Dari Polemik dan Konfrontasi ke Dialog

Dari Polemik dan Konfrontasi ke Dialog dan Pemahaman Bersama:
Selayang Pandang Perjumpaan Tauhid dan Trinitas di dalam Sejarah
Abstrak: Tauhid dan Trinitas adalah konsep sentral di dalam Islam dan Kristen sebab
berhubungan dengan hakikat terdalam tradisi keagamaan sekaligus penanda utama dari
keunikan identitas masing-masing. Melalui pemahaman akan Allah yang trinitarian–
Bapa, Anak, dan Roh Kudus–kekristenan muncul dalam sejarah sebagai sebuah
identitas yang unik. Demikian juga melalui pemahaman akan Allah yang Esa–walau
berada di tengah pusat peribadahan kepada banyak dewa-dewi–Islam mendaku sebagai
kelanjutan yang sah dari iman monoteisme Abraham. Melalui artikel ini, penulis
hendak menunjukkan bagaimana pertemuan Tauhid dan Trinitas di dalam sejarah
Kristen dan Islam lebih didominasi oleh polemik dan konfrontasi, terutama di masa
lampau, namun di masa kini dialog muncul sebagai salah satu ciri dari perjumpaan
keduanya. Hal ini dapat menjadi kunci bagi hubungan yang lebih harmonis di dunia
plural masa kini.
Kata Kunci: Tauhid, Trinitas, Dialog

I.

Pendahuluan
Tauhid dan Trinitas adalah konsep sentral yang paling fundamental di dalam Islam dan


Kristen sebab berhubungan dengan hakikat terdalam masing-masing tradisi keagamaan sekaligus
penanda utama dari keunikan identitas Islam dan Kristen. Melalui pemahaman akan Allah yang
trinitarian–Bapa, Anak, dan Roh Kudus–kekristenan muncul dalam sejarah sebagai sebuah
identitas yang partikular dan unik serta berbeda dengan tradisi lain, bahkan Yudaisme. Demikian
juga melalui pemahaman akan Allah yang Esa–walau berada di pusat peribadahan kepada
banyak dewa-dewi– Islam mendaku sebagai kelanjutan yang sah dari iman monoteisme
Abraham. Klaim keunikan masing-masing itulah yang menjadi salah satu penyebab utama
mengapa pertemuan Kristen dan Islam di dalam sejarah sejak awalnya sudah ditandai dengan
polemik dan konfrontasi, tentunya dalam hal diskursus teologis dan tidak selalu dimaknai secara
fisik.

2

Tulisan ini tidak akan membahas Trinitas dan Tauhid secara teologis melainkan melihat
dari sudut pandang historis bagaimana diskursus keduanya bersinggungan di dalam sejarah.
Tentu penulis tidak berpretensi bahwa apa yang dimuat di sini sudah komplit dan mencakup
seluruh pembicaraan sepanjang sejarah, sebab dengan sengaja penulis memilih dan memilah
bahan yang dimuat sebagai representasi perjumpaan tersebut dan membuat kesimpulan secara
umum. Hal ini bertujuan untuk dua hal: (1) pembaca dapat diperkenalkan kepada pentingnya
sebuah studi yang dengan perspektif historis ketika mempercakapkan hubungan Kristen dan

Islam sehingga melengkapi paradigma teologis yang biasa digunakan oleh umat Kristen untuk
melihat tradisi-tradisi iman yang lain; dan (2) walaupun sejarah pertemuan Tauhid dan Trinitas
lebih didominasi dengan polemik dan konfrontasi, namun kita hidup di sebuah era yang
menunjukkan bahwa dialog dan saling menerima dapat menjadi sebuah norma baru dalam
berelasi antar-iman, bahkan dalam mempercakapkan sesuatu yang paling esensial bagi tradisi
agama.
Selain memuat hal-hal terkait perjumpaan Tauhid dan Trinitas sebagai konsep yang
hakiki dari agama Islam dan Kristen, yang akan dilakukan di bagian selanjutnya, penulis dengan
sengaja menyertakan sebuah ekskursus terkait salah satu hal yang menjadi isu bagi umat Kristen,
yakni diskusi mengenai nama “Allah.” Hal tersebut penting karena diskursus mengenai hal itu
bukan saja terbatas di arena akademik, namun sudah menjadi salah satu pergumulan gerejagereja Indonesia walaupun masih terbatas.
II.

Perjumpaan Tauhid dan Trinitas dalam Sejarah
A. Kritik Islam terhadap Trinitas
Oleh karena Kristen dan Islam sebagai tradisi agama memiliki identitas yang particular,

maka sudah dapat ditebak bahwa perjumpaan keduanya di dalam sejarah lebih banyak berupa

3


polemik dengan tujuan untuk saling menantang tradisi yang berbeda, ketimbang dialog yang
bertujuan untuk saling memahami. Sejak awal Islam muncul dengan turunnya ayat-ayat Qur’an
kepada Nabi Muhammad, klaim Trinitas dari umat Kristen telah ditantang melalui beberapa ayat
yang dengan eksplisit menentang konsep Trinitas (misalnya Q. 16:51, 44:8, 47:19, 112:1-4) dan
klaim keilahian Kristus (Q. 4:171; 5:116). Mahmoud Ayoub bahkan mengatakan bahwa
konfrontasi dan akomodasi adalah sikap Islam sedari awal terhadap kekristenan, yakni
konfrontasi terhadap pandangan teologis Kristen tentang Allah sekaligus akomodasi terhadap
komunitas Kristen selaku pewaris iman Abrahamik. 1 Konfrontasi yang dimaksud di sini adalah
konfrontasi secara teologis dan bukan dalam bidang sosial-politik. Dengan demikian, ada sebuah
sikap yang ambivalen dari Islam terhadap kekristenan sebab doktrin Trinitas ditolak di satu sisi
namun komunitas Kristen diakomodasi dan mendapat tempat di sisi yang lain.
Selain kritik dari Qur’an, setidaknya ada dua jalur kritik lainnya terhadap Trinitas
sebagaimana dikemukakan oleh Jon Hoover: (1) bahwa perkembangan doktrin Trinitas
merupakan hasil dari distorsi terhadap pesan yang sebenarnya dibawa oleh Yesus, dan (2)
defisiensi logika di dalam formulasi doktrin-doktrin Trinitas. 2 Jika membaca karya-karya
polemik dari pihak Islam terhadap Trinitas, yang tema-tema serta isinya masih dapat terlihat di
dalam debat-debat kontemporer, pastilah tiga jalur kritik di atas selalu akan muncul.3
B. Perjumpaan Tahap Awal: Polemik


