Nilai Sufistik Dalam Surah Al-Fatihah : Kajian Kritis atas Tafsir al-Jilani Karya Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani.

(1)

NILAI SUFISTIK DALAM

SU<RAH

AL-FA<TIHAH

(Kajian Kritis atas Tafsi>r al-Ji>la>ni> Karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>>>>)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi

Ilmu Al-Qur’ān dan Tafsīr

Oleh

Syarifah Muhammad Zaini NIM. F120515253

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Syarifah Muhammad Zaini

NIM : F120515253

Fakultas/Jurusan : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir E-mail address : iva.syarifah.zayn@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Sekripsi  Tesis Desertasi Lain-lain (………) yang berjudul :

NILAI SUFISTIK DALAM SURAH AL-FATIHAH

(Kajian Kritis atas Tafsir al-Jilani Karya Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltextuntuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 18 Agustus 2017

Penulis

( Syarifah Muhammad Zaini )

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Nilai Sufistik dalam Su>rah al-Fa>tih}ah}: Kajian Kritis atas Tafsi>r al-Ji>la>ni> Karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>”. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan narasi penafsiran ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> pada Su>rah al-Fa>tih}ah} di kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni> yang dinisbatkan sebagai karyanya. Narasi tersebut kemudian dikaji untuk mendapatkan nilai-nilai sufistik yang ada di dalamnya dan bagaimana implikasinya terhadap praktik dan pemahaman tasawufnya. Penelitian ini perlu untuk dilakukan untuk menemukan gambaran pemikiran tasawuf ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> yang selama ini masih belum banyak diteliti. Su>rah al-Fa>tih}ah} yang dianggap “representasi” dari kandungan al-Qur’a>n

secara umum menjadi obyek yang diharapkan merepresentasikan pemikiran

tasawuf ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> secara global.

Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan obyek

material pemikiran ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> tentang nilai sufistik dalam penafsirannya terhadap Su>rah al-Fa>tih}ah} di Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>. Penelitian ini menggunakan metode tah}li>ly (analisis) dengan pendekatan tasawuf, Kitab Risalah al-Qushayriah karya Abu al-Qasim al-Qushayri dan Kashf al-Mah}ju>b karya al-Hujwiri digunakan sebagai pisau analisisnya untuk mengidentifikasi nilai sufistik yang terdapat di dalam obyek penelitian.

Dari kajian penelitian yang sudah dilakukan didapatkan hasil sebagai

berikut: Nilai sufistik ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> yang terkandung dalam penafsiran Su>rah al-Fa>tih}ah} didasarkan pada penekanan makrifat (mengetahui dan mengenali tentang keberadaan Dhat Tuhan beserta proses penciptaan yang dikaitkan dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya) sehingga seseorang punya kesadaran untuk selalu mentauhidkan-Nya. Pemahaman tentang tauhid Dhat-Nya dan proses penciptaan dibagi dalam 2 proses yaitu Tanazzul (penurunan kualitas) dari Dhat, dan Taraqqi> (perjalanan naik) seorang hamba untuk kembala ke Penciptanya. Sedangkan tahapannya dibagi menjadi 3 tahap yakni Martabah al-Ahadiyyah (keEsaan), Martabah al-‘Adadiyyah (keberbilangan), dan Martabah al-‘Ubudiyyah (penghambaan). Jalan kesempurnaan bagi ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>

adalah dengan tidak memisahkan antara Shari’ah dan Hakikat, untuk menggapai

Surga Dhat-Nya yaitu bermusha>hadah (bertatap-muka) dengan-Nya. Dalam menuju kesempurnaan itu seseorang harus menggapai fana’ (peniadaan diri), yang dimulai dengan proses ‘uzlah (menepi dan menjauh dari segala potensi yang bisa menjatuhkan dan menggagalkan proses suluk-nya). Fana’ yang beriringan dengan mukashafah (tersingkapnya tabir) adalah anugerah Tuhan yang mungkin bisa digapai dengan proses ‘ubudiyyah (menghambakan diri), ta’ammul dan tadabbur (perenungan mendalam), tawajjuh dan taqarrub (mendekatkan diri), senantiasa bersyukur pada Tuhan, sepenuhnya mencintai dan merindukan pertemuan dengan Tuhan, raja’ (berharap sepenuh hati) melalui do’a-do’a dan

munajat kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM TESIS ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

HALAMAN TRANSLITERASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

HALAMAN ABSTRAK ... viii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 13

E. Kegunaan Penelitian ... 14

F. Penelitian Terdahulu ... 14

G. Metodologi Penelitian ... 19

1. Pendekatan Penelitian ... 19

2. Metode Penelitian ... 19


(8)

H. Sistematika Pembahasan ... 28

BAB II : BIOGRAFI INTELEKTUAL SYAIKH ‘ABD AL-QA>DIR AL-JI>LA>NI>

A. Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> Sebagai Pencari Kebenaran: Masa Muda Hingga Uzlah ... 35 B. Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: Sufi dan Pemimpin Tarikat ... 53 C. Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> Ahli Tafsir: Menyoal

Kepakaran al-Ji>la>ni> Sebagai Ahli Tafsir ... 60

BAB III : TAFSIR SUFI DAN PROFIL KITAB TAFSI<R AL-JI<LA<NI<

A. Macam-Macam Metode dan Corak Penafsiran al-Qur’an ... 64 B. Pengertian dan Sejarah Munculnya Tafsir Sufi ... 74

1. Pengertian Tasawuf; Sekilas Sejarah, Konsep, Nilai, dan Perkembangannya ... 74 2. Tafsir Sufi; Cuplikan Sejarah dan Perkembangannya ... 80 C. Profil, Corak dan Metode Penafsiran Kitab Tafsi>r al-Jīlāni> ... 85

BAB IV : KAJIAN NILAI SUFISTIK SU<RAH AL-FA>TIH{AH DALAM TAFSI<R AL-JI>LA<NI<

A. Tauhid dan Makrifat di Dalam Pembuka Su>rah al-Fa>tih}ah . 97 B. Rindu (‘Isyq) dan Cinta (Mah}abbah) Pengantar Pada


(9)

C. Peta Jalan Menggapai Hakikat Kesempurnaan dalam Tafsi>r Su>rah al-Fa>tih}ah al-Ji>la>ni> ... 119 D. Implikasi Nilai Sufistik Terhadap Praktif Tasawuf Pada

Kha>timah al-Su>rah al-Fa>tih}ah; Serta Pengaruhnya Pada Pemahaman Tasawwuf Secara Umum ... 137

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 150 B. Saran-Saran ... 151


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika Rasulullah Saw berhijrah dari Mekah ke Madinah, konon terdapat 70 orang berasal dari Mekah dan perkampungan-perkampungan lainnya yang ikut serta bersama beliau. Mereka merupakan orang-orang miskin yang, kelak menjadi teladan bagi umat Islam. Tidak ada satu pun dari mereka memiliki baju perang ataupun alat-alat lain yang dapat menjaga diri mereka dari serangan musuh. Di Madinah, mereka tidak memiliki tempat yang dapat melindungi diri dari udara dingin dan sengatan matahari. Bahkan, ada di antara mereka yang tidak memiliki pakaian lengkap. Mereka adalah para sahabat dekat Rasulullah Saw, yang di kemudian hari oleh sebagian kalangan diberi sebutan Ahl al-S}uffah.

Pendapat lain mengatakan, Ahl as}-S}uffah adalah orang-orang yang tinggal di S}uffah,1 sehingga mereka bersih dan terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa.

Menurut beberapa sumber, istilah ‘tasawuf’ dan ‘sufi’ diambil dari nama dan

kondisi kelompok Ahl as}-S}uffah tersebut. diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. sering berkumpul bersama mereka. Di antara sahabat Nabi yang termasuk Ahl as}-S}uffah adalah Bilal bin Rabah, Barra’ bin Malik, dan Ju’ail bin Saraqah. Selain

itu juga Khabbab bin al-Art, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Ummi Maktum yang menjadi sebab diturunkannya awal Su>rah ‘Abasa.2

1 S}uffah adalah tempat di samping masjid yang diberi atap.

2 Abdul Mun’im al-Hafni, “ENSIKLOPEDIA”, Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai,

dan Gerakan Islam Seluruh Dunia, Edisi Baru, ed. Hery Sucipto, terj. Muhtarom, dan Tim Grafindo, (Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 1999), 97-98.


(11)

2

Pada kisah tersebut, setidaknya hal yang bisa diambil pelajaran diantaranya adalah aspek kesederhanaan, kesabaran, kepasrahan (tawakkal), dan proses pendekatan diri dengan beribadah. Sehingga cukup beralasan ketika muncul pendapat bahwa sesungguhnya sufi telah ada sejak zaman Nabi, karena jika dilihat dari pola kehidupan Nabi menunjukkan bahwa beliau adalah seorang sufi. Hanya saja saat itu istilah sufi itu sendiri belum lah dikenal.

Tasawuf sebagai gerakan kerohanian untuk mendekatkan diri kepada Allah, pada perkembangan awal memang didorong oleh ajaran Islam sendiri yaitu

al-Qur’an dan contoh kehidupan Nabi Muhammad Saw. Ajaran perilaku

kesederhanaan dan zuhud sebagaimana dicontohkan Nabi itu ditiru oleh para sahabat misalnya Abu Dhar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.3 Pada perkembangan

selanjutnya, yaitu di masa tabi’in, lahir penganjur kehidupan tasawuf yaitu Hasan

al-Basri yang digelari Abu Sa’id (21-110 H). Beliau mengajarkan khauf (takut) kepada Tuhan. Ketika beliau wafat secara bersambung muncul para sufi lain misalnya Dhunnun al-Misri (180-245 H) yang dikenal sebagai Bapak Makrifat, karena beliau mengajarkan ma’rifah (selanjutnya akan di Indonesiakan menjadi makrifat) atau gnosis (pengetahuan), yang berarti mengetahui dan mengenal Tuhan dari dekat.4 Sedangkan Sufyan al-Thauri (602-732 M) mengajarkan kehidupan zuhud dan menentang kemewahan5 dengan sikap menjaga muru>’ah (kehormatan diri), ia berusaha sendiri tidak mengemis kepada raja-raja.6

3 Samudi Abdullah, Analisa Kritis Terhadap Tasawuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982), 5-14. 4 Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 74-78.

5 Abdullah, Analisa Kritis.., 17.


(12)

3

Perilaku sufistik terlihat semakin beragam, dengan penekanan-penekanan pada nilai-nilai tertentu sesuai dengan pemahaman keilmuan, pengalaman dan keyakinan pelakunya. Tentunya keberagaman ini tidak berjalan begitu saja tanpa adanya dinamika. Seiring dengan perluasan penyebaran agama Islam, akulturasi budaya dan pemikiran melahirkan banyak aliran-aliran yang, meniscayakan adanya dialektika yang dinamis baik itu terjadi secara natural atau pun melalui rekayasa politik kekuasaan. Pada fase sedemikian lah lahir banyak tokoh-tokoh tak terkecuali dalam bidang tasawuf.

