Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual Per

MAKALAH BIOLOGI REPRODUKSI

Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual Perempuan
“Hak Untuk Bebas dari Penganiayaan dan Perlakuan Buruk”

Oleh
Irma Hamdayani Pasaribu

Dosen Pengampu :
Dr. dr. Edi Mustofa, Sp.OG(K)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

1

2015
BAB I
PENDAHULUAN


1.1.

Latar Belakang
Permasalahan kekerasan wanita di Indonesia dapat diibaratkan seperti

gunung es yang hanya puncaknya saja menyembul ke permukaan, namun
sebagian besar badan gunung ada di bawah permukaan laut. Pada umumnya
kekerasan pada wanita hanya dapat dikenali bila hal itu telah terjadi, dan korban
melapor. Maraknya kekerasan terhadap perempua, menjadi sangat populer dalam
beberapa tahun belakangan ini. Sangat ironis, di tengah-tengah masyarakat
modern yang dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme
yang secara teori seharusnya mampu menekan tindak kekerasan justru budaya
kekerasan semakin menjadi fenomena yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita
menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan,
kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain
yang keseluruhannya adalah wadah budaya kekerasan (Harnoko, 2010).
Tindak kekerasan tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah
nasional, tetapi sudah merupakan masalah global bahkan internasional, yang
dikenal berbagai istilah, seperti “violence against women, “gender based
violence”, “gender violence”, “domestic violence” yang korbannya adalah


2

perempuan, sementara bagi anak-anak dikenal dengan istilah, “working
children”, “street childern”. Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai
manusia, perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan manusia
lainnya dimuka bumi ini, yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak yang melekat
(inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu manusia (perempuan
dan anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar (Pasalbessy, 2010).
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan rintangan terhadap
keberhasilan pembangunan. Bagaimanapun tindak kekerasan akan berdampak
pada kurangnya rasa percaya diri, menghambat kemampuan perempuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatannya, mengurangi
otonomi, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya serta fisik. Demikian juga
dengan anak, kepercayaan pada diri sendiri dalam pertumbuhan jiwanya akan
terganggu dan dapat menghambat proses perkembangan jiwa dan masa depannya.
Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
memberikan kewajiban bagi semua pihak termasuk negara untuk melindunginya.
Pasal 71 (1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental,
dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang

berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan
perempuan (UU.No.36 Tahun2009 Tentang Kesehatan).
Data Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) yang dimuat dalam Catatan
Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2014 bersumber dari data kasus
yang ditangani dan diterima dari sejumlah 191 lembaga-lembaga pengada layanan
yang tersebar di seluruh provinsi di wilayah Indonesia atau berkisar 28% dari total
3

664 lembaga layanan yang dikirimi formulir pendataan, serta pengaduan langsung
ke Komns Perempuan. Jumlah kasus KTP 2014 sebesar 293.220 sebagian besar
dari data tersebut diperoleh dari data kasus/perkara yang ditangani oleh PA, yaitu
mencapai 280.710 kasus atau berkisar 96%. Sisanya sejumlah 12.510 kasus atau
berkisar 4% bersumber dari 191 lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang
merespon dengan mengembalikan formulir pendataan yang dikirimkan oleh
Komnas Perempuan.
Dari sumber data tersebut ditemukan bahwa penyebab perceraian yang
dari kasus yang ditangani oleh PA sebagai berikut: kekerasan psikis yang
mencapai persentase 47% mencakup: poligami tidak sehat, krisis akhlak,
cemburu, kawin paksa, kawin di bawah umur, kekejaman mental, dihukum,
politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan; kekerasan ekonomi

(46%) mencakup masalah ekonomi dan tidak tanggung jawab; kekerasan fisik
(3%) mencakup kekejaman jasmani dan cacat biologis. Meskipun data PA tidak
memunculkan kategori kekerasan seksual, namun jika dicermati lebih dalam
sejumlah kategori dapat mencakup kekerasan seksual, seperti tidak ada
keharmonisan, kawin paksa, kawin di bawah umur, poligami tidak sehat dan data
lain-lain.
Pola kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada
layanan antara lain: kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga dan relasi
personal (RP) sejumlah 8.626 (68%); kekerasan yang terjadi di ranah komunitas
sejumlah 3.860 (29%), dan kekerasan ranah negara adalah 24 kasus, di mana 1
kasus berkaitan dengan hak adopsi di Aceh, 4 kasus berkaitan dengan tes
4

