BAB I PENDAHULUAN - 03 BAB SATU BAB LIMA

  Perubahan bahasa, dalam kaitannya dengan aspek perencanaan bahasa, merupakan hal yang pasti adanya. “A language must change, to keep pace

  

with society”, demikian judul artikel yang ditulis oleh David Crystal dalam

Liverpool Daily Post tanggal 16 Mei tahun 1963. Artikel ini, meskipun

  menanggapi protes atas maraknya kesalahan pemakaian bahasa Inggris pada masa itu, sejatinya mencoba menawarkan solusi atas kemunculan berbagai variasi bahasa. Dalam artikel tersebut, Crystal menyatakan, “A language is what all its

  

users make it; it is a social, not just an academic phenomenon.” Crystal

  memberikan penegasan bahwa bahasa berkembang dari waktu ke waktu. Selain mengikuti penuturnya, fleksibilitas bahasa juga mengikuti media dan konteksnya diekspresikan sehingga penghakiman terhadap nilai benar salah suatu bahasa dengan bersandar pada satu paradigma semata tentunya tidak tepat.

  Sebagai wadah perkembangan bahasa, media memiliki peran vital dalam menjaga dan memelihara keberadaan suatu bahasa. Media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dan jurnal memiliki tanggung jawab yang sama dengan media elektronik audio-visual seperti televisi, radio, maupun internet dalam mempertahankan keberlangsungan suatu bahasa. Di Indonesia, peran ini telah diinisiasi oleh pemerintah melalui beberapa peraturan seperti Inpres Nomor 2 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

  Pasal 25 sampai dengan pasal 45 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menegaskan secara yuridis status, fungsi, penggunaan, pengembangan, pembinaan, serta pelindungan terhadap bahasa Indonesia. Pasal 39 ayat 1 secara spesifik menjelaskan kedudukan bahasa Indonesia dalam media massa:

  Pasal 39 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa

(2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan

bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus.

  Setahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan tugas pengembangan bahasa, perangkat hukum ini menyerukan perlunya batasan tentang norma bahasa ketika berbagi informasi atau saat bertransaksi secara elektronik. Gambaran umum tersebut diperoleh dari Bab VI sampai dengan Bab XI yang mengatur domain, HKI, perlindungan hak pribadi, perbuatan yang dilarang, penyelesaian sengketa, peran pemerintah dan masyarakat, penyidikan, serta ketentuan pidana.

  Selanjutnya, Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia.

  Kehadiran Inpres ini dilatarbelakangi setidaknya oleh tiga hal. Pertama, menyiapkan SDM baik masyarakat maupun aparatur negara yang mampu mengoperasikan perangkat teknologi (komputer) dalam rangka menghadapi era yang menyebabkan kesulitan pengoperasian komputer bersangkutan. Ketiga, perlunya aplikasi komputer berbahasa Indonesia untuk memudahkan pengguna (masyarakat/aparatur negara) dalam melaksanakan kegiatannya, sekaligus sebagai alternatif pilihan bahasa pada aplikasi komputer.

  Abdurrahman Wahid, selaku presiden saat itu melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2001 menginstruksikan khususnya kepada Menteri Riset dan Teknologi serta Menteri Pendidikan Nasional untuk melaksanakan kegiatan pembakuan istilah-istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, menyusun aplikasi komputer berbahasa Indonesia berikut pedoman pemakaiannya dengan menggandeng para ahli serta pihak-pihak terkait. Sebagai tindak lanjut, pemerintah melalui Pusat Bahasa kemudian membentuk tiga Kelompok Kerja (Pokja) yakni Pokja Pembakuan Istilah Teknologi Informasi, Pokja Perangkat Lunak, serta Pokja Sosialisasi dan Implementasi. Tugas utama yang diemban oleh ketiga Pokja ini, khususnya Pokja Pembakuan Istilah, ialah merumuskan pedoman pembakuan istilah, pedoman pemakaian istilah, dan menghimpun daftar (senarai) awal sekitar 700 istilah dalam bidang teknologi informasi (TI). Lalu, pada tahapan berikutnya direncanakan sekitar 4000 istilah yang akan dipadankan hingga tahapan akhir dalam bentuk penyusunan kamus (Artikel Ristek, 2001).