Pada abad ke-11 M atau ke-5 H lahir seorang tokoh yang mendapat julukan Hujjah al-Isla>m karena keberhasilannya menggabungkan syariat dan tasawuf secara teoritis beliau adalah Imam al-Ghazali, kemudian di abad ke-12 M atau ke-6 H lahirlah seorang ulama yang berhasil memadukan antara syariat dan

tarekat yaitu Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (selanjutnya akan lebih sering dituliskan dengan lebih singkat yakni al-Ji>la>ni>). Dua nama tersebut tidak asing di kalangan muslim Indonesia. Jika al-Ghazali dikenal dalam studi-studi tasawuf secara akademik melalui kitab-kitab teori tasawufnya, maka nama al-Ji>la>ni>>> lebih membumi karena ajaran amaliah zikir massifnya.

Ajaran tasawuf al-Ji>la>ni>>> begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, hal ini bisa dilihat dari pengkajian maupun penerapan ajaran dan amaliahnya tidak hanya di kalangan pesantren tapi juga masyarakat umum melalui tarikat yang dinisbahkan kepadanya yaitu Tarikat Qadiriyyah. Wujud lain ketertarikan masyarakat terhadap ajaran al-Ji>la>ni>>> adalah dengan bermunculannya terjemahan karya-karyanya yang mendapat respon positif


(13)

4

khalayak terbukti dengan adanya cetak ulang penerbitannya. Akan tetapi patut disayangkan, kajian mendalam mengenai pemikiran-pemikiran al-Ji>la>ni>>> belum banyak dilakukan. Buku-buku yang beredar di masyarakat masih lebih banyak berisi tentang riwayat hidup dan kisah-kisah supranatural yang dimilikinya.

Sebagai tokoh besar dan berpengaruh yang, sebenarnya tidak hanya ahli dalam bidang tasawuf, pemikiran-pemikiran Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> semestinya layak untuk dikaji, diselami, dan bahkan mungkin, dikembangkan. Sebagaimana dikatakan oleh al-Qahthani:

Kajian tentang pemikiran para pembesar ulama umat Islam adalah sebuah tugas yang penting dan berat karena membutuhkan orang-orang yang mampu menyelami pemikiran mereka, mendalami, mengetahui tujuan pemikiran mereka; serta unsur-unsur yang mengelilingi dan mempengaruhi mereka sehingga akhirnya bisa sampai kepada hasil yang memuaskan dan memahaminya dengan pemahaman yang sadar, yang tidak hanya berhenti pada permukaan masalah dan permukaan pemikiran.7

Pada tahun 2009, Markaz Ji>la>ni> li al-Buh}u>th al-‘Ilmiyyah menerbitkan

kitab tafsir yang cukup memancing kalangan akademisi untuk meneliti.8 Kitab

ini diklaim sebagai karya asli Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>, nama kitabnya yaitu Tafsi>r al-Ji>la>ni>. Penyunting naskah ini, Muhammad Fadil al-Ji>la>ni> al-H{asani al-T{aila>ni> al-Jamazraqi yang tinggal di Istanbul Turki menyatakan telah melacak

7 Lihat Said bin Musfir al-Qahtani dalam Mukaddimah bukunya, Buku Putih Shaikh Abdul Qadir al-Ji>la>ni>, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: PT. Darul Falah, 2003), xiii.

8 Tafsir ini pernah dibedah beberapa kali di berbagai instansi; pada 3 Maret 2011 dibedah di Kantor PBNU di Jakarta dengan pembedah Dr. Muhammad Fa>d}il al-Jayla>ni> yang dihadiri pula ketua umum PBNU K.H. Said Aqil Siradj, http://www.sufinews.com; pada Rabu 9 Maret 2011 Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta bekerjasama dengan Al-Ji>la>ni> Center menyelenggarakan seminar dan bedah buku Tafsi>r al-Ji>la>ni>. Hadir sebagai pembedah Dr. Fa>d}il al-Ji>la>ni>, selaku editor (muh}aqqiq) dan Dr. Akhsin Sakho Muhammad selaku rektor IIQ, http://www.iiq.ac.id; lalu UIN Jakarta pernah mengadakan seminar dengan pembicara Irwan Masduki, L.c. dengan tema‚

Memotret Tafsi>r al-Ji>la>ni>‚ yang diselengggarakan Laboratorium Tafsir Hadis| Fakultas


(14)

5

manuskrip di lebih dari 70 perpustakaan di 20 negara dan menemukan 17 karya al-Ji>la>ni>. Termasuk menemukan manuskrip tersebut di perpustakaan Vatikan.9

Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsi>r al-Ji>la>ni> adalah Tafsir Isha>ri (tafsir yang mengurai makna yang tersirat dari makna tersurat dengan menggunakan isyarat kesufian). Seperti yang dikatakan Muhammad Fadil,

“keistimewaan Tafsi>r al-Ji>la>ni> antara lain, corak afektif (rasa) syar’i dan ilmiah yang begitu kental dalam tafsir tersebut.”10 Selain itu Tafsi>r al-Ji>la>ni> lebih dekat dengan Tafsi>r bi al-Ma’thu>r yang menafsirkan ayat dengan ayat dan hadits. Sedikit sekali nukilan yang diriwayatkan dari para ulama kecuali yang dikisahkan dari Ali bin Abi Thalib RA.

Abdurrohman Azzuhdi dalam kesimpulan penelitiannya memaparkan, Tafsir> al-Ji>la>ni>> memiliki ciri khas dalam penulisannya, disamping pendekatan tasawuf yang digunakan. Dalam setiap surat, pengarang selalu memberikan tafsir yang berbeda pada basmalah. Mengikuti signifikansi surat yang akan ditafsirkan, kecuali pada surat al-Tawbah yang memang tidak memiliki basmalah. Selanjutnya dalam menafsirkan, ia selalu mengawali surat dengan pembuka (fa>tihah al-su>rah). Kontennya juga diselaraskan dengan muatan surat yang akan ditafsirkan. Pada bagian akhir juga dicantumkan epilog (kha>timah al-su>rah) sebagai wejangan hikmah dari pengarang.11

9 Muhammad Fadil al-Ji>la>ni>> dalam ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>>, (ed.), Muhammad Fadil al-Ji>la>ni>>>, (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009), 24-25.

10 Alkisah no.07/4-17 april 2011, hal. 36.

11Abdurrohman Azzuhdi, “Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Telaah Otentitas Tafsir Sufistik Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dalam Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>)”, (Skripsi -- UIN Sunan Kalijaga, 2013), 144.


(15)

6

Sesungguhnya – terlepas dari berbagai polemik yang ada tentang sufi –

ajaran apapun yang terlahir dari Islam tentunya tak bisa dipisahkan dari kitab suci yang dimilikinya, yakni al-Qur’an. Terdapat banyak ayat-ayat yang menjadi landasan prinsipil tasawuf di dalam al-Qur’an. Jika kita mengkaji ayat-ayat

al-Qur’an, maka kita akan menemukan begitu banyak ayat-ayat yang membicarakan tentang rela, malu, ikhlas, sabar, makrifat, syukur, takut, harap, fakir, dan kualitas spiritual lainnya yang sangat akrab sekali dengan wacana-wacana tasawuf yang diamalkan oleh kaum sufi.12 Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi persinggungan antara kaum sufi dengan al-Qur’an, maka muncullah beragam interpretasi bahkan penafsiran. Dalam hal ini, kaum sufi membangun semacam tafsir sufistik atau tafsir esoteris terhadap ayat-ayat al-Qur’an.13

Menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam pandangan kaum sufi, kemampuan seseorang memahami al-Qur’an bergantung pada kedudukan rohaniahnya. Seperti penyelam di lautan, jika kemampuan menyelamnya rendah, ia hanya memperoleh ikan-ikan di permukaan saja – ikan teri atau plankton. Bila seseorang menyelam lebih dalam lagi, maka akan memperoleh ikan yang lebih besar. Bila lebih jauh menyelam ke dasar lautan, bukan tidak mungkin akan mendapatkan mutiara.14

Zaprulkhan membahasakan lebih mendalam terkait pemaknaan yang dilakukan oleh kaum sufi terhadap Kalam Ilahi sebagai berikut:

Pemaknaan sufistik yang dilakukan para kaum sufi itulah yang mampu membawa kita menyelam dalam samudra Kalam Ilahi yang tidak bertepi, tidak terhingga, tidak terbatas, dan tidak berkesudahan. Tujuan sentralnya

12 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), 24. 13 Beberapa tafsir esoteris tersebut, bisa dilihat dalam Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. M. Solihin Arianto, dkk., (Bandung: Mizan, 2003), 557. 14 Jalaluddin Rahmat, Tafsir Sufi Al-Fa>tih}ah Mukadimah, (Bandung: Rosdakarya, 1999), 31.


(16)

7

bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan ketuhanan, tapi juga pengalaman pencerahan; bukan hanya untuk mengikis selubung-selubung kebodohan, tapi juga menumbuhkan benih-benih kearifan; bukan hanya membawa kita menuju sumber mata air hakikat kehidupan, tapi lebih dari itu mengajak kita mereguk langsung dari sumber mata air hakikat kehidupan agar dapat memuaskan kedahagaan ontologis kita. Sebab kata kaum sufi, dalam proses pemahaman sufistik terhadap ayat-ayat al-Qur’an,

antara pengetahuan dan pengalaman pencerahan menyatu. Dalam proses mengetahui pada akhirnya berarti menjadi berubah akibat dari proses

mengetahui itu sendiri.”15

Berkaitan dengan Tafsi>r al-Ji>la>ni>, yang membuatnya semakin menarik adalah, bahwa tafsir ini mempunyai nama lain (kalau bukan dikatakan sebagai nama sesungguhnya) yakni “Fawa>tih} Ila>hiyyah wa Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’aniyyah wa al-H{ikam al-Furqa>niyah” (Penyingkapan-penyingkapan Ilahi dan Kunci-kunci Gaib yang Menjelaskan Kalam-kalam al-Quran dan Hikmah-hikmah Kitab Pembeda antara Benar dan Salah) ini konon tidak hanya memaparkan dimensi esoteris (aspek batin/rasa/rahasia) saja, akan tetapi juga memadukannya dengan dimensi eksoteris (aspek lahir).

Hal demikian tidaklah mengherankan jika melihat posisi al-Ji>la>ni> yang selama ini dikenal oleh berbagai kalangan sebagai sosok tokoh sufi yang menjembatani ruang pemisah antara syariat dengan tarikat/tasawuf. Tasawuf bagi al-Ji>la>ni>>, adalah keteguhan dalam kehadiran Allah SWT dan kebaikan akhlak terhadap makhluk.16 Sufisme al-Ji>la>ni> mengatur dua dimensi sekaligus, berupa koneksi manusia kepada Tuhan dalam rangka menghambakan diri selaku

15 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf..., 27.

16‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>, al-Mukhtas}ar fi Ulu>m al-Di>n, (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2010), 59. Lihat pula dalam ‘Abd al-Qa>dir Ji>la>ni>>, Ghunyah li T{a>libi Tari>q al-Haqq ‘Azza wa Jalla, Vol II, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 272.


(17)

8

makhluk dan interaksi antar manusia dengan etika yang lurus. Paradigma sufistik al-Ji>la>ni>> juga hendak menggabungkan ilmu dan amal. Ia hendak menengahi para ulama yang teoristik ilmu dengan para sufi yang mengedepankan amal tanpa pendalaman ilmu.17

Akan tetapi cukup disayangkan, bahwa penelitian yang dilakukan terhadap corak pemikiran al-Ji>la>ni> selama ini relatif belum tersentuh. Hal ini mungkin beralasan jika dilihat dari kecenderungan karya al-Ji>la>ni> yang dikenal umum oleh masyarakat selama ini – tanpa bermaksud mereduksi – adalah lebih bercorak isi nasehat-nasehat keagamaan. Jika dibandingkan dengan karya-karya sufi semisal al-Ghazali atau Ibnu ‘Arabi, karya al-Ji>la>ni> relatif tidak terstruktur dan sistematis

sebagaimana yang “dibutuhkan” untuk memenuhi syarat dikatakan “ilmiah”. Hal

inilah yang pada gilirannya – sepanjang yang peneliti ketahui – menempatkan al-Ji>la>ni> pada kategori tokoh tasawuf amali (mengacu pada perkembangan peta tasawuf yang membedakan corak antara tasawuf falsafi/naz}ari> yang bertolak pada pemikiran dan berbasis teori dengan tasawuf akhlaki/’amali> yang berorientasi pada tataran praktis).

Kemunculan Tafsi>r al-Ji>la>ni> tentunya akan melahirkan khasanah baru, bahkan bukan tidak mungkin akan mempengaruhi posisi al-Ji>la>ni> dalam peta tasawuf. Oleh karenanya, kajian dan penelitian terhadap kitab ini sangat perlu dilakukan untuk menggali lebih jauh pemikiran-pemikiran al-Ji>la>ni> – baik dalam

17 Sufisme al-Ji>la>ni>>> bisa menjadi media penghubung menuju kongruesi (kesesuaian) antara ulama yang berkonsentrasi pada dimensi hukum sebagai pedoman dan mereka yang menggunakan dimensi ru>hiyyah sebagai pijakan. Bangunan Islam (aspek lahir) seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain, serta Ihsan dibangun berdasarkan refleksi batin seperti keikhlasan hati dan wara’. Mengacu pada hadis yang berkaitan dengan Islam, Iman dan Ihsan. ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>,


(18)

9

khasanah ilmu tafsir terutama pada aspek tasawuf dimana al-Ji>la>ni> sudah tidak diragukan lagi otoritasnya dalam hal ini.

Berangkat dari dasar pemikiran ini, di sini peneliti bermaksud mengkaji penafsiran al-Ji>la>ni> dengan memfokuskan pada nilai-nilai sufistik yang terkandung dalam Surah al-Fa>tih}ah}. Mengingat betapa pentingnya posisi Su>rah al-Fa>tih}ah yang juga mempunyai nama lain al-Sab’ al-Matha>ni> (tujuh ayat yang diulang-ulang) selain nama-nama lainnya yang disandarkan padanya.18 Su>rah al-Fa>tih}ah merupakan salah satu dari beberapa surat dalam al-Qur’an yang

mempunyai keutamaan yang sangat luar biasa. Salah satu keutamaan tersebut adalah dengan dinamakannya al-Fa>tih}ah sebagai Umm al-Kita>b atau induk dari Al-Qur’an.19

Dinamakan demikian karena isi dari Su>rah al-Fa>tih}ah meliputi tujuan-tujuan pokok Al-Qur’an, yakni pujian kepada Allah, ibadah kepada Allah dengan

melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta menjelaskan janji-janji dan ancaman-ancaman-Nya. Tema-tema besar Al-Qur’an

seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam Su>rah al-Fa>tih}ah.20

18 Menurut Al-Suyu>t}i, Su>rah al-Fa>tih}ah memiliki lebih dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wa>fiyah (yang mencakup), al-Sha>fiyah (yang menyembuhkan), dan al-Sab’ al-Matha>ni (tujuh ayat yang diulang-ulang), al-Du’a> (doa), al-Ka>fiyah (yang mencukupi), al-S}alah (salat), al-Kanz (pembendaharaan) dan lain sebagainya. Lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), 190.

19 Mujaddidul Islam dan Jalaluddin al-Akbar, Keajaiban Kitab Suci al-Qur’an, (Delta Prima Press, 2010), 185.


(19)

10

Kedudukan Su>rah al-Fa>tih}ah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber ajaran

Islam yang mencakup semua isi Al-Qur’an.

M. Quraish Shihab mengutip perkataan ‘Abdullah Darraz di buku al-Naba>’

al-‘Az}i>m yang melukiskan tentang sudut pandang seseorang terhadap al-Qur’an, yaitu bahwa “ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan

cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia

melihat banyak dibanding apa yang kita lihat”.21 Maka tidaklah mengherankan jika sudut pandang seorang mufassir (sufi atau bukan) yang satu dengan yang lainnya menjadi berbeda, hingga kemudian memunculkan karya-karya tafsir (termasuk tafsir sufistik) yang beraneka ragam. Pada konteks inilah nilai kekhasan Tafsi>r al-Ji>la>ni> menjadi sangat menarik untuk dikaji dan diteliti. Ketika tafsir tersebut dinisbahkan kepada seorang tokoh sufi besar yang sudah tidak

asing lagi di Indonesia, yakni Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.

Sebagaimana telah diulas di atas, bahwa al-Ji>la>ni> selama ini hanya dikenal sebagai ahli tasawuf. Karya-karyanya seperti Al-Ghunyah li T}a>libi T{ari>q al-H{aqq Azza wa Jalla, Futu>h al-Gha>ib, Al-Fath al-Rabba>ni wa al-Fa>iz Al-Rahma>ni, dan lain-lain yang sudah banyak dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dan dibukukan berisi tentang langkah-langkah atau panduan seorang sa>lik (penempuh jalan suluk) dalam menempuh jalan menuju Tuhannya, meraih kesempurnaannya. Fakta bahwa al-Ji>la>ni> tidak dikenal sebagai seorang mufassir menjadi fenomena tersendiri ketika tiba-tiba muncul kitab tafsirnya. Sehingga tidak mengherankan

21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), xvii.


(20)

11

jika sebagian akademisi meragukan keabsahan penisbahan kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni> sebagai karya al-Ji>la>ni>.

Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni> memang masih relatif asing dan belum banyak diteliti secara komprehensif oleh para peminat kajian keislaman. Sebut saja semisal H}usain al-Dhahabi dengan karyanya al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, ia tidak mencantumkan adanya kitab tafsir ini. Padahal tulisan al-Dhahabi dikenal secara umum oleh peminat kajian tafsir sebagai karya yang cukup ensiklopedis menyajikan ragam varian corak tafsir. Dalam bab tafsir sufi ia hanya menyebutkan lima kitab tafsir, diantaranya adalah Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m

karya Sahl Ibnu ‘Abdullah al-Tustari>, H{aqa>iq al-Tafsi>r karya al-Sulami, ‘Ara>is

al-Baya>n fi> Haqa>iq al-Qur’an karya Abu> Muhammad al-Syairazi>, al-T{a’wi>la>t al -Najmiyyah fi> al-Tafsi>r al-Isha>ri> al-S}u>fi> karya Najm al-Di>n Dayyat dan ‘Ala> al -Daulah al-Samna>ni>, dan Tafsi>r al-Qur’an (al-Mansu>b) yang dinisbahkan atas

karya Ibn ‘Arabi.22

Berangkat dari paparan di atas, terlepas dari adanya pro dan kontra, kami melihat bahwa kajian terhadap Tafsi>r al-Ji>la>ni> ini menjadi sangat menarik dan penting. Bagaimana kiranya sudut pandang al-Ji>la>ni> sebagai seorang sufi menafsirkan kalam-kalam Ilahi yang, tentunya akan sarat dengan nilai-nilai sufistik di dalamnya. Apakah nilai-nilai sufistik di dalamnya bersesuaian dengan corak tasawufnya yang sudah dikenal selama ini, atau malah sebaliknya. Tentunya hal itu akan berimplikasi pada corak tasawuf al-Ji>la>ni>. Pilihan fokus kajian pada Su>rah al-Fa>tih}ah bukanlah tanpa pertimbangan. Sebagaimana sudah

22 Husain al-Dhahabi, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), Juz II, 281-306.


(21)

12

disebutkan, bahwa Su>rah al-Fa>tih}ah mempunyai posisi yang sangat penting.

Sebagai surat yang dipercaya “mewakili” nilai dan isi dari kitab suci al-Qur’an,

tentunya setiap rangkai kata dan kalimatnya teramat sarat dengan makna.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Bertolak pada latar belakang di atas, identifikasi dan batasan masalah

dalam penelitian yang bertema “Nilai Sufistik Dalam Su>rah al-Fa>tih}ah (Kajian Kritis Atas Tafsi>r al-Ji>la>ni> Karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>>>>)” adalah sebagai

berikut:

1. Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dikategorikan dalam kelompok tasawuf amali berdasarkan pada karya-karyanya yang sudah dikenal selama ini.

2. Karya-karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> cenderung berisikan nasehat-nasehat dan panduan bagi seorang penempuh jalan tasawuf.

3. Tafsi>r al-Ji>la>ni> adalah kitab tafsir yang relatif baru ditemukan dan diklaim sebagai karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.

4. Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> sebagai tokoh sufi tentunya akan terlihat corak nilai-nilai sufistiknya ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

5. Nilai-nilai sufistik yang global dan mendasar diduga akan didapati pada penafsiran Su>rah al-Fa>tih}ah yang diketahui sebagai representasi surat dalam kandungan al-Qur’an.

6. Penafsiran Sufistik al-Ji>la>ni> dalam kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni> tentunya akan mempunyai implikasi terhadap praktik sekaligus corak pemahaman tasawufnya.


(22)

13

Agar pembahasan tetap terfokus pada permasalahan, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut:

1. Deskripsi penafsiran Shaikh ‘Abd al-Qa>dir Ji>la>ni>> dalam kitabTafsi>r al-Ji>la>ni> terhadap Su>rah al-Fa>tih}ah secara menyeluruh.

2. Muatan nilai-nilai sufistik dalam Su>rah al-Fa>tih}ah menurut penafsiran Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>>> dalam kitab Tafsir al-Ji>la>ni>.>.

3. Implikasi penafsiran Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> dalam Tafsi>r al-Ji>la>ni> terhadap praktik sekaligus corak pemahaman tasawufnya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dideskripsikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>>> menafsirkan Su>rah al-Fa>tih}ah} dalam kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>?

2. Bagaimana nilai-nilai sufistik yang terkandung dalam Su>rah al-Fa>tih}ah}

perspektif Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>>> pada Tafsi>r al-Ji>la>ni>?