1

Mahmoud Ayoub, A Muslim View of Christianity: Essay on Dialogue, ed. Irfan A. Omar (Maryknoll:
Orbis, 2007), 18-19.
2
Jon Hoover, “Islamic Monotheism and the Trinity,” in The Conrad Grebel Review 27.1 (Winter 2009),
57-82. Correct version available at:
uwaterloo.ca/grebel/sites/ca.grebel/files/uploads/files/IslamicMonotheismandtheTrinity.pdf
3
Salah satu kritik paling komprehensif terhadap kekristenan dan doktrin Trinitas datang dari Ibn Taymiyya
yang menulis Al-Jawāb al-S̩ah̩ih̩ li-Man Baddala Din al-Masih̩ (ditulis sekitar tahun 1317 M). Terjemahan bahasa
Inggris lihat Ibn Taymiyya, Ahmad ibn ʻAbd al-Hallm, A Muslim Theologian’s Response to Christianity: Ibn
Taymiyya's Al-Jawāb Al-S̩ah̩īh̩, trans., ed. Thomas F. Michel (Delmar, N.Y.: Caravan Books, 1984).

4

Dari pihak Kristen, tulisan polemis yang paling awal adalah dari Yohanes dari Damaskus,
yang sering disebut sebagai Bapa Gereja Barat terakhir (675-749 M). Di dalam karyanya
Concerning Heresy bagian akhir, ia menulis tantangan terhadap Islam yang ia lihat sebagai aliran
sempalan dari Kristen.4 Pokok utama keberatan Yohanes terhadap ajaran Islam adalah bahwa

kehadiran Muhammad dan Islam tidak pernah diprediksikan di dalam kitab-kitab Suci
sebelumnya, sehingga berbeda dengan kehadiran Yesus Kristus. Selain itu, klaim Muhammad
sebagai Nabi tidak disertai saksi-saksi yang melihat Allah menurunkan wahyu kepadanya, lain
dengan Musa yang ketika menerima dua loh batu dari Allah di atas gunung disaksikan oleh umat
Israel.5 Selanjutnya, Yohanes juga mempertanyakan klaim Islam bahwa Kristen adalah
penyekutu Allah karena percaya pada Trinitas padahal Islam percaya juga bahwa Yesus adalah
“Kalimat Allah” dan “Roh Allah.”6 Apa yang dituliskan oleh Yohanes ini menjadi signifikan
karena tema-tema serupa akan muncul kembali dalam polemik-polemik yang terjadi di masa
selanjutnya.
Yohanes Damaskus hidup di era kekhalifahan Umayyah. Pada era kekhalifahan
berikutnya, Abasiyyah, perdebatan antara Islam dan Kristen menjadi lebih dominan dan bahkan
disponsori secara resmi oleh para kalifah. Tentu saja ini terkait dengan agenda-agenda serta
4

Berikut adalah penggalan tulisan Yohanes: “He says that there is one God, creator of all things, who has
neither been begotten nor has begotten. [Q. 112] He says that the Christ is the Word of God and His Spirit, but a
creature and a servant, and that He was begotten, without seed, of Mary the sister of Moses and Aaron. [Q. 19;
4:169] For, he says, the Word and God and the Spirit entered into Mary and she brought forth Jesus, who was a
prophet and servant of God. And he says that the Jews wanted to crucify Him in violation of the law, and that they
seized His shadow and crucified this. But the Christ Himself was not crucified, he says, nor did He die, for God out

of His love for Him took Him to Himself into heaven. [Q. 4:156] And he says this, that when the Christ had
ascended into heaven God asked Him: ‘O Jesus, didst thou say: “I am the Son of God and God”?’ And Jesus, he
says, answered: ‘Be merciful to me, Lord. Thou knowest that I did not say this and that I did not scorn to be thy
servant. But sinful men have written that I made this statement, and they have lied about me and have fallen into
error.’ And God answered and said to Him: ‘I know that thou didst not say this word.” [Q. 5:116] There are many
other extraordinary and quite ridiculous things in this book which he boasts was sent down to him from
God.” Excerpt dari Writings, oleh St John of Damascus, The Fathers of the Church, vol. 37 (Washington, DC:
Catholic University of America Press, 1958), 153-160. Diambil dari situs
http://orthodoxinfo.com/general/stjohn_islam.aspx diakses 30 Juni 2015.
5
Ibid.
6
Ibid.

