Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB VII

Bab Tujuh

Arso Tunggal
Menyiasati Globalisasi

Ngèli nanging Ora Kèli
Dari studi terhadap Arso Tunggal, penulis menemukan
“kata kunci” gerakan paguyuban ini, yaitu: ngèli nanging ora
kèli (hanyut tapi tidak terhanyut). Paguyuban Arso Tunggal
dapat mengikuti arus global tapi tidak terhanyut oleh arus
tersebut. Paguyuban ini tetap bertahan pada budaya dan
kearifan lokal Jawa, menggunakan budaya dan kearifan lokal
Jawa tersebut sebagai landasan untuk menyikapi globalisasi.
Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan formulasi
obat-obat bio fito farmaka yang dilandasi pengetahuan tentang
pengobatan tradisional Jawa. Pengembangan pengobatan yang
dilakukan Arso Tunggal merupakan respons terhadap obatobatan kimiawi dari luar negeri yang mendominasi pasar
Indonesia. Obat-obat hasil riset itu didasarkan pada kearifan
lokal Jawa; sebagai pengembangan budaya dan kearifan lokal
yang dipadukan dengan teknologi modern, mencerminkan
pendekatan “berpikir global, bertindak lokal.”


221

Jawa Menyiasati Globalisasi

Berpikir global dipraktikkan dalam kerja sama dengan
Jepang. Bertindak lokal, karena landasan yang dipakai adalah
budaya dan kearifan lokal Jawa dalam pengobatan, hasilnya
dimanfaatkan untuk masyarakat, baik di dalam negeri maupun
internasional. Langkah itu dapat disebut sebagai “dari Jawa
untuk Indonesia,” bahkan “Jawa untuk dunia.”1
Dalam perspektif “Jawa untuk dunia” itu konsep “Jawa
menyiasati globalisasi” berada. Jawa yang dimodernisasikan,
dikembangkan dengan menjalin kerja sama dengan pihak luar
negeri dan penerapan teknologi modern, namun tidak kehilangan jatidiri dan larut dalam arus global. Itulah ketahanan
budaya dan kearifan lokal untuk menangkal globalisasi.
Di bidang pertanian, aktivitas Arso Tunggal sebagai gerakan menyiasati globalisasi lebih jelas. Kegiatan SPOR merupakan
respons terhadap gerakan revolusi hijau yang berkembang
dalam ranah globalisasi. Melalui SPOR, paguyuban ini membangkitkan kembali varietas-varietas lokal yang sudah terdesak
oleh revolusi hijau tersebut.

Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu
sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat revolusi hijau. Revolusi hijau dinilai telah menurunkan kuantitas
dan kualitas produksi pangan, mengakibatkan biaya produksi
pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan.
Melalui SPOR, Arso Tunggal membuktikan, bahwa dalam sektor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem pertanian
1 Kekuatan budaya dan kearifan lokal Jawa itu sudah pernah dibuktikan
oleh Boedi Oetomo sebagai gerakan berbasis budaya Jawa, yang berhasil
menangkal budaya penjajah Belanda, bahkan kemudian menjadi tonggak
kebangkitan nasional Indonesia (Ekopriyono, 2008). Seperti semangat Boedi
Oetomo, semangat Arso Tunggal adalah melakukan revitalisasi Jawa, bahwa
budaya Jawa dapat digunakan sebagai pembangkit budaya-budaya lokal untuk
memberi kontribusi terhadap kejayaan nasional Indonesia.

222

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

asing dengan pemakaian sarana produksi kimiawi anorganik.
Melalui SPOR pula, Arso Tunggal membangkitkan kemandirian
petani dan kelestarian daya dukung lingkungan.

Mengapa Arso Tunggal menjalin kerja sama dengan
Sumitomo Jepang? Beberapa pertimbangannya antara lain:
1. Pemerintah Indonesia kurang menghargai hasil karya
warga negaranya sendiri;
2. Pemerintah Indonesia tidak menyediakan dana yang
cukup untuk kegiatan riset yang dilakukan dengan
Sumitomo;
3. Kerja sama dengan pihak luar itu sebagai “jembatan”
untuk mengembangkan budaya dan kearifan lokal Jawa ke dunia internasional;
4. Kerja sama tersebut sebagai sikap terhadap Pemerintah Indonesia yang tidak menghargai hasil karya
anak bangsanya sendiri.
Dalam konteks kerja sama tersebut, menurut penulis,
Arso Tunggal menggarisbawahi pendapat Giddens (2000), yaitu
globalisasi bukan tentang saling ketergantungan ekonomi, melainkan tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan
manusia. Peristiwa di tempat yang jauh, berkaitan atau tidak
berkaitan dengan ekonomi, memengaruhi manusia secara lebih
langsung dan segera daripada yang pernah terjadi sebelumnya.
Sebaliknya, keputusan yang diambil seseorang sebagai individuindividu seringkali memiliki implikasi global.
Gerakan Arso Tunggal juga dapat dilihat sebagai sikap
terhadap pandangan dikotomis Pang Lixin dalam Bleeding

Horse Pub, Dublin yang dimuat di Far Eastern Economic
Review 24 Juni 2004. “This is globalization, this is the world
today. You fit in or it will throw you out,” kata Lixin. Globalisasi menghadapkan semua orang kepada pilihan take it or get
223

Jawa Menyiasati Globalisasi

left behind. Seseorang hanya dihadapkan pada dua pilihan, ikut
larut atau terpental keluar dari arus global.
Arso Tunggal membuktikan diri sebagai gerakan yang
tidak terhanyut tapi juga tidak terpental dari arus global seperti
disebutkan oleh Lixin. Kegiatan yang dilakukan memang
bekerja sama dengan pihak luar negeri, memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi global, namun kerja sama itu justru
dilakukan demi kepentingan lokal, yaitu pengembangan budaya
dan kearifan lokal Jawa.
Dalam konteks pemikiran itu, maka Arso Tunggal adalah
komunitas lokal yang tidak menentang, melainkan menyiasati
globalisasi demi kebangkitan budaya dan kearifan lokal Jawa.
Dalam kegiatannya, paguyuban ini selalu mengangkat nilai-nilai

kemanusiaan yang menjadi landasan gerakan. Kegiatan bidang
pengobatan dan pertanian yang dilakukan merupakan aplikasi
pemahaman bahwa humanisme kejawèn harus menghasilkan
karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan hanya
berhenti pada olah rasa yang hanya bermuara pada ketenangan
jiwa secara pribadi. Karya nyata yang dihasilkan paguyuban ini
sebagai praktik tahapan krenteg-karep-karsa-karya untuk
menghadapi globalisasi.
Secara kelembagaan, saat ini masih tergolong kecil,2
namun Arso Tunggal memiliki etos yang kuat untuk mengubah
keadaan menjadi lebih baik.
Pandangan Arso Tunggal, menurut penulis, layak disejajarkan dengan pandangan ekonom Jerman E.F. Schumacher
2 Jumlah anggota Arso Tunggal yang aktif di sarasehan Reboan hanya
sekitar 15-20 orang. Jumlah pengurusnya pun hanya 12 orang. Jumlah pasien
yang datang pada setiap pelayanan pengobatan berkisar antara 50 orang dan
sudah banyak petani yang memanfaatkan hasil pengembangan pertanian Arso
Tunggal.

