Estetika Sastra Sastrawan dan Negara
ESTETIKA SASTRA:
Keindahan Menyelinap, Merayap, lalu Mengendap
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tahun
Ukuran
Tebal
: ESTETIKA: Sastra, Sastrawan, dan Negara
: Puji Santosa dan Suroso
: Pararaton Publishing, Yogyakarta
: 2010
: 16 x 24 Cm
: xi + 310 halaman
Konsep Etetika Sastra: Keindahan Menyelinap, Merayap, lalu Mengendap digali
dari proses kreatif dan wawasan estetik penyair Dodong Djiwapradja. Didorong
oleh semangat nasionalisme yang kuat dan tinggi pada diri Dodong Djiwapradja
untuk menghargai karya seni, khususnya sastra, maka lahirlah konsep estetika
sastra tersebut. Dodong adalah seorang ahli hukum militer yang berpendidikan
1
dan berdinas di militer bertahun-tahun dengan disiplin yang ketat sebagai anggota
Angkatan Udara Republik Indonesia hingga pensiun (1976). Namun, Dodong tetap
pada pendiriannya, memilih, mencintai, dan menghargai karya sastra sebagai
upaya penyaluran aspirasi estetisnya. Dengan bekal disiplin ilmu seperti itu
seharusnya Dodong menjadi seorang pengacara yang gigih membela hak-hak
kebenaran anggota militer ketika berada di muka sidang pengadilan. Semangat
hidup dan perjuangan Dodong Djiwapradja justru disalurkan melalui karya sastra.
Menulis sajak ketika masih berusia muda, yaitu sewaktu duduk di sekolah lanjutan
atas. Melalui sajak-sajaknya itu Dodong berusaha mengekspresikan rasa
kecintaannya kepada tanah air, nusa, bangsa, masyarakat, rakyat, dan juga
negara Republik Indonesia. Meskipun Dodong pernah berkali-kali melawat ke luar
negeri, tidak satu pun sajaknya yang menggambarkan keagungan negara lain.
Semua sajaknya berbicara tentang Indonesia dari berbagai sudut pandang.
Dalam salah satu sajaknya, “Mengaji” (1997), Dodong menyatakan bahwa
“keindahan, kata orang, menyelinap/ merayap/ lalu mengendap”. Ini berarti bahwa
keindahan yang tersembul dalam sajak-sajak yang ditulisnya bersifat prismatis
atau tersembunyi (menyelinap), bergerak dinamis sesuai dengan irama zaman
(merayap), dan dapat dipahami dari berbagai sudut pandang dan kurun waktu
kapan pun (mengendap). Semakin lama dibaca, dipahami, dan diapresiasi, sajaksajak Dodong Djiawapraja itu semakin mengendap nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Lebih jauh dalam sajak “Mengaji” tersebut Dodong mengatakan:
“Bukankah tiap baris puisi/ kalau terlalu jelas mengerti/ rasanya basi, kurang
patri?” Hal itu disebabkan oleh sumber inspirasi yang diperolehnya bukan didapat
secara sembarangan, melainkan bersumber dari hati nurani yang terdalam dan
semurni-murninya, kastalia.
Sebenarnya sumber inspirasi itu dapat digali di mana saja dan dalam waktu
kapan saja. Hanya sistem pengolahan inspirasi menjadi sebuah puisi itu
memerlukan sumber ilham terdalam dari pusat hati nurani. Setiap bisikan hati
nurani dapat dipertimbangkan menjadi sebuah karya. Bisikan hati nurani itu dapat
datang dan terjadi ketika berada di mana saja, misalnya Dodong Djiwapradja
sedang menelusuri jalan setapak di sebuah desa kelahirannya, sewaktu ayahnya
sedang membajak sawah, dan tatkala jalan-jalan becek sehabis hujan, maka
diperolehlah inspirasi untuk menuliskan sajaknya “Jalan Setapak”, “Perjalanan”,
dan “Garut”. Demikian pula ketika Dodong sedang menyambut kelahiran anaknya
2
yang pertama pada akhir tahun, datanglah ilham untuk menuliskan “Sajak Akhir
Tahun”.
