Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang

Lampiran 1

Metode Penelitian
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi, berawal dari pemikiran-pemikiran
pada dimensi teoretik, yang kemudian digunakan sebagai panduan untuk penelitian lapangan. Setelah itu, temuan-temuan
empirik digunakan untuk merumuskan pemikiran teoretik
baru. Kerangka penalaran tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gerakan Humanisme dan Globalisasi
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Humanisme Kejawèn

Jawa Kontekstual
Menjawab
Tantangan Global

Dimensi Teoretik


Dimensi Empirik

Gerakan Paguyuban Arso Tunggal

277

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Masalah Penelitian
Penulis berpendapat, bahwa penelitian ini penting bagi
pembangunan bangsa Indonesia, yang saat ini kalah dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain. Secara hepotesis, salah satu
penyebabnya adalah, bangsa Indonesia cenderung ikut arus globalisasi, tanpa memperkuat ketahanan budaya sebagai landasan
pembangunan.
Di bidang ekonomi, dalam konteks Perdagangan Bebas
ASEAN-Cina (ASEAN-China Free Trade Area – ACFTA) misalnya, produk-produk dalam negeri mendapat tekanan sangat
kuat oleh produk-produk Cina, bahkan oleh produk-produk
dari negara-negara lain anggota ASEAN. Di bidang politik,
pertahanan, dan keamanan, Indonesia telah kehilangan Pulau
Sipadan dan Ligitan yang diklaim Malaysia.
Menyusul setelah itu, Kuala Lumpur pun kemudian

mengklaim perairan Ambalat yang kemudian berujung pada
sengketa wilayah. Pada 13 Agustus 2010, Malaysia bahkan
berani menangkap dan memborgol tiga petugas Dinas Kelautan
dan Perikanan (DKP) Indonesia yang menangkap nelayannelayan Malaysia yang beroperasi di perairan Indonesia,
Tanjung Berakit, Bintan, Kepulauan Riau. Sebelumnya, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kehilangan Timor Timur
karena kekalahan dalam referendum.
Di bidang pendidikan tidak jauh berbeda. Dulu, guruguru Singapura dan Malaysia belajar dari Indonesia, tetapi
sekarang banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang justru
menempuh studi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di
dua negara tersebut.
Di bidang olahraga, Indonesia tidak lagi menjadi bangsa
yang diperhitungkan. Bulutangkis Indonesia, yang dulu hampir
selalu mendominasi berbagai kejuaraan internasional, saat ini
278

Lampiran

lebih sering kalah. Prestasi sepakbola nasional merosot, bahkan
sering kalah dalam pertandingan melawan Thailand, Malaysia,

dan Singapura.
Di bidang budaya, bangsa Indonesia yang terkenal dengan
kekayaan budayanya yang sangat beragam, terkesan tidak
merawat dan mengembangkan budayanya sendiri. Semangat
kebangsaan (nasionalisme) luntur oleh penetrasi budaya asing,
banyak kearifan lokal yang pada zaman dulu menjadi kekuatan,
sekarang mulai memudar dan punah.
Manusia menjadi faktor yang sangat menentukan. Globalisasi telah membawa pemahaman terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang berbeda dari nilai-nilai kemanusiaan yang
sudah berabad-abad hidup dalam masyarakat. Penetrasi arus
global memengaruhi cara berpikir bangsa ini, sehingga melupakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

Pertanyaan Penelitian
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat perlu ada
langkah-langkah konkret penguatan ketahanan budaya untuk
menyiasati globalisasi. Salah satu budaya yang perlu diperkuat
adalah budaya Jawa. Pertanyaannya: gerakan kelompok masyarakat yang melakukan langkah konkret itu? Kalau ada, bagaimanakah langkah-langkah konkret itu dilakukan? Dapatkah
gerakan tersebut dijadikan model pembangunan nasional dalam
menangkal globalisasi?
Berdasarkan pertanyaan itu, penulis melakukan penelitian

terhadap Paguyuban Arso Tunggal, dengan argumentasi sebagai
berikut:
1. Arso Tunggal merupakan perkumpulan berbasis
budaya Jawa, yang mengembangkan humanisme
kejawèn ke dalam karya nyata;
279

Jawa, Menyiasati Globalisasi

2. Berbeda dari perkumpulan-perkumpulan kebatinan,
Arso Tunggal tidak hanya berhenti pada pelestarian
budaya dan nilai-nilai kemanusiaan Jawa, melainkan
memadukan kearifan lokal Jawa dengan penelitianpenelitian ilmiah modern sehingga menghasilkan
karya nyata dalam bidang pengobatan dan pertanian,
sebagai langkah untuk menyiasati globalisasi;
3. Penulis berasumsi, bahwa Paguyuban Arso Tunggal
dapat dijadikan model pengembangan budaya lokal
untuk menghadapi tantangan global.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan langkahlangkah Paguyuban Arso Tunggal menyiasati globalisasi. Dalam
kerangka deskripsi itu, penulis juga menjabarkan hal-hal yang
berkaitan dengan humanisme Barat sebagai gerakan intelektual,
kebudayaan Jawa, kejawèn dan humanisme kejawèn, sebagai
entry point untuk mendeskripsikan posisi dan langkah konkret
Arso Tunggal menyiasati globalisasi.

Pengumpulan Data
Sebelum memutuskan Paguyuban Arso Tunggal sebagai
subjek penelitian, penulis melakukan observasi pendahuluan
lebih dulu. Observasi pendahuluan tersebut untuk menentukan
layak tidaknya paguyuban ini diteliti dalam rangka penyusunan
disertasi.
Setelah memutuskan Arso Tunggal sebagai subjek penelitian, penulis kemudian melakukan observasi partisipatif dalam, yaitu dengan mengikuti pertemuan Reboan dan kegiatan
ritual, setiap hari Rabu mulai pukul 23.00 sampai dengan pukul
02.00 Kamis, selama sekitar dua tahun. Pengumpulan data

280

Lampiran


dilakukan selama observasi partisipatif tersebut, melalui:
wawancara, dokumen-dokumen dan buku-buku yang diterbitkan paguyuban. Selain itu, penulis juga melakukan studi kepustakaan yang terkait dengan masalah humanisme, kebudayaan
Jawa dan Kejawen, serta wawancara dengan beberapa tokoh
kebatinan.