224


Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

(1993) yang mengkritik perilaku perusahaan-perusahaan besar
yang kejam dan tidak memperhatikan lingkungan usaha maupun aspek manusiawi kegiatan usaha. Etos gerakan Paguyuban
Arso Tunggal juga dapat disandingkan dengan semangat berdikari Bung Karno, perjuangan swadesi Mahatma Gandhi, gerakan kemanusiaan Bunda Teresa, gerakan Sarvodaya Shramadana
A.A. Ariyaratne di Sri Lanka yang menerapkan empat prinsip
kehidupan, yaitu: pemerataan distribusi kesejahteraan, harmoni
dan rasa hormat, perbaikan material, dan tidak ada diskriminasi
sosial.
Inti gerakan-gerakan itu sama, yaitu perjuangan dapat
dilakukan mulai dari hal-hal kecil, bahwa sesuatu yang besar
justru merupakan kumpulan sesuatu yang kecil-kecil. 3
Ciri-ciri Paguyuban Arso Tunggal dalam menyiasati globalisasi adalah:
1. Menerapkan pandangan, bahwa nasionalisme bukan
merupakan paham yang sempit dalam menghadapi
globalisasi, melainkan cinta Tanah Air didasarkan
pada pengembangan kearifan lokal dipadukan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kearifan
lokal itu relevan menjawab tantangan global.
2. Melakukan langkah-langkah nyata berlandaskan

budaya dan kearifan lokal Jawa untuk menangkal laju
globalisasi, tidak menyerah, tidak ikut arus.
Dari observasi partisipatif yang dilakukan, penulis menemukan fakta bahwa di balik kegiatan di bidang pengobatan
3 Ketika ditanya penulis, Djoko Murwono menjawab, “Terserah mau
disebut sebagai gerakan apa, tapi yang jelas kami berusaha mengembangkan
kearifan lokal Jawa yang sudah terdesak oleh globalisasi, agar bangsa kita bisa
bangkit menghadapi arus globalisasi yang mematikan kearifan-kearifan lokal
itu.”

225

Jawa Menyiasati Globalisasi

dan pertanian, sesungguhnya Arso Tunggal menitikberatkan
pada tiga isu, yaitu globalisasi, pemahaman budaya Jawa, serta
kerancuan budaya dan agama, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:

Isu Globalisasi
Gerakan Arso Tunggal melengkapi tesis Mansour Fakih

(2001:223), yang mengidentifikasi gerakan tantangan terhadap
globalisasi menjadi tiga, yaitu:
1. Tantangan gerakan kultural dan agama;
2. Tantangan dari gerakan sosial baru (new social
movement) dan masyarakat sipil global (global civil
society);
3. Tantangan gerakan lingkungan.
Inti ketiga gerakan perlawanan tersebut adalah menolak
pembangunanisme dan globalisasi, dengan argumentasi dasar
bahwa kedua hal itu membawa nilai-nilai kapitalisme dari
negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang.
Menurut Fakih, globalisasi yang kapitalistis menghilangkan
nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk
membangun masyarakat di negara-negara sedang berkembang.
(Saiful Arif, 2000; Mansour Fakih, 2001).
Contoh gerakan kultural adalah kelompok Hindu
Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak
India memboikot barang buatan asing. Begitu pula, gerakan
sosial baru untuk menentang pembangunan dan globalisasi,
misalnya gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat

akar rumput. Adapun gerakan lingkungan banyak dipengaruhi
oleh pikiran Rachel Carson dalam Silent Spring yang membongkar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh praktik
226

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

ekonomi modern dalam kerangka globalisasi. Carson mengutuk
keras industri pestisida Amerika, menguraikan makin meningkatnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang dunia dan
juga makin tingginya kesadaran akan pentingnya kenyamanankenyamanan nonmateri dalam kehidupan.
Fakta bahwa Arso Tunggal menyiasati globalisasi memberi warna baru terhadap gerakan-gerakan menghadapi globalisasi. Berbeda dari tiga gerakan yang disebutkan Mansour Fakih,
yang bersifat anti-globalisasi, gerakan Arso Tunggal tidak antiglobalisasi, melainkan menyiasati globalisasi dengan cara
“memodernisasikan” kearifan lokal Jawa. Cara-cara itu khas
Jawa yang sinkretis dan mengutamakan keselarasan (fakta
empirik mengenai hal ini dijabarkan pada Bab Lima dan Bab
Enam, yaitu melalui berbagai karya nyata di bidang pengobatan
dan pertanian).
Siasat Arso Tunggal dilandasi pemahaman yang dikembangkan, yaitu:
1. Globalisasi merupakan penetrasi budaya kapitalisme
Barat, yang berusaha menyeragamkan budaya-budaya
lokal menjadi budaya global. Penyeragaman tersebut

tidak dapat di-biarkan dan harus direspons dengan
cara-cara mengembang-kan budaya dan kearifan lokal
dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. Kearifan lokal Jawa, begitu pula kearifan-kearifan
lokal daerah lain di Indonesia, tidak kalah dari nilainilai global, oleh karena itu harus dikembangkan
untuk menghadapi globalisasi;
3. Dalam rangka mengembangkan kearifan lokal Jawa,
langkah yang ditempuh adalah mengaplikasikan kearifan itu ke dalam tindakan nyata. Budaya harus
dikembangkan dengan ilmu pengetahuan dan tekno227

