Dekonstruksingayau Pada Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah bab 1

(1)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Tengah maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat ngayau. Pada tradisi ngayau yang sesungguhnya, ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau) (Bock, 1882). Karya Carl Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1882 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.

Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru. Ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah


(2)

proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.

Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.

Dalam makalah sejarah Lundayeh Lalong (2011:61) menuliskan dalam suku Dayak Lundayeh pun terdapat istilah ngeleb/febunu (ngayau). Ngeleb pada suku Dayak Lundayeh terjadi berhubungan erat dengan migrasi yang terjadi pada suku Dayak Lundayeh. Salah satu pemicu terjadinya migrasi pada suku Dayak Lundayeh yaitu disebabkan oleh adanya perang suku. Parang itu ditandai dengan pemotongan kepala musuh dari masing-masing pihak yang disebut dengan ngeleb/febunu.

Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan tradisi ngayau. Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera


(3)

commit to user

adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.

Setiap suku Dayak memiliki latar belakang berbeda-beda mengenai ngayau pada sukunya masing-masing. Namun bagi masyarakat Dayak Ngaju, ngayau dibedakan menjadi dua. Pertama, ngayau yang dimaksud dengan berburu kepala. Tradisi ini dimaksudkan untuk menandai kekuatan dan status sosial dari seorang

pengayau. Semakin banyak kepala yang di ngayau maka akan menaikan status sosial

dari si pengayau. Ngayau dilakukan oleh perorangan dan dilakukan seperti halnya berburu hewan. Setiap lawan harus saling menyerang dengan diam-diam. Kedua, asang ngayau. Berbeda dengan ngayau yang pertama, asang ngayau dalam tradisi Dayak Ngaju merupakan perang yang dilakukan dengan motif-motif tertentu. Asang

ngayau kerap dilakukan berkelompok dengan tujuan yang bermacam-macam, seperti

balas dendam, merampok, mempertahankan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Pada suku Dayak Ngaju, ngayau merupakan susuatu yang sudah menjadi identitas mayarakatnya karena dengan mengayaulah status sosial seseorang menjadi lebih tinggi. selain sebagai lambang status sosial, ngayau juga lekat dengan tradisi

tiwah yang hingga saat ini masih dijalankan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Upacara


(4)

wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu-Kaharingan yang berada di daerah Kalimantan Tengah (Simpai, 2013:1).

Dalam tradisi mengayau ada hal yang dilarang, yaitu memenggal kepala wanita dan anak-anak. Ngayau sendiri sebenarnya bermakna mempertahankan status sosial melalui pemburuan setiap kepala musuh yang dianggap lawan seimbang dengan pertimbangan harus mengukur terlebih dahulu kekuatan lawan mengayau. Untuk mempertahankan atau meningkatkan status sosial dibuktikan dengan banyaknya kepala musuh yang berhasil dipenggal.

Sejak masa penjajahan, tradisi ngayau dan asang ngayau tidak lagi dilakukan dan telah dilarang. Kesepakatan untuk menghapus tradisi ini dilakukan saat Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894. Rapat tersebut menyepakati hal berikut:

1. Menghentikan habunu (saling bunuh)

2. Menghentikan hakayau (saling memenggal kepala) 3. Menghentikan hatetek (saling mencincang)

Rapat damai ini dihadiri oleh seluruh tokoh suku Dayak yang mendiami Kalimantan yang dianggap memahami adat-istiadat di daerahnya masing-masing (Usop, 1996:3). Setelah adanya kesepakatan damai itu upacara tiwah tidak menggunakan kepala manusia lagi namun menggunakan kepla kerbau. Ini menandakan budaya itu dinamis karena adanya penggantian syarat dari kepala manusia ke kepala kerbau atau kelapa.


(5)

commit to user

etnis Madura. Pertikaian ini tak hanya menimbulkan korban harta tetapi juga korban jiwa yang cukup banyak. Usop (2009:5) dalam disertasinya mengungkap kasus kekerasan di Sampit merupakan bagian dari masalah integrasi nasional yang memiliki kekhasan. Kekerasan tersebut dipandang oleh masyarakat Dayak sebagai kebangkitan (revivalisme) budaya mengayau (budaya memenggal kepala). Hal ini berakibat munculnya anggapan orang Dayak suka kekerasan dan berbahasa teror.