5

kepentingan para khalifah saat itu.7 Khalifah al-Mahdi pernah mengundang Patriark Timotius I
untuk berdebat dengannya dan isu mengenai Trinitas muncul sebagai salah satu tema.8 Salah satu
argumentasi dari Timotius I untuk membela doktrin Trinitas adalah dengan mengatakan tiga
huruf misterius yang muncul di beberapa surah sebetulnya menunjuk kepada Bapa, Anak, dan

Roh Kudus. Ketika al-Mahdi meminta penjelasan, ia mengatakan bahwa sebetulnya Nabi
Muhammad hendak mewartakan kebenaran Allah Tritunggal. Namun di tengah masyarakat yang
sangat politeistik, hal itu akan membuat mereka berpikir bahwa Trinitas adalah sejenis
politeisme juga sehingga Nabi Muhammad akhirnya dengan tegas menyatakan keberadaan satu
Allah dan tidak mengatakan bahwa tiga huruf itu sebetulnya menujuk pada Allah, Firman Allah
dan Roh Allah.9
Selain itu, senada dengan Yohanes Damaskus, Timotius I juga berargumentasi dengan
menjelaskan hubungan antara “Kalimat Allah” dan “Roh Allah” dengan hakikat Allah bahwa
mereka adalah sesungguhnya satu. Hal itu dijelaskan lebih lanjut dengan analogi matahari bahwa
matahari memiliki satu bentuk namun punya juga panas dan cahaya. Itulah cara memaknai
konsep Trinitas. Ketika al-Mahdi mengatakan bahwa benda-benda ciptaan tidak dapat dipakai
untuk menganalogikan Sang Pencipta dengan tuntas, Timotius berkata bahwa jika betul ciptaan
tidak bisa dipakai sebagai analogi, walau sampai tahap tertentu, maka manusia tidak akan
mampu untuk mengenal Allah sama sekali. 10 Debat tersebut selesai dengan “kemenangan” di

7

Untuk alasan-alasan di balik debat-debat yang disponsori kalifah serta akibat yang ditimbulkannya lihat
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early
ʽAbbāsid Society (2nd-4th/8th-1tth centuriesy (New York: Routledge, 1998) dan juga Hans Harmakaputra,

“Discerning the Motives of Muslim-Christian Debates in the Early ʽAbbāsid Period: The Cases of Timothy I and
Theodore Abu Qurra,” dalam Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Volume XXXVIII, No. 2, Juli-Desember 2014
8
Untuk transkrip percakapan keduanya yang ditulis oleh Timotius I lihat Alphonse Mingana, trans.,
“Timothy I, Apology for Christianity,” The Tertullian Project,
http://www.tertullian.org/fathers/timothy_i_apology_01_text.htm (accessed November 16, 2011).
9
Ibid.
10
Ibid.

6

pihak Timotius I sebagaimana dapat kita perkirakan dari literatur-literatur polemik yang berasal
dari sumber Kristen.
Beberapa tahun kemudian, Khalifah al-Ma’mun membuat debat-debat agama menjadi
lebih masif dan disponsori secara resmi sebab terkait dengan agendanya dalam mempromosikan
Mu’tazilisme yang merupakan mazhab rasionalis dalam Islam. Salah satu teolog Kristen Arab
(aliran Melkit) yang terlibat di dalam debat-debat tersebut adalah Theodorus Abu Qurra (d. 816
M).11 Abu Qurra banyak menulis tentang penjelasan iman Kristen. Di dalam salah satu

karyanya,12 Abu Qurra melakukan pembelaan terhadap Trinitas dari pihak-pihak yang
mempertanyakan keabsahan doktrin itu dari sudut pandang Kitab Suci dan juga rasionalitas. Abu
Qurra menunjukkan bagaimana Trinitas tidak hanya didasarkan pada Perjanjian Baru tetapi juga
Perjanjian Lama. Dengan manuver ini, ia memberikan jawab kepada orang-orang Yahudi dan
Muslim yang menganggap Taurat sebagai Kitab Suci. Selanjutnya, ia juga menjelaskan
rasionalitas doktrin Trinitas. Abu Qurra menulis demikian:
Know this: Peter is a man, but man is not Peter; James is a man, but man is not James;
John is a man, but man is not John. Since man is not Peter, or James, or John, when you
count Peter, James, and John, you must not predicate number of man and speak of three
mans [sic]. If you do, you have predicated number of what is not numbered. In the same
way, know this: The Father is God, but God is not the Father; the Son is God, but God is
not the Son; the Spirit is God, but God is not the Spirit. When you count the Father, the
Son, and the Holy Spirit, you must not predicate number of the name “God” and speak of
three gods….Rather, you must count three persons and one God.13

11

Untuk pengantar singkat pada debat-debatnya, lihat David Bertaina, “The Debate of Theodore Abu
Qurra,” in Christian-Muslim Relations. A Bibliographical History Volume 1 (6tt-9tty, eds. David Thomas, Barbara
Roggema (Leiden: Brill, 2009), 556-561.

12
Maymar yuh̩aqqiqu annahu la-yulzamu l-Nas̩ ārā an yaqulu thalātha āliha idh yaquluna l-lb ilāh wa-lIbn ilāh wa-Ruh̩ al-Qudus (ilāhy wa-anna l-lb wa-l-Ibn wa-Ruh̩ al-Qududs ilāh wa-law kāna kull wāh̩id minhum
tāmm ʽalā h̩idatihi [Treatise confirming that Christians do not necessarily speak of three gods when they say that
the Father is God and the Son is God and the Holy Spirit is God, and that the Father, Son, and Holy Spirit are one
God, even though each of them is fully God by himself]. John C. Lamoreaux menggunakan judul yang lebih pendek
di dalam terjemahannya atas karya Abu Qurra di atas, lihat Theodore Abu Qurra, “On the Trinity,” in Theodore Abu
Qurrah, trans. John C. Lamoreaux (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2005).
13
Ibid., 183-184.

