Analisa kritis terhadap surah al-Fil dalam tafsir al-Khazim

ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR
AL-KHÂZIN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Usuluddin Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh :
Ahmad Khozin
Nim : 104034001191

JURUSAN TA
FSIR HADIS
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M.

ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR
AL-KHÂZIN
SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh :
Ahmad Khozin
Nim : 104034001191

Pembimbing

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A
NIP : 197110031999032001

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M

ii


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala
nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini yang berjudul “ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM

TAFSIR AL-KHÂZIN”. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi
Muhammad saw.
Penulisan skripsi ini nampaknya tidak akan terwujud seperti ini tanpa adanya
partisipasi dari berbagai pihak yang telah memberikan solusi dalam menghadapi segala
kesulitan penulis dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada :
1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si., Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan sekaligus Dosen
Pembimbing yang selalu sabar membimbing penulis sampai selesai.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan wawasan intelektual selama penulis
“menimba” ilmu di Jurusan tersebut.
5. Pimpinan dan Seluruh Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin, dan Perpustakaan Iman Jama’.
6. Kedua Orang Tua Penulis Bapak H. Muhammad Sa’duddin (almarhum), dan Ibu
Hj. Atiqoh yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.

ii

7. Kakak-kakak dan adik yang penulis sayangi, terima kasih atas doanya.
8. Marcos Nasution, S.E, Wahiduddin, S.E, Ahmad Zaeni (Madun), S.Th.I, Rahmat
Syaiful, S.Th.I, Jaya Cahyadi, S.Ud, Muzakky, Asyari Hasan, Badru el Salam,
Juanda, Wahyu Ariadi, S.E. Juga teman di Fakultas Ushuluddin khususnya
Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004, yang selalu
ceria dan bersemangat, terima kasih atas sarannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran dan kritik amat penulis harapkan untuk memperbaiki skripsi ini semoga
bermanfaat untuk kita semua

Jakarta, 07 Maret 2011

Penulis,


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ibarat menimba air zam-zam di Tanah Suci, pembahasan mengenai tafsir tidak
akan pernah ada habisnya. Hal ini paling tidak karena tafsir melahirkan bentuk serta
gaya penulisan. Ada yang menulis tafsir secara konvensional yang dikenal dengan
metode tahlîlî, secara global, ijmâlî, dan ada juga yang menulis tafsir berdasarkan tematema besar dalam al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan metode maudû‘î. 1
Dalam hal ini, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menafsirkan ayatayat al-Qur’an. Karena untuk dapat menafsirkan ayat-ayat tersebut, seseorang terlebih
dahulu harus menguasai ‘Ulûm al-Qur’ân, 2 seperti Ilmu Tata Bahasa Arab/Lughah,
Gramatika/Nahwu,

Morfologi

Bahasa

Arab/Saraf,

Turunan


Kata-atau

Akar

Kata/Isytiqâq, Ilmu Ma‘ânî (semantik Arab), Ilmu Bayân (termasuk semantik Arab),
Ilmu Badî‘ (bagian ilmu sastra) Ilmu Qirâ’ah (teori membaca), Ilmu Tentang PokokPokok Agama (Usûl al-Dîn), Ilmu Usûl al-Fiqh, Ilmu Asbâb al-Nuzûl dan Qisâs, Ilmu
U

U

Nâsikh Mansûkh, Ilmu Fiqh, Ilmu Hadis Nabi saw. dan Ilmu pemberian Tuhan, dengan
demikian ia dikatakan dapat mengelaborasi dan menafsiri ayat-ayat al-Qur’an.3

1

Muhammad Quraish Shihab. “Kata Pengantar” dalam Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an.
(Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001).
2
Muhammad Nasib al-Rifa‘î, Taisîr al-Aliyy al-Qadîr Li Ikhtisâr Tafsîr Ibnu Katsîr. Terj.

Syihabuddin. (Jakarta:Gema Insani Press, 2000).
3
Muhammad ‘Alawi al-Malikî al-Hasanî, Zubdah al-Itqân Fî ‘Ulum al-Qur’ân. terj. Tarmana
Abdul Qasim. (Bandung: Mizan Media Utama, 2003) h. 282-284.

1

2

Salah satu bidang kajian ‘Ulûm al-Qur’ân adalah mengenai Tarîkh al-Qur’ân
atau sejarah al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan ruang terhadap ayat-ayat yang
menceritakan bahkan menggambarkan tentang sejarah umat terdahulu. Hal itu terbukti
terdapat 1600 ayat yang mengemukakan tentang kisah, itu belum termasuk ayat-ayat
Tamsiliyat yang juga menceritakan tentang umat-umat terdahulu.
Tujuan diturunkannya ayat-ayat mengenai kisah ini adalah agar manusia dapat
mengambil pelajaran, hikmah dan manfaat dari peristiwa tersebut. 4 Di sisi lain
pentingnya ayat-ayat mengenai kisah ini setidaknya memberikan semangat agar setiap
tindakkan dan prilaku manusia terdapat rambu-rambu, dan hal itu bertujuan agar
manusia tidak terjerumus kepada nilai-nilai negatif, apalagi yang berkaitan dengan
akidah.

Di antara banyaknya kisah yang tercantum dalam al-Qur’an. Terdapat sebuah
kisah yang menarik perhatian, yaitu kisah pasukan bergajah yang dipimpin oleh
Abrahah, penguasa Yaman yang berada di bawah kekuasaan Negus di Ethiopia,
membangun sebuah gereja di kota Shan’a yang dinamai al-Qullais, sebuah bangunan
yang tinggi menjulang ditaburi permata setiap penjurunya. Di sisi lain ia bertekad ingin
memindahkan perhatian warga Arab, bukan ke Ka‘bah lagi. 5
Misi yang dipimpin oleh Abrahah ini tercium oleh penduduk Mekah, dan banyak
di antara mereka yang tersinggung. Salah satunya seorang dari penduduk Kinânah
berkunjung ke gereja tersebut kemudian membuang kotorannya, yang tentu tujuannya

4

Jalâludîn ‘Abdurahmân al-Suyûtî, Al-Itqân Fi Ulûm al-Qur’an. (Kairo: Dâr al-Kutub Ilmiyah,
1995), jilid II. h. 77.
5
Al-Rifa‘î, Taisîr al-Aliyy al-Qadîr. h. 1046. jilid. 4