Suatu ketika, menghadapi bulan Ramadhan atau menjelang Lebaran,
biasanya orang pada berkunjung atau berziarah ke makam para leluhurnya yang
telah mendahului meninggal dunia. Pada saat seperti itu dapat juga terjadi
datangnya bisikan sukma untuk menuliskan sajak, maka jadilah sajak “Di Makam
Ayah”. Sewaktu sedang khusuk memanjatkan doa arwah di depan nisan orang
tuanya, Dodong pun sadar akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu dapat
terjadi. Padahal, bekal untuk berangkat ke dunia akhirat yang sewaktu-waktu
memenuhi panggilan Tuhan itu belum atau tidak mempunyainya. Oleh karena itu,
senyampang masih muda, masih diberi kekuatan dan kesehatan, maka perlu
bekal mengaji terlebih dahulu. Kemudian, dalam keadaan seperti itulah lahir
sajaknya “Mengaji”.
Mengaji itu ternyata tidak mudah. Apalagi bahasa dan ejaan yang terdapat
dalam kitab suci itu bukan bahasa ibunya, maksudnya bukan bahasa Jawa atau
bahasa Sunda yang telah dikuasai secara intuitif, melainkan bahasa Arab. Di sini
diperlukan belajar agar dapat menguasai materi pelajarannya. Pada awalnya
memang sulit untuk dapat mengikuti pengajian itu. Namun, lama-kelamaan
setelah dipelajari, ditekuni, dan diikuti dengan cermat, benar, sabar, serta dengan
dorongan semangat untuk maju, maka dirinya dapat mengaji secara mudah dan
benar. Sebab mengaji itu penting dan utama untuk bekal menghadap Tuhan di
akhirat. Justru dari pengalaman mengaji itu kemudian Dodong Djiwapradja
menemukan konsepnya tentang keindahan yang menyelinap, merayap, dan lalu
mengendap.
Apakah sebenarnya keindahan itu? Kata keindahan berasal dari kata indah
yang mendapat konfik ke-an secara simultan. Arti kata keindahan adalah sifat-sifat
atau keadaan yang indah, mempesona, bagus, anggun, cantik, dan menarik.
Secara umum keindahan melekat pada karya seni, termasuk karya sastra, dan
juga alam semesta. Bidang ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah keindahan secara
umum, dan khususnya objek karya seni, disebut estetika. Ukuran atau kriteria
menentukan keindahan itu bermacam-macam berdasarkan pengamatan dan
subjektivitas pengamat. Itulah sebabnya, keindahan oleh Dodong didefinisikan
sebagai sesuatu hal yang menyelinap, merayap, lalu mengendap, dan bila katakatanya jelas terasa menjadi basi, kurang terpatri. Memang Dodong pernah
3
menjadi dosen estetika di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Keindahan seperti itu dalam sebuah puisi sering disebut sebagai karya seni
yang bersifat prismatis atau tidak transparan. Biasanya sebuah puisi yang bersifat
prismatis mengandung banyak kiasan atau metafora, perlambang, mitos, dan
makna-makna yang tersembunyi sehingga sukar dipahami. Ciri-ciri puisi prismatis
adalah: (1) banyak menggunakan majas, kias, atau bahasa figuratif, (2) makna
sajak membias ke mana-mana seperti prisma atau memiliki makna ganda, (3)
kadang isi sajak hanya didasarkan pada imajinasi penyairnya, dan bukan atas
dasar pengalaman faktual, (4) sajak digunakan penyair sebagai media berpikir
kreatif karena tampil dengan citraan intelektual, (5) isi sajak mengandung cita-cita
dan harapan karena merupakan percikan permenungan dalam usaha mencari
makna dan tujuan hidup, dan (6) tidak mengandung prasangka pada orang lain
atau golongan.
Beberapa sajak Dodong Djiwapradja memiliki ciri-ciri seperti yang
terungkap di atas. Agar lebih jelasnya coba perhatikan sajak “Kastalia” berikut.
