AMALAN bulan rajab dan syaban.docx

AMALAN –AMALAN
BULAN RAJAB DAN SYA’BAN
A. Amalan Bulan Rajab
1. Rajab merupakan salah satu bulan Haram

‫ع لن أ ل‬
‫ل‬
‫ي‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ال‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ال‬
‫ي‬
‫ض‬

‫ر‬
‫ة‬
‫ر‬
‫ك‬
‫ب‬
‫بي‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ه ع لل لي يهه‬
‫ل‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ل‬
‫صللىَّ الل ل ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ي ل‬

‫ي‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ل ل‬
‫ي‬
‫م لقاَ ل‬
‫ه‬
‫م ل‬
‫ست ل ل‬
‫ماَ ه‬
‫دالر ك لهلي يئ لت ههه ي لوي ل‬
‫ن قلد ي ا ي‬
‫ول ل‬
‫خل لقل الل ل ه‬
‫ل اللز ل‬
‫سل ل ل‬
‫ل‬
‫شلر ل‬
‫ة اث يلناَ ع ل ل‬
‫ة‬

‫من يلهاَ أ ليرب لعل ة‬
‫سن ل ه‬
‫شهيررا ه‬
‫وا ه‬
‫ض ال ل‬
‫ال ل‬
‫س ل‬
‫ت لوايلير ل‬
‫م ل‬
‫قعيد لةه ول ه‬
‫ت ه‬
‫م‬
‫ذو ال ي ل‬
‫ذو ال ي ه‬
‫م ث لللث ل ة‬
‫م ل‬
‫ح ل‬
‫ه‬
‫حلر ه‬
‫حهر ة‬

‫جةه لوال ي ه‬
‫وال هلياَ ة‬
‫ة ه‬
‫مت ل ل‬
‫دىَ ول ل‬
‫ن‬
‫ضلر ال ل ه‬
‫شعيلباَ ل‬
‫ماَ ل‬
‫ن ه‬
‫م ل‬
‫ج ه‬
‫وللر ل‬
‫ج ل‬
‫ب ه‬
‫ذيِ ب لي ي ل‬

Dari Abu Bakrah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Zaman (masa) terus berjalan dari sejak awal penciptaan langit dan
bumi. Satu tahun ada dua belas bulan diantaranya ada empat bulan haram

(suci), tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah dan al-Muharam
serta Rajab yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya'ban" (HR. Bhukari:
2958)
Bulan-bulan haram memiliki kedudukan yang agung, dan bulan rajab termasuk
salah satu dari empat bulan tersebut. Dinamakan bulan-bulan haram karena :
1. Diharamkannya berperang di bulan-bulan itu kecuali musuh yang memulai.
2. Keharaman melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dibulan ini lebih besar
di bandingkan bulan yang lain.






     






     
      




  

     
      
      
   
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389],
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan
(pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu Telah
menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-


menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah : 2)
[389] Syi'ar Allah ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat
mengerjakannya.
[390] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab),
tanah Haram (Mekah) dan Ihram., maksudnya ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan
itu.
[391] ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri
kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka
ibadat haji.
[392] ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu Telah
diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[393] dimaksud dengan karunia ialah: keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan
dari Allah ialah: pahala amalan haji.

       
      
      
       

     
     
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya
diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (At Taubah : 36)

[640] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab),
tanah Haram (Mekah) dan ihram.
[641] maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang,
seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.

2. Beberapa kebiasaan menyimpang sunnah
a. Peringatan Isro’ Mi’roj
Dan walaupun Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang tsabit (tetap dalam
syari’at ini) dan beriman dengannya adalah wajib dan telah diwajibkan pula
ketika itu shalat lima waktu, akan tetapi kita tidak memiliki dalil yang pasti
bahwa itu terjadi di bulan Rajab.