Membela diri merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan tersebut. Konflik menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Ensiklopedia sejarah kemanusiaan, memberikan gambaran historis bagaimana perilaku kekerasan sebagai bentuk manifestasi suatu konflik telah ada ketika dunia ini tercipta. Fenomena ini digambarkan Denner dan Falger sebagai sebuah benturan, pertentangan kepentingan, tujuan, nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan dan idiologi. Benturan dan pertentangan ini tidak hanya dialami individu, kelompok, dan bangsa, akan tetapi juga terjadi antar peradaban yang dampaknya tak jarang melampaui tapi batas kemanusiaan (dalam Wahit, 2004:34).

Ngayau sendiri merupakan bagian dari sastra lisan yang hingga saat ini masih dilakukan oleh suku Dayak Ngaju. Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya. Karya sastra selain kompleks, juga merupakan artefak, yang dapat mempunyai makna dan menjadi objek estetis jika diberi makna (konkretisasi) oleh pembaca (Teeuw, 1984: 191).


(6)

Ngayau masih dapat dikatakan sebagai karya sastra yang memiliki idiologi yang masih melekat pada masyarakat Dayak Ngaju sesuai dengan filosofinya. Namun sebuah tradisi yang merupakan kearifan lokal yang berakarkan dari budaya tidak lepas dari perubahan sosial budaya. Martono (2012:13) mengatakan masalah perubahan dalam perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah keduanya berhubungan dengan masalah penerimaan cara-cara baru atau suatu perubahan terhadap cara-cara hidup manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku yang timbul karena interaksi komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan muncul karena warisan biologis. Perubahan dalam ngayau pun mengalami dekonstruksi baik secara bentuk maupun budaya.

Di atas telah dijelaskan bagaimana dekonstruksi yang terjadi dalam ngayau, terlebih lagi apabila suatu tradisi harus dimaknai oleh generasi yang berbeda dan pada ruang dan waktu yang berbeda saat ngayau itu terjadi. Dekonstruksi dalam pemaknaan simbolis yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat becoming (menjadi) dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna, (Pitana, 2009:12).

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi tiga permasalahan yang tersajikan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut.


(7)

commit to user

karena itu, makna dari ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap nilai ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju tidak akan pernah berhenti atau akan terus menerus mengalami dekonstruksi.

Kedua, dekonstruksi ngayau pada masa kekinian akan membawa pengaruh pada struktur kognitif masyarakat pemakna yang selanjutnya melahirkan norma-norma dalam kehidupan sosialnya.

Ketiga, pemahaman norma-norma yang lahir akibat terjadinya dekonstruksi ngayau akan mengantarkan pemahaman terhadap nilai-nilai filosofi budaya ngayau yang merupakan idiologi dari masyarakat Dayak Ngaju.

Dari identifikasi permasalahan tersebut selanjutnya sebagai fokus kajian dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Mengapa terjadi dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju? 2. Bagaimana dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju terbentuk?

3. Bagaimana implikasi dekonstruksi ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju saat ini?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan dekonstruksi yang terjadi pada ngayau dalam masyarakat Dayak Ngaju dengan kearifan lokalnya yang mengandung idiologi bagi masyarakat Dayak Ngaju. Penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan rekonstruksi budaya tersebut dalam


(8)

rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan Kajian Budaya dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut.

1. Mengetahui dan memahami kejelasan mengenai dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju.

2. Mengetahui dan memahami terbentuknya dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju.

3. Mengetahui dan memahami implikasi dari dekonstruksi ngayau yang terjadi pada masyarakat Dayak Ngaju saat ini.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam masalah-masalah mengenai kebudayan. Dalam hal ini mengenai ngayau yang masih dijalani oleh suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Dengan menggunakan paradigma Kajian Budaya, ilmu-ilmu humaniora pada umumnya. Manfaat lainnya yaitu penggunaan teori-teori multiinterdisipliner yang merupakan teori-teori poststrukturalisme dalam rangka menampilkan makna secara maksimal.


(9)

commit to user

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak berkepentingan, sebagai berikut.

