Manajemen dan Kepemimpinan Kolaboratif untuk manajer

Manajemen dan Kepemimpinan Kolaboratif [Bagian 1]
Oleh Prof. Dr. H. Faisal Afiff, Spec.Lic.
Manajemen kolaboratif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai
teknik manajemen yang mempromosikan rasa persatuan dan kerja sama tim di antara para
manajer dan supervisor dalam organisasi bisnis. Ide di balik gaya manajemen kolaboratif ini
adalah untuk memungkinkan para manajer menggabungkan kekuatan mereka dengan anggota
tim lainnya, sehingga secara kolektif mereka mampu mengimbangi kelemahan yang ada
diantara anggota tim. Pada sisi yang lain, pendekatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi di semua lini operasi organisasi, meningkatkan semangat kerja, meningkatkan
hubungan baik dengan pemasok, dan bahkan membangun persepsi positif konsumen terhadap
bisnis yang sedang dijalankan. Gaya manajemen kolaboratif lebih bervariasi ketimbang
teknik manajemen tradisional, dan salah satu yang menonjol adalah ditekankannya
pendekatan tim kerja untuk mengelola bisnis. Para manajer tidak lagi hanya mempertahankan
tanggung jawab dan akuntabilitas di wilayah kewenangannya masing-masing semata, akan
tetapi mereka lebih mengembangkan sikap yang lebih fleksibel dengan berunding antara satu
dengan lainnya berkenaan dengan isu-isu yang berkembang dari hari ke hari secara lintas
departemental serta mendorong suatu kerjasama tim. Para manajer akan lebih sering duduk
bersama-sama untuk melakukan brainstorming tentang bagaimana cara menangani masalah
krusial yang tengah berkembang di salah satu departemen atau unit organisasi, dengan tujuan
mencegah kemungkinan permasalahan yang akan timbul sebelum masalah tersebut meluas
dan berdampak negatif terhadap operasi organisasi secara keseluruhan.


PRINSIP MANAJEMEN KOLABORASI
Selamat Datang di Modul Prinsip Manajemen
KolaborasiPengelolaan Kolaboratif
January 12, 2006 in Istilah-istilah, Kawasan Konservasi, Umum
Kolaborasi adalah bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik
individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung
yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah kolaborasi adalah
tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat,
kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat. (CIFOR/PILI, 2005).
Sedangkan pengelolaan kolaboratif menurut IUCN–World Conservation Union dalam
Resolusinya 1.42 Tahun 1996 adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal
dan pengguna sumber daya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya
dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan
tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya. (IUCN, 1997)

Dalam khasanah keIndonesiaan atau istilah Mantan Presiden Soekarno, padanan sebutan
pengelolaan kolaboratif dapat juga disebut pengelolaan ‘bergotong-royong’. Dalam Kamus
Umum Indonesia (1993), WJS Poerwadarminta, gotong-royong diartikan bekerja bersamasama (tolong-menolong, bantu-membantu) untuk membuat sesuatu.
Di Indonesia kebijakan dan peraturan yang memberikan definisi tentang pengelolaan

kolaboratif terdapat pada Peraturan menteri kehutanan No P19/Menhut-II/2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam(KPA)
dimana Kolaborasi diartikan sebagai pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu
masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektifitas pengelolaan KSA dan KPA
secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan
bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian pengelolaan kolaboratif (collaborative management) bisa juga disetarakan dengan
pengelolaan kooperatif (cooperative management), round-table management, share
management, pengelolaan bersama (joint management) atau pengelolaan multi-pihak
(multistakeholder management).
Pengertian “Pengelolaan Kolaboratif” pertama digagas, dilegalkan dan diterapkan oleh Judge
Boldt pada tahun 1974 dalam pengelolaan ikan salmon antara masyarakat pribumi dengan
aparat pemerintah di sebelah barat Washington (Bruce Currie-Alder, 2001).
Sumber:
Membangun Kembali Upaya Mengelola Kawasan Konservasi di Indonesia Melalui
Manajemen Kolaboratif: Prinsip, Kerangka Kerja dan Panduan Implementasi. 2002. PHKADephut NRM/EPIQ WWF Wallacea TNC. Jakarta.
CIFOR/PILI.2005. Meminang Lawan Menjadi Kawan: Inovasi Pengelolaan Kolaboratif
Kawasan Konservasi di Indonesia Melalui Pembelajaran Bersama Masyarakat. Prosiding
Shared Learning II, 18-27 Agustus 2005. Center of International Forestry Research/ Pusat
Informasi Lingkungan Indonesia. Bogor.

Peraturan Menteri Kehutanan No P19/Menhut II/2004. Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan RI. 2004.

Manajemen Kolaboratif
Sumberdaya alam yang berlimpah memikat banyak pelaku dengan aneka
kepentingan yang kerap bersebrangan. Setiap pelaku membangun
kelembagaan, agar modus dan derajat pendayagunaan kelimpahan itu sejalan
dengan kepentingannya. Beraneka ragam kepentingan dengan beragam
kelembagaan serta bermacam-macam pengelolaan sumberdaya akan
menimbulkan aneka konfik.
Konfik yang terkait dengan masalah hutan yang dikaitkan dengan
partisipasi masyarakat terjadi pada tataran tata nilai, hak pemilikan
(kelembagaan:institusi), dan model pengelolaannya. Bagi masyarakat, hutan

adalah tempat menggantungkan kehidupan perekonomian, budaya dan spiritual
mereka. Bagi swasta, hutan hanyalah komoditas yang dapat ditransformasikan
menjadi uang. Bagi pemerintah, nilai hutan begitu sangat elastis, kadang
dianggap sebagai rahmat Tuhan namun juga ternyata habis ditebang untuk
kepentingan lain.


Pemerintah dan swasta kerap menganggap masyarakat sebagai ancaman
terhadap keamanan hutan. Batasan tentang masyarakat masih simpang-siur.
Pemerintah cenderung memberikan batasan yang sangat luas. Padahal
community itu dimaksudkan untuk merujuk pada pengertian masyarakat dalam
cakupan yang sangat spesifk, yaitu pengertian “masyarakat setempat”.

Dalam pemanfaatan hutan, swasta mendapat manfaat terbesar
sedangkan pemerintah hanya mendapat porsi kecil, demikian dengan
masyarakat yang menerima manfaat jauh lebih kecil bahkan sama sekali tidak
memperolehnya. Produksi yang terjadi lebih besar ketimbang pelestariannya.
Terjadi ketidakadilan pada masyarakat, hak penduduk telah dirampas berupa
pencurian aset adat oleh perusahaan HPH, begitu hak lain yang belum diakui
pemerintah yaitu hilangnya hak akses penduduk setempat terhadap sumberdaya
yang sebenarnya berupa properti masyarakat. Walau dalam kondisi penindasan
hak, ternyata pemerintah tetap membebankan tanggungjawab pelestarian hutan
kepada masyarakat.

Pemerintah bersikap arogan, dengan meremehkan keberadaan
masyarakat. Tidak jarang, sikap arogan tersebut menghasilkan “pertentangan”
antara hukum yang dibuat oleh pemerintah dalam kurun waktu yang berbeda.

