kepada Yesus dan menanyakan jalan menuju
sorga. Yesus yang tahu bahwa pemuda itu telah menaati seluruh hukum Allah hanya
menyuruh dia menjual semua hartanya dan membagikan kepada orang-orang miskin, lalu
mengikut Yesus (Luk. 18:22). Yesus sebenarnya hendak mengajarkan pemuda itu untuk
menerapkan altruisme, bukan hanya sekadar ketaatan akan hukum-hukum Taurat.
Demikian juga Zakheus diterima pertobatannya, karena ia sudah belajar menerapkan
altruisme (Luk. 19:8). Hal ini tidak berarti bahwa menjadi kaya itu dilarang oleh Yesus,
namun memang sulit menjadi kaya sekaligus tetap menerapkan altruisme. Itu sebabnya
Yesus pernah mengatakan bahwa lebih mudah bagi seekor unta untuk masuk lobang jarum
daripada bagi orang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah (Mat. 19:24).
Masih banyak contoh dari Alkitab yang bisa disebut yang menegaskan bahwa altruisme,
belaskasih, dan pengampunan merupakan ajaran sentral dari Yesus Kristus.
Dalam kaitan ini ada satu hal yang menarik, yakni seorang ahli biologi evolusioner dari
Praha yaitu Prof. Jaroslav Flegr menulis buku yang isinya terang-terangan menyanggah
konsep "selfish gene" dari Dawkins.(3)(17) Meskipun temuan ini perlu riset lanjutan,
tampaknya hal ini menunjukkan bahwa gen-gen kita pun tidak melulu egois.
Ekonomi kekeluargaan
Penerapan altruisme ada beberapa hal, misalnya dalam ekonomi dikenal sebagai kooperasi
(kerjasama). Lihat (1). Kita mesti bersyukur bahwa dalam UUD 45 Pasal 33 ayat 1

ditegaskan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan," dengan kata lain ekonomi kekeluargaan merupakan ciri khas ekonomi
Indonesia. Artinya kooperasi dan altruisme mesti merupakan landasan hidup berbangsa,
bukan maksimalisasi utilitas.
Lalu bagaimana penerapan praktis ekonomi kekeluargaan yang berbasis altruisme dan
kooperasi tersebut? Tentu ini pertanyaan besar yang memerlukan jawaban dan terobosan
kreatif dari para ekonom dan ahli hukum Indonesia.(7)(8)
Penulis akan coba berikan 3 contoh pendekatan ekonomi berbasis kooperasi dan altruisme
yang mungkin ditempuh:
(a) Beberapa waktu lalu harian Kompas memuat headline berjudul "Bisnis aplikasi sedang
tumbuh pesat: ekonomi berbagi tidak bisa dibendung" (28/3/2016). Artinya ekonomi yang
muncul akibat penggunaan gawai dan berbagai apps tidak lagi sesuai dengan model bisnis
ekonomi industrial. Konsep ekonomi berbagi (sharing economy) merupakan salah satu ciri
dari ekonomi masa depan, dan hal ini perlu disambut gembira karena memberikan sebersit
harapan akan ekonomi masyarakat yang tidak melulu bertumpu pada egoisme dan
maksimalisasi utilitas. Di antara penerapan ekonomi berbagi tersebut, yang bisa disebut
2|P ag e

antara lain adalah crowdfunding dan crowdsourcing (13).
(b) Pola pendanaan mikro (microlending/microcredit) dengan pengawasan berkelompok

seperti yang diterapkan oleh Grameen Bank, juga menunjukkan salah satu jalan alternatif
ekonomi altruisme yang berakar pada kebutuhan riil masyarakat terutama di tingkat
akarrumput. Keberhasilan metode pendanaan mikro di Bangladesh serta beberapa negara
Asia lainnya tampaknya perlu dipelajari untuk diterapkan di negeri ini (11)(12)(16).
(c) Contoh lain adalah seorang sahabat penulis sedang berupaya merintis sebuah konsep
baru yang disebut ekonomi Gotong Royong, bertolak dari keprihatinan akan kegagalan
banyak koperasi sebagai badan usaha di berbagai tempat.
Dengan kata lain, kemajuan teknologi khususnya informatika dan komunikasi membuka
peluang untuk menerobos kebuntuan penafsiran akan Pasal 33 tersebut, dan
memungkinkan berbagai pendekatan baru untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang
berwatak partisipatif dan emansipatif, seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Sri-Edi
Swasono (6). Beliau juga mengutip model pendekatan Jalan Ketiga yang diperkenalkan oleh
Anthony Giddens. Pendekatan Jalan Ketiga ini telah mencetuskan berbagai perubahan
dalam kebijakan publik di Eropa, khususnya di Inggris dalam masa Tony Blair (9)(10).
Lihat juga (14).
Dengan kata lain, altruisme juga mesti diterapkan dalam kepemimpinan di berbagai
bidang, baik sekuler maupun kepemimpinan religius.(2)
Penutup
Demikianlah kiranya kita mulai belajar menerapkan altruisme yang sejati dalam kehidupan
berbangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, alih-alih menelan mentah-mentah berbagai

teori ekonomi kapitalistik yang menekankan egoisme dan keserakahan. Memang hal ini
sulit, tapi itulah amanat Konstitusi bangsa Indonesia.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip I Timotius 6:17 untuk mengingatkan salah satu
tugas sebagai orang Kristen:
"Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan
jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang
dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati."
Bagaimana pendapat Anda?**
Versi 1.0: 24 april 2016, pk. 11:47, versi 1.1: 26 april 2016, pk. 12:27.
Catatan:
* Terimakasih kepada Prof. Liek Wilardjo yang memberikan definisi yang lebih tepat untuk
altruisme.
** Terimakasih atas tanggapan dari Dr. David Widihandojo, mantan Dekan Fakultas
3|P ag e

Ekonomi, Universitas Pelita Harapan, Karawaci. Kini mengajar di UKDW, Jogjakarta. Lihat
lampiran.

