Pengaruh Cara Blansing Pada Beberapa Bagian Tanaman Katuk (Sauropus Anrogynus L. Merr) Terhadap Warna Dan Beberapa Karakteristik Lain Tepung Katuk - The Effect Of Blansing Treatment On Some Part Of Katuks Plant (Sauropus Androgynus L. Merr) To Colour And

PENGARUH CARA BLANSING PADA BEBERAPA BAGIAN
TANAMAN KATUK (SAUROPUS ANROGYNUS L. MERR) TERHADAP WARNA
DAN BEBERAPA KARAKTERISTIK LAIN TEPUNG KATUK
THE EFFECT OF BLANSING TREATMENT ON SOME PART OF KATUK’S
PLANT (SAUROPUS ANDROGYNUS L. MERR) TO COLOUR AND OTHER
CHARACTERISTICS OF KATUK’S FLOUR
Marleen Herudiyanto1 Verna Ana Agustiana2
ABSTRAK

Katuk dapat dikembangkan menjadi pewarna hijau alami dalam bentuk tepung.
Masalah yang terjadi dalam pembuatan tepung katuk adalah pemilihan bagian yang tepat dan
pencoklatan enzimatis. Solusi untuk mencegah pencoklatan enzimatis ini diantaranya dengan
perlakuan blansing. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan cara blansing dan bagian
tanaman katuk yang tepat untuk menghasilkan tepung katuk dengan warna dan karakteristik
lain yang terbaik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor dan diulang empat kali.
Faktor pertama adalah cara blansing dengan dua taraf yaitu blansing air mendidih dan
blansing uap air. Faktor kedua adalah bagian tanaman katuk dengan tiga taraf yaitu bagian 15
cm dari ujung pangkal pucuk, bagian daun dan tangkai, serta bagian daun.
Perlakuan blansing air mendidih menghasilkan tepung katuk dengan beberapa

karakteristik baik yaitu kadar air 5,35% (b.k), berwarna hijau agak cerah
(L 49,35, a –9,82, b 15,98), rendemen 13,67% dan secara organoleptik tepung berwarna hijau
cerah (skor 3,9), aroma khas katuk agak kuat (skor 3,2) dan warna larutan tepung hijau
(skor 3,5). Perlakuan blansing uap air menghasilkan tepung dengan beberapa karakteristik
baik yaitu kadar air 5,27% (b.k), berwarna hijau agak cerah (L50,48, a –9,50, b 17,50),
rendemen 14,81%, dan secara organoleptik warna tepung hijau cerah (skor 3,7), aroma
tepung khas katuk agak kuat (skor 3,4) dan warna larutan tepung hijau (skor 3,2). Tepung
katuk terbaik adalah tepung katuk dari bagian daun pada tanaman katuk dengan karakteristik
kadar air 4,43% (b.k.), berwarna hijau agak cerah (L 46,06, a –9,24, b 13,52), dan secara
organoleptik warna tepung hijau gelap (skor 4,7), aroma khas katuk kuat (skor 3,6) dengan
warna larutan tepung hijau pekat (skor 4,3).
Kata kunci : tepung katuk, blansing, bagian tanaman katuk

ABSTRACT

Katuk can be developed to be a natural green colour in the form of flour. Enzymatic
browning and selecting the right part of katuk plants are the problems usually occured during
the making of katuk flour. Alternative solution to prevent the katuk flour from enzymatic
browning is blanching treatment. This research was to determine the best blanching treatment
and to select which part of katuk that yield katuk flour which have colour and other good

characteristics.
The method used was experimental method with Randomized Block Design of two
factorial pattern with four times repetition. The first factor was two level blanching, boiling
water blanching and steam blanching. The second factor was the part of katuk plant with
three level, the top 15 cm of stem tips, the leaves and branch, and the leaves part.
The boiling water blanched treatment yields katuk’s flour with good characteristic,
moisture content 5,35% (d.b), bright green colour
(L 49,35, a –9,82, b
15,98), rendement 13,67%, and organoleptically, the colour of flour is light green (score 3,9),
strong odor (score 3,2) and flour solution is green
(score 3,5). The steam blanched
treatment yields katuk’s flour with good characteristic that has moisture content of 5,27%
(d.b), green colour was light
(L 50,48, a –9,50, b 17,50), rendement 14,81% and
organoleptically, the colour of katuk flour is light green (score 3, 7), strong odor (score 3,4)
and the green katuk flour solution (score 3,2). The best katuk flour is obtained from the
leaves part of katuk’s plant with good characteristic of moisture content 4,43% (d.b), green
colour was light (L 46,06, a –9,24, b 13,52), rendement 16,54%, and organoleptically, the
colour of katuk flour is dark green (score 4,7), strong odor (score 3,6) and the katuk flour
solution is thick green (score 4,3)

Key words : katuk flour, blanching, part of katuk plant

PENDAHULUAN
Warna dalam makanan memiliki peran
yang sangat penting dalam peningkatan
palatibilitas konsumen terhadap suatu
bahan makanan. Penambahan zat warna
pada makanan olahan baik itu pewarna
alami
maupun
pewarna
sintetik
merupakan salah satu cara yang bisa
dilakukan untuk mendapatkan warna
bahan makanan yang menarik.
Produsen
makanan
cenderung
memilih
pewarna

sintetik
karena
menghasilkan warna yang lebih kuat dan
stabil meski jumlah yang digunakan hanya
sedikit (Pikiran Rakyat, 2006). Menurut
Winarno (1997) pewarna tekstil yang
mengandung residu logam berat seringkali
digunakan sebagai pewarna makanan
karena harganya jauh lebih murah

dibandingkan dengan pewarna makanan.
Menurut penelitian Winarti dikutip
Sianturi (2004) terhadap sampel makanan
olahan yang menggunakan zat perwarna
tekstil membuktikan bahwa penggunaan
zat pewarna tekstil pada makanan dapat
mengakibatkan gangguan fungsi hati atau
kanker hati dan tumor pada ginjal.
Pemakaian pewarna alami merupakan
solusi

terhadap
tingginya
jumlah
penyimpangan
penggunaan
pewarna
tekstil pada makanan karena pewarna
alami adalah golongan zat pewarna yang
aman bagi kesehatan (Pikiran Rakyat,
2006). Katuk merupakan tumbuhan lokal
asli Indonesia yang kaya akan klorofil
(Limantara,
2004)
sehingga
katuk
memiliki potensi sebagai pewarna alami
hijau. Menurut Fletcher (1998) katuk
memiliki nilai gizi yang tinggi, selain kaya

kalori, protein dan karbohidrat, katuk juga

kaya pro-vitamin A, vitamin B1, dan C
serta mineral. Adanya kandungan serat
pangan yang tinggi pada daun katuk
terutama kandungan serat total dan serat
tak larut menempatkan katuk sebagai
pangan fungsional (Muchtadi, 2001).
Menurut Fletcher (1998) bagian yang
biasa digunakan sebagai sayuran dari
tanaman katuk adalah daun muda dan
batang muda sepanjang 15 cm dari ujung
pangkal pucuk tanaman katuk. Bagian
daun tua pada tanaman katuk tidak
digunakan sebagai sayuran tetapi memiliki
kandungan klorofil dan nutrisi yang lebih
tinggi dari daun muda. Menurut Muchtadi
(1992) pigmen klorofil pada tanaman
terdapat di dalam daun dan permukaan
batang yaitu dalam lapisan spongi di
bawah kutikula. Sedangkan serat pangan
dari sayuran terdapat dalam struktur

dinding sel terutama pada jaringan
parenkim
dan
sebagian
jaringan
terlignifikasi (Selveran dan Dupont, 1984
dikutip Muchtadi, 2000).
Berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumnya diketahui pewarna makanan
lebih efektif diaplikasikan pada makanan
jika dibuat dalam bentuk tepung. Tanaman
katuk diketahui pula dapat dibuat menjadi
tepung sayuran. Bahan baku tepung
sayuran diketahui dapat diperoleh dari
semua bagian pada sayuran. Oleh karena
itu, pengolahan katuk menjadi tepung
sebagai sumber klorofil dan sumber serat
pangan dapat menggunakan bagian batang
muda dan tangkai daun pada tanaman

katuk selain bagian daun.
Pencoklatan merupakan msalah yang
timbul
dalam
pengeringan
pada
pembuatan tepung katuk. Pencoklatan ini
dapat terjadi akibat aktivitas enzim
oksidase dalam jaringan yang hancur
(Desrosier, 1988) dan konversi klorofil
menjadi feofitin akibat proses pengeringan
(Clydesdale
dan
Francis,
1976).
Pencoklatan pada pengeringan dapat
dicegah dengan melakukan inaktivasi
sistem enzim. Inaktivasi sistem enzim ini

dilakukan dengan cara blansing pada air

mendidih atau uap air dengan waktu 1-3
menit untuk sayuran daun (Desrosier,
1988) atau sampai uji peroksidase
menunjukkan
nilai
negatif
enzim
peroksidase.
Berdasarkan uraian di atas dilakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh
bagian tanaman katuk yaitu bagian pucuk,
daun dan tangkai daun, serta daun dan
pengaruh cara blansing air mendidih atau
uap air terhadap warna dan beberapa
karakteristik lain dari tepung katuk
sebagai sumber pewarna alami hijau.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan adalah
tanaman katuk dengan umur panen setiap
30-45 hari dengan umur tanam minimal 4