Jawa Menyiasati Globalisasi

logi, sehingga tidak berhenti pada pengagungan
budaya tanpa bermanfaat bagi kemanusiaan;
4. Kekalahan budaya lokal Jawa terhadap budaya global,
disebabkan kurangnya aspek tindakan nyata (pakarti),
karena selama ini budaya Jawa cenderung dipahami
sebagai ajaran yang bersifat inward looking, hanya
berkutat pada olah rasa, laku, dan hanya menghasilkan kearifan pribadi. Berbagai kegiatan budaya
Jawa, bahkan cenderung “terjebak” pada romantisme

masa lalu dan hanya mengagung-agungkan budaya
Jawa sebagai budaya yang adiluhung, yang perlu
dilestarikan (diuri-uri), tapi tidak diaplikasikan ke
dalam karya nyata yang berguna bagi kemanusiaan;
5. Globalisasi telah menjerumuskan manusia kepada
pemikiran yang bersifat sangat materialistik dan
kapitalistik, menghan-curkan fungsi dan peran
manusia sebagai makhluk sosial yang plural dan dekat
dengan alam. Manusia menjadi sangat tergantung
dengan manusia yang lain serta kesulitan menempatkan diri dalam perkembangan zaman. Hal itu
tercer-min dalam ungkapan Jawa ӎwuh ing pambudi,
yèn ta ora tahan.” Ungkapan itu bermakna, bahwa
manusia Jawa yang tidak tahan terhadap gelombang
globalisasi akan kesulitan menempatkan diri dan
kehilangan orientasi.
Gerakan Arso Tunggal mengembangkan keyakinan,
bahwa budaya lokal Jawa mampu menghadapi gelombang
globalisasi. Tolok ukur kemampuan adalah sejauh mana budaya
lokal Jawa tersebut terjabarkan dalam karya nyata untuk
mewujudkan kesejahteraan manusia.

228

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

Perlu kebanggaan terhadap budaya lokal untuk
menghadapi globalisasi. Manusia Jawa tidak perlu rendah diri
atau tidak percaya diri terhadap budaya sendiri. Manusia Jawa
harus bangga terhadap budaya Jawa untuk memberi kontribusi
pada pembangunan bangsa dan tidak lekang oleh waktu serta
mampu menghadapi globalisasi. Manusia Jawa tidak perlu ikut
arus global, karena bagaimanapun budaya lokal tidak dapat
disera-gamkan menjadi global. Globalisasi, dalam konteks ini,
tidak perlu disikapi sebagai gerakan pemusnahan budaya lokal,
melainkan justru akan mengembalikan kejayaan budaya lokal
tersebut.
Oleh karena itu, Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman, bahwa budaya Jawa harus mampu meredam
arus global. Hal itu dilakukan melalui pengembangan budaya
Jawa yang diaktualisasikan dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dalam konteks itu, maka gerakan Arso Tunggal juga
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat banyak karena terkontaminasi oleh
globalisasi. Obat-obatan yang dikembangkan paguyuban ini,
yang dijual dengan harga murah, merupakan jawaban terhadap
penerapan harga-harga obat yang mahal, adapun SPOR merupakan jawaban terhadap kebijakan pemerintah yang tidak
berpihak pada petani.

Isu Pemahaman Budaya Jawa
Dari studi terhadap Paguyuban Arso Tunggal, penulis
menemukan fakta bahwa gerakan paguyuban ini juga
mengkritik pemahaman terhadap budaya Jawa. Pemahaman
yang selama ini berkembang adalah, nilai-nilai budaya Jawa
menghasilkan kearifan individu. Hal itu antara lain nampak
229

Jawa Menyiasati Globalisasi

pada pemahaman tentang inti humanisme kejawèn, yaitu
sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti, dan
laku. Karena berhenti pada laku, maka humanisme kejawèn
dipahami sebagai proses yang menghasilkan ketenangan jiwa
dan kearifan secara pribadi.
Paguyuban Arso Tunggal, lewat berbagai kegiatannya,
mengkritik pemahaman tersebut, dan mengembangkannya
menjadi: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula gusti,
dan pakarti. Paguyuban ini menekankan aspek pakarti atau
tindakan nyata, bahwa pemahaman humanisme kejawèn harus
diaplikasikan pada tindakan nyata yang bermanfaat bagi
kemanusiaan dan lingkungan.
Oleh sebab itu, Arso Tunggal juga melakukan ”modernisasi” budaya dan kearifan lokal Jawa. Gerakan ini menjawab
tesis Benturan Antarperadaban Samuel Huntington (2003).
Huntington mengajukan hipotesis bahwa perpecahan besar di
antara manusia dan sumber konflik yang dominan adalah
budaya.
Oleh karena sumber konflik adalah budaya, maka
”modernisasi” Jawa menjadi penting, agar tidak terbelenggu
oleh arus global, melainkan justru memenangi persaingan dalam
era global tersebut. Istilah ”modernisasi” mengacu pada
pendapat Djoko Murwono yang menyebutkan, bahwa budaya
lokal Jawa harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan
zaman. Penyesuaian tersebut bukan dalam arti mengubah nilainilai yang terkandung di dalamnya, melainkan melengkapinya
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sehingga
relevan dengan perkembangan zaman. Pemikiran itu dikembangkan Arso Tunggal melalui riset-riset ilmiah yang
menghasilkan obat-obat bio fito farmaka dan produk pertanian
berbasis budaya dan kearifan lokal Jawa.

230

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

Dalam konteks hipotesis Huntington, maka gerakan Arso
Tunggal merupakan salah satu fenomena kebangkitan peradaban non-Barat, cerminan dari hasrat, niat, dan akal untuk
membentuk dunia dengan cara-cara non-Barat. Kalau Huntington menyebutkan ”Asianization” di Jepang, ”Hinduization” di
India, ”re-Islamization” di Timur Tengah, maka gerakan Arso
Tunggal dapat disebut sebagai gerakan revitalisasi Jawa di Jawa.
Proses revitalisasi Jawa itu merupakan usaha untuk
membangkitkan kembali budaya dan kearifan lokal Jawa. Usaha
itu mengangkat budaya Jawa agar tidak lagi tertinggal dari
budaya-budaya lain, termasuk budaya Barat dan budaya Timur
Tengah yang menekan budaya lokal di negara-negara berkembang. Konsep revitalisasi Jawa mengacu pada pemahaman,
bahwa budaya Jawa memiliki kekuatan untuk menangkal
pengaruh budaya dari luar.
Revitalisasi Jawa merupakan jawaban atas kerisauan dan
penolakan berbagai pihak yang menyebutkan bahwa tesis
Huntington itu sangat dikotomis dan memojokkan dunia Islam.
Dalam hal ini, maka revitalisasi Jawa dapat dijadikan penengah
atau jalan keluar, yang memberikan solusi, setidak-tidaknya
bagi orang Jawa sendiri. Orang Jawa tidak harus (atau bahkan:
harus tidak) terjebak pada dikotomi Barat-Islam, melainkan
kembali ke akar-akar budayanya sendiri: Jawa.4
Berbagai seminar, diskusi, sarasehan, dan pertemuanpertemuan tentang budaya Jawa, yang diikuti penulis, selama
ini cenderung hanya memperbincangkan tentang kehebatan
budaya Jawa, sifat adiluhung budaya Jawa, namun kurang
4 Dalam dunia pemasaran ( marketing) cara itu disebut sebagai blue ocean
strategy (strategi samudera biru), yaitu menghindari konflik dengan mencari
celah-celah pasar yang baru, bukan red ocean strategy (strategi samudera
merah) yang berdarah-darah. Blue ocean strategy adalah strategi menum-

buhkan permintaan, menjauh dari kompetisi (Kim dan Mauborgne, 2006).