Namun, pemerintah berarogansi kembali bahwa pertentangan itu akan dapat
diatasi melalui tindakan-tindakan koersif. Masyarakat merasa termajinalkan
dengan perlakuan pemerintah, yaitu (1) pengingkaran terhadap hak dan
kedudukan masyarakat setempat melalui perundangan peraturan pemerintah,
(2) pengabaian terhadap pengetahuan unggul yang dimiliki oleh masyarakat
setempat, (3) pemerintah memandang masyarakat sebagai perambah,
masyarakat merupakan eksternalitas, dan (4) pemerintah memandang kawasan
hutan sebagai “bukan kawasan binaannya”, dengan demikian penduduk yang
hidup dalam kawasan tersebut tidak menjadi “sasaran binaan”, sehingga
kehidupan masyarakat tidak pernah terintegrasi dengan program-program
layanan pemerintah.

Konfik dalam pengelolaan hutan terjadi karena setiap pelaku memiliki
persepsi yang berbeda tentang pengelolaan sumberdaya hutan. Maka
perbedaan itu perlu dihormati dan dibangun jembatan dialog, sehingga setiap

pelaku (stakeholder) yang berkonfik memperoleh “ruang kesamaan” yang lebih
lebar. Resolusi dapat dibangun melalui penerapan manajemen kolaboratif.

Hutan kemasyarakatan merupakan praktek menuju kolaborasi. Komponen

masyarakat, yang terpenting adalah hak masyarakat serta pengetahuan dan
kearifan lokal, terakomodasi dalam pengelolaan hutan dan terjadi internalisasi
masyarakat sebagai pengelola dan penjaga hutan. Namun dalam prakteknya,
kerap pemerintah ditempatkan menjadi ”lawan” masyarakat. Terlepas dari
segala distorsinya, hutan kemasyarakatan telah memberikan kontibusi
konseptual sebagai berikut: (1) bahwa hubungan kolaboratif antara pihak yang
terkait dalam pengelolaan hutan itu memberikan kontribusi yang konstruktif
terhadap pemenuhan kepuasan setiap pihak yang terkait; dan (2) bahwa
pengetahuan dan kearifan lokal itu mampu memberikan kontribusi
komplementer terhadap teknologi, pola hubungan, dan pola pengelolaan yang
selama ini dijalankan oleh pemerintah.

Terdapat tiga stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Masyarakat disini dipandang sebagai entitas bisnis yang memiliki fungsi tujuan
untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Pemerintah disini
berfungsi untuk memaksimumkan layanan, agar interaksi setiap stakeholder
dalam manajemen kolaboratif berjalan baik. Swasta disini adalah badan usaha
yang bidang bisnisnya pendayagunaan sumberdaya hutan, bertujuan
memaksimumkan keuntungan ekonomik. Lembaga penyangga (bufer
institutions) adalah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian

terhadap masalah pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan,
dengan fungsi objektif lembaga ini adalah memaksimumkan layanan akomodatif,
korektif, dan suportif agar interaksi ketiga stakeholder tersebut berjalan baik.

Manajemen kolaboratif merupakan siklus tahapan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Pada setiap siklus dibuka
kesempatan untuk melakukan penilaian ulang, yang akan menghasilkan umpan
balik, baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari luar (pemerintah, LSM,
maupun perguruan tinggi). Dalam pengelolaan sumberdaya hutan sebagai suatu
properti masyarakat, manajemen kolaboratif merupakan wahana untuk
menginternalisasikan hal-hal yang bersifat eksternal dan dengan demikian dapat
dikatakan sebagai manajemen untuk meresolusi konfik.
Sumber: Djuhendi Tadjudin. 2000. Manajemen Kolaboratif. Penerbit Pustaka
Latin.copy
Ke 4

Manajemen Kolaborasi
P.E.L.A.T.I.H.A.N
TEKNIK FASILITASI & MANAJEMEN KOLABORASI
(Collaborative Management) dalam Pengelololaan Sumberdaya Alam

Pengantar
Pengelolaan Bersama (Collaborative Management) adalah pembagian kewenangan politis,
pendanaan, dan administrasi antar para pihak yang mewakili berbagai lapisan kelembagaan
pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta. Sebuah sistem yang merupakan perpaduan
berbagai aspek desentralisasi, dekonsentrasi dan demokratisasi untuk secara efektif mencapai
keseimbangan antara hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Terfokus secara khusus pada proses mewujudkan serta mengembangkan wadah independen
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang multistakeholder.
1.
Pengelolaan bersama diawali dengan pengembangan kemitraan berbasiskan
konstituen dan berkembang menjadi pengelolaan bersama yang sesungguhnya ketika
kemitraan berbasiskan konstituen tersebut mulai saling bekerjasama. Evolusi menuju
pengelolaan bersama menciptakan kolaborasi antar konstituen yang sering bersaing.
Kemitraan konstituen akan memberikan landasan yang kokoh bagi terciptanya pengelolaan
bersama.
2.
Pengelolaan bersama membutuhkan keterlibatan aktif para stakeholder yang
relevan. Hal ini bersifat khusus dan spesifik di kawasan tertentu. Di beberapa kawasan, hal
ini melibatkan masyarakat, lembaga pemerintah pada tingkat yang berbeda, perguruan tinggi,
sektor swasta, dan LSM. Pengelolaan bersama harus bersifat menyertai (inklusif) dan harus

memungkinkan para kelompok stakeholder yang relevan memiliki suara yang sama.

3.
Komposisi wadah pengelolaan bersama sangat menentukan keberhasilan. Rasio
optimal antara perwakilan pemerintah dan nonpemerintah dan mereka yang menjalankan
fungsi berbeda dalam pengelolaan sumberdaya alam (pengembangan ekonomi, pelestarian,
penggunaan sumber daya yang berkelanjutan) akan bervariasi dari satu kawasan ke kawasan
lainnya, namun memiliki konsekuensi besar terhadap keefektifan wadah yang
multistakeholder. Harus ada keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang bersaing
dan ini tidak akan selalu menghasilkan jumlah keterwakilan yang imbang. Dalam banyak
kasus, para stakeholder yang paling ragu untuk menyokong posisi yang kuat membutuhkan
alokasi kursi yang lebih banyak dalam wadah multistakeholder guna mencapai keterwakilan
yang benar-benar seimbang.
4.
Sehubungan dengan pelajaran di atas, tantangan khusus dalam membentuk
wadah pengelolaan bersama pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia adalah lingkup
pemerintahan yang harus mejadi fokus. Sementara UU otonomi daerah fokus pada
desentralisasi kekuasaan kepada tingkat pemkot dan pemkab, banyak kawasan konservasi di
Indonesia yang membentangkan batas-batas administratif beberapa kota dan kabupaten.
Dalam kasus seperti ini, lebih baik memfokuskan pada mitra-mitra pemerintahan tingkat