bulan, air bersih.
Alat-alat
yang digunakan dalam
percobaan ini adalah pengering kabinet,
timbangan analitik, kompor gas, loyang,
grinder, ayakan tyler 60 mesh, talenan,
pisau, baskom, panci, saringan.
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode eksperimen dengan
Rancangan Acak Kelompok pola Faktorial
yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama
adalah Cara Blansing (A) dengan 2 taraf
yaitu blansing air mendidih dan blansing
uap air. Faktor kedua adalah bagian
tanaman katuk yang dipakai (B) dengan 3
taraf yaitu 15 cm dari ujung pangkal
pucuk, daun dan tangkai daun, serta daun.
Tepung Katuk dibuat dengan cara
A. Penyiapan Bahan
1. Sortasi bahan dari bagian-bagian yang

tidak diinginkan seperti daun rusak,
daun layu dan batang utama serta
pemisahan bagian katuk berdasarkan
perlakuan lalu ditimbang per bagian.
2. Pencucian dengan air mengalir dan
penirisan
3. Blansing sesuai dengan perlakuan yaitu
blansing uap air dan atau blansing air
mendidih selama 3 menit pada suhu
100C.

4. Pendinginan dilakukan pada air
mengalir menggunakan wadah berupa
saringan
sehingga
air
langsung
terbuang untuk menghentikan proses
inaktivasi enzim saat blansing.

B. Proses pengeringan
1. Penebaran katuk yang telah diberi
perlakuan ke dalam loyang.
2. Pengeringan
dilakukan
dengan
menggunakan pengering kabinet pada
suhu 60C selama 12 jam.
3. Katuk kering didinginkan dalam
desikator selama 10 menit agar tidak
menyerap air dari lingkungan, lalu
ditimbang.
C. Proses penepungan
1. Katuk kering digiling menggunakan
grinder selama 2 menit kemudian
diayak menggunakan ayakan tyler
berukuran 60 mesh. Produk yang
dihasilkan adalah bubuk katuk (lolos
ayakan 60 mesh) dan ampas (tidak
lolos ayakan 60 mesh). Tepung
kemudian ditimbang.
2. Pengemasan dengan menggunakan
plastik HDPE.
Kriteria Pengamatan
1. Pengamatan Kimia dan Fisika (uji
statistik)
- Kadar air metode destilasi (Sudarmaji
et al., 1989)
- Warna tepung katuk metode hunter
dengan menggunakan chromameter
Minolta CR-300 (Soekarto, 1990)
2. Pengamatan
Organoleptik
(uji
statistik)
- Karakteristik inderawi meliputi warna
dan aroma tepung katuk menggunakan
uji skoring (Soekarto, 1985)
- Warna dari larutan tepung katuk
menggunakan
uji
skoring
(Soekarto,1985)
3. Penghitungan Rendemen tepung katuk
(Uji Statistik) (Ranggana,1977)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar Air Tepung Katuk
Hasil sidik ragam memperlihatkan
bahwa tidak ada interaksi antara cara
blansing dan bagian tanaman katuk
terhadap kadar air tepung katuk. Hasil uji
pengaruh mandiri pada faktor cara
blansing dan bagian tanaman katuk
terhadap kadar air tepung katuk pada
setiap tarafnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Cara Blansing dan Bagian
Tanaman Katuk terhadap Kadar Air Tepung Katuk
(%)
Perlakuan
Rata-rata
Persentase Kadar
Air dan Hasil Uji
Cara Blansing
Blansing
Air
5,35 a
Mendidih
Blansing Uap Air
5,27 a
Bagian Tanaman Katuk
15 cm dari ujung
5,79 b
pangkal pucuk
Daun+tangkai
5,70 b
Daun
4,43 a
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai
dengan huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
pada taraf 5% menurut uji jarak berganda Duncan

