Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB VI

Bab Enam

Humanisme Arso Tunggal
dalam Praktik

Sarasehan dan Kegiatan Ritual
Rumah dua lantai di Jalan Bulusan Selatan Raya Nomor
111 Semarang itu berdiri kokoh di antara permukiman
penduduk. Itulah pusat kegiatan Arso Tunggal. Pada setiap
Rabu malam, di rumah itu diselenggarakan pertemuan anggota
paguyuban, dimulai sekitar pukul 23.00 WIB sampai pukul
02.00 WIB Kamis dinihari.
Pada setiap pertemuan, sekitar 15-20 anggota hadir.
Sebagian mengendarai sepeda motor, sebagian yang lain
mengendarai mobil. Mereka datang dari berbagai tempat di
Kota Semarang dan sekitar. Mereka saling memberi salam
dengan cara merapatkan telapak tangan kanan ke dada. Begitu
datang, mereka bersantai di atas tikar yang digelar di ruang
tengah atau duduk di ruang tamu, menonton televisi, minum
kopi atau teh, dan memperbincangkan berbagai hal, sambil
menunggu pendiri Arso Tunggal, Djoko Murwono.

Pada sekitar pukul 23.30 WIB Djoko Murwono datang,
memberi salam. Dia menanyakan keadaan orang-orang yang
sudah datang lebih dulu; tentang keluarga mereka, tentang
165

Jawa Menyiasati Globalisasi

kesehatan, dan tentang perkembangan kegiatan paguyuban.
Perbincangan pun kemudian berkembang pada berbagai hal,
terutama berkaitan dengan masalah budaya Jawa.
Berbagai macam topik perkembangan kehidupan masyarakat dibicarakan dalam pertemuan, yang disebut sebagai
sarasehan Reboan itu. Perkembangan aktual berkaitan dengan
masalah sosial, politik, agama, dan ekonomi – baik lokal,
nasional maupun internasional – dibahas dalam perspektif
budaya Jawa. Terjadi diskusi yang menarik dalam sarasehan
yang berlangsung hingga sekitar pukul 00.30 WIB.
Setelah itu, mereka bersama-sama naik ke lantai dua,
memasuki empat kamar yang ada. Di setiap kamar terdapat
peralatan berupa paku-paku kayu terdiri dari empat bagian.
Bagian pertama berukuran sekitar satu meter kali 30 sentimeter,

tiga bagian yang lain berukuran sekitar 30 sentimeter persegi.
Tinggi paku-paku kayu tersebut masing-masing sekitar lima
sentimeter. Bagian pertama disiapkan untuk menopang tubuh,
dua bagian lain untuk tangan, dan satu bagian lagi yang
dibungkus kain dipersiapkan sebagai alas kepala.
Di tiap-tiap kamar terdapat tiga alat tersebut, yang dijajarkan horizontal di lantai. Di bagian atas alat yang berada di
tengah terdapat alat yang melengkung, berada di bawah meja
yang dilengkapi dengan tiga lilin yang menyala.
Para anggota melepaskan sabuk, arloji, dompet, telepon
seluler, dan barang-barang lain yang melekat di tubuhnya,
sehingga hanya mengenakan baju dan celana. Mereka kemudian
berdoa menurut keyakinan mereka sendiri-sendiri. Setelah itu,
para anggota merebahkan tubuh di atas paku-paku kayu dan
melakukan meditasi. Bagi yang belum terbiasa, rebah di atas
paku-paku kayu itu membuat tubuh terasa sakit, terutama di
bagian belakang kepala.
166

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik


Proses meditasi tersebut berlangsung sampai sekitar pukul
01.00 WIB. Satu per satu anggota turun ke lantai bawah,
kembali memperbincangkan berbagai hal berkaitan dengan
kehidupan dan perkembangan kegiatan paguyuban. Diskusi
berlangsung sampai dengan pukul 02.00 WIB. Setelah itu,
mereka pulang ke rumah masing-masing.

Gambar 3: Kegiatan ritual Paguyuban Arso Tunggal

sumber: koleksi pribadi penulis

Itulah gambaran kegiatan sarasehan dan ritual yang
diterapkaan Arso Tunggal. Kegiatan ritual tersebut bertujuan
melatih anggota mengasah ketajaman hati nurani, dengan cara
167

Jawa Menyiasati Globalisasi

menenangkan dan mematikan pikiran; menghilangkan rasa
sakit. Proses itu mereka sebut ngraga sukma. Dengan rebah di

atas paku-paku kayu, anggota diuji tingkat ketahanan terhadap
rasa sakit. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, kalau
mereka bisa mengendalikan pikiran dan mempertajam hati
nurani (mati raga).

Ngraga sukma yang diterapkan Arso Tunggal berbeda dari
pengertian ngrogoh sukma yang dikenal di kalangan penganut
kebatinan. Ngrogoh sukma merupakan proses merogoh (mengambil) jiwa kemudian dikeluarkan dari badan, sehingga jiwa itu
bisa mengembara ke tempat-tempat lain, di luar badan. Proses
itu lalu membuat jiwa seseorang dapat melihat keadaan di
tempat lain. Di kalangan masyarakat Jawa, proses itu biasa
dikenal dengan terawangan (dari kata menerawang).
Berbeda dari ngrogoh sukma, maka ngraga sukma tidak
merogoh jiwa untuk mengembara, melainkan mengeksplorasi
jiwa untuk diragakan. Dengan kata lain, ngraga sukma adalah
meragakan jiwa. Jiwa harus dieksplorasi agar dapat memimpin
raga, sehingga hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh
keinginan-keinginan raga, melainkan dikendalikan oleh niat
dari dalam jiwa.
Proses ritual tersebut merupakan tahapan mencari

keheningan dengan cara menenangkan pikiran (ening cipta
sarana neng). Ada proses transendensi, yang membuat tubuh
tidak merasa sakit meskipun dicocok oleh paku-paku kayu.
Ritual tersebut dilakukan untuk mengasah niat yang tulus
dari hati nurani (krenteging ati). Terdapat lima hal penting
dalam krenteging ati, yaitu madhep, mantep, sabar, tatag,
sumèh. Suara hati bisa diterapkan dengan lima hal tersebut.

Madheb ngersaning Pangeran, mantep ngugemi dhawuhing
Pangeran, sabar menjalani hidup dan tidak tergoyahkan, serta
168

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

banyak tersenyum dalam menghadapi sesuatu yang terjadi.
Makna tatag adalah apa pun yang terjadi manusia harus tidak
tergoyahkan.
Ritual itu juga membimbing anggota untuk meningkatkan kualitas sebagai manusia dalam perspektif Jawa. Tingkatan
kualitas manusia Jawa yang dikembangkan Arso Tunggal adalah
satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinandhita, ratu ratuning pinandhita. Tingkatan tertinggi, yaitu ratu

ratuning pinandhita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun
tataran paling dasar adalah berbuat secara kesatria.
Untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut, manusia
tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan, melainkan juga
kearifan, harus bisa menjadi sumur tinimba, seperti samudera
yang menampung semua aliran air dari berbagai macam sungai.
Meskipun demikian, manusia tidak mungkin sampai pada
tataran kelima yaitu ratu ratuning pinandhita.
Lewat ritual yang dilakukan, anggota Arso Tunggal belajar meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Filosofinya
adalah: urip iku ora karana bandha; bandha mung srananing

urip. Yèn bandha ora kanggonan nyawa, yèn nyawa mesthi ana
bandhané soalé manungsa urip (Hidup itu bukan karena hartabenda. Dalam harta tidak ada nyawa, tapi di dalam nyawa pasti
ada harta, karena manusia hidup. Kalau kita hidup pasti diberi
sarana untuk hidup).