propinsi/Pemprop (meskipun mitra-mitra tingkat kota/kabupaten harus disertakan pada
tingkat tertentu).
5.
Dalam menjalankan wadah pengelolaan bersama, keseimbangan harus benarbenar dijaga antara menyertakan stakeholder penting sebanyak mungkin dan menjaga
komposisi stakeholder tetap teratur. Salah satu solusi masalah melibatkan stakeholder yang
bukan menjadi anggota langsung adalah dengan cara mengundang mereka sebagai tamu yang
tidak mempunyai hak suara ke pertemuan lembaga Pengelolaan. Akan tetapi, hal ini harus
diatur dengan baik karena para anggota tamu ini berpotensi untuk memotong jalannya
pertemuan dan memperlambat proses pengambilan keputusan.
6.
Desentralisasi pengelolaan bersama mendukung prinsip-prinsip good governance.
Meskipun harus diatur dengan baik (dan dirancang dengan baik sejak awal guna mencegah
terjadinya dominasi oleh kelompok stakeholder tertentu, salah satu kekuatan terbesar
pendekatan pengelolaan bersama adalah pemanfaatan beragam kepentingan dan motivasi
kelompok stakeholder yang bervariasi untuk mencegah terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
7.
Penumbuhan rasa bangga dan kepemilikan terhadap sumber daya alam setempat
merupakan langkah penting dalam memperoleh dukungan kuat untuk melakukan
tindakan pelestarian. Meskipun tidak ada sistem hak milik yang legal ataupun tradisional

(di mana masyarakat secara langsung memiliki sumber daya tersebut) hak milik pengelolaan
sumber daya melahirkan dukungan pelestarian yang kuat.
8.
Pengembangan sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan paling baik
dicapai melalui proses jangka panjang dan belajar sambil jalan (learning by doing)
daripada melalui program jangka pendek dan pelatihan khusus yang telalu teknis.
Pelatihan teknis dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, namun pengembangan
kapasitas pelestarian yang luas paling baik dicapai melalui mentoring jangka panjang dan
input tingkat sedang.
Berkaitan dengan hal tersebut Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) sebagai lembaga
yang mempunyai pengalaman panjang dalam kegiatan maupun proses fasilitasi dengan

masyarakat dan berbagai pihak meyelenggarakan Pelatihan Teknik Fasilitasi dan Manajemen
(Collaborative Management) dalam Pengelololaan Sumberdaya Alam.

Manajemen Kolaborasi dalam pengelolaan KPH menjadi penting dilaksanakan
sebagai bagian dari upaya mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai kegiatan
pembangunan kehutanan dalam suatu wilayah KPH.
Kolaborasi juga diyakini mampu menjadi sebuah solusi mengatasi berbagai konflik
yang sering kali dihadapi di lapangan.
Modul Prinsip Manajemen Kolaborasi ini merupakan bagian dari mata diklat
Resolusi Konflik yang diberikan pada Diklat Pemberdayaan Masyarakaf.
Modul Prinsip Manajemen Kolaborasi dibagi atas pembahasan :
1.

Konsep Dasar Manajemen Kolaborasi;

Etika dan Prinsip Kolaborasi danLatar Belakang
o

Manajemen kolaborasi merupakan strategi kolaborasi yang
memadukan mekanisme kelembagaan dalam berbagi
tanggungjawab untuk pengelolaan sumberdaya alam antara
pemerintah dengan masyarakat (Kildow, 1997; Singleton,
1998).

o

Pengelolaan kawasan hutan tidak terlepas dari keterlibatan
penuh para pihak, salah satunya adalah masyarakat yang
tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan yang
merupakan mitra penting pengelolaan kawasan tersebut.

o

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan menjadi
kunci agar pengelolaan kawasan dapat tercapai mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pengelola.

o

Keberhasilan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan
kawasan hutan sangat bergantung kepada kelembagaan
masyarakat.

o

Kuatnya kelembagaan masyarakat akan lebih menjamin
keberlangsungan progam pengelolaan kolaboratif kawasan
hutan bersama masyarakat.

Tujuan

Modul ini memiliki tujuan agar Anda
dapat mengetahui tentang prinsip manajemen kolaborasi melalui pemahaman :
1.
2.
3.

konsep dasar;
etika dan prinsip kolaborasi; serta
kriteria dan indikator keberhasilan dari manajemen
kolaborasi

2.

Kriteria dan Indikator Keberhasilan

Dari serangkaian penjelasan materi yang telah disampaikan, intisari dari
materi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Bahan bacaan Diklat manajemen Kolaborasi tingkat Resort dan
tingkat seksi. Pusdiklat kehutanan. Bogor
Hariyanto, dkk. 2013. Kolaborasi Taman Nasional di Indonesia. Bogor
Permenhut No 19 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif di Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan, Jakarta
Permenhut No 17 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberdayaan Masyarakat dalam
Kegiatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kementerian Kehutanan, Jakarta
PHKA-Dephut NRM/EPIQ WWF Wallacea TNC 2002. Membangun Kembali
Upaya Mengelola Kawasan Konservasi di Indonesia Melalui Manajemen

Kolaboratif: Prinsip, Kerangka Kerja dan Panduan Implementasi NRM/EPIQ.
Jakarta
Pomeroy, R., Katon, B. Dan Harkes, I. 2001. Conditions Affecting the Success of
Fisheries Co-Management: Lessons from Asia. Marine Policy 25: 197-208.
Tajudin D, 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin, Bogor
Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya Alam dan
Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta
Virdin, J. 2000. An Institutional Model for Co-Management of Coastal
Resources.Tropical Resources Institute News. Spring

Pengertian Kolaborasi
Pengertian Kolaborasi
1.

Pembagian wewenang dan tanggung jawab antara
pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola
sumberdaya alam, sehingga masing-masing dapat
mengontrol penyimpangan yang dilakukan pihak lain
(Pomeroy dan Berkes, 1997 dalam Frida Purwanti, 2000).

2.

Proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang
bersepakat atas dasar prinsip saling menghormati, saling
menghargai, saling kerjasama, saling percaya, saling
memberikan kemanfaatan serta saling asah, asih dan asuh
(Permenhut P.19 tahun 2104).

Pengertian Manajemen Kolaborasi
1.

Strategi kolaborasi yang memadukan mekanisme
kelembagaan dalam berbagi tanggungjawab untuk
pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah dengan
masyarakat (Kildow, 1997; Singleton, 1998).

2.

Pendekatan yang sistematis dalam mencapai konsensus di
antara beberapa kepentingan yang terlibat dalam
sumberdaya alam, melembagakan proses-proses yang
sesuai dengan budaya dan lokasi (Virdin, 2000).

Refleksi
 Apa yang dapat kita ambil sebagai inti dari pengepersamaan

visi, misi, dan persepsi,
 langkah-langkah strategis dalam mendukung, memperkuat dan
meningkatkan pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan kondisi fisik,
sosial, budaya dan aspirasi setempat.
rtian di atas ?
Dan bagaimana dengan manfaat kolaborasi pada pengelolaan kawasan
hutan?
Feedback
1. Memberikan pelayanan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian
2.
3.
4.
5.

masing-masing pihak.
Memaksimalkan produktivitas serta efektivitas dan efesiensi sumber daya
yang ada
Meningkatkan profesionalisme, loyalitas, dan kepuasan kerja setiap individu
masing-masing pihak
Meningkatkan kohesivitas antar pihak yang berkolaborasi
Memberikan kejelasan peran dalam berinteraksi antar pihak yang
berkolaborasi

RESUME
Dari serangkaian penjelasan materi yang telah disampaikan, intisari dari
materi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

ETIKA DAN PRINSIP KOLABORASI
Pokok Bahasan Prinsip Manajemen Kolaborasi akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan:
Etika Kolaborasi
Prinsip-Prinsip Kolaborasi

Studi Kasus

Dalam kasus diatas, kolaborasi berjalan sesuai dengan tujuan masing-masing pihak
akan tetapi secara nyata masih belum memberikan manfaat kepada seluruh anggota
masyarakat (LMDH).

