"Surga" di Balik Tembok Penjara.

--

----

Pikiran
o Sen;n
123
17

o Selasa .
4

18

.Jan

19
OPeb

5
20


o Mar

6
21
OApr

Rabu

7
22
OMel

Rakyat
0
8
23

0


Kam;s

9

Jumat

10
24

OJun

11
25

OJul

26
0

Ags


o Sabtu 0 M;nggu
12

27

(U)

o Sep

28

14

29

15

30


16

31

OOIet 0 Nov 0 Des

"Surga" - di
Tembok Penjara
.- Balik
--

..

-

-

'81

..


,

Oleh

A

ADI SURYAP.

DA sebuah paradoks
yang sulit kita pahami
bersama. Ketika penjara atau lembaga pemasyarakatan Oapas) kini menawarkan
surga kebebasan dibandingkan
dunia bebas yangjustru kini tidak bebas. Lapas menjadi tempat paling aman untuk melakukan sebuah tindak kejahatan.Begitujuga dengan beberapa
privilege yang didapatkan tahanan yang punya uang dan
kuasa. Inspeksi mendadak yang
dilakukan oleh Satgas Mafia
Hukum di Rutan Pondok Bambu menunjukkan hal itu. Terpidana korupsi Artalyta Suryani
menempati ruangan mirip hotel
bintang lima dengan segala fasiIitasnya. Nurani publik kembaIi terkoyak. Bukan hanya di ruang publik rasa ketidakadilan

menjadi wacana mainstream,
melainkan di balik tembok penjara pun diskriminasi merajalela.
Peristiwa seperti ini Jmkan
pertama kali teIjadi. Kita m~ih
ingat terpidana 20 tahun kasus
narkoba SchapelIe Corby yang
dipergoki sedang menjalani perawatan rambut dan pedicure
di salon dan makan bersama
saudara perempuannya, Mercedes, di restoran di Kuta. Artinya, kasus seperti ini bukanlah
barang baru yang seharusnya
bisa dicegah. Lantas di mana
masalahnya?
Mencari akar masalah dalam
masalah sosial memang tidak
pernah mudah dilakukan. Karakteristik dari sebuah masalah
sosial adalah bersifat multikausal karena berkaitan dengan
berbagai subsistem seperti sosial, poIitik, ekonomi, dan budaya
yang ada dalam sebuah sistem
lingkungan. Melihat konteks 10kasi berlangsungnya kejadian,
ada dua pihak yang berperan

besar dalam menghasilkan perilaku positif ataupun negatif,
yakni petugas lapas dan narapidana. Logika awam akan berpikir tidak mungkin tahanan bisa
mendapatkan fasilitas mewah
tanpa izin dan sepengetahuan
petugas. Oleh karena itu, sangat

jam pada shif malam dan 6 jam
pada shif siang. perbandingan
antara risiko dan beban keIja
para petugas dengan upah yang
didapat, dirasa tidak imbang.
Politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang
adil menyebabkan pegawai kurang mempunyai motivasi .keIja
sehingga memicu timbulnya perilaku kolutif dan koruptif (Islamy, 1998).
Ketiga, masih kaburnya kode
etik bagi aparat birokrasi publik
(code of conduct) sehingga tidak mampu menciptakan budaya birokrasi yang sehat, seperti
keIja keras, keinginan untuk
berprestasi, kejujuran, rasa
tanggung jawab, bersih, bebas

mudah untuk memvonis siapa
yang bersalah dalam hal ini.
dari KKN,dan sebagainya.
Namun, melihat fenomena
Keempat, kurangnya jumlah
personel petugas di lapas. Perini adalah bak puncak gunung
es, tentunya kita jangan melebandingan petugas dengan warga binaan berkisar antara 1:100takkannya secara kasuistik karena praktikjual-beIi fasilitas ini
200. Satu sipir penjara mengsebenarnya sudah lama teIjadi
awasi ratusan orang yang tentusecara sistematis dan melibatnya tidak akan efektif.
Kelima, tidak adanya sistem
kan banyak pihak. Sebenarnya,
kasus ini membuka kotak hitam
pengawasan yang kokoh dan
kurangnya ketegasan dalam kepraktik-praktik yang teIjadi di
pemimpinan. Indikasinya, inlapas seperti adanya transaksi
narkoba, pungutan liar,jual-beformasi dalam penjara hanya
Ii makanan, peIjudian, dan bahdiketahui oleh segelintir pihak.
Bahkan, Menteri Hukum dan
kan ada cerita petugas lapas
menyewakan tempat khusus