7

Selain itu ia memakai analogi matahari sebagaimana dilakukan Timotius I dan beberapa analogi
lainnya untuk menjelaskan konsep Trinitas.
Untuk menutup bagian ini, saya perlu menggarisbawahi bahwa perdebatan yang terjadi
sesungguhnya amat kompleks karena doktrin Trinitas sendiri tidaklah tunggal sebagaimana
kekristenan yang eksis dan dikenal oleh Islam saat itu juga tidak tunggal. 14 Selain itu, penting
juga untuk diketahui bahwa debat-debat tersebut dimungkinkan karena percakapan antara umat
Muslim dengan Ahl al-Kitab merupakan salah satu hal yang disarankan oleh Qur’an dan
percakapan tersebut haruslah disertai dengan cara yang baik (Q. 29:46) sehingga debat-debat

yang terjadi tidak berakibat buruk pada kaum minoritas.
C. Perjumpaan di Era Abad Pertengahan dan Reformasi: Miskonsepsi dan Pemenuhan
Untuk contoh-contoh perjumpaan Trinitas dan Tauhid pada Abad Pertengahan dan
Reformasi saya akan menampilkan beberapa contoh dari tradisi Kristen di luar wilayah Islam.
Ciri khas dari era ini masih berupa polemik dan miskonsepsi terhadap Islam dan konsep Tauhid,
namun juga mulai ada upaya yang bersifat misionaris untuk menarik umat Muslim kepada
kebenaran yang lebih tinggi.
Dalam tulisan yang diatributkan pada Nicetas Choniates, seorang sejarawan yang hidup
di Byzantium abad ke-12, terdapat sebuah anathema terhadap Islam yang mana isinya menyebut
Allah yang diajarkan oleh Muhammad, sebagaimana tertulis dalam sura Al-Ikhlas, sebagai
holosphyros. Kata Al-Samad diterjemahkan sebagai holosphyros yang artinya adalah “terbuat
dari metal padat yang dibentuk sehingga memiliki rupa.” Tentu saja hal ini merupakan
miskonsepsi atau salah pengertian dari pengertian al-Samad yang sebenarnya maupun ajaran
14

Pengantar terhadap topik ini dapat dibaca di bab 1 buku W. Montgomery Watt, Muslim-Christian
Encounters: Perceptions and Misperceptions (London: Routledge, 1991), 1-8; lihat juga Ovey N. Mohammed,
Muslim-Christian Relations: Past, Present, Future (Maryknoll: Orbis, 1999), 25-28.

8

Islam. Namun, sebagaimana diteliti oleh Daniel J. Sahas, kesalahpahaman tersebut tampaknya
berakar pada literatur-literatur polemik yang berasal dari masa sebelumnya.15
Ovey N. Mohammed, seorang Jesuit, mengatakan bahwa sedari awal ada banyak
legenda-legenda di Barat tentang Muhammad dan Islam yang sama sekali berbeda dengan apa
yang dipercayai oleh umat Islam. Di Abad Pertengahan sendiri Islam digambarkan secara
dominan sebagai aliran sempalan dari kekristenan sebab ada kepercayaan kuat bahwa setelah
munculnya agama Kristen selaku agama universal, agama-agama lain yang muncul hanyalah
deviasi dari agama yang benar yakni kekristenan.16 Karena itu, tidak mengherankan bahwa figurfigur di Abad Pertengahan seperti Dante (1265-1321) dan Thomas Aquinas (1225-1274)
menggambarkan Muhammad dengan cara yang merendahkan dan seringkali dengan penuh
miskonsepsi terhadap apa yang sebenarnya merupakan ajaran Islam, serta dengan memakai
standar ganda terhadap kekristenan. Di dalam Summa Contra Gentiles (I.6.4), Thomas
menuliskan bahwa Islam menyebarkan agama melalui pedang dan bahwa tidak ada orang-orang
bijaksana yang mengikuti Muhammad melainkan orang-orang yang brutal saja. 17 Hal itu ironis,
kata Mohammed, sebab ketika Thomas menulis kekristenan sebagai agama damai dan Islam
sebagai agama kekerasan, justru pihak Kristen saat itu sedang memulai Perang-perang Salib.
Selain itu, warisan pemikiran Yunani yang dinikmati oleh umat Kristen Barat justru bisa ada
karena peran dari para cendekiawan Muslim yang menerjemahkan literatur-literatur filsafat Barat
ke dalam Bahasa Arab.18

15

Daniel J. Sahas, ““Holosphyros”? A Byzantine Perception of “The God of Muhammad”” in ChristianMuslim Encounters, edited by Yvonne Y. Haddad and Wadi Z. Haddad (Gainesville: University Press of Florida,
1995), 109-114.
16
Mohammed, 45-46.
17
Ibid., 46.
18
Ibid.

9

Miskonsepsi terhadap Islam berlangsung cukup lama di era Abad Pertengahan.
Terjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Latin oleh Peter the Venerable (1092-1156),
yang juga digunakan oleh Martin Luther, berisi banyak kesalahan baik secara kelengkapan isi
maupun translasi. Terjemahan yang lebih baik tersedia di tahun 1698 ketika Ludovico Marracci
(1612-1700) mempublikasikannya dalam bahasa Latin. Selain itu Sieur du Ryer juga
mempublikasikan terjemahan Qur’an dalam bahasa Prancis pada tahun 1649 dan kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris juga. 19 Kendati para penerjemah masih menampilkan
pandangan negatif terhadap al-Qur’an dan Islam, namun ketersediaan terjemahan yang lebih baik
mendorong dihasilkannya karya-karya yang lebih berimbang sesuai ajaran Islam dan di waktuwaktu selanjutnya membantu mengurai miskonsepsi yang sudah berkembang di Barat.
Salah satu ciri lain dari periode ini dalam memandang Tauhid adalah dengan perspektif
pemenuhan. Islam dengan konsep Tauhid diyakini menyembah Allah yang sama dengan umat
Kristen, namun gagal menyadari bahwa Allah yang Esa itu sesungguhnya Allah Tritunggal.
Miroslav Volf menyebutkan dua contoh teolog Abad Pertengahan dan Reformasi yang memiliki
pandangan seperti ini terhadap Tauhid, yakni Nicolas Cusanus dan Martin Luther. Keduanya
tidak melihat Islam sebagai agama dengan Tuhan yang berbeda dengan Kristen atau agama yang
menyembah berhala. Di dalam polemiknya, Cusanus menekankan kesamaan Allah antara Kristen
dan Islam serta mengajak umat Muslim untuk menerima kebenaran yang lebih tinggi, yakni
Allah yang Esa itu sesungguhnya Allah Trinitas. Walaupun bersifat polemis, langkah seperti ini
tetap mengandung pengakuan dan penghargaan terhadap ajaran Islam walau tidak sepenuhnya.20
Martin Luther menuliskan karya-karya yang menantang Islam dan memandang Islam
sebagai “agama yang disesatkan oleh Iblis.” Hal itu dikarenakan pengalaman perjumpaan negatif
19
20

Ibid., 46-47.
Miroslav Volf, Allah: A Christian Response (New York: Harper One, 2011), 52-54.