Perspektif Subjektif dan Lokal
Seperti penelitian kualitatif pada umumnya, maka penelitian ini bersifat subjektif-lokal. Penulis tidak berpretensi bahwa
hasil penelitian bersifat objektif, seperti yang lazim dikenal
dalam penelitian kuantitatif. Penelitian ini juga bersifat lokal,
sehingga peneliti tidak berpretensi bahwa hasil penelitian ini
bersifat universal dan berlaku pula di tempat lain. Peneliti
berasumsi bahwa hasil penelitian ini hanya berlaku pada objek
yang diteliti, yaitu Paguyuban Arso Tunggal.
Fenomenologi adalah filosofi sekaligus pendekatan
metodologis yang mencakup berbagai metode. Sebagai filosofi,
fenomenologi adalah salah satu tradisi intelektual utama yang
telah memengaruhi riset kualitatif. Sebagai pendekatan metodologi, fenomenologi disambut oleh para peneliti dari berbagai
wilayah ilmu sosial, khususnya sosiologi dan psikologi, yang
menjadikan fenomenologi sebagai salah satu cabang filosofinya.

Fenomenologi membantu peneliti memasuki sudut pandang
orang lain dan berupaya memahami mengapa orang lain itu
menjalani hidup dengan cara mereka (Daymon, Holloway,
2008:228).
Daymon dan Holloway menjelaskan, fenomenologi berakar dari filosofi Edmund Husserl (1859-1938), adapun dasar
penerapannya bersumber dari Alfred Schutz (1899-1959).
Husserl memosisikan kita, sebagai individu, berada dalam dunia
281

Jawa, Menyiasati Globalisasi

kehidupan (life-world) yang unik, atau lebenswelt, yang terdiri
dari objek, orang-orang, tindakan, dan lembaga. Dunia kehidupan merupakan pengalaman subjektif setiap orang mengenai
kehidupan sehari-hari mereka. Pengalaman subjektif tersebut
merupakan realitas sosial mereka, yang menentukan maknamakna yang diberikan terhadap tindakannya sendiri maupun
tindakan orang lain.
Perspektif subjektif merupakan satu-satunya jaminan
yang perlu dipertahankan agar dunia realitas sosial tidak akan
pernah digantikan dengan dunia fiktif yang bersifat semu yang
diciptakan oleh peneliti ilmiah. Subjektivitas adalah satusatunya prinsip yang tidak boleh dilupakan ketika para peneliti

sosial memaknai objek-objek sosial. Yang ditekankan adalah
bagaimana orang-orang yang berhubungan dengan objek-objek
pengalaman memahami dan berinteraksi dengan objek tersebut
sebagai ‘benda’ yang terpisah dari peneliti (Denzin dan Lincoln
(2009:336).
Inti pendekatan fenomenologi adalah gagasan mengenai
dunia kehidupan, pemahaman bahwa realitas tiap-tiap individu
berbeda, dan bahwa tindakan tiap-tiap individu hanya dapat
dipahami melalui pemahaman terhadap dunia kehidupan
individu, sekaligus melalui perspektif mereka. Oleh sebab itu,
tugas peneliti adalah mengakses “pemikiran akal sehat” orangorang dengan tujuan menafsirkan, motif-motif, tindakan, dan
dunia sosial mereka dari sudut pandang mereka.
Ciri-ciri penelitian fenomenologi, menurut Daymon dan
Holloway, meliputi pengungkapan dasar filosofis, mengurung
asumsi-asumsi, berfokus pada satu fenomena utama, menggarap
sampel kecil, dan menerapkan analisis data fenomenologi secara
tematik. Ciri-ciri tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Mengungkap dasar filosofis
282


Lampiran

Kajian fenomenologi dimulai dengan diskusi mengenai
filosofi yang menyatukan riset. Hal ini penting berhubung
terdapat berbagai macam variasi elemen-elemen filosofis dari
fenomenologi, mencakup fenomenologi sosial (yang berfokus
pada tindakan sosial dan pengalaman kelompok), fenomenologi
transendental (yang menekankan pengalaman-pengalaman
individu), dan fenomenologi hermeneutika, yaitu peneliti
menginterpretasikan teks sesuai dengan konteks budaya, situasi,
dan sejarah tempat fenomena terjadi.

Mengurung asumsi-asumsi
Karena bertujuan melihat fenomena secara segar, maka
penting bagi peneliti menyatakan asumsi-asumsinya sendiri
mengenai fenomena yang diteliti. Kemudian berikan
“kurungan” pada asumsi-asumsi itu, atau lupakan sejenak,
sehingga prasangka apa pun yang mungkin peneliti pegang
tidak menghalangi pemahaman terhadap pengalaman subjek

yang diteliti.

Berfokus pada fenomena utama
Riset fenomenologi berkaitan dengan pengalaman orangorang mengenai fenomena tertentu. Setelah mengidentifikasi
fenomena yang diteliti, peneliti mengembangkan pertanyaanpertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna.

Analisis data tematis
Tujuan akhir dari analisis data fenomenologi adalah
menam-pilkan gambaran analitis dan mendalam dari fenomena
yang diteliti; gambaran ini harus merefleksikan pengalaman
subjek penelitian, yang “hidup” dan “kaya.” Pendekatan
fenomeno-logi bersifat fleksibel, tidak kaku, dan hasilnya tidak
“diresepkan” sebelumnya.

283

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Lampiran 2


Garis Besar Perkembangan
Humanisme Barat
HUMANISME
KLASIK

HUMANISME
PERIODE
PERTENGAHAN

Kesadaran
tentang eksistensi
manusia.

“Abad gelap” bagi
kemanusiaan.

Berusaha
mencari jawaban
tentang asal-usul,
jatidiri, dan
langkah-langkah
meningkatkan
martabat
manusia.
Kesadaran,
bahwa manusia
menentu-kan
kehidupannya
sendiri, tidak
hanya tergantung
pada alam dan
kekuatan di luar
diri manusia.
Kesadaran
subjektif, bahwa
interaksi antarsubjek manusia
adalah sesuatu
yang penting
untuk
memanusiakan
manusia.
Embrio bagi
perkembangan
gerakan
humanisme
berikutnya.

Dominasi
agama/gereja
terhadap setiap
aspek kehidupan.

Pemikiran tentang
manusia masih
dikaitkan dengan
masalah
ketuhanan.