keperawanan di Jawa Barat, 2 kasus kriminalisasi korban KDRT serta 17 kasus
berkaitan dengan pekerja migran di DKI Jakarta. Bentuk KDRT/RP mencakup:
kekerasan terhadap isteri (KTI, 59%), kekerasan dalam pacaran (KDP, 21%),
kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP, 10%), kekerasan mantan pacar
(KMP, 1%), kekerasan dari mantan suami (KMS, 53 kasus) dan kekerasan
terhadap pekerja rumah tangga (PRT, 23 kasus).
Sama seperti tahun sebelumnya angka kekerasan seksual adalah angka

yang menonjol terjadi di ranah komunitas. Pada tahun ini angka perkosaan,
pencabulan, pelecehan seksual dan percobaan perkosaan mencapai 56% (2.183
kasus) dari total 3.860 kasus yang dilaporkan terjadi di ranah komunitas. Kasus
perdagangan manusia (trafiking) mengalami penurunan bukan karena jumlah
kasus menurun tapi turun-nya lembaga yang mengirimkan kembali formulir
pendataan Komnas Perempuan (CATAHU, 2015).
Dalam Konferensi Perempuan sedunia pada tahun 1999, ditegaskan
kembali bahwa Hak-hak asasi perempuan adalah “mencakup hak perempuan
untuk memiliki kontrol dan keputusan secara bebas dan bertanggungjawab atas
persoalan-persoalan berkenaan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan
reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Relasi
yang sama antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan hubungan seksual
dan reproduksi, penghargaan dan persetujuan yang sama, dan saling
bertanggungjawab terhadap perilaku seksual serta konsekuensi-konsekuensinya”
(Deklarasi Beijing, Platform For Action, 1999).

5

Begitupun dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh

Pemerintah Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984. Bahwa “Diskriminasi
terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pegucilan, pembatasan yang
mempunyai tujuan atau pengaruh yang akan mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM bagi/oleh perempuan, terlepas
dari status perkawinannya”. (Pasal 1), Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
kelompok perempuan untuk memperluas pengakuan atas Hak-hak Reprodukasi
perempuan, antara lain: Memperjuangkan lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT (memasukkan kekerasan seksual dalam rumah tangga
sebagai perbuatan pidana). Perlindungan terhadap perempuan dan anak
perempuan dari praktek-praktek perdagangan orang (memasukkan eksploitasi
pelacuran dan seksual sebagai modus dan tujuan trafiking) dalam UU No. 21
Tahun 2007. Upaya amandemen UU No. 1 Tahun 1974, terutama untuk
menghapus ketentuan soal domestikasi perempuan, poligami, batas usia
perkawinan bagi anak perempuan. Serta, mendorong Revisi UU Kesehatan
dengan memasukkan bab Kesehatan Reproduksi dan telah disahkan pada tanggal
14 September 2009 (Batara, 2010).
1.2.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk-bentuk penganiayaan dan perlakuan buruk yang

terjadi pada perempuan

6

2. Bagaimana dampak dari penganiayaan dan perlakuan buruk terhadap
perempuan itu sendiri.
3. Apa saja faktor pendorong terjadinya penganiayaan dan perlakuan
buruk terhadap perempuan.
1.3

Tujuan Penulisan

1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui hak-hak kesehatan reproduksi perempuan yang salah satunya
adalah hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk

1.3.2


Tujuan Khusus
1.

Menjelaskan bentuk-bentuk penganiayaan dan perlakuan buruk yang
terjadi pada perempuan

2.

Menjelaskan dampak dari penganiayaan dan perlakuan buruk terhadap
perempuan itu sendiri.

3.

Menjelaskan faktor pendorong terjadinya penganiayaan dan perlakuan
buruk terhadap perempuan

1.4

Manfaat Penulisan makalah
Manfaat penulisan makalah ini untuk mendapatkan penjelasan dan


pemahaman mengenai hak-hak kesehatan reproduksi perempuan yang salah
satunya adalah hak untuk bebas dari penganiayaanan perlakuan buruk terhadap
perempuan.

7

BAB II
TINAJAUN PUSTAKA

2.1.

Kesehatan Reproduksi
Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik,

mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan
prosesnya.
Kesehatan reproduksi menurut ICPD (International Confren on
Population and Development, Kairo 1994) yaitu keadaan sejahtera fisik, mental

dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan,
dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta
prosesnya.
Kesehatan reproduksi berarti bahwa setiap orang dapat mempunyai
kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka
ingin melakukannya, bilamana dan berapa sering (Kumalasari, 2012).
Ruang lingkup kesehatan reproduksi secara luas meliputi :

8

1. Kesehatan bayi dan anak.
2. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi, termasuk
PMSHIV/AIDS.
3. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi.
4. Kesehatan reproduksi remaja.
5. Pencegahan dan penanganan infertilitas.
6. Kanker pada usia lanjut dan osteopororosis.
7. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi
genital, fistula, dan lain-lain.