10

yang kental dengan faktor sosial-politik sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Luther. 21
Namun sebagaimana disimpulkan oleh Volf, Luther tetap melihat Islam sebagai agama yang
menyembah Allah yang sama namun gagal dalam mengenal karakteristik sebenarnya Allah yang
berinkarnasi di dalam Yesus yang mati bagi dosa manusia, yakni Allah Tritunggal sebagai
gambaran Allah yang benar.22
D. Perjumpaan di Era Modern hingga Kontemporer: Dari Upaya Misionaris hingga
Afirmasi
Pada era ini tradisi polemik masih dominan serta dirajut dengan upaya misionaris yang
massif untuk menambah jumlah umat Kristen. Pembelajaran yang serius terhadap Islam dimulai
di era ini dengan munculnya kajian Orientalisme, 23 namun, sebagaimana ditunjukkan oleh para
pengkritiknya, kajian Orientalisme berhubungan erat dengan agenda kaum kolonialis yang
bertujuan melanggengkan hegemoni atas wilayah-wilayah yang dikuasai. Akan tetapi, perubahan
lewat perjumpaan yang lebih intensif juga menjadi salah satu ciri dari perjumpaan di era ini.
Hartford Seminary pada abad ke-19 merupakan pusat studi Islam yang terkemuka dan
banyak melatih para misionaris Protestan ke wilayah-wilayah yang didominasi Islam. Namun di
waktu-waktu selanjutnya para misionaris tersebut justru menjadi ujung tombak bagi dialog antaragama karena perjumpaan-perjumpaan otentik yang mereka alami. Hal itu merupakan salah satu
contoh perubahan yang terjadi di pihak Kristen perihal cara pandang terhadap Islam hingga
sekarang, yang mana dialog dan penghargaan menjadi lebih ditekankan. Tentunya tren ini

21

Kajian perihal Luther dan Islam lihat Adam J. Francisco, Martin Luther and Islam: A Study in SixteenthCentury Polemics and Apologetics (Leiden: Brill, 2007), part two 131 ff.
22
Volf, 64.
23
Selain karya besar Edward Said, Orientalism (Vintage: New York, 1978), perlu juga mempelajari
bagaimana kategori “agama-agama dunia” diformulasikan di era modern melalui buku karya Tomoko Masuzawa,
The Invention of World Religions (Chicago: The University of Chicago Press, 2005).

11

membantu mengurangi ketegangan, polemik, maupun salah paham yang sebelumnya banyak
terjadi di dalam perjumpaan Kristen dan Islam.
Warisan dari cara pandang misionaris di era kontemporer adalah pada cara pandang
Kristen terhadap agama-agama non-Kristen, termasuk Islam, yang amat berfokus pada
pertanyaan seputar keselamatan. Pengakuan akan Kristus merupakan manifestasi anugerah Allah
dan penolakan terhadap berita keilahian Kristus dianggap sama dengan penolakan terhadap
anugerah Allah. Hal inilah yang menyebabkan diskursus teologi agama-agama mengalami
kebuntuan pada model tipologi tripolar: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. 24 Ketiga
model tersebut tidak mampu mengakomodasi klaim partikularitas Kristen di satu pihak dan
klaim partikularitas agama-agama non-Kristen di pihak lain secara secara seimbang. Namun di
masa kini telah muncul jalan-jalan lain yang mencoba menembus kebuntuan cara pandang
Kristen terhadap agama lain, termasuk dengan pendekatan trinitarian. 25 Alih-alih menjadi faktor
yang membatasi Kristen dengan Islam, konsep Trinitas ternyata dapat menjadi jembatan untuk
membangun relasi yang lebih positif melalui percakapan teologi agama-agama.
Trinitas sendiri sebetulnya mengalami “mati suri” di era modern yang baru mulai
“bangkit” kembali di era kontemporer yang dipengaruhi karya-karya dari Karl Barth dan Karl
Rahner. Tulisan-tulisan yang membahas Trinitas bukan lagi terbatas pada aspek imanen (Trinitas
di dalam diri-Nya sendiri) sebagaimana lazim di Abad Pertengahan, melainkan menekankan juga
aspek ekonomi (Trinitas dalam relasi dengan ciptaan). Dengan demikian, tawaran-tawaran

24

Hans Abdiel Harmakaputra, Melepas Bingkai, ed. Muna Panggabean (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2013),

bab 2.
25

Ibid., bab 3. Secara khusus pendekatan Trinitarian yang mengklaim dapat mengakomodasi klaim
partikularitas agama-agama non-Kristen, termasuk Islam, adalah dari S. Mark Heim dalam buku Salvations: Truth
and Difference in Religion (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, 1995) dan The Depth of the Riches: A Trinitarian
Theology of Religious Ends (Grand Rapids, Mich: W.B. Eerdmans, 2001).