Yèn kowé kepingin mangan, aja mangan, yèn kowé
kepingin ngombé aja ngombé. Ning yèn kowé kepingin
mangan-ngombé, mangana lan ngombéya amarga kowé urip.
Makna ungkapan itu adalah, “hidup bukan untuk makan, melainkan makan untuk hidup.” Itulah ajaran tentang pengendalian diri, seperti “yèn pingin nesu menenga, yèn pingin

ngenengké wong sapanen kanthi alus. (Kalau kita ingin marah
169

Jawa Menyiasati Globalisasi

diamlah, kalau ingin mendiamkan orang maka sapalah orang itu
secara halus).
Dalam berbagai pertemuan Reboan, sering dibahas
tentang nilai-nilai melayani, bahwa manusia itu harus ngemong. Tuhan tidak melarang manusia untuk berbuat sesuatu,
melainkan memberikan aturan atau batasan (wewaler).
Dalam bahasa Jawa ajaran itu diungkapkan “beja cilaka
kuwi ana ing badan priyangga. Pilihan ana ing manungsa
piyambak.” Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada
diri manusia sendiri, Tuhan hanya memberikan pilihan dan
rambu-rambu.
Di sinilah terletak makna humanisme yang dikembangkan
Arso Tunggal, yaitu manusia sebagai makhluk hidup yang
memiliki kemandirian untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam menentukan nasib, manusia selalu disinari oleh cahaya
yang berasal dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Pemahaman itu dikembangkan melalui ritual dengan cara
berusaha menghilangkan rasa sakit terkena paku kayu. Anggota
Arso Tunggal diberi pilihan, mampu menghilangkan rasa sakit
dengan menangkal pikiran dan mengeksplorasi niat tulus dalam
hati atau tetap menempatkan pikiran sebagai “panglima.”
Proses ritual juga membimbing anggota paguyuban untuk
menerapkan filosofi urip kaya banyu mili, kaya angin

tumiup/sumilir, kaya srengéngé sumunar, kaya sumunaré sang
bagaskara. Makna ungkapan tersebut adalah, hidup ibarat air
yang mengalir, angin yang berhembus, matahari yang bersinar.
Dalam paguyuban dikembangkan ajaran, bahwa untuk
mencapai tujuan, manusia harus melalui proses yang memang
harus dilalui. Karena itu, Arso Tunggal tidak menekankan pada

170

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

target. Bagi Arso Tunggal, target itu didasari oleh pemikiran

manajemen Barat, padahal manajemen hanya alat, manusia
tidak boleh dikooptasi oleh manajemen. Manajemen bukan raja
karena raja yang sesungguhnya adalah diri manusia sendiri.
Pemahaman itu mencerminkan, bahwa manusia sebaiknya tidak menghendaki sesuatu terjadi secara cepat, tidak
tergesa-gesa, sesuatu harus dijalani dengan teliti dan waspada.
Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah alon-alon

waton kelakon, aja grusa-grusu, aja kebat kliwat, sabar, éling,
lan waspada. (pelan-pelan tapi terlaksana, jangan tergesa-gesa,
jangan ingin bahwa sesuatu pasti bisa terjadi secara cepat, sabar,
selalu ingat kepada Tuhan, dan waspada).
Ungkapan lain yang bermakna sama adalah grematgremet waton slamet, yang berarti bahwa suatu pekerjaan
sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, seksama, tekun, sesuai
aturan yang benar. Titik berat dua ungkapan itu terletak pada
kelakon dan slamet (terlaksana dan selamat sampai tujuan),
bukan pada lamban.
Mengejar pencapaian kehendak dengan segala cara yang
cepat dipengaruhi oleh pola pikir management by objective
yang berkembang di dalam manajemen Barat. Dalam konteks
budaya Jawa, maka sebenarnya management by objective itu

kurang cocok, karena pola pikir Jawa lebih bersifat management
by process, bahwa segala sesuatu sebaiknya dilakukan melalui
proses yang benar. Proses tersebut akan menentukan tujuan;
kalau proses baik maka tujuan akan tercapai dengan baik, kalau
proses tidak baik, maka tujuan pun tidak akan tercapai dengan
baik.
Kegiatan nyata Arso Tunggal mencerminkan keseimbangan antara management by objective dan management by

171

Jawa Menyiasati Globalisasi

process. Kegiatan yang dilakukan selalu berorientasi pada tujuan
atau hasil, namun fokus pada proses yang dijalani.
Proses ritual yang diterapkan oleh Paguyuban Arso
Tunggal berintikan empat tahapan, yaitu: krenteg-karep-karsakarya. Empat tahapan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Krenteg merupakan niat mendalam yang berasal dari jiwa
manusia. Untuk merasakan dan memahami krenteg, maka
manusia harus dapat “mematikan” pikiran. Otak harus diistirahatkan, sehingga ketika otak tidak bekerja maka manusia dapat

merasakan getaran-getaran jiwa. Ketika otak tidak bekerja,
maka manusia akan “berziarah” ke dalam jiwanya sendiri. Ada
proses transformasi dari otak ke jiwa.
Nilai-nilai ajaran yang melandasi proses itu adalah, bahwa
hidup manusia harus dipimpin oleh jiwa, bukan oleh pikiran.
Menurut ajaran Arso Tunggal, jiwa itu menenteramkan, adapun
pikiran menyebabkan ketidaktenangan. Jiwa meneduhkan,
pikiran tidak berujung pangkal. Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah: sak dawa-dawané lurung, isih dawa
gurung (sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang pikiran).
Ungkapan itu menunjukkan, bahwa pikiran tidak pernah berujung, membuat manusia tidak pernah puas, mengejar sesuatu
tanpa batas dan belum pasti.

Karep adalah kehendak yang berasal dari otak manusia.
Karena berasal dari otak, maka karep juga tidak berujung
pangkal, menggambarkan keinginan manusia yang tidak pernah
habis, tidak pernah puas. Oleh sebab itu, karep harus dikelola
dengan cara menariknya ke dalam jiwa, sehingga hidup manusia
tidak lagi dipimpin oleh kehendak yang tak pernah habis itu,
melainkan dikomandani oleh krenteg yang berasal dari jiwa.
Karsa adalah niat untuk melakukan suatu tindakan. Niat
tersebut didorong oleh karep atau krenteg. Kalau hanya
172

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

didasarkan oleh karep, maka karsa hanya muncul dari
keinginan otak saja, namun kalau dilandasi oleh krenteg maka
selain didorong oleh pikiran, karsa juga digerakkan oleh jiwa.
Adapun karya merupakan aplikasi dari karsa, tidak lagi
hanya berwujud keinginan, melainkan sudah berupa tindakan
nyata. Karya itulah yang juga sering disebut sebagai pakarti,
yaitu buah dari proses krenteg, karep, dan karsa.
Ritual yang dilakukan mengajarkan kepada para anggota
paguyuban untuk dapat mendengar dan memahami krenteg,
membedakannya dari karep. Tujuannya, kalau seseorang dapat
memahami krenteg, maka ia dapat pula menggunakannya
sebagai landasan hidup sehari-hari. Niat untuk melakukan suatu
tindakan benar-benar didasarkan pada niat yang berasal dari
jiwa, bukan sekadar karep yang muncul dari otak.
Dalam suatu sarasehan Reboan, dibahas bahwa saat ini
kebanyakan manusia lebih mengandalkan akal pikiran (rasional), berarti mementingkan karep. Dalam ungkapan Jawa
dikatakan: luwih gedhé karepé katimbang krentegé. Karena
begitu besar kehendak otak, maka orang kemudian mengejar
(dengan segala cara) kehendak tersebut. Dalam bahasa Jawa hal
itu disebut sebagai penggayuh diyu (keinginan yang buta), yang
mendorong orang lupa akan sangkan paraning dumadi, yang
digambarkan dengan ungkapan mélék anggéndhong lali
(keinginan mengakibatkan lupa).
Pada era globalisasi sekarang, kebanyakan orang terlalu
mengandalkan akal. Karena terlalu mengandalkan akal, maka
banyak orang yang dalam tindakannya cenderung mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan, mengakibatkan kemerosotan martabat
kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia harus kembali ke
krenteg, yang tidak berasal dari pikiran melainkan dari jiwa
untuk melandasi tindakan nyata (pakarti). Krenteg harus keluar
173

Jawa Menyiasati Globalisasi

dulu dari jiwa, kemudian menjadi karep, lalu karep itu
dikembangkan menjadi karsa (niat untuk melakukan suatu
tindakan), diaplikasikan menjadi karya.
Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman,
bahwa pakarti dilandasi oleh keberanian berkarya dalam
konteks budaya. Di dalam budaya terdapat ilmu pengetahuan,
teknologi, tata hidup, dan pola tindakan. Humanisme harus
dinyatakan dalam karya, bukan hanya berhenti pada krenteg
atau karep. Karena itu, Arso Tunggal melakukan karya-karya
nyata, yang disebut sebagai “proses memodernisasi kearifan
lokal Jawa.” Karya tersebut berupa penemuan obat-obat yang
dilandasi kearifan lokal Jawa yang sudah hampir punah dan
pengembangan varietas-varietas lokal dalam pertanian organik.
Jadi, pakarti adalah aplikasi. Olah pikir diabdikan ke olah
rasa, sehingga menghasilkan karsa lan karya. Rasa yang dipikir
menjadi karsa. Proses itu disebut manunggaling rasa lan karsa
(menyatunya jiwa dan kehendak untuk berbuat).

Olah rasa (yang sering dilakukan oleh penganut perkumpulan kebatinan) sesungguhnya tidak bisa hanya dirasakan,
dilestarikan (diuri-uri), melainkan harus “diangkat” ke dalam
olah pikir, sehingga menghasilkan karya nyata. Paguyuban Arso
Tunggal berpijak pada keseimbangan olah rasa dan olah pikir
tersebut untuk mengembangkan gerakan-gerakan kemanusiaan.
Keseimbangan itu tercermin dari penelitian-penelitian ilmiah
yang didasari kearifan-kearifan lokal Jawa yang kemudian
menghasilkan obat-obatan dan pertanian organik.
Dalam berbagai diskusi Reboan disebutkan, bahwa tidak
berkembangnya budaya Jawa dalam konteks kemajuan zaman
saat ini karena kebanyakan orang Jawa hanya berhenti pada
olah rasa, tidak mengembangkannya ke dalam olah pikir; hanya
berhenti di krenteg, tidak berkembang ke karep, karsa, dan
174

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

karya. Itulah sebabnya, “modernisasi Jawa” adalah menerjemahkan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam karya nyata yang mampu
menjawab tantangan zaman, yang bermanfaat bagi masyarakat
masa kini.
Penulis menemukan perbedaan antara pendekatan yang
dilakukan Arso Tunggal dan pendekatan yang berkembang
dalam komunitas-komunitas kebatinan. Arso Tunggal justru
menarik niat dalam jiwa ke kehendak dalam otak kemudian
diaplikasikan ke dalam karya nyata, adapun komunitas kebatinan lebih menarik niat dalam jiwa ke arah lebih dalam lagi, yaitu
rohani. Perbedaan itu menyebabkan perbedaan hasil, Arso
Tunggal menghasilkan karya nyata (kemanusiaan), adapun
gerakan kebatinan menghasilkan spiritualitas (ketuhanan). Hal
tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
rohani

jiwa

komunitas kebatinan

pikiran

karya

Paguyuban Arso Tunggal

Humanisme Arso Tunggal
Proses krenteg-karep-karsa-karya merupakan perwujudan
dari pemahaman tentang humanisme kejawèn. Perbedaan
antara humanisme kejawèn (dijelaskan dalam Bab Empat) dan
humanisme yang dipahami oleh Arso Tunggal terletak pada
perbedaan antara laku dan pakarti. Humanisme kejawèn
bermuara pada laku, adapun humanisme yang dikembangkan
paguyuban ini menghasilkan pakarti.
Berbeda dari laku, pakarti tidak hanya merupakan olah
rasa, melainkan olah rasa yang dipadukan dengan olah pikir,
diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Dalam pakarti sudah
175

Jawa Menyiasati Globalisasi

terjadi sinergitas antara olah rasa dan olah pikir, sehingga
humanisme tidak berhenti sekadar sebagai pengertian, melainkan terwujud dalam tindakan nyata.
Proses sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula
lan Gusti, laku, dan pakarti digambarkan sebagai purwa, madya,
wusana atau awal, tengah, dan akhir. Purwa itu rasa, madya itu
pikiran, dan wusana itu karya. Di dalam rasa terdapat krenteg,
di dalam pikiran terdapat karep, dan di dalam karya terdapat
tindakan-tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia
dan lingkungan. Purwa, madya, wusana adalah proses kehidupan manusia. Putaran itu makin lama makin besar. Manusia tidak
dapat hanya mengandalkan rasa, melainkan harus pula dengan
pikiran; harus ada keseimbangan antara niat dan kehendak
untuk memperbesar putaran tersebut.
Pengertian sangkan paraning dumadi yang dikembangkan
Arso Tunggal adalah, bahwa meskipun manusia memiliki
otoritas untuk memilih tindakannya sendiri, namun mereka
tetap disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun,
manusia adalah makhluk yang berasal dan akan kembali kepada
Yang Maha Kuasa.
Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti yang
dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa jiwa manusia
merupakan singgasana Allah, jiwa manusia merupakan percikan
sukma Allah Yang Maha Besar. Jadi, jiwa itu abadi, raga hanya
berasal dari tanah, bersifat rendah (asor). Jiwa dimasukkan ke
raga, agar raga itu bisa tertata. Dalam pengertian ini, maka
manunggaling kawula lan Gusti berarti menyatunya jiwa dan
raga, menyatunya krenteg dan karep.
Ungkapan Jawa yang menggambarkan tuntunan jiwa itu
adalah golèka pener ning ya golèk bener. Bener (benar) ada di
dalam kepala, adapun pener (tepat, sesuai) ada di dalam jiwa
176

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

manusia. Bener belum tentu bisa menenteramkan raga, tapi
pener akan menenteramkan jiwa. Orang yang terlalu banyak
berpikir menjadi susah tidur, tapi orang yang menyerahkan
hidupnya pada kejernihan jiwa akan mampu mengendalikan
diri. Hal itulah yang membedakan antara krenteg dan karep;
karena krenteg berasal dari hati, adapun karep muncul dari
pikiran.1
Arso Tunggal menitikberatkan gerakannya pada pakarti.
Kata pakarti mengacu pada penerjemahan laku, tidak berhenti
pada pengertian atau sekadar olah rasa, tetapi teraplikasi ke
dalam karya nyata. Dengan kata lain, pakarti merupakan syarat
untuk menerjemahkan pengertian tentang sangkan paraning
dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, sering pula disebut
sebagai srananing ngaurip.
Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengembangkan,
memodernisasikan pemahaman-pemahaman kejawèn, dengan
cara memadukan rasa dan otak (pikiran). Jadi, sangkan paraning
dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti tidak berhenti di
olah rasa saja atau olah pikir saja, melainkan harus diaplikasikan
dalam karya, sehingga bermanfaat bagi orang banyak.