231

Jawa Menyiasati Globalisasi

mencari langkah-langkah konkret untuk membangkitkan budaya Jawa sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional di tengah-tengah gempuran budaya dari luar.
Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah misalnya,
pernah menyelenggarakan sarasehan “Sumbangan Nilai-nilai
Jawa untuk Manajemen Masa Kini,” 12 Mei 2005. Bekerja sama
dengan harian Suara Merdeka, DRD juga mengadakan
sarasehan “Sumbangan Jawa untuk Pembangunan Karakter
Bangsa,” 30 Agustus 2005.
Tidak ada kesimpulan dalam sarasehan-sarasehan itu dan
tidak ada pula tindak lanjut. Sarasehan-sarasehan itu, bagi penulis, hanya menjadi ajang curahan perhatian (curhat), sambung
rasa, rerasan, dan romantisme masa lalu, tanpa penjabaran
konkret. Hal itu makin menguatkan pendapat, bahwa budaya
Jawa bersifat subjektif, bermuara pada kearifan individual,
sehingga kurang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Begitu pula dengan Kongres Bahasa Jawa maupun
Kongres Sastra Jawa yang selama ini diselenggarakan. Kongreskongres tersebut lebih menitikberatkan pada pelestarian bahasa
dan sastra Jawa, bukan pada budaya Jawa secara komprehensif.
Sama dengan forum-forum yang lain, kongres itu pun tidak
berusaha melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Jawa agar
mampu menjadi pendorong kebangkitan bangsa di era globalisasi. Pelestarian bahasa dan sastra Jawa memang perlu, tapi
revitalisasi terhadap budaya Jawa juga penting, agar budaya
Jawa relevan dengan perkembangan zaman.
Dalam konteks pemikiran itu, maka menurut penulis,
telah terjadi penafsiran yang kurang tepat terhadap teks-teks
budaya Jawa karena distorsi yang cukup panjang. Pemahaman
yang berkembang sering menyimpang atau tidak sesuai dengan
makna hakiki dari konsep dasar budaya Jawa. Orang hanya

232

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

memahami wujud fisik, tetapi tidak menangkap “roh” yang
terwadahi oleh simbol-simbol yang memang banyak ditemukan
dalam budaya Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penafsiran
ulang untuk menemukan penafsiran baru yang lebih relevan
dengan perkembangan zaman.
“Modernisasi” yang dilakukan Arso Tunggal merupakan
rekonstruksi, tercakup upaya-upaya untuk mencari maknamakna yang tersembunyi di balik teks dan realitas berkaitan
dengan budaya Jawa. Setelah menemukan makna yang
tersembunyi itu, langkah berikutnya adalah merekonstruksi
pemahaman terhadap teks, sehingga melahirkan pemahaman
baru.
Arso Tunggal memberi sumbangan pada “modernisasi”
Jawa dengan melakukan rekonstruksi terhadap pemahaman
budaya Jawa. Rekonstruksi tersebut pada intinya “meluruskan”
pemahaman yang semula memandang bahwa budaya Jawa
hanya menghasilkan kearifan individual menjadi menghasilkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, budaya
Jawa (yang dipadukan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi modern) dapat menghasilkan suatu karya nyata yang
bermanfaat bagi kemanusiaan, tidak lagi bersifat subjektifindividual.
Secara garis besar, upaya yang dilakukan Paguyuban Arso
Tunggal adalah merekonstruksi pemahaman terhadap budaya
Jawa. Pemahaman yang selama ini menyatakan bahwa nilainilai budaya Jawa hanya bersifat subjektif dan bermuara pada
kearifan individu, oleh Arso Tunggal direkonstruksi menjadi
nilai-nilai yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bersifat sosial, bermanfaat bagi kemanusiaan.
Penulis berpendapat, pendekatan humanisme kejawèn
melandasi gerakan Paguyuban Arso Tunggal, baik sebagai siasat

233

Jawa Menyiasati Globalisasi

terhadap globalisasi maupun dalam rekonstruksi terhadap
pemahaman budaya Jawa. Siasat terhadap globalisasi dilakukan
karena pemahaman bahwa globalisasi mengancam eksistensi
manusia, yang unik dan tidak dapat diseragamkan, terlebih lagi
ditindas. Rekonstruksi terhadap pemahaman budaya Jawa
didorong oleh kesadaran bahwa pemahaman selama ini justru
membatasi gerakan untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraan manusia.

Isu Kerancuan Budaya dan Agama
Perkembangan budaya Jawa dipengaruhi oleh budayabudaya asing yang masuk ke Indonesia bersama agama-agama
dari luar (Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam, Konghucu).
Akibatnya, sering terjadi kerancuan dalam hubungan antara
budaya dan agama dalam konteks globalisasi.5
Dalam berbagai sarasehan Reboan, Arso Tunggal sering
membahas perlunya pemisahan antara budaya dan agama.
Pemisahan antara budaya dan agama itu penting, agar budaya
Jawa tetap terjaga dari pengaruh budaya asing (baik Barat

5 Contoh kerancuan pemahaman antara budaya dan agama adalah polemik
di media massa tentang Bupati Kendal, Jateng Widya Kandi Susanti yang tidak
mengenakan jilbab pada saat upacara pelantikan 23 Agustus 2010, padahal
sehari-hari ia berjilbab. Pada acara pelantikan itu, Widya mengenakan
pakaian Jawa; kain, kebaya, dan sanggul. Beberapa penulis surat pembaca di
suratkabar mempersoalkan hal tersebut dan menuduh ia khilaf, tidak
menghargai syariat Islam, dan sebagainya. Menghadapi polemik itu, dalam
pertemuan dengan manajemen Suara Merdeka 30 Agustus 2010, Widya
menjelaskan, bahwa ia mengenakan kain, kebaya, dan sanggul karena ingin
melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. “Dalam undangan disebutkan dress code: pakaian nasional, maka saya mengenakan pakaian nasional
yaitu kain, kebaya, dan sanggul, sedangkan jilbab bukan pakaian nasional
Indonesia. Siapa lagi yang akan melestarikan kain, kebaya, dan sanggul kalau
bukan kita sendiri,” katanya. Dalam kasus ini, maka Bupati Kendal itu dapat
memahami perbedaan antara budaya dan agama.