12

alternatif di dalam teologi agama-agama yang menggunakan perspektif Trinitas mulai
bermunculan.26
Di luar diskursus teologi, gereja-gereja maupun institusi Kristen juga semakin terbuka
terhadap dialog dengan agama-agama non-Kristen, termasuk Islam. Untuk Gereja Katolik Roma,
dua dokumen yang dihasilkan di Konsili Vatikan II (tahun 1960-an), yakni Lumen Gentium dan
Nostra Aetate, menjadi pedoman pokok dalam berelasi dengan agama-agama yang berbeda.
Lumen Gentium (16) menyatakan: “The plan of salvation also includes those who acknowledge
the Creator, in the first place amongst whom are the Muslims; these profess to hold the faith of
Abraham, and together with us they adore the one, merciful God, mankind’s judge on the last
day.”27 Sedangkan di dalam Nostra Aetate tertulis demikian:28
The Church regards with esteem also the Moslems. They adore the one God, living and
subsisting in Himself; merciful and all-powerful, the Creator of heaven and earth, who
has spoken to men; they take pains to submit wholeheartedly to even His inscrutable
decrees, just as Abraham, with whom the faith of Islam takes pleasure in linking itself,
submitted to God. Though they do not acknowledge Jesus as God, they revere Him as a
prophet. They also honor Mary, His virgin Mother; at times they even call on her with
devotion. In addition, they await the day of judgment when God will render their deserts
to all those who have been raised up from the dead. Finally, they value the moral life and
worship God especially through prayer, almsgiving and fasting. Since in the course of
centuries not a few quarrels and hostilities have arisen between Christians and Moslems,
this sacred synod urges all to forget the past and to work sincerely for mutual
understanding and to preserve as well as to promote together for the benefit of all
mankind social justice and moral welfare, as well as peace and freedom.
Kedua dokumen di atas merupakan tonggak penting mengenai perubahan cara pandang
Gereja Katolik Roma terhadap Islam. Iman dari umat Muslim dilihat sebagai iman kepada Allah
Abraham serta ada pengakuan positif terhadap apa yang diklaim oleh Islam terhadap Isa bin
26
Pendekatan-pendekatan trinitarian tersebut dirangkumkan dengan sangat baik oleh Veli-Matti
Kärkkäinen, Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the Trinity in Christian Theology of Religions
(Aldershot, Hants, England: Ashgate, 2004)
27
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vatii_const_19641121_lumen-gentium_en.html diakses 30 Juni 2015.
28
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vatii_decl_19651028_nostra-aetate_en.html diakses 30 Juni 2015.

13

Maryam. Tentu saja masih ada perdebatan perihal aplikasi dari dokumen ini namun setidaknya
kedua dokumen tersebut adalah posisi resmi dari Gereja Katolik Roma.
Dari pihak Protestan arus utama yang tergabung di dalam WCC, dokumen-dokumen
belakangan semakin menampilkan ciri trinitarian yang memberi ruang lebih luas bagi dialog dan
kerja sama dengan umat beragama lain.29 Hal ini tentu merupakan kelanjutan dari apa yang sudah
termaktub dalam dokumen San Antonio (1989) yang menyatakan:30
“We cannot point to any other way of salvation than Jesus Christ; at the same time we
cannot set limits to the saving power of God."Recognizing the tension between such a
statement and the affirmation of God's presence and work in the life of peoples of other
faith traditions, the San Antonio report said that "we appreciate this tension, and do not
attempt to resolve it". The question following the conference was whether the ecumenical
movement should remain with these modest words as an expression of theological
humility, or whether it should deal with that tension in finding new and creative
formulations in a theology of religions.”

Tentu saja variasi posisi di kalangan Protestan jauh lebih majemuk ketimbang di Gereja Katolik
Roma. Banyak gereja-gereja Protestan yang masih memakai paradigma misionaris dan juga
penekanan pada keselamatan “di dunia nanti” dalam memandang agama-agama non-Kristen.
Salah satu tonggak penting di era kontemporer dalam hal relasi Islam dan Kristen dan
pengakuan akan satu Allah adalah dokumen A Common Word Between Us and You yang
diprakarsai oleh 138 tokoh Islam di seluruh dunia pada tanggal 13 Oktober 2007. Dokumen
sepanjang 15 halaman yang ditujukan kepada para pemimpin gereja-gereja se-dunia tersebut
pada intinya berbicara soal kesamaan yang dimiliki oleh Kristen dan Islam dalam hal mengasihi
Tuhan dan mengasihi sesama sebagaimana ditunjukkan di dalam Alkitab dan al-Qur’an sehingga
29

“Together Towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes,” in Ecumenical Visions for
the 21 Century: A Reader for Theological Education, edited by Melisande Lorke and Dietrich Werner (Geneva:
WCC Publications, 2013), 191-206.
30
https://www.oikoumene.org/en/resources/documents/assembly/2006-porto-alegre/3-preparatory-andbackground-documents/religious-plurality-and-christian-self-understanding
st

14

menjadi imperative bagi keduanya untuk berkerja sama dalam menciptakan harmoni dan
perdamaian dunia.31 Dokumen ini mendapat respons positif dari pelbagai pihak yang mewakili
agama Kristen seperti Uskup Agung Canterbury dari Gereja Anglikan pada waktu itu, Rowan
Williams, dan pemimpin Gereja Katolik Roma saat itu, Paus Benedictus XVI. Respons yang
dikenal publik secara luas adalah surat terbuka yang dimuat di New York Times pada tanggal 17
November 2007 berjudul “Loving God and Neighbor Together: A Christian Response to A
Common Word Between Us and You.” Surat tersebut ditandatangani oleh lebih dari 300
pemimpin gereja dan teolog Kristen tersebut diorganisasi oleh Yale Center for Faith & Culture.32
III.