284

HUMANISME
MODERN

HUMANISME
POSTMODERN

Penemuan kembali
masa ke-emasan
Yunani Klasik dan
Romawi Klasik.
Pikiran manusia
sebagai subjektivitas, rasio sebagai
kemam-puan kritis,
sejarah sebagai
kemajuan.

Kritik terhadap
Humanisme Modern.

Masalah dalam
hubungan antara
iman dan akal budi.

Awal pelepasan diri
dari masalah
ketuhanan.

Isu ketuhanan tidak
lagi banyak
bermakna.

Gerakan-gerakan
menentang dominasi agama/ gereja
dengan cara mengembangkan lagi
pemikiran Klasik
yang berpusat pada
manusia.

Mendewakan dan
mensakralkan
rasionalitas dan
individu.

Tidak ada lagi batasbatas suku, bangsa,
tingkatan sosialekonomi, budaya, dan
batas-batas yang lain.
Dunia menjadi tanpa
batas.

Pengertian tentang
martabat makhluk
hidup, martabat
alam, tatanan alam
dapat dimengerti
oleh akal manusia
dengan kemanusiaan sebagai pusatnya.
Pemikiran tentang
manusia masih
dikaitkan dengan
masalah ketuhanan.

Penyeragaman dan
ketidak-manusiaan
manusia akibat
pendewaan dan
penyakralan
berlebihan terhadap
rasionalitas dan
individu.
Pemikiran tentang
manusia sudah
terlepas dari
masalah ketuhanan.

Menentang
penyeragaman dan
pendewaan individu.

Proyek emansipasi.
Nilai-nilai budaya
menjadi perhatian.
Kebudayaan manusia
lebih berperan.

Pemikiran tentang
manusia sudah
terlepas dari masalah
ketuhanan.

Lampiran

Lampiran 3

Garis besar Perbedaan
Humanisme Barat
dan Humanisme Kejawèn
Humanisme Kejawèn

Humanisme Barat
Epistemologis

Berdasarkan filsafat Barat yang
Berdasarkan filsafat Jawa yang
menerapkan pendekatan intelektual,
menitikberatkan faktor rasa, bersifat deskriptif
menggunakan pikiran (ratio), bersifat
dan simbolik, berbicara mengenai bagaimana
orang mencapai kebijaksanaan (wisdom).
teoretik-abstraktif, definisi-definisi,
menghasilkan ilmu pengetahuan.
Protes terhadap dominasi institusi-institusi
Respons terhadap keadaan manusia dan
agama/gereja.
alam semesta.
Mengutamakan rasionalitas, kepercayaan
Mengutamakan rasa (situasi batin),
akan kemampuan manusia, hasrat
keyakinan bahwa manusia dapat “menyatu”
dengan Tuhan sehingga dapat menentukan
intelektual, dan penghargaan terhadap
kehidupannya.
disiplin intelektual.
Yakin bahwa pikiran dapat melakukan
Yakin bahwa rasa dan kedekatan dengan
segalanya dan lebih penting dari iman.
Tuhan dapat membahagiakan manusia.
Ontologis
Kebebasan individu manusia sebagai wujud
pelepasan dari kekuatan di luar diri manusia
(supranatural).

Kebebasan individu manusia sebagai wujud
”penyatuan” dengan Tuhan yang Maha Esa.

Tidak percaya terhadap keberadaan Tuhan
(ateis) atau tidak peduli Tuhan ada atau
tidak ada (nonteis).

Percaya bahwa Tuhanlah yang mengatur
kehidupan manusia, sehingga manusia harus
selalu dekat kepada-Nya.

Manusia adalah subjek kehidupan,
termasuk dalam relasinya dengan alam
semesta dan kekuatan lain di luar dirinya.

Manusia adalah bagian dari alam semesta
dan alam semesta adalah bagian dari
manusia. Keseimbangan relasi keduanya
sangat penting.

Aksiologis
Mengembangkan kemampuan pikiran (ratio)
untuk hal-hal yang bersifat keilmuan.
Mencari pengetahuan teoretis.

Mengembangkan kemampuan rasa untuk
hal-hal yang bersifat kearifan (wisdom).
Mencari pengetahuan yang berguna bagi
praktik kehidupan.

Mengutamakan tujuan yang bersifat duniawi
dan materialistik. Jadi, tujuannya hanya
kehidupan di dunia ini.

Lebih mengutamakan tujuan yang bersifat
rohani, keselamatan dan kebahagiaan
manusia di dunia dan manusia setelah
meninggal dunia.
Bersifat subjektif, sehingga lebih
menitikberatkan pada kesempurnaan hidup
individual.

Bersifat objektif, sehingga berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

285

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Lampiran 4

Perbandingan Pemaknaan Ide-ide Dasar
Humanisme: Antara Pemahaman Barat
dan Pemahaman Arso Tunggal
Barat

Arso Tunggal

Humanisme merupakan bagian dari
pandangan orang-orang yang berpikir tentang
dirinya sendiri. Tidak ada rasa takut bagi
seorang humanis dalam menghadapi
tantangan dan eksplorasi.

Djoko Murwono tidak memiliki rasa takut
menghadapi tantangan dan eksplorasi. Sejak
kecil ia sudah menghadapi tantangan konflik
budaya, setelah mendirikan Arso Tunggal dia
menghadapi dominasi kekuasaan (global dan
pemerintah Indonesia) dalam pengembangan
pengobatan alternatif dan pertanian alternatif.
Gerakan Arso Tunggal didasari pemahaman
bahwa manusia adalah makhluk yang berasal
dari Tuhan (sangkan paraning dumadi),
berinteraksi dengan sesama manusia dan
lingkungan dengan prinsip otoritas
kemanusiaan yang disinari oleh cahaya Tuhan
(manunggaling kawula Gusti), dan
menitikberatkan pada aspek tindakan nyata
(pakarti).
Arso Tunggal mengembangkan pemahaman
tentang pentingnya pikiran dan ilmu
pengetahuan. Krenteg dan karep dinyatakan
dalam karsa dan karya melalui riset ilmiah.

Humanisme menitikberatkan pada makna
kemanusiaan untuk memahami realitas.
Kaum humanis tidak mengabaikan
pengetahuan yang bersifat transenden.