Ketika beberapa pihak berpartisipasi di dalam suatu kegiatan, sikap apa yang harus
dimiliki oleh para pihak tersebut, agar kegiatan dapat memberikan manfaat terbaik
bagi semua pihak ?

Etika Kolaborasi
Kita harus memperhatikan nilai atau etika dan prinsip yang harus kita pegang
teguh, agar kemitraan, kerjasama dan kolaborasi yang kita bangun saling
memberikan kemanfaatan bagi semua pihak yang terlibat.
Video dibawah ini akan menjelaskan pada anda, betapa pentingnya sebuah etika
dan prinsip dalam berkolaborasi.

Prinsip-prinsip Kolaborasi
Dalam berkolaborasi, setiap pihak harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

saling
menghormati

saling menghargai

saling kerjasama

Saling

memberik
an
kemanfaat
an

saling asah,
asih, asuh

saling percaya

Penjelasan Prinsip Kolaborasi
masing-masing prinsip diatas dijelaskan sebagai berikut :
1.

Prinsip saling menghormati artinya saling memahami dan
menghormati peran dan kedudukan masing-masing dalam
kegiatan bersama

2.

Prinsip saling menghargai artinya menghargai pendapat
orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa
alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.

3.

Prinsip saling kerjasama artinya ikut serta dan berpartisipasi
sesuai peran dan kedudukan masing-masing

4.

Prinsip saling memberi kemanfaatan artinya setiap individu
dalam tim mengartikannya sebagai suatu hubungan yang
memfasilitasi proses dinamis antara orang-orang yang
ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan
kepuasan setiap anggota.

5.

Prinsip saling asah, asih dan asuh artinya dalam
berkolaborasi setiap pihak dapat saling asah (belajar), asuh
(perduli) dan asih (menyayangi). Dengan kata lain, dengan

adaya perbedaan maka kita mempunyai peluang untuk
saling belajar satu dengan yang lain, saling perduli dan
saling menyayangi.
6.

Prinsip saling percaya adalah konsep umum untuk semua
prinsip kolaborasi. Tanpa rasa percaya, saling menghormati
dan saling menghargai menjadi tanpa makna, kerjasama
tidak akan ada, kemanfaatan sulit didapat, dan tidak ada
saling asah, asih dan asuh dalam kebersamaan.

Refleksi

Apa yang dapat Anda ambil pelajaran dari video diatas terkait etika
kerjasama/kolaborasi......??

MANAJEMEN “KOMPAK” MEMBANGKITKAN PUTRI TIDUR
Oleh Tri Makno Hartanto
A. LATAR BELAKANG
Peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah tantangan besar bagi
dunia pendidikan. Oleh karenanya setiap sekolah mestinya tanggap dengan perubahan yang
serba cepat dalam setiap bidang kehidupan. Tak terlepas dari itu perkembangan informasi
pendidikan secara global menuntut guru-guru untuk dapat berpikir secara global serta
memiliki kompetensi yang terus menerus ditingkatkan.

Kondisi perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berkembang pesat dengan
sendirinya menjadi sebuah perhatian serius pemerintah agar guru juga diberikan pembinaan
profesional secara terus menerus, berkelanjutan, dan berkesinambungan. Guru sebagai ujung
tombak pendidikan menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang serba
cepat perlu terus meningkatkan kualitasnya sehingga mampu memenuhi tuntutan zaman.
Berbekal pengetahuan yang up to date, guru tetap dapat memberikan informasi-informasi
mutakhir ketika memfasilitasi pembelajaran terhadap murid-muridnya. Salah satu wadah
yang tepat digunakan para guru untuk mengembangkan kompetensi dan keterampilannya
bersama teman sejawat dalam satu gugus adalah Kelompok Kerja Guru (KKG).
Kelompok Kerja Guru Gugus Kartini merupakan satu dari 8 gugus baru yang ada di
wilayah Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes yang berdiri pada tahun 2010. SD Negeri Brebes
01 sebagai SD Inti saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, terutama dalam hal
manajemen KKG-nya sehingga saat ini bisa disebut menjadi salah satu “gugus ikon” di
Kabupaten Brebes. Hal ini dapat dibuktikan dengan prestasi yang diperoleh gugus dan para
anggotanya banyak mendapatkan prestasi yang membanggakan, selain itu banyaknya keinginan
dan permintaan untuk mengunjungi Gugus Kartini dalam kegiatan study visit baik dari dalam
kecamatan, antar kecamatan bahkan antar kabupaten memperkuat bukti bahwa Gugus Kartini
dengan manajemen “KOMPAK” dapat diibaratkan membangkitkan “Putri Tidur” yang terlelap.
Bagaimanakah kisah bangkitnya “Putri Tidur” yang dibangunkan oleh “Sang Pangeran”
dengan manajemen “KOMPAK”-nya, akan saya uraikan sebagai Best Practice KKG Gugus
Kartini dalam uraian penulisan artikel untuk Buletin Nasional ini.

B. STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
SD Negeri Brebes 01 merupakan sekolah dasar pertama di Kabupaten Brebes yang
berdiri pada tahun 1927. Perjalanan panjang dan berliku sudah pasti dilalui SD ini. Seiring
berjalannya waktu maka lahirlah SD Negeri Brebes 02, Brebes 03, hingga SD Brebes 14 di
kota Brebes. Persaingan tajam sudah pasti terjadi mengingat SD-SD ini berada di jantung
kota Brebes. Jumlah peserta didik baru mengalami fluktuasi yang tajam, sehingga ada
beberapa SD Brebes yang terpaksa dimerger karena kekurangan siswa, diantaranya SDN
Brebes 04, SDN Brebes 05, dan SDN Brebes 12. SD Negeri Brebes 01 sangat dikenal
masyarakat luas karena prestasi sekolah yang membanggakan tidak kalah dengan SD
tetangganya, meskipun kharakteristik ekonomi orangtua yang menyekolahkan putra-putrinya
di SD ini sangat beragam, ada yang mampu dan sebaliknya. Hal ini tidak dialami oleh SD

