STATUS KEMERDEKAAN TIMOR TIMUR DARI INDO

PAPER HUKUM INTERNASIONAL

STATUS KEMERDEKAAN TIMOR-TIMUR DARI INDONESIA
DILIHAT DARI SUDUT HUKUM INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH :
1.

Muhammad Rezza
( 8111412006 )
Silvia Kumalasari

2.
( 8111412028 )
3. Hans Gilang Bagus Satria
4. Retna Widya Sari
5. Rizqi Imam Aulia L H
6. Dewi Kurnia Putri
7. Hana Pratiwi Firdaus
8. Lilis Prasetyowati
9. Mohammad Baskoro

10. Daniel Lawrence C S
11. Pitrawati
12. Rizki Riolita

( 8111409017 )
( 8111409033 )
( 8111409069 )
( 8111409234 )
( 8111410087 )
( 8111410153 )
( 8111410175 )
( 8111410210 )
( 8111412014 )
( 8111412018 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
Masalah pelepasan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi negara baru Republica Democratia de Timor Leste (RDTL) membawa permasalahan

baru dalam bidang kewarganegaraan. Negara Timor Leste dulunya merupakan bagian dari
wilayah Negara Indonesia, sebagai propinsi termuda. Masuknya Timor Timur ke dalam Negara

Republik Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pengesahan
Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP
No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur
serta dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan penyatuan
wilayah Timor Timur yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan
RI. Proses integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30
November 1975. Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim bagi
pemerintah Indonesia.
Namun dengan adanya penyatuan ini, tidak berarti semuanya akan terlaksana dengan
baik. Status Timor Timur selalu dipermasalahkan, sehingga Sekjend PBB selalu memprakarsai
untuk mengadakan pembicaraan bertiga (tripartie talks) yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri
Indonesia dan Menteri Luar Negeri Portugal dalam mencari suatu penyelesaian masalah di Timor
Timur secara adil, menyeluruh dan diterima secara internasional. Namun dalam forum tersebut,
tidak banyak diperoleh kemajuan karena masing-masing pihak bersikeras mempertahankan
sikapnya masing-masing.
Indonesia di satu pihak telah menolak pembicaraan di forum itu dengan mengaitkan
resolusi-resolusi tentang Timor Timur yang ada. Di lain pihak, Portugal selalu menekankan

perlunya segera dilaksanakan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi warga negara
Timor Timur.Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1998. Negara
Indonesia mengalami gejolak sosial politik yang menyebabkan Presiden Soeharto turun dari
kursi kepresidenannya setelah selama 32 tahun menguasai negeri ini. Habibie yang pada saat itu
menjabat sebagai wakil presiden diangkat secara sepihak oleh Soeharto untuk meneruskan
jabatan presiden RI dimasa transisi dan penuh kritis itu.
Terjadinya kemerdekaan pada tahun 1999 menandakan bahwa Timor-Timur adalah salah
satu propinsi ke 27, yang memilih untuk memisahkan diri dari negara NKRI, dikarenakan
kekerasan, penindasan, dan hak asasi manusia yang di lakukan oleh tentara Indonesia yaitu TNI
dan milisi. Salah satu unsur kekerasan yang di lakukan oleh pemerintahan yang berkuasa pada
waktu itu adalah dengan menggalang masa pro-otonomi yaitu milisi sebanyak-banyaknya,
sehingga menyebabkan terjadinya hak asasi manusia yang tidak terelakan, itu adalah salah satu
dari bentuk kesetiaan mereka terhadap Indonesia. Pada saat presiden Habibie mengumumkan
pada rakyat Timor-Timur dengan dua opsi yaitu otonomi dan referendum, dari situlah muncul

babak baru yaitu munculnya kelompok milisi yang di motori oleh Eurico Guteres Komandan
Aitarak dan sekaligus Wakil Panglima Pasukan Integrasi (PPI) dan sebagian pemimpin lainya,
untuk melakukan tekanan demi tekanan pada rakyat agar memilih bergabung bersama Indonesia,
dan mereka juga yang menjadi pelaku utama hak asasi manusia.
Inti dari krisis 1999 sesungguhnya adalah masalah status politik Timor Timur. Setelah

