Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik.
1
KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI
PENGHASIL BERAS ORGANIK
(Kasus di Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya)
1
Hepi Hapsari1, Endah Djuwendah1, Eliana Wulandari1
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
e-mail : [email protected]
Abstrak. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat perlu diimbangi dengan kualitas dan
kuantitas bahan pangan pokok, setidaknya sama dengan laju pertumbuhan penduduk.
Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian produktif yang berkelanjutan, dan
ramah lingkungan seperti pertanian organik.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani penghasil beras organik,
dan untuk mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan
rumahtangga petani. Metode penelitian desain kuantitatif dengan teknik survey cross
sectional. Responden penelitian adalah rumahtangga petani penghasil beras organik
yang tergabung dalam Kelompok Tani Jembar Karya dan Jembar II, Desa Margahayu,
Kec. Manonjaya, Kab. Tasikmalaya. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (85,2
%) responden tergolong tahan pangan dan tidak miskin dengan rata-rata pendapatan Rp
462.500,- per kapita per bulan. Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi ketahanan
pangan adalah pendapatan, pengetahuan usahatani organik, produktivitas lahan,
penguasaan lahan dan pengolahan limbah. Agar terpenuhi kebutuhan hidup minimal,
maka luas penguasaan lahan tiap rumahtangga petani sekitar 9.492 m2. Agar terpenuhi
kecukupan energi, maka luas penguasaan lahan tiap rumahtangga 1.740 m 2. Luas
penguasaan lahan di tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan beras, dengan asumsi seluruh penduduk hanya
mengkonsumsi beras yang dihasilkan wilayah setempat.
Kata kunci : ketahanan pangan, petani, beras organik
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan
kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan laju
pertumbuhan penduduk. Tuntutan ini mendorong munculnya system pertanian modern
yang memiliki ciri-ciri ketergantungan yang tinggi pada : (1) pupuk sintetis; (2) bahan
kimia sintetis untuk pengendali hama, penyakit dan gulma; dan (3) varietas unggul
untuk tanaman monokultur. Sistem pertanian modern tersebut memang terbukti ampuh
dalam menjawab tantang tersebut.
Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2002),
penggunaan pupuk yang sepadan dan seimbang di Negara-negara yang sedang
berkembang dapat meningkatkan hasil pangan 50 – 60 persen, bahkan pengamat
pertanian dunia mengemukakan bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan
penggunaan pupuk kimia.
2
Melihat kondisi tersebut, salah satu ancaman yang besar terhadap kualitas dan
kuantitas pertanian adalah hilangnya kesuburan tanah karena cara-cara bertani yang
tidak memperhatikan kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan system pertanian
yang sesuai dengan asas-asas lingkungan sehingga dapat menjamin kesehatan
lingkungan dan berkelanjutan dalam pemanfaatn sumberdaya alam bagi generasi yang
akan datang.
Ciri utama pertanian berkelanjutan yang berawwasan lingkungan adalah : (1)
mampu meningkatkan hasil pertanian dan menjamin kebutuhan masyarakat; (2) mampu
menghasilkan gizi dengan kualitas yang tinggi dengan minimalisasi bahan kimia yang
membahayakan bagi yang mengkonsumsinya; dan (3) tidak mengurangi dan merusak
terhadap kesuburan lahan pertanian, termasuk di dalamnya tidak menimbulkan erosi
tanah (Saepurrohman, 2005). Salah satu tawaran solusi untuk menciptakan sistem
pertanian yang ramah lingkungan adalah pertanian organik.