Negeri Brebes 02 dan SD Negeri Brebes 03 yang sebagian besar orangtua siswanya dari
kalangan ekonomi atas, bahkan putra-putri pejabat Kabupaten pun banyak yang bersekolah di
SD Negeri Brebes 02 maupun SD Negeri Brebes 03.
Pada tahun 2005 hingga pertengahan 2009 para guru di SD Negeri Brebes 01 dalam
mengikuti kegiatan KKG tergabung dalam Daerah Binaan (Dabin) I, keaktifannya sudah mati
suri. Ibarat peribahasa “Hidup segan mati tak mau”. Penulis pada pertengahan tahun 2009
baru saja mutasi di SD Negeri Brebes 01 dan mulai bekerja sejak November 2009 meskipun
SK saya terima berempat bersama guru yang lain tertulis tanggal 13 Juli 2009. Setelah
melakukan penyesuaian dengan teman-teman guru di SD ini saya mulai berfikir untuk
mengaktifkan KKG, mengingat di Dabin yang lama saya termasuk pemandu yang aktif,
terlebih diperkuat memiliki sertifikat lulus seleksi guru pemandu mata pelajaran IPA yang
diselenggarakan LPMP Jawa Tengah pada tahun 2006. Bagai gayung bersambut saat itu
Pengawas TK/SD Bapak Ali Mu’arif (Almarhum) menjadi Pengawas TK/SD Dabin I dan
berpisah dengan SD Negeri Brebes 03 yang selama ini menjadi SD inti menjadi Dabin
tersendiri. Keinginan untuk mengaktifkan kegiatan KKG kembali bertambah kuat ketika SD
Negeri Brebes 01 mendapat Kepala Sekolah yang baru Ibu Hj. Tutik Wahyuni Th,M.Pd.
Jadilah sinergi yang kuat antara guru, kepala sekolah, dan pengawas TK/SD saat itu.
Langkah-langkah operasional dari strategi pemecahan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Segera membentuk kepengurusan baru setelah pemekaran Dabin I dengan persetujuan para
Kepala Sekolah dalam satu gugus dalam pemilihan yang dilakukan sangat demokratis melalui
usulan beberapa calon ketua.
2.

Melengkapi kepengurusan dengan menempatkan para guru dari Dabin I yang memiliki
kecakapan yang diperlukan untuk menggerakkan jalannya roda organisasi “The right man on
the right job”.

3.

Menetapkan Visi dan Misi KKG Gugus Kartini dengan motto “KOMPAK”. Kata KOMPAK
merupakan akronim dari Kekeluargaan, Open Manajemen, Profesionalisme, Akuntabilitas,
dan Kredibilitas.

C. ALASAN PEMILIHAN STRATEGI MASALAH
Bukan tanpa alasan saya memilih motto ini, mengingat dari hasil pendataan setelah
pemekaran dabin yang kami terima sebagian besar guru sudah memasuki usia menjelang
pensiun, tingkat pendidikan pun beragam seperti data sebagai berikut:

1.

Kualifikasi Akademik
Dari 60 anggota yang berkualifikasi S1 sebanyak 19 orang, D2 sebanyak 7 orang dan SPG
sebanyak 13 orang , sisanya 21 orang sedang menempuh Jenjang Pendidikan S1.

2.

Klasifikasi berdasarkan Kelompok Umur
KKG Gugus Kartini merupakan Kelompok Kerja Guru yang terunik karena berdasarkan
klasifikasi kelompok umur dapat di kelompokkan sebagai berikut :
a. 26, 6 % berumur antara 20 – 35 tahun ( 16 orang )
b. 13,4 % berumur antara 36 – 45 tahun ( 8 orang )
c. 60 %

3.

berumur antara 46 – 60 tahun ( 36 orang )

Kondisi Sekolah
Kondisi sekolah tempat mengajar anggota KKG Gugus Kartini Kecamatan Brebes terdiri dari
2 sekolah berkategori baik karena terletak di pinggir jalan raya, 3 sekolah berkategori sedang
karena meskipun terletak di desa kondisi bangunan sekolahnya masih cukup bagus,
sedangkan 4 sekolah anggota gugus berkategori kurang karena selain kondisi fisik bangunan
yang kurang layak, jumlah murid sedikit juga perjalanan ke SD inti terlalu jauh.

4.

Klasifikasi berdasarkan Pangkat / Golongan Ruang
Status /
Golongan
GTT
PNS Gol. Ruang
II
PNS Gol. Ruang
III
PNS Gol . Ruang
IV

Jumlah

Persentase

23

38 %

6

10 %

14

23 %

17

29 %

Melihat persentase pangkat / golongan ruang para guru anggota Gugus Kartini
seharusnya menunjukkan semakin tinggi kualitas mengajar, karena mayoritas sudah
berpangkat Pembina dan bergolongan IVa, namun sayangnya dengan makin tingginya
golongan ruang para guru tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja yang ditunjukkan
dalam pembelajaran kesehariannya. Sebaliknya di sisi yang lain anggota KKG gugus Kartini
yang berusia muda masih berstatus sebagai GTT sehingga mereka masih harus diberikan

kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang selama ini jarang di berikan
kepada GTT karena status mereka.
D. HASIL ATAU DAMPAK YANG DICAPAI
Berdasarkan pengamatan selama memimpin Gugus Kartini dan data yang ada, maka
kami membawa organisasi gugus ini dengan didasari kesuksesan dan keberhasilan adalah
karena usaha bersama, maka dengan manajemen “KOMPAK” yang menjadi motto kami
dalam melayani para guru di gugus Kartini, hasilnya atau dampaknya sebagai berikut :
1.

Gugus Kartini dengan Manajemen “KOMPAK” menuai prestasi dengan menjadi juara II
Lomba Gugus tingkat Kabupaten Brebes tahun 2011. Membanggakan karena memang
membawa nama harum kecamatan Brebes yang beberapa tahun terakhir tidak pernah meraih
juara, mengejutkan karena tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, apalagi gugus Kartini
belum lama berdiri. Selain Juara II Lomba gugus juga sekaligus SD Negeri Brebes 01
memperoleh juara II Kinerja Kepala Sekolah, dan sekaligus Juara II Lomba Kebersihan
Tingkat Kabupaten.

2.

Prestasi anggota gugus tidak kalah dahsyatnya, antara lain :

a. Juara I Guru Berprestasi tingkat Kabupaten Brebes, dan di Provinsi

Jawa Tengah mendapat

peringkat 6 (Juara harapan III).
b. Tahun 2012 ada 3 orang anggota gugus Kartini yang membukukan kemenangan menjadi juara
Harapan II tingkat Provinsi pada simposium model penanaman nilai-nilai wawasan
kebangsaan
c. Tri Makno Hartanto ketua KKG Gugus Kartini meraih lagi Guru Berprestasi I Tingkat
Kabupaten Brebes berdampingan dengan Ibu Kepala Sekolah yang juga menjadi Kepala
Sekolah Berprestasi I, Guru Terpuji Kabupaten Brebes. Puncaknya ketua KKG Kartini
berhasil menjadi Guru Berprestasi I tingkat Provinsi Jawa Tengah sampai menjadi finalis
PTK Berprestasi Tingkat Nasional.

E. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI
1. Masih ada beberapa Kepala Sekolah yang apatis terhadap kegiatan KKG, mereka
memberikan motivasi kepada guru karena ”takut” kepada Pengawas Sekolah.

2. Penguasaan teknologi dan informasi (TI) dari para guru relatif masih rendah, terutama para
guru yang berusia tua, menjelang purna.
3. Perlu waktu dalam mengubah pola pikir, bahwa pelaksanaan KKG yang sekarang berbeda
dengan yang lalu terutama dalam penyajiannya.
F. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
1.