234

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

maupun Timur Tengah). Budaya Jawa dapat dikembangkan,
dimodernisasikan, mengikuti perkembangan zaman.
Dalam globalisasi, terjadi proses inkulturasi dalam perkembangan agama-agama dalam relasi dengan budaya Jawa,
tetapi tidak berarti agama mengubah budaya Jawa. Agama
ibarat bulan yang menerangi bumi (budaya) di malam hari
dengan pancaran sinar matahari (ibarat Tuhan Yang Maha Esa).
Agama menyinari budaya (sinarnya merupakan pantulan
cahaya dari matahari – Tuhan Yang Maha Kuasa), tetapi agama
tidak dapat disatukan dengan budaya. Kalau agama disatukan
dengan budaya, berarti ada mono-agama dan ada monobudaya, sehingga universalisme hilang. Kekeliruan yang terjadi
adalah agama disamakan dengan budaya, sehingga terjadi
benturan antaragama, yang kemudian mengimbas pada
benturan antarbudaya. Akibatnya, sekarang terjadi keresahan
budaya.
Keresahan budaya itu digambarkan lewat ungkapan
“wong Jawa wis ilang jawané, wong wadon ilang wirangé, kali
ilang kedhungé, pasar ilang kumandhangé. (Terjemahan bebas:
orang Jawa kehilangan sifat Jawanya, perempuan-perempuan
sudah kehilangan rasa malu, sungai kehilangan pusarannya,
pasar kehilangan hiruk-pikuknya sebagai tempat tawarmenawar).
Ungkapan itu kemudian diteruskan dengan “Landané
kari sak jodho, Cinané kari separo, wong Jawa éla-élo. Ungkapan itu menggambarkan, orang kulit putih tinggal sepasang
(yaitu Eropa dan Amerika), orang Cina menguasai separo
dunia, adapun orang Jawa hanya terbengong-bengong.
Manusia Jawa tidak lagi memahami sifat-sifat Jawa yang
merupakan warisan leluhur yang seharusnya dirawat dan
diamalkan. Manusia Jawa masa kini sudah terkontaminasi dan
235

Jawa Menyiasati Globalisasi

sangat terpengaruh budaya-budaya asing yang masuk, sehingga
lebih berpola pikir, bersikap, dan berperilaku dengan nilai-nilai
dari luar yang bukan nilai-nilai Jawa lagi. Pola pikir, sikap, dan
perilaku itu digambarkan dalam ungkapan Jawa kaya gabah
diinteri (seperti gabah diacak-acak), sehingga terjadi keberingasan di sana-sini, bertentangan dengan substansi budaya
Jawa yang penuh nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, serta
keseimbangan manusia dan alam semesta.
Ungkapan wong Jawa ilang jawané, menggambarkan
kebudayaan Jawa masa kini, ketika banyak manusia Jawa tidak
lagi memahami kebudayaannya sendiri. Kebudayaan Jawa
tergusur oleh kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar
bersamaan dengan arus globalisasi.

Wong wadon ilang wirangé menggambarkan, kaum
perempuan, yang menurut nilai-nilai Jawa seharusnya menjaga
harga diri sebagai perempuan, justru kehilangan rasa malu.
Akibatnya, kaum perempuan Jawa masa kini berperilaku seperti
layaknya perempuan-perempuan dengan nilai-nilai asing, baik
Barat maupun Timur Tengah. Salah satu tandanya adalah dalam
hal berpakaian dan bergaul dengan lawan jenis.

Kali ilang kedhungé, pasar ilang kumandhangé, menggambarkan keadaan lingkungan yang sudah rusak, tidak terawat
dengan baik. Sungai-sungai kering karena kerusakan ekosistem,
pasar-pasar (tradisional) tidak lagi hiruk-pikuk, tidak ada lai
tawar-menawar harga, tidak lagi ramai dikunjungi orang. Pasar
tradisional sudah terdesak pasar-pasar modern, seperti hypermart, mal-mal, supermarket, dan sejenisnya. Pasar-pasar
modern itu bahkan telah memasuki wilayah-wilayah pedesaaan,
tidak lagi hanya di kota-kota.
Pandangan yang dikembangkan Arso Tunggal berbeda
dari pendapat banyak pengamat budaya Jawa dan para penganut

236

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

kebatinan yang menyanjung kelenturan dan kehebatan budaya
Jawa menghadapi pengaruh dari luar. Bagi Arso Tunggal, sekarang inilah puncak kehancuran budaya Jawa karena pengaruh
budaya asing. Di antara pengaruh itu termasuk pengaruh agama-agama.
Dalam sarasehan Reboan sering dibahas tentang
kehancuran budaya Jawa karena pengaruh budaya luar yang
masuk dengan wajah agama. Ada penyampuradukan antara
budaya dan agama, seperti dijelaskan Djoko Murwono sebagai
berikut:
Jadi sebetulnya, kalau saya boleh ngomong jujur,
pisahkanlah antara agama dan budaya. Justru kalau
agama itu identik dengan budaya di mana asal agama itu
ada, akan menghancurkan segala-galanya. Jadi, justru
kiamat itu akan terjadi apabila budaya Arab diidentikkan dengan Muslim. Itu sudah salah. Dan kalau kita
datang ke luar Jawa jangan mengidentikkan budaya
Jawa ini sama dengan budaya Sumatera. Biarlah budaya
Sumatera, budaya Melayu tumbuh dengan sendirinya,
biarlah budaya Jawa tumbuh dengan sendirinya.
Ini adalah suatu kesalahan. Kesalahan ini
direstrukturisasi dan direstui oleh sesuatu kekuatan, tapi
justru saya terima kasih, karena itu akan menimbulkan
khasanah baru yaitu menjadi suatu kerusakan, dan
apabila kerusakan terjadi itu seperti goro-goro (dalam
pewayangan). Setelah itu timbul gejolak yang sangat
tinggi lagi, maka rem-rem sidhem permanem, karena
ada sesuatu yang datangnya dari Allah dan akan
menenteramkan bangsa ini, setelah timbulnya huruhara yang besar. Jadi, apa-kah sekarang akan jadi huruhara yang besar, jawabnya ya, karena dari jangka
Joyoboyo dikatakan den kaya gabah diinteri. Jadi yang
bisa menenteramkan itu, yèn wong Jawa ketemu

jawané.

Pandangan tentang perlunya pemisahan budaya dari
agama juga tersirat dalam dialog Raja Prabu Brawijaya V dengan
pelayannya, Sabdo Palon. Dalam buku Ramalan Ghaib Sabdo

237

Jawa Menyiasati Globalisasi

Palon Noyo Genggong (Hardiyanto, 2007:67) disebutkan, ketika
itu Brawijaya V sudah berganti agama, dari Buda (Jawa) menjadi
Islam setelah diberi pengertian tentang agama Islam oleh Sunan
Kalijaga. Brawijaya V membujuk Sabdo Palon untuk memeluk
Islam juga, tapi pelayan ini tidak mau mengikuti ajakan
tersebut.
Sabdo Palon mengungkapkan, ”Paduka yektos,
manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buda,
turun paduka temtu apes, Jawi kantun jawan, Jawinipun
ical, remen nunut bangsa sanès.” (”Sungguh paduka, jika
sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda,
keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal jawan,
artinya hilang, suka ikut bangsa lain”). Sabdo Palon
meneruskan kata-katanya, ”Besok udara tanah Jawa
berubah, tambah panas, jarang hujan. Hasil bumi
berkurang, banyak orang suka menipu, berani bertindak
nista, hujan salah musim, membuat bingung para
petani.”