1 Djoko menjelaskan: “Yèn aku wis ngomong bener mungguhing uripku,
aku sejatiné wis ora pener mungguhing uripku, nanging yèn aku ora tau
ngomong bener mungguhing uripku, kuwi berarti wis pener. Yèn kowé
ngomong salah mungguhing wong, sak beneré ing jroning atimu kuwi
panggonan ingkang salah, awit bener lan salah kuwi ana ing pikiranmu, pener
lan ora pener kuwi ana ing sajroning atimu. Golèka peneré atimu, katimbang
bener lan salahing pikiranmu,” katanya. (“Kalau saya sudah bicara bahwa
hidup saya benar, sesungguhnya hidup saya tidak pener, tapi kalau saya tidak
pernah bicara bahwa hidup saya benar, itu berarti saya sudah pener. Kalau

kamu bicara bahwa orang lain bersalah, maka sesungguhnya di dalam hatimu
itu tersimpan sesuatu yang salah, karena benar dan salah itu ada dalam
pikiranmu, pener dan tidak pener ada di dalam hatimu. Maka, carilah pener
dalam hatimu daripada benar dan salah dalam pikiranmu”).

177

Jawa Menyiasati Globalisasi

Supaya hal itu dapat terwujud, manusia harus melakukan
eningé cipta sarana neng; cipta dieningké, diendapkan dulu.
Kalau sudah mengendap (menep), maka manusia akan
mendengarkan suara Allah. Proses pengendapan itu menyebabkan orang Jawa berpola pikir inward looking; selalu
melihat ke dalam dirinya sendiri lebih dulu ketika merespons
suatu realitas. Manusia Jawa yang benar-benar memahami
kejawaannya, tidak berhenti pada “romantisme melihat ke
dalam” (proses pengendapan), melainkan setelah itu harus
melakukan tindakan nyata (karya).
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat, bahwa gerakan
Arso Tunggal dilandasi oleh pemahaman tentang humanisme
kejawèn. Pemahaman itu kemudian dikembangkan menjadi humanisme yang bermuara pada tindakan nyata, bukan sekadar
ketenangan jiwa dan kearifan individu. Humanisme yang
dikembangkan itulah, yang menurut oleh penulis disebut
humanisme Arso Tunggal.
Argumentasi yang melandasi penyebutan humanisme
Arso Tunggal adalah:
1. Paguyuban Arso Tunggal menempatkan manusia pada
posisi yang menentukan, meskipun tetap berada dalam cahaya ilahi. Tuhan hanya menyinari kehidupan
manusia, memberikan rambu-rambu, adapun pilihanpilihan tindakan ada di tangan manusia sendiri.
2. Paguyuban Arso Tunggal melandasi kegiatankegiatannya dengan tiga inti ajaran Jawa yang dikembangkan menjadi tindakan nyata, yaitu: sangkan

paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti,
laku, dan pakarti. Hal itu membedakan pemahaman
Arso Tunggal dari pemahaman Jawa pada umumnya,

178

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

yang menitik-beratkan pada laku, yaitu olah rasa yang
menghasilkan ketenangan jiwa dan kearifan individu.
Dalam konteks pemikiran krenteg-karep-karsa-karya, Arso Tunggal mengembangkan kegiatan-kegiatan nyata. Kren-teg
(mencerminkan penghayatan atas sangkan paraning dumadi)
mendorong timbulnya karep dan karsa (mencerminkan manunggaling kawula Gusti), dan keseimbangan antara krenteg
dan karep itu diwujudkan dalam pakarti.
Proses tersebut dipraktikkan oleh Arso Tunggal dalam
bidang pengobatan dan pertanian. Pengobatan alternatif
merupakan penerapan kasih terhadap sesama manusia yang
membutuhkan kesembuhan dari penyakit, pertanian alternatif
merupakan penerapan semangat membantu para petani untuk
maju, mandiri, berdaya saing, dan menjadi tuan rumah di negeri
sendiri.
Tiga inti ajaran humanisme kejawèn yang kemudian
dikembangkan itulah, yang menurut penulis, menjadi landasan
gerakan Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian. Humanisme yang menghasilkan pakarti, yang kemudian disebut
oleh paguyuban ini sebagai “memodernisasikan Jawa” adalah
bentuk nyata gerakan berbasis humanisme kejawèn, mengangkat kearifan lokal Jawa, agar dapat mengikuti perkembangan
zaman.

Pengobatan
Arso Tunggal memodernisasikan kearifan lokal Jawa
dalam bentuk pengembangan pengobatan tradisional Jawa;

179

Jawa Menyiasati Globalisasi

antara lain tuma (kutu) dan pisang emas untuk mengobati
penyakit hepatitis.2
Konsep pengobatan dengan kutu dan pisang emas itu
dikembangkan bekerja sama dengan pihak Jepang, kemudian
menghasilkan interveron (obat untuk penderita hepatitis).
Penemuan formulasi interveron berawal dari penelitian Djoko
Murwono tentang pengobatan Jawa dengan kutu dan pisang
emas. Penelitian awal itu ia lakukan tahun 1985, hasilnya ia
tawarkan ke seniornya satu almamater (UGM), tapi tidak mendapat tanggapan positif.
“Bahkan, hasil penelitian saya tentang tuma dan
pisang emas itu dianggap gugon tuhon, saya dianggap
paranormal. Hasil penelitian saya itu malah dibuang ke
tempat sampah, lalu saya ambil dan saya opèni lagi.
Karena Indonesia tidak mau, ya saya jual ke pihak
Jepang, waktu itu melalui perusahaan rokok Gudang
Garam yang memang memiliki relasi dengan perusahaan Sumitomo, Jepang,” kata Djoko.

Interveron mulai diproduksi secara massal di Jepang
tahun 1992, setelah melalui uji coba pada hewan dan manusia.
Setelah itu, pihak Sumitomo menawari kepada dia untuk melakukan berbagai macam penelitian untuk dipilih dan dikembangkan di Jepang. Sejak saat itu, Djoko Murwono melakukan
berbagai penelitian. Sampai saat ini, dia sudah menghasilkan 60
formulasi obat bio fito farmaka, selain sarana produksi pertanian.
Secara resmi hak paten obat-obat tersebut dimiliki oleh
Jepang, namun formulasinya hasil karya Djoko Murwono. Dia
2 Pengalaman penulis: dulu sewaktu masih kecil, kalau mengidap sakit
kuning (hati) oleh orang tua diminta makan tujuh kutu yang dimasukkan ke
dalam pisang emas.