1. Pemerintah Daerah dan instansi terkait dalam menjaga nilai-nilai budaya sehingga tradisi ngayau dalam upacara tiwah yang telah terdekonstruksi tidak meninggalkan/ melupakan nilai-nilai filosofi yang menjadi dasar dari tradisi ngayau tersebut.

2. Masyarakat dalam upaya melestarikan/ menjaga nilai-nilai budaya sehingga tidak termakan oleh globalisasi zaman dan menjadi sebuah tradisi yang masih memegang nilai-nilai filosofi dari tradisi tersebut.

1.5 Sistematis Penelitian

Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri atas beberapa subbab yang meliputi; Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Sistematika Penelitian.

Bab kedua berisi Landasan Teoritik/ Kajian Pustaka, Konsep, Teori dekonstruksi Jaques Derrida dan Teori Wacana Micheal Foucault, Model Penelitian.

Bab ketiga berisi metodologi penelitian yang terdiri atas Rancangan Penelitian, Lokasi Penelitian, Jenis Sumber Data, Teknik Pemilihan Informan, Instrumen Penelitian, Teknik Pengmpulan Data yang meliputi; Observasi Partisipan, Wawancara Mendalam, dan Studi Dokumen. Teknik Analisi Data, Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.


(10)

Bab empat berisi pembahasan yang meliputi mengapa terjadi dekonstruksi

ngayau pada suku Dayak Ngaju, bagaimana dekonstruksi ngayau suku Dayak Ngaju

terbentuk, dan bagaimana implikasi dekonstruksi ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju saat ini. Dengan melihat dari sudut pandang dekonstruksi Jacques Derrida dan wacana Micheal Foucault.

Bab kelima berisi penutup yang memuat simpulan hasil penelitian serta saran-saran. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.


(1)

commit to user

etnis Madura. Pertikaian ini tak hanya menimbulkan korban harta tetapi juga korban jiwa yang cukup banyak. Usop (2009:5) dalam disertasinya mengungkap kasus kekerasan di Sampit merupakan bagian dari masalah integrasi nasional yang memiliki kekhasan. Kekerasan tersebut dipandang oleh masyarakat Dayak sebagai kebangkitan (revivalisme) budaya mengayau (budaya memenggal kepala). Hal ini berakibat munculnya anggapan orang Dayak suka kekerasan dan berbahasa teror.

Membela diri merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan tersebut. Konflik menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Ensiklopedia sejarah kemanusiaan, memberikan gambaran historis bagaimana perilaku kekerasan sebagai bentuk manifestasi suatu konflik telah ada ketika dunia ini tercipta. Fenomena ini digambarkan Denner dan Falger sebagai sebuah benturan, pertentangan kepentingan, tujuan, nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan dan idiologi. Benturan dan pertentangan ini tidak hanya dialami individu, kelompok, dan bangsa, akan tetapi juga terjadi antar peradaban yang dampaknya tak jarang melampaui tapi batas kemanusiaan (dalam Wahit, 2004:34).

Ngayau sendiri merupakan bagian dari sastra lisan yang hingga saat ini masih dilakukan oleh suku Dayak Ngaju. Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya. Karya sastra selain kompleks, juga merupakan artefak, yang dapat mempunyai makna dan menjadi objek estetis jika diberi makna (konkretisasi) oleh pembaca (Teeuw, 1984: 191).


(2)

commit to user

Ngayau masih dapat dikatakan sebagai karya sastra yang memiliki idiologi yang masih melekat pada masyarakat Dayak Ngaju sesuai dengan filosofinya. Namun sebuah tradisi yang merupakan kearifan lokal yang berakarkan dari budaya tidak lepas dari perubahan sosial budaya. Martono (2012:13) mengatakan masalah perubahan dalam perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah keduanya berhubungan dengan masalah penerimaan cara-cara baru atau suatu perubahan terhadap cara-cara hidup manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku yang timbul karena interaksi komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan

muncul karena warisan biologis. Perubahan dalam ngayau pun mengalami

dekonstruksi baik secara bentuk maupun budaya.