HAM mengaku baru tahu ada
buat menyalurkan hasrat biolo"hotel bintang lima" dalam lapas. lni menunjukkan sistem
gis bagi para warga binaan dan
pembesuk. Mental birokrasi kipengawasan sangat buruk.
ta masih saja beranggapan "maKeenam, kondisi lapas yang
salah adalah uang" sehingga lapenuh sesak (overcapacity).
Berdasarkan data dari Direktopas dijadikan ajang bisnis yang
menggiurkan.
rat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak
Ada beberapa penyebab hal
ini bisa teIjadi. Pertama, adanya
Asasi Manusia, jumlah penghumental birokrat yang korup. Leni penjara pada 2006 sebanyak
mahnya proses rekrutmen, se112.744 orang, sedangkan kapaleksi, serta pengembangan SUID- sitasnya hanya 76.550 orang.
Pada 2oo7,jun1lah penghuni laber daya manusia (SDM) yang
tidak terprogram dengan baik.
pas sekitar 127.238 orang dari
Kita lihat banyak birokrasi pubkapasitas 86.§50 orang. Semenlik yang diisi tenaga-tenaga
tara pada 2008 tercatat jumlah
yang tidak profesional. Tidak dipenghuni penjara mencapai

tenipkannya merit system, teta130.075 orang, berlebih 41.476
pi atas dasar rasa like and disliorang dari kapasitas seharuske.
nya, yakni 88.599 orang. Ditjen
Kedua, rendahnya tingkat kePemasyarakatan mencatat jumlah narapidana dan tahanan
sejahteraan petugas lapas. Dengan fasilitas minim sertajum- . yang menghuni lapas atau rulah gaji yang berkisar antara
mah tahanan (rutan) pada
Rp400.000-Rp900.00o
per
2009 mencapai 132.372 orang,
bulan, para petugas ini mau tak
sedangkan kapasitas idealnya
mau harus bersiaga selama 12
90.853 orang. Jumlah total

Kliping Humas Unpad 2010

penghuni lapas atau rntan terdiridari 55-471 tahanan, 76.901
narapidana, 2.175 anak tahanan, 3.364 anak piclana, clan 152
anak negara. Kondisi yang tidak
manusiawi lni tentunya merangsang ~arga binaan yang

memiliki uang untuk mendapatkan kenyamanan. Kondisi
lapas memang harnsnya nyaman dan manusiawi karena
penjara atau lapas bukan tempat penyiksaan, melainkan tempat pembinaan.
Sebagai solusi hams ada reformasi birokrasi dalam tubuh
lembaga pemasyarakatan. Kita
membaginya menjadi aspek
restoration (perbaikan), provision (penyediaan sumber-sumber daya), clanprevention (pencegahan). Aspek restoration hams menyentuh penghilangan
fator penyebab rusaknya fungsi
clan membangun kembali polapola interaksil
Pengalaman di Amerika Serikat, dalam upaya mengatasi sejumlah masalah dalam sistem
pemenjaraan, mereka membentuk suatu badan yang dikenal
dengan Prison Ombudsman
(Ombudsman Penjara). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah pemangku
kepentingan, seperti ~arga binaan, petugas, penjara (di Indonesia disebut lapas), dan juga
otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Multistakeholder ini bisa merekomendasikan clan menghilangkan semua fasilitas yang diperoleh tahanan dan menempatkannya
secara adil bersama tahanan
yang lain, juga menindak tegas
siapa yang bertanggung ja~ab
dalaIri pratik-praktik kejahatan
dalam lapas clan memutus rantai kejahatan yang ada.
Aspek provision harns bersifat pengembangan dengan melakukan pembinaan, pemberdayaan birokrasi melalui redefinisi peran dan tanggung ja~abnya, peningkatan profesionalitas dengan mengoptimalkan sarana-sarana diklat dan litbang
di bidang kepega~ian,
pengembangan institusi yang bisa
dipakai untuk memacu aparat
birokrasi untuk mengejar ke-

---

--

unggulan komparatif clan kompetitif sekaligus juga untuk
memperkuat moral mereka,
dan pelatihan kepekaan agar
mereka responsif terhadap kepentingan publik (Islamy,1998).
Selain itu, kenaikan gaji bisa dilakukan disertai dengan remunerasi yang akan memacu petugas lapas bekerja dengan baik.
Artinya, jika kinerja bagus, sarna dengan gaji bertambah clan
sebaliknya.
Sementara itu, aspek pencegahan bisa dilakukan dengan
multistakeholder, yang tidak
hanYa melibatkan Kementerian
Hukum dan HAM dengan Ditjen Pemasyarakatannya. Lebih
dari itu, upaya penyelesaian harns mengikutsertakan pemangku kepentingan lain seperti Komisi Pemberantasan Kornpsi
(KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), kepolisian, maupun
lembaga ~adaya masyarakat
(18M), dan mungkin juga kalangan s~asta seperti media
massa.
Di Lapas, pintu masuk kejahatan ada di tangan petugas lapas. Untuk itu, mekanisme

penga~

perludibuattrans- I

paran untuk diakses publik. Peran media massa sangat sentral
dalam hal ini untuk diberi kemudahan
meliput
bahkan
menginvestigasi dalam lapas.
Sebagai salah satu bagian dari
masyarakat sipil, media massa
tidak terjebak pada struktur birokrasi pemerintah dan lebih
bebas untuk mengungkap fakta.
Pekerjaan
menghilangkan
mental birokrasi lapas yang buruk butuh konsistensi. Nilai-nilai negatif yang menjadi panduan bertindak harns dikikis perlaban disertai dengan telaclan. Kepemimpinan yang tegas dan
pemberian motivasi bekerja dengan pembentukan sistem barn
dalam lapas adalah harga mati.
Jika tidak, optimalisasi efekjera
dan pembinaan yang menjadi
esensi lapas menjadi gagal ketika ujung proses hukuman memberikan keistime~aan dan kem~an.-*

Pemdis, mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIPUnpad.