Studi Komparatif Mengenai Style of Humor Pada Siswa Laki-laki dan Perempuan Usia 14-16 Tahun.

(1)

Siswa Laki-laki dan Perempuan Usia 14 – 16 Tahun (Penelitian Dilakukan di

SMA ‘Y’ Bandung) ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbandingan style of humor pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian

dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung) dan perbandingan affiliative, self enhancing,

aggresive, dan self defeating style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 –

16 tahun (penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung). Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian ini maka rancangan penelitian yang digunakan bersifat komparatif, dengan menggunakan teknik survei. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 200 siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung).

Alat ukur yang digunakan untuk melihat perbandingan style of humor adalah alat ukur yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Rod A. Martin (2005) dan terdiri dari 32 item. Uji validitas yang digunakan adalah uji korelasi Spearman. Analisis item dengan menggunakan uji korelasi terhadap 75 siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung), diperoleh nilai validitas affiliative style (0,57-0,752), self enhancing style (0,313-0,715), aggresive style (0,519-0,729), self defeating style (0,451-0,754), dengan jumlah item yang valid 32 dan uji reliabilitas dengan teknik

Cronbach’s Alpha, diperoleh nilai reliabilitas affiliative style 0,833, self

enhancing style 0,661, aggresive style 0,769, self defeating style 0,781.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, tidak terdapat perbedaan style of humor yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun

(penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung). Apabila dikaji per style of humor, hanya terdapat perbedaan pada style of humor aggresive antara siswa laki-laki dan perempuan usia 14 –16 tahun (penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung).

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan pada peneliti lain adalah untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh budaya, reinforcement, dan significant person pada style of humor siswa. Bagi para siswa, diharapkan mampu menggunakan style of humor yang sesuai dengan situasi, sehingga nyaman digunakan dan dapat meningkatkan pergaulan yang sehat diantara mereka dan juga mendorong siswa lain untuk saling memberi respon yang tepat pada penggunaan style of humor.


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Abstrak...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR BAGAN...vii

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10


(3)

2.1.1 The Universality of Humor and Laughter ...27

2.1.2 Pengertian Humor ...29

2.1.3 Fungsi Psikologis Humor ...35

2.1.4 Humor dan Psikologi...40

2.1.5 Style of Humor...41

2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Style of Humor ...43

2.2 Remaja ...45

2.2.1 Definisi dan Batasan Remaja ...45

2.2.2 Perkembangan Kognitif dan Kognisi Sosial ...46

2.2.3 Pemrosesan Informasi Remaja ...49

2.2.4 Relasi dengan Keluarga...50

2.2.5 Relasi dengan Teman Sebaya...51

2.2.6 Gender ...53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 59

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian... 59

3.2 Prosedur Penelitian... 59

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Opersional... 60


(4)

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang... 67

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 67

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel... 70

3.5.1 Populasi Sasaran... 70

3.5.2 Karakteristik Populasi... 71

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel... 71

3.6 Teknik Analisis Data... 71

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 73

4.1 Hasil Penelitian... 73

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 73

4.1.2 Pengujian Hipotesis... 74

4.1.3 Data Affiliative Style Siswa Laki-laki dan Perempuan... 74

4.1.4 Data Self enhancing Style Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan.. 75

4.1.5 Data Aggresive Style Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan... 75

4.1.6 Data Self defeating Style Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan.... 76

4.1.7 Data Perbandingan Persentase Jumlah Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan Berdasarkan Jumlah Skor Setiap Style of Humor... 76


(5)

5.2 Saran... 98

5.2.1 Saran Metodologis... 98

5.2.2 Saran Praktis... 98

DAFTAR PUSTAKA... 100


(6)

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran ... .24 Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian... 59


(7)

Tabel 3.2 Bobot Penilaian Kuesioner... 66

Tabel 4.1 Gambaran responden berdasarkan jenis kelamin ...73

Tabel 4.2 Pengujian Hipotesis ...74

Tabel 4.3 Data Affiliative style siswa Laki-laki dan siswa Perempuan ...74

Tabel 4.4 Data Self enhancing style siswa Laki-laki dan siswa Perempuan ...75

Tabel 4.5 Data Aggresive style siswa Laki-laki dan siswa Perempuan ...75

Tabel 4.6 Data Self defeating style siswa Laki-laki dan siswa Perempuan ...76

Tabel 4.7 Perbandingan persentase jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan berdasarkan jumlah skor setiap style of humor ...76


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan. Mereka bukan lagi anak-anak, namun juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Saat individu mulai beranjak menuju tahap menjadi remaja, individu masih mengalami sebagian perkembangan masa kanak-kanak namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Masa remaja dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika laki-laki terlihat pada perubahan suara menjadi lebih rendah, pertambahan tinggi badan yang melesat dengan cepat, dan perubahan bentuk badan yang didominasi oleh pertumbuhan otot, maka perempuan terlihat pada perubahan bentuk badan yang didominasi oleh pertumbuhan lemak, dan dialaminya menstruasi.

Selain terjadi perubahan secara fisik, ciri yang juga tampak pada remaja adalah pergaulan yang terjalin di antara mereka yang semakin melibatkan banyak waktu dan juga kegiatan bersama. Seperti yang seringkali terlihat di berbagai tempat dan pada berbagai situasi, sekelompok remaja berkumpul dan bincang. Jika diperhatikan, kelompok remaja tersebut tidak hanya berbincang-bincang, terkadang melibatkan berbagai kegiatan bersama, misalnya bermain kartu, belajar, atau makan. Tidak jarang para remaja tersebut terlihat berkumpul di tempat-tempat tertentu pada jam usai sekolah dan masih berpakaian seragam.


(9)

Czikszentmihalyi (1977 dalam Fuhrmann, 1990) menemukan bahwa remaja menghabiskan waktu tiga kali lebih banyak dengan teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa, selain itu mereka juga lebih banyak tertawa dan lebih santai ketika bersama dengan teman-temannya dibandingkan dengan remaja bersama dengan orang dewasa. Hal ini dapat dilihat pada kejadian sehari-hari. Jika bersama dengan orang tua, sebagian remaja hanya diam, sedangkan jika bersama teman-temannya, mereka dapat tertawa dan berbincang-bincang.