Kesehatan reproduksi ibu dan bayi beru lahir meliputi perkembangan
berbagai organ reproduksi mulai dari sejak dalam kandungan hingga meninggal.
Permasalahan kesehatan reproduksi remaja termasuk pada saat pertama anak
perempuan mengalami haid/menarche, hingga menyngkut kehidupan remaja
memasuki masa perkawinan. Penerapan pelayanan kesehatan reproduksi oleh
Departemen Kesehatan RI dilaksanakan secara integratif memprioritaskan pada
empat komponen kesehatan reproduksi yang menjadi masalah pokok di Indonesia
yang disebut paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yaitu :
1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
2. Keluarga berencana.
3. Kesehatan reproduksi remaja.
4. Pencegahan dan penanganan infeksi saluran reproduksi, termasuk HIV/AIDS.

9

Sedangkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK)
terdiri dari PKRE ditambah kesehatan reproduksi pada usia lanjut ( Depkes RI,
2002).

2.2.

Hak Reproduksi Perempuan
Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau

tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperoleh sesuatu. Kesadaran tentang
hak sebagai manusia dan sebagai perempuan sebagai kekuatan bagi perempuan
untuk melakukan berbagai aktivitas bagi kepentingan diri, keluarga, masyarakat.
Sehat adalah tidak hanya berkaitan ketidaknyamanan fisik, tetapi juga
mental dan sosial. Ketiga aspek ini saling berhubungan satu sama lainnya dan
saling mempengaruhi, yang dapat membuat seseorang sakit atau sehat.
Reproduksi adalah menghasilkan kembali atau kemampuan perempuan untuk
menghasilkan keturunan secara berulang (Kumalasari, 2012).
Dari defenisi diatas maka makna hak kesehatan reproduksi menjadi
serangakaian kata yang memiliki visi, misi dan program, bahwa kesehatan
reproduksi menjadi dua konsep yang tidak terbatas pada persoalan medis organ
reproduksi saja. Konsep pertama adalah hak reproduksi, konsep kedua adalah
kesehatan reproduksi. Dikutip dari Implication of the ICPD 1994, bahwa yang
dimaksud ruang lingkup kesehatan reproduksi adalah:
1. Kesejahteraan fisik mental dan sosial yang utuh

10

2. Segala yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya
3. Mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman
4. Mempunyai kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan
apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan berapa seringkah
5. Mempunyai akses terhadap cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif,
terjangkau dan dapat diterima yang menjadi pilihan mereka dan metode yang
mereka pilih
6. Hak untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang tepat, yang
memungkinkan para wanita selamat menjalani kehamilannya dan melahirkan
anak
7. Memberikan kesempatan terbaik kepada pasangan untuk memiliki bayi yang
sehat.
Dengan kata lain kesehatan reproduksi adalah sekumpulan metode teknik,
dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui
pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi yang mencakup
kesehatan seksual, status kehidupan dan hubungan perorangan, bukan semata
konsultasi dan perawatan yang bertalian dengan reproduksi penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seks. Definisi hak-hak reproduksi secara spesifik
dapat dijabarkan sebagi berikut :
1. Hak reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui
dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak asasi internasional.

11

2. Hak-hak yang didasarkan pengakuan hak asasi semua pasangan dan pribadi
untuk menentukn secara bebas dan bertanggungjawab mengenai jumlah anaka
dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka.
3. Mempunyai informasi dan cara untuk memperoleh anak dan hak untuk
mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi.
4. Hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas
diskriminasi, paksaan dan kekesarasan.
5. Memperhitungkan kebutuhan hidup dari anak-anak mereka yang sekarang dan
masa mendatang serta tanggungjawab mereka terhadap masyarakat.
6. Hak-hak ini harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan masyarakat di
bidang kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana.
Hak-hak reproduksi merupakan hak pria dan wanita untuk memperoleh
informasi dan mempunyai akses terhadap berbagai metode keluarga berencana
yang mereka pilih, aman, efektif, terjangkau, serta metode-metode pengendalian
kelahiran lainnya yang mereka pilih dan tidak bertentangan dengan hukum serta
perundangundangan yang berlaku. Hak-hak ini mencakup, hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang memadai sehingga para wanita mengalami kehamilan
dan proses melahirkan anak secara aman, serta memberikan kesempatan bagi para
pasangan untuk memiliki bayi yang sehat (Pasalbessy, 2010).
Tujuan kesehatan dan hak reproduksi adalah sebagai berikut :
1. Untuk memastikan informasi yang menyeluruh dan faktual serta beragam
tentang pelayanan pemeliharaan kesehatan reproduksi tersedia, terjangkau, dan
dapat diterima serta cocok untuk sesuai pemakai.