3

untuk menghina Abrahah dan gereja yang dibangunnya. Dari sinilah Abrahah sangat

marah, bersama pasukannya, ia bermaksud menyerang kota Mekah. 6
Penyerbuan yang dilakukan Abrahah dengan pasukannya mengalami kebuntuan,
karena dalam hal ini Allah swt. turun tangan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 570 M.
dan dijadikan oleh orang Arab sebagai awal penanggalan yang mereka namai ‘âmu al-fîl
(Tahun Gajah). Dan pada tahun itulah Rasulullah saw. dilahirkan. 7
Kegagalan Abrahah dalam menyerang Mekah difahami oleh para ulama tafsir
dengan pemahaman yang berbeda. Muhammad ‘Abduh misalnya, ia mengemukakan
bahwa kegagalan pasukan bergajah terhambat karena pada waktu itu terjadi wabah
penyakit campak atau cacar yang tersebar di lokasi tentara bergajah. 8 Pendapat Abduh
di atas ditolak oleh sekian banyak ulama, salah satunya Muhammad Mutawallî alSya‘rawî. Ia mengutarakan bahwa ayat ke-lima surah al-Fîl. Menggunakan kata fa yang
menunjukkan singkatnya waktu antara peristiwa yang ditunjuk kata sesudah huruf fa.
surah al-Fîl ini juga mengandung isyarat bahwa apa yang terjadi itu adalah ”Perbuatan
Tuhan” dan peristiwa tersebut di luar hukum sebab akibat yang lumrah diketahui.
Peristiwa ini semata-mata perbuatan Tuhan dan tidak dapat diukur dengan ukuran yang
berlaku dengan kebiasaan makhluk Tuhan. 9
Adapun al-Marâghî mengemukakan bahwa surah al-Fîl secara umum
membicarakan seorang panglima yang gagah dan perkasa hendak merusak dan
menghancurkan Ka’bah sehingga ia dapat memindahkan tempat peribadatan orang6

Muhammad Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati, 2003. vol. 15. h. 523.
7
Shihab. Tafsir al-Mishbah. vol. 15. h. 523.
8
Shihab. Tafsir al-Mishbah. vol. 15. h. 523.
9
Shihab. Tafsir al-Mishbah. vol. 15. h. 527-529.

4

orang ke negerinya. Namun upayanya terhalang akibat terserang penyakit yang
sebelumnya tidak pernah terjadi mengerogoti pasukan Abrahah hingga kulit bahkan
seluruh tubuh pasukan bergajah habis terkelupas dan mereka lari terkekeh-kekeh.
Adapun pemimpinan mereka, Abrahah pun demikian, dagingnya rontok secara bertahap
hingga menembus ke jantung hatinya dan dadanya terpecah dua hingga akhirnya ia
tewas di Shan’a. Itulah balasan Allah swt. terhadap kaum yang durhaka dan angkuh
melebihi kekuasaan-Nya. 10
Walau bagaimanapun, itu semua pendapat ulama yang perlu dihormati. Namun
alangkah lebih menariknya kalau mencermati pendapat ulama Baghdad yang hidup kirakira pertengahan abad ke-3. yaitu ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Baghdâdî, yang
lebih populer dikenal dengan nama al-Khâzin. Dalam tafsirnya, Tafsîr al-Khâzin: Lubâb

al-Ta’wîl Fî Ma‘ânî al-Tanzîl. Ia mencoba mendeskripsikan pendapatnya mengenai
surah al-Fîl, ter-utama berkaitan dengan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah.
Pasukan bergajah diabadikan dalam salah satu surat dalam al-Qur’an yaitu surah
al-Fîl. Surah ini mempunyai keistimewaan tersendiri, sampai banyak ulama mengkritisi
secara rasional maupun irasional, termasuk di dalamnya al-Khâzin ulama klasik yang
mencoba mengkritisi dengan berbagai pendekatan. Yang menarik dari pembahasannya
adalah langkah-langkahnya ketika menafsiri ayat-ayat al-Qur’an berkaitan dengan tafsir
yang penulis kaji. Salah satunya pendekatan bahasa dan kajian mengenai Isrâiliyah.
Dalam hal ini, penulis sangat ter-inspirasi untuk mengetahui bahkan mencoba
mengkritisi pendapat al-Khâzin lebih mendalam pada Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl

10

Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsîr al-‘Azîm al-Marâghî (Dâr Ilmiyah, Kaira) h. 424.

5

Fî Ma‘ânî al-Tanzîl, mengenai surah al-Fîl. Bagaimana sejarahnya terjadi peristiwa
penyerangan pasukan bergajah terhadap kota Mekah? Adakah keterkaitan kisah
isrâiliyah pada Tafsîr al-Khâzin? Apakah penafsiran al-Khâzin pada surah al-Fîl

terpengaruh dengan pola penafsiran sebelumnya? Lalu siapakah seseorang yang
mempengaruhi penafsiran al-Khâzin? Dan apakah kisah pasukan bergajah memang
terjadi pada zaman dahulu?
Dari latar belakang inilah, penulis memilih judul ANALISA KRITIS
TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR AL-KHÂZIN.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini banyak sekali permasalahan yang penulis temukan. Di
antaranya mengenai sejarah Abrahah, sejarah tersebut sering dikemukakan oleh para
ulama, ada yang menguraikannya dengan pendekatan Isrâiliyat ada juga yang
mengemukakan dengan pendekatan rasionalnya. Di sisi lain pendekatan kebahasaan
amat mempengaruhi pola penafsiran, oleh karena itu banyak mufasir yang
mengemukakan pandangannya mengenai surah al-Fîl. Dengan demikian, penulis
membatasi study kritis penafsiran surah al-Fîl ini pada penafsiran al-Khâzin.
Meskipun penafsiran surah al-Fîl ini penulis hanya terkonsentrasi pada alKhâzin, namun penulis tidak menutup kemungkinan untuk mengutip mufasir lain
seperti, Ibn Katsir, Fakhrudin ar-Razi dan Quraish Shihab. Hal ini bertujuan untuk
memperkaya khazanah karya penulis.

6

Sedangkan perumusan masalahnya adalah, apa dan bagaimana pola penafsiran
al-Khâzin pada surah al-Fîl?

C. Kajian Pustaka
Kajian tafsir yang erat kaitannya dengan kisah di dalam al-Qur’an telah berulang
kali diteliti. Baik dalam buku, artikel maupun skripsi. Sejauh ini penulis temukan dalam
skripsi buah tangan Ahmad Baihaqi dengan judul al-Baqarah dan Keangkuhan Banî
Isrâ’îl (Study Kritis Surah al-Baqarah ayat 67 sampai dengan 74). Ia menyajikan tentang
sejarah awal kisah Banî Isrâ’îl sampai dengan memasuki abad modern dengan
penyampaian yang luas. Dan yang lebih menarik menurutnya adalah kisah Banî Isrâ’îl
pada masa Nabi Mûsâ as. Dalam hal ini ia banyak mengemukakan pendapat para
mufasir, di antaranya adalah al-Zamakhsyarî, al-Baidawî, al-Khâzin, Muhammad
Husain al-Thabathaba’î, Muhammad Mutawalli al-Sya‘râwî, Muhammad Rasyîd Ridâ,
Quraish Shihab, Mustafâ al-Maraghî, Muhammad Alî al-Sabunî dan Wahbah al-Zuhailî.
Selain itu ia juga mengutip dari Ahmad Salabî dan Dafid F. Hinson. 11
Di tempat lain, Rasul Karim mengemukakan tentang kisah dalam skripsinya
“Kisah Perjalanan Nabi Mûsâ as. dan Abdun Saleh dalam Surah al-Kahfi ayat 66
sampai dengan ayat 78. (Study Komparatif Penafsiran HAMKA dan Quraish

11

Ahmad Baihaqi, “Al-Baqarah dan Keangkuhan Banî Isrâ’îl (Study Kritis Surah al-Baqarah
ayat 67 sampai dengan 74). (Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008).