Tingkat kehadiran guru melebihi persentase dari perkiraan semula, bahkan ada beberapa guru
yang dalam perjalanan mengikuti KKG Gugus Kartini khususnya Program BERMUTU
akhirnya memasuki masa purna tugas, masih sering menyapa dan mengungkapkan ingin tetap
mengikuti program ini karena merasakan hal yang berbeda dibandingkan dengan kegiatan
KKG yang diikutinya ketika masih muda.Motivasi itulah yang akhirnya membuat saya
sebagai Ketua KKG Gugus Kartini semakin yakin bahwa dengan pola manajemen
“KOMPAK” , para guru yang berkeinginan maju bersama, berbagi bersama dengan ikhlas
hati mengikuti KKG Gugus Kartini khususnya program BERMUTU.

2.

Manajemen “KOMPAK” semakin dapat dirasakan hasilnya oleh para Kepala Sekolah
terbukti dengan tidak diragukannya lagi kemampuan guru untuk menjadi Ketua KKG dalam
melaksanakan program-programnya. Hal ini menepis anggapan seperti yang selama ini
terjadi bahwa ketua KKG umumnya adalah Kepala Sekolah. Selain sebagai ketua Gugus
KKG penulis juga dipercaya menjadi pengurus Forum KKG bidang Diklat periode 20102012, dan pada periode 2012 – 2014 kembali dipercaya menjadi Bendahara FKKG “Pantura”.

3.

Keberhasilan lain dari manajemen “KOMPAK” adalah dengan adanya bantuan dana sharing
baik dari Pemerintah Daerah maupun dari sekolah anggota gugus untuk memberikan
tambahan biaya di luar yang telah dibiayai oleh Dana Bantuan Langsung. Dari beberapa
uraian tersebut penulis menuliskan Best Practice Gugus Kartini dengan mengibaratkan Sang
Pangeran dengan Manajemen “KOMPAK” mampu membangunkan Putri Tidur yang pulas
dari tidur panjangnya.

G. ALTERNATIF PENGEMBANGAN

Kerjakeras, keinginan yang kuat, kekompakan, kebersamaan untuk saling bahumembahu meraih cita-cita dan tujuan bersama telah menginspirasi kami untuk menerapkan
model manajemen “KOMPAK” dalam memajukan Kelompok Kerja Guru Gugus Kartini
Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes. Alternatif pengembangan yang saya lakukan bersama
seluruh pengurus dan anggota adalah dengan bersama-sama menyusun suplemen bahan ajar
yang diberi nama CERMIN (buku referensi dan latihan kompetensi), yang dapat
meningkatkan

pengetahuan

memanfaatkan

TIK,

mendapatkan

income

sekaligus

kesejahteraan bersama.

H. SIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Model manajemen “KOMPAK” dapat diterapkan pada pola kepemimpinan yang lain, karena
lebih fleksibel, luwes, menjunjung tinggi rasa kekeluargaan, hormat menghormati, penuh
kejujuran, keterbukaan, dan kebersamaan.
2. Pemberian keleluasaan untuk menyusun program kerja dengan tetap memegang teguh
prosedur yang ditetapkan sebelumnya, ikut mendukung pola manajemen “KOMPAK” meraih
kesuksesan.
3. Keberhasilan dalam melaksanakan manajemen “KOMPAK”, benar-benar membawa dampak
yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan melalui pemanfaatan Kelompok Kerja Guru.
I.

REKOMENDASI

1. Kepada pihak guru, manajemen “KOMPAK” dapat dimanfaatkan untuk saling berbagi,
menghargai, bekerjasama sebagai bagian dari usaha pengembangan diri.
2. Kepada pihak sekolah dalam satu gugus, manajemen “KOMPAK” dalam meningkatkan
jalinan kerjasama dalam rangka mendukung program-program pemerintah untuk saling
bersinergi.
3. Kepada Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah, sebagai bahan masukan dalam mengambil
kebijakan / keputusan untuk meningkatkan profesionalisme guru, sehingga perlu dukungan
dengan pemberian penghargaan terhadap keberhasilan atau prestasi yang diraih anggota
kelompok kerja, sehingga derajad kepercayaan pola manajemen “KOMPAK” akan dipercaya
sebagai langkah yang nyata untuk memajukan komitmen peningkatan mutu pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1996. Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan Di Sekolah
Dasar. Jakarta
Depdiknas. 2010. Pedoman Pelaksanaan KKG BERMUTU. Jakarta
Fattah, Nanang . 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : Andira
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional

BIODATA PENULIS ARTIKEL
Nama
NIP
NUPTK
Pangkat/Gol.
Nama Sekolah

: TRI MAKNO HARTANTO,S.Pd.,M.Pd.
: 19710927 199903 1 006
: 6259749651200013
: Pembina / IV a
: SD Negeri Brebes 01 Kabupaten Brebes
Jawa Tengah
Jabatan
: Ketua KKG Gugus Kartini
Alamat
: Perum Griya Praja Jl. Akasia I/ No.59
RT.01/RW.13 Pasarbatang Brebes 52211
Telp./HP
: (0283) 6176847 / 085 866 322 688
Email
: trimakno88@yahoo.co.id
Prestasi
: a. Guru Berprestasi I Tk.Kab. Brebes 2011
b. Guru Terpuji Kabupaten Brebes 2011
c. Juara Harapan II Simposium Model
Penanaman Wawasan Kebangsaan
Tk.Propinsi Jateng 2012
d. Guru Berprestasi I Tk.Propinsi Jateng
dan Finalis Tingkat Nasional 2012

e. Juara I Best Practices KKG Tingkat
Nasional 2013
Diposkan oleh SD NEGERI BREBES 01 di 20.59

BEST PRACTICE KEPALA SEKOLAH SDN PINGGIR
BALONGPANGGANG GRESIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.

IDENTIFIKASI MASALAH
Pendirian sebuah Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan adalah niat luhur untuk
mencerdaskan bangsa. Dalam pendirian tersebut lebih mengutamakan pada kepentingan
masarakat dan prospek kedepan bagi keberlangsungan lembaga tersebut. Penyediaan akan
sarana gedung, tenaga, anggaran, siswa peserta didik, dan fasilitas pembelajaran lainnya
menjadi mutlak diperlukan. Demikian halnya dengan pendirian SDN Pinggir yang terletak di
Desa Pingir Kecamatan Balongpanggang Kabupaten Gresik.
Semenjak menjadi Kepala Sekolah di SDN Pinggir, keadaan sarana dan prasarana
cukup. Namun masih ada dari segi tenaga pendidik masih kualifikasi pendidikannya masih
kurang kurang. Guru-guru SDN Pinggir masih belum semua berpendidikan sarjana,
sehingga proses pembelajaran yang mereka berikan masih menggunakan paradigma lama.
Pengetahuan dan cara pembelajaran yang dilakukan guru sangat berpengaruh pada siswa.
Apabila menginginkan pengelolaan sekolah dapat berjalan dengan efektif dan efesian maka
yang pertama harus dibenahi adalah kualifikasi pendidikan tenaga pendidik.