KASTALIA
Kota
ialah tiang-tiang listrik
trem
becak
Unsur-unsur kehidupan
bumi fana
larut dalam kebalauan sukma
Debu ialah atom
inti penipuan
melekat pada bagian tubuh
paling bernafsu
Penyair
nabi
wali
adalah zat,
meleleh di atas aspal
hitam kumal
Pemimpin
ialah istana
Tentara,
senjata
Dan dari relung-relung mesum
4
datanglah pendeta
Kehidupan
ialah tanah liat
yang oleh tangan-tangan sakti
ditenung
jadi patung
1960
(Djiwapradja, 1997:50)
Judul sajak itu sendiri telah menimbulkan berbagai asosiasi atau
penafsiran. Makna kata kastalia itu tidak hanya satu makna atau monosemantis,
karena kata kastalia bukan asli bahasa Indonesia yang dengan mudah dapat
dibuka di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Setelah ditelusuri melalui
berbagai ensiklopedia, ternyata kata kastalia itu berasal dari bahasa Yunani Kuno
atau juga dari bahasa Ibrani. Ada pula yang menyatakan berasal dari bahasa
Spanyol atau Postugis, berasal dari kata casta atau castal. Dalam masyarakat
pemakai bahasa aslinya itu kata kastalia sangat diagungkan, dianggap sakral, dan
penuh tuah, sehingga kastalia digunakan sebagai lambang atau metafora tempat
tertinggi dalam arti tersuci bagi Dewa Apollo atau pertemuan Nabi Musa dengan
Tuhan ketika menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” di puncak Tursina, Sinai.
Kata kasta itu sebenarnya bukan berasal dari bahasa Sansekerta atau
India Kuno, melainkan berasal dari bahasa Portugis: Acasta@ yang artinya >ras,
keturunan, atau jenis kelamin=. Atau dapat juga judul Kastalia itu mengingatkan
kita pada kata kastal, yang artinya >pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di
tanah yang kering= (KBBI, 2008:631). Dan yang terakhir, judul Kastalia itu
mendekati kata kastanyet, yang artinya.=alat musik yang terdiri atas sepasang
kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari
untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol=.
Meskipun ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata kastalia
seperti di atas, dalam sajak AKastalia@ karya Dodong Djiwapradja ini masih
dapat kita temukan makna yang lain pula pada kamus dan ensikloedia berbahasa
asing. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata kastalia itu dalam buku-buku
ensikloedia, seperti Encyclopedia of Britannia dan Webster=s Ninth New
Collegiate Dictionary, ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, castalia atau
castalian, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal
5
suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani.
Dalam ensikopedia di atas dijelaskan lebih lanjut berhubungan dengan
sejarah Kitab Perjanjian Lama. Kata castalia itu dipahami sebagai tempat suci
pertemuan antara Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina, Sinai.
Makna kastalia yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak
digunakan oleh penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi
yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari
penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada
pembaca. Seperti Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya di Yunani
atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima ASepuluh Perintah
Tuhan@, yang ditulis dalam dua lempengan batu, berguna sebagai upaya
pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi atau bani Israel ketika itu. Boleh juga
penyair Dodong Djiwapradja memadankan sajak-sajak yang ditulis dalam buku
kumpulan sajaknya itu sebagai katarsis, penyucian diri yang membawa
pembaharuan rohani atau jiwa dan pelepasan dari ketegangan (KBBI, 2008:635)
bagi pembaca sajaknya.
Bagaimanakah cara menyucikan atau membersihkan diri dari debu-debu
atau atom-atom yang melekap pada tubuh manusia? Penyair memberikan
alternatif jawaban itu pada bait keempat. Pada bait keempat inilah jawaban cara
menyucikan dri dari debu-debu yang melekat pada diri manusia. APenyair/ nabi/
wali/ adalah zat,/ meleleh di atas aspal/ hitam kumal.@ Pengorbanan yang tulus
dilakukan oleh para penyair, nabi, dan wali itulah yang harus diteladan, ditiru,
dicontoh oleh manusia untuk menyucikan dirinya. Caranya tiada lain hanyalah
meneladan pengorbanan mereka yang tulus ikhlas hanya demi kesejahteraan
hidup semua umat.