7

Shihab)”. 12 Begitupula Endoy Diyaudin dalam skripsinya, ia mengemukakan “Kisah
Tâlût dalam al-Qur’an: Kajian atas Tafsîr Tahrîr wa Tanwîr”. 13
Selain itu dalam kajian tokohnya, Dede Afandi dalam skripsinya “Metode alKhâzin Dalam Menafsirkan al-Qur’an (Study Ayat Ahkam Bidang Ibadah).” Dalam hal
ini ia lebih banyak mengemukakan pandangan al-Khâzin mengenai aspek-aspek ibadah
di antaranya mengenai ayat-ayat thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji. 14
Kajian mengenai kisah memang tidak sedikit jumlahnya. Akan tetapi tidak ada
satupun yang mengkaji dan menyinggung secara khusus tentang surah al-Fîl menurut
al-Khâzin. Oleh karena itu, penulis menemukan ruang kosong dalam khazanah
kepustakaan Islam yang dibahas secara khusus. Dengan ini, penulis berharap bisa
mendeskripsikannya tentang pembahasan mengenai Analisa Kritis surah al-Fîl dalam
Tafsir al-Khâzin.

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Kajian Sejarah Pasukan Bergajah dalam surah al-Fîl perlu diangkat dan
dibahas secara detail dan sistematis, terutama pada tafsir yang ditulis oleh al-

12

Rasul Karim, “Kisah Perjalanan Nabi Musa as. dan Abdun Saleh dalam Surah al-Kahfi ayat 66
sampai dengan ayat 78”. (Study Komparatif Penafsiran HAMKA dan Quraish Sihab). (Skripsi S 1
Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,, 2007).
10
Endoy Diyaudin, “Kisah Tâlût dalam al-Qur’an: Kajian atas Tafsîr Tahrîr wa Tanwîr”.
(Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007).
11
Dede Afandi, “ Metode al-Khâzin Dalam Menafsirkan al-Qur’an (Study Ayat Ahkam Bidang
Ibadah).”. (Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2005).

8

Khâzin, sehingga wawasan serta pandangan yang disajikan oleh al- Khâzin
dapat diterima dan difahami dengan baik. Kelebihan dan kekurangannya
dapat terlihat dengan jelas. Aktivitas tersebut dilakukan dengan cara
menganalisa secara cermat tentang hal-hal yang berkaitan dengan Sejarah
Pasukan Bergajah dalam surah al-Fîl.
2. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program S1 Fakultas
Ushuludin Jurusan Tafsir Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam
meraih gelar S.Th.I.

E. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang penulis gunakan adalah metode kepustakaan
(Library Research), penulis mencoba mengumpulkan data lalu dielaborasi dan analisis
sesuai dengan kajian yang hendak penulis kritisi. Dengan langkah inilah penulis
mendapatkan sumber data. Adapun sumber data primer yang menjadi rujukan penulis
adalah Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’ânî al-Tanzîl. Karya ‘Alî bin
Muhammad bin Ibrâhîm al-Baghdadî al-Khâzin. Sedangkan sumber skundernya adalah
Tafsîr al-Mishbah, Tafsîr al-Sya’râwî, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân, Tafsîr wa alMufasirûn, Lisân al-Arab, al-Râhîq al-Makhtûm Bhatsun Fî al-Sîrah al-Nabawiyah
‘Alâ Sâhîbihâ Afdâl al-Salât wa al-Salâm. serta buku, artikel dan sumber lainnya yang
berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Selanjutnya penulis menambah pada data
sekunder tersebut seperti: Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an karya Manâ Khali al-Qattân,
Manâhil al-‘Urfân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân.

9

Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode “Deskriptif
Analitif”, yaitu memberi gambaran tentang surah al-Fîl dan Kisah Abrahah kemudian
dianalisa secara kritis dengan sumber data yang penulis peroleh.
Di samping itu, dalam mencapai penulisan yang baik dan benar sebagaimana
layaknya sebuah karya tulis. Maka penulis skripsi ini berpedoman pada buku “pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini penulis susun dalam lima bab, yaitu:
Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini penulis mengemukakan latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis kemukakan mengenai al-Khâzin dan Tafsir nya. Dalam bab
ini penulis kemukakan biografi, kondisi intelektual dan sekilas tentang karya-karya alKhâzin. Dalam hal ini penelitian Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl fi Ma‘ânî al-Tanzîl,
lebih diutamakan. Di sisi lain, penulis juga mengemukakan tentang pengaruh Tafsîr alKhâzin pada Tafsîr setelahnya.
Bab ketiga mengenai surah al-Fîl. Penulis memuat tentang pengertian al-Fîl dan
nama-nama lain dari surah al-Fîl. Lebih dari itu, pada bab ini penulis juga
mengutarakan tentang pandangan ulama Tafsir mengenai surah al-Fîl, lalu
dikemukakan bagaimana sistematika penafsiran al-Khâzin dalam menafsirkan surah al-

10

Fîl. Lebih jauh penulis juga menyampaikan korelasi antara surah al-Fîl dengan surah
sebelum dan surah sesudahnya.
Bab keempat adalah analisis kritis surah al-Fîl dalam Tafsîr al-Khâzin. Dalam
bab ini penulis kemukakan penafsiran al-Khâzin mengenai surah al-Fîl, terutama
mengenai kisah Abrahah yang memuat bagaimana terjadinya Pra, Proses dan Pasca
Penghancuran yang dilakukan Abrahah terhadap Ka‘bah. Selanjutnya penulis akan
mengkritisi pendekatan bahasa dan Israiliyah pada Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl Fî
Ma‘ânî al-Tanzîl. Lebih jauh penulis akan kemukakan hikmah dan pelajaran yang dapat
dipetik dari kisah ini.
Bab kelima adalah penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

BAB IV
KRITIK SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR AL-KHÂZIN

A. Kritik Kisah Abrahah dalam Surah al-Fîl dalam Tafsir al-Khâzin
Secara garis besar, penulis mempetakan kisah Ashâb al-Fîl menjadi tiga bagian
penting.
1. Pra Penghancuran.
Mengenai hal ini, al-Khâzin membahas secara singkat di dalam tafsirnya apa
dan bagaimana kronologi dan motif apa yang mendorong Abrahah 1 untuk
menghancurkan Ka‘bah dan menggantinya dengan Gereja yang dibangunnya di
Shan’a. al-Khâzin tidak merinci secara detail tentang hal itu, di dalam tafsirnya
hanya diawali dengan riwayat yang dikutip oleh al-Khâzin yang berasal dari
Muhammad bin Ishâq dari Sa‘îd Ibn Jâbir, dari ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abbâs serta alWâqidî tentang pengiriman tentara yang dilakukan Raja Najasyî (Habasyah) yang
dipimpin oleh Abrahah bin al-Sibah Ibn Yaksûm. 2