Ekskursus: Apakah Kristen dan Islam Menyembah Allah yang Berbeda?
Salah satu masalah di masa kini adalah pertanyaan seputar Allah yang disembah oleh

Kristen dan Islam, apakah sama atau berbeda. Jawaban yang negatif muncul baik di kalangan
umat Islam maupun Kristen. Umat Kristen di Malaysia yang dilarang menggunakan kata Allah
menjadi bukti bahwa tidak semua umat Islam memaknai teks yang menyebutkan kesamaan Allah
di antara kedua tradisi agama Abrahamik secara sama. Sedangkan di kalangan Kristen,
penolakan terhadap penggunaan kata Allah juga muncul beberapa tahun terakhir, termasuk di
Indonesia. Penolakan dari kalangan Kristen terhadap pendapat yang mengatakan umat Kristen
dan Islam menyembah satu Allah misalnya diwakili oleh John Piper yang mengajukan dua butir
argumentasi: (1) Islam menolak Yesus Kristen sebagai Allah dan juga menolak konsep Trinitas,
karena itu Islam tidak menyembah Allah yang benar, yakni YHWY, 33 dan (2) jika
membandingkan sumber-sumber dari kedua agama, akan ditemukan perbedaan yang substansial

31

A Common Word Between Us and You: 5-Year Anniversary Edition (Amman: The Royal Aal Al-Bayt
Institute for Islamic Thought, 2012), 7.
32
Volf, 14.
33
Ibid., 34, 81.

15

di dalam ajaran Islam dengan apa yang ada di kekristenan.34 Untuk memberikan jawaban
terhadap masalah ini, Miroslav Volf menulis sebuah buku berjudul Allah: A Christian
Response.35
Volf memiliki empat buah tesis di dalam buku tersebut. Tesis pertama adalah umat
Muslim dan Kristen menyembah satu Allah yang sama. Kedua, karena kedua agama berakar
pada Allah yang sama, maka ada hal-hal dan nilai-nilai dasar yang dimiliki bersama. Tesis
ketiga, di antara hal-hal yang dimiliki bersama, hal yang paling penting adalah kasih–mengasihi
Tuhan dan mengasihi sesama.36 Hal itu menentang pandangan umum yang mengatakan bahwa
Islam pada hakikatnya mendukung kekerasan. Tesis keempat adalah bahwa tiga tesis yang sudah
disebutkan dapat menjembatani jarak yang ada di antara kedua agama dan mendukung proses
dialog antar-iman yang meliputi juga praksis bersama di dunia yang dihuni oleh semua
manusia.37
Ada tiga kemungkinan logis dari perspektif Kristen jika umat Muslim dan Kristen
menyembah Allah yang berbeda: (a) umat Muslim menyembah satu entitas ilahi yang berbeda,
(b) Muslim menyembah obyek yang tidak sungguh-sungguh ada, atau (c) Muslim sebetulnya
menyembah ilah palsu.38 Menurut Volf opsi (a) adalah absurd baik menurut kerangka teologi
Kristen ataupun Islam sebab bertentangan dengan kesaksian masing-masing Kitab Suci bahwa
hanya ada satu Allah. Opsi (b) dan (c) memiliki konsekuensi yang serupa sehingga pilihan bagi
umat Kristen hanya memilih antara (1) umat Muslim menyembah Allah yang sama dengan umat
34
Ibid., 35. Lihat juga pernyataan Piper di http://www.desiringgod.org/interviews/how-are-yahweh-andallah-different diakses 7 September 2015.
35
Ringkasan terhadap argumentasi Volf maupun refleksi dari perspektif Indonesia dapat dibaca di Hans
Abdiel Harmakaputra, “’There is No God but Allah’: An Indonesian-Christian Reading on Miroslav Volf’s “Allah:
A Christian Response,” In Jurnal Amanat Agung October 2013.
36
Volf, 9-10.
37
Ibid., 12-13.
38
Ibid., 84-85.

16

Kristen, atau (2) Islam merupakan agama yang menyembah ilah palsu.39 Tentu saja Volf tahu
bahwa akan ada umat Kristen yang memilih opsi (2) sehingga ia mengajukan argumentasi
lanjutan untuk opsi (1).
Selain mengutip tradisi Kristen dari Nicholas Cusanus dan Martin Luther yang sudah
dibahas di bagian sebelum ini, Volf juga beragumentasi dari Injil Yohanes yakni kisah
perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria. Di sana Yesus menekankan bahwa Allah yang
disembah oleh orang Yahudi dan Samaria adalah Allah yang sama, namun iman perempuan
Samaria tersebut masih perlu disempurnakan. Yesus tidak menuduh bahwa orang-orang Samaria
menyembah allah lain atau ilah palsu. Dengan demikian, Volf menyimpulkan, perbedaan konsep
tentang Allah tidak berarti bahwa yang “obyek” iman lantas berbeda. 40 Ia mencontohkan
bagaimana perbedaan level pengenalan itu dimungkinkan, sebagaimana pengenalan anak-anak
tentang Allah tentu berbeda dengan orang dewasa. Volf juga berargumentasi bahwa denominasi
Kristen juga memiliki perbedaan konsep Allah, namun tidak berarti bahwa semuanya
menyembah Allah yang berbeda.41
Di dalam proses mencari kesamaan nilai, Volf menekankan satu peraturan yang penting
dalam membandingkan agama-agama: jangan membandingkan apa yang ideal di dalam agama
yang kita anut dengan apa yang faktual di dalam agama-agama lain. 42 Seringkali orang luput
untuk melihat fakta-fakta historis di dalam sejarah Kristen yang bertentangan dengan apa yang
ideal dalam kekristenan, namun sangat rajin untuk menunjuk kepada apa yang buruk di agamaagama lain. Volf yakin bahwa pada tataran apa yang ideal, tesis kedua hingga keempat yang ia
ajukan dapat terbukti.
39

Ibid., 85.
Ibid., 90.
41
Ibid., 86.
42
Lihat juga perintah keempat dari “10 Perintah terkait Dialog” yang dituliskan oleh Leonard Swidler,
“The Dialogue Decalogue” in Journal of Ecumenical Studies, 2t:1, Winter (1983):1-4.
40

17

IV.