3. Bagaimana implikasi penafsiran Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> dalam Tafsi>r al-Ji>la>ni> terhadap praktik dan corak pemahaman tasawufnya?

D. Tujuan Penelitian

Melihat rumusan masalah yang ada dapat diketahui bahwa tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk memaparkan secara naratif dan analitis penafsiran Shaikh ‘Abd al -Qa>dir al-Ji>la>ni terhadap Su>rah al-Fa>tih}ah} dalam Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>.


(23)

14

2. Untuk memperoleh gambaran perspektif nilai-nilai sufistik Shaikh ‘Abd al -Qa>dir al-Ji>la>ni yang terkandung dalam Su>rah al-Fa>tih}ah} secara mendalam. 3. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang implikasi

penafsiran Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> dalam Tafsi>r al-Ji>la>ni> terhadap praktik dan corak pemahaman tasawufnya.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih khazanah keilmuan dalam bidang tafsir. Kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini mencakup kegunaan dalam dua hal. Yaitu:

1. Kegunaan teoritis:

Pada hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan secara konseptual dan pengembangan pemikiran dalam memahami nilai sufistik dalam Su>rah al-Fa>tih}ah} perspektif Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>. 2. Kegunaan secara praktis:

Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi gambaran obyektif kepada masyarakat umum tentang nilai-nilai sufistik Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> yang terkandung dalam penafsiran Su>rah al-Fa>tih}ah} dan memberi kontribusi keilmuan secara khusus kepada ilmuwan civitas akademika dalam upaya menindaklanjuti penelitian berikutnya yang terkait dengan kajian ini.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang tasawuf telah banyak ditemukan, sedangkan penelitian yang berobyek pada Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni> belum terlalu banyak. Sepanjang


(24)

15

penelusuran yang penulis lakukan, belum diketemukan penelitian yang membahas tentang nilai sufistik Su>rah al-Fa>tih}ah} dalam Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>. Untuk menegaskan hal ini, berikut akan penulis cantumkan beberapa literatur dan penelitian yang penulis ketemukan:

1. Buku dengan judul “Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani”

karya Anis Masduki. Buku ini membahas tentang profil tafsir, latar belakang tafsir hingga urgensi Tafsi>r al-Ji>la>ni>.23 Walaupun nampak sangat informatif, isi dalam buku ini tidak menganalisa konten tafsir secara menyeluruh, melainkan hanya menuqil bagian-bagian kecil yang dirasa menarik dan penting. Anis tidak menyentuh secara utuh suatu konten sehingga bisa diambil pemahaman tentang suatu nilai atau ajaran yang mencerminkan pemikiran sang pengarang, ia sebagaimana judul bukunya lebih menekankan aspek metodologis yang digunakan.

2. Skripsi dengan judul “Tafsi>r al-Jaila>ni> (Telaah Otentisitas Tafsir Sufistik

‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni> Dalam Kitab Tafsi>r al-Jaila>ni>)” karya Abdurrohman

Azzuhdi.24 Ia mengawali pembahasan dengan diafragma perkembangan tafsir dan pada bab selanjutnya membahas tentang epistemologi tafsir sufistik

Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>. Esensi dari penelitian ilmiah ini, Azzuhdi menjelaskan bahwa konsep tasawuf yang ada dalam Tafsi>r al-Jaila>ni> cenderung berpaham hulu>l dan wahda>h al-wuju>d yang berbeda dengan pandangan sunni>-‘amali> ala ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>. Azzuhdi dengan tegas

23 Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jayla>ni>, (Yogyakarta: STIQ Al-Nur, 2010).

24 Abdurrohman Azzuhdi, “Tafsi>r Jaila>ni> (Telaah Otentitas Tafsir Sufistik Abd Qa>dir al-Jaila>ni> dalam Kitab Tafsi>r al-al-Jaila>ni>)”, (Skripsi -- UIN Sunan Kalijaga, 2013)


(25)

16

menjelaskan bahwa Tafsi>r al-Jaila>ni> adalah bukan karya orisinil Shaikh ‘Abd

al-Qa>dir al-Jaila>ni>. Pada bab ke III tentang “Ciri Khas Tafsir al-Jaila>ni>”, ia

menyinggung tentang fa>tih}ah al-su>rah (pembuka surat) dan ikhtita>m al-su>rah (penutup surat). Alih-alih mengupas tentang basmalah – apalagi Su>rah Fa>tih}ah, Azzuhdi hanya menulis beberapa fa>tih}ah su>rah dan ikhtita>m al-su>rah dalam Tafsi>r al-Jaila>ni> dan mengomentarinya sebagai sebuah genre tersendiri tanpa pembahasan apapun lebih lanjut. Bahwa dalam mengawali dan menutup tafsir surat-surat al-Qur’an, al-Jaila>ni> memberikan prolog dan tafsir berbeda pada setiap basmalah serta pada bagian akhir surat, Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni> juga memberikan kha>timah (penutup).

3. Faiq Ihsan Anshori pernah mengangkat Tafsi>r al-Ji>la>ni> sebagai bahan Tesisnya di Universitas Islam Negeri Jakarta pada tahun 2010. Tesisnya berjudul Hermeneutika Sufistik Tafsir Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Tesis ini mengulas kerangka pikir pada Bab III tentang kode etik penafsiran. Pada bab selanjutnya ia mencoba untuk membangun metode tafsir isha>ri al-Ji>la>ni> melalui buku-buku primer karya al-Ji>la>ni>.

Pada pernyataan awal ia mengutip pendapat al-Zarkasyi bahwa ucapan kaum sufi dalam menafsirkan al-Qur’an bukanlah produk tafsir, melainkan inspirasi

instuitif yang muncul ketika membaca al-Qur’an.25 Meski kemudian ia mendukung argumen bahwa sebenarnya tafsir kaum sufi juga merunut pada sumber otoritatif legal formal syariat, al-Qur’an dan al-H{adi>th. Mendukung adanya sulu>k ru>hiyah dan sulu>k jasadiyah berdasarkan hujjah Ali Sami’

25 Faiq Ihsan Anshori, “Hermeneutika Sufistik Tafsir Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, (Tesis -- UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), 1.


(26)

17

Nashir.26 Lagi-lagi ia melihat bahwa proses kaum sufi memperoleh penafsiran berdasarkan ilmu mauhibah yang diproyeksikan melalui ilham.27

4. Penelitian lainnya dilakukan oleh Hafid Khairudin dengan tesis yang berjudul

Pendidikan Sufistik Menurut Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> dan

Relevansinya Terhadap Pendidikan Islam (Tela’ah Kitab al-Fath al-Rabbani Wa al-Fayd al-Rahmani), Khairudin menyimpulkan bahwa pemikiran dan

ilmu tasawuf Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> yang tertuang dari berbagai karyanya, terutama al-Fath ar-Rabbani wa al-Fayd ar-Rahmani merupakan salah satu bentuk dari pendidikan, yaitu pendidikan hati. Karena obyek yang diutamakan dalam kajian tasawuf adalah hati. Tujuan pendidikan sufistik

Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>> ini adalah untuk mencapai tingkatan makrifat kepada Allah. Untuk menempuh jalan itu, seorang pelaku tasawuf harus menempuh jalan sufi, dan harus membekali diri dengan berbagai macam ilmu untuk bisa sampai kehadirat Tuhan. Ilmu yang dipelajari ialah seperti taubat, sabar, empati diri, kejujuran, zuhud, ikhlas, ridha, cinta demi Allah, larangan bersikap riya, munafik, bedusta, takabur, nafsu amarah, bersandar pada dunia, dan larangan meminta selain Allah. Inilah model pendidikan sufistik yang

ditawarkan oleh Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>.28

5. Juga ada buku berjudul Tafsir al-Ji>la>ni>: Menyelami kisah dan Makna

Ta’awudh, Basmalah, Taubat dan Taqwa yang diterbitkan oleh zaman pada

26 Ibid., 2.

27 Ibid., 4.

28 Hafid Khairudin, “Pendidikan Sufistik Menurut Shaikh Abdul Qadir Al Jailani dan

Relevansinya Terhadap Pendidikan Islam (Tela’ah Kitab Fath Rabbani Wal-Fayd


(27)

18

tahun 2011. Buku ini hasil terjemahan Aguk Irawan dari kitab al-Ji>la>ni> berjudul Maja>lis fi> Mawa>iz{ al-Qur’an wa Alfa>z{ al-Nubuwwah. Meninjau judulnya saja kiranya pembaca akan tahu draft kasar isi buku tersebut. Buku ini melihat nilai tasawuf akhlak pada perilaku al-Ji>la>ni>.29

Dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan, menunjukkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitan terdahulu karena penelitian terdahulu yang ada meneliti tentang sisi hermeneutika. Adapun penelitian lainnya lebih berfokus pada otentisitas karya yang terlihat kasuistis yaitu dengan mencari dan mengambil sampel pendukung anggapan adanya pertentangan antara isi kitab dengan paham al-Ji>la>ni> yang sudah umum diketahui. Jika pun ada yang menyinggung nilai sufistik dalam bidang pendidikan, hal itu bukan pada Tafsi>r al-Ji>la>ni>. Sedangkan buku karya Anis Masduki lebih fokus mengupas aspek metodologis Tafsi>r al-Ji>la>ni>. Dan buku terjemahan Aguk Irawan, lebih pada konteks pemaknaan beberapa terminologi yang ada. Sedangkan pembahasan dalam penelitian ini lebih menekankan pada kandungan nilai sufistik yang ada pada penafsiran Su>rah al-Fa>tih}ah dalam Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni> yang akan dikaitkan dengan beberapa karya lainnya tentang nilai sufistik. Bisa juga dianggap bahwa penelitian ini melengkapi atau sebagai tindak lanjut dari penelitian-penelitian terdahulu.

29 Aguk Irawan, Tafsi>r al-Ji>la>ni>: Menyelami kisah dan Makna Ta’awudz, Basmalah, Taubat dan Taqwa, (Jakarta: Zaman, 2011).


(28)

19

G. Metodologi Penelitian

Secara konseptual penelitian ini termasuk kategori penelitian kualitatif, dimana karakteristik utama penelitian kualitatif adalah pencarian makna di balik data.30 Sebagai suatu istilah penelitian, kualitatif digunakan oleh banyak peneliti dengan menggunakan suatu pendekatan tertentu yang bertujuan memproduk pengetahuan. Telah ada pengertian konvensional bahwa data kualitatif tidak berupa angka-angka melainkan berupa data-data.31 Penelitian ini sumber datanya dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka, bisa berupa buku-buku, surat kabar, dokumen-dokumen lain yang berkaitan obyek atau sasaran penelitian sehingga disebut juga sebagai penelitian pustaka (library research).32 Untuk selanjutnya, literatur-literatur atau bahan-bahan pustaka yang didapatkan akan dianalisis dan dideskripsikan menggunakan teori-teori dan konsep-konsep yang ada.