1

Nama Abrahah memang tidak pernah disebut secara eksplisit dalam al-Quran, namun seluruh
ulama tafsir sepakat bahwa cerita tentang “ashâb al-fîl” yang disinggung dalam al-Quran surah al-Fîl
[105] ayat 1-5 berkenaan dengan kisah Abrahah dan seluruh pasukannya. Abrahah adalah salah seorang
penguasa yang di tanam kerajaan Habasyah (Ethiopia) di Yaman, daerah yang berada di bawah pengaruh
raja Etiopia dari Aksum (+ 530-575). Nama Abrahah menonjol akibat perannnya dalam usaha merebut
kota Mekah pada tahun, yang populer dalam sejarah Arabia disebut “Tahun Gajah”. Di tahun itulah
dilahirkan Muhammad bin Abdullah yang 40 tahun kemudian itu menjadi Rasulullah. Sebagai jalur
perdagangan antara Laut Hindia dan Laut Tengah, Yaman yang dikenal dalam tulisan Yunani sebagai
Arabia Felix menjadi ajang perebutan pengaruh Persia dan Ethiopia. Atas dukungan Bizantium sejak awal
abad ke-6 penguasa-penguasa Ethiopia berusaha melepaskan Yaman dari pengaruh Persia. Hanya
sepeninggal raja Yaman yang memeluk agama Yahudi, Dzu Nuwas, Yaman dapat dikuasai orang-orang
Ethiopia di bawah Abrahah dan dijadikan suatu “wilayah otonomi. M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi,
Sketsa al-Quran: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Quran (Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005).
h. 13.
2
Abû al-Hasan ‘Alau al-Dîn ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm bin ‘Umar bin Khalîl al-Syaihî, alKhâzin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ânî al-Tanzîl (Libanon: Dâr al-Fikr, 1979), juz VII. h. 290.

43

44

Hal yang paling mendasar tentang invasi yang dilakukan oleh Abrahah ke
Mekah adalah terjadi manakala ia melihat orang-orang berbondong-bondong untuk
melakukan ibadah haji, terinspirasilah dalam benak Abrahah untuk menyaingi
Ka‘bah, ia membangun sebuah Gereja yang diberi nama Qullais. Gereja ini
dibangun secara besar-besaran di kota Shan’a agar orang-orang berbondongbondong ke sana guna beribadah sebagaimana halnya orang-orang berbondongbondong melakukan ibadah haji di kota Mekah, bukan mendapat sambutan tetapi
Gereja tersebut malah dijadikan sebagai tempat buang kotoran oleh salah seorang
yang bernama Mâlik bin Kinânah.
Di sisi lain tampuk kekuasaan telah dipegang oleh Abrahah, ia telah
mengalahkan pihak musuh yang tidak disebut dalam tafsir al-Khâzin. Namun
mengenai hal ini, menurut dari beberapa literatur sejarah bahwa peristiwa ini diawali
dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Abrahah merebut kekuasaan yang
dimiliki Habasyah di Yaman dari tangan Aryath, yang dapat mengakibatkan orangorang Habasyah terpecah menjadi dua kubu. Masing-masing kubu menyerang kubu
lainnya. Abrahah menulis surat untuk Aryath, kemudian Aryath pun membalasnya. 3
Mereka berdua bertemu dan terjadi pertengkaran di antara mereka, Abrahah
mencoba melarikan diri namun Aryath mengangkat tombak kecil dan memukul
Abrahah dengan sasaran ubun-ubunnya. Tombak kecil Aryath mengenai dahi
Abrahah. Akibatnya, kedua alis Abrahah, hidung, mata, dan bibirnya pun robek.
Karena itulah Abrahah dinamakan Abrahah al-Asyram (robek). Namun dari

3

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 290-291.

45

belakang Abrahah, ia pun menyerang Aryath dan berhasil membunuhnya. Setelah
itu, pasukan Aryath bergabung dengan Abrahah dan orang-orang Habasyah di
Yaman bersatu di bawah pimpinannya, dan Abrahah membayar diyat (uang darah)
atas kematian Aryath. 4 Dan kejadian inilah yang mengawali keangkuhan Abrahah.
Di sisi lain, invasi Abrahah ke kota Mekah bukan hanya ingin
menghancurkan Ka‘bah atas kekuasaan yang telah dimilikinya dan nampaknya juga
bukan hanya untuk mengalihkan orang-orang yang melaksanakan ibadah haji
sebagaimana yang ia lihat ketika mereka berbondong-bondong sedang datang ke
Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi ada hal yang sangat penting
menurutnya, yaitu kedengkian terhadap masyarakat Arab sehingga dia bermaksud
mengalihkan kemuliaan dengan adanya Ka‘bah itu kepada diri dan bangsanya.
Adapun kedengkiang itu adalah tujuan politik untuk menguasai jalur perekonomian
Mekah dan daerah tersebut. 5 Karena daerah tersebut sangat menjanjikan untuk
perkembangan ekonominya.
Penulis memandang awal pra penghancuran ini, bahwa al-Khâzin
menyampaikan kisah invasi Abrahah ke Mekah amat panjang lebar, namun tidak
ada yang membedakan pendapatnya dengan pakar sejarah yang memulai kisah ini
berawal dari banyaknya orang-orang yang melakukan ibadah haji ke Mekah. Di sisi
lain penulis lebih tertarik ketika M. Quraish Shihab menyampaikan permasalahan
yang lebih penting selain ibadah haji, yaitu adanya kedengkian pada diri Abrahah,

4

Abû Muhammad ‘Abdul Mâlik bin Hisyâm al-Muafirî, al-Sîrah al-Nabawiyyah Li Ibni
Hisyâm. Penerj. Fadhli Bahri (Jakarta: Darul Falah, 2000 M.) h. 32-33.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) vol 15. h. 618.

46

yaitu adanya tujuan politik untuk menguasai jalur perekonomian Mekah dan daerah
tersebut

2. Proses Penghancuran.
Setelah melihat situasi dan kondisi kota Mekah yang menjanjikan, dan
dengan dalih bahwa Gereja Qullais yang telah dinodai dengan memfitnah bahwa
yang membuang kotoran di Gereja Qullais adalah salah seorang Arab tepatnya dari
warga sekitar Baitullah di Mekah, tempat orang-orang Arab berhaji kepadanya,
karena ia mendengar hal tersebut bahwa engkau akan mengalihkan haji orang-orang
Arab ke Gerejamu. Orang tersebut naik pitam sehingga buang kotoran di Gerejamu.
Ini artinya Gerejamu tidak layak dijadikan tempat untuk berhaji. Padahal yang
melakukannya adalah al-Kinani bukan dari sekitar Baitullah. 6
Dalam hal ini, Abrahah tidak serta merta menyerang kota Mekah. Hemat
penulis sebagaimana tercantum di dalam tafsir al-Khâzin dan literature lainnya, ada
beberapa tahap yang harus dikerjakannya demi mencapai targetnya. Pertama
mengirim surat ke Raja Najasyi dengan kabar yang tidak baik itu, dan meminta
kepadanya untuk mengirimkan gajah-gajahnya, terdapat gajah kesayangan Najasyi
yang bernama Mahmud 7 dan tidak ada gajah yang terlihat seperti ini sebelumnya
karena badanya sangat besar, dan kuat. Najasyi mengabulkan permintaan Abrahah
6

Al-Muafirî, al-Sîrah al-Nabawiyyah, h. 35.
Di dalam Tafsir al-Khâzin dikemukakan bahwa Mahmud adalah gajah kesayangan raja
Najasyi, tidak ada gajah yang terlihat seperti Mahmud. Ia berbadan sangat besar dan kuat. Mahmud
dikirim oleh Raja Najasyi atas permintaan Abrahah untuk menaklukan kota Mekah dan menghancurkan
Ka‘bah. al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 291. Di sisi lain ulama tafsir dan pakar sejarah pun
demikian, mereka menamakan gajah yang dibawa Abrahah dengan nama Mahmud.
7