Pergaulan yang dilakukan oleh para remaja ini akan menentukan apakah mereka diterima atau tidak oleh teman-teman sebayanya. Bagi remaja penerimaan itu sangatlah penting. Dengan adanya penerimaan dalam pergaulan, remaja merasa aman. Mereka mengetahui bahwa ada seseorang yang akan selalu ada bagi mereka sehingga para remaja ini tidak mau sendirian. Mereka akan mencari teman dan berusaha untuk terus bergaul (Santrock, 2003). Pergaulan yang dilakukan oleh remaja juga membantu mereka dalam proses pencarian status identitas yang menjadi tugas perkembangan mereka pada tahap tersebut.

Pergaulan yang dialami remaja, penting baik bagi remaja laki-laki maupun bagi remaja perempuan. Namun ternyata, dalam penelitian yang dilakukan oleh Deborah Tannen (1990 dalam Santrock, 2003) ditemukan bahwa dalam pergaulan di antara remaja laki-laki dan perempuan terdapat beberapa perbedaan. Remaja laki-laki dalam bergaul lebih menguasai panggung performa verbal seperti bercerita, berceramah mengenai suatu informasi, kemudian mereka bermain dalam kelompok yang besar dan terstruktur secara hirarkis dengan seorang pemimpin. Dalam permainan remaja laki-laki, penting untuk mengetahui yang


(10)

menang dan yang kalah yang sering dijadikan topik perdebatan. Dan remaja laki-laki lebih sering terdengar membanggakan kemampuannya dan menunjukkan mengenai siapa yang lebih hebat.

Remaja perempuan lebih menyukai percakapan pribadi dan pembicaraan yang akrab yang berorientasi pada suatu hubungan. Mereka jarang memberi perintah, lebih cenderung menunjukkan keinginan mereka sebagai suatu saran. Dibandingkan dengan remaja laki-laki, remaja perempuan tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian dan tidak bersaing secara langsung dengan orang lain. Remaja perempuan lebih senang menghabiskan waktunya hanya untuk duduk-duduk bersama dan berbincang-bincang, lebih memperhatikan mengenai bagaimana disukai orang lain daripada mengejar status (1990 dalam Santrock, 2003).

Pergaulan bagi remaja dibagi menjadi tiga tahap (Fuhrmann, 1990). Tahap remaja awal (11 – 13 tahun), dimana pergaulan masih bersifat dangkal. Kemudian remaja madya (14 – 16 tahun), dimana pergaulan menjadi semakin penting dan mendalam. Berikutnya adalah remaja akhir, dimana pergaulan sudah bersifat stabil dan berkurang kedalamannya. Pada remaja madya, komunikasi dalam pergaulan menjadi lebih penting, baik bagi remaja laki-laki maupun perempuan. Komunikasi membantu remaja dalam hubungan mereka dengan teman sebayanya. Komunikasi yang baik mendukung pemerimaan dari teman-teman sebaya yang kemudian akan membantu penyesuaian diri remaja. Humor merupakan bagian dari komunikasi yang dilakukan oleh remaja madya untuk meningkatkan hubungan relasi mereka, karena humor membuka jalan pada komunikasi yang


(11)

lebih mendalam. Humor adalah semua hal yang dikatakan atau dilakukan seseorang yang diterima sebagai sesuatu yang lucu dan ditujukan untuk membuat orang lain tertawa, proses mental yang terjadi baik saat menciptakan maupun menerima stimulus yang menyenangkan, dan respon afektif yang muncul dalam kesenangan tersebut (Martin, 2007). Saat berkomunikasi, para remaja banyak melontarkan lelucon dan candaan yang akan membuat teman-temannya tertawa.

Humor dan tawa adalah aspek universal dari pengalaman manusia. Sejak bayi, manusia telah dapat menunjukkan senyum dan gelak tawa. Semakin bertambah usia, semakin banyak pengalaman individu yang berhubungan dengan humor, sehingga mereka semakin dapat mengekspresikan humor dan berespon terhadap hal yang lucu. Bagi remaja, pengalaman yang berhubungan dengan humor juga akan semakin banyak dialami. Hal ini disebabkan karena perkembangan kognitif remaja telah mencapai masa yang mana mereka dapat bermain dengan ide dan konsep yang lebih abstrak daripada tahap-tahap sebelumnya, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan persepsi dan kreasinya dalam menciptakan suatu humor (Martin, 2007).

Dalam berkomunikasi dengan menggunakan humor tersebut, remaja dapat menggunakan jenis humor yang berbeda-beda yang disebut dengan style of humor. Style of humor adalah kecenderungan penggunaan humor seseorang yang dilakukan secara spontan dalam kehidupan sehari-hari (Martin, 2007). Menurut Rod A. Martin, saat seorang remaja menggunakan humor agar hubungannya dengan teman-temannya dapat semakin dekat, maka style of humor remaja tersebut adalah affiliative style. Saat seorang remaja menggunakan humor agar


(12)

melalui kejadian sehari-hari yang lucu dapat menghiburnya, bahkan saat tidak bersama dengan orang lain, maka style of humor remaja tersebut adalah self-enhancing style. Saat seorang remaja menggunakan humor dengan menggunakan orang lain sebagai bahan leluconnya dan menyenangkan dirinya, maka style of humor remaja tersebut adalah aggresive style. Saat seorang remaja menggunakan humor agar hubungan dengan teman-temannya menjadi semakin baik, namun menggunakan diri sendiri sebagai bahan lelucon, maka style of humor remaja tersebut adalah self-defeating style.

Keempat style of humor tersebut ternyata tidak seluruhnya bermanfaat secara psikologis seperti yang telah diperkirakan sebelumnya oleh Martin (Martin, 2007). Berdasarkan hasil penelitian R.A. Martin pada tahun 2003, mengenai penggunaan humor untuk mengatasi masalah, ternyata affiliative dan enhancing style dianggap relatif lebih sehat, kemudian aggresive dan self-defeating style dianggap relatif lebih tidak sehat.

Setiap remaja dapat menggunakan style of humor yang berbeda-beda dalam diri mereka. Memang style of humor tersebut tidak dipilih secara sadar oleh remaja, namun secara tidak sengaja akan muncul style of humor tertentu dalam diri mereka (Martin, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Rod A. Martin di Amerika Serikat, ia menemukan bahwa laki-laki lebih menggunakan aggresive dan self-defeating humor, sedangkan perempuan lebih menggunakan affiliative dan self-enhancing humor.