12

2. Untuk memungkinkan dan mendukung keputusan sukarela dan bertanggung
jawab dalam hal kehamilan dan metode keluarga berencana pilhan mereka dan
metode lain pilihan mereka dalam hal pengaturan kesuburan yang tidak
bertentangan dengan hukum serta mempunyai informasi, pendidikan dan cara
memperolehnya.
3. Unutk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kesehatan reproduksi yang mengalami
perubahan sepanjang siklus hidup daan melakukan hal itu dengan cara yang
peka terhadap keanekaragaman keadaan masyarakat setempat (Mariana
Amiruddin, 2003)

2.3.

Hak-hak Kesehatan reproduksi Perempuan berdasarkan konvensi
Internasional, Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan di
Indonesia
Hak reproduksi sebagai bagian dari hak asasi manusia dijamin dalam

beberapa perjanjian internasional seperti termuat dalam The convention on the
elimination all forms of discrimination againt woment (CEDAWI), ICPD ke 4 di
Kairo dan konfrensi ke 4 tentang perempuan di Beijing 1995. Hak-hak tersebut
meliputi :
1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

13

6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk
perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.
8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi.
9. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan
berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Tindak lanjut dari hasil konvensi Kairo adalah terbentuknya Paket
Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) oleh Departemen Kesehatan RI (2002),
adapun pemahaman hak reproduksi menurut PKRE adalah:
1. Setiap orang berhak mendapatkan standar pelayanan kesehatan reproduksi
yang terbaik
2. Setiap orang, perempuan atau laki-laki (sebagai pasangan atau sebagai
individu) berhak memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang
seksualitas, reproduksi dan manfaat serta efek samping obat-obatan, alat dan
tindakan medis yang digunakan untuk pelayanan dan atau mengatasi masalah
kesehatan reproduksi.

14

3. Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan KB yang aman,
efektif, terjangkau, dapat diterima sesuai dengan pilihan tanpa paksaan dan
melawan hukum
4. Setiap

perempuan

berhak

memperoleh

pelayanan

kesehatan

yang

dibutuhkannya yang memungkinkan sehat dan selamat dalam menjalani
kehamilan dan persalinan, serta memperoleh bayi yang sehat
5. Setiap anggota pasangan suami-istri berhak memiliki hubungan yang didasari
penghargaan terhadap pasangan masing-masing dan dilakukan dalam situasi
dan kondisi yang diinginkan bersama, tanpa unsur pemaksaan, ancaman dan
kekerasan
6. Setiap remaja, laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh informasi
yang tepat dan benar tentang reproduksi, sehingga dapat berperilaku sehat
dalam menjalani kehidupan seksual yang bertanggung jawab
7. Setiap perempuan dan laki-laki berhak mendapatkan informasi dengan mudah,
lengkap dan akurat mengenai infeksi menular seksual, termasuk HIV/AIDS

2.3.1. Landasan Tindakan Jenewa, Beijing
Para perempuan yang memiliki perhatian terhadap persoalan bangsa, sejak
awal aktif terlibat pada pembentukan PBB, mempunyai tujuan untuk mencegah
terjadinya perang serta memperjuangkan adanya perdamaian dan keamanan.
Selain itu mereka juga sangat berkepentingan untuk memajukan ekonomi,
melindungi HAM dari individu, dan tidak membedakan ras, jenis kelamin,
kebangsaan dan agama (Amiruddin, 2003)

15

2.3.2. Konverensi Internasional tentang Perempuan di Mexico City -Beijing
Konverensi Internasional kedua diselenggarakan di Kopenhagen tahun
1980, dengan tema konperensi membahas tentang ”pekerjaan, kesehatan dan
pendidikan. Hingga diadopsi dalam ”Konvensi Perempuan” sebagai dokumen
internasional terpenting yang dapat diratifikasi oleh negara anggota PBB untuk
menciptakan kesetaraan perempuan. Konvensi ini memuat kesamaan hukum
bagi perempuan sebagai warga negara dan diakuinya hak-hak perempuan dalam
lingkup domestik dan dalam lingkungan keluarga. Konvensi ini juga
menghasilkan Copenhagen Programme for Action yang difokuskan

untuk

mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan melalui peningkatan
pendidikan, pelayanan kesehatan, akses pada pasar tenaga kerja dan mendukung
peran perempuan di bidang pertanian.

2.3.3. Konferensi ketiga di Nairobi tahun 1985
Dengan

tema

”Equality,

Defelopment

and

Peace”.