Referensi:
(1) Karen Cunningham. Cooperation and altruism. Url:

http://www.personal.kent.edu/~kcunning/conflict_theory/sample_paper_pdf.pdf
(2) Andrew Ma. Leadership Advance Online. Issue XVI, 2009. Url:
http://www.regent.edu/acad/global/publications/lao/issue_16/LAO_IssXVI_Ma.pdf
(3) Jaroslav Flegr. Frozen evolution: A farewell to selfish gene. Prague: Charles University,
2008. Url: http://www.frozenevolution.com/about-jaroslav-flegr
(4) Richard Dawkins. The Selfish Gene. Oxford: Oxford University Press, 1976.
(5) Colin Grant. Altruism and Christian Ethics. Cambridge: Cambridge University Press,
2001.
(6) Sri-Edi Swasono. Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan: jangan dirubah tapi boleh
ditambah ayat. 2008. Url:
https://materikuliahfhunibraw.files.wordpress.com/2008/12/sri-edi-swasono-asaskekeluargaan.pdf
(7) Sulitnya merealisasikan Pasal 33 UUD 1945. Url:
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt55505f23aac65/sulitnya-merealisasikan-pasal33-uud-1945
(8) M. Lutfi Chakim. Url: http://www.lutfichakim.com/2011/12/analisis-penafsiran-pasal33-uud-1945.html
(9) Philip Arestis & Malcolm Sawyer (eds.) The economics of the Third Way: Experiences
from around the world. Cheltenham: Edward Elgar Publ. Ltd., 2001
(10) Ray Kiely. The clash of globalisations: Neo-Liberalism, the Third Way, and antiglobalisation. Leiden, Boston: Brill, 2005.
(11) Phil Smith & Eric Thurman. A billion bootstraps. McGraw-Hill Comp., 2007.
(12) Aminur Rahman. Women and microcredit in rural Bangladesh: anthropology study on
the rhetoric and realities of Grameen Bank lending. Colorado: Westview Press, 1999.

(13) Kevin Lawton & Dan Marom. The Crowdfunding revolution: social networking meets
venture financing. 2010, self published.
(14) Dawam Rahardjo. Ekonomi Pancasila dalam tinjauan Filsafat Ilmu. 2004. Url:
https://matakuliah.files.wordpress.com/2007/09/ekonomi-pancasila-dalam-tinjauanpilsafat-ilmu.pdf
(15) Fuad Aleskerov, Denis Bouyssou, Bernard Monjardet. Utility maximization, choice and
preference. 2nd ed. Berlin: Springer, 2007.
(16) Alex Counts. Small loans, big dreams. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2008.
(17) Jaroslav Flegr. Biology Direct, 2013. Url:
http://web.natur.cuni.cz/flegr/pdf/punctuated.pdf
4|P ag e

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
Impian Ekonomi Kekeluargaan di Indonesia: Catatan Untuk
Victor Christianto, “Etika Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan”
David Widihandojo1

Pengertian Konsep
Didalam tulisannya Victor memakai konsep etika altruisme untuk mengacu
sistem ekonomi yang merupakan kritik terhadap kapitalisme; namun dalam tanggaoan
ini saya tidak akan menggunakannya, dengan alasan: pertama, altruisme adalah

konsep umum yang mengacu pada perilaku/ perbuatan yang bertujuan mensejahtera kan orang lain/masyarakat/kelompok, bersumber pada ancient wisdom yang terdapat
di semua budaya di dunia ini. Kedua, perilaku altruis ini tidaklah ekslusif untuk
penganut agama tertentu atau hanya dilakukan oleh manusia modern. Para pakar
evolusi manusia menemukan bukti-bukti yang tidak terbantahkan bahwa baik manusia
purba (archaic human) yang sudah musnah dan primata yang hidup berkelompok
menerapkan perilaku altruis untuk menyelamatkan kehidupan kelompoknya
(survival). Oleh karena tanpa menerapkan solidaritas, kesetiakawanan, merawat
mereka yang lemah/terluka atau sakit dan keterbukaan untuk selalu berbagi rejeki/
pangan dan tempat tinggal tidaklah mungkin dapat mempertahankan kehidupan
berkelompok.2 Jadi ini adalah sebuah konsep umum yang mengacu pada perilaku
tertentu tetapi tidak secara jelas dan spesifik menunjuk ke sistem ekonomi tertentu.
Saya memakai sosialisme dan ekonomi kekeluargaan secara bergantian untuk
mengacu spesifik ke sistem ekonomi yang merupakan kritik kepada kapitalisme yaitu
ekonomi sosialis atau sosialisme. Oleh karena sebuah perekonomian yang mendasar kan diri pada prinsip-prinsip untuk mensejahterakan rakyat serta berbagai norma dan
etika seperti digambarkan dalam Ekonomi Kekekeluargaan telah dikaji secara
sistematik dan saintifik oleh Karl Marx yang diterima dan diakui oleh Bung Karno dan
para Bapak Pendiri Bangsa (the Founding Fathers) yaitu dengan Deklarasi Ekonomi.