47

dan mengirimkan pasukan gajahnya. Setelah mendapatkannya, Abrahah dan
pasukannya menuju kota Mekah untuk menghancurkan Ka‘bah. Namun sebelum
berangkat terjadilah perselisihan antara Abrahah dan Dzu Nafar yang menolak
pasukannya untuk mengkabulkan ambisi Abrahah, terjadilah pertempurana antara
Abrahah dan Dzu Nafar yang dimenangkan oleh Abrahah.
Kedua melakukan diplomasi dengan pimpinan kota Mekah, ‘Abd alMutallib. Dengan dalih merampas semua binatang-binatang peliharaan orang-orang
Arab, termasuk 200 unta milik ‘Abd al-Mutallib. Abrahah dapat bertemu dengan
‘Abd al-Mutallib untuk memohon agar dikembalikan 200 ekor unta milik ‘Abd alMutallib. Tetapi jawaban Abrahah berbeda dengan yang diharapkan. Abrahah
menjawab bahwa hendak menghancurkan Baitullah Rumah Suci Agama ‘Abd alMutallib dan Agama nenek moyangnya.
Setelah mendapatkan haknya, ‘Abd al-Mutallib mengintruksikan kepada
kaumnya agar menhindar dari negeri ini, karena Abrahah dan pasukannya akan
menghancurkan Ka‘bah. Dan ‘Abd al-Mutallib hanya bisa bermunajat di depan
pintu Ka‘bah tatkala kaumnya tidak mampu untuk melawan pasukan Abrahah,
dalam munajatnya ia berkata, “Wahai Tuhan aku tidak mengharapkan Tuhan telain
Engkau. Wahai Tuhan cegahlah mereka untuk menghancurkan Ka‘bah ini.
Sesungguhnya musuh Ka‘bah ini adalah orang yang memusuhimu. Cegahlah
mereka agar penghancuran tidak terjadi terhadap Ka‘bah ini.”
Ketiga melalui penyerangan yang dilakukan oleh Abrahah dan tentara
bergajah. Dalam penyerangan ini Gajah yang bernama Mahmud enggan untuk

48

mendekati Ka‘bah, sehingga yang mengendarainya memukul kepalanya, tetapi tetap
saja gajah itu tidak mau berdiri. Abrahah dengan semangatnya memberikan
komando untuk menghancurkan Ka‘bah. 8
Namun pasukan Abrahah dengan begitu semangatnya, ketika suku Quraisy
sudah tidak dapat menunjukkan kekuatannya,

dan di saat-saat genting dalam

penghancuran, nampaknya munajat ‘Abd al-Mutallib untuk menghindari Ka‘bah
dari bahaya ancaman pasukan Abrahah dikabulkan. Allah mengirimkan ribuan
burung-burung dari laut, yang di dalam al-Qur’an disebut dengan nama Abâbîl.
Dengan tiga batu, dua batu di kakinya dan satu batu di paruhnya, berbentuk bulat
dan padat dilemparkan kepada pasukan Abrahah, batu-batu itu menurut sejarah
sama sekali belum pernah ditemukan di muka bumi. Tetapi dahsyatnya hanya
dengan burung-burung yang membawa bebatuan saja mereka merasakan takut yang
luar biasa. Karena jika manusia terkena batu itu, maka ia akan binasa dan hancur
menjadi debu. Yang tidak kena lemparan batu, jumlahnya hanya sedikit sekali,
mereka melarikan diri kembali ke negerinya, tapi mereka bercerai berai dan tidak
mendapatkan jalan untuk kembali ke negerinya. 9
Menurut M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, bahwa Burung Abâbîl di dalam
al-Qur’an disebut hanya sekali saja, yakni dalam surah al-Fîl [105] ayat 3, “Dan Dia
mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (Abâbîl)”. Dalam
ayat ini dan dua ayat berikutnya, disebutkan bahwa burung Abâbîl adalah burung
yang datang secara berbondog-bondong, dan dikirim Allah dengan membawa batu8
9

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 291-292.
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 292.

49

batu panas, yang telah memperlakukan pasukan bergajah sedemikian rupa, sehingga
pasukan itu hancur seperti daun-daun yang dimakan ulat.
Abâbîl secara harfiah berarti yang datang secara berbondong-bondong.
Dalam Tafsir al-Qurtûbî sebagaimana dikutip oleh M. Ishom el-Saha dan Saiful
Hadi dijelaskan bahwa Muqatil menyatakan, “Kata Abâbîl itu berarti berkelompok
dan saling mengikuti satu sama lainnya dari belakang. Penjelasan yang sama juga
dapat dilihat dalam “Tafsîr al-Tabarî” dan “Tafsîr Jalâlain”. Sementara Ibnu
‘Abbâs dan Mujâhid menyatakan bahwa kata Abâbîl mengandung arti “berbedabeda dan terpisah yang datang dari segala penjuru”.
Menurut para ahli sejarah, peristiwa yang disebutkan dalam surah al-Fîl itu
adalah peristiwa penyerangan pasukan Abrahah-Gubernur Habasyah (Ethiopia)
yang berkuasa di Yaman ke kota Mekah pada tahun 571 M. untuk menghancurkan
Ka‘bah, namun pasukan yang sudah mendekati kota Mekah itu hancur sebelum
dapat melaksanakan maksudnya.
Adapun mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan burung yang
datang berbondong-bondong (Tair Abâbîl) itu, ada bermacam pemahaman di
kalangan para ahli (Ulama Tafsir), yang dapat disederhanakan menjadi tiga
pemahaman:
1. Abâbîl itu burung buas, yang datang berbondong-bondong membawa batu-batu
kecil yang mengandung kuman cacar atau penyakit ganas lainnya. Burungburung tersebut melempari paukan yang sebagian mengendarai gajah dengan

50

batu-batu tadi, sehingga mereka semua dilanda oleh penyakit yang ganas, yang
menghancurkan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat.
2. Abâbîl itu kuman penyakit cacar atau penyakit ganas lainnya, yang berterbangan
dibawa hembusan angin. Kuman-kuman itulah yang menyerang pasukan
bergajah, sehingga mereka dilanda oleh wabah penyakit yang menghancurkan
dan membinasakan mereka, seperti daun-daun yang dimakan ulat.10
3. Abâbîl itu burung buas pemakan bangkai, yang datang berbondong-bondong,
segera setelah pasukan bergajah itu mati bergelimpangan akibat terserang
penyakit cacar atau penyakit ganas lainnya. Burung-burung itu berpesta pora
mencabik-cabik tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan dengan paruh dan
cakar-cakar kaki mereka, menghempaskan daging yang sudah terkoyak-koyak
itu ke atas batu, agar lebih tercerai-berai dan dapat dimakan. Dalam pemahaman
ini, ungkapan tarmîhim bihijârat difahami dengan pengertian bahwa burung itu
melemparkan, memukulkan, atau menghempaskan bagian-bagian tubuh mayat
pasukan itu ke atas batu-batu, bukan dengan pengertian melempari mereka
dengan batu-batu (bi) tidak diartikan “dengan”, tapi diartikan ‘ala, “ke atas”).
Karena itulah, keadaan Abrahah dan bala tentaranya menjadi hancur lebih dan
tercerai-berai, yang dalam al-Qur’an diibaratkan seperti daun-daun yang
dimakan ulat. 11

10

11

M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 6.
M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 7.