Hasil uji pengaruh mandiri faktor
cara blansing menunjukkan blansing air
mendidih tidak memiliki pengaruh yang
berbeda nyata dengan faktor cara blansing
uap air terhadap kadar air tepung katuk.
Hasil uji dari pengaruh rata-rata
perlakuan bagian tanaman katuk terhadap
kadar air tepung katuk menunjukkan
bahwa kadar air tepung katuk dari bagian
15 cm dari ujung pangkal pucuk tidak
berbeda nyata dengan kadar air tepung
katuk dari bagian daun dan tangkai, tetapi
berbeda nyata dengan kadar air dari
bagian daun.
Bagian daun dari tanaman katuk
menghasilkan tepung katuk dengan ratarata kadar air terendah yaitu 4,43%. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Tranggono
dan Sutardi (1990), yakni bagian daun dari
tanaman
lebih
mudah
mengalami
penguapan air karena luas permukaan

daun per satuan volume lebih besar
dibandingkan dengan bagian tanaman lain
seperti batang muda dan tangkai daun.
 Warna Tepung Katuk
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak
ada interaksi antara cara blansing dan
bagian tanaman katuk terhadap nilai L, a,
dan b dari tepung katuk. Hasil uji
pengaruh mandiri pada faktor cara
blansing dan bagian tanaman katuk
terhadap nilai L, a dan b pada tiap tarafnya
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Cara Blansin g dan Bagian
Tanaman Katuk terhadap Nilai L, a, dan
b Tepung Katuk
Perlakuan
Rata-rata Nilai dan Hasil
Uji
L
a
b
Cara Blansing
15,98a
- Blansing
Air 49,35a -9,82a
Mendidih
17,20a
50,48a -9,50a
- Blansing Uap Air
Bagian
Tanaman
Katuk
- 15 cm dari ujung 53,75c -9,74a
19,18c
pangkal pucuk
- Daun+tangkai
49,93b -10,01a
17,06b
- Daun
46,06a -9,24a
13,52a
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai
dengan huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
pada taraf 5% menurut uji jarak berganda Duncan

Baik itu faktor blansing air
mendidih maupun blansing uap air
menghasilkan tepung katuk dengan nilai
yang tidak berbeda nyata. Baik itu
blansing air mendidih maupun blansing
uap
air
keduanya
masih
dapat
mempertahankan
kandungan
klorofil
dalam tepung katuk karena keduanya
dapat menginaktifkan enzim penyebab
pencoklatan.
Faktor bagian tanaman katuk
menghasilkan tepung dengan tingkat
kecerahan yang berbeda nyata karena
karena perbedaan kandungan klorofil pada
tiap bagian tersebut. Bagian 15 cm dari
ujung pangkal pucuk menghasilkan tepung
katuk dengan tingkat kecerahan tertinggi.
Bagian tanaman ini merupakan bagian

tanaman katuk yang muda dimana
menurut Rahayu dan Limantara (2005)
kandungan klorofil pada daun katuk yang
muda nilainya 44,56 spad/mm2. Selain itu,
kandungan klorofil pada bagian batang
muda dan tangkai tidak sebanyak pada
bagian daun. Semakin rendah kandungan
klorofil pada tanaman maka semakin
muda warnanya yang menyebabkan lebih
banyak cahaya yang dipantulkan kembali
pada chromameter dan meningkatkan nilai
kecerahan.
Bagian daun dan tangkai berasal
dari bagian katuk yang sudah tua sehingga
warnanya lebih gelap dibandingkan
dengan bagian 15 cm dari ujung pangkal
pucuk tetapi adanya tangkai menyebabkan
nilai kecerahan tepung lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian daun.
Bagian
daun
memiliki
nilai
kecerahan
terendah
sesuai
dengan
pernyataan Muchtadi (2000) dimana
bagian daun tua pada katuk berwarna hijau
gelap, sedangkan menurut Rahayu dan
Limantara (2005) daun katuk tua
mengandung klorofil sebesar 68,48
spad/mm2.
Faktor blansing air mendidih dan
blansing uap air tidak memiliki pengaruh
yang berbeda nyata terhadap nilai a tepung
katuk. Baik itu blansing air mendidih
maupun blansing uap air telah cukup
menginaktifkan enzim polifenoloksidase
sehingga pencoklatan enzimatis tidak
terjadi yang ditunjukkan dengan nilai a
negatif yaitu kecenderungan warna hijau
dari kisaran warna merah-hijau.
. Bagian tanaman katuk juga tidak
memiliki pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai a tepung katuk. Hasil yang
tidak berbeda nyata dari uji pengaruh
mandiri terhadap bagian tanaman katuk
menunjukkan bahwa semua bagian dari
tanaman katuk memiliki kecenderungan
sifat yang sama yaitu stabil terhadap
terjadinya pencoklatan enzimatis akibat
pemecahan klorofil oleh enzim klorofilase
menjadi klorofilid yang larut air yang