Kemudian di sana ada perkara lainnya, yaitu bahwasanya walaupun kita
mendapatkan dalil bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu terjadi pada bulan
Rajab, apakah kita disyaria’tkan untuk melakukan ritual ibadah tertentu pada
bulan tersebut?
Jawabannya adalah: tidak, karena segala bentuk ibadah itu sifatnya adalah
tauqifiyyah (tetap dan paten sesuai dengan tuntunan Allah ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam) yang harus diketahui (dalil dan landasannya,
pent) dari syari’at ini. Dan setelah mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup selama sekitar 13 tahun, dan

beliau tidak pernah mengadakan acara-acara tertentu untuk memperingati
peristiwa tersebut.

b. Shalat Raghaib
Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan Shalat Rajab adalah shalat
yang dilakukan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib
dan ‘Isya. Pada siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Raghaib ini (yakni
hari Kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa
sunnah.
Adapun tata cara dan keutamannya adalah sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits maudhu’ (palsu) yang berbunyi:

“Dan tidaklah ada seorang yang berpuasa di awal Kamis bulan Rajab,
kemudian shalat di,antara Maghrib dan ‘Atamah (Isya)- yaitu malam Jum’atdua belas rakaat, membaca pada setiap rakaatnya surat Al-Fatihah sekali dan
surat Al-Qadr tiga kali serta surat Al-Ikhlas dua belas kali, setiap dua rakaat
dengan satu kali salam, jika telah selesai dari shalat tersebut maka ia
bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan ‘Allahhumma
Shalli ‘Ala Muhammadin An-Nabi Al-Ummiyyi Wa ‘Ala Alihi’, kemudian sujud lalu
mengatakan dalam sujudnya: ‘Subuhun qudusun Rabbul Malaikati War Ruh’
tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan: ‘Rabbighfirli
warham wa tajaawaz ‘amma ta’lam Inaka anta Al-Aziz Al-A’zham’ tujuh puluh
kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang
pertama, lalu memohon kepada Allah hajatnya, kecuali pasti hajatnya tadi
akan dikabulkan.
Rasulullah bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada
seorang hamba laki-laki maupun perempuan yang melakukan shalat ini
kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya walaupun seperti buih di lautan
dan seperti sejumlah daun di pepohonan, serta bisa memberi syafaat di hari
kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Ketika berada di malam pertama di
kuburnya, akan datang kepadanya pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan
wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku,
berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan. Lalu (orang yang

melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah, aku belum
pernah melihat wajah seindah wajahmu dan tidak pernah mendegar perkataan
semanis perkataanmu serta tidak pernah mencium bau wewangian sewangi
bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai kekasihku! Aku adalah pahala shalat
yang telah kamu lakukan di malam itu pada bulan itu. Malam ini aku datang
untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan
darimu kegundahgulanaanmu. Ketika ditiup sangkakala, maka aku akan
menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah karena kamu tidak
akan kehilangan kebaikan dari maula-Mu (Allah) selama-lamanya.”
Haidts ini adalah hadits maudhu’ (palsu), disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Jauzi
rahimahullah di dalam kitabnya Al-Maudhu’at (II/124)

Dari hadits tersebut, dapat diketahui secara ringkas tata cara Shalat Raghaib,
yaitu:
Dikerjakan antara Maghrib dan ‘Isya’, jumlah rakaatnya dua belas, setiap
dua rakaat satu salam.
Pada setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadr tiga kali,
dan surat Al-Ikhlash dua belas kali.
Setelah shalat mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tujuh puluh kali dengan lafazh:

‫ه‬
‫ص ي‬
‫ي ولع لللىَّ آل ههه‬
‫م ل‬
‫ي ا يل ي‬
‫ح ل‬
‫ل ع لللىَّ ه‬
‫الل لهه ل‬
‫م ل‬
‫م ي‬
‫مد د الن لب ه ي‬
Kemudian sujud dengan membaca tujuh puluh kali:

ْ‫مل لئ هك لةه لوالرريوح‬
‫س لر ر‬
‫سب روي ة‬
‫ه‬
‫ب ال ي ل‬
‫حْ قهد روي ة‬
Kemudian bangun dan duduk dengan mengucapkan tujuh puluh kali:

‫ك أل‬
‫ت ال يعلزهييييهز‬
‫ن‬
‫ب اغ ي ه‬
‫م ولت ل ل‬
‫فير هلي لواير ل‬
‫لر ي‬
‫م إ هن ل ل ي ل‬
‫ماَ ت لعيل ل ي‬
‫جاَوليز ع ل ل‬
‫ح ي‬
‫ل‬
‫م‬
‫ا يلع يظ ل ه‬
Lalu sujud lagi dan mengucapkan ucapan yang sama dengan sujud yang
pertama
Kemudian berdo’a kepada Allah sesuai dengan hajat dan kebutuhannya.
c. Mengkhususkan puasa bulan Rajab
Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah
Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya.
Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat,
timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia,
kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari,
tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi
orang berpuasa lima belas hari.
Hadits ini “Maudhu`” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu
Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al
Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh
pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan sanad yang sama,
juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.
Artinya : “Barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, sama nilainya dia
berpuasa sebulan penuh, barang siapa berpuasa tujuh hari Allah Subhana wa
Ta`ala akan menutupkan baginya tujuh pintu neraka, barang siapa berpuasa
delapan hari di bulan Rajab Allah Ta`ala akan membukakan baginya delapan
pintu sorga, siapapun yang berpuasa setengah dari bulan Rajab itu Allah akan
menghisabnya dengan hisab yang mudah sekali.”

Diterangkan di dalam kitab Allaalaiy setelah pengarangnya meriwayatkannya
dari Abaan kemudian dari Anas secara Marfu` : Hadits ini tidak Shohih, sebab
Abaan adalah perawi yang ditinggalkan, sedangkan `Amru bin Al Azhar
pemalsu hadits, kemudian dia jelaskan : Dikeluarkan juga oleh Abu As Syaikh
dari jalan Ibnu `Ulwaan dari Abaan, adapun Ibnu `Ulwaan pemalsu hadits

B. AMALAN BULAN SYA’BAN
Kenapa Disebut Sya'ban?
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Dinamakan Sya'ban karena kesibukan
mereka dalam mencari air atau di gua-gua setelah keluar dari bulan Haram
Rajab dan dikatakan selain itu." (Fathul Baari: 4/251)
Tuntunan :
1. Banyak berpuasa

‫ل‬
‫م ل‬
‫ن‬
‫شهيررا أك يث لييلر ه‬
‫صو ه‬
‫صلىَّ الله عليه وسلم ي ل ه‬
‫ميي ي‬
‫ل‬
‫م ل‬
‫ه‬
‫شعيلباَ ل‬
‫كاَ ل‬
‫صو ه‬
‫ن ك هل ل ه‬
‫ن يل ه‬

َّ‫ى‬
‫لل ي‬
‫ن الن لب ه ر‬
‫م ي لك ه ه‬
‫ل‬
‫ه‬
‫شعيلباَ ل‬
‫ فلإ هن ل ه‬، ‫ن‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang
lebih banyak dari bulan Sya’ban. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim
no. 1156)
2. Larangan puasa di akhir sya’ban

‫ل تننق د ندجموا نرنمنضانن إبنصيوإم ي نيومم نول ي نيونمي يإن إإل نرججلل نكانن‬: ‫عل ني يإه نونسل دننم‬
‫ نقانل نرجسوجل الل دنإه نص دنلى الل دنجه ن‬: ‫عن يجه نقانل‬
‫عين أ نإبي جهنري ينرنة نرإضني الل دنجه ن‬
‫ن‬
‫ي نجصوجم نصيومما نفل يي نجصيمجه‬
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian
mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali
orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan larangan berpuasa sehari atau dua hari, namun ada
dalam riwayat lain yang menunjukkan bahwa larangan itu berlaku sejak
memasuki pertangahan bulan Sya’ban.
‫ إإنذا ان يتننصنف نشيعنباجن نفل تنجصوجموا‬: ‫عل ني يإه نونسل دننم نقانل‬
‫عين أ نإبي جهنري ينرنة رضي الله عنه أ ن د نن نرجسونل الل دنإه نص دنلى الل دنجه ن‬
‫ن‬
Dari Abu Hurairah ra, bahwasnnya nabi saw bersabda ; Apabila telah
memasuki pertengahan Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa (HR Abu
Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh alAlbani)
Bid’ah – bid’ah Sya’ban :
a. Shalat al-Bara'ah, yaitu shalat seratus rakaat yang dikhususkan
pelaksanaannya pada malam nishfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat.