Di atas telah dijelaskan bagaimana dekonstruksi yang terjadi dalam ngayau, terlebih lagi apabila suatu tradisi harus dimaknai oleh generasi yang berbeda dan pada ruang dan waktu yang berbeda saat ngayau itu terjadi. Dekonstruksi dalam pemaknaan simbolis yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat becoming (menjadi) dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna, (Pitana, 2009:12).

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi tiga permasalahan yang tersajikan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut.

Pertama, ngayau mengandung nilai-nilai budaya yang merupakan idiologi hidup masyarakat Dayak Ngaju dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Oleh


(3)

commit to user

karena itu, makna dari ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap nilai ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju tidak akan pernah berhenti atau akan terus menerus mengalami dekonstruksi.

Kedua, dekonstruksi ngayau pada masa kekinian akan membawa pengaruh pada struktur kognitif masyarakat pemakna yang selanjutnya melahirkan norma-norma dalam kehidupan sosialnya.

Ketiga, pemahaman norma-norma yang lahir akibat terjadinya dekonstruksi ngayau akan mengantarkan pemahaman terhadap nilai-nilai filosofi budaya ngayau yang merupakan idiologi dari masyarakat Dayak Ngaju.

Dari identifikasi permasalahan tersebut selanjutnya sebagai fokus kajian dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Mengapa terjadi dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju?

2. Bagaimana dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju terbentuk?

3. Bagaimana implikasi dekonstruksi ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju saat

ini?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan dekonstruksi yang terjadi pada ngayau dalam masyarakat Dayak Ngaju dengan kearifan lokalnya yang mengandung idiologi bagi masyarakat Dayak Ngaju. Penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan rekonstruksi budaya tersebut dalam


(4)

commit to user

rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan Kajian Budaya dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut.

1. Mengetahui dan memahami kejelasan mengenai dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju.

2. Mengetahui dan memahami terbentuknya dekonstruksi ngayau pada suku

Dayak Ngaju.

3. Mengetahui dan memahami implikasi dari dekonstruksi ngayau yang terjadi pada masyarakat Dayak Ngaju saat ini.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam masalah-masalah

mengenai kebudayan. Dalam hal ini mengenai ngayau yang masih dijalani oleh suku

Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Dengan menggunakan paradigma Kajian Budaya, ilmu-ilmu humaniora pada umumnya. Manfaat lainnya yaitu penggunaan teori-teori multiinterdisipliner yang merupakan teori-teori poststrukturalisme dalam rangka menampilkan makna secara maksimal.


(5)

commit to user

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak berkepentingan, sebagai berikut.

1. Pemerintah Daerah dan instansi terkait dalam menjaga nilai-nilai budaya sehingga tradisi ngayau dalam upacara tiwah yang telah terdekonstruksi tidak meninggalkan/ melupakan nilai-nilai filosofi yang menjadi dasar dari tradisi ngayau tersebut.

2. Masyarakat dalam upaya melestarikan/ menjaga nilai-nilai budaya sehingga tidak termakan oleh globalisasi zaman dan menjadi sebuah tradisi yang masih memegang nilai-nilai filosofi dari tradisi tersebut.

1.5 Sistematis Penelitian

Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri atas beberapa subbab yang meliputi; Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Sistematika Penelitian.

Bab kedua berisi Landasan Teoritik/ Kajian Pustaka, Konsep, Teori dekonstruksi Jaques Derrida dan Teori Wacana Micheal Foucault, Model Penelitian.

Bab ketiga berisi metodologi penelitian yang terdiri atas Rancangan Penelitian, Lokasi Penelitian, Jenis Sumber Data, Teknik Pemilihan Informan, Instrumen Penelitian, Teknik Pengmpulan Data yang meliputi; Observasi Partisipan, Wawancara Mendalam, dan Studi Dokumen. Teknik Analisi Data, Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.


(6)

commit to user

Bab empat berisi pembahasan yang meliputi mengapa terjadi dekonstruksi

ngayau pada suku Dayak Ngaju, bagaimana dekonstruksi ngayau suku Dayak Ngaju

terbentuk, dan bagaimana implikasi dekonstruksi ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju saat ini. Dengan melihat dari sudut pandang dekonstruksi Jacques Derrida dan wacana Micheal Foucault.

Bab kelima berisi penutup yang memuat simpulan hasil penelitian serta saran-saran. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.