1


. David Widihandojo, dosen tetap di Program Pasca Sarjana UKDW Yogyakarta. Kontak:
david.widihandojo@gmail.com
2. Richard Leaky & Roger Lewin. Origins Reconsidered: In Search What Makes Us Human. New York:
Doubleday, 1992. Hal. 153 – 173.
DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

1

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
Namun sungguh sayang sejak 1966 kita menolak karya-karya besarnya karena fobia
yang berlebihan kepada komunisme, yang dihantukan oleh diri kita sendiri.
Ekonomi kekeluargaan bukan sebuah konsep ilmiah (scientific concept) dan
tidak menunjuk secara jelas serta spesifik ke sistem ekonomi tertentu. Namun konsep
ini banyak digunakan di Indonesia karena secara umum banyak pihak masih malumalu, takut serta bingung untuk seperti Bung Karno mengacu secara tegas dan spesifik
ke sosialisme sebagai alternatif terhadap kapitalisme.
Ekonomi Kekeluargaan Dalam Konteks Histori & Teori
Cita-cita terbentuknya sebuah ekonomi nasional yang mendasarkan diri pada
prinsip kekeluargaan seperti yang tertulis dalam UUD ’45 pasal 33 muncul dalam

berbagai perdebatan ekonomi di sepanjang sejarah kehidupan bangsa ini. Dalam
periode 1945 sampai dengan 1960an, para bapak pendiri bangsa ini Hatta, Sjafrudin,
Wilopo, Widjojo Nitisastro, Sumitro Djojohadikusumo dan Frans Seda dengan tegas
mengemukakan prinsip membangun sebuah state-led-economy; dimana negara
berperan penuh mengatur perekonomian untuk kepentingan nasional demi
menetralisir dampak negative kapitalisme. Ditahun 1955, Wilopo menegaskan bahwa
asas perekonomian nasional adalah anti liberal karena kewajiban negara untuk
melindungi ekonomi rakyat dari dominasi dan eksploatasi modal-modal swasta; yang
menurut Hatta, “..suatu penghisapan rakyat oleh para kapitalis yang melihat Indonesia
hanya sebagai onderneming besar untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dan
sumber buruh murah……perekonomian nasional harus didasarkan pada prinsip
solidaritas dan kesetiakawanan…” Disini koperasi dilihat adalah solusi kongkrit karena
koperasi yang dimiliki oleh rakyat dapat dikembangkan sebagai unit ekonomi produktif
yang menggerakkan perekonomian nasional. Ditahun 1963, dalam pidatonya tanggal
28 Maret, Bung Karno menegaskan dukungannya terhadap gagasan para ekonom tsb
dengan mendeklarasikan Ekonomi Sosialis Indonesia yaitu “…….sebuah ekonomi yang
dibangun tanpa exploitation de l’homme par l’homme, tanpa penghisapan manusia
oleh manusia ……dalam masyarakat sosialis Indonesia tiap-tiap orang dijamin akan
pekerjaan, sandang-pangan, perumahan serta kehidupan kulturil dan spiritual yang
layak…” 3

3.

Pidato Presiden Sukarno di Istana Negara Jakarta tanggal 28 Maret 1963. Lihat, Imam T. K. Rahardjo
& Herdianto (penyunting), Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 245 –
261.
DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

2

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
Frans Seda dengan tegas mengemukakan bahwa gagasan Sukarno tsb tentang
ekonomi sangat dipengaruhi oleh Marx namun Sukarno bukanlah seorang Marxis yang
radikal. Jika kita ingin mengerti kritik terhadap kapitalisme secara dalam dan
mendasar, mau tidak mau kita pasti meminjam analisis Marx untuk memahami secara
mendasar, struktural dan sistemik apa itu kapitalisme.
Bagaimanakah konsep sosialisme lahir di Indonesia? Mengapa para bapak
pendiri negara ini (the Founding Fathers) sangat bulat setuju mendukungnya? Di
Indonesia, konsep tentang negara dan tanggungjawab sosialnya dikembangkan oleh
Jacques Oppenheim, salah seorang ketua Komisi Konstitusi Kolonial di Indonesia pada
dekade 1920 an. Pokok-pokok pikiran Oppenheim sangat berpengaruh di Indonesia
modern ini serta banyak dikutip didalam tulisan-tulisan politik dan filosofi politik
dalam berbagai karya pemikiran para tokoh pergerakan nasional Indonesia.

4

Selain

itu juga didorong oleh kuatnya nationalist cultural relativism, yang muncul dalam
bentuk penolakan terhadap segenap bentuk tradisi yang liberal serta berbau Barat.
Barat dilihat sebagai sumber individualisme, materialisme, konflik yang destruktif bagi
masyarakat. Timur yang diartikan secara lebih khusus sebagai masyarakat tradisional
Indonesia yang secara romantis diartikan sebagai harmoni dan konsensus. 5 Struktur
sosial politik pada saat Republik Indonesia berdiripun sangat mendukung karena
politik nasional dikuasai hanya oleh sekelompok kecil elit yang terdidik serta memiliki
latar belakang aristokrat. Sedangkan sebagian besar masyarakat hidup di pedesaan,
terbelenggu dalam kemiskinan dan tradisi feudal-aristokratis dimana individu yang
menduduki kepala adalah pemegang kekuasaan absolut.
Dalam pidatonya di sidang BPUPKI, Supomo melancarkan kritiknya terhadap
Liberalisme yang dianggap tidak cocok bagi Indonesia, dan mengajukan alternatif

4.