Humanisme adalah filosofi tentang ratio dan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini kaum
humanis menolak pembuktian yang
didasarkan pada keyakinan, otoritas,
pengungkapan, dan pernyataan di luar
kesadaran manusia.
Humanisme adalah filosofi imajinasi. Kaum
humanis mengakui bahwa intuisi, prasangka,
spekulasi, inspirasi, emosi, pernyataan di luar
kesadaran, dan bahkan pengalaman religius,
kalau tidak valid secara ilmu pengetahuan,
hanya menjadi sumber gagasan. Setelah diuji
secara rasional dan terbukti bermanfaat, baru
ide-ide itu dapat digunakan sebagai
pendekatan penyelesaian masalah.
Humanisme adalah filosofi tentang kedisinian
dan kekinian. Kaum humanis memandang
nilai-nilai kemanusiaan sebagai masuk akal
hanya dalam konteks kehidupan manusia,
bukan kehidupan setelah kematian.

Humanisme adalah filosofi perasaan. Etika
humanis berkaitan dengan pertemuan
kebutuhan manusia dan penyelesaian
masalah kemanusiaan – baik secara
individual maupun sosial – dan mengabaikan

286

Paguyuban Arso Tunggal menerapkan
landasan rasionalitas dan ilmu pengetahuan
dalam pengembangan obat-obat bio fito
farmaka dan SPOR.

Meskipun mengakui kekuasaan Yang Maha
Kuasa, namun gerakan Arso Tunggal
mengutamakan pemahaman, bahwa
kehidupan manusia akan bermakna kalau
bermanfaat bagi sesama manusia dan
lingkungan alam. Pengutamaan itu diwujudkan
dalam gerakan pengobatan alternatif dan
pertanian alternatif.
Gerakan Arso Tunggal secara nyata menjawab
kebutuhan manusia di bidang pengobatan dan
pertanian. Perbedaan dari pemaknaan
humanisme Modern dan Postmodern terletak
pada pemahaman tentang ketuhanan (teologi).

Lampiran
kaitannya dengan entitas teologis.

Humanisme merupakan filosofi realistik.
Kaum humanis mengakui adanya dilema
antara moral dan kebutuhan dalam
pertimbangan-pertimbangan sebagai
konsekuensi pengambilan keputusan moral.

Humanisme berada dalam irama keilmuan.
Karena itu, kaum humanis mengakui bahwa
kita hidup di dunia nyata dan tumbuh
berkembang di planet ini dalam waktu yang
panjang, bahwa tidak ada bukti tentang “jiwa”
yang dapat dipisahkan, dan bahwa makhluk
hidup memiliki kebutuhan-kebutuhan pasti
sebagai dasar sistem nilai berorientasi
kemanusiaan.
Humanisme seirama dengan pencerahan
pikir. Kaum humanis sepakat dengan
kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia,
pemisahan institusi agama dan negara,
pengembangan partisipasi demokrasi untuk
menangani masalah sosial.
Humanisme sejalan dengan perkembangan
teknologi. Kaum humanis berniat mengambil
bagian dalam pengembangan ilmu dan
penemuan-penemuan teknologi, terutama
dalam memproteksi lingkungan.
Humanisme merupakan pandangan tentang
cinta dan kehidupan. Kaum humanis
bertanggung jawab terhadap kehidupannya
sendiri.

Humanisme Modern dan Postmodern
mengabaikan kaitan kemanusiaan dengan
entitas teologis, adapun humanisme kejawèn
Arso Tunggal berpandangan, bahwa gerakan
kemanusiaan tetap disinari oleh kekuasaan
Yang Maha Kuasa.
Gerakan Arso Tunggal tidak lagi sekadar
melestarikan nilai-nilai budaya Jawa sebagai
wacana, melainkan sudah melakukannya
dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi
peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu
membuktikan, bahwa Paguyuban Arso
Tunggal bersikap realistik menghadapi
tantangan zaman.
Gerakan Arso Tunggal, selain sebagai gerakan
sosial budaya, juga gerakan keilmuan;
melakukan riset-riset ilmiah untuk
pengembangan pengobatan dan pertanian
alternatif.

Arso Tunggal melakukan pencerahan pikir
lewat sarasehan-sarasehan Reboan dan
diskusi-diskusi dengan berbagai pihak.
Gerakan pertanian alternatif mencerminkan
pengembangan partisipasi demokrasi untuk
menangani masalah sosial.
Paguyuban Arso Tunggal menempatkan ilmu
dan teknologi sebagai wahana yang penting
dalam gerakan, yaitu riset ilmiah untuk
pengobatan alternatif, pengembangan
teknologi pertanian untuk memproteksi
lingkungan.
Cinta dan kehidupan penting bagi gerakan
Arso Tunggal. Dasar-dasar budaya Jawa yang
penuh keseimbangan, keharmonisan
mencerminkan pandangan tentang cinta dan
kehidupan tersebut.

287

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Lampiran 5

Skema Etos Bangsa Indonesia
dalam Bidang Hukum

Sikap-sikap dan nilainilai yang sekarang
masih merata pada
orang-orang Indonesia

Sikap-sikap dan nilai-nilai
yang sesuai dan
mendukung hukum
modern

Hukum modern

Menilai tinggi keselarasan

Kesadaran individu yang
tinggi

Karya manusia yang dibuat
dengan sadar

Menolak konflik

Konflik adalah fungsional

Ditujukan untuk mencapai
sesuatu

Kecenderungan pada
ikatan-ikatan primordial
Paternalitis
Diferensiasi antara sektorsektor publik dan privatprivat yang belum tinggi

288

Diubah-ubah sesuai dengan
kebutuhan

Lampiran

Lampiran 6

Skema tentang Manusia Jawa
dan Jawa Kontekstual
Sikap-sikap dan nilainilai yang sekarang
masih merata pada
orang-orang Jawa

Sikap-sikap dan nilai-nilai
yang sesuai dan
mendukung Jawa
kontekstual

Jawa kontekstual

Menilai tinggi keselarasan

Kesadaran individu yang
tinggi

Keselarasan harus tidak
bertentangan dengan usaha
meningkatkan martabat
manusia

Menolak konflik

Konflik adalah fungsional

Kecenderungan pada
ikatan-ikatan primordial

Ikatan primordial
dipertimbangkan sepanjang
mendukung kemajuan dalam
martabat manusia

Konflik tidak harus ditolak
kalau memang tidak bisa
ditolak, demi mencapai
kemajuan menurut kaidahkaidah yang benar untuk
meningkatkan martabat
manusia
Ketat/longgarnya ikatan
primordial disesuaikan dengan
kebutuhan menjawab
tantangan global