Ungkapan Sabdo Palon itu sekarang sudah menjadi
kenyataan. Jawa tinggal nama karena orang-orang Jawa tidak
lagi hidup berdasarkan nilai-nilai kejawaan (antara lain karena
pengaruh budaya asing yang dibawa agama-agama), manusia
Jawa lebih senang mengikuti budaya bangsa lain, iklim sudah
berubah (musim hujan kering, musim kemarau hujan), produksi
pertanian merosot (sampai mengimpor produk-produk pertanian), banyak orang yang senang menipu, bertindak nista.
Pandangan tentang pemisahan antara agama dan budaya
mirip dengan sikap Kiai Sadrakh yang menjadi Kristen (secara
agama) tapi tidak mau menjadi Belanda (secara budaya) dan
Sunan Kalijaga yang menjadi Islam (secara agama) tetapi tetap
Jawa (secara budaya). Meskipun demikian, dalam perkembangannya, selalu terjadi ”tarik-menarik” antara agama dan
budaya.
Perkembangan agama-agama dari luar, menurut penulis,
telah mengakibatkan sebagian besar manusia Jawa berpaling ke
238

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

budaya dan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan yang
dibawa oleh agama-agama tersebut. Kenyataan ini berbeda dari
kondisi beberapa puluh tahun silam.6
Cerita Ajisaka juga menggambarkan keberhasilan para
cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu menjadi
huruf Jawa, serta proses pemanfaatan Tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Sunan Kalijaga mentransformasikan agama Islam yang bernuansakan Arab kepada
orang-orang Jawa. Nuansa Islam yang (ketika itu) terasa asing
bagi orang Jawa diubah menjadi agama yang bisa diterima di
Jawa. Sunan menggali perbendaharaan spiritual Jawa dan
memadukannya dengan ajaran Islam, yaitu Ayat 255 Surat Al
Baqarah, dan menghasilkan tembang lima bait “Rumeksa ing
Wengi”. Intinya, sebagai mantra untuk perlindungan dari kejahatan di waktu malam (Achmad Chodjim, 2006).
Bait pertama syair tembang tersebut sebagai berikut:
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabèh
jim sétan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawé ala
6 Pada Abad XI misalnya, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah Raja
Airlangga yang memeluk agama Syiwa-Buddha; yaitu sinkretisme antara
agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Pada masa itulah, muncul gubahan
sastra keagamaan yang sangat terkenal, Ramayana dan Mahabharata dalam
bentuk puisi yang disebut serat kakawin. Pada masa Kerajaan Majapahit,
agama Syiwa-Buddha hidup berdampingan menjadi agama resmi negara.
Puncak kejayaan terjadi pada masa Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa
yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar berkembang pesat.
Kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur hinduismebuddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi, melainkan kebangkitan
kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan
India. Dalam konteks itu para budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha
mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan
mengembangkan kebudayaan Jawa (Simuh, 1999).

239

Jawa Menyiasati Globalisasi

gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna

Makna ungkapan itu adalah:
Ada kidung rumeksa ing wengi
Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit
Terbebas dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
guna-guna tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.

Komunikasi antara Islam dan budaya lokal Jawa kemudian
juga melahirkan berbagai kebiasaan khas yang dilakukan oleh
masyarakat, yang berbeda dari masyarakat Timur Tengah. Sebut
saja, misalnya, halalbihalal, mudik, dan tilik kubur. Sebelum ada
campur tangan misionaris Barat (Bambang Noorseno, 2003),
pengabaran Injil (agama Kristen) di Jawa yang relatif alamiah
tidak menimbulkan gejolak apa pun. Seperti Sunan Kalijaga
tidak perlu menjadi Arab meskipun memeluk Islam, para “kiai”
Kristen Jawa menerima agama Kristen tetapi menolak Belanda.
Kiai Tunggul Wulung tetap mempertahankan identitas Jawanya; begitu pula Kiai Sadrakh yang menyebut jamaahnya
sebagai pasamuwané wong Kristen mardika (jamaah Kristen
merdeka).
Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan
misionaris Barat. Kedekatan itu kemudian menuai kritik;
kemudian muncul istilah “Kristen Jawa” dan “Kristen Landa”,
untuk menyebut orang-orang Kristen yang tetap berbudaya
Jawa dan orang-orang Kristen yang kelanda-landaan. Pertemu240

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

an antara agama dan budaya selalu melahirkan “tarik-menarik,”
bahkan tidak jarang penyampuradukan antarkeduanya. Dari
sejarah, kita belajar bahwa orang Jawa pintar menyikapi “tarikmenarik” itu; maka muncul ungkapan-ungkapan budaya Jawa
lentur, luwes, fleksibel, sehingga agama apa pun bisa “dijawakan” (atau justru sebaliknya: justru Jawa yang “diagamakan”).
Tidak dapat dimungkiri, bahwa sejarah pun mencatat
muncul keresahan-keresahan ketika budaya menerima
pengaruh dari luar, baik karena masuknya agama, budaya,
maupun agama bersama-sama dengan budaya. Kenyataan itu
tidak hanya terjadi pada budaya Jawa karena pengaruh agamaagama, tapi juga pada masyarakat Eropa di Abad Pertengahan
dulu. Dominasi agama/gereja yang melakukan ekspansi ke
wilayah budaya, pada Abad Pertengahan itu, menimbulkan
berbagai reaksi. Salah satu reaksi itu adalah kehendak untuk
kembali kepada masa Romawi-Yunani kuna, mengembalikan
harkat kemanusiaan agar terlepas dari dominasi agama/gereja,
kemudian memunculkan gerakan-gerakan humanisme.
Globalisasi yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai
pemaksaan budaya Barat terhadap budaya-budaya lokal, juga
menimbulkan keresahan-keresahan. Masyarakat Indonesia sekarang ini sedang mengalami keresahan budaya semacam itu.
Sebuah gejala, yang sangat tidak menguntungkan bangsa ini.
Ibaratnya, bangsa ini sudah kehilangan pegangan, sehingga
arahnya tidak jelas, karena budaya adalah fondasi yang seharusnya kokoh dipertahankan sebagai modal untuk bersaing di
era global. Oleh sebab itu, penulis mendambakan, kebangkitan
agama-agama sekarang ini diimbangi oleh kebangkitan budayabudaya lokal, seperti pada masa Airlangga, Gajah Mada, Sunan
Kalijaga, dan Kiai Sadrakh.
Pemahaman tentang perlunya pemisahan antara agama
dan budaya tersebut melandasi gerakan Paguyuban Arso
241

Jawa Menyiasati Globalisasi

Tunggal, sehingga gerakan ini tidak pernah menyebut diri
sebagai gerakan agama, melainkan sebagai gerakan sosialbudaya. Gerakan sosial-budaya yang dimaksud adalah gerakan
yang menitikberatkan pada karya nyata yang bermanfaat bagi
masyarakat dan kajian-kajian budaya, melintasi sekat-sekat
agama. Dalam ranah empirik, hal itu dipraktikkan Arso Tunggal
dalam berbagai kegiatan yang tidak membeda-bedakan penganut agama. Itulah sebabnya, pasien yang berobat atau mitra
kerja paguyuban ini pun terdiri dari berbagai penganut agama.
Pemisahan antara budaya dan agama sangat sulit
dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah, hampir semua umat
beragama (terutama Islam dan Kristen) berkeyakinan bahwa
agama mereka adalah wahyu dari Tuhan, agama yang memang
dicipta oleh Tuhan, bebas dari campur tangan manusia.
Keyakinan itu mengakibatkan, umat beragama tidak dapat
memisahkan antara ajaran-ajaran agama yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan kebiasaan serta adat
istiadat manusia pada zaman ajaran-ajaran agama itu
berkembang.
Sebagian besar umat beragama memahami agamanya
secara tekstual (terbatas pada teks-teks yang mereka baca secara
harafiah dari kitab suci), tidak secara kontekstual (dengan mempertimbangkan budaya ketika teks-teks itu muncul). Pemahaman tekstual itu kemudian menyebabkan mereka tidak dapat
membedakan antara budaya dan agama. Sebagai contoh: umat
Islam menganggap jilbab adalah masalah agama, bukan budaya;
orang Kristen percaya bahwa nyanyian-nyanyian rohani merupakan masalah agama bukan budaya. Bahasa pun sering dianggap sebagai unsur agama, bukan budaya; misalnya kata
”Allah” diklaim sebagai milik agama Islam, kata ”Salam Sejahtera” diklaim sebagai milik agama Kristen. Pemahaman yang
rancu itu lalu melahirkan ungkapan-ungkapan khas tiap-tiap
242

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

pemeluk agama, misalnya orang Kristen tidak mau mengucapkan ”Salam,” melainkan ”Syalom,” orang Islam tidak mau mengucapkan ”Tuhan” tetapi ”Allah.”
Gejala tersebut makin menimbulkan terkotak-kotaknya
umat beragama. Oleh sebab itu, konflik-konflik yang muncul
dalam masyarakat selalu dikaitkan dengan faktor agama,
meskipun sebenarnya merupakan konflik budaya atau mungkin
konflik ekonomi.
Pemikiran tentang pemisahan antara budaya dan agama
adalah pemikiran yang idealis, karena kalau hal itu bisa diterapkan, maka akan mengurangi konflik-konflik sosial-budaya, yang
selama ini dipersepsi sebagai konflik agama. Hal itulah yang
oleh George Weigel (seperti dikutip Huntington, 2003) disebut
the unsecularization of the world sebagai salah satu faktor sosial
yang dominan dalam kehidupan akhir abad ke-21. Persaingan
antaragama (the revival of religion) menguatkan basis identitas
dan komitmen yang melampaui batas-batas nasional dan
mempersatukan peradaban-peradaban.
Ungkapan itu dapat dimaknai, bahwa persaingan
antaragama yang akhir-akhir ini menajam karena meningkatnya fundamentalisme agama-agama, justru akan memperkuat
dan mempersatukan budaya-budaya. Kalau demikian, maka
pemisahan antara budaya dan agama bukan sesuatu yang
mustahil, setidak-tidaknya umat manusia akan makin mengerti
hal-hal yang bersifat budaya tidak harus dikaitkan dengan
agama. Kalau pemahaman itu terjadi, maka bangsa Indonesia
tidak perlu terkotak-kotak oleh agama, karena sama-sama
berbudaya Indonesia.
Manusia-manusia Indonesia, apa pun agama yang mereka
anut, secara ideal bisa hidup dalam budaya umum (common
culture), yang oleh Huntington disebutkan telah mendorong

243

Jawa Menyiasati Globalisasi

ekspansi cepat hubungan ekonomi antara Republik Rakyat Cina
dan Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan komunitas Cina di
negara-negara Asia yang lain. Dengan berakhirnya Perang
Dingin, pening-katan komunalitas budaya mengalahkan perbedaan-perbedaan ideologi, sehingga Cina daratan dan Taiwan
pun bergerak menyatu. Bangsa Indonesia pun seharusnya bisa
menerapkan budaya umum itu dalam lingkup keindonesiaan,
sehingga tiap-tiap orang bisa berkata: ”Aku orang Indonesia,
yang berbudaya Indonesia, terlepas dari agama yang aku anut.”
Huntington mengungkapkan, dalam konflik kelas dan
ideologi, pertanyaan kuncinya adalah “Which side are you on?”
dan orang dapat memilih atau mengubah dirinya. Dalam
konflik peradaban, pertanyaannya “What are you on?”; sesuatu
yang given, tidak dapat diubah. Menghadapi pertanyaan ”What
are you on?” maka orang Jawa bisa menjawab tegas: ”I am
Javanese!” terlepas dari agama yang dianut, kelas sosial maupun
ideologi yang diyakini. Orang Jawa adalah bagian dari bangsa
Indonesia, maka jawaban itu pun bisa menjadi ”I am Indonesian!” Jawaban tersebut menggambarkan, bahwa seorang Jawa
adalah seorang yang hidup dengan nilai-nilai budaya Jawa, pada
saat yang bersamaan ia adalah bagian dari bangsa Indonesia
yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang dianut oleh
masyarakat Indonesia.
Pemisahan antara budaya dan agama, kalau dapat diterapkan, akan mengurangi kekhawatiran tentang meningkatnya
konflik justru karena kebangkitan agama-agama yang sekarang
terjadi. Kekhawatiran itu muncul karena kebangkitan agamaagama cenderung hanya terkonsentrasi pada masalah teologis,
mengabaikan masalah kemanusiaan.
Pentingnya agama yang peduli pada kemanusiaan itulah
yang pernah mendorong Auguste Comte (1789-1857), yang
dikenal sebagai bapak positivisme, bercita-cita mendirikan
244