Jacques Oppenheim. De Theorie van den Organischen Staat en Haare Waarde voor Onzen Tijd (The
Theory of the Organic State and its Value for Our Times). Groningen, Wolters, 1893. Berdasarkan
penelusuran David Bourchier ditemukan bahwa pokok-pokok pikiran Oppenheim berpengaruh di
Indonesia modern ini dan dikutip didalam tulisan-tulisan politik. Lihat, Hamid S Attamimi. Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi
Doktor Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. 1990. Abdulkadir Besar. “Negara Persatuan Citra
Negara Integralistik Anutan UUD 1945" di Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono SH,
Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, 1984. Lihat David Bourchier. Contradictions in the Dominant
Paradigm of State Organisation in Indonesia, paper presented in ARC Conference on Indonesia
Paradigms for the Future, Fremantle, July 1993.
5. Richard Robison.“Indonesia: Tensions in State and Regime”, in Robison Hewison & Gary Rodan. and
Richard Robison (eds), Southeast Asia In The 1990: Authoritarianism, Democracy and Capitalism, St.
Leonards: Allen and Unwin, 1993: pp. 41-74.
DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

3

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan

4

bentuk pengorganisasian politik yang paling tepat bagi Indonesia adalah - yang
disebutnya - paham integralistik - yang menurutnya - digali dari Adam Muller, Hegel
& Spinoza. Supomo mengemukakan visinya tentang masa depan Indonesia yang
digambarkannya sebagai sebuah komunitas yang harmonis sehingga Konstitusi Negara
harus tidak merefleksikan dualisme antara negara dan masyarakat maka untuk
mengatasi dualisme ini kekuasaan tertinggi (the ultimate sovereignty) ditangan
Presiden, bukannya di Parlemen. 6
Diantara Adam Muller, Hegel dan Spinoza yang disebut Supomo sebagai sumber
referensinya, Adam Heinrich Muller (1779 – 1829) adalah yang paling signifikan.
Muller adalah filsuf dan ahli ekonomi politik Jerman, gagasannya dituangkannya
dalam Die Elemente der Staatskunst ( Elements of Statecraft), buku ini merupakan
kumpulan materi kuliahnya di depan Prince Bernhard of Saxe-Weimar beserta
negarawan, politisi dan diplomat Jerman terkemuka di Dresden tahun 1808. Dalam
Die Elemente Muller mengemukakan bahwa sistem pengorganisasian negara Jerman
yang cocok adalah Standestaat (Corporatist State) yang didasarkan pada filosofi
Negara Organik atau dalam istilah Muller Medieval Feudalism dimana negara dan
masyarakat dilihat sebagai sebuah organisme yang dipersatukan oleh budaya, bahasa,
hukum dan spirit (volksgeist). Bagi Muller inilah model yang terbaik untuk
pengorganisasian sebuah negara modern. Sedangkan untuk perekonomian negara,
Muller menyatakan adalah kewajiban etis negara untuk mengatur perekonomian demi
kesejahteraan rakyatnya dan sepenuhnya menolak gagasan pasar bebas (free market)
Adam Smith dengan mengemukakan bahwa pasar bebas adalah sebuah ekonomi tanpa
etika.7
Dari paparan gagasan Muller ini nampak jelas kuatnya pengaruh gagasan JeanJacques Rousseau yang diuraikannya dalam The Manifesto of Social Contract.

6.

8

Yamin, Mohammad 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca,
Jakarta, vol. I, hal. 263.
7 . Adam Heinrich Muller. Die Elemente der Staatskunst, Berlin, 1809; dalam, Karl Mannheim. “The
History of the Concept of the State as an Organism: A Sociological Analysis”, in his Essays in Sociology
and Social Psychology, Routledge & Keegan, London, 1953.
8. Jean-Jacques Rousseau. The Manifesto of Social Contract. Copyright 2010-2015 by Jonathan Bennet.
www.earlymoderntexts.com/assets/pdfs/rousseau1762.pdf. Jean –Jacques Rousseau. The Social
Contract' and Other Later Political Writings, trans. Victor Gourevitch. Cambridge: Cambridge
University Press, 1997. 'The Social Contract, trans. Maurice Cranston. Penguin: Penguin Classics
Various Editions, 1968–2007. The Political writings of Jean-Jacques Rousseau, edited from the original
MCS and authentic editions with introduction and notes by C.E.Vaughan, Blackwell, Oxford, 1962.
DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
Rousseau mengajukan gagasan yang sejalan dengan yang dikemukakan Confucius
yaitu menekankan kewajiban tiap warga negara untuk memiliki nasionalisme atau
dalam terminologi Confucius “berbakti pada negara.”