180

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

mendapatkan jasa produksi. Hasil karya itu didorong oleh
semangat memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mendapatkan obat-obat dengan harga murah.3
Arso Tunggal bisa menjual obat-obat dengan harga yang
sangat murah dibandingkan dengan harga umum, karena Djoko
Murwono memberikan subsidi lewat jasa produksi yang dia
peroleh. Sebanyak 90 persen dari seluruh jasa produksi yang
seharusnya dia peroleh diberikan untuk kesejahteraan di bidang
sosial dan kesehatan internasional (international social and
health welfare) yang dikelola Sumitomo Group. Subsidi tersebut
antara lain disalurkan lewat United Nations High Commissioner
for Refugees (UNHCR), organisasi internasional untuk masalah
pengungsi, dan yang lebih besar lagi lewat World Health
Organization (WHO), organisasi PBB di bidang kesehatan.
Djoko juga memberikan subsidi yang diambil dari tiga
persen jasa produksi untuk pendidikan generasi muda caloncalon pemimpin di Asia Pasifik melalui perguruan tinggi di
Jepang, yaitu Sofia University dan Hiroshima University. Berikut ini kutipan wawancara penulis dengan Djoko Murwono:
Bagaimana sebenarnya mekanisme pemberian
royalty untuk Pak Djoko? Itu urusan Jepang mas. Saya
tidak mau tahu, karena kalau saya tahu malah jadi
beban moral saya. Lebih baik saya tidak tahu.”

Kalau semua royalty diterima, kira-kira berapa
jumlahnya? Ya, hitung saja, misalnya interveron itu per
mg harganya 10 dolar AS. Sekarang produksinya Jepang
satu minggu sekitar 3 kwintal (atau 300 kg, atau 300
juta mg), hitung saja berapa… Untuk BIDJEVIC (Bio

Immunity Development for Japanese Virus and Cancer
3

Sebagai contoh, harga umum satu kapsul interveron sekitar Rp 450.000,
tapi Arso Tunggal menjualnya hanya Rp 2.500 per kapsul dengan nama BCSH
atau Bio Cythostatica Syndrome Hepar; harga obat untuk penyakit jantung
formulasi paguyuban ini di apotek 75 mg Rp 35.000 per kapsul, di Arso
Tunggal 150 mg hanya Rp 1.500.

181

Jawa Menyiasati Globalisasi

Effect), produksi 4 kwintal per hari, tinggal hitung saja
dikalikan Rp 300.000. Tapi, saya tidak mau menghitung, nanti kejebak pada uang.
Mengapa Pak Djoko tidak ambil seratus persen
royalty itu? Sebenarnya saya bisa ambil seratus persen,
tapi itu bukan nurani saya. Kalau saya sampai
melanggar itu, saya terbelenggu uang. Saya hanya
terima 5.000 dolar per bulan, itu pun banyak untuk
nomboki kegiatan Arso Tunggal. Setahun ‘buku merah’
(daftar pasien yang menunggak memba-yar obat di
Arso Tunggal) sampai Rp 150 juta… Itu harus dibayar.
Ya, saya yang harus bayar. Uang royalty itu saya terima
sebagai inspecstion fee, bukan dengan nama royalty.
Harga Nopkor misalnya, Rp 180.000 per liter,
harga internasional 18 dolar per liter, di Indonesia
dijual 8 dolar per liter, nah selisih harga itulah subsidi
saya. Ini jangkanya sampai 2015. Begitu pula dengan
obat-obatan dan sarana produksi pertanian yang lain,
saya memberikan subsidi lewat Sumitomo. Tidak lewat
pemerintah Indonesia, karena ini bukan government to
government (G to G), tapi P to P (person to person).
Kalau lewat pemerintah, bocornya kakéhan.
Kegiatan kami diaudit oleh lembaga internasional
Black Forest Rangers, organisasi yang dulunya termasuk
Kelompok Roma (Club of Rome), tapi yang khusus
mencari dana. Obat-obat tersebut diproduksi di
Indonesia dalam bentuk kapsul dengan mikroba yang
didatangkan dari Jepang, disalurkan untuk pengobatan
oleh Arso Tunggal melalui perkumpulan pengobatan
Hati Kudus.4
4 Mengenai Hati Kudus, Djoko menjelaskan: Hati Kudus mulai 1984.
Organisasi formalnya ya Arso Tunggal, yang diakui negara. Tidak ada
paguyuban Hati Kudus, namun nama internasionalnya Hati Kudus, Holy Core.
Gerakannya sekarang masih ada di Belanda dan Jepang, tapi pantauannya
sulit. Yang mendirikan Hati Kudus? Ya, saya. Sekarang masih ada juga di
Nederland dan Jepang. Untuk wilayah Pasifik yang mengendalikan Jepang,
untuk wilayah Eropa dikendalikan Belanda. Kaitan Hati Kudus dengan Asoka,
yang mengelola obat-obatan dari Jepang itu? Kebetulan saya ada hubungan
dengan Sumitomo. Sifatnya otonomi. Pendanaan di Eropa mandiri, di Jepang
mandiri. Konsep yang didanai Jepang hanya yang berkaitan dengan negara
sedang berkembang. Pusat Hati Kudus, secara formal ya di Indonesia,
pendirinya saya. Di tempat kami, tidak ada pimpinan. Jepang punya
bentangan sampai di Amerika Latin. Kaitannya mata rantai otonomi. Mungkin

182

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

Stansol misalnya, minuman penambah nutrisi
untuk kesehatan. Minuman ini diproduksi dengan
bahan-bahan baku lokal, yaitu akar alang-alang,
wimbo, kunir putih, temu lawak, minyak bawang
putih, minyak wijen, minyak yaitun, bio ATP,
pinicilium, rhizopus, galaktosa, arabinosa, manosa,
polen, vitamin A, D, E, C, dan B, serta sukrosa, dan
glukosa.

Di Asia Tenggara, distribusi obat-obat bio fito farmaka
(dan juga industri agro yang dikembangkan Jepang) diawasi
oleh UD Asoka, yang dipimpin Ny. Djoko Murwono. Selain di
Semarang, pos pengobatan Arso Tunggal juga ada di Sorong,
Nabire, Jayapura (Papua), dan Ketapang (Kalimantan Barat).
Untuk pos-pos di luar Jawa tersebut, administrasi keuangannya
mulai ditangani oleh Asoka, bukan lagi di bawah Arso Tunggal.
Obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang proses
pembuatannya melalui rekayasa bio teknologi berbahan baku
herbal. Ramuan-ramuan herbal diekstraksi, hasilnya disebut
fito. Fito diekstraksi lagi dengan mikro organisme, hasilnya
disebut bio.
Djoko menjelaskan, dari satu kilogram ramuan herbal
diekstraksi menjadi 12,5 gram fito farmaka, kemudian
diekstraksi lagi (dibagi 30), menjadi kira-kira 450 miligram. Jadi,
kalau seseorang minum tiga kapsul obat bio fito farmaka sama
Hati Kudus Jepang sudah penetrasi ke Cina, Tibet, India, tapi kendalinya tetap
di Jepang, Tapi, saya tidak perlu tahu itu. Pertama kali mereka menginduk di
sini, sekitar tahun 1983-1984. Karena otonomi mereka bisa fleksibel, kalau
masuk ke negara restriktif, seperti Cina misalnya, jadi organisasi tanpa bentuk.
Kontaknya lewat Jepang. Saya tidak mau tahu, bagi saya besarnya organisasi
bukan karena rekayasa, tapi karena karyanya. Apakah Jepang salah
menangkap ide saya dan apa saya salah kalau mengembangkan ide ini ke luar
negeri karena di dalam negeri tidak dihargai? Apa sebagai manusia Jawa saya
salah? Apakah itu berarti saya tidak nasionalis? Kalau saya dikatakan tidak
nasionalis, tolong sebutkan siapa yang menyebut dirinya sebagai nasionalis itu
pernah memberikan sesuatu pada bangsanya selain korupsi…