Hasilnya

adalah Nairobi Forward Looking Strategies for the year 2000. Dalam dokumen
tersebut masih menyoroti fakta bahwa masih terdapat ketidaksetaraan antara lakilaki dan perempuan terutama di negara berkembang dan kemiskinan massal
(poverty mass) dan keterbelakangan yang dihadapi sebagian besar perempuan di
dunia. Diidentifikasi bahwa “gender differences” merupakan faktor yang
menyebabkan terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan (Purnama,
2006).

16

2.3.4. Konverensi Internasional keempat tentang perempuan di Beijing
tahun 1995
Hasil konverensi internasional keempat di Beijing adalah penegasan
secara global mengenai peran sentral dari HAM untuk perjuangan ke arah
persamaan/kesetaraan gender. Platfform for Action dan 12 Areas of concer yang
menjadi kesepakatan adalah :
1.

Perempuan dan kemiskinan

2.

Perempuan dan pendidikan serta pelatihan

3.

Perempuan dan kesehatan

4.

Kekerasan terhadap perempuan

5.

Perempuan dalam konflik bersenjata

6.

Ketimpangan ekonomi

7.

Perempuan dan Politik dan Pengambilan Keputusan

8.

HAM perempuan

9.

Mekanisme institusional

10. Perempuan dalam Media
11. Perempuan dan lingkungan hidup
12. Hak anak perempuan (Purnama, 2006)
Untuk mewujudkan keinginan persamaan hak dan martabat manusia yang
menjadi sifat laki-laki dan perempuan serta tujuan dan prinsip-psrinsip lainnya
dimuat dalam Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa salah satunya adalah konvensi
tentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the
Elimination of all forms of Diskrimination Againts Women/ CEDAW).

17

2.4. Hak untuk Bebas dari Penganiayaan dan Perlakuan Buruk
2.4.1. Pengertian Tindakan kekerasan/penganiayaan Perempuan
Secara etimologis, difinisi kekerasan dibagi dalam dua kategori. Pertama,
secara sempit kekerasan adalah perbuatan yang berupa pemukulan, penganiayaan
yang menyebabkan matinya atau cederanya seseorang (kekerasan fisik). Kedua,
kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi dapat dilihat dari segi akibat
dan pengaruhnya pada si korban. Kekerasan yang berdampak pada jiwa
seseorang, seperti kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah
kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental
atau otak (Arvia, 2009)
Sedangkan Fakih, 2000 dengan bahasa yang sederhan menyatakan bahwa,
kekerasan (violence) secara umum dapat diartikan sebagai suatu serangan
terhadap fisik dan psikis serta integritas mental seorang.
Menurut Batara, 2010 kekerasan adalah suatu kondisi sedemikian rupa
sehingaga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang berkaitan atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik,
seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan
kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan
rumah tangga (Depkes RI, 2006). Sedangkan kekerasan berbasis gender adalah

18

kekerasan yang terjadi karena keyakinan gender, yang mendudukan kaum
perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Pada tahun 1993 Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang
kekerasan terhadap perempuan yang telah dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi
Status Perempuan PBB, di mana dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “kekerasan
terhadap perempuan mencakup setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan
kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau
penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikhis, termasuk
ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara
sewenangwenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik
maupun privat. (Pasalbessy, 2010)
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan
yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan
penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik
perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya
ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung kebebasan
perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam
lingkungan keluarga atau masyarakat.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bagian dari
kekerasan terhadap perempuan. Menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004,
yanhg dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan

19

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu
bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik
pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik
maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat
(Harnoko,2010)

2.4.2. Bentuk-Bentuk Kekesarasan Terhadap Perempuan
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang terdapat
dalam pasal 2 UDHR (Universal Declaration of Human Rights), meliputi:
pertama, kekerasan fisik, seksual dan psikologis dalam keluarga termasuk
kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan,
pengrusakan alat kelamin, dan ekploitasi; kedua, kekerasan fisik seksual dan
psiologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk pemerkosaan,
penyalahgunaan, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja dan lembagalembaga pendidikan, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa dan ; ketiga,
kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan dan/ atau dibenarkan oleh
negara (Prayudi, 2008)
Fakih mengelompokan bentuk kekerasan terhadap perempuan antara lain:
pertama, pemerkosaan terhadap perempuan termasuk dalam perkawinan.
Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan

20

pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Misalnya ketakutan, malu,
depresi dan lain lain; kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi
di dalam rumah tangga termasuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak;
ketiga, bentuk penyiksaan terhadaap organ alat kelamin (genital mutilation)
misalnya, sunat perempuan dengan alasan mengontrol seks perempuan; keempat,
kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran adalah bentuk kekerasan yang
diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan;
kelima, pornografi. Perempuan dijadikan objek demi keuntungan; keenam,
kekerasan dalam bentuk sterilisasi KB, demi “mulus” target kontrol pertumbuhan
penduduk; ketujuh, kekerasan di tempat kerja dan; kedelapan, pelecehan seksual
atau sexual and emotional harassment (Fakih, 2000)
Sedangkan Guse, 2008 mengelompokkan bentuk kekerasan dalam 3
kelompok yaitu:
1. KDRT yaitu kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri baik fisik,
ekonomi dan psikologis; perbedaan perlakuan anak laki-laki dan perempuan,
kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki terhadap anggota
keluarga perempuan.
2. Kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Biasanya sering terjadi pada pekerja
perempuan. Misalnya, colekan iseng pada organ seksual perempuan;
pembicaraan yang mengarah pada pornografi, ajakan tidak senonoh. Pelaku
biasanya atasan dan teman kerja laki-laki;
3. Kekerasan dan pelecehan di tempat keramaian, mencolek dan rayuan gombal,

21

4. Kekerasan media. Kekerasan ini terjadi misalnya pampangan gambar seksi
para perempuan sebagai pemanis dan penarik sajian berita.
Menurut Sofiani, 2008 bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
digolongkan antara lain:
1. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masyarakat yaitu
perdagangan

perempuan

(Trafficking),

pelecehan

seksual

di

tempat

kerja/umum, pelanggaran hak-hak repdoduksi, perkosaan, pencabulan,
kebijakan/Perda yang diskriminatif/represif, aturan dan praktek yang merampas
kemerdekaan perempuan di lingkungan masyarakat;
2. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dilingkungan rumah tangga
antara lain kerasan fisik, psikis dan seksual, pelanggaran hak-hak reproduksi,
penelantaran ekonomi kekeluarga, Incest, kekerasan terhadap pekerja rumah
tangga, ingkar janji/kekerasan dalam pacaran, pemaksaan aborsi oleh
pasangan, kejahatan perkawinan (Poligami tanpa izin) atau kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT).
2.4.3. Jenis-Jenis Tindakan Kekerasan Pada Perempuan
Jenis- jenis kekerasan terhadap perempuan menurut Fakih, 2000 dapat
terjadi dalam bentuk:
1.

Tindak kekerasan fisik: yaitu tindakan yang bertujuan untuk melukai,
menyiksa atau menganiaya orang lain, dengan menggunakan anggota tubuh
pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lain. Bentuk kekerasan fisik yang
dialami perempuan, antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan,
mendorong secara kasar, penginjakan, penendangan, pencekikan, pelemparan

22

benda keras, penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti : pisau, gunting,
setrika serta pembakaran. Tindakan tersebut mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit dan luka berat bahkan sampai meninggat dunia
2.

Tindak kekerasan psikologis: yaitu tindakan yang bertujuan merendahkan
citra seorang perempuan, baik metalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan
menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman) yang
menekan emosi perempuan. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kernampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

3.

Tindak kekerasan seksual: yaitu kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk
berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang
disebut pelecehan seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan
seksual yang disebut sebagai perkosaan. Tindakan kekerasan ini bisa
diklasifikasikan dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikologis. Tindak
kekerasan seksual meliputi: a) Pemaksaan hubungan seksual (perkosaan)
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut : Perkosaan ialah hubungan seksual yang terjadi tanpa dikehendaki
oleh korban. Seseorang laki-laki menaruh penis, jari atau benda apapun ke
dalam vagina, anus, atau mulut atau tubuh perempuan tanpa sekendak
perempuan itu ; b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
anggota dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu dan ; c) Pelecehan seksual adalah segala
macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara

23

sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran. Pelecehan
seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja, di
kampus/sekolah, di pesta, tempat rapat, dan tempat urnum lainnya. Pelaku
pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja;
4.

Tindak kekerasan ekonomi: yaitu dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana
tidak diberi nafkah secara rutin atau dalarn jumlah yang cukup, membatasi
dan/ atau metarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah,
sehingga korban di bawah kendati orang tersebut.
Dalam kaitannya dengan hukum (pidana), jika terjadi tindak kekerasan