Namun setiap penguasa

memiliki tanggungjawab kepada rakyat memberi kesejahteraan, kemakmuran,
keamanan, keadilan dalam hukum dan berbagai bentuk fasilitas kehidupan lainnya;
kewajiban etis yang mengikat hubungan timbal balik inilah yang disebut Rousseau
sebagai kontrak sosial atau oleh Konfusius sebagi Mandat Surga (Heavenly Mandate)
karena hanya seorang yang pemimpin yang berhati mulia, yang mau bekerja bagi
kesejahteraan bangsa yang layak memegang mandat semacam itu.
Baik Konfusius, Jean-Jacques Rousseau dan Adam Muller yang bekerja dijaman
serta konteks budaya dan histori yang sangat berbeda juga dengan selisih waktu sekitar
2 milenia/2000 tahun. Mereka memiliki gagasan yang sama yaitu fokus pada kewajib
- an etis negara untuk mensejahterakan rakyat termasuk dalam mengelola sumbersumber daya ekonomi serta meregulasi pasar. Mereka tegas menolak konsep pasar
bebas atau ekonomi Liberal dimana negara tidak turut campur ke pasar karena
membiarkan sepenuhnya sebagai arena bermain para pemilik modal. Mereka sangat
tidak yakin pada kepentingan-kepentingan jangka pendek (short-term interest) para
pemilik modal atau pedagang dalam terminologi Konfusius akan dapat menciptakan
kesejahteraan negara. Ketiga pakar dan filsuf sosial-politik ini melahirkan dua konsep
besar tentang bernegara yang sangat berpengaruh sampai saat ini yaitu Confucian
States yang diterapkan di Asia Timur dan Singapore serta Standestaat yang diterapkan
di negara-negara Eropa Barat serta seluruh negara-negara dengan tradisi politik
Iberian, yang dimasa Eropa modern dikenal sebagai Welfare States. Baik Confucian
States maupun Welfare States, negara berperan kuat, aktif dan intervensionis
mengatur perekonomian demi kesejahteraan warganya, ini jelas manifestasi dari
sosialisme Marx atau sering juga disebut sebagai state capitalism atau state-ledcapitalism.
Jelas konsep bernegara ini sangat jauh berbeda dengan demokrasi dan
kapitalisme Liberal yang dianut negara-negara Anglo-Saxon. Konsep demokrasi
Liberal ini dikemukakan oleh James Mill serta dikembangkan anaknya John Stuart

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

5

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
Mill, filsuf dan ekonom politik Skotlandia.9 Berbeda dengan Muller, Rousseau dan
Confucius, Mill melihat inti masyarakat adalah individu dengan demikian kebebasan
dan demokrasi adalah jalan menuju kebebasan individu secara penuh. Mill melihat
kehadiran negara cenderung hanya akan membatasi atau mengungkung kebebasan
individu. Oleh karena itu negara dan individu adalah kekuatan yang saling bertentang
- an (conflicting forces) maka kebebasan dan demokrasi yang sejati akan terbentuk jika
peran & wewenang negara dibatasi. Inilah latar belakang munculnya konsep kaum
Liberal dan Neoliberal bahwa demokrasi hanya tercapai dengan cara memperlemah
negara serta membebaskan pasar menjadi hanya sebuah arena bermain para pemilik
modal.
Bagi Confucius,Rousseau dan Muller, inti masyarakat adalah kelompok/kolektif
(Rousseau dan Muller) atau keluarga (Confucius). Disini kebebasan dan demokrasi
adalah jalan untuk memperkuat eksistensi kelompok atau keluarga. Konfusius,
Rousseau dan Muller juga melihat negara dan rakyat bukanlah dua kekuatan yang
saling berlawanan tetapi saling mendukung, negara hadir untuk memperkuat
eksistensi kelompok atau keluarga. Jadi kebebasan dan demokrasi dalam konsep
Konfusius, Rousseau & Muller adalah upaya untuk menata ulang hubungan negara dan
rakyat sehingga terbentuklah –menurut Konfusius - harmoni. Dalam konsep Konfusius
harmoni bukan berarti tidak ada konflik tetapi tidak ada relasi yang eksploatatif antara
negara dan rakyat. Menata ulang hubungan negara dan rakyat inilah yang menjadi
fokus Tiongkok dalam membangun demokrasinya. Bagi Tiongkok demokrasi bukanlah
the right to vote yang diutamakan seperti dalam konsep demokrasi Liberal tetapi the
involvement in the decision making,

yang sama dengan gagasan Deliberative

Democracy dalam tulisan Rousseau. Disini rakyat terlibat langsung dalam pengambil
- an keputusan atas hal-hal yang strategis, ini nampak jelas dalam tatanan dan aturan
wewenang para pemimpin politik Tiongkok.
Konsep hubungan negara dan rakyat yang dilahirkan Konfusius, Rousseau dan
Muller ini sejalan dengan Sosialismenya Marx karena Marx mengadopsi konsep Adam
Muller dalam pengaturan negara dan rakyat. Oleh karena itu bagi Marx adalah
John Stuart Mill. ”On Liberty” Encyclopaedia Britannica, 1859; “On Social Freedom.”Oxford
Cambridge Review, 1907. John S Mill sangat dipengaruhi oleh ayahnya, James Mill, yang dikenal
sebagai bapak Liberalisme Inggris, lihat, James Mill. 1820. “Government”; 1823.”Liberty of the Press,”
Encyclopaedia Brittanica.
9.