Paternalistis

Paternalistis hanya berlaku
sebagai penjabaran dari
prinsip rukun dan hormat,
tapi tidak mengurangi
apresiasi terhadap kualitas
dan kebenaran
Harus ada pemisahan antara
sektor publik dan sektor
privat

Paternalistis itu perlu, tapi
yang lebih penting adalah
martabat manusia

Kerendahan hati yang
sering “terpeleset”
menjadi rendah diri

Kerendahan hati sebagai
kepandaian menempatkan
diri dalam pergaulan (dengan
manusia lain, dengan
bangsa-bangsa lain)

Kerendahan hati justru
sebagai faktor pendorong
kemajuan

Gumunan lan kagètan
(mudah heran dan
terkaget-kaget) terhadap
budaya dari luar

Budaya sendiri tidak kalah
dari budaya dari luar

“Modernisasi” budaya sendiri,
menghasilkan karya untuk
menangkal pengaruh budaya
dari luar

Budaya Jawa hanya
menghasilkan kearifan
individual

Budaya Jawa harus
menghasilkan karya nyata
yang tidak hanya bersifat
individual, melainkan juga
bermanfaat bagi banyak
orang

Budaya Jawa menghasilkan
karya nyata untuk
meningkatkan martabat
manusia

Diferensiasi antara sektorsektor publik dan privatprivat yang belum tinggi

Sektor publik maupun sektor
privat diukur dari sejauh mana
sumbangannya terhadap
peningkatan martabat
manusia

289

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Lampiran 7

Beberapa Ungkapan Jawa
yang Perlu Direkonstruksi
UNGKAPAN
Alon-alon waton
kelakon,
aja kebat kliwat, aja
grusa-grusu
Mangan ora mangan
kumpul
Ana dina ana upa,
ana sethithik didum
sethithik, ana akèh
didum akèh
Ana rembuk
dirembuk, ana nalar
dinalar
Tuna sathak, bathi
sanak

Éwuh pakéwuh

Wani ngalah luhur
wekasané
Sepi ing pamrih,
ramé ing gawé
Bandha iku anané
anèng donya, mula
yèn mati ora digawa
Narima ing pandum

290

PEMAHAMAN LAMA

PEMAHAMAN BARU

Lambat dalam mengerjakan
tugas

Mengerjakan tugas dengan hatihati, tidak tergesa-gesa;
berorientasi pada kualitas

Lebih penting kumpul dengan
sanak saudara meskipun
secara ekonomi
berkekurangan
Tidak perlu berusaha optimal
karena tiap-tiap hari
mempunyai rezeki sendirisendiri untuk dibagi-bagi
sesuai dengan jumlah rezeki
itu
Segala sesuatu bisa diatur.
Dikonotasikan negatif sebagai
kolusi, korupsi, nepotisme
(KKN)
Tidak masalah rugi secara
harta benda, asal memiliki
banyak teman

Kualitas komunikasi dengan sanak
saudara dan relasi itu penting
karena dapat mendorong
keberhasilan usaha
Seseorang harus bekerja keras
untuk mencukupi kebutuhan hidup
secara pribadi dan membantu
orang lain

Merasa sungkan pada orang
lain, sehingga tidak berani
mengatakan “tidak” untuk
sesuatu yang tidak benar
Selalu mengalah dalam
menghadapi masalah
Bekerja tanpa
memperhitungkan imbalan
(titik berat pada sepi ing
pamrih)
Tidak perlu mengejar harta
benda, karena tidak akan
dibawa mati
Menerima saja apa adanya
yang sudah diterima;
menyerah pada keadaan

Seseorang harus memiliki
kepandaian dalam negosiasi untuk
melancarkan usaha. Konotasinya
positif, bukan KKN
Semangat membangun jejaring
(networking), karena kalau kita
memiliki banyak teman akan
membuka akses untuk melakukan
kegiatan (usaha)
Sikap tahu diri dalam pergaulan,
tidak menyakiti hati orang lain,
pandai mengungkapkan suatu
kebenaran secara tepat
Mengalah bukan berarti kalah,
melainkan strategi untuk mencapai
sasaran yang lebih besar
Bekerja keras dengan keyakinan
bahwa imbalan merupakan akibat
dari kerja keras
(titik berat pada ramé ing gawé)
Bekerja keras untuk mencukupi
kebutuhan hidup di dunia, karena
kerja keras untuk mencukupi hidup
merupakan tugas mulia manusia
Usaha untuk mencapai cita-cita,
karena pandum (bagian) hanya
akan diperoleh dengan usaha;
tidak menyerah pada keadaan
melainkan justru berusaha
menentukan keadaan

Lampiran
Pasrah sumarah
Tepa salira

Swarga nunut,
neraka katut

Tidak berusaha, hanya
menyerahkan segala sesuatu
kepada Yang Maha Kuasa
Memahami perasaan orang
orang lain, cenderung
mengikuti saja kehendak
orang lain
Istri hanya mengikuti suami.
Kalau suami senang, istri ikut
senang, suami celaka istri ikut
celaka

Sugih tanpa bandha

Harta benda itu tidak penting,
karena yang lebih penting
adalah kaya dalam jiwa

Sabda pandhita ratu
tan kena wola wali

Perkataan pemimpin harus
dituruti dan tidak boleh
berubah-ubah (pemahaman
dari sisi orang yang dipimpin)
Orang Jawa selalu memakai
perasaan dalam merespons
masalah, sehingga tidak
rasional
Meraih jiwa untuk dikeluarkan
dari tubuh

Jawa nggoné rasa

Ngrogoh sukma
Ngono ya ngono,
nanging aja ngono

Sikap permisif terhadap halhal yang tidak baik

Mikul dhuwur,
mendhem jero

Mengungkapkan hal-hal yang
baik saja dan menutupi
kelemahan-kelemahan orang
yang sudah meninggal
Hidup sekadar menjalani,
tidak perlu berusaha dengan
ngotot karena smua sudah
diatur “Yang di Atas”