  Menyimak latar belakang kemunculannya, Inpres Nomor 2 Tahun 2001 hadir karena tuntutan akan kebutuhan memaksimalkan sumber daya manusia dalam memahami dan mengoperasikan komputer. Tentu saja, permasalahan ini bermuara pada persoalan bahasa. Keberadaan bahasa asing dalam aplikasi beralih menggunakan teknologi ini dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Bahasa Inggris sebagai lingua franca dalam aplikasi komputer (periksa

  

w3techs.com), dianggap menyulitkan bagi yang bukan penutur asli bahasa Inggris

  serta terbiasa bekerja menggunakan teknologi konvensional seperti mesin tik dan sebagainya.

  Setelah dihimpun, senarai padanan yang berisi sekitar 629 istilah kemudian dirilis sebagai tahap awal. Reaksi dari masyarakat bermacam-macam.

  Ada yang mendukung usaha ini, namun ada pula yang menentangnya. Tanggapan beragam yang muncul mengarah tidak hanya pada bentuk sosialisasi yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pada isi senarai padanan yang dihimpun oleh tim perumus. Onno W. Purbo, salah seorang anggota tim perumus istilah TI dalam wawancara dengan detik.com (9/5/2001) menawarkan solusi terkait sosialisasi dan implementasi Inpres Nomor 2 Tahun 2001 dalam bentuk insentif kepada pembuat, pengembang, atau pengecer perangkat lunak berbahasa Indonesia. Menurutnya, insentif yang diberikan dapat berupa pemotongan pajak hingga 50%. Cara ini diharapkan dapat memacu, tidak saja upaya pengembangan aplikasi, tetapi juga pemakaian aplikasi komputer berbahasa Indonesia di kalangan pengguna. Untuk pemerintah, cara ini menurut Onno dirasa lebih efektif daripada repot membentuk satgas, berhutang, dan sebagainya.

  Haryanto mengkritisi kegiatan pemerintah ini dengan menyertakan pula sejumlah opini dari para praktisi komputer. Menurutnya, kegiatan penerjemahan (pembakuan) istilah asing khususnya dalam bidang komputer penyerapan, atau gabungan keduanya; 2) perlu karena kamus istilah dalam suatu bidang tertentu harus ada; 3) mubazir jika padanan istilah bahasa Inggrisnya sudah populer dan digunakan secara luas oleh masyarakat; 4) sia-sia karena materi yang tersedia di internet mayoritas menggunakan bahasa Inggris.

  Haryanto mencatat bahwa entri-entri yang terdapat dalam Senarai Padanan Istilah memiliki kelebihan serta kekurangan. Pertama, terdapat padanan yang tepat karena ringkas dan jelas seperti sorot untuk highlight, siaga untuk

  

standby, tilik dan pratilik untuk view dan preview, mistar untuk ruler, garis kisi

  untuk gridline, dan telusur untuk search. Kedua, sebagian besar serapan berterima dengan syarat ejaannya tidak jauh berbeda dengan ejaan aslinya, seperti bentuk

  

energi daripada *enerji, serta bentuk email daripada *imel atau *imil. Ketiga,

  padanan lainnya bermasalah karena terkesan dipaksakan, misalnya peladen untuk

  

server, bita untuk byte, serta surat untuk email. Keempat, padanan yang dibuat

  menciptakan kerancuan, misalnya explorer dan browser sama-sama diterjemahkan sebagai penjelajah, kemudian surat untuk email akan memiliki makna yang sama dengan surat untuk letter. Kelima, padanan yang keliru terhadap istilah asing seperti pelipat untuk folder, tiruan untuk dummy, inden

  

macet untuk hanging indent, serta sosok atas dan sosok bawah untuk uppercase

  dan lowercase. Terakhir, kemungkinan ketidakberterimaan padanan tersebut pada pengguna, seperti taut untuk link, hipertaut untuk hyperlink, fonta untuk font,

  

awakutu untuk debug, jurik untuk daemon, serta ikon emosi untuk emoticon.