Menurut Rod A. Martin, laki-laki cenderung menggunakan humor dengan tujuan membuat orang lain terkesan, tampil sebagai orang yang humoris, dan


(13)

menciptakan identitas pribadi yang positif, sedangkan perempuan menggunakan humor untuk meningkatkan solidaritas dan keintiman dalam kelompok. Perbedaan tujuan antara laki-laki dengan perempuan dalam berinteraksi dengan orang lain tersebut terefleksi dalam style of humor yang mereka gunakan (Martin, 1990).

Rentang usia remaja madya adalah 14-16 tahun dan biasanya berada pada tingkat pendidikan SMA kelas X dan XI. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru Bimbingan Konseling di salah satu SMA „Y‟ Bandung, didapatkan data bahwa 3 sampai 4 siswa laki-laki per kelas cenderung sering mengungkapkan komentar-komentar yang menyindir siswa lain dan mengganggu ketenangan kelas karena memancing siswa lain untuk tertawa. Sedangkan siswa perempuannya cenderung lebih tenang dalam kelas, meskipun ada yang aktif, namun tidak mengungkapkan komentar-komentar yang menyindir siswa lain. Komentar-komentar menyindir yang diungkapkan siswa laki-laki bertujuan untuk menarik perhatian teman-teman sekelasnya, namun tindakan siswa tersebut mengganggu ketenangan kelas.

Bagi siswa laki-laki yang sering melontarkan sindiran dalam kelas, meskipun teman-teman lainnya tertawa saat mendengar komentar tersebut, namun mereka tidak mau berteman dengan siswa laki-laki tersebut. Jadi siswa laki-laki tersebut menjadi terkucil dari kelompoknya. Padahal, seperti yang telah disebutkan di atas, kelompok dan interaksi dengan teman sebaya sangatlah penting bagi siswa.

Kemudian 2 sampai 3 siswa laki-laki per angkatan juga terlibat dalam perkelahian yang diawali dengan menggunakan nama orang tua sebagai bahan


(14)

lelucon, sehingga akhirnya, saat lelucon tersebut sudah melebihi batas, maka siswa yang nama orangtuanya dijadikan lelucon tersebut tersulut amarahnya dan terjadilah perkelahian di antara siswa laki-laki tersebut. Humor yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan relasi interpersonal, justru jika digunakan dengan style tertentu dapat memberi pengaruh yang sebaliknya. Sedangkan pada siswa perempuan, kejadian perkelahian seperti itu belum pernah terjadi.

Remaja madya yang berusia 14-16 tahun berada pada tahap dimana pencarian identitas diri dilakukan melalui penerimaan teman sebaya, sehingga interaksi tidak lepas dari keseharian mereka. Ketika diobservasi saat jam istirahat, siswa berkumpul dalam kelompok-kelompok dan duduk bersama, kemudian berbincang-bincang dan makan. Terlihat juga mereka tertawa dan bercanda. Tampak jelas pergaulan begitu penting bagi mereka.

Menurut seorang siswa perempuan, humor dalam pergaulan sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena tugas-tugas dan bahan pelajaran sudah membuat mereka pusing. Oleh karena itu mereka membutuhan pergaulan yang dapat mengurangi beban pelajaran dan menyebabkan semangat belajar mereka meningkat, seperti dengan berhumor. Kemudian, humor juga membantu mereka dalam bergaul dengan teman-temannya, karena saat humor digunakan pembicaraan dapat menjadi lebih terbuka dan mendalam.

Dari survei awal yang telah dilakukan oleh peneliti pada 10 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan SMA „Y‟ Bandung, didapatkan hasil bahwa 6 dari siswa perempuan yang mengikuti survei (60 %), seringkali bila berkumpul bersama dengan teman-temannya akan melontarkan lelucon agar teman-temannya tertawa


(15)

(menunjukkan kecenderungan penggunaan affiliative style), 3 orang siswa (30 %) sering menonton film komedi dan mudah menangkap kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar mereka sebagai hal yang lucu (menunjukkan kecenderungan penggunaan self enhancing style), dan 1 orang siswa lainnya (10 %) sering membuat lelucon dari kekurangan orang lain dan suka menertawakan kesalahan orang lain (menunjukkan kecenderungan penggunaan aggressive style).

Sedangkan pada siswa laki-laki yang mengikuti survei, didapati bahwa 3 orang siswa (30 %), seringkali bila berkumpul bersama dengan teman-temannya akan melontarkan lelucon agar teman-temannya tertawa (menunjukkan kecenderungan penggunaan affiliative style), 2 orang siswa (20 %) sering menonton film komedi dan mudah menangkap kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar mereka sebagai hal yang lucu (menunjukkan kecenderungan penggunaan self enhancing style), 3 orang siswa (30 %) sering membuat lelucon dari kekurangan orang lain dan suka menertawakan kesalahan orang lain (menunjukkan kecenderungan penggunaan aggressive style) dan 2 orang siswa lainnya (20 %) sering melakukan hal yang konyol agar teman-temannya dapat tertawa dan juga menceritakan kebodohan-kebodohan mereka (menunjukkan kecenderungan penggunaan self-defeating style).

Berdasarkan hasil survei awal tersebut, ternyata kecenderungan style of humor yang digunakan siswa laki-laki dan perempuan berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Rod A. Martin di negara Amerika Serikat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di negara Indonesia, untuk


(16)

membandingkan style of humor antara siswa laki-laki dan perempuan usia 14-16

tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟, Bandung).

1.2 Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini ingin diteliti tentang:

Perbandingan style of humor pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung)

Perbandingan style of humor affiliative style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Perbandingan style of humor self enhancing style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Perbandingan style of humor aggresive style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Perbandingan style of humor self defeating style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).


(17)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai style of humor pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 –16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perbandingan style of humor pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Untuk mengetahui perbandingan affiliative style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Untuk mengetahui perbandingan self enhancing style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA

„Y‟ Bandung).

Untuk mengetahui perbandingan aggresive style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Untuk mengetahui perbandingan self defeating style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA


(18)

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai style of humor.

 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya atau sebagai bahan pertimbangan untuk dilakukannya penelitian lain di bidang psikologi gender terutama dalam hal style of humor.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan masukan kepada pihak sekolah mengenai style of humor pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di

SMA „Y‟ Bandung), sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pembinaan yang berkaitan dengan pergaulan dan penggunaan style of humor dalam situasi yang tepat kepada siswa-siswa (bagi siswa yang telah menggunakan style of humor pada situasi yang tepat, dapat men-sharingkannya pada siswa lainnya saat pembinaan dilakukan).

 Memberikan masukan kepada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16

tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung) mengenai style of humor mereka, sehingga dalam bergaul, mereka dapat lebih menyesuaikan diri dengan teman-temannya.