Urip iku mung
sakderma nglakoni

Berusaha untuk mencapai cita-cita
dilandasi oleh bimbingan Yang
Maha Kuasa
Empati; memahami perasaan
orang lain, namun memiliki
pendirian sendiri yang belum tentu
sama dengan pendirian orang lain
Semangat istri untuk ikut memberi
kontribusi terhadap kondisi rumah
tangga; bahwa sorga dan neraka
rumah tangga merupakan
tanggung jawab bersama
Kaya harta benda bukan sesuatu
yang harus dihindari, tapi kekayaan
itu harus didasari oleh jiwa yang
bersih, sehingga tidak
menimbulkan keserakahan
Seorang pemimpin harus konsisten
dalam penentukan kebijakan dan
mengambil keputusan
(pemahaman dari sisi pemimpin)
Orang Jawa selalu menggunakan
hati untuk menyinari pikiran
(intelektualitas) dalam menghadapi
masalah.
Jiwa harus diragakan, sehingga
menjelma menjadi kekuatan pikiran
(ngraga sukma)
Sikap yang tepat untuk mencapai
tujuan; menyesuaikan dengan
kondisi (dalam kepemimpinan
dikenal sebagai situational
leadership)
Belajar dari pengalaman orangorang yang sudah meninggal. Halhal yang baik ditiru, hal-hal yang
buruk ditinggalkan
Hidup itu proses menjadi lebih
baik, sehingga manusia harus
berusaha keras mencapai
kehidupan yang lebih baik itu.
Prinsip hidup adalah: berorientasi
pada hasil, fokus pada proses.

291

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Lampiran 8

Humanist Manifesto I
The Manifesto is a product of many minds. It was designed to
represent a developing point of view, not a new creed. The individuals
whose signatures appear would, had they been writing individual
statements, have stated the propositions in differing terms. The
importance of the document is that more than thirty men have come
to general agreement on matters of final concern and that these men
are undoubtedly representative of a large number who are forging a
new philosophy out of the materials of the modern world.
The time has come for widespread recognition of the radical
changes in religious beliefs throughout the modern world. The time is
past for mere revision of traditional attitudes. Science and economic
change have disrupted the old beliefs. Religions the world over are
under the necessity of coming to terms with new conditions created
by a vastly increased knowledge and experience. In every field of
human activity, the vital movement is now in the direction of a
candid and explicit humanism. In order that religious humanism may
be better understood we, the undersigned, desire to make certain
affirmations which we believe the facts of our contemporary life
demonstrate.
There is great danger of a final, and we believe fatal,
identification of the word religion with doctrines and methods which
have lost their significance and which are powerless to solve the
problem of human living in the Twentieth Century. Religions have
always been means for realizing the highest values of life. Their end
has been accomplished through the interpretation of the total
environing situation (theology or world view), the sense of values
resulting therefrom (goal or ideal), and the technique (cult),
established for realizing the satisfactory life. A change in any of these
factors results in alteration of the outward forms of religion. This fact
explains the changefulness of religions through the centuries. But
through all changes religion itself remains constant in its quest for
abiding values, an inseparable feature of human life.

292

Lampiran

Today man's larger understanding of the universe, his
scientific achievements, and deeper appreciation of brotherhood, have
created a situation which requires a new statement of the means and
purposes of religion. Such a vital, fearless, and frank religion capable
of furnishing adequate social goals and personal satisfactions may
appear to many people as a complete break with the past. While this
age does owe a vast debt to the traditional religions, it is none the less
obvious that any religion that can hope to be a synthesizing and
dynamic force for today must be shaped for the needs of this age. To
establish such a religion is a major necessity of the present. It is a
responsibility which rests upon this generation. We therefore affirm
the following:
FIRST: Religious humanists regard the universe as self-existing and
not created.
SECOND: Humanism believes that man is a part of nature and that
he has emerged as a result of a continuous process.
THIRD: Holding an organic view of life, humanists find that the
traditional dualism of mind and body must be rejected.
FOURTH: Humanism recognizes that man's religious culture and
civilization, as clearly depicted by anthropology and history, are the
product of a gradual development due to his interaction with his
natural environment and with his social heritage. The individual born
into a particular culture is largely molded by that culture.
FIFTH: Humanism asserts that the nature of the universe depicted
by modern science makes unacceptable any supernatural or cosmic
guarantees of human values. Obviously humanism does not deny the
possibility of realities as yet undiscovered, but it does insist that the
way to determine the existence and value of any and all realities is by
means of intelligent inquiry and by the assessment of their relations to
human needs. Religion must formulate its hopes and plans in the light
of the scientific spirit and method.
SIXTH: We are convinced that the time has passed for theism,
deism, modernism, and the several varieties of "new thought".
SEVENTH: Religion consists of those actions, purposes, and
experiences which are humanly significant. Nothing human is alien to
the religious. It includes labor, art, science, philosophy, love,
friendship, recreation — all that is in its degree expressive of

293

Jawa, Menyiasati Globalisasi

intelligently satisfying human living. The distinction between the
sacred and the secular can no longer be maintained.
EIGHTH: Religious Humanism considers the complete realization
of human personality to be the end of man's life and seeks its
development and fulfillment in the here and now. This is the
explanation of the humanist's social passion.
NINTH: In the place of the old attitudes involved in worship and
prayer the humanist finds his religious emotions expressed in a
heightened sense of personal life and in a cooperative effort to
promote social well-being.
TENTH: It follows that there will be no uniquely religious emotions
and attitudes of the kind hitherto associated with belief in the
supernatural.
ELEVENTH: Man will learn to face the crises of life in terms of his
knowledge of their naturalness and probability. Reasonable and manly
attitudes will be fostered by education and supported by custom. We
assume that humanism will take the path of social and mental hygiene
and discourage sentimental and unreal hopes and wishful thinking.
TWELFTH: Believing that religion must work increasingly for joy
in living, religious humanists aim to foster the creative in man and to
encourage achievements that add to the satisfactions of life.
THIRTEENTH: Religious humanism maintains that all associations
and institutions exist for the fulfillment of human life. The intelligent
evaluation, transformation, control, and direction of such associations
and institutions with a view to the enhancement of human life is the
purpose and program of humanism. Certainly religious institutions,
their ritualistic forms, ecclesiastical methods, and communal activities
must be reconstituted as rapidly as experience allows, in order to
function effectively in the modern world.
FOURTEENTH: The humanists are firmly convinced that existing
acquisitive and profit-motivated society has shown itself to be
inadequate and that a radical change in methods, controls, and
motives must be instituted. A socialized and cooperative economic
order must be established to the end that the equitable distribution of
the means of life be possible. The goal of humanism is a free and
universal society in which people voluntarily and intelligently

294

Lampiran

cooperate for the common good. Humanists demand a shared life in a
shared world.
FIFTEENTH AND LAST: We assert that humanism will: (a) affirm
life rather than deny it; (b) seek to elicit the possibilities of life, not
flee from them; and (c) endeavor to establish the conditions of a
satisfactory life for all, not merely for the few. By this positive morale
and intention humanism will be guided, and from this perspective and
alignment the techniques and efforts of humanism will flow.
So stand the theses of religious humanism. Though we consider the
religious forms and ideas of our fathers no longer adequate, the quest
for the good life is still the central task for mankind. Man is at last
becoming aware that he alone is responsible for the realization of the
world of his dreams, that he has within himself the power for its
achievement. He must set intelligence and will to the task.
[EDITOR'S NOTE: There were 34 signers of this document, including
Anton J. Carlson, John Dewey, John H. Dietrich, R. Lester Mondale,
Charles Francis Potter, Curtis W. Reese, and Edwin H. Wilson.]
Copyright © 1973 by the American Humanist Association.