b. Shalat tujuh raka'at dengan niat untuk menolak bala' (bencana dan
musibah), panjang umur, dan kecukupan sehingga tidak meminta-minta
kepada manusia.
c. Membaca surat Yasin pada malam nisfu Sya’ban dan membaca do’a khusus
d. Adanya tradisi nyadran, dan berziarah kubur.
e. Padusan, yaitu mandi besar sebelum memasuki bulan Ramadlan
f. Membaca Surat Yaasin dan berdoa pada malam nishfu Sya'ban dengan doa
khusus, yaitu:

‫ي‬
‫ لياَ ل‬،‫ه‬
‫م لياَ ل‬
‫ ولل ل يمن ع لل لي ي ه‬،‫ن‬
‫ذا ال ي ل‬
‫ذا ال ي ل‬
‫لالل لهه ل‬
‫جل ل ه‬
‫م ي‬
‫ل لوال هك يلرام ه‬

g. Meyakini bahwa malam Nishfu Sya'ban adalah malam Lailatul Qadar. AlSyuqairi berkata, "Dia (pendapat itu) adalah batil berdasarkan kesepakatan
para peneliti dari kalangan Muhadditsin." (Al-Sunan al-Mubtadi'ah, hal. 146)
Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta'ala,

‫شهر رمضاَن ال لذيِ أ ه‬
‫ق رآ ل‬
‫ي‬
‫ل‬
‫س‬
َ‫نا‬
‫لل‬
َ‫دى‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ه‬
‫في‬
‫ل‬
‫ز‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ر‬
‫ه‬
‫ل ي ه ل ل ل ل‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ه‬

"Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) AlQur'an sebagai petunjuk bagi manusia….." (QS. Al-Baqarah: 185)

‫إ هلناَ أ لن يلزل يلناَه ه هفي ل لي يل لةه ال ي ل‬
‫قد يره‬
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Lailataul Qadar
(malam kemuliaan)." (QS. Al-Qadar:1) Dan malam Lailatul Qadar berada di
Ramadlan, bukan di bulan Sya'ban.
Ketahuilah, bahwa perilaku bid'ah yang mereka lakukan tersebut disandarkan
kepada beberapa riwayat berikut ini:
- Dari Ali radliyallahu 'anhu secara marfu', berkata,

‫ذا ل‬
‫ن ل‬
‫إه ل‬
‫موا‬
‫ن فل ه‬
‫ت ل لي يل ليي ه‬
‫ف ه‬
‫شييعيلباَ ل‬
‫صيي ه‬
‫صييو ه‬
‫قو ه‬
‫كاَن ل ي‬
‫مييوا ل لي يل لهليياَ ول ه‬
‫ة الن ي ي‬
‫ميي ي‬
َ‫ها‬
‫ن للهاَلر ل‬
"Apabila tiba malam nishfu Sya'ban maka berdirilah shalat pada malam
harinya dan berpuasalah pada siang harinya." (HR. Ibnu Majah dalam
Sunannya no. 1388, dan ini adalah hadits Maudlu'. Syaikh Al-Albani
mengatakan dalam Dhaif Sunan Ibni Majah, "Lemah sekali atau maudlu –
palsu-" no. 1388, juga dalam Al-Misykah no. 1308, Al-Dhaifah no. 2132)
- Hadits,

‫ل ي لن يزه ه‬
‫ج ل‬
‫ن ل‬
‫ماَءه‬
‫ل ل لي يل ل ل‬
‫ف ه‬
‫شعيلباَ ل‬
‫ص ه‬
‫ه ع للز ول ل‬
‫إه ل‬
‫ن إ هل لييىَّ ال ل‬
‫سيي ل‬
‫ن الل ل ل‬
‫ة الن ي ي‬
‫م ي‬
‫فر هل ل‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ك‬
‫م‬
‫ن‬
‫غ‬
‫ر‬
‫ع‬
‫ش‬
‫د‬
‫د‬
‫ع‬
‫ن‬
‫م‬
‫ر‬
‫ث‬
‫ك‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ي‬
‫ل‬
‫د‬
‫ي‬
‫ل‬
‫الد رن يلياَ فلي لغي ه ه‬
‫ه‬
‫ه‬
"Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya'ban, lalu
Dia akan mengampuni umatku lebih dari jumlah bulu domba yang
digembalakan Bani Kalb." (HR. Ibn Majah no. 1389 dan al-Tirmidzi no. 670.
Syaikh al-Albani mendhaifkannya dalam Dhaif Sunan Ibni Majah no. 295 dan
Dhaif al-Jami' al-Shaghir no. 1761)