51

Pasukan Abrahah morat marit akibat serangan burung-burung itu. Pasukan
Abrahah keluar dari negeri Mekah dalam keadaan bingung, sebagian pasukannya
berguguran di tengah Perjalanan. Mereka dibinasakan oleh Allah dengan
mengirimkan penyakit di badan Abrahah, seperti cacar lepra, setiap detiknya luka
itu mengeluarkan darah dan bau. Ketika tiba di Shan’a Abrahah dan pasukannya
masih diiringi oleh burung di atasnya, sambil menyerang mereka sampai mereka tak
berdaya dan mati. Itulah kekuasaan Allah yang hanya sekejap dapat melumpuhkan
pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, yang mengaku bahwa pasukannya
amat kuat dan disegani.
Pada proses penghancuran Ka‘bah ini, hemat penulis al-Khâzin lebih
mengendepankan kisah tentang proses diplomasi antara Abrahah dengan ‘Abd alMutallib dan situasi dan kondisi tentara Abrahah menyerang Ka‘bah. Di sisi lain alKhâzin mengemukakan gajah Najasyi, Mahmud, yang menderum saat diperintahkan
untuk menyerang Ka’bah, ia tidak berani untuk maju menuju Ka‘bah karena takut,
ia selamat dalam peristiwa itu. Adapun gajah yang berani menuju Ka’bah dan
hendak menyerang Ka’bah, gajah-gajah itu pun hancur diserang oleh burung-burung
itu.
Selanjutnya al-Khazin mengemukakan bahwa uniknya burung-burung itu
menghujani mereka dengan kerikil yang ada di paruhnya, dan setiap batu telah
tertulis nama dari tentara Abrahah. Batu itu menghantam mereka, sehingga ada
seorang tentara yang hancur kepalanya sampai otaknya berantakan sebab terkena
lemparan batu itu. Gajah-gajah serta kendaraan mereka ludes hangus, sampai

52

mereka penasaran apa yang telah terjadi kepada tentara Abrahah dan dicobalah
untuk membelah gajah itu, tapi mereka tidak menemukan apa-apa.
Namun dalam hal ini ada satu hal yang tidak diungkap secara tegas oleh alKhâzin, yaitu penyerangan burung-burung tersebut merupakan kekuasaan Allah swt.
Karena ada faktor sebab akibat. Di sisi lain dalam menghancurkan pasukan Abrahah
penyerangan tersebut menrupakan wabah penyakit cacar ganas yang berjangkit
ketika itu sehingga siapa pun orangnya yang terkena penyakit tersebut akan mati
perlahan-lahan.

3. Pasca Penghancuran.
Pasca dihancurkan oleh kekuasaan Allah swt. dengan hanya pasukan burung
Abâbîl, menurut riwayat yang menjadi referensi al-Khâzin bahwa Abrahah tidak
langsung mati. Tetapi ia terkena wabah penyakit akibat serangan burung-burung
tersebut. Lanjut al-Khâzin, bahwa burung yang dimaksud membawa virus seperti
cacar atau lepra. Jika manusia terkena, maka setiap detiknya mengeluarkan darah
dan berbau busuk. Sampai di negeri Shan’a pun burung-burung terus mengejar
Abrahah dan pasukannya sehingga mereka tak berdaya dan akhirnya mereka tewas
di Shan’a. 12
Di

dalam

tafsir

al-Khâzin

disebutkan

bahwa

‘Abd

al-Mutallib

mengemukakan rupa burung itu seperti burung-burung yang kecil terlihat dari
kejauhan dan di paruhnya terdapat kerikil yang panas, dan burung itu saling

12

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 293.

53

beriringan satu sama lain. pemimpin kelompok itu adalah burung yang paruhnya
berwarna merah dan kepalanya berwarna hitam legam, lehernya panjang. Mereka
datang lalu menyerang tentara Abrahah dengan cara mematuk kepalanya. 13
Di tempat lain ada yang berkata bahwa pasukan habasyah jatuh berguguran
dan tewas di tempat atau di Padang Sahara. Abrahah sendiri mendapat luka di
tubuhnya, kemudian ia digotong oleh anak buahnya, namun tubuhnya berjatuhan
satu demi satu dan mengeluarkan darah dan nanah. Itulah Abrahah sesampainya di
Shan’a yang berubah seperti anak burung. Abrahah meninggal dadanya terpisah dari
hatinya. 14
Dalam hal ini pun al-Khâzin menyampaikan perbedaan pendapat mengenai
kematian Abrahah. Dikatakannya bahwa Abrahah selamat, tetapi setelah bertemu
Raja Najasyi ia tewas. Demikianlah kekuasaan Allah swt. terhadap siapa saja yang
hendak melawan dengan ketentuan-Nya. Hanya dengan sekejap manusia yang
angkuh dapat dilumpuhkan oleh-Nya. Wallahu A‘lam.
Lebih jauh, dalam penyerangan, burung-burung itu menggunakan batu-batu
itu tidak pernah ditemukan di atas permukaan bumi, sebab batu itu menembus
sampai dasar tanah yang amat panas. Selanjutnya ‘Abd al-Mutallib menyiapkan
cangkul untuk menggali sebuah lobang bekas jatuhnya batu tersebut. Dengan galian
yang sangat dalam ia tidak menemukan sama sekali batu yang dicari, akan tetapi
dengan galian bekas batu-batu yang dihujani oleh burung-burung Abâbîl itu, ‘Abd
al-Mutallib melihat lobang penuh dengan emas, dan berlian/mutiara. Dan Abu
13

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 294.
Muhammad Nasib al- Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr li Ikhtisâr Fî Tafsîr Ibnu Katsîr. Penerj.
Syihabbuddin. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000). Jilid 5. h. 1049.
14

54

Mas‘ûd pun menggali lubang seperti yang dlakukan oleh ‘Abd al-Mutallib, ia pun
mendapatkan hal yang sama seperti ‘Abd al-Mutallib. 15
Dari berbagai macam pendapat para ulama, hemat penulis dalam hal ini yang
perlu diketengahkan di mana ada ulama yang berpendapat bahwa peristiwa yang
suprarasional, atau kisah yang penuh dengan imdâd al-ghaibîy, bantuan dari alam
ghaib, tidak akan terjadi peristiwa yang luar biasa itu kecuali hanya untuk
menghancurkan pasukan bergajah. Di sisi lain ada yang mengatakan bahwa ini
adalah campur tangan Tuhan dengan menggunakan aneka kehendak-Nya. Di tempat
lain bahwa peristiwa ini murni sebagai penyakit yang tersebar di lokasi tentara
bergajah akibat batu-batu kering yang berjatuhan di lokasi itu. 16
Namun dari semua pendapat ulama, hemat penulis nampaknya lebih bijak
dengan mengemukakan bahwa peristiwa tersebut merupakan kekuasaan Allah swt.
dalam menyikapi makhluk-Nya yang hendak menghancurkan Rumah-Nya,
Baitullah. Lebih dari itu peristiwa ini menunjukkan kepada bangsa Arab, khususnya
orang-orang kafir Quraisy yang menyombongkan diri sebagaimana posisinya
sebagai pelayan Ka‘bah. Peristiwa ini mutlak sebagai kebesaran Allah swt.