295

Jawa, Menyiasati Globalisasi

Lampiran 9

Humanist Manifesto II
Preface
It is forty years since Humanist Manifesto I (1933) appeared.
Events since then make that earlier statement seem far too optimistic.
Nazism has shown the depths of brutality of which humanity is
capable. Other totalitarian regimes have suppressed human rights
without ending poverty. Science has sometimes brought evil as well as
good. Recent decades have shown that inhuman wars can be made in
the name of peace. The beginnings of police states, even in democratic
societies, widespread government espionage, and other abuses of
power by military, political, and industrial elites, and the continuance
of unyielding racism, all present a different and difficult social
outlook. In various societies, the demands of women and minority
groups for equal rights effectively challenge our generation.
As we approach the twenty-first century, however, an affirmative
and hopeful vision is needed. Faith, commensurate with advancing
knowledge, is also necessary. In the choice between despair and hope,
humanists respond in this Humanist Manifesto II with a positive
declaration for times of uncertainty.
As in 1933, humanists still believe that traditional theism,
especially faith in the prayer-hearing God, assumed to live and care
for persons, to hear and understand their prayers, and to be able to do
something about them, is an unproved and outmoded faith.
Salvationism, based on mere affirmation, still appears as harmful,
diverting people with false hopes of heaven hereafter. Reasonable
minds look to other means for survival.
Those who sign Humanist Manifesto II disclaim that they are
setting forth a binding credo; their individual views would be stated in
widely varying ways. This statement is, however, reaching for vision
in a time that needs direction. It is social analysis in an effort at
consensus. New statements should be developed to supersede this, but
for today it is our conviction that humanism offers an alternative that
can serve present-day needs and guide humankind toward the future.

296

Lampiran

— Paul Kurtz and Edwin H. Wilson (1973)
The next century can be and should be the humanistic century.
Dramatic scientific, technological, and ever-accelerating social and
political changes crowd our awareness. We have virtually conquered
the planet, explored the moon, overcome the natural limits of travel
and communication; we stand at the dawn of a new age, ready to
move farther into space and perhaps inhabit other planets. Using
technology wisely, we can control our environment, conquer poverty,
markedly reduce disease, extend our life-span, significantly modify
our behavior, alter the course of human evolution and cultural
development, unlock vast new powers, and provide humankind with
unparalleled opportunity for achieving an abundant and meaningful
life.
The future is, however, filled with dangers. In learning to apply
the scientific method to nature and human life, we have opened the
door to ecological damage, over-population, dehumanizing
institutions, totalitarian repression, and nuclear and bio-chemical
disaster. Faced with apocalyptic prophesies and doomsday scenarios,
many flee in despair from reason and embrace irrational cults and
theologies of withdrawal and retreat.
Traditional moral codes and newer irrational cults both fail to
meet the pressing needs of today and tomorrow. False "theologies of
hope" and messianic ideologies, substituting new dogmas for old,
cannot cope with existing world realities. They separate rather than
unite peoples.
Humanity, to survive, requires bold and daring measures. We
need to extend the uses of scientific method, not renounce them, to
fuse reason with compassion in order to build constructive social and
moral values. Confronted by many possible futures, we must decide
which to pursue. The ultimate goal should be the fulfillment of the
potential for growth in each human personality — not for the favored
few, but for all of humankind. Only a shared world and global
measures will suffice.
A humanist outlook will tap the creativity of each human being
and provide the vision and courage for us to work together. This
outlook emphasizes the role human beings can play in their own
spheres of action. The decades ahead call for dedicated, clear-minded
men and women able to marshal the will, intelligence, and

297

Jawa, Menyiasati Globalisasi

cooperative skills for shaping a desirable future. Humanism can
provide the purpose and inspiration that so many seek; it can give
personal meaning and significance to human life.
Many kinds of humanism exist in the contemporary world. The
varieties and emphases of naturalistic humanism include "scientific,"
"ethical," "democratic," "religious," and "Marxist" humanism. Free
thought, atheism, agnosticism, skepticism, deism, rationalism, ethical
culture, and liberal religion all claim to be heir to the humanist
tradition. Humanism traces its roots from ancient China, classical
Greece and Rome, through the Renaissance and the Enlightenment, to
the scientific revolution of the modern world. But views that merely
reject theism are not equivalent to humanism. They lack commitment
to the positive belief in the possibilities of human progress and to the
values central to it. Many within religious groups, believing in the
future of humanism, now claim humanist credentials. Humanism is an
ethical process through which we all can move, above and beyond the
divisive particulars, heroic personalities, dogmatic creeds, and ritual
customs of past religions or their mere negation.
We affirm a set of common principles that can serve as a basis for
united action — positive principles relevant to the present human
condition. They are a design for a secular society on a planetary scale.
For these reasons, we submit this new Humanist Manifesto for
the future of humankind; for us, it is a vision of hope, a direction for
satisfying survival.