Penutup
Di dalam tulisan ini, saya berupaya menunjukkan bagaimana perspektif Kristen tentang

Allah, yakni Trinitas, dan konsep Tauhid dalam Islam bersinggungan di dalam sejarah. Tentu
bukan gambaran komprehensif yang termaktub melainkan cuatan-cuatan peristiwa di mana
kedua tradisi agama berjumpa. Polemik telah mendominasi sejarah panjang kedua agama
Abrahamik ini namun kini perjumpaan yang lebih positif mulai hadir juga. Tulisan ini
dimaksudkan sebagai sebuah studi awal untuk merangsang munculnya studi-studi yang lebih
mendalam dalam relasi Islam dan Kristen. Dengan demikian, perspektif umat Kristen di
Indonesia dalam memandang tradisi agama lain, khususnya Islam, dapat diperkaya, khususnya
dengan pendekatan historis. Jika dialog dan saling menghargai merupakan salah satu ciri yang
muncul di perjumpaan Trinitas dan Tauhid di masa kini, penulis berharap supaya hal itu bisa
terus berlanjut melalui upaya-upaya studi yang serius dari kedua belah pihak.

Bibliografi
A Common Word Between Us and You: 5-Year Anniversary Edition. Amman: The Royal Aal AlBayt Institute for Islamic Thought, 2012.
Abu Qurra, Theodore. “On the Trinity.” In Theodore Abu Qurrah, John C. Lamoreaux, trans.
Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2005.
Ayoub, Mahmoud. A Muslim View of Christianity: Essay on Dialogue. Irfan A. Omar, ed.
Maryknoll: Orbis, 2007.
Bertaina, David. “The Debate of Theodore Abu Qurra.” In Christian-Muslim Relations. A
Bibliographical History Volume 1 (6tt-9tty. David Thomas, Barbara Roggema, eds.
Leiden: Brill, 2009.
Francisco, Adam J. Martin Luther and Islam: A Study in Sixteenth-Century Polemics and
Apologetics. Leiden: Brill, 2007.

18

Gutas, Dimitri. Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early ʽAbbāsid Society (2nd-4th/8th-1tth centuriesy. New York:
Routledge, 1998.
Harmakaputra, Hans Abdiel. Melepas Bingkai. Muna Panggabean, ed. Jakarta: Grafika
Kreasindo, 2013.
_______. “’There is No God but Allah’: An Indonesian-Christian Reading on Miroslav Volf’s
“Allah: A Christian Response.” In Jurnal Amanat Agung October 2013.
_______. “Discerning the Motives of Muslim-Christian Debates in the Early ʽAbbāsid Period:
The Cases of Timothy I and Theodore Abu Qurra.” Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman,
Volume XXXVIII, No. 2, Juli-Desember 2014: 434-445.
Heim, S. Mark. Salvations: Truth and Difference in Religion. Maryknoll, N.Y.: Orbis Books,
1995
_______. The Depth of the Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends. Grand Rapids,
Mich: W.B. Eerdmans, 2001.
Hoover, Jon. “Islamic Monotheism and the Trinity.” The Conrad Grebel Review 27.1 (Winter
2009),

57-82.

Correct

version

available

at:

uwaterloo.ca/grebel/sites/ca.grebel/files/uploads/files/IslamicMonotheismandtheTrinity.p
df
Ibn Taymiyya, Ahmad ibn ʻAbd al-Hallm. A Muslim Theologian’s Response to Christianity: Ibn
Taymiyya's Al-Jawāb Al-S̩ah̩īh̩. Thomas F. Michel, trans., ed. Delmar, N.Y.: Caravan
Books, 1984.
Kärkkäinen, Veli-Matti. Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the Trinity in
Christian Theology of Religions. Aldershot, Hants, England: Ashgate, 2004.
Masuzawa, Tomoko. The Invention of World Religions. Chicago: The University of Chicago
Press, 2005.
Sahas, Daniel J. ““Holosphyros”? A Byzantine Perception of “The God of Muhammad.”” In
Christian-Muslim Encounters, Yvonne Y. Haddad and Wadi Z. Haddad, eds. Gainesville:
University Press of Florida, 1995.
Said, Edward. Orientalism. Vintage: New York, 1978
Swidler,

Leonard.

“The

Dialogue

Studies, 20:1, Winter (1983):1-4.

Decalogue.”

In

Journal of

Ecumenical

19

Watt, W. Montgomery. Muslim-Christian Encounters: Perceptions and Misperceptions. London:
Routledge, 1991 Mohammed, Ovey N. Muslim-Christian Relations: Past, Present,
Future. Maryknoll: Orbis, 1999.
World Council of Church. “Together Towards Life: Mission and Evangelism in Changing
Landscapes.” In Ecumenical Visions for the 21st Century: A Reader for Theological
Education. Melisande Lorke and Dietrich Werner, eds. Geneva: WCC Publications,
2013.
Volf, Miroslav. Allah: A Christian Response. New York: Harper One, 2011.

Sumber Internet
Alphonse Mingana, trans., “Timothy I, Apology for Christianity,” The Tertullian Project, http://
www.tertullian.org/fathers/timothy_i_apology_01_text.htm (accessed September 6,
2015).
Dokumen “Religious Plurality and Christian Self-Understanding” dari World Council of Church.
https://www.oikoumene.org/en/resources/documents/assembly/2006-porto-alegre/3preparatory-and-background-documents/religious-plurality-and-christian-selfunderstanding diakses 30 Juni 2015
Dokumen Lumen Gentium.
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vatii_const_19641121_lumen-gentium_en.html diakses 30 Juni 2015.
Dokumen Nostra Aetate.
http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vatii_decl_19651028_nostra-aetate_en.html diakses 30 Juni 2015.
John Piper on Allah and Yahweh. http://www.desiringgod.org/interviews/how-are-yahweh-andallah-different diakses 7 September 2015.
Santo Yohanes Damaskus dan Islam. http://orthodoxinfo.com/general/stjohn_islam.aspx diakses
30 Juni 2015.