B. Kritik Bahasa
Selain menguasai berbagai macam disiplin ilmu, namun satu hal yang menarik
bagi al-Khâzin dalam menafsirkan Tafsirnya, yaitu selalu menggunakan pendekatan

15
16

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 294.
Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 621-625.

55

bahasa yang ma’tsur, pendekatan bahasa yang selalu dikutip dan

sesuai dengan

pendapat para sahabat.
Dalam hal ini penulis mengetengahkan beberapa kata yang menurut penulis
patut untuk dikritisi berkaitan dengan pemahaman al-Khâzin dalam menafsirkan
tafsirnya. Yang pertama mengenai makna

‫ا ﻴ‬/al-Fîl. Kata tersebut menurut bahasa

digunakan dalam bentuk mufrad, tunggal. Hal tersebut karena pasukan Abrahah hanya
membawa seekor gajah. Di sisi lain ada juga ulama yang memahaminya dengan bentuk
jama’, hal tersebut berdasarkan kata al yang dirangkai dengan kata Fîl dan mengandung
makna jama’.
Sedangkan al-Khâzin ketika memahami kata al-Fîl, tidak banyak yang
dikemukakan apakah kata al-Fîl itu merupakan mufrad atau jama’. Terlepas dari itu
semua al-Khâzin hanya mengatakan bahwa kata al-Fîl hanya seekor gajah. Atau satu
gajah saja yang paling besar dan menjadi perbincangan dalam al-Quran yang bernama
Mahmud. 17 Selanjutnya al-Khâzin juga mengemukakan bahwa kata al-Fîl merupakan
jama’ yaitu jumlah gajah yang ada pada pasukan bergajah adalah 8 (delapan) gajah, ada
juga yang mengatakan 12 (dua belas) ekor gajah. 18
Bilangan-bilangan tersebut dikemukakan al-Khâzin tanpa memberi tahu sumber
dan rujukan beliau yang biasa dikemukakan ketika memahami dan menyatakan sesuatu
sebagai pendukung tafsirnya. Ia hanya mengatakan menurut pendapat, dalam
menafsirkan kata al-Fîl juga ia hanya mengatakan bahwa kejadian ini merupakan

17
18

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 291.
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 295. Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 617.

56

petunjuk yang besar bahwasanya Allah mampu menjadikan mereka seperti itu dengan
Ilmu dan Hikmah-Nya.
Dalam hal ini, ada sebuah pertanyaan yang menyatakan bahwa kenapa harus
mengendarai gajah dalam menghancurkan Ka‘bah? Hemat penulis sebagaimana dikutip
dari Tafsîr al-Marâghî, 19 bahwa Abrahah dan pasukannya mengendari hewan Gajah
menunjukkan kepada seluruh manusia yang ada pada waktu itu akan keperkasaan dan
kewibawaan Abarahah dan pasukannya. Di sisi lain, dengan mengendarai gajah, lawanlawan nampaknya merasa down (takut) terhadap kekuatan yang sangat sempurna
dilakukan oleh pasukan Abrahah.
Kata kedua yang penulis coba kritisi adalah kata ‫اﺑﺎﺑﻴ‬/Abâbîl. Kata ini adalah
bentuk jamak dari kata ibil. Kata tersebut bermakna kawanan yang banyak sekali, yang
datang dari segala penjuru dunia. 20 Menurut sebagian ulama sebagaimana telah penulis
kemukakan di atas, bahwa Abâbîl itu merupakan burung buas yang datang berbondongbondong membawa batu-batu kecil yang mengandung kuman cacar atau penyakit ganas
lainnya. Burung-burung tersebut melempari pasukan yang sebagian mengendarai gajah
dengan batu-batu tadi, sehingga mereka semua dilanda oleh penyakit yang ganas, yang
menghancurkan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat. 21
Lebih jauh dikatakan bahwa Abâbîl itu kuman penyakit cacar atau penyakit
ganas lainnya, yang berterbangan dibawa hembusan angin. Kuman-kuman itulah yang
menyerang pasukan bergajah itu, sehingga mereka dilanda oleh wabah penyakit yang

19

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-‘Azîm al-Marâghî. Kairo: Maktabah Ilmiyah. Juz 30. h.

424.
20
21

Al-Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr li Ikhtisâr Fî Tafsîr Ibnu Katsîr. h. 1049.
Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 620.

57

menghancurkan dan membinasakan mereka. Barangsiapa yang terkena virus itu, maka
dengan sekejap dapat hancur seperti daun-daun yang dimakan ulat. 22
Abâbîl itu burung buas pemakan bangkai, yang datang berbondong-bondong,
segera setelah pasukan bergajah itu mati bergelimpangan akibat terserang penyakit
cacar atau penyakit ganas lainnya. Burung-burung itu berpesta pora mencabik-cabik
tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan dengan paruh dan cakar-cakar kaki mereka,
menghempaskan daging yang sudah terkoyak-koyak itu ke atas batu, agar lebih terceraiberai dan dapat dimakan. 23
Mengenai pemahaman ini, ungkapan tarmîhim bihijârat difahami dengan
pengertian bahwa burung itu melemparkan, memukulkan, atau menghempaskan bagianbagian tubuh mayat pasukan itu ke atas batu-batu, bukan dengan pengertian melempari
mereka dengan batu-batu (bi) tidak diartikan “dengan”, tapi diartikan ‘alâ, “ke atas”).
Karena itulah, keadaan Abrahah dan bala tentaranya menjadi hancur dan tercerai-berai,
yang dalam al-Quran diibaratkan seperti daun-daun yang dimakan ulat. 24
Dalam hal ini al-Khâzin berbeda pendapat, menurutnya kata Abâbîl adalah
kelompok burung yang berpindah tempat, seperti unta pada umumnya. Ia mengutip
pendapat Ibnu ‘Abbâs yang berkata, bahwa Abâbîl itu adalah burung yang mempunyai
paruh seperti paruh burung yang lain, dan cekernya itu seperti anjing, dan kepalanya itu
seperti binatang buas, dan taringnya itu seperti taringnya binatang buas, warnanya hijau
dan paruhnya kuning. Ada juga yang mengatakan burung itu berwarna hitam yang

22

Muhammad ‘Abduh sebagaimana dikutip oleh Muhammad Quraish Shihab, Tafsir alMishbah. Vol 15. h. 621.
23
M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 6.
24
M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 7.

58

datang berbondong-bondong dari laut, setiap burung membawa tiga batu, dua batu di
cengkramannya, dan satu batu di paruhnya. Apabila terkena batu itu pasti akan binasa. 25
Mengenai kata Abâbîl, boleh jadi pendapat al-Khâzin dapat dibenarkan dengan
mengutip pendapat Ibnu ‘Abbâs. Hemat penulis, apa yang dikutip oleh al-Khâzin
merupakan hal yang tepat di mana ia mengutip dari pakar serta ulama hadis yang
kredibilitasnya tidak bisa diragukan lagi. Di sisi lain ia mengatakan bahwa hal ini
merupakan kebesaran dari Allah dan ancaman bagi siapa saja yang durhaka kepadaNya.
Kata ketiga yang menjadi bahan kritik penulis terhadap al-Khâzin adalah kata
sijjîl menurutnya kata tersebut bermakna daftar resmi (dokumen) yang mana azab
orang-orang kafir telah tertera di sana. Di sisi lain ia juga mengemukakan bahwa kata
sijjîl itu adalah batu yang dimasak, batu biasa, dan tanah yang dicampur, dan juga
Neraka Sijjîl.
Di tempat lain Ibn Hisyam sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir mengemukakan
bahwa kata sijjil adalah gabungan dua kata dari kata sinjun dan jillun. Yang pertama
bermakna batu dan yang kedua adalah berarti tanah. Dengan demikian menurut Ibn
‘Abbâs bahwa kata sijjil adalah batu yang terbuat dari tanah. 26 Namun dalam hal ini
batu yang terbuat dari tanah pun bukan hal yang dapat dianggap remeh. Batu itu dapat
melukai orang yang terkena batu itu. sebagai gambaran siapa saja yang terkena batu itu
maka ia diperumpamakan bagaikan daun tanaman yang dimakan oleh ulat.