1. Pendekatan Penelitian

Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah teks hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, sedangkan fokus dan orientasi kajiannya adalah tentang

nilai sufistik. Maka dari itu penelitian ini menggunakan pendekatan tasawuf sebagai ilmu yang darinya nilai sufistik lahir atau mewujud.

2. Metode Penelitian

Dalam hal metode, penelitian ini menggunakan metode tah}li>ly (analitik). Oleh Quraish Shihab metode ini didefinisikan sebagai suatu metode dimana ayat-ayat al-Qur’an dikaji dan dijelaskan dari berbagai segi

30 Noeng Muhajir, Metodologi Penulisan Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), 79. 31 Khoizin Afandi, Langkah Praktis Merancang Proposal, (Surabaya: Pustakamas, 2011), 87. 32 Ulya, Metode Penelitian Tafsir, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010), 19.


(29)

20

dan maknanya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufassir nya, menafsirkan secara runtut sesuai dengan ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf.33

3. Kerangkan Teoritik a. Nilai Sufistik

Kata “nilai” didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadarminta, “nilai” mempunyai arti : “a). Harga (dalam

taksiran harga), b). Harga sesuatu jika diukur atau di tukar denagan yang lain, c). Angka kepandaian, d). Kadar, mutu, banyak sedikitnya isi, e). Sifat-sifat/hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan.”34 Sedangkan menurut Milton Rokeach dan James Bank, sebagaimana dikutip oleh Drs. H.M.

Chabib Thoha, MA menyatakan nilai adalah “suatu tipe kepercayaan

yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.35

Istilah sufistik mengacu pada kata sifat dari tasawuf/sufisme atau lebih tepatnya, merupakan penyifatan dari sufisme yang berasal dari kata

dasar “sufi”. Istilah sufi – menurut al-Ma’udi – pertama kali muncul pada masa khilafah Abbasyiyah al-Makmum. Sedangkan Abu al-Qasim

33 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Cet I, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 378.

34 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 667. 35 Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1996), 60


(30)

21

Qushayri mengatakan bahwa sufi muncul pertama kali pada abad 9 M, sekitar 200 tahun pasca wafatnya baginda Nabi Muhammad.36

Melacak asal-usul dan sumber kata sufi memang sangat kompleks dan beragam, Dadang Kahmad merinci berbagai teori yang diajukan untuk melacak asal-usul kata sufi sebagai berikut:

1) Istilah sufi berasal dari kata s}afa>, artinya suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan, kaum sufi banyak berusaha mensucikan diri mereka dengan melakukan banyak ibadah, terutama salat dan puasa. 2) Istilah sufi berasal dari kata s}af (baris). Adapun yang dimaksud

dengan s}af di sini adalah baris pertama dalam salat di masjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid serta banyak membaca al-Qur’an dan berzikir sebelum datang waktu salat.

Orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3) Istilah sufi berasal dari ahl al-s}uffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaan di Makkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku dengan memakai s}uffah (pelana) sebagai bantal. Ahl al-s}uffah adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, berhati baik dan mulia serta tidak mementingkan dunia. Ini pula sifat-sifat kaum sufi.

4) Istilah sufi berasal dari kata s}uf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang yang ingin menempuh perjalanan tasawuf, mesti meninggalkan pakaian mewah, diganti dengan kain wol kasar yang melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.37

Pendapat lain menyatakan bahwa kata s}u>fi telah dikenal sebelumnya pada abad ke-2 H. Orang pertama yang dikenal sebagai s}u>fi adalah Abu Hasyim al-Ku>fi (w. 150 H).38 Sufisme sebagai aliran mistis dan asketis39 mulai menjadi sebuah trend pada masa awal imperium

36 Shaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 7. 37 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 206-207. 38 al-Dhahaby, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.., juz 2, 251.

39 Asketisme (al-zuhd), sebuah gaya hidup yang telah ditemui sejak masa sahabat, seperti diwakili oleh Abu Dharr al-Ghifary (w. 22 H.) dan Salman al-Farisi (w. 32 H.), merupakan cikal


(31)

22

Abbasiah bersamaan dengan munculnya gerakan esoteris di wilayah Syiria, Iran dan Asia Tengah dengan nama-nama yang berbeda. Di Khurasan dan wilayah Transaxonia misalnya, seorang yang menekuni mistisisme disebut al-h}aki>m (bijak bestari) atau al-‘a>rif (orang yang makrifat kepada Tuhan). Selanjutnya, mulai abad ke-4 H/10 M gerakan asketisme Islam mulai terkonsentrasi di wilayah Irak terutama di Baghdad. Sejak itulah tradisi tas}awwuf mulai diterima sebagai suatu tradisi yang tersendiri dalam kehidupan sosial-masyarakat.

Perspektif terkait kontak teks al-Qur’an dengan sufisme ditawarkan

oleh Hussein al-Dhahabi. Menurutnya, ada dua varian utama dalam tradisi tafsir sufistik. Ia membagi sufisme atau tasawuf ke dalam dua ragam; tas}awwuf naz}ari (teoritis) dan tas}awwuf ‘amaly (praktis).40 Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Abu> al-Wafa> al-Taftaza>ni41 yang menyebutkan adanya dua varian orientasi sufisme yang berkembang mulai abad ke-3 dan 4 Hijriyah ketika status sufisme bergeser dari praktek asketis murni kepada suatu wacana keilmuan yang terkodifikasi.

Orientasi pertama adalah aliran tasawuf moderat (mu’tadilu>n) yang melandaskan doktrinnya dengan konfirmasi kepada teks atau ajaran

al-Qur’an dan Sunnah. Aliran ini selanjutnya dikenal dengan tas}awwuf sunni> karena para sufi aliran ini mayoritas berasal dari madhhab Ahl al-Sunnah bakal tasawuf. Asketisme tersebar luas sejak abad pertama dan kedua Hijryah di beberapa pusat kota seperti di Madinah, Basrah dan Kufah. Hasan Basri (w. 110 H.) dari Basrah dan Sufyan al-Thaury (w. 161 H.) dari Kufah merupakan contoh tokoh asketis yang terkenal ketika itu. Lihat Abu Wafa Taftaza>ny, Madkhal li Tas}awwuf Isla>mi>y, (Kairo: Da>r Tsaqa>fah li al-Nashr wa al-Tauzi’, tth.), 57-78.

40 al-Dhahaby, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.., juz. 2, 251.


(32)

23

wa al-Jama>’ah atau disebut juga tas}awwuf akhla>qi> karena didominasi dengan karakteristik moralitas. Salah satu perwakilan aliran ini adalah Junaid al-Bagda>dy (w. 298 H). Selanjutnya, orientasi ini terus berkembang di abad ke-5 H dengan al-Qushairy (w. 465 H) dan al-Ghazali (w. 505 H) sebagai pemukanya. Orientasi lainnya adalah aliran tasawuf semi-filosofis (syibh falsafy) yang terpesona dengan konsep fana> (annihilation) dan mengembangkan konsep terkait hubungan manusia dengan Tuhan seperti hulu>l. Tokoh utama aliran ini adalah Abu Yazid al-Bust}a>my (w. 261 H) dan al-Hallaj (w. 301 H).

Memasuki abad ke-5 dan 6 H orientasi ini kemudian menjadi lebih filosofis dengan masuknya pengaruh ajaran filsafat neo-platonisme. Dalam hal ini, orientasi yang semi-filosofis menjadi seluruhnya filosofis, sehingga disebut dengan tas}awwuf falsafy. Ia merupakan suatu aliran sufisme yang memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat.42 Suhra>wardi (w. 578 H) dengan ajaran isyra>qiyyah (illuminasi) dan Ibnu al-‘Araby (w. 638 H) dengan teori wahdah al-wuju>d (kesatuan eksistensi) merupakan perwakilan varian ini.

b. Su>rah al-Fa>tih}ah

Su>rah al-Fa>tih}ah merupakan surat pertama yang terdiri dari 7 ayat dan termasuk pada kelompok ayat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Makkah sebelum hijrah ke


(33)

24

Madinah. Menurut mayoritas ulama surat ini diturunkan di Makkah.43 Surat ini memiliki beberapa nama. Nama yang paling masyhur adalah Fa>tih}ah al-Kita>b (Pembuka al-Qur’an), Umm al-Qur’an (Induk al-Qur’an),

dan al-Sab’ al-Mas\a>ni> (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Surat ini terdiri dari tujuh ayat, ayat pertamanya adalah basmalah.44

Surat ini dinamakan al-Fa>tih}ah (pembuka) karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali al-Qur’an,

lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam

al-Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan intisari dari seluruh kandungan al-Qur’an yang kemudian

dirinci oleh surat-surat sesudahnya. Selain al-Fa>tih}ah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Umm al-Kita>b. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Umm al-Kita>b adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfu>z}.45

c. Tafsi>r al-Ji>la>ni>

Tafsir al-Qur’an yang dianggap milik Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>>>>>> yang sebelumnya diketahui berada di perpustakaan Rasyid Tripoli dan India serta Vatican.46 Tafsir karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> ini ditemukan oleh cucu ke-25-nya sendiri ini Shaikh Dr. Muhammad Fadil. Naskah ini selama 800 tahun menghilang dan baru ditemukan secara utuh

43 Fakhruddin al-Ra>zi, Mafa>tih} al-Gha>ib, juz 1, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), 17. 44 Muh}ammad Rasyi>d Ridha>, Tafsir al-Fa>tih}ah: Menemukan Hakikat Ibadah, terj. Tiar Anwar Bachtiar, (Bandung: Al-Bayan, 2007), 29.

45 Ibnu Katsir, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, juz 1, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), 101.

46 Dalam mengedit dan menerbitkan Tafsi>r al-Ji>la>ni> Shaikh Fadil diantaranya menggunakan naskah yang ditemukan di India yang kurang 1 juz. Ditulis tahun 622 H, 61 tahun setelah Shaikh


(34)

25

di Vatikan. Manuskrip yang berisi 30 Juz penuh ini tersimpan secara baik di perpustakaan.

Dari berbagai pendefinisian di atas, penelitian ini mencoba mengangkat kajian kritis terhadap Tafsi>r al-Ji>la>ni> terutama pada Su>rah al-Fa>tih}ah}. Pada penelitian ini, al-Ji>la>ni>>>>>> seperti biasa diposisikan sebagai seorang sufi yang mencoba menguak nilai-nilai sufistik dalam Su>rah al-Fa>tih}ah} yang menurutnya masih tersembunyi. Namun berbeda dengan para ahli tafsir pada umumnya, al-Ji>la>ni> melalui penafsirannya terhadap Su>rah al-Fa>tih}ah} tidak hanya sekedar mengungkap nilai-nilai sufistik di dalamnya yang masih tersembunyi. Lebih dari itu, ia memiliki tujuan yang lebih besar yang bisa dikatakan melampaui tujuan penafsiran. Melalui tafsir Su>rah Fa>tih}ah} ini, sesungguhnya yang diinginkan al-Ji>la>ni>>>>>> adalah menggambar peta jalan untuk mengantarkan manusia menggapai hakikat kesempurnaan.