(19)

1.5 Kerangka Pikir

Masa remaja merupakan masa seseorang harus menghadapi berbagai tugas perkembangan yang khas (Steinberg, 2002). Siswa yang berusia 14-16 tahun termasuk dalam kategori remaja madya yang harus menghadapi tugas-tugas ini. Mereka harus menghadapi perubahan biologis, kognitif, dan sosial (yaitu pergaulan menjadi semakin penting dan mendalam). Melalui perubahan-perubahan tersebut, siswa-siswa ini akan berkembang, baik secara fisik, psikis, maupun emosional sehingga menunjukkan karakteristik yang khas remaja (Steinberg, 2002).

Karakteristik kognitif siswa dalam masa remaja meliputi berubahnya pola pikir mereka menjadi lebih kompleks dan dapat memahami inkongruensi dengan lebih baik dibanding ketika mereka pada masa anak-anak. Selama masa remaja, kapasitas siswa untuk berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada dan berpikir dengan lebih nyata semakin meningkat. Para siswa mulai memandang sesuatu dari sudut pandang yang multidimensional, tidak terpaku pada satu sudut pandang saja. Siswa-siswa mulai berpikir lebih secara relatif daripada secara absolut (Steinberg, 2002).

Karakteristik lain yang dimiliki para siswa adalah perubahan sosial yang menyebabkan berubahnya status mereka dari anak-anak menjadi remaja yang peranannya lebih besar dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang menjadi fokus siswa SMA pada tahap perkembangannya ini adalah lingkungan pergaulannya atau disebut juga peer group. Peer group merupakan kelompok kawan sebaya, suatu kelompok di mana anak mengasosiasikan dirinya (Chaplin,


(20)

2001). Jadi, peer group yang dimaksud di sini lebih mengarah pada teman-teman siswa di sekolah, khususnya teman yang sekelas dengan siswa tersebut.

Pergaulan yang terjadi di dalam peer group ini memberikan beberapa manfaat bagi siswa, yaitu sebagai konteks untuk belajar. Dengan bergaul bersama peer groupnya, siswa dapat belajar bagaimana bergerak dari ketergantungan menjadi kedewasaan, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, mengembangkan identitas mereka yang unik dengan membandingkan diri mereka dan temannya, membandingkan nilai-nilai dan belief mereka, mempelajari kepemimpinan, dan mempelajari bagaimana mendukung dan mengerti orang lain (Fuhrmann, 1990).

Manfaat lainnya adalah adanya pemberian dukungan psikologis melalui pergaulan dalam peer group (Fuhrmann, 1990). Pergaulan yang terjadi di dalam peer group membuat siswa merasa diterima oleh teman-teman dalam peer groupnya tersebut, sehingga jika siswa mengalami kesedihan, ia yakin akan didukung oleh teman-temannya. Oleh karena itu, pergaulan di antara teman-teman menjadi begitu penting dalam kehidupan siswa.

Di dalam pergaulan antar siswa, humor digunakan. Ketika seorang siswa berhumor, proses kognitif yang terjadi di dalam dirinya dapat dijelaskan dengan konsep sinergi (Apter, 1991 dalam Martin, 2005). Konsep sinergi merupakan munculnya perpaduan dua persepsi atau konsep yang kontradiktif terhadap objek yang sama dalam pikiran seseorang dalam waktu yang sama. Jadi, saat siswa menerima informasi melalui mata dan telinga, siswa akan memproses arti informasi ini, dan memiliki persepsi tertentu. Persepsi ini akan dibandingkan


(21)

dengan persepsi yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Jika kedua persepsi ini berbeda, bahkan kontradiktif, namun siswa tersebut tetap dapat melihat situasi tadi secara keseluruhan, maka terjadi sinergi. Menurut Apter, jika siswa berada dalam paratelic mode ketika persepsi yang kontradiktif tersebut muncul, sinergi akan menghasilkan sensasi kepuasan dari pemikiran yang terombang-ambing antara dua interpretasi konsep yang bertentangan sehingga dianggap menyenangkan dan membangkitkan emosi (Martin, 2005).

Faktor yang menjadi penentu apakah suatu stimulus atau kejadian akan digolongkan dalam paratelic atau telic mode adalah konteks sosial saat siswa mempersepsi stimulus tersebut. Konteks sosial ini meliputi nilai-nilai yang dimiliki siswa dan situasi yang dihadapi ketika suatu stimulus dipersepsi. Peristiwa yang sama, misalnya siswa melihat temannya berlari dengan cepat di jalan turunan dan terjatuh dengan suara seperti mobil yang sedang mengerem, akan dipersepsi secara berbeda jika berada dalam konteks yang berbeda. Ketika peristiwa tersebut menyebabkan temannya mengalami cedera yang serius, siswa akan menempatkan peristiwa tersebut dalam telic mode. Kebalikan dari paratelic mode, maka telic mode merupakan keadaan pikiran yang lebih serius dan bertujuan untuk memecahkan masalah dan mengendalikan situasi (Apter, 1991 dalam Martin, 2005).

Ketika peristiwa jatuhnya teman di jalan turunan dengan suara seperti mobil yang sedang mengerem tadi tidak menyebabkan cedera yang serius, siswa akan menempatkan peristiwa tesebut dalam paratelic mode. Paratelic mode merupakan keadaan kognitif ketika siswa menunjukkan sikap santai dan tidak


(22)

serius terhadap situasi yang mereka hadapi dan hal-hal yang mereka katakan atau lakukan, dimana aktivitas tersebut mereka lakukan untuk bersenang-senang. Ide, gambar, tulisan, atau kejadian yang dirasakan sebagai sesuatu yang inkongruen, aneh, tidak biasa, tidak terduga, atau di luar kebiasaan dalam paratelic mode akan dianggap tidak serius dan lucu. Karena itulah, peristiwa jatuhnya teman di jalan turunan dengan suara seperti mobil yang sedang mengerem akan dianggap sebagai kejadian yang lucu dan menggelikan.

Setelah secara kognitif siswa memutuskan peristiwa tersebut sebagai hal yang lucu, sirkuit tertentu di otak akan terpicu sehingga siswa mengalami emosi yang menyenangkan. Emosi menyenangkan yang dirasakan siswa mengakibatkan siswa dapat memahami humor dengan lebih mudah. Hal ini juga menyebabkan siswa dapat menikmati humor yang tercipta dalam pemikirannya tadi.