Bulan Sya’ban adalah bulan yang penuh kebaikan. Di bulan tersebut banyak
yang lalai untuk beramal sholeh karena yang sangat dinantikan adalah bulan
Ramadhan. Mengenai bulan Sya’ban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ذ لل ه ل‬
‫ف ه‬
‫ن ولههييول ل‬
‫ك ل‬
‫شييهيةر‬
‫شهيةر ي لغي ه‬
‫ضيياَ ل‬
‫م ل‬
‫ن لر ل‬
‫ب وللر ل‬
‫س ع لن ي ه‬
‫جيي د‬
‫ل اللناَ ه‬
‫ه ب لي ي ل‬
‫ل إللىَّ رب ال يعاَل لمين فلأ ه‬
‫حب أ ل‬
‫ت هرفلعه هفيهه ايل ل‬
‫ل‬
‫ه‬
‫مهلييي‬
‫ع‬
‫ع‬
‫فيي‬
‫ر‬
‫ي‬
‫ن‬
َ‫ما‬
‫ع‬
‫ل‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ل ي‬
‫ل ل‬
‫ل‬
‫ر ي هي‬
‫ل ه ل‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ل‬
‫م‬
‫صاَئ ه ة‬
‫ولألناَ ل‬
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan
Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai
amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka
untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras agar umatnya tidak
beramal tanpa tuntunan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sekali
umatnya mengikuti ajaran beliau dalam beramal sholeh. Jika beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memberikan tuntunan dalam suatu ajaran, maka tidak
perlu seorang pun mengada-ada dalam membuat suatu amalan. Islam
sungguh mudah, cuma sekedar ikuti apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam contohkan, itu sudah mencukupi.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ل‬
‫م ل‬
‫مرهلناَ هل ل‬
‫حد ل ل‬
‫س ه‬
‫ه فلههول لرد د‬
‫نأ ي‬
‫من ي ه‬
‫ذا ل‬
‫ث هفىَّ أ ي‬
‫ماَ ل لي ي ل‬
‫ل ي‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak
ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim
no. 1718)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,

‫ل‬
‫م ل‬
‫ن عل ه‬
‫مهرلناَ فلههول لرد د‬
‫س ع لل لي يهه أ ي‬
‫ل عل ل‬
‫ل‬
‫مل ر ل لي ي ل‬
‫م ي‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Bid’ah sendiri didefinisikan oleh Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al
I’tishom,

‫هي ال ل‬
‫ة‬
‫ن ط لرهي ي ل‬
‫م ي‬
‫عي ل ل‬
‫شييير ه‬
‫ه‬
‫ضيياَ ه‬
‫خت للرع لييةد ت ه ل‬
‫ن ه‬
‫علباَلرة ة ع ليي ي‬
‫قييةد فهييي الييد يي ي ه‬
‫ه‬
‫يه ي‬
‫ملباَل لغل ه‬
‫سب ي ل‬
‫سل هوي ه‬
‫ة هفي الت لعلب هد ه للهه ه‬
‫صد ه هباَل ر‬
‫حاَن ل ه‬
‫ك ع لل لي يلهاَ ال ه‬
‫ق ل‬
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada
dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika
menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala.”

Amalan yang Ada Tuntunan di Bulan Sya’ban
Amalan yang disunnahkan di bulan Sya’ban adalah banyak-banyak berpuasa.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