4. Data dan Sumber Data

Data yang akan dihimpun merupakan data-data kepustakaan yang representatif dan relevan dengan obyek penelitian ini. Maka dari itu, sumber data penelitian ini akan diklasifikasi menjadi dua kelompok:

1) Bahan Primer

Bahan primer adalah referensi utama yang berkaitan langsung dengan penelitian. Bahan primer dalam penelitian ini adalah:

a) Al-Qurān al-Karīm


(35)

26

Su>rah al-Fa>tih}ah yang ditafsirkan oleh al-Ji>la>ni> di dalam kitab inilah yang akan menjadi obyek kajian utama pada penelitian ini.

2) Bahan Sekunder

Bahan sekunder merupakan referensi-referensi yang secara tidak langsung berkaitan dengan obyek penelitian dan dinilai mendukung serta memperkuat tema serta isi penelitian. Di antara referensi sekunder yang penulis gunakan adalah:

a) Jala>’ al-Kha>t}i>r, Sirr al-Asra>r, dan beberapa karya lain yang merupakan karya Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jīlānī. Referensi ini digunakan untuk menemukan implikasi corak tasawuf al-Jīlānī dengan karya tafsirnya. b) Tafsir wa al-Mufassirūn karya H{usein al-Dhahabi, Al-Itqa>n fi Ulu>m

al-Qur’an karya Jala>l al-di>n al-Suyu>t}i, Maba>h}i>s| fi> ‘Ulu>mi al-Qur’an

karya Manna>’ Khali>l Al-Qat}t}a>n, At-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an karya Shaikh Muhammad Ali al-S}a>bu>ni>, Kaidah Tafsir Karya M. Quraish Shihab dan referensi sejenis yang akan digunakan untuk memetakan corak dan metode penafsiran serta perkembangannya, terutama corak dan penafsiran al-Jīlānī.

c) Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi al-Naisabury dan Kashful Mahju>b karya al-Hujwiri. Digunakan sebagai dasar pendekatan tasawuf untuk menemukan peta pemikiran dan nilai sufistik al-Jīlānī.

d) Serta referensi lainnya baik yang mengulas tentang tafsir secara umum, tafsir sufistik dan tafsir isha>ri khususnya, serta nilai sufistik


(36)

27

yang terkandung di dalam tafsir Su>rah al-Fa>tih}ah, juga literatur terkait biografi al-Jīlānī yang akan digunakan sebagai upaya merekonstruksi biografi intelektualnya terutama dalam khasanah tafsir al-Qur’an.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu salah satu metode penelitian dengan cara menyelidiki variabel-variabel tertulis, berupa buku, majalah, dokumen, peraturan dan lain-lain.47

Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara mengumpulkan semua data primer dan sekunder, kemudian membacanya, mempelajari dan menelaah sumber primer yaitu penafsiran Su>rah Fa>tih}ah pada Tafsi>r al-Ji>la>ni>, dilanjutkan dengan menganalisa penafsiran tersebut; apakah ada keterkaitan antara penafsiran dengan tema ayat secara keseluruhan ataupun hal lain yang memunculkan penafsiran tersebut. Tentu saja, penelitian ini akan didukung sepenuhnya oleh sumber-sumber data sekunder, yang nantinya akan menguatkan pendapat penulis dan menyempurnakan penelitian ini. 6. Metode Analisa Data

Secara aplikatif, metode analisa yang dilakukan menggunakan metode tah}li>ly ini akan menempuh langkah sebagai berikut:

a) Menerangkan muna>sabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya pada Su>rah al-Fa>tih}ah,

47 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), 149.


(37)

28

b) Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asba>b al-nuzu>l) jika ada,

c) Menganalisis kosakata (mufra>dat) dari sudut pandang bahasa Arab, yang terdapat pada setiap ayat yang ditafsirkan sebagaimana urutan dalam

al-Qur’an jika diperlukan,

d) Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain atau dengan menggunakan hadith Rasulullah Saw., serta menggunakan penalaran rasional berdasarkan disiplin ilmu tasawuf,

e) Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan konteks kajiannya yaitu nilai sufistik sesuai dengan kandungan ayat tersebut,48

H. Sistematika Pembahasan

BAB I : merupakan pendahuluan atau gambaran secara umum dari pembahasan tesis, mencakup latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II : pada bab ini akan mengulas tentang biografi intelektual Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Jīlānī sehingga bisa didapatkan gambaran perjalanan intelektual dan spiritualnya, juga sebagai upaya untuk menemukan genealogi keilmuan tafsirnya

48 M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2012), 86.


(38)

29

BAB III : bab ini memaparkan tentang tentang definisi tafsir, metode dan corak secara umum termasuk pembagian dan perkembangan aliran tafsir sufistik, kemudian pengertian tasawuf beserta sejarah perkembangannya. Sehingga didapatkan pemahaman tentang macam-macam aliran dalam tasawuf untuk memetakan pada posisi mana al-Ji>la>ni> dalam peta kaum sufi, dan dipungkasi dengan corak dan metode penafsiran kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>.

BAB IV : bab ini adalah bab inti pembahasan dalam penelitian, dimana peneliti akan memaparkan temuan-temuan data dan hasil analisanya tentang penafsiran Su>rah al-Fa>tih}ah} dalam Kitab Tafsi>r al-Ji>la>ni>, mengupas nilai-nilai sufistik di dalamnya, yang berujung pada Implikasi Penafsiran Su>rah al-Fa>tih}ah} Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Jilāni> dalam Tafsi>r al-Ji>la>ni> secara praktis yang juga didasarkan dan dihubungkan pada karya-karya al-Ji>la>ni> yang sudah terlebih dahulu populer.

BAB V : merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari proses kajian dalam penelitian ini serta rekomendasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


(39)

30

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL SHAIKH ‘ABD AL-QA<DIR AL-JI<LA<NI

Namanya adalah Abu Muhammad ‘Abd al-Qa>dir bin Abu> Sha>lih Mu>sa Janki Dust bin Abu> Abdulla>h bin Yahya Al-Za>hid bin Muhammad bin Dawud bin Mu>sa bin Abdulla>h bin Mu>sa Al-Jun bin Abdulla>h Al-Mahdha.1 Memiliki banyak julukan yang disandangkan kepadanya antara lain: Ghauth al-A’z}am, Qut}b al-Rabba>niy, Ghauth al-Thaqolain, Muqtad al-Auliya>’, ’Alla>m al-Huda>,2 Sult}an al-Auliya>’ wa al-’A<rifin, Burha>n al-Ashfiya>’ wa S}a>lihi>n. Dalam literatur kesufian pengakuan sebagai al-Ghauth atau Qut}b al-Auliya>’ merupakan kedudukan tingkat kewalian yang tertinggi. Shaikh al-Akbar ibn ’Arabi> dalam kitab al-Futu>ha>t al-Makkiyyah adalah termasuk yang memberikan gelar Qut}b al-Auliya>’ ataupun al-Ghauth al-A’z}am.3 Lahir pada bulan Ramadhan tahun 470 H yang bertepatan dengan tahun 1077 M di dusun Niff/Naif, Ji>la>n.

Buku-buku sejarah dan biografi hampir semuanya sepakat mengatakan bahwa julukannya adalah Abu Muhammad dan nasabnya dinisbahkan kepada al-Ji>la>ni> atau al-Ji>li>. Misalnya, Ibnu al-Athir dalam al-Ka>mil menjelaskan, “Dia adalah ‘Abd al-Qa>dir ibn Abi S}alih Abu Muhammad al-Ji>li>. Gelar ini disepakati oleh Ibnu Kathir dalam al-Bida>yah wa al-Niha>yah sehingga beliau berkata, “Dia adalah Shaikh ‘Abd al-Qa>dir ibn Abu S{alih Abu Muhammad al-Ji>li>.4

1 Al-Qahthani, Buku Putih..., 13.

2 Yusuf Muhammad T{a>ha> Zaydan, ‘Abd al-Qa>dir Ji>la>ni>: Ba>z Alla>h Asyhab, (Beirut: Da>r

al-Jayl, 1991), 27.

3 Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>,

(Jakarta: PT. Buku Kita, 2009), 7.


(40)

31

Ayahnya bernama Abu Shalih Musa adalah seorang pejuang yang Za>hid (menjauhi kesenangan duniawi). Masyarakat Ji>la>n menyaksikan sendiri bagaimana kegemaran Abu Shalih dalam memerangi hawa (nafsu) dan membersihkan hati (muja>hadat al-nafs), sehingga mereka memberi gelar Janki Dust5 ke dalam namanya. Sementara itu, ibunya bernama Fatimah, putri dari Abdullah al-Shuma’i – keturunan al-Husaini. Tidak banyak riwayat tentang sang ibu, akan tetapi dapat dipastikan bahwa dia seorang yang shalehah. Sampai-sampai, masyarakat memberinya gelar Umm al-Khai>r (Ibunda yang baik).6

Selengkapnya, berikut silsilah ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dari jalur ayah: Abu Muhammad ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> bin Abu Shalih Janki Dust Musa bin Abu ‘Abdillah bin Yahya al-Za>hid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Abdillah al-Mahdha bin Hasan II bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib karrama Alla>hu wajhah.7

Dari jalur ibu: Abu Muhammad ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> bin Ummul Khair Fatimah binti Sayyid Abdullah al-S{uma’i bin Imam Abu Jamaluddin al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Mahmud bin Abil ‘Atha bin Kamaluddin ‘Isa bin Abu ‘Alauddin Muhammad Jawwad bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far al -S{adiq bin Muhammad Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abu Thalib karrama Alla>hu wajhah.8

5 Bahasa Persia yang artinya: Suka Berjuang. Al-Tadafi berkata dalam Qala>id al-Jawahir, 3,

“Janki Dust merupakan lafazh a’jam (bukan bahasa Arab), yang artinya suka berperang. Wallahu

a’lam.”

6 Mahbub Djamaludin, Biografi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, (Depok: Senja Publishing, 2015), 24. 7 Shaikh Muhammad ‘Ali al-’Aini, ‘Abd al-Qa>dir al-Kailany: Shaikhu Kabi>r min Shulaha’i al

-Isla>m, (Da>r al-Thaqafah, 1993), 32.