Dengan demikian, dari proses kreatif dan wawasan estetik Dodong
Djiwapradja dalam menulis sajak seperti itulah timbul konsep estetika sastra:
suatu keindahan, menyelinap, merayap, lalu mengendap. Konsep estetika sastra
yang demikian dapat menjadi sebuah puisi prismatis, sastra atau puisi yang
menimbulkan berbagai penafsiran makna. Baris-baris puisi prismatis itu akan terus
dinamis, makna akan terus merayap, berkembang dan menjalar ke mana-mana,
lalu akhirnya mengendap menjadi pemahaman kita semua tentang tujuan dan
makna kehidupan. Selain itu, puisi bagi Dodong Djiwapradja juga dapat sebagai
album kenangan pribadi dalam berbagai pose seiring dengan meningkatnya
6
jenjang usia. Setiap pose yang terpampang dalam album pribadi itu berlatar
belakang suasana zaman yang berbeda-beda. Namun, hal itu tetap yang tampak
dikenali dan diakrabi di situ hanya diri penyair pribadi, si Dodong Djiwapradja,
bukan orang lain, yang mengekspresikan keindahan penuh makna dan pesona.
DAFTAR PUSTAKA
Djiwapradja, Dodong. 1997. Kastalia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Santosa, Puji. 2002.a AUlasan Puisi Dodong Djiwaprdaja: Penciptaan Kedua
adalah Puisi@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002. Halaman
8B10.
-------- 2002.b. AProses Kreatif Dodong Djiwapradja: Keindahan, Menyelinap,
Merayap, Lalu Mengendap@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002.
Halaman 11B13.
-------- 2002c. ARiwayat Hidup Penyair Dodong Djiwaprdaja (1928C): Perwira
Hukum Militer yang Mencintai Sastra@ dalam Kakilangit Nomor 71/
November 2002. Halaman 14B15.
Santosa, Puji dan Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta: Pararaton.
Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.
7
Keindahan Menyelinap, Merayap, lalu Mengendap
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tahun
Ukuran
Tebal
: ESTETIKA: Sastra, Sastrawan, dan Negara
: Puji Santosa dan Suroso
: Pararaton Publishing, Yogyakarta
: 2010
: 16 x 24 Cm
: xi + 310 halaman
Konsep Etetika Sastra: Keindahan Menyelinap, Merayap, lalu Mengendap digali
dari proses kreatif dan wawasan estetik penyair Dodong Djiwapradja. Didorong
oleh semangat nasionalisme yang kuat dan tinggi pada diri Dodong Djiwapradja
untuk menghargai karya seni, khususnya sastra, maka lahirlah konsep estetika
sastra tersebut. Dodong adalah seorang ahli hukum militer yang berpendidikan
1
dan berdinas di militer bertahun-tahun dengan disiplin yang ketat sebagai anggota
Angkatan Udara Republik Indonesia hingga pensiun (1976). Namun, Dodong tetap
pada pendiriannya, memilih, mencintai, dan menghargai karya sastra sebagai
upaya penyaluran aspirasi estetisnya. Dengan bekal disiplin ilmu seperti itu
seharusnya Dodong menjadi seorang pengacara yang gigih membela hak-hak
kebenaran anggota militer ketika berada di muka sidang pengadilan. Semangat
hidup dan perjuangan Dodong Djiwapradja justru disalurkan melalui karya sastra.
Menulis sajak ketika masih berusia muda, yaitu sewaktu duduk di sekolah lanjutan
atas. Melalui sajak-sajaknya itu Dodong berusaha mengekspresikan rasa
kecintaannya kepada tanah air, nusa, bangsa, masyarakat, rakyat, dan juga
negara Republik Indonesia. Meskipun Dodong pernah berkali-kali melawat ke luar
negeri, tidak satu pun sajaknya yang menggambarkan keagungan negara lain.
Semua sajaknya berbicara tentang Indonesia dari berbagai sudut pandang.