terhadap perempuan dan anak, maka terminologinya tidak boleh samar. Ini
dimaksudkan agar tidak timbul “multiintepretasi” yang pada gilirannya dapat
menimbulkan kesulitan baik pada masyarakat maupun penegak hukum.
KUHP Indonesia misalnya, hanya merumuskan kekerasan sebagai perbuatan
membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89). Jelaslah bahwa perumusan
ini membatasi perilaku kekerasan pada perilaku fisik belaka, padahal bila dilihat
dari kenyataan di dalam masyarakat tindak kekerasan dapat meliputi pula : (a)
fisik; (b) seksual; (c) psikologis; (d) politis; dan (e) ekonomi. Selanjutnya KUHP
merumuskan beberapa tingkah laku kekerasasn yang korbannya adalah
perempuan dan anak, seperti : (a) pornografi (Pasal 282 dst); (b) perkosaan (Pasal
285 dst); (c) perbuatan cabul (Pasal 290 dst); (d) perdagangan wanita (Pasal 297);
(e) penculikan (Pasal 328); (f) penganiayaan (Pasal 351 dst); (g) pembunuhan
(Pasal 338) dan; (h) perampokan (Pasal 363). Perilaku kekerasan di atas
sebahagian besar merupakan kekerasan fisik, kecuali pornografi, di mana

24

ancaman pidananya berkisar antara 1 tahun pidana penjara hingga pidana mati.
Dari sekian banyak ketentuan tentang kekerasan, hanya sedikit saja yang
menyebutkan jenis kelamin korban perempuan. Pasal yang secara eksplisit
menyebutkannya antara lain, Pasal 285 KUHP tentang perkosaan dan Pasal 297
KUHP tentang perdagangan perempuan (Pasalbessy, 2010)
Sama halnya dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, perilaku
kekerasan sebagaimana dikemukakan di atas juga memiliki pengertian yang sama
dengan anak, karena pengertian tersebut bersifat multidimensi, mulai dari yang
bersifat struktural dan sistematik hingga kekerasan karena perang, perselisihan
komunal, perpecahan keluarga dan kekerasan interpersonal. Tindak kekerasan
mana secara hakiki berakar pada apa yang dinamakan penyalahgunaan,
penelantaraan dan eksploitasi anak, di mana pelakunya bisa saja negara, sektor
swasta, personal petugas hukum, keluarga atau perorangan (Sudiarti, 2000)

2.4.4. Perempuan dan Anak Sebagai Korban Tindak Kekerasan
Perempuan dan anak sebagai korban tindak kekerasan bukan merupakan
fenomena baru, sejarah mengungkapkan praktek-praktek masa lalu yang
mengorbankan perempuan, baik dewasa (pengorban depan altar) maupun korban
anak-anak (pembunuhan bayi berjenis kelamin perempuan). Cerita tentang korban
tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang sedikit sekali
ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada, karena itu jarang terungkap
bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui tindak kekerasan diajukan ke
peradilan pidana. Masalahnya mungkin pada persepsi masyarakat, baik secara

25

keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang
dialaminya adalah lebih baik untuk disembunyikan saja. Ini tentu ada kaitannya
dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarrakat mengenai kedudukan
perempuan selama ini dalam masyarakat. Kalangan perempuan terkadang
menyembunyikan viktimisasi terhadap dirinya karena berbagai alasan, namun
yang utama adalah karena mereka tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau
mungkin akan mencoreng harga sendiri, terlepas dari ada tidaknya konstribusi
perempuan terhadap tindak kekerasan yang dialaminya.
Sebagai akibat persepsi semacam ini, media massa juga terkadang juga
terkadang melakukan hal yang sama, sehingga terjadi apa yang disebut dengan
“selctive inattention”, yakni memilih berita tertentu untuk dijadikan informasi
bagi konsumsi masyarakat. Ekspose semacam ini setidaknya melahirkan proses
viktimisasi terhadap perempuan dan anak yang pada umumnya difokuskan pada :
(a) tindak kekerasan seksual; (b) tindak kekerasan yang menimbulkan luka berat;
dan (c) tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian (Sudiarti, 2000).
2.4.5. Penyebab Terjadinya Tindakan Kekerasan Pada Perempuan
Tindak kekerasan terhadap perempuan terjadi dikarenakan keyakinan
dalam masyarakat adanya budaya dominasi, dimana laki-laki adalah superior dan
perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan
mengontrol perempuan. Hal ini juga menjadikan perempuan tersubordinasi
bahkan termarginalisasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap
stereotipi jender yang tersosialisasi dalam masyarakat kita yang menganggap
bahwa perempuan lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Upaya
26