8 Yunus Ibrahim as-Samira’i, Al-Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Kailani: Hayatuhu Atsaruhu, (Baghdad:


(41)

32

Adapun silsilah beliau bisa dikatakan sebagai “rantai emas”, karena dari pihak ayah maupun dari pihak ibu sama-sama mempunyai garis keturunan dari Nabi Muhammad. Sang ayah bergaris nasab dari Hasan dan sang ibu bergaris nasab dari Husein. Namun, beliau terlahir dalam keadaan yatim karena ayahnya telah wafat saat beliau masih berada di rahim ibunya dalam usia 6 bulan.9

Sejak kanak, al-Ji>la>ni> sudah ditempa oleh takdir – terlahir dalam keadaan sudah menjadi yatim. Sejak saat itu, tampaknya sang ibu membawa al-Ji>la>ni> tinggal bersama kakeknya (dari pihak ibu), Abdullah al-S{uma’i. Kakeknya inilah yang kemudian merawat al-Ji>la>ni> kecil, membimbing dan mendidiknya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Bahkan karena kedekatannya, sang kakek sudah dianggap sebagai bapaknya sendiri. Ini terlihat dari penisbahan nasabnya kepada sang kakek, dan menyebut dirinya Ibnu al-S{uma’i (anak dari al-S{uma’i), sebutan yang masyhur ketika ia masih di Ji>la>n,10

Al-S{uma’i adalah seorang yang saleh dan zuhud, termasuk tokoh ulama setempat. Disebutkan bahwa al-S{uma’iadalah seorang yang “do’anya didengar -kabulkan Allah, bila ia marah Allah akan turut menurunkan murkaNya. Meski tubuhnya sudah lemah lagi renta, ia selalu mengerjakan shalat sunat nafilah dan senantiasa berdzikir. Ia juga kerap disingkapkan sehingga mengetahui suatu perkara sebelum diberitahu tentangnya.” Demikianlah disebutkan sifat-sifat mulia sang kakek dalam kitab Shadharatu al-Dhahab.11 Di bawah asuhan sang

9 Zainur Rofiq Al-Shadiqi, Biografi Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, (Jombang: Darul Hikmah,

2011), 41.

10 Abdul Razaq al-Kailani, Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah,

(Damaskus: Da>r al-Qalam), 92.


(42)

33

kakek inilah al-Ji>la>ni> mendapat gemblengan dasar-dasar syariat Islam: fiqh madzhab Hanbali, ketakwaan, akhlaq karimah, dan keteladanan sifat zuhud. Karena kecerdasan dan keuletannya, dengan cepat al-Ji>la>ni> menguasai ajaran sang kakek. Ketertarikannya kepada ajaran Islam membuatnya belum merasa puas dengan apa yang dicapai saat itu.12

Al-Ji>la>ni> terlahir sebagai bungsu di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Fase awal kehidupannya dihabiskan bersama ibu dan kakeknya di tanah kelahirannya. Sejak kecil dia sudah menunjukan berbagai tanda keistimewaan, ia termasuk anak yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur, penurut orang tua, sering termenung sendiri untuk mengambil manfaat atas nalar, mencintai ilmu pengetahuan, senang ber-riya>d}ah dan muja>hadah melawan hawa nafsu (meski saat itu ia belum benar-benar belajar tentang tasawuf, tapi bukankah sang kakek dikenal sebagai sosok yang saleh dan zuhud, seorang sufi), mencintai fakir miskin dan gemar ber-amar ma’ru>f nahi munkar. Selama menimba pengetahuan agama di tempat kelahirannya diceritakan bahwa al-Ji>la>ni> telah menghafal al-Qur’an dan kitab al-Muwatha’ ibn Malik, pada tahun 488 H.13

Kecintaan dan ketertarikannnya akan ilmu, suatu ketika membuatnya berkeinginan untuk melanjutkan jenjang keilmuannya ke Baghdad. Pada masa itu Baghdad – bisa dikatakan – sebagai kota metropolis, pusat peradaban dan keilmuan yang masyhur. Al-Ji>la>ni> tentunya pernah mendengar cerita-cerita tentang ulama Baghdad yang masyhur, madrasah dan universitasnya yang maju. Terlebih lagi, Ahmad ibnu Hanbal (164 – 241 H./780 – 855 M.), Imam besar

12 Djamaludin, Biografi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>..., 26. 13 Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi..., 10.


(43)

34

madzhab Hanbali – madzhab yang dianut penduduk Ji>la>n, termasuk keluarganya – dulu juga tinggal dan mengajar di Baghdad. Sehingga merupakan hal yang lumrah bagi pecinta ilmu untuk tertarik mendatanginya.

Ketika ibunya menjelaskan bahwa kota Baghdad berbeda dengan kota Niff, dimana biaya hidup lebih besar dan lebih mahal. Bagaimana ia akan mencukupi kebutuhan-kebutuhannya? Al-Ji>la>ni> menjawab, bahwa yang dicarinya ke Baghdad bukanlah makanan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Ibunya memberi pertimbangan bahwa kondisi keluarganya tidak memungkinkan untuk memberinya bekal yang cukup ke Baghdad. Al-Ji>la>ni> menjawab, bahwa bekal utamanya adalah keyakinan, kepercayaan, dan terutama restu ibunya. Semakin harulah sang ibu mendapati tekad sang putera yang sudah demikian bulat.14

Maka, tibalah saatnya bepisah. Setelah kakek dan ibunya memberikan wejangan kepada al-Ji>la>ni> yang baru 18 tahun itu. Setelah sang ibu memberikan harta warisan hak putera terkasihnya itu sebagai bekal di rantau.15 Dan setelah terdengar kabar bahwa karavan dagang yang hendak ke Baghdad telah singgah di Ji>la>n. Al-Ji>la>ni> pun meninggalkan desa kelahirannya, Niff-Ji>la>n. Tahun 488 H. itu menjadi tonggak baru dalam sejarah hidup Al-Ji>la>ni> muda: merantau ke Baghdad!

14 Djamaludin, Biografi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>.., 27.

15 ‘Abd al-Qa>dir mempunyai seorang kakak (namanya Abdullah), yang tetap tinggal di Ji>la>n.

Ketika ‘Abd al-Qa>dir hendak ke Baghdad, ibunya yang merasa tidak akan bertemu lagi

dengannya, sehingga membagi seluruh hartanya yang sedikit kepada kedua puteranya itu. Riwayat lain menyebutkan bahwa harta ini adalah peninggalan mendiang ayahnya, sebesar 80

dinar. Semula ibunya hendak menyerahkan seluruhnya untuk ‘Abd al-Qa>dir, tetapi ‘Abd al-Qa>dir menolak. Ia hanya mau mengambil separuhnya, 40 dinar. Sebab menurutnya, yang separuh lagi adalah hak kakaknya, Abdullah. Lihat: Zaydan, ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.., 93 dan 96.


(44)

35

A. Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> Sebagai Pencari Kebenaran: Masa Muda Hingga Uzlah

Sebelum membincang tentang bagaimana kondisi al-Ji>la>ni> sebagai pencari kebenaran, baiknya kita pahami dulu kondisi sosial politik dan kultur yang melatari kehidupannya. Karena bagaimanapun, situasi dan lingkungan amatlah berpengaruh dalam membentuk pribadi seseorang. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ‘Abd al-Qa>dir dilahirkan di Ji>la>n,16 suatu daerah di Persia (kini masuk dalam wilayah Iran). Dalam beberapa literatur17 disebutkan bahwa Ji>la>n adalah logat Arab dari Gi>la>n18, sebuah nama untuk banyak wilayah di ujung negeri kuno Thibristan. Letaknya berada di arah Barat Daya laut Kaspia, sementara di sebelah Selatan terdapat perbukitan Alborz yang memisahkannya dari negeri Azarbaijan. Jika anda melihatnya di atas peta, maka arah Ji>la>n terletak di Barat Laut ibukota Iran, Teheran.

Dua bulan setelah kekaisaran Persia ditaklukkan dalam perang Nahawand (19 H.), kaum muslim dibawah ekspedisi Bara’ ibn ‘Azib r.a. juga memeroleh kemenangan gemilang dengan jatuhnya Ray (Teheran). Lalu berturut-turut jatuh pula Qazwin, Ji>la>n, Thalys, dan Zanjan ke dalam kekuasaan mereka. Beberapa kali Ji>la>n berhasil melepaskan diri, namun kemudian dapat ditaklukkan kembali oleh Sa’id ibn ‘Ash, yang kemudian berhasil mengislamkan penduduknya. Al

-Baladzari, menyebutkan dalam kitabnya Futu>h al-Buldan bahwa dalam

16Selanjutnya untuk menyebutkan nama daerah ini dan juga penisbahannya kepada Shaikh ‘Abd

al-Qa>dir, penulis memilih menggunakan kata Ji>la>n atau al-Ji>la>ni> di antara pilihan sebutan lainnya.

17 Lihat, di antaranya: Mara>shi>d al-It}t}ila>’ ‘ala> Asma>’ al-Amkinah wa al-Biqa>’ karya Shafiuddin

al-Baghdadi, hlm 368. Atau Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Bulda>n, j. 2, hlm 201.

18 Sebutan lain untuk wilayah ini adalah Osta>n-e Gi>la>n, Guilan, Kailan, Daylaman, Dailam atau


(45)

36

peperangan ini ikut pula dua cucu Rasulullah, Hasan dan Husein. Keduanya dan banyak sahabat pun segera membaur dengan penduduk asli Persia, ada yang bermukim di salah satu wilayahnya, mempersunting perempuannya, bahkan sebagian dari mereka menetap hingga wafat.

Demikianlah, setelah jatuhnya kekaisaran Persia, agama Islam pun diterima dengan cepatnya di wilayah tersebut. Dan semenjak itu, pelan namun pasti agama Islam mengakar, sebagaimana bahasa Arab yang dengan giat dipelajari para pemeluk agama baru ini. Namun pada abad ke-3 H., yakni masa kekhilafahan al-Ma’mun, wilayah tepian yang jauh dari pusat kekuasaan di Baghdad sudah seperti negeri yang merdeka. Di sana sini muncul penguasa-penguasa lokal yang membentuk pemerintahannya sendiri, yang mengikuti kekhilafahan Baghdad hanya sebatas nama formalitas saja.19

Di Iran, yakni di Khurasan, muncul daulah Thahiriyah (205 s.d. 259 H.) yang dipimpin oleh Thahir ibn Husain, yang merupakan seorang jenderal tentara Khilafah a-Ma’mun sendiri. Negeri lokal ini pun berusaha melakukan ekspansi ke daerah-daerah sekitarnya, termasuk ke Ji>la>n. Hanya saja, usaha ini gagal. Ji>la>n saat itu mengadakan perlawanan dengan dipimpin oleh seorang Sayyid ‘Alawiyah (keturunan Ali k.w.), yang bernama Hasan bin Zaid bin Muhammad.20 Sejak itu, Hasan bin Zaid membentuk negara tersendiri, yakni daulah Zaidiyah (berdiri 250 s.d. 316 H.), yang wilayahnya mencakup Ji>la>n dan Thibristan. Kemudian, daerah ini jatuh ke tangan Mardawaih bin Zayyar, dan di atasnya

19 Djamaludin, Biografi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>.., 16.

20 Saat tiba di Ji>la>n, Hasan bin Zaid datang dari Ray (Teheran) bersama dua anak pamannya, ibn

Musa bersaudara, yakni Idris ibn Musa dan Dawud ibn Musa. Dari sulbi Dawud ibn Musa inilah


(46)

37

didirikan Daulah Zayyariyah (316 s.d. 433 H.). Pada saat yang sama, muncul Daulah Buwaihiyah (320 s.d. 447 H.) yang menguasai hampir seluruh wilayah Iran saat ini, namun tidak pernah berhasil menguasai Ji>la>n.

Pada 432 H. muncullah Daulah Saljuk yang terus memperluas wilayahnya. Di bawah kepemimpinan Thugrul Bik, Dinasti Saljuk berhasil menaklukkan Daulah Zayyariyah pada 433 H., dan masuk ke Baghdad serta menghancurkan Daulah Buwaihiyah pada 447 H. Pada masa Dinasti Saljuk (432 s.d. 583 H.) menguasai kekhalifahan inilah, Shaikh ‘Abd al-Qa>dir lahir di Ji>la>n, yakni 470 H. Lebih tepatnya, Sang Shaikh lahir pada masa Dinasti Saljuk dipimpin oleh Sultan Malikshah dan wazir Nizamul Mulk.

Demikianlah Sang Shaikh lahir dalam suasana kekacauan politik dan berturut-turutnya perebutan kekuasaan. Hal ini ditambah lagi dengan kekacauan keamanan juga. Salah satu gerombolan pengacau paling terkenal dalam sejarah Islam, yakni kelompok Hashashin, juga muncul pada era itu. Hashashin, atau dalam logat barat disebut Assasin, adalah gerakan pengacau yang kejam dibawah pimpinan Hasan S{abah. Gerombolan ini tak segan-segan membunuh, menculik, merampok, dan menjegal. Mereka memproklamirkan eksistensinya pada 483 H., setelah berhasil merebut Alamut, salah satu benteng di perbukitan Ji>la>n. Kemudian kekuasaan mereka semakin luas dengan merebut benteng demi benteng (lebih dari 100 benteng) di perbukitan Alborz yang memanjang dari Azarbaijan hingga Qazwin. Pada 485 H., mereka bahkan berhasil membunuh Nizamul Mulk, wazir dari Sultan Dinasti Saljuk, Malikshah. Dan satu bulan kemudian, giliran Malikshah yang wafat karena diracun.


(1)

153

DAFTAR PUSTAKA Buku

‘Aini (al), Muhammad ‘Ali, ‘Abd al-Qa>dir al-Kailany: Syaikhu al-Kabi>r min

Shulaha’i al-Isla>m, Da>r al-Thaqafah, 1993.

‘Araby (al), Muhyiddi>n Ibn, Fus}u>s} al-H}ika>m, Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Araby, 1946

Abdullah, Samudi, Analisa Kritis Terhadap Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Dhahabi (al), H{usain, Siyar A’lam al-Nubala>’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996.

Dhahabi (al), H{usain, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz II, Mesir: Maktabah Wahbah, 2000.

Djamaludin, Mahbub, Biografi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Jaelani, Depok: Senja Publishing, 2015.

Gulen, Fathullah, Kunci-kunci Rahasia Sufi, Terj. Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Hadi, Muchsin Nur, Al-Lujainy al-Dany, Surabaya: Sumber Agung, 1993. Haeri, Fadhlalla, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Hafni (al), Abdul Mun’im, ENSIKLOPEDIA Golongan, Kelompok, Aliran,

Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam Seluruh Dunia, terj. Muhtarom, Lc, Dpl, dan Tim Grafindo, Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 1999 . Hamka, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf, Jakarta: Republika Penerbit,


(2)

154

Hujwiri (al), ‘Ali Ibn ‘Uthman, Kashful Mahju>b, Terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M., Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015.

Irawan, Aguk, Tafsi>r al-Ji>la>ni>: Menyelami kisah dan Makna Ta’awudz, Basmalah, Taubat dan Taqwa, Jakarta: Zaman, 2011.

Islam, Mujaddidul dan Akbar (al) Jalaluddin, Keajaiban Kitab Suci al-Qur’an, Delta Prima Press, 2010.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, al-Ghunyah li T{a>libi T{ari>q al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, al-Mukhtas}a>r fi ‘Ulu>m al-Di>n, Istambul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhus al-Ilmiyyah, 2010.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Buku Saku Tasawuf dan Tarekat, terj. Aguk Irawan, Lc., Jakarta: Zaman, 2015.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Fiqih Tasawuf, terj. M. Abdul Ghaffar, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Futuh al-Ghaib, terj. Syamsu Baharruddin dan Ilyas Hasan, Bandung : Mizan, 1985.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Jala’ al-Khathir, terj. Denis ‘Afriandi, Jogjakarta: Diva Press, 2013.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Raihlah Hakikat, Jangan Abaikan Syariat: Adab-Adab

Perjalanan Spiritual, terj. Tatang Wahyudin, Bandung: IKAPI, 2007.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Sirr al-Asra>r fi> ma> Yah{taju Ilayhi al-Abra>r, terj. H. Muchlisin Nawawi, Lc., M.Pd.I., Yogyakarta: Fatiha Media, 2014.

Ji>la>ni> (al), ‘Abd al-Qa>dir, Tafsi>r al-Ji>la>ni>>, ed. Muhammad Fa>d{il Jayla>ni>, Istanbul: Marka>z al-Ji>la>ni> li al-Buhu>s{\ | al-‘Ilmiyyah, 2009.

Kaaf (al), Habib Abdullah Zakiy, Ajaran Tasawuf Shaikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Katsir, Ibnu, Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m, juz 1, Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.


(3)

155

Kailani (al), Abdul Razaq, Syaikh ‘Abd al-Qa>dir Ji>la>ni>: Ima>m Za>hid al-Qudwah, Damaskus: Da>r al-Qalam.

Khalid, Abu, Kisah Teladan dan Karamah Para Sufi, Surabaya: CV Pustaka Agung Harapan, 1998.

Maraghi (al), Tafsir Al-Maraghi, juz.1.

Masduki, Anis, Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jayla>ni>, Yogyakarta: STIQ Al-Nur, 2010.

Muhajir, Noeng, Metodologi Penulisan Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002.

Mujahidin, Anding, Syekh ‘Abd al-Qa>dir al-Jailani, Jakarta: Zaman, 2011.

Nabawi (al), Syekh Abul Hasan, Syekh ‘Abd al-Qa>dir Jaelani, terj. Abu Asma, Solo: CV. Ramadhani, 1985

Nadwi (al), Abu Hasan, Rija>l al-Fikri wa al-Da’wah fi’l-Islam, Kuwait : Da>r al-Qalam, 1969.

Nasr (al), Sayyed Hossein, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. M. Solihin Arianto, dkk., Bandung: Mizan, 2003.

Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Qaht}a>ni (al), Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, terj. Munirul Abidin, Jakarta: PT. Darul Falah, 2003.

Qat}t}a>n (al), Manna> Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’a>n, terj. Mudzakir AS., Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2015.

Qusyairy (al), Abul Qasim an-Naisabury, Risalah Qusyairiyah, terj. Mohammad Luqman Hakiem, MA., (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)

Ra>zi (al), Fakhruddin, Mafa>tih} al-Gha>ib, juz 1, Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000.


(4)

156

Ridha>, Muh}ammad Rasyi>d, Tafsir al-Fa>tih}ah: Menemukan Hakikat Ibadah, terj. Tiar Anwar Bachtiar, Bandung: Al-Bayan, 2007.

Riyadi, Abdul Kadir, Arkeologi Tasawuf, Bandung: Mizan Pustaka, 2016.

Rumi (al), Fahd bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas al

-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1996)

S}abuni (al), Muhammad Ali, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, terj. Muhammad Qodirun Nur, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)

Samira’i (al), Yunus Ibrahim, Al-Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Kailani: Hayatuhu

Atsaruhu, (Baghdad: Mathba’ah al-Ummah, 1982)

Sarraj (al), Abu Nashr, Al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson Rahman, MA., Surabaya: Risalah Gusti, 2002.

Shadiqi (al), Zainur Rofiq, Biografi Syekh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Jombang: Darul Hikmah, 2011

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Cet I, Jakarta: Lentera Hati, 2013.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2012.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mis}ba>h}; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sholikhin, Muhammad, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syeikh ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Jakarta: PT. Buku Kita, 2009.

Suyu>t}i (al), Jala>l al-Di>n, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an, Beirut: Da>r Kutub al-Ilmiyyah, tt.

Sya’rani (al), Abdul Wahab, T{abaqa>t Kubra, J. 1, Kairo: Maktabah

al-Tawfiqiyah, tt.

Sya>mi> (al), Ahmad, Mawa>’iz} al-Syekh ’Abd al-Qadir al-Jaylani, Jakarta: Zaman, 2012.

Tadafi (al), Muhammad Yahya, Qala>id al-Jawa>hir fi> Mana>qib al-Shaikh ‘Abd al -Qa>dir, Mesir: Mus}tafa al-Rabi al-Halabi, tth.


(5)

157

Taftaza>ny (al), Abu al-Wafa, al-Madkhalli al-Tas}awwuf al-Islami>y, Kairo: Da>r al-Tsaqa>fah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, tth.

Toha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1996

Ulya, Metode Penelitian Tafsir, Kudus: Nora Media Enterprise, 2010

Yafi’i (al), Abdullah bin As’ad al-Syafi’i, Keramat Syekh ‘Abd al-Qa>dir

al-Jailani R.A. (1077-1166), terj. Achmad Dzulfikar, Depok: Keira Publishing, 2015.

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016.

Zaydan, Yusuf Muhammad T{a>ha>, ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: Ba>z Alla>h al-Asyhab, Beirut: Da>r al-Jayl, 1991

Skripsi, Tesis, dan Jurnal

Anshori, Faiq Ihsan, “Hermeneutika Sufistik Tafsir Ishari ‘Abd al-Qa>dir

al-Jaila>ni, Tesis -- UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.

Azzuhdi, Abdurrohman, “Tafsi>r al-Jayla>ni> (Telaah Otentitas Tafsir Sufistik Abd

al-Qa>dir al-Jayla>ni> dalam Kitab Tafsi>r al-Jayla>ni>)”, Skripsi -- UIN Sunan Kalijaga, 2013.

Khairudin, Hafid, “Pendidikan Sufistik Menurut Syaikh Abdul Qadir Al Jailani

dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Islam (Tela’ah Kitab Al-Fath

Al-Rabbani Wal-Fayd Al-Rahmani)”, Tesis -- UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

Masduqi, Irwan, “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani”, Analisa, Vol. 19, No. 01, Juni, 2012.

Nurdin, Asep, “Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al

-Quran Ulama Sufi”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadith, Vol. 3,


(6)

158

Majalah

Alkisah no.07/4-17 april 2011. Situs Internet

http://www.iiq.ac.id http://www.sufinews.com http://www.uinjkt.ac.id

https://ashakimppa.blogspot.co.id/2014/11/tafsir-surah-al-fatihah-menurut-syeikh.html diakses tanggal 07-01-2017

http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2014/06/penemuan-karya-shekh-abdul-qadir-al.html (diakses 01 April 2017)

https://www.arrahmah.co.id/2015/10/setelah-800-tahun-hilang-tafsir-syeikh.html (diakses 01 April 2017)