25
26

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 295-296.
Al-Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr, h. 1049.

59

Lebih jauh ketika kata ini disandingkan dengan kata, ‘asf, seperti pada kalimat
‫ﺄآﻮل‬

‫ﺠﻌ ﻬ آﻌﺼ‬

/faja‘alahum ka ‘asfim ma’kul, maka hal itu seperti tanaman, buah

tin yang dimakan oleh binatang lalu dikeluarkan lewat kotorannya, dan tanah yang
terkena kotorannya itu menjadi basah hingga tumbuh menjadi seperti tumbuh-tumbuhan
sejenisnya. Atau bagaikan kubis bila dimakan oleh hewan, kemudian berubah menjadi
kotoran. 27
Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa kata sijjîl di dalam al-Quran
terulang sebanyak tiga kali, semuanya digunakan dalam konteks penyiksaan.
Selanjutnya kata sijjîl terambil dari bahasa Persia yang telah diarabkan, atau ia
merupakan akar kata dari sajjala yang berarti mencatat atau menulis. Dari kata itulah ia
difahami dengan makna pada batu-batu yang dilemparkan itu terdapat nama-nama
korban yang dituju. Di sisi lain kata tersebut dimaknai dengan arti batu yang bercampur
tanah yang terbakar. 28
Selanjutnya ia juga mengatakan dari pendapat ulama lainnya, bahwa sijjîl itu
adalah sejenis tanaman dan biji gandum yaitu seperti jerami yang kering. Ada juga yang
mengatakan seperti biji, apabila dimakan maka akan sakit tenggorokan. Pendapatpendapat tersebut merupakan kutipan-kutipan al-Khâzin ketika memahami makna sijjîl.
Namun pendapat-pendapat tersebut tidak diperkuat dengan mengatakan referensinya,
dari ulama mana ia mengutip pendapat mengenai kata sijjîl. Dalam hal ini ada satu hal
yang perlu digaris bawahi, mungkin ini pendapat yang bisa penulis terima dengan
mencantumkan nama Ibnu ‘Abbâs, menurutnya bahwa kata sijjîl itu difahami oleh Ibnu
27
28

Al-Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr, h. 1049.
Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 620-621.

60

‘Abbâs seperti biji yang agak keluar kulitnya seperti biji gandum dan seperti sejenis
sampul. Atau Allah swt. membinasakan, menghancurkan, dan mengembalikan tipu daya
mereka kepada diri mereka sendiri. Dan apa yang dilakukannya tidak akan
mendatangkan kebaikan apa-apa sama sekali. 29

C. Kritik Isrâiliyah
Sebelum penulis kemukakan tentang kisah Ashâb al-Fîl yang tercantum dalam
surah al-Fîl, apakah ia termasuk kisah yang tergolong dalam kategori isrâiliyah atau
bukan, terlebih dahulu penulis kemukakan tentang isrâiliyah itu sendiri. Kata isrâiliyah
merupakan bentuk jamak dari kata isra dan îl. 30

Menurut al-Dzahabî, pengertian

isrâlliyah adalah kisah yang terpengaruh dari kebudayaan Ahl al-Kitab terhadap tafsir. 31
Di tempat lain ia mengatakan bahwa isrâiliyah

merupakan kisah atau

periwayatan yang bersumber dari Yahudi dan Nashrani yang digunakan oleh ulama
tafsir dan hadis, atau dengan kata lain ulama tafsir dan hadis yang memasukan cerita

29

Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 296.
Kata Bani mengandung makna sesuatu yang lahir dari yang lain. Kata Bani juga
mengindikasikan hubungan darah atau kekeluargaan. Sedangkan kata Israil berasal dari bahasa Ibrani,
yang terdiri dari dua suku kata, yaitu isra dan il. Isra mengandung makna hamba atau kekasih, dan il
sendiri mengandung makna Tuhan. Jadi, arti Israil adalah hamba Tuhan atau kekasih Tuhan. Para mufasir
sepakat kata Israil di nisbahkan kepada Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan kata Bani Israil di
kaitkan dengan anak-anak Ya’qub bin Ishaq. Adapun gelar Israil diberikan kepada Ya’qub, menurut
Thabathabai, karena Ya’qub sangat teguh berjuang di jalan Allah untuk mencapai keridhaan Allah swt. Di
tempat lain, Muhammad Mutawali al-Sya’rawi mengatakan, Ya’qub memperolehnya melalui cobaan
yang besar, ketika itu ia lulus dari cobaan dan berhak untuk menyandang gelar shafi Allah. Penyebutan
Ya’qub dengan Israil dalam arti hamba atau kekasih Allah, menunjukan betapa dekatnya kedudukan
beliau disisi Allah. Begitu dekat karena keikhlasan beliau berjuang di jalan Allah swt. lebih dari itu,
seiring dengan banyak orang-orang dari Bani Israil yang memeluk agama Islam, dan mereka aktif dalam
perkembangan keilmuan Islam serta menyebarkan berbagai macam kisah-kisah yang mereka adopsi dari
cerita-cerita semasa mereka masih memeluk agama sebelum Islam, maka cerita mereka inilah yang
disebut dengan kisah Israilliyah.
31
Muhammad Husain al-Dzahabî, Tafsir Wa al-Mufassirun (Mesir: Daar al-Maktabah al-Hadis)
h. 165.
30

61

lama yang bersumber dari Ahl al-Kitab, atau bisa juga kisah-kisah yang diadopsi dari
musuh-musih Islam, karena seiring dengan kemajuan agama Islam banyak juga musuhmusuh Islam yang masuk Islam. 32
Setelah mengetahui definisi isrâiliyah, penulis mencoba melacak apakah benar
keberadaan kisah Ashâb al-Fîl merupakan kisah isrâiliyah? Sejauh pengamatan penulis,
kisah Ashâb al-Fîl telah menjadi muqadimah mufasir ketika hendak menafsiri surah alFîl, yaitu tentang kisah Abrahah dengan pasukannya yang membawa gajah. Dan
berakhir dengan hancurnya pasukan Abrahah hingga ke negerinya.
Kisah ini amat menarik dan memikat hati pembaca, di mana di dalam kisah
diceritakan tentang kebesaran Allah swt. yang telah membinasakan Abrahah dan Ashâb
al-Fîl karena hendak menghancurkan Ka‘bah yang terletak di kota Mekah. Walaupun di
sisi lain penyerbuan ini sara