lama menjadi jajahan Portugal, Timor Timur di serbu dan akhirnya diambil oleh negara
tetangganya, Indonesia, pada 1975. Selama 24 tahun politik wilayah itu menjadi sengketa, baik
di Timor Timur sendiri maupun secara internasional. Walaupun sejumlah negara mengakui
kedaulatan indonesia atas wilayah tersebut, PBB tidak pernah mengakuinya, bagi PBB, Portugal
tetap menyandang status formal sebagai penguasa administratif wilayah tersebut.
Masalah Timor Timur adalah masalah yang sangat serius di bicarakan di dunia
internasional di karenakan pelangaran HAM yang di lakukan oleh tentara Indonesia pada rakyat
sipil dan juga milisi yang pro terhadap Indonesia juga turut serta dalam kekerasan tersebut, hal
ini terus berlanjut sampai pada titik di mana turunya Soeharto dari jabatan kepresidenan, dan di
gantikan oleh B.J. Habibie.
Salah satu kebijakan politis Habibie yang sangat kontroversial dan fenomenal pada
waktu itu adalah memberikan dua opsi atau pilihan kepada rakyat Timor Timur yakni referendum
atau otonomi khusus.Rakyat Timor Timur memilih jalan referendum untuk menentukan nasib
masa depan mereka. Maka pada tanggal 30 Agustus 1999, Misi PBB UNAMET (United Nation
Mission for East Timor) mengadakan jajak pendapat (referendum), dengan opsi tetap bergabung
dengan Indonesia atau memilih lepas dari Indonesia.
Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai negara lain, wewenang
Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai aspek kehidupan kecuali aspek
pertahanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal. Wewenang pemberian otonomi luas terhadap
masyarakat Timor Timur ini jika dilihat dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas

daripada kebebasan yang diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam mengatur
kehidupan masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah mengingat Timor Timur
memiliki kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih
bersifat khusus. Akan tetapi semua perkembangan mengenai otonomi tersebut mengalami
perubahan karena pada saat Pemerintah Republik Indonesia dan Portugal sedang melanjutkan
pembicaraan berkaitan dengan tawaran otonomi luas bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie

mengajukan Opsi II pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika rakyat Timor
Timur menolak Opsi I tentang pemberian otonomi luas maka Pemerintah Republik Indonesia
akan memberikan kewenangannya kepada MPR hasil pemilu bulan Juni 1999 untuk memutuskan
kemungkinan melepaskan wilayah tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
secara terhormat, baik-baik, dan damai, serta secara konstitusional.
Hasil referendum yang melibatkan PBB dan beberapa negara asing seperti Amerika
Serikat dan Australia, lebih dari 70% peserta referendum menentukan pilihan: Timor Timur harus
memisahkan diri dari negara RI dan mendirikan negara yang merdeka dan mempunyai
kedaulatan sendiri. Maka berdirilah negara baru di abad 21 ini, yakni “Negara Republica
Democratia de Timor Leste). Pada bulan Mei 2002 Timor Leste resmi menjadi negara anggota
PBB.Berdirinya negara baru Timor Leste didasarkan atas hak self-determination. Interpretasinya,
mereka telah menentukan politiknya secara bebas, termasuk kesadaran dan pengetahuan akan
perubahan status kewarganegaraan. Hak ini sepatutnya dihormati karena semua bangsa

mempunyai hak untuk menentukan nasib dan status politiknya sendiri. Kemerdekaan Timor
Leste ini jelas mempengaruhi status kewarganegaraan penduduk Timor Timur.
Terkait dengan terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian
membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Terdapat dua
pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar. Indonesia
menganggap Timor Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah
Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari
Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu. Pandangan kedua
dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah
tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor
Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian
kedaulatan”.
Berbicara mengenai “Suksesi Negara” tentu kita tidak terlepas dari kajian tentang
Hukum Internasional. Suksesi negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara
kepada negara lain, sebagai akibat adanya pergantian negara. Masalah suksesi negara merupakan
objek pengkajian klasik HI-Publik, namun sampai saat ini belum ada ketentuan HI positif yang
mengaturnya, adanya Konvensi Wina 1983 pun hanya beberapa negara saja yang
meratifikasinya.