Komponen untuk mengekspresikan emosi menyenangkan tadi adalah tawa dan senyum. Pada tingkat intensitas yang rendah, ketika suatu lelucon dirasakan sebagai sesuatu yang cukup lucu, emosi ini diekspresikan dengan senyum kecil, yang berubah menjadi senyum lebar, dan menjadi tawa ketika intensitas emosinya meningkat. Pada intensitas yang sangat tinggi, emosi ini akan diekspresikan dengan tawa terbahak-bahak yang biasanya diikuti dengan wajah memerah dan gerakan badan seperti kepala ke belakang, badan bergetar, memukul paha, dan sebagainya. Selain itu, jika situasinya memungkinkan, siswa akan mengungkapkan humor yang menurutnya lucu tersebut ke teman-teman di sekitarnya.


(23)

Cara siswa dalam mengekspresikan humornya berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi empat style of humor, yaitu affiliative style, self-enhanching style, aggressive style, dan self-defeating style (Martin, 2007). Style of humor adalah kecenderungan penggunaan humor seseorang yang dilakukan secara spontan dalam kehidupan sehari-hari (Martin, 2007). Keempat style of humor ini dimiliki oleh siswa dan digunakan oleh mereka, tetapi dalam diri setiap siswa terdapat style tertentu yang lebih dominan dan lebih sering digunakan oleh mereka.

Setiap style of humor memiliki tujuan dan isi (content) masing-masing, di mana tujuan cenderung akan mempengaruhi isi dari style of humor tersebut. Affiliative style merupakan kecenderungan untuk mengatakan hal yang lucu, menceritakan lelucon, dan terlibat dalam kelakar spontan. Style of humor ini digunakan ketika siswa bersama temannya karena tujuan penggunaan style ini adalah untuk mengurangi ketegangan hubungan dengan teman, memudahkan dalam membangun relasi dengan teman, serta meningkatkan keeratan dan ketertarikan secara interpersonal. Isi dari style of humor ini meliputi perkataan mengenai hal yang lucu dan sesuatu yang konyol mengenai diri sendiri tanpa membuat dirinya merasa rendah diri. Contohnya, ketika pelajaran Sejarah berlangsung, seorang siswa memutar-mutar buku pelajaran Sejarahnya miliknya, tiba-tiba temannya berceletuk: “Jangan diputar-putar buku Sejarahnya, nanti

pahlawannya pusing” Hal ini memancing tawa teman-temannya karena mereka tahu bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi dan siswa yang melontarkan komentar spontan tadi hanya berkelakar saja.


(24)

Style berikutnya adalah enhancing style. Salah satu tujuan dari self-enhancing style adalah untuk melakukan coping stress dan dengan berupaya mempertahankan sudut pandangnya sedemikian rupa sehingga dalam melihat hal yang cenderung negatif, siswa tetap bisa melihat sisi positifnya. Dengan demikian, isi pada self-enhancing style adalah pandangan-pandangan humor atau jenaka dalam kehidupan sehari-hari dan lelucon yang berkenaan dengan hal tersebut. Pada self-enhancing style, siswa mengungkapkan humor berdasarkan hal-hal yang menjadi pengalaman sehari-harinya, terutama pengalamannya di sekolah. Contohnya, ketika sedang belajar dengan tenang di dalam kelas, tiba-tiba seorang siswa dari kelas lain masuk ke dalam kelas yang tenang tersebut. Saat hendak mencari tempat duduknya, siswa tersebut sadar bahwa ia memasuki kelas yang salah dan dengan segera keluar dari kelas tersebut. Seorang siswa yang menyadari hal tersebut mengaanggap kejadian yang baru saja dilihatnya lucu dan tertawa.

Style selanjutnya adalah aggressive style yang merupakan kecenderungan untuk menggunakan humor dengan tujuan untuk memanipulasi teman sebayanya agar mengikuti keinginan diri dan untuk menyalurkan dorongan hostile dari dalam diri. Isi style of humor ini meliputi ungkapan sarkasme, ejekan, sindiran, cemooh, menjatuhkan atau meremehkan teman yang dikemas dalam humor tanpa memikirkan pengaruhnya terhadap temannya tersebut (misalnya tidak mempedulikan perasaan teman yang diejek sehingga temannya tersebut merasa tersisih dan tersakiti). Contohnya, seorang siswa dimintai tolong oleh gurunya untuk menuliskan catatan di papan tulis, tanpa disengaja, siswa tersebut menulis


(25)

semakin panjang semakin ke atas. Seorang siswa yang menyadarinya segera

berteriak dengan keras: “Naik-naik ke puncak gunung ni ye”.

Style terakhir adalah Self-defeating style, merupakan kecenderungan untuk menggunakan humor dengan tujuan memperoleh penerimaan dari orang lain dengan mengatakan hal konyol tentang diri sendiri yang membuat siswa merasa rendah diri. Style ini juga melibatkan penggunaan humor untuk tidak mengakui dan tidak menerima kekurangan dirinya secara terbuka, melainkan justru menekannya supaya hal tersebut tidak perlu dihadapi secara serius oleh dirinya, meski sesungguhnya siswa menghayatinya secara serius. Misalnya, seorang siswa yang menyadari bahwa gigi serinya cenderung maju (tonggos) mengatakan kepada teman-temannya bahwa jika ia mengikuti perlombaan lari, ia akan menang karena giginya sampai duluan.

Menurut Rod A. Martin, Self-defeating style ini bertujuan untuk memperoleh penerimaan temannya dan untuk menyembunyikan perasaan negatif yang mendasar pada diri siswa, atau menghindari menyelesaikan masalah secara konstruktif. Isi style of humor ini meliputi tindakan atau perkataan mengenai hal-hal lucu yang merendahkan diri sendiri yang disertai dengan penghayatan diri bahwa dirinya memang rendah dan tidak berharga. Contoh lainnya, saat seorang siswa yang baru saja memotong rambutnya, sehingga rambutnya yang mengembang menyebabkan bentuknya seperti bola basket, teman-temannya

menertawakannya dan memanggilnya dengan sebutan “rambut bola basket”,

meskipun sesungguhnya ia merasa sedih dan malu, ia ikut tertawa dan mengatakan bahwa ia akan memainkan “bola basket” tersebut di rumah.


(26)

Style of humor dipengaruhi oleh tiga faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi humor pada siswa adalah budaya. Menurut Hofstede (1980), budaya memiliki dua dimensi, yaitu kolektivisme dan individualisme. Dalam kesehariannya, kedua dimensi ini berpengaruh terhadap kehidupan siswa.