Dengan biaya produksi yang menurun dan hasil yang cenderung meningkat maka
petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya sehingga akses
petani terhadap pangan juga meningkat. Jika dilihat definisi ketahanan pangan menurut
Undang-undang No.7 tahun 1996, akses terhadap pangan sangat penting bagi rumah
tangga petani karena hal itu diperlukan agar dapat hidup secara produktif dan sehat
Penduduk Indonesia demikian tergantung pada beras, sedikit saja terjadi
gangguan pasokan, harga jual beras meningkat. Pemerintah sangat berkeinginan untuk
berswasembada beras. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil, pada tahun 1985,
Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun, untuk meningkatkan produksi
hingga tercapai swasembada beras tersebut segala daya upaya ditempuh oleh
pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian di seluruh
Indonesia.Para petani di Tasikmalaya pun hingga saat ini masih menerapkan kebijakan
tersebut. Teknik bercocok tanam tradisional yang ramah lingkungan benar-benar
ditinggalkan dan digantikan dengan cara bertani modern dengan penggunaan pupuk dan
pestisida sintetis yang ternyata berdampak buruk terhadap kesuburan tanah. Menyadari
hal tersebut, pada tahun 2002, Ketua Gapoktan Simpatik Tasikmalaya mencoba
menerapkan cara bertani padi secara organik.
Namun demikian permasalahannya
adalah penguasaan lahan oleh petani tidak memadai. Rumah tangga petani di Kabupaten
Tasikmalaya hanya menguasai lahan rata-rata 0,34 ha (BPS, 2010).
3
Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis tingkat ketahan pangan rumah tangga
petani penghasil beras organik dan mengidentifikasi penguasaan lahan dalam
mendukung ketahanan pangan rumah tangga. Penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk semakin meningkatkan ketahanan pangan petani dan semangat mengembangkan
budaya pertanian organik.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan desain kuantitatif dengan teknik survey cross
sectional. Populasi penelitian adalah rumahtangga petani penghasil beras organik yang
tergabung dalam Kelompok Tani Jembar Karya dan Jembar II Desa Margahayu,
Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Sampel dipilih secara acak dengan
ukuran 30 rumahtangga dengan pertimbangan agar nilai-nilai terdistribusi normal.
Data diolah menggunakan SPSS 11.5 dan SAS for Windows. Untuk melihat
hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi dan untuk menentukan faktorfaktor determinan dari variabel-variabel bebas yang memperoleh ketahanan pangan
digunakan analisis regresi linear berganda. Persamaan umum yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Y = β0+ β1 X1+ β2 X2+ β3 X3+ β4 X4+ β5 X5+ β6 X6+ β7 X7+ β8 X8+ β9 X9+ β10 X10+E
Y
Β
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
E
= peubah tidak bebas (ketahanan pangan yang diukur berdasarkan Tingkat
kecukupan Energi.
= koefisien regresi
= peubah bebas pertama (penguasaan lahan)
= peubah bebas kedua (modal kerja)
= peubah bebas ketiga (kerjasama)
= peubah bebas keempat (pendidikan formal kepala keluarga)
= peubah bebas kelima (pendidikan non formal kepala keluarga)
= peubah bebas keenam (tujuan penerapan pertanian organik)
= peubah bebas ketujuh (pengelolaan limbah)
= peubah bebas kedelapan (pengetahuan bertani secara organik)
= peubah bebas kesembilan (produktivitas beras organik)
= peubah bebas kesepuluh (pendapatan)
= galat
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji regresi :
Y = 46,870 + 2,7E-0,5X1 + 0,146X2 +0,103X3 + 1,963X4 + 5,794X5 + 2,173X6
Tabel 1. Sebaran rumah tangga menurut kategori peubah yang menentukan