B.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kondisi itu pula penulis yang ditugaskan sebagai Kepala Sekolah
mencoba mulai membenahi keadaan tersebut. Identifikasi masalah yang diungkap di atas,
penulis merumuskan :
“ Bagaimana mengelola sekolah agar lebih efektif dan efisien
sesuai ketentuan berlaku dan kemampuan yang dimiliki pada fase pembangunan
selanjutnya ?”.
Untuk itu penulis mencoba merefleksikan tindakan berkenaan dengan pemecahan
masalah tersebut dimulai dengan Pembenahan kualifikasi tenaga pendidik yang sangat
berpengaruh pada efektifitas dan efesiensi pengelolaan sekolah. Selain itu juga dalam
bidang perbaikan dan penambahan sarana belajar siswa.

BAB II

STRATEGI YANG DITEMPUH

Komunikasi adalah hal yang sangat diperlukan dalam pemecahan masalah ini. Dari
prestasi yang dihasilkan oleh SDN Pinggir menjadi sorotan Komite Sekolah dan
masyarakan. Bagi tenaga Guru yang dipermasalahkan memiliki dasar historis yang kuat
untuk merasa memang kualifikasi pendidikannya kurang untuk masa sekarang. Mengingat
mereka sudah lama mengajar di sekolah tingkat dasar ada yang mulai sejak tahun 1970 dan
ada pula yang sejak 1980.
Untuk meluruskan keadaan tersebut maka penulis mencoba mengadakan pendekatan
dengan Kepala Cabang Dinas P dan K yang sekarang menjadi UPT Dispendik Kecamatan
Balongpanggang, Ketua Komite Sekolah sebagai wakil masyarakat dan guru-guru yang
bersangkutan. Kesepakatan awal dengan Kepala Cabang Dinas P dan K adalah dicarikan
jalan keluar dengan cara mencarai informasi tentang beasiswa kualifikasi pendidikan bagi
guru SD yang belum S1 ke Dinas P dan K Kabupaten Gresik dan menyarakan kepada guru
yang bersangkutan untuk kuliah pada Perguruan Tinggi yang sudah bekerjasama dengan
instansi terkait. Selain itu pula penulis mencoba menjelaskan kepada Komite Sekolah
mengenai masalah kualifikasi pendidikan pada sejumlah tenaga tersebut dalam waktu dekat
akan ada penyelesaiannya yaitu dengan jalan menempuh pendidikan lagi. Demikian juga
kepada guru yang bersangkutan, dengan menggunakan strategi pendekatan dengan cara
memberi pengertian pada guru-guru tersebut bahwa kualifikasi pendidikan S1 harus
ditempuh oleh guru yang masih SPG atau D2 PGSD karena selain syarat untuk sertifikasi
tenaga pendidik, pendidikan S1 juga sangat penting untuk meningkatkan komptensi guru itu
sendiri dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.
Disamping pembenahan tenaga untuk memperkuat kemudahan pembenahan proses
kegiatan KBM yang masih belum berjalan dengan baik , masalah lain muncul yakni fasilitas
ruang belajar dan perlengkapannya. Penulis mencoba mendekati para pemegang keuangan
dan sarana. Kesiapan akan anggaran mutlak diperlukan. Secara birokrasi telah ditempuh
dengan mngusulkan kebutuhan akan kursi dan meja untuk 3 ruangan belajar. Hal ini
didasari pula oleh tuntutan orang tua murid yang merasa keberatan anaknya melaksanakan
proses pembelajaran pada bangunan yang sudah mulai lapuk pada rapat komite awal
tahun. Penulis memanfaatkan yang dimiliki dengan member peyangga pada atap bangunan
yang sudah mulai rusak. Akibatnya berimbas pada proses pembelajaran yang selalui
dihantui oleh robohnya bangunan.
Pada masalah lain WC Siswa dan Guru masih menjadi satu. Desakan akan kebutuhan
WC Guru ideal muncul saat pembenahan sarana yang ada. Kemudian penulis mengadakan
rapat kecil dengan ketua Komite Sekolah, Bendahara komite dan Pengawas TK/SD untuk
mengajukan proposan rehabilitasi gedung sekolah ke Pemerintah Daerah. Tidak hanya itu
sarana lapanganpun menjadi pembicaraan. Becek ketika musim hujan tiba. Kegiatan
ekstrakurikuler dalam pengembangan teknologi informasi juga dibahas dalam rapat kecil
tersebut dan disepakati untuk mengajukan proposal ke PT. Petro Kimia Gresik selaku
BUMN yang menjalin kemitraan dengan Kelompok Tani Desa Pinggir karena salah satu
anggota komite sekolah SDN Pinggir juga Ketua Kelompok Tani.

BAB III
HASIL – HASIL YANG DICAPAI

A.

PERUBAHAN YANG DIINGINKAN
Dari uraian permasalahan dan strategi pemecahan penulis ingin mendapatkan
beberapa perubahan. Adapun perubahan yang dinginkan adalah :

1.

Mendapatkan tenaga Guru yang selama ini masih berkualifikasi pendidikan Diploma
menjadi Sarjana. Dari upaya tersebut terhitung sampai saat ini telah 5 orang guru yang
sudah mendapatkan gelar sarjana dari Dana Beasiswa Kualifikasi Pendidikan dari
Pemerintah Daerah maupun dana mandiri bahkan pada tahun ini Staf Tata Usaha juga
sudah mendapat gelar sarjana. Sehingga saat seluruh tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan sudah berkulifikasi S1.

2.

Tersedianya sejumlah kursi-meja untuk pemenuhan rasio kebutuhan belajar sebanyak 3
ruang. Alhamdulillah untuk kursi dan perangkat kelas telah tersedia walaupun ruang 3 ruang
lagi mulai mengalami kerusakan ringan.

3.

Terbangunnya Ruang Kepala Sekolah dan Guru sekaligus WC yang ada di dalamnya
sebagai sarana tempat berkumpul dan berinteraksi guru dengan kepala sekolah serta
terpisahnya WC guru dengan siswa.

4.

Tersedianya sarana lapangan Olah Raga yang aman dan representatif untuk kegiatan
KBM. Kami telah menyiapkan satu net bola voli dan seluruh halaman depan telah kami
paving. Hal ini ditujukan agar bola dapat memantul dengan sempurna dan tidak rusak.
Selama ini masih menggunakan. Adapun luas halaman adalah 600 m2.

5.

Tersedianya ruang perpustakaan untuk siswa walaupun tempatnya masih kurang memadai
.

6.

Tersedianya ruang computer beserta perlengkapanya guna menunjang kemampuan IT
siswa. Untuk computer sudah ada 5 unit computer 4 dari bantuan PT. Petrokimia Gresik dan
1 dari dana komite sekolah. Untuk ruang computer dalam tahap pengajuan proposal.

7.

Tertatanya taman dan penghijauan di halaman depan dengan membuat pagar dan di cat
hitam putih untuk menambah citra dan penampilan.

8.