Dalam salah satu sajaknya, “Mengaji” (1997), Dodong menyatakan bahwa
“keindahan, kata orang, menyelinap/ merayap/ lalu mengendap”. Ini berarti bahwa
keindahan yang tersembul dalam sajak-sajak yang ditulisnya bersifat prismatis
atau tersembunyi (menyelinap), bergerak dinamis sesuai dengan irama zaman
(merayap), dan dapat dipahami dari berbagai sudut pandang dan kurun waktu
kapan pun (mengendap). Semakin lama dibaca, dipahami, dan diapresiasi, sajaksajak Dodong Djiawapraja itu semakin mengendap nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Lebih jauh dalam sajak “Mengaji” tersebut Dodong mengatakan:
“Bukankah tiap baris puisi/ kalau terlalu jelas mengerti/ rasanya basi, kurang
patri?” Hal itu disebabkan oleh sumber inspirasi yang diperolehnya bukan didapat
secara sembarangan, melainkan bersumber dari hati nurani yang terdalam dan
semurni-murninya, kastalia.
Sebenarnya sumber inspirasi itu dapat digali di mana saja dan dalam waktu
kapan saja. Hanya sistem pengolahan inspirasi menjadi sebuah puisi itu
memerlukan sumber ilham terdalam dari pusat hati nurani. Setiap bisikan hati
nurani dapat dipertimbangkan menjadi sebuah karya. Bisikan hati nurani itu dapat
datang dan terjadi ketika berada di mana saja, misalnya Dodong Djiwapradja
sedang menelusuri jalan setapak di sebuah desa kelahirannya, sewaktu ayahnya
sedang membajak sawah, dan tatkala jalan-jalan becek sehabis hujan, maka
diperolehlah inspirasi untuk menuliskan sajaknya “Jalan Setapak”, “Perjalanan”,
dan “Garut”. Demikian pula ketika Dodong sedang menyambut kelahiran anaknya
2
yang pertama pada akhir tahun, datanglah ilham untuk menuliskan “Sajak Akhir
Tahun”.
Suatu ketika, menghadapi bulan Ramadhan atau menjelang Lebaran,
biasanya orang pada berkunjung atau berziarah ke makam para leluhurnya yang
telah mendahului meninggal dunia. Pada saat seperti itu dapat juga terjadi
datangnya bisikan sukma untuk menuliskan sajak, maka jadilah sajak “Di Makam
Ayah”. Sewaktu sedang khusuk memanjatkan doa arwah di depan nisan orang
tuanya, Dodong pun sadar akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu dapat
terjadi. Padahal, bekal untuk berangkat ke dunia akhirat yang sewaktu-waktu
memenuhi panggilan Tuhan itu belum atau tidak mempunyainya. Oleh karena itu,
senyampang masih muda, masih diberi kekuatan dan kesehatan, maka perlu
bekal mengaji terlebih dahulu. Kemudian, dalam keadaan seperti itulah lahir
sajaknya “Mengaji”.
Mengaji itu ternyata tidak mudah. Apalagi bahasa dan ejaan yang terdapat
dalam kitab suci itu bukan bahasa ibunya, maksudnya bukan bahasa Jawa atau
bahasa Sunda yang telah dikuasai secara intuitif, melainkan bahasa Arab. Di sini
diperlukan belajar agar dapat menguasai materi pelajarannya. Pada awalnya
memang sulit untuk dapat mengikuti pengajian itu. Namun, lama-kelamaan
setelah dipelajari, ditekuni, dan diikuti dengan cermat, benar, sabar, serta dengan
dorongan semangat untuk maju, maka dirinya dapat mengaji secara mudah dan
benar. Sebab mengaji itu penting dan utama untuk bekal menghadap Tuhan di
akhirat. Justru dari pengalaman mengaji itu kemudian Dodong Djiwapradja
menemukan konsepnya tentang keindahan yang menyelinap, merayap, dan lalu
mengendap.
Apakah sebenarnya keindahan itu? Kata keindahan berasal dari kata indah
yang mendapat konfik ke-an secara simultan. Arti kata keindahan adalah sifat-sifat
atau keadaan yang indah, mempesona, bagus, anggun, cantik, dan menarik.