Ketahanan pangan (UNICEF 1997; Yambi & Kavishe 2002)
Peubah
Penguasaan lahan
Gurem ( < 0,5 ha, dengan rasio luas/anggota rumah
tangga 0,0014 – 0,125)
Menengah ( 0,5 – 0,9 ha, dengan rasio luas/anggota
rumah tangga 0,125 – 0,175)
Total
Modal kerja
Rendah (Rp.6.003.000,00 – Rp.7.975.066,00)
Sedang (Rp.7.975.067,00 – Rp.9.948.332,00)
Tinggi (Rp.9.948.333,00 – Rp.11.921.000,00)
Total
Kerjasama
Pasif (nilai 1)
Agak aktif (nilai 2)
Aktif (nilai 3)
Total
Pendidikan formal kepala keluarga
Tidak sekolah
SD
Total
Pendidikan non formal kepala keluarga
Tidak pernah (nilai 1)
Pernah sedang (nilai 2)
Pernah baik (nilai 3)
Total
Tujuan penerapan pertanian organik
Tidak berkelanjutan (nilai 3,0 – 4,9)
Kurang berkelanjutan (nilai 5,0 – 6,9)
Berkelanjutan (nilai 7,0 – 9,0)
Total
Pengelolaan limbah
Kurang menyokong pertanian organik (nilai 3,0 – 4,9)
Menyokong pertanian organik (nilai 5,0 – 6,9)
Sangat menyokong pertanian organik (nilai 7,0 – 9,0)
Total
Pengetahuan bertani secara organik
Rendah (nilai < 60 )
n
%
59
96,7
2
61
3,3
100,0
44
9
8
61
72,1
14,8
13,1
100,0
7
35
19
61
11,5
57,4
31,1
100,0
23
38
61
37,7
62,3
100,0
9
36
16
61
14,8
59,0
26,2
100,0
6
31
24
61
9,8
39,3
50,9
100,0
7
11,5
37
60,7
17
61
27,9
100,0
9
14,8
5
Sedang (nilai 60 – 80)
Tinggi (Nilai > 80)
Total
32
20
61
52,5
32,8
100,0
Total
8
6
49
61
9,8
9,8
80,3
100,0
9
52
14,8
85,2
Total
61
100,0
Total
9
17
35
61
14,8
27,9
57,4
100,0
Produktivitas beras organik
Rendah (30.00 – 49,62 kw/Ha/th)
Sedang ( 49,63 – 69,25 kw/Ha/th)
Tinggi (69,26 – 88,89 kw/Ha/th)
Pendapatan
Miskin (< Rp.300.000,00/kapita/bulan
Tidak miskin ( > Rp.300.000,00/kapita/bulan
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
< 70%
(tidak tahan pangan)
70 – 90% (tahan pangan)
> 90%
(tahan pangan)
Sebagian besar (85,2 %) rumahtangga petani tergolong tidak miskin dan tahan
pangan. Uji regresi menunjukkan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi positif sangat
nyata oleh penguasaan bertani organik, produktivitas beras organik, penguasaan lahan,
tujuan bertani organik dan pengolahan limbah. Semakin banyak pengolahan limbah
untuk pupuk organik tersedia, semakin besar produktivitas beras dan semakin tinggi
ketahanan pangan rumahtangga.
Rumahtangga yang tidak tahan pangan, menguasai lahan lebih kecil daripada
rumahtangga yang tahan pangan. Karena lahannya sempit maka sember pangan dan
pendapatan juga rendah. Rumahtangga ini harus mencari sumber pendapatan tambahan
untuk meningkatkan ketahanan pangannya.
Tabel 2. Keragaan rumah tangga petani berdasarkan peubah yang
berpengaruh nyata.
Peubah
Rata-rata
SD
Min
Max
462.374
160.843
127.600
660.675
7.453.656
1.749.247
6.003.000
11.921.000
10.992.861
1.883.810
4.500.000
13.333.500
-/B/C ratio
1,54
0,40
0,51
2,20
Pengetahuan usahatani organik
(nilai)
76,74
9,04
59
89
Pendapatan
(Rp/kapita/bulan)
- Biaya usahatani
(Rp/Ha/musim tanam)
- Hasil penjualan beras
(Rp/Ha/musim tanam)
6
Produktivitas beras organik
(ku/Ha/th)
Produksi beras organik
(ku/th)
Tujuan penerapan pertanian
Organik (nilai)
Penguasaan lahan (Ha)
Pengelolaan limbah (nilai)
Tabel 3.
73,29
12,56
30
88,89
18,25
8,75
4,50
40
2,30
0,64
1,00
3,00
0,244
2,16
0,106
0,61
0,125
1,00
0,525
3,00
Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimal
Ideal
Unsur-unsur
Rata-rata
tangga
18,25
Produksi beras rumah
(kwintal/tahun)
Produksi beras rumah tangga
(kwintal/Ha/tahun)
Jumlah anggota keluarga (orang)
SD
8,75
Min
4,5
73,29
12,56
30
88,89
5,4
318
1,9
84
2
251
12
744
1.740
789
627
3.718
Penguasaan lahan per kapita (m2)
Penguasaan lahan per rumah tangga
(m2)
Tabel 4.