dengan adanya asam dapat membentuk
feoforbid yang berwarna coklat.
.
Faktor cara blansing menunjukkan
blansing air mendidih blansing uap air
tidak memiliki pengaruh yang berbeda
nyata terhadap nilai b tepung katuk. Baik
itu blansing air mendidih ataupun uap air
dapat menghambat terjadinya pencoklatan
enzimatis. Bagian tanaman katuk memiliki
pengaruh yang berbeda nyata terhadap
nilai b tepung katuk Bagian 15 dari ujung
pangkal pucuk menghasilkan tepung katuk
dengan nilai b tertinggi selain karena
kandungan klorofilnya yang lebih rendah
Pada bagian ini, selain karena kandungan
klorofilnya juga terdapat bagian batang
muda
yang
mengandung
senyawa
flavonoid pada bagian kayu dan kulit
kayunya (Muchtadi, 2000)
Tepung dari bagian daun dan tangkai
ini masih cenderung lebih kuning jika
dibandingkan
dengan bagian daun
meskipun berasal dari bagian tanaman
katuk yang juga tua. Adanya tangkai pada
bagian ini yang juga mengandung
senyawa flavonoid pada kayu dan kulit
kayunya meningkatkan intensitas warna
kuning pada tepung..
Bagian daun menghasilkan tepung
dengan nilai b terendah karena pada
tepung dari bagian daun kandungan
klorofilnya memiliki nilai tertinggi yaitu
68,48 spad/6mm2 sehingga kecenderungan
warna kuningnya yang disebabkan karoten
tidak terlalu tampak.


Skor Warna Tepung Katuk
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak
ada interaksi antara cara blansing dan
bagian tanaman katuk terhadap skor warna
tepung katuk. Hasil uji pengaruh mandiri
pada faktor cara blansing dan bagian
tanaman katuk terhadap skor warna
tepung katuk pada setiap tarafnya
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Cara Blansin g dan Bagian
Tanaman Katuk terhadap Skor Wa rna Tepung
Katuk
Perlakuan
Rata-rata Skor
Warna dan
Hasil Uji
Cara Blansing
Blansing
Air
3,9 a
Mendidih
Blansing Uap Air
3,7 a
Bagian Tanaman Katuk
15 cm dari ujung
2,9 a
pangkal pucuk
Daun+tangkai
3,8 b
Daun
4,7 c
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai
dengan huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
pada taraf 5% menurut uji jarak berganda Duncan

Perlakuan blansing air mendidih dan
blansing uap air menghasilkan tepung
katuk dengan skor warna yang tidak
berbeda nyata. Hal ini menunjukkan baik
itu blansing air mendidih maupun blansing
uap
air
keduanya
sudah
cukup
menginaktifkan enzim polifenoloksidase
dalam waktu 3 menit. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Desroiser (1988) yakni
blansing pada sayuran daun cukup
dilakukan dalam waktu 3 menit.
Bagian tanaman katuk memiliki
pengaruh yang berbeda nyata terhadap
skor warna tepung katuk. Warna tepung
dari bagian 15 cm dari ujung pangkal
pucuk berwarna hijau muda cerah karena
bagian ini memiliki kandungan klorofil
terendah dimana dibandingkan dengan
bagian daun tua selain itu kandungan
senyawa flavonoid yang lebih dominan
pada tanaman katuk yang masih muda dan
pada batang muda menyebabkan warna
hijau tepung katuk dari bagian tanaman
katuk ini lebih muda.
Skor warna tepung dari bagian daun
dan tangkai lebih tinggi dari bagian 15 cm
dari ujung pangkal pucuk karena berasal
dari bagian tanaman katuk yang tua tetapi
adanya tangkai menurunkan intensitas
warna tepung katuk, karena pada tangkai
juga terdapat senyawa flavonoid sebagai
salah satu sumber pigmen warna kuning
yang terletak pada kayu dan kulit kayunya

Bagian daun dari tanaman katuk
menghasilkan
tepung
dengan
skor
tertinggi karena daun tua memiliki
kandungan klorofil dengan jumlah yang
tinggi.


Skor Aroma Tepung Katuk
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak
ada interaksi antara cara blansing dan
bagian tanaman katuk terhadap skor
aroma dari tepung katuk. Hasil uji
pengaruh mandiri pada faktor cara
blansing dan bagian tanaman katuk
terhadap skor aroma tepung katuk pada
setiap tarafnya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Cara Bla nsing dan Bagian
Tanaman Katuk terhadap Skor Ar oma Tepung
Katuk
Perlakuan
Rata-rata Skor
Aroma dan
Hasil Uji
Cara Blansing
Blansing
Air
3,3 a
Mendidih
3,4 a
Blansing Uap Air
Bagian Tanaman Katuk
15 cm dari ujung
3,2 a
pangkal pucuk
3,2 a
Daun+tangkai
3,6 b
Daun
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai
dengan huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
pada taraf 5% menurut uji jarak berganda Duncan

Faktor cara blansing air mendidih
dan blansing uap air tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap
skor aroma tepung katuk. Proses blansing
baik itu blansing air mendidih dan
blansing uap air menurunkan aroma dari
tepung katuk karena pada saat blansing
senyawa volatil pada katuk sebagian
menguap. Perlakuan suhu dan waktu
blansing
yang sama menyebabkan
penguapan senyawa volatil pada tanaman
katuk dengan kedua cara blansing tersebut
berjalan sama sehingga kedua cara
blansing menghasilkan skor aroma yang
tidak berbeda nyata.
Bagian 15 cm dari ujung pangkal
pucuk menghasilkan tepung katuk dengan

skor aroma yang tidak berbeda nyata
dengan bagian daun+tangkai, tetapi
keduanya memiliki skor aroma tepung.
yang berbeda nyata dengan bagian daun.
Bagian tanaman katuk memiliki skor
aroma tepung yang berbeda karena pada
bagian 15 cm dari ujung pangkal pucuk
kandungan senyawa volatilnya lebih
rendah karena menurut Fletcher (1998)
nilai nutrisi katuk pada bagian yang lebih
muda jumlahnya lebih sedikit yang
menunjukkan
kandungan
senyawa
volatilnya juga lebih rendah sehingga
aroma dari katuk yang terkandung di
dalamnya lebih tidak tercium. Sedangkan
pada bagian daun dan tangkai karena
adanya tangkai yang kandungan senyawa
volatilnya lebih rendah dari daun maka
aromanya pun tidak terlalu tercium. Pada
bagian daun yang kandungan senyawa
volatilnya lebih tinggi skor aroma tepung
3,6 yang berarti aroma tepung khas katuk
kuat, skornya lebih tinggi dibandingkan
dengan tepung dari bagian 15 cm dari
ujung pangkal pucuk serta bagian daun
dan tangkai.


Skor Warna Larutan Tepung
Katuk
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak
ada interaksi antara cara blansing dan
bagian tanaman katuk terhadap skor warna
larutan tepung katuk.
Hasil uji pengaruh mandiri pada
faktor cara blansing dan bagian tanaman
katuk pada setiap tarafnya disajikan pada
Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Cara Blansin g dan Bagian
Tanaman Katuk terhadap Skor Wa rna Larutan
Tepung Katuk
Perlakuan
Rata-rata Skor
Warna Larutan
Tepung Katuk
dan Hasil Uji
Cara Blansing
Blansing
Air
3,5 a
Mendidih
Blansing Uap Air
3,2 a
Bagian Tanaman Katuk
15 cm dari ujung
2,5 a
pangkal pucuk
Daun+tangkai
3,2 b
Daun
4,3 c
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai
dengan huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
pada taraf 5% menurut uji jarak berganda Duncan

Rata-rata skor warna larutan tepung
katuk berkisar antara 2,5-4,3 dengan
keterangan warna larutan hijau muda
sampai hijau pekat. Faktor cara blansing
menunjukkan baik itu blansing air
mendidih maupun blansing uap air
menghasilkan tepung katuk dengan warna
larutan hijau. Hasil ini menunjukkan
bahwa suhu dan waktu blansing pada
katuk baik itu blansing air mendidih
maupun blansing uap air keduanya telah
cukup menginaktifkan enzim penyebab
pencoklatan enzimatis.
Bagian tanaman katuk menghasilkan
warna larutan tepung yang berbeda nyata.
Bagian 15 cm dari ujung pangkal pucuk
menghasilkan tepung dengan warna
larutan hijau muda dengan skor 2,5.
Warna hijau muda dari bagian ni i
disebabkan klorofil pada bagian tanaman
yang masih muda kandungannya lebih
sedikit dibandingkan dengan bagian
tanaman katuk yang sudah tua. Senyawa
flavonoid yang lebih domnan pada bagian
tanaman katuk yang muda menyebabkan
timbulnya
warna
kuning
sehingga
memudarkan warna hijau larutan tepung
dari bagian ini. Sifat pigmen kuning
flavonoid yang tahan panas dan larut air
(Winarno, 1997) menimbulkan warna
larutan tepung menjadi
cenderung
kekuningan.

Bagian
daun
dan
tangkai
menghasilkan tepung dengan skor warna
larutan 3,2 yang berarti hijau. Klorofil
pada bagian ini nilainya setara dengan
bagian daun, tetapi adanya bagian tangkai
yang
kandungan
pigmen
kuning
flavonoidnya bersifat larut dalam air
menyebabkan turunnya derajat warna
hijau dari larutan tepung bagian
daun+tangkai.
Bagian daun menghasilkan tepung
dengan skor warna larutan 4,3 yang berarti
larutan tepung berwarna hijau pekat. Hal
ini menunjukkan pada bagian daun
kandungan klorofilnya tinggi.


Rendemen Tepung Katuk
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak
ada interaksi antara cara blansing dan
bagian tanaman katuk terhadap persentase
rendemen tepung katuk. Hasil uji
pengaruh mandiri terhadap kedua faktor
perlakuan dalam setiap tarafnya disajikan
dalam Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Cara Blansin g dan Bagian
Tanaman Katuk terhadap Rendemen Tepung Katuk
(%)
Perlakuan
Rata-rata
Rendemen
Tepung Katuk
(%) dan Hasil Uji
Cara Blansing
Blansing
Air
13,67 a
Mendidih
Blansing Uap Air
14,81 b
Bagian Tanaman Katuk
15 cm dari ujung
11,29 a
pangkal pucuk
Daun+tangkai
14,89 b
Daun
16,54 c
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai
dengan huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
pada taraf 5% menurut uji jarak berganda Duncan

Rata-rata rendemen tepung katuk
berkisar antara 11,29-16,54%. Kedua
faktor perlakuan baik itu faktor cara
blansing maupun faktor bagian tanaman
katuk memiliki pengaruh yang berbeda
nyata terhadap rendemen tepung dalam
setiap tarafnya.

Blansing air mendidih memiliki
pengaruh yang berbeda nyata dengan
blansing uap air terhadap rendemen
tepung katuk. Blansing air mendidih
menghasilkan rendemen tepung lebih kecil
dibandingkan dengan blansing uap air
yang menghasilkan rendemen tepung
sebesar. Hasil ini sesuai dengan beberapa
pernyataan yang diajukan diantaranya oleh
Muchtadi dan Sugiyono (1992) yaitu
penggunaan
medium
air
dapat
menyebabkan
kehilangan
komponen
terlarut lebih besar jika dibandingkan
dengan medium uap air, serta pernyataan
oleh Michigan State University Extension
(1999) dimana blansing menggunakan air
biasanya menyebabkan kehilangan nutrisi
lebih besar dibandingkan medium uap air.
Bagian 15 cm dari ujung pangkal
pucuk memiliki bagian dominan batang
muda dan tangkai sehingga tingkat
kekerasan bahan lebih tinggi. Tingkat
kekerasan bahan memengaruhi proses
penggilingan dimana bahan yang lebih
keras akan menghasilkan ukuran partikel
hasil penggilingan yang lebih besar pada
waktu dan alat penggilingan yang sama.
Akibatnya, jumlah bahan yang lolos
saringan pada pengayakan lebih sedikit.
Bagian
daun
dan
tangkai
menghasilkan tepung dengan rendemen
yang lebih besar dibandingkan dengan
bagian 15 cm dari ujung pangkal pucuk
karena tangkai yang terdapat pada bagian
jumlahnya sebanding dengan jumlah daun
sehingga
ukuran
partikel
hasil
penggilingan lebih kecil dan menyebabkan
jumlah tepung yang lolos saringan lebih
banyak.
Bagian
daun
menghasilkan
rendemen tepung terbesar karena daun
yang
telah
dikeringkan
memiliki
karakteristik daun yang tipis dan mudah
dipatahkan.
Karakteristik
tersebut
memudahkan dalam proses penggilingan
dan dapat menghasilkan bubuk dalam
ukuran parrtikel yang kecil sehingga
jumlah yang lolos saringan juga lebih
besar dibandingkan kedua bagian lainnya..

KESIMPULAN
1. Blansing air mendidih dan blansing uap
air berdasarkan uji jarak berganda duncan
tidak memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap karakteristik fisik, kimia
dan organoleptik dari tepung katuk
sehingga kedua cara blansing ini dapat
dipakai untuk blansing tanaman katuk
sebelum memasuki proses pengeringan.
Perbedaan pengaruh hanya terjadi pada
rendemen tepung katuk dimana blansing
air mendidih memiliki rendemen tepung
13,67% sedangkan blansing uap air
menghasilkan rendemen tepung 14,81%.
2. Perlakuan bagian daun dari tanaman
katuk menghasilkan tepung katuk dengan
karakteristik terbaik yaitu kadar air 4,43 %
(b.k), berwarna hijau agak gelap (L 46,06,
a –9,24, b 13,52), rendemen 16,54% dan
secara organoleptik berwarna hijau tua
(skor 4,7), beraroma khas katuk kuat (skor
3,6) dengan warna larutan tepung katuk
hijau pekat (skor 4,3).
SARAN

Perlu penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui bahan pengemas yang baik
untuk tepung katuk ini agar warna
tepung katuk lebih stabil dala
m
penyimpanan. Perlu penelitian lebih
lanjut
untuk
mengetahui
bahan
pengemas yang baik untuk tepung
katuk ini agar warna tepung katuk
lebih stabil dalam penyimpanan.
Pengembangan dapat dilakukan pada
tepung katuk untuk diaplikasikan
sebagai
pewarna
dengan
cara
imbangan agar selain dihasilkan warna
hijau yang menarik juga diperoleh
manfaat lain dari katuk. Pengukuran
daya larut dari tepung katuk perlu
dilakukan
untuk
mengetahui
banyaknya tepung yang dapat larut.