Tersedianya lahan parkir. Kami telah merubah bahan bangunan yang tidak terpakai
menjadi tempat parkir khususnya kendaraan roda dua untuk guru dan siswa. Lahan tersebut
kami bentuk dengan menggunakan kayu dan esbes sisa bongkaran bangunan yang
direhab.

9.

Tersedianya kantin sehat. Bekerjasama dengan wali murid yang mau berjulan makanan
sehat di sekolah dengan cara membuat tempat kantin sendiri.

10.

Pembuatan Papan Nama Sekolah. Saat ini kami telah memiliki sebuah papan nama
sekolah tebuat dari tembok dan berasal dari dana wali murid.

11. Penghijauan dan lingkungan ASRI
12. Ruang UKS . Selama ini ruang UKS menjadi satu dengan ruang TU. Sekarang telah kami
berikan ruang khusus sekitar 16 m2.
13. Pembenahan saluran air pembuangan sepanjang 30 m2. Kami telah menangani saluran air
sehingga tidak terjadi penggenangan disana-sini.

B.

KETERLAKSANAAN
Dari uraian di atas dapatlah kami simpulkan bahwa penekanan pengelolaan sekolah
efektif memang cukup menantang. Apa yang kami lakukan di atas adalah baru
memperlihatkan pembenahan sarana fisik dan belum menyentuh hal-hal lain. Alasannya
adalah :

1.

SDN Pinggir adalah sekolah yang masih terus harus ditata secara fisik dalam memberikan
layanan pada warga sekolah.

2.

Kualifikasi ketenagaan adalah hal yang masih bersifat dinamis. Memang pada saat ini
masih berkualifikasi S1 diharapkan pada masa yang akan datang sudah mulai ada yang S2.
Etos kerja dibangun melalui kepastian layanan dari para tenaga yang telah bersama-sama
merintis sekolah sejak awal.

3.

Melalui pembenahan tenaga adalah salah satu cara yang dapat membuka simpul-simpul
pelayanan selanjutnya sambil menyongsong perubahan-perubahan. Jalur birokrasi yang
ditempuh memakan waktu sementara sekolah harus terus berjalan dan mempertahankan
apa yang telah dicapai selama ini.

4.

Para Orang tua murid telah memahami keadaan tersebut . Namun tingkat partisipasi
mereka belum memperlihatkan hal yang signifikan terutamanya pada masalah pembiayaan.
Hal ini terlihat jelas pada iuran yang telah mereka sepakati.
Apa yang telah kami uraikan dengan segala hal yang mempengaruhinya kami tetap
optimis. Dari beberapa rangkaian kegiatan penulis memperhatikan masih terdapat semangat
untuk membangun dan membenahi sekolah dari para pegawai walaupun terkesan dari sisasisa waktu. Sebagian dari mereka adalah tenaga honor murni yang belum berstatus PNS.
Harapan yang ditangkap adalah keinginan mereka yang kuat untuk mendapatkan status
kepegawaian sebagai tenaga PNS. Walaupun disadari bahwa kondisi tersebut masih
memerlukan kesabaran.
Beberapa hal yang belum kami lakukan dan akan kami lakukan adalah sebagai berikut
:

1.

Terbangunnya sarana pembelajaran 6 kelas dengan spesifikasi memadai. Demikian
dengan alat peraga dan media pembelajaran.

2.

Ruang khusus Kepala Sekolah dan TU .

3.

Pengajuan pembangunan ruang komputer

4.

Pagar taman agar lebih representatif.

5.

Pengecatan Lapangan untuk memberikan nuansa hijau dan asri

6.

Peningkatan kualitas SDM yang akan kami lakukan di semeter ke dua.

7.

Peningkatan layanan administrasi.

8.

Pembenahan anggaran dari berbagai sumber.

9.

Pembenahan Program mengacu pada 8 Standar Pendidikan.

BAB VI
KUNCI SUKSES DAN KEBERLANJUTAN PROGRAM

Seperti yang telah penulis paparkan optimisme dan motivasi membangun sekolah
dapat dikategorikan baik dari warga sekolah. Prestasi selama dua bulan terakhir dari
pembangunan fisik dan non fisik cukup signifikan. Prestasi yang diraih dalam kegiatan
PORSENI SD pada bulan Tahun 2009 lalu cukup menggembirakan , utamanya sebagai
Sekolah Dasar yang berada di pinggir kota kecamatan. Sekolah kami menjadi utusan Dinas
Pendidikan Kabupaten Gresik ketingkat Provinsi. Dalam cabang olahraga Catur dan Tenis
Meja. Belum lagi kegiatan berskala nasional lainnya. Salah satu orang guru mewakili UPBJJ
Surabaya dalam DISPORSENI di Bogor dalam lomba Diskusi Ilmiah mendapatkan juara 1
Kami mengakui beberapa fasilitas yang memang masih dibutuhkan untuk kegiatan
pembelajaran praktik adalah ruang laboratorium komputer. Lahan yang ada memang
memungkinkan dan kami telah memproyeksikan pada kurun waktu dikwartal ke dua mudahmudahan dapat terrealisir bersamaan dengan ruang perpustakaan dan pagar / jaring bola
sepanjang 30 m2. Untuk pembenahan SDM juga akan kami lakukan pada saat itu
bersamaan dengan penerapan pelajaran tambahan untuk kelas 4,5 dan 6 pada bidang studi
Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia. Ke depan dari apa yang telah kami capai
memperlihatkan tantangan yang cukup tinggi dan memberikan motivasi bagi para pengelola
pendidikan di SDN Pinggir. Untuk dapat bersaing dengan sekolah yang lain diperlukan
program percepatan dengan penekanan pada kualitas SDM dan kegiatan pembelajaran.
Peningkatan kualitas SDM dibarengi oleh peningkatan kualitas sarana-prasarana.
Kelas yang masih standar peralatan dan belum adanya LCD, Kualitas kurikulum yang mau
tidak mau terus dilakukan penyesuaian. KegiatanEksatra Komputer walaupun sudah baik
tetapi kami masih perlu pembenahan khususnya pembuatan MoU dengan masyarakat
DU/DI. Perpustakaan yang masih minim walaupun kami telah mulai merancang membangun
ruang perpustakaan., dll adalah sejumlah PR yang perlu menjadi fokus perhatian. Selain itu
pada kegiatan layanan administrasi juga perlu ditingkatkan. Dengan adanya TU yang sudah
S1 besar harapan kami untuk mengadakan perubahan layanan administrasi yang lebih baik.
Kualitas anggaran adalah kunci keberhasilan. Penggunaan yang efektif dan efisien
dari sejumlah pemasukan sekolah dari berbagai sumber berkenaan dengan kebijakan

anggaran adalah juga menjadi kajian. Karena memang anggaran memiliki nilai strategis dan
pital bagi keberlangsungan kegiatan layanan secara keseluruhan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Semenjak berdiri SDN Pinggir telah banyak menunjukan kemajuan pembangunan
baik sarana fisik dan pembenahan manajemen dan organisasi.
2. Permasalahan yang membutuhkan banyak perhatian adalah pembenahan
ketenagaan , berkaitan dengan kegiatan KBM.
3. Pembenahan sarana fisik tidak terlepas dari kondisi kebutuhan pembelajaran praktik
ko