Max
40
Luas lahan (Ha) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi
Kebutuhan hidup minimal menurut jumlah anggota rumah tangga
Klasifikasi jumlah
Anggota rumah tangga
Kecil
2-3
Sedang
4-5
Besar
6 – 12
2
Luas lahan yang
diperlukan dengan rumus
N x 0,17 Ha
0,34
3
0,51
4
0,68
5
6
7
8
9
10
11
12
0,85
1,02
1,19
1,36
1,53
1,70
1,87
2,04
Jumlah anggota
rumah tangga (n)
7
Luas penguasaan lahan untuk memenhi kebutuhan hidup minimal diartikan
sebagai penguasaan lahan oleh rumahtangga petani yang luasnya mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal. Oleh karena kebutuhan hidup manusia tidak
hanya makan, maka kebutuhan hidup minimal di sini sudah termasuk kebutuhan
kehidupan lainnya. Untuk menghitung luas lahan yang diperlukan guna memenuhi
kebutuhan hidup minimal tersebut, diasumsikan bahwa seluruh hasil panen beras
organik digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, yaitu sebesar Rp
10.000,- per orang/hari menurut standar BPS atau US$ 1,00 perkapita per hari menurut
standar Bank Dunia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumah tangga petani penghasil beras organik yang termasuk tahan pangan sebesar
85,2 % dan yang tidak tahan pangan 14,8 %.
2. Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah pendapatan,
pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, tujuan penerapan
ketentuan dalam pertanian organik, penguasaan lahan, dan pengelolaan limbah.
3. Agar rumah tangga petani penghasil beras organik terpenuhi kebutuhan:
a. Hidup minimal maka luas lahan tiap anggota rumah tangga sekitar 1.735 m 2 dan tiap
rumah tangga sekitar 9.492 m2.
b. Rata-rata kecukupan energi maka luas penguasaan lahan tiap anggota rumah tangga
sekitar 318 m2 dan tiap rumah tangga sekitar 1.740 m2.
4. Luas penguasaan lahan oleh rumah tangga petani penghasil beras organik yang
tergolong tahan pangan, tidak mencukupi untuk memnuhi kebutuhan hidup manusia
seutuhnya, mulai dari pangan, sandang, dan papan, sekali pun pada taraf minimal
(dengan asumsi Rp 10.000,00 per kapita per hari)
5. Luas lahan sawah baik di tingkat Kecamatan Manonjaya, maupun di tingkat
Kabupaten Tasikmalaya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan beras.
8
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan agar :
1) Pemberian subsidi lahan bagi petani miskin dengan memperhitungkan jumlah
anggota keluarga yang menjadi tanggungan, dengan dasar perhitungan 318 m 2 untuk
tiap anggota rumah tangga;
2) Terjadinya defisit penguasaan lahan baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat
kabupaten, maka perlu dilakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian dari lahan
pertanian yang tersisa ditetapkan sebagai lahan abadi.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko A. 2004. Budidaya Padi Secara Organik. Jakarta : Penebar Swadaya.
Anonim. 2010. Laporan Tahunan dan Rencana Strategis. Dinas Pertanian Kabupaten
Tasikmalaya.
[FAO] Food Agriculture Organization. 2007. FAO Statistical Yearbook. Rome: FAO,
The United Nation..
Manguniat IJ. 2005. Penentuan Sampel dalam : Masri Singarimbun, Effendi S, editor.
Metode Penelitian Survey. Jakarta LP3ES. Hlm 171.
Purwasasmita, M. 2012. Padi SRI Organik Indonesia. Jakarta : Penebar Swadaya.
Rachman HPS, Ariani M. 2002. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran, dan
Strategi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 20, No. 1, Juli 2002: 12-24.
Sukandar D, Briawan D, Heryanto Y, Ariani M, Andrestian MD. 2001. Kajian
Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah.
Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Lembaga Penelitian, Institut
Pertanian Bogor.
Sutanto R. 2012. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
UU RI No.7 th. 1996. Undang-undang Pangan. Jakarta: Sinar Grafika.
KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI
PENGHASIL BERAS ORGANIK
(Kasus di Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya)
1
Hepi Hapsari1, Endah Djuwendah1, Eliana Wulandari1
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
e-mail : [email protected]
Abstrak. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat perlu diimbangi dengan kualitas dan
kuantitas bahan pangan pokok, setidaknya sama dengan laju pertumbuhan penduduk.
Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian produktif yang berkelanjutan, dan
ramah lingkungan seperti pertanian organik.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani penghasil beras organik,
dan untuk mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan
rumahtangga petani. Metode penelitian desain kuantitatif dengan teknik survey cross
sectional. Responden penelitian adalah rumahtangga petani penghasil beras organik
yang tergabung dalam Kelompok Tani Jembar Karya dan Jembar II, Desa Margahayu,
Kec. Manonjaya, Kab. Tasikmalaya. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (85,2
%) responden tergolong tahan pangan dan tidak miskin dengan rata-rata pendapatan Rp
462.500,- per kapita per bulan. Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi ketahanan
pangan adalah pendapatan, pengetahuan usahatani organik, produktivitas lahan,
penguasaan lahan dan pengolahan limbah. Agar terpenuhi kebutuhan hidup minimal,
maka luas penguasaan lahan tiap rumahtangga petani sekitar 9.492 m2. Agar terpenuhi
kecukupan energi, maka luas penguasaan lahan tiap rumahtangga 1.740 m 2. Luas
penguasaan lahan di tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan beras, dengan asumsi seluruh penduduk hanya
mengkonsumsi beras yang dihasilkan wilayah setempat.
Kata kunci : ketahanan pangan, petani, beras organik
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan
kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan laju
pertumbuhan penduduk. Tuntutan ini mendorong munculnya system pertanian modern
yang memiliki ciri-ciri ketergantungan yang tinggi pada : (1) pupuk sintetis; (2) bahan
kimia sintetis untuk pengendali hama, penyakit dan gulma; dan (3) varietas unggul
untuk tanaman monokultur. Sistem pertanian modern tersebut memang terbukti ampuh
dalam menjawab tantang tersebut.
Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2002),
penggunaan pupuk yang sepadan dan seimbang di Negara-negara yang sedang
berkembang dapat meningkatkan hasil pangan 50 – 60 persen, bahkan pengamat
pertanian dunia mengemukakan bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan
penggunaan pupuk kimia.
2
Melihat kondisi tersebut, salah satu ancaman yang besar terhadap kualitas dan
kuantitas pertanian adalah hilangnya kesuburan tanah karena cara-cara bertani yang
tidak memperhatikan kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan system pertanian
yang sesuai dengan asas-asas lingkungan sehingga dapat menjamin kesehatan
lingkungan dan berkelanjutan dalam pemanfaatn sumberdaya alam bagi generasi yang
akan datang.
Ciri utama pertanian berkelanjutan yang berawwasan lingkungan adalah : (1)
mampu meningkatkan hasil pertanian dan menjamin kebutuhan masyarakat; (2) mampu
menghasilkan gizi dengan kualitas yang tinggi dengan minimalisasi bahan kimia yang
membahayakan bagi yang mengkonsumsinya; dan (3) tidak mengurangi dan merusak
terhadap kesuburan lahan pertanian, termasuk di dalamnya tidak menimbulkan erosi
tanah (Saepurrohman, 2005). Salah satu tawaran solusi untuk menciptakan sistem
pertanian yang ramah lingkungan adalah pertanian organik.