Secara umum keindahan melekat pada karya seni, termasuk karya sastra, dan
juga alam semesta. Bidang ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah keindahan secara
umum, dan khususnya objek karya seni, disebut estetika. Ukuran atau kriteria
menentukan keindahan itu bermacam-macam berdasarkan pengamatan dan
subjektivitas pengamat. Itulah sebabnya, keindahan oleh Dodong didefinisikan
sebagai sesuatu hal yang menyelinap, merayap, lalu mengendap, dan bila katakatanya jelas terasa menjadi basi, kurang terpatri. Memang Dodong pernah
3
menjadi dosen estetika di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Keindahan seperti itu dalam sebuah puisi sering disebut sebagai karya seni
yang bersifat prismatis atau tidak transparan. Biasanya sebuah puisi yang bersifat
prismatis mengandung banyak kiasan atau metafora, perlambang, mitos, dan
makna-makna yang tersembunyi sehingga sukar dipahami. Ciri-ciri puisi prismatis
adalah: (1) banyak menggunakan majas, kias, atau bahasa figuratif, (2) makna
sajak membias ke mana-mana seperti prisma atau memiliki makna ganda, (3)
kadang isi sajak hanya didasarkan pada imajinasi penyairnya, dan bukan atas
dasar pengalaman faktual, (4) sajak digunakan penyair sebagai media berpikir
kreatif karena tampil dengan citraan intelektual, (5) isi sajak mengandung cita-cita
dan harapan karena merupakan percikan permenungan dalam usaha mencari
makna dan tujuan hidup, dan (6) tidak mengandung prasangka pada orang lain
atau golongan.
Beberapa sajak Dodong Djiwapradja memiliki ciri-ciri seperti yang
terungkap di atas. Agar lebih jelasnya coba perhatikan sajak “Kastalia” berikut.
KASTALIA
Kota
ialah tiang-tiang listrik
trem
becak
Unsur-unsur kehidupan
bumi fana
larut dalam kebalauan sukma
Debu ialah atom
inti penipuan
melekat pada bagian tubuh
paling bernafsu
Penyair
nabi
wali
adalah zat,
meleleh di atas aspal
hitam kumal
Pemimpin
ialah istana
Tentara,
senjata
Dan dari relung-relung mesum
4
datanglah pendeta
Kehidupan
ialah tanah liat
yang oleh tangan-tangan sakti
ditenung
jadi patung
1960
(Djiwapradja, 1997:50)
Judul sajak itu sendiri telah menimbulkan berbagai asosiasi atau
penafsiran. Makna kata kastalia itu tidak hanya satu makna atau monosemantis,
karena kata kastalia bukan asli bahasa Indonesia yang dengan mudah dapat
dibuka di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Setelah ditelusuri melalui
berbagai ensiklopedia, ternyata kata kastalia itu berasal dari bahasa Yunani Kuno
atau juga dari bahasa Ibrani. Ada pula yang menyatakan berasal dari bahasa
Spanyol atau Postugis, berasal dari kata casta atau castal. Dalam masyarakat
pemakai bahasa aslinya itu kata kastalia sangat diagungkan, dianggap sakral, dan
penuh tuah, sehingga kastalia digunakan sebagai lambang atau metafora tempat
tertinggi dalam arti tersuci bagi Dewa Apollo atau pertemuan Nabi Musa dengan
Tuhan ketika menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” di puncak Tursina, Sinai.
Kata kasta itu sebenarnya bukan berasal dari bahasa Sansekerta atau
India Kuno, melainkan berasal dari bahasa Portugis: Acasta@ yang artinya >ras,
keturunan, atau jenis kelamin=. Atau dapat juga judul Kastalia itu mengingatkan
kita pada kata kastal, yang artinya >pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di
tanah yang kering= (KBBI, 2008:631). Dan yang terakhir, judul Kastalia itu
mendekati kata kastanyet, yang artinya.=alat musik yang terdiri atas sepasang
kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari
untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol=.