183

Jawa Menyiasati Globalisasi

dengan meminum sekitar satu kg ramuan jamu. Rumusnya, satu
kg ramuan herbal dibagi 80 menjadi fito, kalau dibagi lagi 40
menjadi bio. Kalau bio itu diekstraksi lagi menjadi cairan untuk
injeksi. Kelebihan obat bio fito farmaka adalah lebih aman bagi
tubuh manusia.
Penjelasan metabolisme sebagai berikut: obat yang
diminum manusia, diserap oleh zat aktif mikroba dalam usus,
mikrobanya mati, sel-selnya pecah, dan diserap dinding usus,
sehingga akan memengaruhi ketahanan usus manusia. Dalam
teknologi bio fito farmaka, metabolisme itu dilakukan di luar
tubuh manusia (disebut secara infitro); bahan aktif dicampur
dengan makanan mikroba usus, sehingga mikroba berkembang
biak di luar tubuh manusia. Sel-sel mikroba tersebut dituai,
dikumpulkan, difragmasi, kemudian dimasukkan membran (disaring), hasil saringan pertama adalah obat-obat oral (diminum),
adapun hasil saringan kedua menjadi obat cair untuk injeksi.
Dengan proses infitro, bisa diketahui lebih dulu apakah
obat-obat itu menyebabkan mikroba mati atau tidak, dengan
kata lain dapat diketahui obat itu layak atau tidak dikonsumsi
manusia. Jadi, obat bio fito farmaka lebih aman dibanding
dengan obat-obat kimia, terlebih lagi obat-obat kimia biasanya
juga mengandung logam berat.
Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa obat-obat bio
fito farmaka adalah obat-obat yang aman bagi usus, karena tidak
mematikan mikroba yang justru bermanfaat bagi kesehatan
manusia. Karena tidak mematikan mikroba itu, maka daya
tahan usus tidak terganggu. Di sinilah terletak perbedaan antara
obat-obat bio fito farmaka dan obat-obat kimiawi-modern.
Penjelasan itu sejalan dengan pernyataan Hiromi Shinya
(2010:41), bahwa kedokteran modern banyak mengandalkan
obat-obatan untuk mengobati penyakit dan memerangi mikroba
184

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

penyebab penyakit. Padahal, sesungguhnya obat-obatan adalah
racun yang bukan hanya menghancurkan mikroba berbahaya,
melainkan juga menghancurkan mikroba yang menguntungkan,
terutama mikroba/bakteri yang berada dalam usus. Dengan
demikian, obat-obatan cenderung merusak kondisi usus,
sehingga ujung-ujungnya adalah rusaknya kesehatan tubuh kita.
Shinya memberi contoh obat antibiotika, tidak hanya
menghancurkan kuman yang diincar, tapi juga bakteri bermanfaat. Dengan terganggunya bakteri bermanfaat, keseimbangan
bakteri usus juga terganggu dan produksi enzim untuk kesehatan sistem kekebalan menurun. Alhasil, tingkat kesehatan
pun menurun.
Menurut Djoko, sampai saat ini di dunia terdapat 600 jenis
obat kategori teknologi bio, 124 di antaranya berada di Jepang,
dan dari 124 itu sebanyak 60 jenis merupakan hasil penelitiannya. Dia mengaku bahwa penelitian adalah panggilan
hidupnya, itulah sebabnya dia dikenal sebagai peneliti di bidang
rekayasa teknologi bio (bio technology engineering).
Penelitian, bagi dia, harus bermanfaat bagi kemanusiaan
dan mempunyai nilai jual. Dia memberi contoh, salah satu
penelitiannya menghabiskan dana 10.000 dolar AS, maka ia
akan menawarkan ke Jepang nilai penelitian itu 60.000 dolar
AS; 10.000 dolar AS untuk penelitian pendahuluan yang sudah
ia lakukan, sisanya (50.000 dolar AS) diinvestasikan untuk
penelitian lain yang lebih besar lagi, terutama dalam hal manfaatnya bagi kemanusiaan.
Penelitian pendahuluan untuk sarana produksi pertanian
(Nopkor) yang ia lakukan menghabiskan dana 5.000 dolar AS,
tapi ia mendapat dana dari Jepang 30.000 dolar AS. Penelitian
pendahuluan untuk obat penyakit jantung menghabiskan uang
56.000 dolar AS, dibeli oleh Jepang 150.000 dolar AS. “Sisanya
185

Jawa Menyiasati Globalisasi

adalah investasi untuk penelitian-penelitian yang hasilnya akan
berkembang lama. Saya selalu terus terang dengan pihak Jepang, penelitian awal habis sekian dolar, saya jual sekian dolar.
Kalau mau ya tinggal tanda tangan…” kata Djoko Murwono.
Ia mengkritik peneliti-peneliti Indonesia, yang kebanyakan tidak mempertimbangkan segi manfaat bagi kemanusiaan
dan memandang penelitian sebagai proyek saja. Karena itu, di
bidang penelitian ini Indonesia tertinggal selama enam dekade
(60 tahun) dari negara-negara lain.
Djoko pun mengungkapkan, banyak kearifan lokal Jawa
yang tidak tergarap dengan baik, bahkan sekarang hilang,
misalnya pemanfaatan peté untuk mengobati penyakit. Peté
mengandung bahan tertentu untuk menurunkan kadar gula
dalam darah, agar baunya tidak menyengat maka peté bisa
dibuat acar. Caranya, bagian dalam peté dikupas, tapi kulit
kerasnya dibiarkan. Kearifan lokal seperti itu yang sharusnya
dikembangkan. Ketika kecil, dia diajari oleh éyang di
Yogyakarta, cara membuat acar peté, dicampur bawang dan
brambang. Proses pembuatannya sekitar satu minggu. Melalui
proses itu, maka rasa peténya halus sekali.
Paguyuban Arso Tunggal melakukan praktik pengobatan
alternatif tersebut di dua tempat, yaitu di padepokan Bulusan
Selatan setiap hari Minggu dan di rumah Djoko Murwono di
Jalan Plamongan Indah Raya 479, Semarang setiap hari Kamis
dan Jumat.
Selain mendapat obat alternatif yang dikembangkan Arso
Tunggal, pasien-pasien yang datang juga mendapat terapi
dengan cara tubuhnya rebah di atas paku-paku kayu dan
ditotok di bagian-bagian pusat syaraf. Praktik pengobatan tersebut dilakukan oleh anggota paguyuban yang sudah masuk
kategori prajurit.
186

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

Gambar 4: Proses pengobatan di Paguyuban Arso Tunggal:

Sumber: dok. Arso Tunggal

Subiyanto, salah seorang prajurit Arso Tunggal menjelaskan, untuk mencapai tingkatan prajurit seseorang harus melalui
ujian dan pelatihan. Mereka melakukan puasa selama 40 hari
dengan pantang makanan tertentu, setelah itu dilatih melakukan terapi dengan menggunakan alat berupa dua tongkat kayu
sepanjang kira-kira 30 centimeter. Saat ini, ada enam prajurit
yang selalu siap melayani pengobatan.