DAFTAR PUSTAKA
Clydesdale,F.M. dan F.J. Francis. dalam
Fennema, O.R. 1976. Principles of
Food Science Part I Food
Chemistry. Marcel Dekker, Inc.
New York and Basel.
Desrosier,
N.W.
1988.
Teknologi
Pengawetan Pangan. Penerjemah
Muljohardjo,M.
Penerbit
Universitas Indonesia (UI Press).
Jakarta.
Fletcher,R.
1998.
Sauropus
androgynus.(Sweet Leaf Bush).
The Australian
New Crops
Newsletter Issue No.9. Available
online
at
:
http://www.newcrops.uq.edu.au/ne
wslett/ncn19191.htm. (diakses 15
Oktober 2006).
Hutching, J.B. 1994. Food Colour and
Appearance. Blackie Acadeemic
and Proffesional. London.
Limantara, L. 2004. Daya Penyembuhan
Klorofil. Kompas. Available online
at
:
http://www.kompas.com/kompas.c
etak/0404/06/humaniora/951295.ht
m (diakses 15 Oktober 2006)
Man, J.M. de. 1997. Kimia Makanan.
Penerjemah.
Padmawinata,K.
Penerbit ITB. Bandung.
Michigan State University Extension.
1999. Blanching. Available online
at
:
http://webI.msue.msu.edu/imp/mod
01/01000906.html.
(diakses
6
Agustus 2007)
Muchtadi,
D.
1992.
Petunjuk
Laboratorium
Fisiologi
Pasca
Panen Sayuran dan Buah-buahan.
PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Muchtadi, D. 2001. Sayuran Segar sebagai
Sumber Serat Pangan untuk
Mencegah Timbulnya Penyakit
Degeneratif. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan Vol 2: No 1. IPB
Bogor. Available online at :
http://www.ipb.ac.id/gallery/journa
l/tpg/index.php3?tID=2&tltem=08.
(diakses 15 Oktober2006).
Muchtadi, D. 2000. Sayur-sayuran
Sumber Serat dan Anti Oksidan
Mencegah Penyakit Degeneratif.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakultas Teknik Pertanian IPB.
Bogor.

Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992
Petunjuk
Laboratorium
Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Pikiran Rakyat. 2006. Pewarna Makanan
Manakah
Yang
Aman
Dikonsumsi? Available online at :
http://www.pikiranrakyat.com/ceta
k/0304/18/cakrawala/index.htm
(diakses 7 Nopember 2007).
Rangana, S. 1977. Manual of Analysis of
Fruit and Vegetable Products. Tata
Mc Graw-Hill Publishing Co.Ltd.
New Delhi.
Rahayu, P. dan L. Limantara. 2005. Studi
Lapangan Kandungan Klorofil In
Vivo Beberapa Spesies Tumbuhan
Hijau di Salatiga dan Sekitarnya.
Jurnal Seminar Nasional MIPA
2005
FMIPA
Universitas
Indonesia. Depok.
Sianturi, G.S. 2004. Akibatkan Kanker
dan Tumor Ginjal. Sinar Harapan.
Available
online
at
:
http://www.sinarharapan.co.id/berit
a/0408/20/sh04.html (diakses 15
Oktober 2006).

Soekarto,
T.S.
1985.
Penilaian
Organoleptik
Untuk
Industri
Pangan dan Hasil Pertanian.
Penerbit Bhatara Karya Aksara.
Jakarta.
Soekarto,
T.S.
1990.
Dasar-dasar
Pengawasan dan Standarisasi Mutu
Pangan.Penerbit IPB. Bogor..
Soewandi, S.H.W. 1994. Telaah Fitokimia
Daun Katuk, Sauropus Androgynus
L. Merr. Available online at
http://digilib.itb.ac.id/go.php?id=jb
titbpp-gdl-s2-1994-sriharsodj1735. (diakses 15 Oktober 2006)
Sudarmaji, S., Haryono B., Suhardi. 1989.
Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian.
Penerbit
Liberty.
Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan
Gizi. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.