‫ل‬
‫م ل‬
‫سو ل‬
‫ل‬
‫ل الل ل ه‬
‫ه – صلىَّ الليه عليييه وسييلم – ا ي‬
‫ت لر ه‬
‫سييت لك ي ل‬
‫ماَ لرأي ي ه‬
‫فل ل‬
‫ ومياَ رأ ليتي ل‬، ‫شيهر إل ل رمضياَن‬
َّ‫ه هفيى‬
‫ماَ ه‬
‫ه أك يث لييلر ه‬
‫ه‬
‫م ل ي د ه ل ل ل ل‬
‫صيلياَ ل‬
‫ميني ه‬
‫صيلياَ ر‬
‫ل ل ل يه ه‬
‫ل‬
‫ن‬
‫شعيلباَ ل‬
“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku
pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada
berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Di bulan Sya’ban juga amat dekat dengan bulan Ramadhan, sehingga bagi
yang masih memiliki utang puasa, maka ia punya kewajiban untuk segera
melunasinya. Jangan sampai ditunda kelewat bulan Ramadhan berikutnya.
Amalan yang Tidak Ada Tuntunan di Bulan Sya’ban
Adapun amalan yang tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam banyak yang tumbuh subur di bulan Sya’ban, atau mendekati atau
dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Boleh jadi ajaran tersebut warisan
leluhur yang dijadikan ritual. Boleh jadi ajaran tersebut didasarkan pada hadits
dho’if (lemah) atau maudhu’ (palsu). Apa saja amalan tersebut? Berikut
beberapa di antaranya:
1. Kirim do’a untuk kerabat yang telah meninggal dunia dengan baca
yasinan atau tahlilan. Yang dikenal dengan Ruwahan karena Ruwah (sebutan
bulan Sya’ban bagi orang Jawa) berasal dari kata arwah sehingga bulan
Sya’ban identik dengan kematian. Makanya sering di beberapa daerah masih
laris tradisi yasinan atau tahlilan di bulan Sya’ban. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.
2. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat dan do’a.
Tentang malam Nishfu Sya’ban sendiri ada beberapa kritikan di dalamnya, di
antaranya:
a. Tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam
Nishfu Sya’ban. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu dalil
pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan
dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri
Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248). Juga yang mengatakan seperti itu adalah Abul
‘Ala Al Mubarakfuri, penulis Tuhfatul Ahwadzi.
Contoh hadits dho’if yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban,
yaitu hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ن ل‬
‫ميييهع‬
‫ج ه‬
‫ف ه‬
‫ن فلي لغيفهييهر ل ه ل‬
‫شييعيلباَ ل‬
‫صيي ه‬
‫إه ل‬
‫ن الل ل ل‬
‫ه ل لي لط لل هعه هفىَّ ل لي يل لييةه الن ي ي‬
‫ميي ي‬
‫شرك أ ل‬
‫ل‬
‫ن‬
‫ح‬
َ‫شا‬
‫م‬
‫و‬
‫ل‬
‫ه‬
‫خل ي ه‬
‫ه‬
‫قهه إ هل ل ل ه ه‬
‫م ي ه د ي‬
‫د‬
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban
kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang
yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis
Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti
hadits tersebut dho’if/ lemah].
b. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫م‬
‫ن الل للياَهلىَّ ولل ل ت ل ه‬
‫ل ل تل ي‬
‫صوا ل لي يل ل ل‬
‫قلياَم د ه‬
‫معلةه ب ه ه‬
‫ة ال ي ه‬
‫صوا ي لييوي ل‬
‫ج ه‬
‫خ ر‬
‫خت ل ر‬
‫م ي‬
‫ن ب لي ي ه‬
‫ل‬
‫صلياَم د ه‬
‫معلةه ب ه ه‬
‫ال ي ه‬
‫ج ه‬
‫م ي‬
‫ن اللياَم ه‬
‫ن ب لي ي ه‬
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat.
Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1144). Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu
untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam
lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya.
Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam
hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.”
(HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar
jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat
tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk
tidak dikhususkan dengan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada dalil yang
mendukungnya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
c. Malam nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam lainnya. Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu
Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut
dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa
tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali
tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia
bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa
pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari
Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah
mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang
harinya dengan puasa tertentu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115)
d. Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan
bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia.
Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu
Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke
langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu
Sya’ban saja. Oleh karenanya, keutamaan malam Nishfu Sya’ban sebenarnya
sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.