Budaya kolektivisme memiliki ciri suka bekerja sama, lebih mementingkan tujuan kelompok daripada tujuan individual serta suka membantu (helpful), dan menjaga kehangatan hubungan dengan orang lain (warm relationships with others). Siswa yang memiliki nilai untuk menjaga kehangatan hubungan dengan orang lain (warm relationships with others), akan cenderung menggunakan affiliative style. Hal ini dikarenakan affiliative style digunakan untuk memudahkan dalam membangun relasi dengan orang lain, meningkatkan keeratan dan ketertarikan secara interpersonal. Siswa yang memiliki nilai dalam dirinya untuk lebih mementingkan tujuan kelompok daripada tujuan pribadinya, akan cenderung menggunakan defeating style. Hal ini dikarenakan self-defeating style digunakan untuk memperoleh penerimaan dari teman-temannya dan menyembunyikan perasaan negatif dalam dirinya dengan cara mengorbankan diri sendiri untuk ditertawakan teman sebayanya.

Berbeda dengan budaya kolektivisme, budaya individualisme berciri pemfokusan diri dan tergantung pada diri sendiri, mempunyai keinginan mencapai tujuan (achievement), pengarahan diri direction), pemenuhan diri (self-fulfilment), dan pengungkapan emosi secara terbuka karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Ketika nilai yang tertanam dalam diri siswa yaitu fokus


(27)

utama dalam hidup adalah dirinya dan keinginan/keharusan untuk mencapai tujuan, maka siswa cenderung menggunakan aggressive style yang bertujuan untuk memanipulasi temannya agar mengikuti keinginan diri dan menyampaikan humor tanpa memikirkan pengaruhnya terhadap teman-temannya. Ketika nilai yang dimiliki siswa adalah nilai-nilai pengarahan dan pemenuhan diri, maka siswa cenderung menggunakan enhanching style. Hal ini dikarenakan self-enhanching style digunakan untuk menjaga tampilan humoris pada kehidupan sehari-hari bahkan bila tidak bersama teman-temannya sehingga ia mampu melakukan coping untuk menghadapi stress atau kemalangan. Hal ini membantu siswa dalam meregulasi emosi dan menghindari emosi negatif, yang tujuannya untuk pengarahan dan pemenuhan diri.

Faktor eksternal lain yang berpengaruh adalah belajar atau “learning”. Seorang siswa akan belajar berhumor dengan cara modeling terhadap significant personnya. Sebagai seorang anak, siswa melewatkan sebagian besar masa hidupnya di bawah pengasuhan wali atau orang tuanya. Karena itu, orang tua biasanya menjadi significant person bagi siswa.

Ketika memasuki masa remaja, terjadi perubahan proses interaksi antara siswa dan orang tua. Relasi dalam keluarga ikut berubah ketika siswa SMA dalam keluarga tersebut mengalami perubahan dalam masa perkembangan. Siswa dalam komunitas modern akan menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan berinteraksi dengan teman sebaya. Selain waktu yang mereka habiskan bersama di sekolah, mereka juga banyak menghabiskan waktu luang bersama teman mereka. Hal tersebut menyebabkan significant person bagi siswa beralih dari orang tua


(28)

mereka menjadi peer group mereka. Siswa akan berusaha menyesuaikan diri dan memperoleh penerimaan dari significant person mereka sehingga dalam berhumor pun mereka akan mempelajari dan menirukan (modeling) bagaimana significant person mereka berhumor.

Ketika siswa melihat significant personnya, melontarkan style of humor tertentu, siswa tersebut akan memperhatikan tujuan dan isi humor yang dilontarkan significant person mereka. Mereka belajar melihat konteks sosial saat humor tersebut dilontarkan dan belajar membedakan situasi yang termasuk dalam paratelic mode dan telic mode. Hal ini diingat oleh siswa dan disimpan dalam kognisinya. Di lain kesempatan, ketika siswa berada dalam situasi yang memungkinkannya untuk mengaktifkan paratelic mode, siswa akan mengingat kembali apa yang telah ia pelajari dan mencoba mempraktekkan style of humor seperti significant personnya.

Selain belajar dengan cara modeling dari significant personnya, siswa akan mengamati tanggapan teman-teman sebayanya terhadap style of humor yang mereka lontarkan. Ketika siswa berada dalam suatu situasi yang memungkinkannya untuk mengaktifkan paratelic mode dan melontarkan style of humor tertentu, siswa akan memperhatikan respon temannya. Jika siswa memperoleh reinforcement positif, berupa reaksi tersenyum dan tertawa dari teman di sekitarnya, siswa akan mempersepsi humor tersebut sebagai sesuatu yang positif dan diterima peer groupnya. Ketika siswa berada dalam situasi yang serupa dengan situasi saat memperoleh reinforcement positif dari temannya, siswa tersebut akan mengulang style of humor yang pernah ia gunakan sebelumnya.


(29)

Sebaliknya, jika siswa tersebut memperoleh respon yang negatif, misalnya teman-temannya tidak tertawa, tidak mempedulikan humor yang ia lontarkan, atau menunjukkan ketidaksukaan mereka, siswa akan mempersepsi humor tersebut sebagai sesuatu yang negatif dan ditolak peer groupnya. Ketika siswa tadi berada dalam situasi yang serupa dengan situasi saat memperoleh reinforcement negatif dari temannya, siswa tersebut tidak akan mengulang style of humor tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rod A. Martin (2002), ia menemukan bahwa laki-laki cenderung menggunakan style of humor aggressive dan self-defeating, sedangkan perempuan cenderung menggunakan affiliative style dan self-enhancing. Menurut Rod A. Martin, laki-laki cenderung menggunakan humor dengan tujuan membuat orang lain terkesan, tampil sebagai orang yang humoris, dan menciptakan identitas pribadi yang positif, sedangkan perempuan menggunakan humor untuk meningkatkan solidaritas dan keintiman dalam kelompok. Perbedaan tujuan antara laki-laki dengan perempuan dalam berinteraksi dengan orang lain tersebut terefleksi dalam style of humor yang mereka gunakan (Martin, 2007).