187

Jawa Menyiasati Globalisasi

Pertanian
Di bidang pertanian, Arso Tunggal membangkitkan
kemandirian petani, yang hilang karena revolusi hijau dan
pertanian transgenik. Langkah tersebut dilakukan melalui
penerapan Sistem Pertanian Organik Rasional (SPOR).
Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu
sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat
revolusi hijau.5 Revolusi hijau menurunkan kuantitas dan
kualitas pro-duksi pangan, mengakibatkan biaya produksi
pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan.
Gerakan pertanian organik pada umumnya dimengerti
sebagai gerakan budidaya pertanian yang anti pemakaian pupuk
anorganik dan (terlebih lagi) pestisida. Dua sarana produksi
pertanian (pupuk anorganik dan pestisida) itu digunakan secara
masif dalam sistem pertanian modern atau yang dikenal sebagai
revolusi hijau. Dari awal yang kecil, kini gerakan pertanian
organik makin meluas. Makin banyak konsumen pangan yang
membutuhkan produk-produk organik, karena alasan kesehatan
dan rasa yang lebih segar.
Sesungguhnya pertanian organik telah diterapkan pada
pra-revolusi hijau, yakni sebelum tahun 1970-an. Pada era itu,
penyediaan benih dilakukan petani secara mandiri, dengan
menyisihkan sebagian hasil panen. Ada kalanya benih didapat
dari lumbung padi di desa yang dikelola secara kolektif.
Lumbung padi dalam hal ini juga berfungsi sebagai “pertahan5

Revolusi hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk
menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di
banyak negara berkembang, terutama di Asia. Konsep Revolusi hijau yang di
Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah
program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.

188

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

an” manakala ada warga desa yang mengalami krisis pangan
atau butuh bibit untuk tanaman.
Di sisi lain, sarana produksi pertanian juga disediakan
sendiri. Pupuk tanaman berasal dari kompos, humus, atau
kotoran hewan. Cara menanggulangi hama (burung dan tikus)
pada umumnya dilakukan secara mekanis. Cara-cara kimiawi
belum dikenal. Serangga-serangga yang sekarang jadi hama
yang mengancam, dulu bukanlah hama. Mereka menjadi hama,
ketika tersedia makanan dalam jumlah berlimpah, berupa
jarringan tanaman pangan yang lunak karena pemupukan N
(urea) dan asupan air yang berkelimpahan. Pada saat itu,
pestisida dibutuhkan untuk membasminya.
Revolusi hijau atau modernisasi pertanian (pangan) yang
berbasis benih unggul hasil persilangan dan pemuliaan – cirinya
rakus asupan kimiawi (khususnya pupuk anorganik) dan air –
dan mampu memberikan hasil berkali lipat serta waktu tanam
lebih pendek dibanding bibit-bibit lokal, mengubah segalanya.
Hubungan patron-klien di desa menjadi terkikis. Lumbung padi
mengalami kematian secara sistematis. Benih-benih tanaman
tidak lagi disediakan sendiri, karena pertanian modern itu
mewajibkan benih-benih hasil persilangan yang tersertifikasi
(oleh industri benih atau balai penelitian benih) dan harus
dibeli.
Orde ekonomi pasar yang hadir bersama revolusi hijau
juga melahirkan lembaga-lembaga tata niaga produksi pertanian
pangan, seperti KUD, Dolog, dan Bulog, yang secara sistematis
mematikan lumbung desa. Penerapan revolusi hijau selama
puluhan tahun telah membawa perubahan radikal dalam cara
berpikir dan bersikap petani, yang makin pragmatis.
Ijon dan tebasan adalah salah satu bentuknya ketika
petani menjalani panen, tidak rikuh (sungkan) lagi pada
189

Jawa Menyiasati Globalisasi

tetangga-tetangga yang berkekurangan, karena hubungan
patron-klien makin terkikis. Demikian pula interaksi dengan
lahan dan tanamannya. Ketika melihat serangga, langsung
semprot dengan pestisida, jika perlu mengoplos sendiri berbagai
pestisida yang tersedia. Jika tanam-an padi masih kelihatan
kuning, tebar urea untuk menjadi-kannya hijau dan subur.
Di tingkat global, sesungguhnya produk-produk transgenik – yang lebih eksploitatif dari revolusi hijau – makin memasyarakat dan mengakar. Akibatnya, makin terjadi kecenderungan monopolistik dalam penyediaan benih oleh perusahaanperusahaan transnasional, kecenderungan penyeragaman pola
tanam yang akan menggilas keanekaragaman hayati, serta
makin masif dalam pemakaian insektisida dan herbisida. Dunia
ketiga makin teracuni, sementara perusahaan-perusahaan benih
dan pestisida makin menggurita, terlebih lagi didukung oleh
sistem neoliberalisme. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak
jelas terhadap produk transgenik membuat produk-produk itu
tidak tersaring, tak terseleksi, dan tak terbendung masuk di
negeri ini.
Pola pemikiran Arso Tunggal itu selaras dengan
pendapat Hiromi Shinya (2010:42-43) yang mengungkapkan, pertanian zaman sekarang sudah terjebak pada
ketergantungan berlebihan terhadap “obat kimiawi.”
Pertanian menggunakan banyak pupuk kimia dan
pestisida di lahan garapan untuk menambah hasil panen
dan meningkatkan efisiensi pertanian. Biasanya
pestisida berupa zat kimia seperti insektisida, fungisida,
dan herbisida yang digunakan untuk membunuh
serangga, bakteri penyebab penyakit tanaman, atau
membunuh tanaman liar. Saat ini tercatat sekitar 5.000
jenis pestisida yang terdaftar.
Pupuk, menurut Shinya, adalah zat-zat yang
diperlukan tanaman dan diproduksi lewat proses kimia

190

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

di pabrik. Nitrogen yang diperlukan daun, fosfat yang
diperlukan buah, dan kalium yang diperlukan akar
disatukan dalam pupuk NPK. Bagian-bagian pupuk
kimia langsung diserap tanaman, menjanjikan panen
yang baik dalam waktu singkat. Masalahnya, ketergantungan mutlak terhadap pupuk kimia akan
menyebabkan rusaknya keseimbangan mineral dalam
tanah akibat terlalu banyak tiga mineral (nitrogen,
fostat, dan kalium). Kemudian, ada masalah pada sifat
tak organiknya pupuk kimia, yang tidak memelihara
mikroorganisme dalam tanah. Akibatnya, ketergantungan pada pupuk kimia menyebabkan merosotnya
kualitas tanah.