‘Abdullah bin Al Mubarok rahimahullah pernah ditanya mengenai turunnya
Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si
penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam
Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam
(bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman
Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam
Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun
riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat
dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban
itu sudah masuk pada keumuman malam, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh
Dhu’afa’ (3/29).
Kami harap para pembaca bisa pula membaca artikel berikut: Meninjau Ritual
Malam Nishfu Sya’ban.
3. Menjelang Ramadhan diyakini sebagai waktu utama untuk ziarah
kubur, yaitu mengunjungi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan
“nyadran”). Yang tepat, ziarah kubur itu tidak dikhususkan pada bulan Sya’ban
saja. Kita diperintahkan melakukan ziarah kubur setiap saat agar hati kita
semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫هزوهروا ال ي ه‬
‫خلرة ل‬
‫م ال ه‬
‫قهبولر فلإ هن للهاَ ت هذ لك يهرك ه ه‬

“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada
akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976). Jadi yang masalah adalah jika
seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini
bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk ‘nyadran’ atau
‘nyekar’. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam
yang menuntunkan hal ini.
4. Menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar, padusan, atau
keramasan. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Puasa tetap sah jika tidak lakukan
keramasan, atau padusan ke tempat pemandian atau pantai (seperti ke
Parangtritis). Mandi besar itu ada jika memang ada sebab yang menuntut
untuk mandi seperti karena junub maka mesti mandi wajib (mandi junub).
Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”), ada
juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan (baca:
ikhtilath) dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan
yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin
Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka
Allah?!
Cukup dengan Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ ك ه ر‬،‫م‬
‫ة‬
‫عوا فل ل‬
‫ لول ت لب يت لد ه ه‬،‫ات لب ههعوا‬
‫ضلل ل ة‬
‫قد ي ك ه ه‬
‫ل ب هد يع لةد ل‬
‫فيت ه ي‬

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat
amalan yang tidak ada tuntunannya. Karena (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah
perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Orang yang beramal sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah
yang akan merasakan nikmat telaga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak.
Sedangkan orang yang melakukan ajaran tanpa tuntunan, itulah yang akan
terhalang dari meminum dari telaga yang penuh kenikmatan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫أل‬
‫ن إ هل ل‬
‫ل‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ل‬
‫جاَ ة‬
‫حلتىَّ إ ه ل‬
‫ذا‬
‫ع‬
‫ف‬
‫ر‬
‫ي‬
‫ل‬
،
‫ض‬
‫و‬
‫ح‬
‫ل‬
‫ا‬
َّ‫لى‬
‫ع‬
‫م‬
‫ك‬
‫ط‬
‫ر‬
‫ف‬
َ‫نا‬
‫ل‬
‫ل ه‬
‫ل‬
‫م ل‬
‫ىَّ ره ل‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ل‬
‫من يك ه ي‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ي ه‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫أ لهيوي يت ل ه‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ه‬
. َّ‫حاَهبى‬
‫أ‬
‫ب‬
‫ر‬
َ‫ى‬
‫أ‬
‫ل‬
‫قو‬
‫أ‬
‫ف‬
َّ‫نى‬
‫دو‬
‫جوا‬
‫ل‬
‫ت‬
‫خ‬
‫ا‬
‫م‬
‫ه‬
‫ل‬
‫و‬
َ‫نا‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ص ل‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه ه ه‬
‫ل ه‬
‫ي‬
‫ي ل‬
‫ل‬
‫حد لهثوا ب لعيد ل ل‬
‫قو ه‬
‫ك‬
‫يل ه‬
‫ماَ أ ي‬
‫ل ل ل ت لد يهرىَ ل‬

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku
beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman)
untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata,
‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya
tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu.’
” (HR. Bukhari no. 7049). Sehingga kita patut hati-hati dengan amalan yang
tanpa dasar. Beramallah dengan ilmu dan sesuai tuntunan Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

‫ل‬
‫عل يم د ل‬
‫ح‬
‫ماَ ي ه ي‬
‫ه ب هغلي يره ه‬
‫سد ه أك يث للر ه‬
‫ف ه‬
‫صل ه ه‬
‫كاَ ل‬
‫م ل‬
‫ن ل‬
‫ن ع لب لد ل الل ل‬
‫ل‬
‫ماَ ي ه ي‬
‫م ي‬

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan
membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Amar Ma’ruf
Nahi Munkar, Ibnu Taimiyah)
Wallahu waliyyut taufiq.