Dengan biaya produksi yang menurun dan hasil yang cenderung meningkat maka
petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya sehingga akses
petani terhadap pangan juga meningkat. Jika dilihat definisi ketahanan pangan menurut
Undang-undang No.7 tahun 1996, akses terhadap pangan sangat penting bagi rumah
tangga petani karena hal itu diperlukan agar dapat hidup secara produktif dan sehat
Penduduk Indonesia demikian tergantung pada beras, sedikit saja terjadi
gangguan pasokan, harga jual beras meningkat. Pemerintah sangat berkeinginan untuk
berswasembada beras. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil, pada tahun 1985,
Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun, untuk meningkatkan produksi
hingga tercapai swasembada beras tersebut segala daya upaya ditempuh oleh
pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian di seluruh
Indonesia.Para petani di Tasikmalaya pun hingga saat ini masih menerapkan kebijakan
tersebut. Teknik bercocok tanam tradisional yang ramah lingkungan benar-benar
ditinggalkan dan digantikan dengan cara bertani modern dengan penggunaan pupuk dan
pestisida sintetis yang ternyata berdampak buruk terhadap kesuburan tanah. Menyadari
hal tersebut, pada tahun 2002, Ketua Gapoktan Simpatik Tasikmalaya mencoba
menerapkan cara bertani padi secara organik.
Namun demikian permasalahannya
adalah penguasaan lahan oleh petani tidak memadai. Rumah tangga petani di Kabupaten
Tasikmalaya hanya menguasai lahan rata-rata 0,34 ha (BPS, 2010).
3
Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis tingkat ketahan pangan rumah tangga
petani penghasil beras organik dan mengidentifikasi penguasaan lahan dalam
mendukung ketahanan pangan rumah tangga. Penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk semakin meningkatkan ketahanan pangan petani dan semangat mengembangkan
budaya pertanian organik.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan desain kuantitatif dengan teknik survey cross
sectional. Populasi penelitian adalah rumahtangga petani penghasil beras organik yang
tergabung dalam Kelompok Tani Jembar Karya dan Jembar II Desa Margahayu,
Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Sampel dipilih secara acak dengan
ukuran 30 rumahtangga dengan pertimbangan agar nilai-nilai terdistribusi normal.
Data diolah menggunakan SPSS 11.5 dan SAS for Windows. Untuk melihat
hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi dan untuk menentukan faktorfaktor determinan dari variabel-variabel bebas yang memperoleh ketahanan pangan
digunakan analisis regresi linear berganda. Persamaan umum yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Y = β0+ β1 X1+ β2 X2+ β3 X3+ β4 X4+ β5 X5+ β6 X6+ β7 X7+ β8 X8+ β9 X9+ β10 X10+E
Y
Β
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
E
= peubah tidak bebas (ketahanan pangan yang diukur berdasarkan Tingkat
kecukupan Energi.
= koefisien regresi
= peubah bebas pertama (penguasaan lahan)
= peubah bebas kedua (modal kerja)
= peubah bebas ketiga (kerjasama)
= peubah bebas keempat (pendidikan formal kepala keluarga)
= peubah bebas kelima (pendidikan non formal kepala keluarga)
= peubah bebas keenam (tujuan penerapan pertanian organik)
= peubah bebas ketujuh (pengelolaan limbah)
= peubah bebas kedelapan (pengetahuan bertani secara organik)
= peubah bebas kesembilan (produktivitas beras organik)
= peubah bebas kesepuluh (pendapatan)
= galat
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji regresi :
Y = 46,870 + 2,7E-0,5X1 + 0,146X2 +0,103X3 + 1,963X4 + 5,794X5 + 2,173X6
Tabel 1. Sebaran rumah tangga menurut kategori peubah yang menentukan
Ketahanan pangan (UNICEF 1997; Yambi & Kavishe 2002)
Peubah
Penguasaan lahan
Gurem ( < 0,5 ha, dengan rasio luas/anggota rumah
tangga 0,0014 – 0,125)
Menengah ( 0,5 – 0,9 ha, dengan rasio luas/anggota
rumah tangga 0,125 – 0,175)
Total
Modal kerja
Rendah (Rp.6.003.000,00 – Rp.7.975.066,00)
Sedang (Rp.7.975.067,00 – Rp.9.948.332,00)
Tinggi (Rp.9.948.333,00 – Rp.11.921.000,00)
Total
Kerjasama
Pasif (nilai 1)
Agak aktif (nilai 2)
Aktif (nilai 3)
Total
Pendidikan formal kepala keluarga
Tidak sekolah
SD
Total
Pendidikan non formal kepala keluarga
Tidak pernah (nilai 1)
Pernah sedang (nilai 2)
Pernah baik (nilai 3)
Total
Tujuan penerapan pertanian organik
Tidak berkelanjutan (nilai 3,0 – 4,9)
Kurang berkelanjutan (nilai 5,0 – 6,9)
Berkelanjutan (nilai 7,0 – 9,0)
Total
Pengelolaan limbah
Kurang menyokong pertanian organik (nilai 3,0 – 4,9)
Menyokong pertanian organik (nilai 5,0 – 6,9)
Sangat menyokong pertanian organik (nilai 7,0 – 9,0)
Total
Pengetahuan bertani secara organik
Rendah (nilai < 60 )
n
%
59
96,7
2
61
3,3
100,0
44
9
8
61
72,1
14,8
13,1
100,0
7
35
19
61
11,5
57,4
31,1
100,0
23
38
61
37,7
62,3
100,0
9
36
16
61
14,8
59,0
26,2
100,0
6
31
24
61
9,8
39,3
50,9
100,0
7
11,5
37
60,7
17
61
27,9
100,0
9
14,8
5
Sedang (nilai 60 – 80)
Tinggi (Nilai > 80)
Total
32
20
61
52,5
32,8
100,0
Total
8
6
49
61
9,8
9,8
80,3
100,0
9
52
14,8
85,2
Total
61
100,0
Total
9
17
35
61
14,8
27,9
57,4
100,0
Produktivitas beras organik
Rendah (30.00 – 49,62 kw/Ha/th)
Sedang ( 49,63 – 69,25 kw/Ha/th)
Tinggi (69,26 – 88,89 kw/Ha/th)
Pendapatan
Miskin (< Rp.300.000,00/kapita/bulan
Tidak miskin ( > Rp.300.000,00/kapita/bulan
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
< 70%
(tidak tahan pangan)
70 – 90% (tahan pangan)
> 90%
(tahan pangan)
Sebagian besar (85,2 %) rumahtangga petani tergolong tidak miskin dan tahan
pangan. Uji regresi menunjukkan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi positif sangat
nyata oleh penguasaan bertani organik, produktivitas beras organik, penguasaan lahan,
tujuan bertani organik dan pengolahan limbah. Semakin banyak pengolahan limbah
untuk pupuk organik tersedia, semakin besar produktivitas beras dan semakin tinggi
ketahanan pangan rumahtangga.
Rumahtangga yang tidak tahan pangan, menguasai lahan lebih kecil daripada
rumahtangga yang tahan pangan. Karena lahannya sempit maka sember pangan dan
pendapatan juga rendah. Rumahtangga ini harus mencari sumber pendapatan tambahan
untuk meningkatkan ketahanan pangannya.
Tabel 2. Keragaan rumah tangga petani berdasarkan peubah yang
berpengaruh nyata.
Peubah
Rata-rata
SD
Min
Max
462.374
160.843
127.600
660.675
7.453.656
1.749.247
6.003.000
11.921.000
10.992.861
1.883.810
4.500.000
13.333.500
-/B/C ratio
1,54
0,40
0,51
2,20
Pengetahuan usahatani organik
(nilai)
76,74
9,04
59
89
Pendapatan
(Rp/kapita/bulan)
- Biaya usahatani
(Rp/Ha/musim tanam)
- Hasil penjualan beras
(Rp/Ha/musim tanam)
6
Produktivitas beras organik
(ku/Ha/th)
Produksi beras organik
(ku/th)
Tujuan penerapan pertanian
Organik (nilai)
Penguasaan lahan (Ha)
Pengelolaan limbah (nilai)
Tabel 3.
73,29
12,56
30
88,89
18,25
8,75
4,50
40
2,30
0,64
1,00
3,00
0,244
2,16
0,106
0,61
0,125
1,00
0,525
3,00
Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimal
Ideal
Unsur-unsur
Rata-rata
tangga
18,25
Produksi beras rumah
(kwintal/tahun)
Produksi beras rumah tangga
(kwintal/Ha/tahun)
Jumlah anggota keluarga (orang)
SD
8,75
Min
4,5
73,29
12,56
30
88,89
5,4
318
1,9
84
2
251
12
744
1.740
789
627
3.718
Penguasaan lahan per kapita (m2)
Penguasaan lahan per rumah tangga
(m2)
Tabel 4.