Tahun 1992-1993 Djoko Murwono memperkenalkan
SPOR di Bangkok, Thailand. Di negara itu, teknologi tersebut
bisa berkembang dan sekarang menghasilkan produk-produk
pertanian yang maju, bahkan juga berkembang di Myanmar dan
Vietnam. Tahun 1994 ia memperkenalkan SPOR di Indonesia,
tapi tidak bisa berkembang dengan baik.
Sistem Pertanian Organik Rasional juga mengajak petani
untuk melakukan aktivitas:
1. Menyediakan/memproduksi benih lokal sendiri.
Dengan perlakuan tertentu (rekonstruksi genetika),
benih lokal akan mengalami perbaikan genetik dan
proses aklimatasi, justru ketika ditanam secara
berkelanjutan (anakannya jadi benih tanaman berikutnya) di wilayah yang sama. Produksinya akan
makin baik – kuantitas maupun kualitas — dari waktu
ke waktu. Dengan memproduksi dan menyediakan
benih lokal sendiri, maka lumbung desa pun punya
peluang untuk hidup kembali, selain benih lokal itu

191

Jawa Menyiasati Globalisasi

2.

3.

4.

5.

192

terlestarikan dan termuliakan. Petani tidak lagi
tergantung pada industri benih.
Memproduksi pupuk sendiri (biosol/kompos). Pupuk
yang dibuat – yaitu biosol atau kompos – berbahan
dasar kotoran hewan dan seresah sampah, yang diperkaya unsurnya lewat asupan mikroba atau NPK
bacter (Nopkor). Mikroba ini, selain mampu mengurai
unsur NPK dari bahan organik, juga dapat mengurai
sisa-sisa pupuk anorganik dari pemupukan sebelumnya, menjadi hara yang sangat kaya dan mudah
terserap tanaman. Dalam hal ini, SPOR tidak anti
pemakaian pupuk anorganik. Pemakaian pupuk
anorganik majemuk (berunsur NPK) dalam jumlah
terbatas akan membantu menghidupkan mikroba
pengurai (NPK bacter), serta memperkaya unsurunsur NPK dalam kompos. Kekayaan unsur ini yang
membedakannya dengan pertanian organik konvensional yang mengandalkan sepenuhnya pada
mekanisme alam, sehingga lama proses pelapukan
oleh mikroba dan unsur haranya tidak terlalu kaya.
Memproduksi sendiri “Miradan,” pestisida ramah
lingkung-an. Ramuan anti hama “Miradan” ini
berbahan aktif Demplop, pestisida organik yang
bersifat alifatis; jika terkena terpaan panas dan
ultraviolet akan terurai menjadi pupuk organik.
Memperkenalkan pemakaian pupuk daun (lipotril).
Jika kompos menyediakan hara makro bagi tanaman,
maka pupuk daun menyediakan hara mikro, serta
sangat efektif untuk membantu proses pembungaan
dan pembuahan, karena langsung masuk ke kloropil
tanaman.
Menyediakan informasi pemasaran. Pada prinsipnya,
petani diberi kebebasan menjual produksinya ke mana

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

pun mereka suka. Tapi, Arso Tunggal berusaha
menyediakan alternatif pemasaran, dengan mendatangkan pembeli produk pertanian organik.
Dari sisi pencapaian produksi, dengan hasil panen 7,5 ton
gabah kering giling per hektare dalam hitungan ubinan dengan
usia sekitar 100 hari, paket SPOR sangat bisa bersaing dengan
produksi padi pertanian modern atau pertanian transgenik
melalui produk-produk hibrida. Hal itu bukan menjadi satusatunya ukuran kelestarian SPOR. Masih ada hal-hal lain yang
dijadikan acuan, seperti: apakah biaya produksinya lebih murah,
apakah faktor-faktor produksi selalu tersedia dan mudah
diakses, apakah harga jualnya lebih tinggi, serta apakah proses
produksinya tidak merepotkan.
Kalau penerapan SPOR bisa lestari, dan dalam jangka
panjang meluas lagi, maka hal ini memberi sumbangan yang
sangat positif pada rantai pasokan pangan yang berkeadilan,
karena: tanah bisa menjadi makin sehat dan subur; biaya
produksi makin berkurang; produksi makin tinggi; bibit-bibit
lokal termuliakan; soliditas masyarakat desa makin tinggi;
ketergantungan pada benih, pupuk, dan pestisida dari luar
makin berkurang; hasil pertanian makin lebih bermutu dan
sehat, dan dampak positifnya; masyarakat mengonsumsi hasil
pertanian yang lebih berkualitas dan sehat.
Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan satu di
antara varian gerakan pertanian organik yang masih akan
mengalami banyak sekali cobaan untuk mampu bertahan,
tumbuh, dan berkembang. Banyak hal ideal yang terdapat di
dalamnya, yang pada intinya mengupayakan kemandirian petani yang hilang akibat pertanian modern (revolusi hijau,
rekayasa genetika) yang masif dan mengglobal.

193

Jawa Menyiasati Globalisasi

Sekalipun oleh penggagasnya SPOR dijadikan sarana
untuk melakukan resistensi terhadap sistem pertanian modern
yang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan, pertimbangan ideologis itu bukanlah yang utama di tingkat petani
pelaksananya. Pertimbangan pragmatis lebih utama, maka agar
bisa tumbuh dan berkembang SPOR harus teruji di level
pragmatis, artinya mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan
pragmatis petani: lebih banyak hasil produksinya, lebih baik
hasil jualnya, lebih ringan biaya produksinya, dan lebih mudah
melakukannya.
Salah satu kegiatan SPOR Arso Tunggal adalah penerapan
sistem ini di Desa Babakan, Kecamatan Bodeh, Kabupaten
Pemalang, Jawa Tengah. Panen perdana padi organik di wilayah
itu dilakukan pada Kamis, 25 Maret 2010. Secara total, terdapat
32,232 hektare lahan padi organik yang dipanen. Lahan-lahan
itu tersebar di 14 desa, yaitu Desa Tegalsari Timur Kecamatan
Ampel Gading, dengan luasan panen 8,085 hektare, Babakan
Bodeh (6,66 hektare), Loning, Petarukan (5,33 hektare),
Ujunggede, Ampelgading (2,66 hektare), Cibuyuk, Ampelgading
(2,31 hektare), Jojogan, Watukumpul (2,30 hektare), Desa
Taman, Kecamatan Taman (1,66 hektare), Pedurungan, Taman
(1,165 hektare), Pesantren, Ulujami (0,66 hektare), Desa
Petarukan, Kecamatan Petarukan (0,33 hektare), Danasari,
Pemalang (0,33 hektare), Sarwodadi, Comal (0,33 hektare),
Kendalsari, Petarukan (0,247 hektare), dan Sungapan, Pemalang
(0,165 hektare).
Varietas yang ditanam adalah pandanwangi, mentikwangi, ciliwung, mentik putih, cibagendit, beras merah, tegalgondo, cunde, dan ciherang. Mayoritas padi itu adalah varietas
lokal yang didapatkan dari Grobogan dan Yogyakarta.

194

Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik

Gerakan pertanian organik di Kabupaten Pemalang berlangsung bersamaan dengan gerakan pemasyarakatan sertifikasi
lahan masyarakat yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Pemalang.

Gambar 5: Kegiatan SPOR di Pemalang:

Sumber: dok. Arso Tunggal

Penerapan SPOR secara luas (32,23 hektare) untuk tahap
pertama penanaman padi maupun padi beras merah juga
dilatarbelakangi “kisah sukses” sistem yang diguna