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

6

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
tanggungjawab etis negara untuk menata pasar demi kesejahteraan rakyat. Sejalan
dengan Konfusius, Rousseau dan Muller, Marx tidak yakin short-term interest para
pemilik modal akan dapat menciptakan kemakmuran bagi negara dan bangsa.
Tegasnya, negara wajib menata pasar sehingga tercipta relasi yang positif antara pasar
dan rakyat yaitu terciptanya kemakmuran bagi semua pihak sehingga tidak ada lagi
hubungan eksploatatif antara di pasar yang merugikan rakyat.
Dari sudut pandang Liberal, ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran
serta berbagai dampak negatif kapitalisme hanyalah simtom yang muncul akibat tidak
kompetennya individu atau kesalahan kebijakan saja. Disini penyelesaian sepenuhnya
hanya melalui pelatihan/ training, sertifikasi, pelatihan-pelatihan motivasi dsb. Marx
menunjuk dengan tegas dan tajam bahwa semua itu bukan sekedar simtom tetapi
sistemik, kontradiksi yang terjadi pada kapitalisme itu sendiri, jadi ini adalah
struktural dan sistemik. Ini berarti, penyelesaian yang bersifat parsial – hanya untuk
menghilangkan simtom – sepenuhnya tidak signifikan. Kemudian Marx menunjukkan
arah guna menetralisir dampak negatif ini yaitu dengan meminjam gagasan Muller
yaitu negara wajib mengatur ekonomi demi kesejahteraan warganya untuk
membangun sebuah perekonomian yang berorientasi bagi kepentingan masyarakat
sehingga terbentuk sebuah ekonomi sosialis atau sosialisme, ekonomi untuk sosial.
Bukannya kapitalisme, ekonomi untuk kapital/pemilik modal.
Dalam bentuk yang belum sempurna inilah yang terjadi pada ekonomi
Tiongkok, dimana pembangunan terjadi sejak 1980 sampai saat ini berhasil
membebaskan lebih dari 800 juta orang dari jebakan kemiskinan, penghasilan
meningkat terus melaju menuju ke level negara kaya dan sekalipun terbuka gap antara
kaya dan miskin tetapi masyarakat Tiongkok tetap yang paling merata di dunia karena
korporasi tetap dibawah pengawasan negara yang ketat dan 80% ekonomi tetap
dikuasai negara melalui BUMN sehingga kekayaan yang terbentuk tetap mengalir
untuk ke negara bagi kemakmuran bersama.
Oleh karena itu adalah sebuah kebodohan, ignorance ataupun ketidaktahuan
apa itu kapitalisme atau sosialisme bagi yang menyatakan bahwa Tiongkok telah
beralih ke kapitalisme liberal untuk mempertahankan pembangunannya karena

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

7

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
komunisme/ sosialisme Tiongkok sudah mati! 10 Fakta bahwa negara Tiongkok kokoh
mempertahankan kontrol terhadap 80% ekonomi sangat jelas membuktikan bahwa
ini sebuah sosialisme. Sangat jelas bahwa kapitalisme liberal bukanlah satu-satunya
sistem ekonomi yang mampu menciptakan kemakmuran. Juga adanya gerai
MacDonald, Gucci, Rolex, Prada, Louis Vitton, Hermes, Kentucky Fried Chicken
ataupun Burger King bukanlah bukti kehadiran kapitalisme tetapi sekedar indikasi
terjadinya kemajuan ekonomi. Apa yang terjadi adalah reformasi yang terus
berkelanjutan. Tiongkok adalah sebuah bangsa yang sangat terbuka, agresif dan
dinamis mereka terus menerus belajar dan mereformasi diri. Baik negara, Partai
Komunis Tiongkok serta seluruh sektor kehidupan, terus menerus memperbaiki diri.
Sejak tahun 1980 sampai saat ini terjada puluhan reformasi dalam skala nasional dan
4 diantara sangat komprehensif untuk segala sektor kehidupan dan semuanya demi
kesejahteraan kehidupan rakyat Tiongkok. Aapa yang terbentuk saat ini adalah
Sosialisme, Partai Komunis dan Negara Tiongkok yang modern, canggih, kokoh,
tangguh dan sangat efektif serta efisien. Menurut Martin Jacques,…saat ini adalah yang
paling efektif di dunia, jauh melebihi kemampuan negara-negara Barat…..11 Sebaliknya
Kapitalisme Liberal di US, UK dan negara-negara Anglo Saxon lainnya dan di Indo nesia, Fillipina dsb terjebak kedalam orthodoxy yang menuntun kedalam krisis yang
parah sampai saat ini.
Namun terlepas dari perdebatan tentang Tiongkok, bukankah pembangunan
dalam sistem ekonomi seperti yang terjadi di Tiongkok; dimana pembangunan
membebaskan bangsanya dari kemiskinan, menciptakan kemandirian, kemakmuran,
harga diri dan kemajuan bangsa, dimana pembangunan menciptakan lapangan kerja
dan membuka kesempatan untuk maju bagi setiap orang secara merata, dimana
kekayaan dan sumber daya nasional dikelola dan diatur oleh negara demi kesejahtera
- an bangsa, dimana kesenjangan kaya dan miskin dikelola dengan baik sehingga relatif
tetap merata. Bukankah ini adalah perekonomian yang diimpikan oleh Bung Karno,
Bung Hatta, Syafrudin dan kemudian dilanjutkan dengan mimpi-mimpi indah dengan
10.

