Waldjinah Mimpi Baca Syahadat

Waldjinah Mimpi Baca Syahadat
Oleh: Ton Martono.

DALAM kondisi sakit terserang asma dan diare, setelah konfirmasi hingga
tiga kali, wartawan SM bisa diterima untuk wawancara di rumahnya yang sejuk,
di belakang Rumah Sakit Tentara Slamet Riyadi Solo. Didampingi suaminya,
Hadiyanto, wawancara berlangsung lebih tiga jam.
Hj. Waldjinah Hadiyanto, ragil dari l0 orang bersaudara, dilahirkan pada 7
November l945, tepatnya tiga bulan setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaanya. Lahir dari pasangan Wiryo Rahardjo di Mangkuyudan Solo.
Setelah menamatkan SD Tugu Lilin, kemudian masuk SMP Arjuna hanya sampai
kelas 2. karena waktunya habis untuk pentas menyanyi secara keliling di berbagai
daerah. Hingga pada tahun l96l melangsungkan perkawinannya dengan Budi,
seorang Guru SMP Xaverius, dan dikaruniai putra-putri 5 orang. Pada tahun l985
Budi meninggal dunia, kemudian tiga tahun kemudian, tepatnya tahun l988,
menikah lagi dengan Hadiyanto, salah seorang pengusaha furniture asal Kediri
Jawa Timur hingga sekarang. Dengan Hadiyanto ini tidak dikaruniai putra.
Sebelum nikah dengan Hadiyanto, tahun l980 Waldjinah bermimpi
membaca syahadat masuk Islam, setelah beberapa waktu sebelumnya ketika
menjelang subuh mendengar lagu-lagu pujian yang indah dan merdu sambil
tiduran, tetapi ketika matanya melek suara itu hilang. Setelah direnungkan

berhari-hari sambil berdoa kemudian mimpi lagi dengan bunga mimpi yang sama
dengan sebelumnya. Setahun kemudian anaknya yang nomor 2 meninggal dunia
dan mimpi lagi ketemu dengan anaknya. Dalam mimpi itu anaknya bilang kalau
ibu ingin hidup enak di dunia maupun di akhirat masuklah Islam dan melakukan
shalat 5 waktu. Mimpi itu ia ceritakan kepada KH Tolkhah dari Pondok Pesantren
Makam Haji, dan beliau menasehati bahwa tafsir mimpinya itu benar, kemudian
Waldjinah menyatakan masuk Islam dengan membaca dua kalimah syahadat
disaksikan masyarakat lingkungannya.
Setelah masuk Islam Waldjinah belajar ngaji membaca al-Quran dan
belajar menulis Arab surat al-Fatihah dan al-Ikhlas. Kemudian pada bulan
Ramadhan l98l, rumahnya di Jl. Parang Cantel No. 31 Solo dipakai untuk shalat
jamaah tarawih bersama dengan orangtuanya dan anggota masyarakat sekitar.
Pada tahun l986 ia bermimpi lagi naik undak-undakkan tinggi sekali di
sebuah masjid sangat besar. Ia diajak naik terus oleh seseorang yang tidak ia kenal
berpakaian putih-putih, sampai kepayahan. Menjelang sampai di dalam masjid
orang tersebut hilang. Setelah ia renungkan berhari-hari ternyata di hatinya ada
panggilan untuk segera menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini ia naik haji
sendirian.
Hj. Waldjinah mulai belajar menyanyi sejak usia 9 tahun, secara otodidak
membaca not musik yang dibimbing pamannya Mas Suandi. Ketika pentas 17-an

di kampung, Waldjinah masih ancik-ancik dingklik (berdiri di atas kursi kecil) di
depan mikrofon, karena zaman dulu mikrofon tidak bisa disetel naik-turun. Tiga
tahun kemudian Waldinah mengikuti Festival Seni Ratu Kembang Kacang yang

diselenggarakan RRI Surakarta dan mendapat juara I. Setelah itu kariernya mulai
menanjak. Tahun l958 masuk rekaman pertama kali di Lokananta dengan lagu
Kembang Kacang, duet bersama Gesang. Tahun l959 terpilih menjadi bintang
radio, tahun l960 terpilih lagi menjadi bintang radio, kemudian tahun l969
Waldjinah mendirikan group keroncong “Bintang Surakarta” yang anggotanya 7
orang .
Di antara lagu yang popular ketika itu adalah Walang Kekek, Jangkrik
Ginggong, Ayo Ngguyu, Tanjung Perak, Yen ing tawang ono lintang, Jola Jali dsb.
Karena lagu-lagunya ngetop, pada tahun 1969 Waldjinah diundang ke Malang
Jawa Timur. Di stadion Malang yang dihadiri kurang lebih 20.000 penonton
sempat mengakibatkan dua orang meninggal dunia di dalam stadion saking
histerisnya.
Hj. Waldjinah sering sekali pentas untuk amal, pentas untuk pembangunan
Waduk Sempor, Panti rehabilitasi cacat mental, Panti asuhan Muhammadiyah,
Pembangunan masjid dll. Di samping itu Hj. Waldjinah juga sering diundang ke
Istana Presiden di Jakarta untuk tampil menyanyi baik pada acara ulang tahun RI