Hal ini sejalan dengan pola pergaulan yang dialami remaja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Deborah Tannen (1990 dalam Santrock, 2003) ditemukan bahwa dalam pergaulan di antara remaja laki-laki dan perempuan terdapat beberapa perbedaan. Jika dalam bergaul remaja laki-laki lebih menguasai panggung performa verbal seperti bercerita, berceramah mengenai suatu informasi, kemudian mereka bermain dalam kelompok yang besar dan terstruktur secara hirarkis dengan seorang pemimpin. Dalam permainan remaja laki-laki, ada


(30)

yang menang, ada yang kalah yang sering dijadikan topik perdebatan. Dan remaja laki-laki lebih sering terdengar membanggakan kemampuannya dan menunjukkan mengenai siapa yang lebih hebat.

Di lain pihak, remaja perempuan lebih menyukai percakapan pribadi dan pembicaraan yang akrab yang berorientasi pada suatu hubungan. Kemudian mereka jarang memberi perintah, lebih cenderung menunjukkan keinginan mereka sebagai suatu saran. Dibandingkan dengan remaja laki-laki, remaja perempuan tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian dan tidak bersaing secara langsung dengan orang lain. Dan remaja perempuan lebih menyenangi menghabiskan waktunya hanya untuk duduk-duduk bersama dan berbincang-bincang, lebih memperhatikan mengenai bagaimana disukai orang lain daripada mengejar status. (Deborah, 1990 dalam Santrock, 2003).

Perbedaan jenis kelamin ini juga tampak melalui remaja perempuan yang lebih tertarik untuk membentuk persabahatan yang mendalam secara emosi dengan teman-teman perempuannya dalam jumlah yang kecil, dan remaja laki-laki lebih tertarik untuk membentuk persahabatan yang didasarkan atas aktivitas dengan teman-teman laki-laki dalam jumlah yang besar. Pola ini menyebabkan remaja laki-laki jarang sendirian dibandingkan dengan remaja perempuan, namun remaja perempuan lebih sering berbincang-bincang daripada remaja laki-laki (Smith, 1997 dalam Linda Brannon, 2008).

Remaja perempuan menggunakan perbincangan sebagai cara untuk saling mengembangkan kedekatan, untuk mengungkap dan mempelajari pengetahuan yang mendalam mengenai masing-masing, yang mana mencakup keterlibatan


(31)

yang lebih mendalam dengan permasalahan dan transisi kehidupan dibandingkan dengan persahabatan remaja laki-laki (Roy, Benenson, & Lily, 2000 dalam Linda Brannon, 2008).

Linda Brannon menyatakan bahwa perempuan mengalami lebih banyak stress daripada laki-laki, dan peran yang disandang oleh perempuan tersebut adalah kemungkinan utama penyebab perbedaan tersebut. Kemudian ia juga menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin muncul pada cara dan waktu pengekspresian emosi, contohnya adalah jika pada saat marah, laki-laki lebih menggunakan konfrontasi fisik, sedangkan pada saat marah perempuan cenderung menggunakan cara yang tidak langsung, atau menangis.

Pola pergaulan, tujuan penggunaan humor, dan perbedaan-perbedaan pada siswa laki-laki dan perempuan ini mengarahkan pada kecenderungan penggunaan style of humor aggressive dan self-defeating pada siswa laki-laki dan kecenderungan penggunaan affiliative style dan self-enhancing pada siswa perempuan.


(32)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Siswa

laki-laki usia 14 – 16

tahun

Siswa perempuan usia 14 – 16

tahun

Dibandingkan Proses humor:

1. Konteks sosial 2. Proses

kognitif-perseptual

3. Proses emosional 4. The

vocal-behavioral expression of laughter Style of humor me) - Modelling - Reinforcement Style of humor Aspek: - Isi - Tujuan Affiliative Humor Self-enhancing Humor Aggresive Humor Self-defeating Humor Affiliative Humor Self-enhancing Humor Aggresive Humor Self-defeating Humor Faktor yang mempengaruhi:

- Budaya

(individualisme/kolektivis me)

- Modelling - Reinforcement


(33)

1.6 Asumsi Penelitian

1. Dalam pergaulan, baik siswa laki-laki usia 14 – 16 tahun (penelitian

dilakukan di SMA „Y‟ Bandung) maupun siswa perempuan usia 14 –

16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung) akan menggunakan keempat style of humor.

2. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi style of humor siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung), yaitu faktor budaya (kolektivistik atau individualistik), modeling, dan reinforcement.

3. Situasi pergaulan yang dialami oleh siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung) berbeda-beda, sehingga akan muncul style of humor yang menonjol pada diri siswa laki-laki dan perempuan kelas X SMA „Y‟ Bandung.

1.7 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan style of humor antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Terdapat perbedaan style of humor affiliative style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).


(34)

Terdapat perbedaan style of humor self enhancing style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di

SMA „Y‟ Bandung).

Terdapat perbedaan style of humor aggresive style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA „Y‟ Bandung).

Terdapat perbedaan style of humor self defeating style pada siswa laki-laki dan perempuan usia 14 – 16 tahun (penelitian dilakukan di SMA


(35)

96 Universitas Kristen Maranatha 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai style of humor yang diberikan kepada siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun

(penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

 Tidak terdapat perbedaan style of humor yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di SMA

‘Y’ Bandung)

 Tidak terdapat perbedaan affiliative style yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di SMA

‘Y’ Bandung)

 Tidak terdapat perbedaan self enhancing style yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di

SMA ‘Y’ Bandung)

 Terdapat perbedaan aggresive style antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung)  Tidak terdapat perbedaan self defeating style yang signifikan antara siswa

laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di


(36)

 Siswa laki-laki yang memiliki budaya kolektif atau individual, lebih sering menggunakan affiliative, self-enhancing dan aggresive style mereka dan lebih jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang memiliki budaya kolektif atau individual, lebih sering menggunakan affiliative dan self-enhancing style mereka dan lebih jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang memiliki budaya kolektif lebih jarang menggunakan aggresive style, sedangkan siswa perempuan yang memiliki budaya individual lebih sering menggunakan aggresive style.

 Siswa laki-laki yang menerima reinforcement positif atau tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan sering menggunakan affiliative, self-enhancing dan aggresive style, namun jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang menerima reinforcement positif, negatif, atau tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan sering menggunakan affiliative, self-enhancing style.

 Siswa perempuan yang menerima reinforcement positif, seimbang antara yang sering dan jarang menggunakan aggresive style, kemudian yang menerima reinforcement negatif, dan tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan, jarang menggunakan aggresive style.

 Siswa perempuan yang menerima reinforcement positif atau tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan jarang menggunakan self defeating style.