  Pernyataan Haryanto terkait kelima temuan ini kurang lebih ialah bahwa jika pembaca, maka sia-sialah—dan malah justru merugikan—pembentukan padanan istilah.

  Lima belas tahun kemudian, atau setelah konvergensi media menjadi hal yang lumrah di Indonesia, penggunaan istilah-istilah komputer berbahasa Indonesia tersebut idealnya telah merata, lebih-lebih di kalangan pengguna pemula komputer seperti yang diisyaratkan dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2001.

  Tetapi pada kenyataannya, pengaruh dari Inpres tersebut belum maksimal. Sebagian besar pengguna komputer dan internet di Indonesia masih setia dengan bahasa Inggris sebagai bahasa antarmuka/bahasa istilah yang digunakan ketika mengoperasikan komputer atau ketika sedang berselancar di internet.

  Penyebab munculnya permasalahan ini, jika merujuk pada pandangan Purbo dan Haryanto di atas dapat dikerucutkan menjadi tiga, yakni 1) sosialisasi yang tidak intens dan merata; 2) rendahnya daya ungkap bahasa Indonesia sehingga banyak istilah yang tidak berterima karena tidak lazim, tidak populer, atau bertentangan dengan logika sosial para penggunanya; serta 3) Tidak adanya

  

reward and punishment dalam penerapan kebijakan yang berpedoman pada Inpres

  No.2 Tahun 2001. Selain keduanya, patut pula disimak pandangan Agnes Kukulska-Hulme (2000:587) yang menyatakan bahwa penerjemahan terhadap peristilahan komputer tidak selalu mungkin atau tepat dilakukan berdasarkan pertimbangan teknis, politis, atau ekonomi. Imbasnya, banyak orang lantas merasa harus menggunakan perangkat lunak berbahasa Inggris dalam versi aslinya.

  Dalam rangka mencari solusi atas permasalahan di atas, perlu berbagai istilah komputer berbahasa Indonesia, tetapi juga melingkupi faktor eksternal seperti pengaruh evolusi media terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, posisi bahasa Indonesia dalam pergaulan internasional, domestikasi terhadap istilah asing, kurang apresiatifnya media terhadap istilah-istilah yang dibakukan, persentase software berbahasa Indonesia yang minim, gengsi bahasa, dan sebagainya. Aspek kajian ini membentang dari topik perencanaan bahasa, metamorfosis media (mediamorfosis), hingga kaidah pembakuan peristilahan komputer.

  Namun, mengingat pentingnya fokus penelitian demi tercapainya hasil yang maksimal, penelitian ini mengkhususkan diri pada tiga hal. Pertama, kajian teks terhadap berbagai istilah komputer berbahasa Indonesia meliputi pembicaraan tentang prinsip kebakuan istilah komputer. Rujukan utama materi ini ialah teori yang dikemukakan oleh Agnes Kukulska-Hulme dalam bukunya yang berjudul Language and Communication (Essential Concepts for User Interface

  

and Documentation Design. Dalam buku ini ia menjelaskan prinsip dasar yang

  harus dimiliki oleh sebuah aplikasi komputer agar dapat dioperasikan dengan mudah dan tidak menimbulkan kebingungan pada para penggunanya. Hal utama yang disorotinya ialah pilihan kata/istilah sebagai bagian dari antarmuka (user

  

interface) sebuah program. Analisis dengan kajian ini penting dilakukan karena

  teori yang dikemukakan dianggap mampu merumuskan secara tekstual penyebab belum efektifnya penggunaan istilah-istilah komputer berbahasa Indonesia di kalangan para pengguna.