Max
40
Luas lahan (Ha) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi
Kebutuhan hidup minimal menurut jumlah anggota rumah tangga
Klasifikasi jumlah
Anggota rumah tangga
Kecil
2-3
Sedang
4-5
Besar
6 – 12
2
Luas lahan yang
diperlukan dengan rumus
N x 0,17 Ha
0,34
3
0,51
4
0,68
5
6
7
8
9
10
11
12
0,85
1,02
1,19
1,36
1,53
1,70
1,87
2,04
Jumlah anggota
rumah tangga (n)
7
Luas penguasaan lahan untuk memenhi kebutuhan hidup minimal diartikan
sebagai penguasaan lahan oleh rumahtangga petani yang luasnya mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal. Oleh karena kebutuhan hidup manusia tidak
hanya makan, maka kebutuhan hidup minimal di sini sudah termasuk kebutuhan
kehidupan lainnya. Untuk menghitung luas lahan yang diperlukan guna memenuhi
kebutuhan hidup minimal tersebut, diasumsikan bahwa seluruh hasil panen beras
organik digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, yaitu sebesar Rp
10.000,- per orang/hari menurut standar BPS atau US$ 1,00 perkapita per hari menurut
standar Bank Dunia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumah tangga petani penghasil beras organik yang termasuk tahan pangan sebesar
85,2 % dan yang tidak tahan pangan 14,8 %.
2. Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah pendapatan,
pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, tujuan penerapan
ketentuan dalam pertanian organik, penguasaan lahan, dan pengelolaan limbah.
3. Agar rumah tangga petani penghasil beras organik terpenuhi kebutuhan:
a. Hidup minimal maka luas lahan tiap anggota rumah tangga sekitar 1.735 m 2 dan tiap
rumah tangga sekitar 9.492 m2.
b. Rata-rata kecukupan energi maka luas penguasaan lahan tiap anggota rumah tangga
sekitar 318 m2 dan tiap rumah tangga sekitar 1.740 m2.
4. Luas penguasaan lahan oleh rumah tangga petani penghasil beras organik yang
tergolong tahan pangan, tidak mencukupi untuk memnuhi kebutuhan hidup manusia
seutuhnya, mulai dari pangan, sandang, dan papan, sekali pun pada taraf minimal
(dengan asumsi Rp 10.000,00 per kapita per hari)
5. Luas lahan sawah baik di tingkat Kecamatan Manonjaya, maupun di tingkat
Kabupaten Tasikmalaya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan beras.
8
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan agar :
1) Pemberian subsidi lahan bagi petani miskin dengan memperhitungkan jumlah
anggota keluarga yang menjadi tanggungan, dengan dasar perhitungan 318 m 2 untuk
tiap anggota rumah tangga;
2) Terjadinya defisit penguasaan lahan baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat
kabupaten, maka perlu dilakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian dari lahan
pertanian yang tersisa ditetapkan sebagai lahan abadi.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko A. 2004. Budidaya Padi Secara Organik. Jakarta : Penebar Swadaya.
Anonim. 2010. Laporan Tahunan dan Rencana Strategis. Dinas Pertanian Kabupaten
Tasikmalaya.
[FAO] Food Agriculture Organization. 2007. FAO Statistical Yearbook. Rome: FAO,
The United Nation..
Manguniat IJ. 2005. Penentuan Sampel dalam : Masri Singarimbun, Effendi S, editor.
Metode Penelitian Survey. Jakarta LP3ES. Hlm 171.
Purwasasmita, M. 2012. Padi SRI Organik Indonesia. Jakarta : Penebar Swadaya.
Rachman HPS, Ariani M. 2002. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran, dan
Strategi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 20, No. 1, Juli 2002: 12-24.
Sukandar D, Briawan D, Heryanto Y, Ariani M, Andrestian MD. 2001. Kajian
Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah.
Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Lembaga Penelitian, Institut
Pertanian Bogor.
Sutanto R. 2012. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
UU RI No.7 th. 1996. Undang-undang Pangan. Jakarta: Sinar Grafika.