Sebagai contoh lihat, James Mann. 2007. The China Fantasy: How Our Leaders Explain Away
Chinese Repression. New York: Viking, hal.1-7; Willy Lam, 2009.”China’s Political Feet of Clay,” Far
Eastern Economic Review, October, hal. 10-14; Bruce Gilley. 2004. China Democratic Future: How It
Will Happen and Where It Will Lead: New York: Columbia University Press. I.Wibowo. Belajar dari
China: Bagaimana China Merebut Peluang Dalam Era Globalisasi. Jakarta: Kompas, 2004.
11. Martin Jacques. When China Rules the World: the Rise of the Middle Kongdom and the End of the
Western World. London: Penguin Books, 2009. Chapter 12.
DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

8

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
topik Ekonomi Kekeluargaan? Namun mengapa kita yang membangun 20 tahun lebih
dahulu dari Tiongkok tetap berkubang dalam lumpur kemiskinan dan pengangguran
dan terjebak hutang yang menumpuk? Dengan hanya segelintir elit politik dan kelas
pemilik modal yang terus menerus bertambah kaya sedangkan penghasilan rakyat
terus menerus menurun ke titik nadir tergerus inflasi dan jatuhnya Rupiah?
Rontoknya Cita-Cita Ekonomi Kekeluargaan
Sampai dengan dekade awal 1980an di Indonesia, para pemimpin politik dan
teknokrat tetap teguh menolak liberalisasi pasar. Namun perubahan besar terjadi
diakhir dekade 1980an, pemicunya adalah jatuhnya harga minyak yang pada tahun
1982 harga minyak jatuh dari $38/barrel ke $28/barrel dan pada tahun 1986 merosot
tajam menjadi $ 12/barrel kemudi.an perlahan-lahan naik kembali menjadi $
18/barrel. Jatuhnya harga minyak ini menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah
sebesar 35% yaitu sekitar US$ 6 milyar per tahun ditambah depresiasi US dollar yang
meng -akibatkan naiknya kewajiban pembayaran hutang negara sebesar US 1.6
milyar.12 Untuk pertama kalinya rejim Suharto dihadapkan dengan keterbatas -an
finansial yang parah sehingga mendorong pemerintah menggali pendanaan dari swasta
dan rejim Orde Baru tidak dapat lagi menolak tekanan negara adikuasa untuk
menerapkan liberalisasi perekonomian.
Liberalisasi perekonomian di Indonesia dirancang oleh sebuah tim teknokrat
dan ekonom yaitu Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Iwan Jaya Aziz, Hadi Soesastro
dan Marie Pangestu. 13 Dimulai Juni 1988 dengan deregulasi perbankan dan keuang an yang dilanjutkan dibulan Nopember dengan penghapusan proteksi non-tariff lebih
dari separuh komoditas yaitu bijih besi, baja, plastik dan bahan-bahan kimia. Di lanjutkan di bulan Juni 1994, pemerintah kembali meluncurkan kebijakan pen cabutan kewajiban investor asing untuk bermitra dengan warga negara Indonesia serta
memperbolehkan kepemilikan asing 100%. Puncak liberalisasi terjadi di bulan
Nopember 1994 yaitu pada saat Presiden Suharto mengumumkan secara terbuka
dalam sidang APEC di Bogor bahwa Indonesia sepenuhnya siap memasuki era
perdagangan bebas di Asia Pasifik yang di ikuti dengan penghapusan tariff untuk 6,030

Ali Wardhana. “Structural Adjustment in Indonesia: Export and the High-Cost Economy,”
Indonesian Quarterly, XVII/3, 1990. Halaman 209 – 211.
13 . Rizal Mallarangeng. “Politik Liberalisasi Ekonomi Indonesia: Mencari Sejumlah Penjelasan,”
dalam, Mari Pangestu, et. al. (eds). Indonesia dan Tantangan Ekonomi Global. Jakarta: CSIS, 2003.
12.

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

9

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
komoditi.

Setahun kemudian di bulan Nopember 1995, pemerintah melakukan

swastanisasi 3 BUMN besar yaitu PT Telkom, PT Timah dan PT Indosat. Sejak itu laju
liberalisasi perekonomian dan swastanisasi BUMN pun makin gencar dan merambah
ke semua sektor kehidupan bangsa termasuk pendidikan dan setahap demi setahap
kesehatan sehingga di lingkungan Asia Pasifik, Indonesialah yang terdepan dalam
liberalisasi perekonomiannya.14
Fobia berlebihan kepada komunisme dan fanatisme terhadap demokrasi dan
kapitalisme liberal merupakan habitat yang subur dan menguntungkan bagi para
kapitalis baik lokal maupun global. Oleh karena itu tidak perlu heran jika arus
liberalisasi ekonomi mengalir deras, para pemilik modal besar memborong sumbersumber daya alam, membentuk kartel untuk menguasai pasar dalam negeri, menguasai
politik, pengangguran dan jurang kaya dan miskin melebar secara tak terkontrol,
kemiskinan cenderung naik terus dan negara terjebak hutang yang akut. Ini bukan khas
Indonesia tetapi terjadi secara global, kondisi AS jauh lebih parah lagi dan sampai saat
ini belum ada tanda-tanda akan mampu bangkit dari krisis. Akar masalahnya sudah
dikemukakan dengan amat jelas oleh Marx sekitar 2 abad yl; dan kemudian ditegaskan
oleh Joseph Stiglitz yaitu ketimpangan/ketidakmerataan (inequality); bagi Stiglitz
krisis yang terjadi adalah akibat ketimpangan sosial akibat lebarnya perbedaan kaya
dan miskin membuat masyarakat terbelah (divided society) dan ini sangat membahaya
- kan AS.

15

Marx sudah mengemukakan hal yang sama 2 abad yang lalu bahwa

kapitalisme akan bunuh diri akibat berbagai kontradiksi yang terjadi dalam sistemnya
sendiri dan jelas ketimpangan sosial adalah salah satu kontradiksi yang dimaksud.
Refleksi Ekonomi Kekeluargaan
Bung Karno bersama Hatta, Syafrudin, Sumitro, Fran Seda dan temantemannya yang lain sudah tepat dalam menetapkan Sosialisme sebagai sistem ekonomi
yang paling tepat untuk memenuhi impian Ekonomi Kekeluargaan. Sekalipun dititik
awal Hatta, Sjafruddin, Sukarno dan teman-temannya telah tegas menunjukkan
langkah

yang

kongkrit

untuk menerapkan

Ekonomi

Kekeluargaan

dengan

mendeklarasikan bahwa ekonomi di Indonesia adalah sebuah Sosialisme. Namun sejak
1966 arah politik berubah kuat karena Indonesia terjebak kedalam kancah Perang
14

. Ibid
Joseph Stiglitz. The Price of Inequality: How’s Today’s Divided Society Endangered Our Future.
New York: WW Norton & Company, 2012.
15.

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

10

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
Dingin dengan memberangus semua gagasan kritis terhadap kapitalisme. Segenap
karya Marx serta tiap tulisan yang kritis dilarang. Akibatnya, karya-karya tulisan
tentang Ekonomi Kekeluargaan menjadi sangat normatif dan romantis, bagikan novel
dan ceritera pendek yang romantis, konsep Ekonomi Kekeluargaanpun digantikan
dengan berbagai nama yang indah-indah.16 Lengkap dengan berbagai bumbu agama,
ayat-ayat dari firman Tuhan serta norma-norma budaya lainnya namun tanpa ada
upaya serius untuk masuk kedalam tataran berpikir saintifik, sistemik dan realistis
termasuk memikirkannya ketataran struktural dan sistem supaya operasional untuk
diterapkan.
Semua ini konsisten dengan kondisi sosial-politik di Indonesia, dimana bukubuku referensi sangat terbatas serta hanya bersumber pada para penulis Liberal dan
makin diperparah dengan tingginya kelesuan minat baca dan keingintahuan
(curiosity) generasi muda akibat terjangkit virus Lazy-Indonesian-Brain. Ini terjadi
disemua lapisan generasi muda. Mereka lebih menyukai dan meyakini informasi palsu
(hoax) dari BBM, WA, Line, dan Messenger daripada membaca serta berpikir secara
mendalam berbagai analisis dari Kompas, Tempo, BBC InDepth atau The Economist.
Akibatnya, sekalipun telah memasuki era kebebasan informasi melalui revolusi
Teknologi Informasi, dimana”information just on the finger-tip” tetap saja tulisan yang
tajam serta mendasar mengupas Ekonomi Kekeluargaan sulit ditemui.
Kelemahan utama yang sering saya temui dalam tulisan Ekonomi Kekeluargaan
adalah sebagai berikut:
1. Tidak Adanya Filsafat tentang Manusia: setiap sistem ekonomi baik itu
kapitalisme atau sosialisme selalu memiliki filsafat tentang manusia yang
mendasarinya. Manusia macam apakah yang akan dibentuk dalam sistem ini?
Manusia yang serakah dan dan selalu terpacu dengan insentif uang? Ataukah
manusia sosial yang hidup memperhatikan keseimbangan dengan sesama atau
harmoni dan konsep Konfusius.
2. Tidak Adanya Mekanisme Sistem untuk Membentuk Perilaku yang
Dikehendaki: perilaku apakah yang dikehendaki akan dilakukan oleh manusia
dalam sistem ekonomi ini? Perlu diciptakan mekanisme untuk merangsang
manusia melakukan perilaku tsb. Jika kita menginginkan bangsa Indonesia
16.

Mubyarto.”Koperasi dan Ekonomi Pancasila” Kompas, 3 Mei 1979.

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

11

Altruisme & Ekonomi Kekeluargaan
kreatif dan inovatif mengembangkan usaha (berwiraswasta) maka yang
dikembangkan bukannya sebanyaknya mungkin melakukan pelatihan wira swasta dan menambah beban kurikulum sekolah dengan mata kuliah kewirau sahaan. Itu semua hanya lelucon besar dan pasti tidak akan berhasil. Cukup
ciptakanlah mekanisme dalam sistem yang mendukung inovasi dan mendorong
dibukanya berbagai usaha baru. Jadi mekanisme dalam sistem itulah yang jauh
lebih mendasar dan utama.
Tanpa adanya bahasan yang mendalam atas kedua hal tsb diatas maka tulisn-tulisan
Ekonomi Kekeluargaan menjadi tulisan yang romantis dan normatif belaka.

Salatiga, medio May, 2016

David Widihandojo

DOC:DATA/VID/CRITICAL REVIEW/MAY’2016

DAVID SULISTIJO WIDIHANDOJO

12