Religion
FIRST: In the best sense, religion may inspire dedication to the
highest ethical ideals. The cultivation of moral devotion and creative
imagination is an expression of genuine "spiritual" experience and
aspiration.
We believe, however, that traditional dogmatic or authoritarian
religions that place revelation, God, ritual, or creed above human
needs and experience do a disservice to the human species. Any
account of nature should pass the tests of scientific evidence; in our
judgment, the dogmas and myths of traditional religions do not do so.
Even at this late date in human history, certain elementary facts based

298

Lampiran

upon the critical use of scientific reason have to be restated. We find
insufficient evidence for belief in the existence of a supernatural; it is
either meaningless or irrelevant to the question of survival and
fulfillment of the human race. As nontheists, we begin with humans
not God, nature not deity. Nature may indeed be broader and deeper
than we now know; any new discoveries, however, will but enlarge
our knowledge of the natural.
Some humanists believe we should reinterpret traditional religions
and reinvest them with meanings appropriate to the current situation.
Such redefinitions, however, often perpetuate old dependencies and
escapisms; they easily become obscurantist, impeding the free use of
the intellect. We need, instead, radically new human purposes and
goals.
We appreciate the need to preserve the best ethical teachings in the
religious traditions of humankind, many of which we share in
common. But we reject those features of traditional religious morality
that deny humans a full appreciation of their own potentialities and
responsibilities. Traditional religions often offer solace to humans, but,
as often, they inhibit humans from helping themselves or
experiencing their full potentialities. Such institutions, creeds, and
rituals often impede the will to serve others. Too often traditional
faiths encourage dependence rather than independence, obedience
rather than affirmation, fear rather than courage. More recently they
have generated concerned social action, with many signs of relevance
appearing in the wake of the "God Is Dead" theologies. But we can
discover no divine purpose or providence for the human species.
While there is much that we do not know, humans are responsible for
what we are or will become. No deity will save us; we must save
ourselves.
SECOND: Promises of immortal salvation or fear of eternal damnation
are both illusory and harmful. They distract humans from present
concerns, from self-actualization, and from rectifying social injustices.
Modern science discredits such historic concepts as the "ghost in the
machine" and the "separable soul." Rather, science affirms that the
human species is an emergence from natural evolutionary forces. As
far as we know, the total personality is a function of the biological
organism transacting in a social and cultural context. There is no
credible evidence that life survives the death of the body. We

299

Jawa, Menyiasati Globalisasi

continue to exist in our progeny and in the way that our lives have
influenced others in our culture.
Traditional religions are surely not the only obstacles to human
progress. Other ideologies also impede human advance. Some forms of
political doctrine, for instance, function religiously, reflecting the
worst features of orthodoxy and authoritarianism, especially when
they sacrifice individuals on the altar of Utopian promises. Purely
economic and political viewpoints, whether capitalist or communist,
often function as religious and ideological dogma. Although humans
undoubtedly need economic and political goals, they also need
creative values by which to live.

Ethics
THIRD: We affirm that moral values derive their source from human
experience. Ethics is autonomous and situational needing no
theological or ideological sanction. Ethics stems from human need and
interest. To deny this distorts the whole basis of life. Human life has
meaning because we create and develop our futures. Happiness and
the creative realization of human needs and desires, individually and
in shared enjoyment, are continuous themes of humanism. We strive
for the good life, here and now. The goal is to pursue life's enrichment
despite debasing forces of vulgarization, commercialization, and
dehumanization.
FOURTH: Reason and intelligence are the most effective instruments
that humankind possesses. There is no substitute: neither faith nor
passion suffices in itself. The controlled use of scientific methods,
which have transformed the natural and social sciences since the
Renaissance, must be extended further in the solution of human
problems. But reason must be tempered by humility, since no group
has a monopoly of wisdom or virtue. Nor is there any guarantee that
all problems can be solved or all questions answered. Yet critical
intelligence, infused by a sense of human caring, is the best method
that humanity has for resolving problems. Reason should be balanced
with compassion and empathy and the whole person fulfilled. Thus,
we are not advocating the use of scientific intelligence independent of
or in opposition to emotion, for we believe in the cultivation of
feeling and love. As science pushes back the boundary of the known,

300

Lampiran

humankind's sense of wonder is continually renewed, and art, poetry,
and music find their places, along with religion and ethics.

The Individual
FIFTH: The preciousness and dignity of the individual person is a
central humanist value. Individuals should be encouraged to realize
their own creative talents and desires. We reject all religious,
ideological, or moral codes that denigrate the individual, suppress
freedom, dull intellect, dehumanize personality. We believe in
maximum individual autonomy consonant with social responsibility.
Although science can account for the causes of behavior, the
possibilities of individual freedom of choice exist in human life and
should be increased.
SIXTH: In the area of sexuality, we believe that intolerant attitudes,
often cultivated by orthodox religions and puritanical cultures, unduly
repress sexual conduct. The right to birth control, abortion, and
divorce should be recognized. While we do not approve of exploitive,
denigrating forms of sexual expression, neither do we wish to
prohibit, by law or social sanction, sexual behavior between
consenting adults. The many varieties of sexual exploration should not
in themselves be considered "evil." Without countenancing mindless
permissiveness or unbridled promiscuity, a civilized society should be
a tolerant one. Short of harming others or compelling them to do
likewise, individuals should be permitted to express their sexual
proclivities and pursue their lifestyles as they desire. We wish to
cultivate the development of a responsible attitude toward sexuality,
in which humans are not exploited as sexual objects, and in which
intimacy, sensitivity, respect, and honesty in interpersonal relations
are encouraged. Moral education for children and adults is an
important way of developing awareness and sexual maturity.

Democratic Society
SEVENTH: To enhance freedom and dignity the individual must
experience a full range of civil liberties in all societies. This includes
freedom of speech and the press, political democracy, the legal right of
opposition to governmental policies, fair judicial process, religious

301

Jawa, Menyiasati Globalisasi

liberty, freedom of association, and artistic, scientific, and cultural
freedom. It also includes a recognition of an individual's right to die
with dignity, euthanasia, and the right to suicide. We oppose the
increasing invasion of privacy, by whatever means, in both totalitarian
and democratic societies. We would safeguard, extend, and implement
the principles of human freedom evolved from the Magna Carta to the
Bill of Rights, the Rights of Man, and the Universal Declaration of
Human Rights.
EIGHTH: We are committed to an open and democratic society. We
must extend participatory democracy in its true sense to the economy,
the school, the family, the workplace, and voluntary associations.
Decision-making must be decentralized to include widespread
involvement of people at all levels — social, political, and economic.
All persons should have a voice in developing the values and goals
that determine their lives. Institutions should be responsive to
expressed desires and needs. The conditions of work, education,
devotion, and play should be humanized. Alienating forces should be
modified or eradicated and bureaucratic structures should be held to a
minimum. People are more important than decalogues, rules,
proscriptions, or regulations.
NINTH: The separation of church and state and the separation of
ideology and state are imperatives. The state should encourage
maximum freedom for different moral, political, religious, and social
values in society. It should not favor any particular religious bodies
through the use of public monies, no