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

“agama kemanusiaan.” Dalam benaknya, moralitas tertinggi
adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah abad
pertengahan digantinya dengan le Grand Etre, (Ada Agung),
yakni: Kemanusiaan (dengan huruf K besar!).
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte membagi
pengetahuan ke dalam tiga tahap, yaitu tahap teologis, metafisika, dan positif. Penahapan itu, menurut dia, sesuai dengan
perkembangan individu; masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa.
(Budi Hardiman, 2004: 206).
Lalu, apa kaitan “agama kemanusiaan” dengan kondisi
masa kini? Setidak-tidaknya ada tiga hal, yaitu:
1. Dalam konteks pemikiran Comte, manusia zaman
sekarang sedang menuju “masa kanak-kanak,”
kembali pada “masa teologis.” Masa ketika banyak
orang berlomba-lomba untuk menjadi “yang terdekat”
atau “yang terkasihi” oleh sesuatu kekuatan di luar
diri manusia, yang biasa dikenal sebagai Tuhan Yang
Maha Kuasa. Masa ini ditandai pula dengan
munculnya pemikiran yang ingin membawa agama
sebagai “pusat kekuasaan.” Masa itu diwarnai
kebangkitan agama-agama di hampir seluruh belahan
dunia. Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura,
vihara) penuh jemaah. Simbol-simbol agama; apa pun
agama itu, makin merebak. Meskipun belum pernah
menghitung, saya yakin jumlah pemakai jilbab pasti
bertambah banyak, begitu pula jumlah orang yang
mengenakan kalung bertanda salib, atau jumlah umat
Buddha, Hindu, dan Konghucu yang merasa lebih
leluasa memperlihatkan jatidiri mereka.
2. Manusia zaman sekarang juga sedang menggan-drungi
hal-hal yang berbau metafisik. Tanda-tandanya adalah

245

Jawa Menyiasati Globalisasi

banyak orang yang memercayai hal-hal di luar fakta
yang oleh Comte diyakini sebagai satu-satunya
kenyataan. Bagi pemikir kelahiran Montpellier,
Prancis ini, pengetahuan sejati hanyalah yang faktual,
maka ia menolak metafisika. Masa teologis dan masa
metafisik, menurut dia, adalah masa kanak-kanak dan
remaja dalam perkembangan individu. Jadi, masuk
akal kalau terjadi berbagai macam paradoks pada masa
kini. Misalnya, meskipun tempat ibadah penuh
jemaah dan banyak orang yang percaya pada hal-hal
metafisik, namun kebencian, kedengkian, caci-maki,
permusuhan, konflik, dan korupsi tetap terjadi.
3. “Agama kemanusiaan” mungkin bisa menjadi penyeimbang bagi kemajuan pesat “masa teologis” dan
"metafisik" sekarang ini. Bukankah keseimbangan
memang diperlukan dalam hidup manusia? Seperti
juga diajarkan di semua agama, selain menjalin
hubungan vertikal (dengan Tuhan) umat manusia juga
diwajibkan menjalin relasi horizontal yang baik
dengan sesamanya. Apa pun istilahnya, menurut
penulis, konsep Comte sangat menarik dan layak
direnungkan, terutama konsep bahwa cinta dan
pengabdian kepada kemanusiaan se-bagai moralitas
tertinggi. Bukankah semua agama juga meng-ajarkan
moralitas yang sama? Mana ada agama yang menganjurkan umatnya untuk tidak mencintai dan mengabdi
kepada kemanusiaan?
“Agama kemanusiaan” dapat ditafsirkan sebagai ajakan
kepada agama untuk membumi pada dunia manusia, untuk
melakukan sesuatu agar harkat hidup manusia makin hari makin
bertambah baik. Dari sinilah kesalehan seseorang dinilai, bukan
hanya dari rajinnya beribadah.
246

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

Dalam perspektif itulah, penulis mengkhawatirkan kebangkitan agama-agama hanya terkonsentrasi pada masalah
teologis (atau bahkan pengumpulan massa pengikut) dan mengabaikan masalah yang lebih membumi, yaitu kemanusiaan.
Penulis memimpikan, kebangkitan itu justru makin mendekatkan agama pada kehidupan sehari-hari dan pada kerja sama
kemasyarakatan antaragama. Para penganut agama bersatu
dalam sinergi cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan, memberi kontribusi nyata pada penanganan kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, konflik, korupsi, dan masalah kemanusiaan lain yang masih menjadi tantangan bersama.
Bagi penulis, semua agama adalah “agama kemanusiaan”
karena mengajari manusia untuk mengasihi sesama manusia
(siapa pun mereka) sebagai perwujudan cinta kasih Tuhan di
dunia ini. Dengan begitu, tesis Karl Marx bahwa “agama adalah
candu” terbantahkan.

Kesimpulan
Inti dari gerakan Arso Tunggal menyiasati globalisasi
adalah ngèli nanging ora kèli. Ungkapan tersebut menunjukkan
karakter budaya Jawa yang sinkretis; dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman, namun tidak terhanyut oleh arus
perkembangan zaman itu.
Gerakan Arso Tunggal menyiasati globalisasi, menurut
temuan penulis, melakukan kritik terhadap globalisasi, kritik
terhadap pemahaman budaya Jawa, kritik terhadap kerancuan
budaya dan agama. Kritik-kritik tersebut melengkapi pandangan-pandangan tentang globalisasi yang sudah ada.
Gerakan Arso Tunggal melengkapi tesis Mansour Fakih
(2001:223), yang mengidentifikasi gerakan tantangan terhadap
247

Jawa Menyiasati Globalisasi

globalisasi menjadi tiga, yaitu: Tantangan gerakan kultural dan
agama; tantangan dari gerakan sosial baru (new social
movement) dan masyarakat sipil global (global civil society);
serta tantangan gerakan lingkungan.
Paguyuban Arso Tunggal, lewat berbagai kegiatannya,
mengkritik pemahaman bahwa budaya Jawa hanya berhenti
pada ketenangan jiwa dan kearifan individu. Paguyuban ini
menekankan aspek tindakan nyata. Humanisme kejawèn harus
diaplikasikan pada tindakan nyata yang bermanfaat bagi
kemanusiaan dan lingkungan.
Dalam konteks pemikiran itu pula, Arso Tunggal
mengembangkan pemahaman perlunya pemisahan antara
budaya dan agama. Hal itu perlu dilakukan, agar pembangunan
sungguh-sungguh dilakukan dengan pendekatan budaya dan
manusia, terbebas dari kerancuan pemahaman relasi antara
budaya dan agama. Budaya diibaratkan bumi, agama diibaratkan
bulan yang menyinari bumi di malam hari, dan Tuhan Yang
Maha Kuasa diibaratkan matahari sebagai sumber cahaya yang
menyinari bulan dan bumi.

248