Meskipun ada kemungkinan tiga makna yang terdapat dalam kata kastalia
seperti di atas, dalam sajak AKastalia@ karya Dodong Djiwapradja ini masih
dapat kita temukan makna yang lain pula pada kamus dan ensikloedia berbahasa
asing. Apabila kita telusuri lebih jauh asal mula kata kastalia itu dalam buku-buku
ensikloedia, seperti Encyclopedia of Britannia dan Webster=s Ninth New
Collegiate Dictionary, ternyata diambil dari bahasa Yunani Kuno, castalia atau
castalian, yang berarti puncak Gunung Parnassus yang merupakan tempat tinggal
5
suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani.
Dalam ensikopedia di atas dijelaskan lebih lanjut berhubungan dengan
sejarah Kitab Perjanjian Lama. Kata castalia itu dipahami sebagai tempat suci
pertemuan antara Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina, Sinai.
Makna kastalia yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak
digunakan oleh penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi
yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari
penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada
pembaca. Seperti Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya di Yunani
atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima ASepuluh Perintah
Tuhan@, yang ditulis dalam dua lempengan batu, berguna sebagai upaya
pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi atau bani Israel ketika itu. Boleh juga
penyair Dodong Djiwapradja memadankan sajak-sajak yang ditulis dalam buku
kumpulan sajaknya itu sebagai katarsis, penyucian diri yang membawa
pembaharuan rohani atau jiwa dan pelepasan dari ketegangan (KBBI, 2008:635)
bagi pembaca sajaknya.
Bagaimanakah cara menyucikan atau membersihkan diri dari debu-debu
atau atom-atom yang melekap pada tubuh manusia? Penyair memberikan
alternatif jawaban itu pada bait keempat. Pada bait keempat inilah jawaban cara
menyucikan dri dari debu-debu yang melekat pada diri manusia. APenyair/ nabi/
wali/ adalah zat,/ meleleh di atas aspal/ hitam kumal.@ Pengorbanan yang tulus
dilakukan oleh para penyair, nabi, dan wali itulah yang harus diteladan, ditiru,
dicontoh oleh manusia untuk menyucikan dirinya. Caranya tiada lain hanyalah
meneladan pengorbanan mereka yang tulus ikhlas hanya demi kesejahteraan
hidup semua umat.
Dengan demikian, dari proses kreatif dan wawasan estetik Dodong
Djiwapradja dalam menulis sajak seperti itulah timbul konsep estetika sastra:
suatu keindahan, menyelinap, merayap, lalu mengendap. Konsep estetika sastra
yang demikian dapat menjadi sebuah puisi prismatis, sastra atau puisi yang
menimbulkan berbagai penafsiran makna. Baris-baris puisi prismatis itu akan terus
dinamis, makna akan terus merayap, berkembang dan menjalar ke mana-mana,
lalu akhirnya mengendap menjadi pemahaman kita semua tentang tujuan dan
makna kehidupan. Selain itu, puisi bagi Dodong Djiwapradja juga dapat sebagai
album kenangan pribadi dalam berbagai pose seiring dengan meningkatnya
6
jenjang usia. Setiap pose yang terpampang dalam album pribadi itu berlatar
belakang suasana zaman yang berbeda-beda. Namun, hal itu tetap yang tampak
dikenali dan diakrabi di situ hanya diri penyair pribadi, si Dodong Djiwapradja,
bukan orang lain, yang mengekspresikan keindahan penuh makna dan pesona.
DAFTAR PUSTAKA
Djiwapradja, Dodong. 1997. Kastalia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Santosa, Puji. 2002.a AUlasan Puisi Dodong Djiwaprdaja: Penciptaan Kedua
adalah Puisi@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002. Halaman
8B10.
-------- 2002.b. AProses Kreatif Dodong Djiwapradja: Keindahan, Menyelinap,
Merayap, Lalu Mengendap@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002.
Halaman 11B13.
-------- 2002c. ARiwayat Hidup Penyair Dodong Djiwaprdaja (1928C): Perwira
Hukum Militer yang Mencintai Sastra@ dalam Kakilangit Nomor 71/
November 2002. Halaman 14B15.
Santosa, Puji dan Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta: Pararaton.
Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.
7