(37)

 Siswa laki-laki yang melakukan modelling style of humor melalui significant person orang tua, saudara, teman atau keluarga sering menggunakan affiliative, self-enhancing, dan aggresive style dan jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang melakukan modelling style of humor melalui significant person orang tua, saudara, teman dan keluarga sering menggunakan affiliative dan self enhancing style, namun jarang menggunakan aggresive dan self defeating style apabila significant person-nya teman dan keluarga.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Metodologis

 Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh budaya, reinforcement, dan significant person pada style of humor siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian

dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung)

5.2.2 Saran Praktis

 Guru Bimbingan Konseling dapat memberikan materi mengenai penggunaan style of humor pada situasi yang tepat dan mendorong siswa untuk saling memberi respon yang tepat pada penggunaan style of humor.


(38)

 Guru Bimbingan Konseling dapat membuka forum diskusi antara siswa laki-laki dan siswa perempuan untuk men-sharingkan style of humor apa yang nyaman digunakan dan dapat meningkatkan pergaulan yang sehat diantara mereka.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Brannon, Linda. 2008. Gender: Psychological Perspectives, 5th ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Chaplin, J. P. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Conger, John Janeway. 1977. Adolescence and Youth: Psychological development in a changing world, 2nd ed. New York: Harper&Row Publishers,Inc. Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing. Massachusetts: Allyn and Bacon. Fuhrmann, Barbara Schneider. 1990. Adolescence, Adolescents, 2nd ed. London:

Scott, Foresman and Company.

Martin, Rod. A. 2007. Psychology of Humor, An Integrative Approach. New York: Academic Press.

Nasir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Rice, F. P. 1996. The Adolescent: Development, Relationship, and Culture.

Massachusetts: Allyn and Bacon

Santrock, John W. 2003. Adolescence, edisi 6. Jakarta: Erlangga.

Steinberg, Laurence. 2002. Adolescence, 6th ed. New York: Mc.Graw Hill Book Co.


(40)

DAFTAR RUJUKAN

Martin, Rod A. 2003. Individual Differences in Uses of Humor and Their Relation to Psychological Well Being: Development of the Humor Styles Questionnaire. Journal of Research in Personality. (Online). No. 37. (http://www.sciencedirect.com/ science, diakses September 2009).

Pedoman Penulisan Skripsi (Agustus 2007). Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(1)

96 Universitas Kristen Maranatha 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai style of humor yang diberikan kepada siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun

(penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

 Tidak terdapat perbedaan style of humor yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di SMA

‘Y’ Bandung)

 Tidak terdapat perbedaan affiliative style yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di SMA

‘Y’ Bandung)

 Tidak terdapat perbedaan self enhancing style yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di

SMA ‘Y’ Bandung)

 Terdapat perbedaan aggresive style antara siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung)  Tidak terdapat perbedaan self defeating style yang signifikan antara siswa

laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian dilakukan di


(2)

97

Universitas Kristen Maranatha  Siswa laki-laki yang memiliki budaya kolektif atau individual, lebih sering menggunakan affiliative, self-enhancing dan aggresive style mereka dan lebih jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang memiliki budaya kolektif atau individual, lebih sering menggunakan affiliative dan self-enhancing style mereka dan lebih jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang memiliki budaya kolektif lebih jarang menggunakan aggresive style, sedangkan siswa perempuan yang memiliki budaya individual lebih sering menggunakan aggresive style.

 Siswa laki-laki yang menerima reinforcement positif atau tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan sering menggunakan affiliative, self-enhancing dan aggresive style, namun jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang menerima reinforcement positif, negatif, atau tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan sering menggunakan affiliative, self-enhancing style.

 Siswa perempuan yang menerima reinforcement positif, seimbang antara yang sering dan jarang menggunakan aggresive style, kemudian yang menerima reinforcement negatif, dan tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan, jarang menggunakan aggresive style.

 Siswa perempuan yang menerima reinforcement positif atau tidak menerima reinforcement saat lelucon dilontarkan jarang menggunakan self defeating style.


(3)

Universitas Kristen Maranatha  Siswa laki-laki yang melakukan modelling style of humor melalui significant person orang tua, saudara, teman atau keluarga sering menggunakan affiliative, self-enhancing, dan aggresive style dan jarang menggunakan self defeating style.

 Siswa perempuan yang melakukan modelling style of humor melalui significant person orang tua, saudara, teman dan keluarga sering menggunakan affiliative dan self enhancing style, namun jarang menggunakan aggresive dan self defeating style apabila significant person-nya teman dan keluarga.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Metodologis

 Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh budaya, reinforcement, dan significant person pada style of humor siswa laki-laki dan siswa perempuan usia 14-16 tahun (penelitian

dilakukan di SMA ‘Y’ Bandung)

5.2.2 Saran Praktis

 Guru Bimbingan Konseling dapat memberikan materi mengenai penggunaan style of humor pada situasi yang tepat dan mendorong siswa untuk saling memberi respon yang tepat pada penggunaan style of humor.


(4)

99

Universitas Kristen Maranatha  Guru Bimbingan Konseling dapat membuka forum diskusi antara siswa laki-laki dan siswa perempuan untuk men-sharingkan style of humor apa yang nyaman digunakan dan dapat meningkatkan pergaulan yang sehat diantara mereka.


(5)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Brannon, Linda. 2008. Gender: Psychological Perspectives, 5th ed. Boston:

Pearson Education, Inc.

Chaplin, J. P. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Conger, John Janeway. 1977. Adolescence and Youth: Psychological development

in a changing world, 2nd ed. New York: Harper&Row Publishers,Inc. Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing. Massachusetts: Allyn and Bacon.

Fuhrmann, Barbara Schneider. 1990. Adolescence, Adolescents, 2nd ed. London:

Scott, Foresman and Company.

Martin, Rod. A. 2007. Psychology of Humor, An Integrative Approach. New

York: Academic Press.

Nasir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Rice, F. P. 1996. The Adolescent: Development, Relationship, and Culture.

Massachusetts: Allyn and Bacon

Santrock, John W. 2003. Adolescence, edisi 6. Jakarta: Erlangga.

Steinberg, Laurence. 2002. Adolescence, 6th ed. New York: Mc.Graw Hill Book


(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Martin, Rod A. 2003. Individual Differences in Uses of Humor and Their Relation

to Psychological Well Being: Development of the Humor Styles Questionnaire. Journal of Research in Personality. (Online). No. 37. (http://www.sciencedirect.com/ science, diakses September 2009).

Pedoman Penulisan Skripsi (Agustus 2007). Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.