domestikasi perempuan secara sistematis oleh negara berdasarkan ideologi gender
dalam kebijakan-kebijakan negara berdampak lebih jauh pada peminggiran
terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya, juga
menimbulkan subordinasi, eksploitasi dan privatisasi kekerasan terhadap
perempuan.
Dalam konteks yang lebih sempit, kecenderungan tindak kekerasan dalam
rumah tangga terjadi karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana
istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja.
Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu,
istri harus nurut kata suami. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri,
ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat
tidak boleh ikut campur (Harkristuti, 2000).
Menurut Arvia 2009, ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan
dipandang dari berbagai aspek, yaitu:
1. Terkait dengan struktur sosial-budaya/politik/ekonomi/ hukum/agama, yaitu
pada sistim masyarakat yang menganut patriarki, dimana garis ayah dianggap
dominan, laki-laki ditempatkan pada kedudukan yang tebih tinggi dari wanita,
dianggap sebagai pihak yang lebih berkuasa. Keadaan ini menyebabkan
perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, seperti: sering tidak
diberi hak atas warisan, dibatasi peluang bersekolah, direnggut hak untuk kerja
di luar rumah, dipaksa kawin muda, kelemahan aturan hukum yang ada yang
seringkali merugikan perempuan. Terkait dengan nilai budaya, yaitu keyakinan,

27

stereotipe tentang posisi, peran dan nilai laki-laki dan perempuan, seperti
adanya perjodohan paksa, poligami, perceraian sewenang-wenang.
2. Terkait dengan kondisi situasional yang memudahkan, seperti terisotasi,
kondisi konflik dan perang. Dalam situasi semacam ini sering terjadi
perempuan sebagai korban, misaInya dalam lokasi pengungsian rentan
kekerasan seksual, perkosaan. Dalam kondisi kemiskinan perempuan mudah
terjebak pada pelacuran. Sebagai imptikasi maraknya teknologi informasi,
perempuan

terjebak

pada

kasus

pelecehan

perdagangan.

28

seksual,

pornografi

dan

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.

Kesimpulan
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena faktor

dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua
dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi
pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami. Kultur di
masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah
tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.
Upaya untuk mencegah dan atau menanggulangi berbagai perilaku
kekerasan yang dialami perempuan dan anak sudah seharusnya mendapat
perhatian dan penanganan yang serius. Oleh karena itu, di balik tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam ranah apapun, yang menjadi penyebab utamanya
adalah ketimpangan historis dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan
oleh kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka, yang telah melembaga
dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat melalui penempatan posisi laki-laki
sebagai pemegang otoritas dalam segala relasi antar manusia baik dalam ruang
publik maupun domestik, bahkan dalam ruang-ruang ekonomi, politik maupun
agama.

29

4.2. Saran
1. Pendekatan dalam penanganan masalah kekerasan pada perempuan harus
bersifat terpadu (integrated), di mana selain pendekatan hukum juga harus
mempertimbangkan pendekatan non hukum yang justru merupakan penyebab
terjadinya kekerasan.
2. Meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam
hukum, meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk
mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan
kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan
terhadap perempuan maupun anak, memberikan bantuan dan konseling
terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
3. Melakukan pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna
menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bagi anak-anak
diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi maupun hukum.
4. Disamping itu bantuan media massa dan elektronik untuk lebih memperhatikan
masalah

tindak

kekerasan

terhadap

perempuan

dan

anak

dalam

pemberitaannya, termasuk memberi pendidikan publik tentang hak-hak asasi
perempuan dan anak-anak.

30

DAFTAR PUSTAKA

Arvia, Gadis, 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Perempuan. Jakarta
Batara, Ratna. 2010. Mewujudkan Hak Perempuan atas Kesehatan Reproduksi
dan Seksual Sebagai HAM. Jakarta: The Asia Foundation.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Upaya menurunkan angka kematian ibu.
Jakarta : Departemen Kesehatan.
Fakih, Mansour. 2000. Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren. Jakarta: Grasindo.
Harkristuti, Harkrisnowo. 2000. Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap
Perempuan. Bandung: Alumni.
Harnoko, Rudi. 2010. Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam
jurnal.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2015. Catatan Tahunan
Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta.
Kumalasari, Intan. 2012. Kesehatan Reproduksi. Salemba Medika: Jakarta.
Mariana, Amiruddin. 2003. Kesehatan dan hak reproduksi perempuan. Yayasan
Jurnal Perempuan dan Japan Foundation Indonesia
Pasalbessy, J. 2010. Dampak Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak
Serta Solusinya. Jurnal Sasi Vol.16. No.3
Prayudi Guse, 2008.

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Yogyakarta: Merkid Press.
Purnama. 2006. Apa kabar perempuan daerah? Jurnal Perempuan No 17. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan,
Sofiani, Triana. 2008. Agama dan Kekerasan Berbasis Gender, dalam Jurnal
Penelitian vol. 5 No. 2

31

Sudiarti, Achie,

2000. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita.

Bandung: Alumni.
UU.No.36 Tahun2009 Tentang Kesehatan

32