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI merupakan masalah suksesi negara. Dua

masalah yang menjadi pokok, yakni masalah status aset pemerintah RI di wilayah Timor Leste
dan status Perjanjian Timor Gap merupakan sebagian kecil saja masalah yang timbul dari
terlepasnya Timor Timur dari RI, dengan demikian maka dapat diambil beberapa poin
kesimpulan, yaitu:
1. Perbedaan pandangan mengenai status kemerdekaan Timor Leste. Timor-Timur yang
menganggap tahun kemerdekaannya adalah 1975, bukan 1999 ketika berpisah dari
Indonesia. Demikian pula PBB dan negara-negara lain yang menyatakan kasus TimorTimur bukanlah suatu suksesi negara melainkan tindakan pendudukan dengan kekerasan
terhadap wilayah Timor Timur. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Indonesia yang
2.

menganggap telah terjadi suksesi negara.
Tidak hanya mengenai status kemerdekaan yang berbeda, diantaranya masalah aset
negara. Masalah aset negara Indonesia, menurut RI aset yang ada di Timor-Timur tidak
secara otomatis beralih, tetapi harus mengikuti hukum Internasional yang berlaku.
Menurut Timor Leste, bahwa klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara RI
memiliki dasar yang cukup kuat. aset tersebut adalah milik mereka sesuai dengan
konstitusinya. Pendapat Timor Leste dikuatkan oleh Konvensi Wina 1983, namun
Indonesia sendiri tidak meratifikasinya, dan konstitusi nasional Timor Leste tentu tidak

mengikat Indonesia.

3. Untuk perjanjian Timor Gap antara Indonesia dan Australia, mengenai batas wilayah juga
menjadi permasalahan tersendiri, karena belum adanya keputusan akhir tentang kasus
tersebut, maka dibuat keputusan sementara. Namun kemudian sejak kemerdekaan Timor
Leste, maka perjanjian tersebut telah resmi diakhiri oleh kedua negara dengan
penandantangan Exchange of Letters tanggal 1 Juni 2000, berlaku pada hari yang sama.
4. Masalah Timor-Timur ini merupakan masalah suksesi negara berdasarkan fakta-fakta
yang ada, dikuatkan juga dengan adanya TAP MPR No. VI/MPR/1976 tentang integrasi
Timor Timur ke dalam wilayah RI, dicabut dengan TAP MPR No V/MPR/1999.
Hukum internasional mengakui (“recognized”) hak untuk menentukan sendiri (“right to
self-determination”) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua
bangsa (“peoples”) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya.” Namun, dalam konteks hukum internasional, kemerdekaan sebagai wujud

dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi,
politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi/kekuasaan
asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa
(“peoples”) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam
penjajahan dan dominasi asing. Menurut hukum internasional negara mempunyai hak untuk
menumpas setiap gerakan separatisme dengan pembatasan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
hukum internasional, khususnya hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional.


Sumber :
F. Sugeng Istianto, Hukum International, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994.
Sumaryo Suryo Kusumo, Hak Penentuan Nasib Sendiri Sesuatu Bangsa dalam Kerangka Fungsi
Hukum di dalam Hubungan Antar Bangsa.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional edisi sepuluh, Sinar Grafika, Jakarta , 2012.
http//www.google.com/”Timor Timur dan Konflik Internal Indonesia”.diakses pada tanggal 13
November 2013
http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeriri/.Devania Annesya, Masalah Timor Timur dan Politik Luar Negeri RI.