tiap tanggal l7 Agustus atau pun menyambut tamu-tamu negara di Istana Negara.
Awal tampil di Istana adalah tahun l965 diundang langsung oleh Presiden RI PYM
Soekarno, tampil pada acara l7-an, tahun l970 diundang oleh Presiden Suharto di
Istana untuk menyambut tamu dari luar negeri dan tiap tanggal l7 Agustus mulal
tahun l975 hingga tahun l997. Pada tahun l998 diundang oleh Presiden BJ Habibie
di Istana Bogor, pentas dalam rangka Peduli Indonesia. Kemudian tahun 2000
diundang oleh Presiden Gus Dur dalam rangka l7-an di Istana Merdeka. Setelah
Presiden diganti Ibu Megawati hingga sekarang ia belum pernah diundang ke
Istana untuk pentas.
Tahun 2001 tampil di TV Indosiar dalam rangka memperingati 100 tahun
(Haul) Bung Karno, kemudian rencana mengisi Tabligh Akbar di Monas bersama
Guruh Sukarno Putro gagal, karena kehabisan tiket pesawat.
Karena prestasinya, Hj. Waldjinah mendapatkan beberapa medali dan
penghargaan yang banyak menghiasi rumahnya, antara lain: Medali Bintang
Radio Nasional “Citra Adhi Karsa Budaya“ 1985, Penghargaan Women
Appreciation Award l999, Budaya Bhakti Upradana l997 dari Gubernur Jawa
Tengah, l994 penghargaan dari Lemhanas, l995 mendapat penghargaan dari
Menpen RI dalam rangkan HPN dan dari PWI Pusat, tahun l999 dari Osamu
Yoshioka Jepang, tahun l994 penghargaan dari PAPMI Pusat, l996 Mendapat
penghargaan dari Menteri KKBS Malaysia, penghargaan dari Festival Musik

Etnik Asia Pasifik di Sizouka, Jepang tahun l999. Di samping mendapatkan
penghargaan dari pemerintah dan lembaga, Hj. Waldjinah juga melalukan tour
amal di Suriname, Beijing, Belanda , Athena, Singapura, Malaysia dan Jepang.
Tahun l996 mengikuti Hana Festival di Yokohama dengan pengarang lagunya
adalah Shoukichi Kina dan pentas amal memperingati 50 tahun jatuhnya Bom
Atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Ketika ditanya kesan-kesannya selama pentas, dia mengungkapkan bahwa
yang paling terkesan adalah ketika pentas di Jepang, karena masyarakatnya
menghargai seni dan budaya. Ketika pentas berlangsung, kenangnya, di dalam
gedung kesenian tidak ada yang berisik apalagi bersuara. Semua penonton diam

menikmati musik dan lagu dengan sangat antusias. Yang kedua ketika ditanya
oleh Wartawan Jepang dari media Asahi Shimbun, wartawan itu tanya pada saya :
Bagaimana kesan anda ketika Jepang menjajah Bangsa Indoensia? Saya dengan
agak gugup mencoba menjawab, maaf ketika itu saya belum lahir, sekarang saya
hanya bisa menyanyi menyumbangkan lagu-lagu tradisi Jawa. Sang Wartawan
pun kecut lalu menghadiahi kami sebuah gantungan kunci yang ada gambarnya
Hiroshima dan Nagasaki.
Sekarang ini karena ia sudah tua, usia sudah setengah abad lebih, mulai
menata diri untuk senantiasa ingat kepada Allah SWT yakni memperbanyak

amalan dzikir dan doa. Ketika bulan Ramadhan kemarin ia menyelenggarakan
iktikaf bersama di rumahnya setelah tarawih dan tadarus, kemudian makan sahur
bersama. Hal ini berlangsung sampai menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tiap tahun
ia membagikan sendiri zakat fitrah kepada masyarakat lingkungannya, khususnya
kepada tukang becak dan buruh pabrik. Ia membagi zakat 2,5 kg beras plus uang
Rp 3.000. Setiap tahunnya ia memberi zakat fakir miskin sebanyak 3 kuintal
beras. Tak cuma itu, Hj. Waldjinah juga aktif mengisi pengajian di kampungnya,
Mangkuyudan, dalam rangka peringatan Maulid Nabi dan Isra‘ Mikraj. Bahkan
akhir-akhir ini ia juga melakukan pentas amal untuk pembangunan masjid di Wedi
Klaten, Kendal Jateng, Sukoharjo dll. “Karena sekarang sedang sakit-sakitan
banyak sekali undangan pentas dan pengajian belum bisa terlayani,” kata
pemimpin Orkes Bintang Surakarta sejak tahun l968 hingga sekarang.
Sumber: SM-06-2002