  Kedua, pengaruh evolusi media terhadap kebijakan pemerintah berupa penerbitan Inpres Nomor 2 Tahun 2001. Hal yang dikaji dari topik ini adalah ketimpangan antara kebijakan pemerintah tersebut dengan realisasi serta kesiapan infrastruktur pendukungnya. Dalam konteks ini, Inpres Nomor 2 Tahun 2001 diasumsikan sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sayangnya, implementasi dari kebijakan ini belum berbuah maksimal.

  Untuk menganalisis penyebabnya, digunakan teori mediamorfosis Roger Fidler sebagai acuan utama yang didukung oleh berbagai teori lainnya.

  Ketiga, dilihat dari konteks pembelajaran di tingkat sekolah menengah atas, kajian pembakuan peristilahan komputer berbahasa Indonesia dianggap memiliki relevansi yang ekuivalen dengan materi tentang prinsip bahasa Indonesia baku, kaidah penyusunan kata, serta pelafalan kata-kata serapan. Keterkaitan materi ini dalam rangka pengembangan pengetahuan siswa, menyangkut pembelajaran tentang pembakuan kata dalam bahasa Indonesia, sumber-sumber kosakata bahasa Indonesia, dan manfaat bahasa serumpun, bahasa daerah, bahasa asing, serta kosakata keilmuan dalam penyerapan kosakata bahasa Indonesia.

  Semua materi yang disampaikan kepada para siswa bermuara pada pembelajaran tentang ejaan yang disempurnakan dan pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia.

  Dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran di atas, penelitian ini berusaha mengungkap permasalahan-permasalahan seputar peristilahan komputer berbahasa Indonesia dengan memandangnya sebagai bagian yang padu dengan penelitian ini dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA dianggap sebagai modal extended research yang berupaya mengintegrasikan atau mengambil manfaat dari penelitian yang dilakukan terhadap pembelajaran ejaan dan peristilahan bahasa Indonesia bagi para siswa.

  1.2 Rumusan Masalah

  a. Faktor apa saja yang menjadi kendala penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia? b. Bagaimana relevansi penelitian tentang kendala penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia dengan pembelajaran bahasa

  Indonesia di Sekolah Menengah Atas?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor yang menjadi kendala penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini berupaya untuk menjelaskan keterkaitan antara kajian tentang kendala penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia dengan pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.

  1.4 Manfaat Penelitian

  1.4.1 Manfaat Teoretis

  a. Sebagai panduan memahami pembentukan istilah serta kemungkinan b. Sebagai penambah wawasan terkait media literacy (melek media) dan pengaruhnya terhadap sikap berbahasa Indonesia;

  1.4.2 Manfaat Praktis

  a. Sebagai dasar menelaah kebijakan-kebijakan pemerintah terkait pemertahanan bahasa Indonesia di media elektronik; b. Sebagai masukan atas kekurangan-kekurangan yang masih terdapat baik dalam Senarai Padanan Istilah maupun dalam Glosarium Istilah TI berbahasa Indonesia;

  c. Sebagai suplemen bahan ajar ejaan dan pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia pada siswa Sekolah Menengah Atas.

  Penelitian yang terkait dengan peristilahan bahasa Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diantaranya ialah: 2.1.1 “Peristilahan Komputer dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Catatan Kecil

  Perencanaan Bahasa” (I Made Sudiana, 2008) Monograf ini berisi uraian tentang perencanaan peristilahan khususnya dalam bidang komputer, proses pembakuan peristilahan, serta tata caranya.

  Menurut Sudiana, peristilahan merupakan hal yang penting dalam sebuah bahasa, karena itu perlu direncanakan. Dalam penelitiannya tersebut, Sudiana terkesan hanya mendeskripsikan teori meskipun pada bagian akhir ia sempat mengemukakan paradigma psikologi sosial tentang proses penerimaan masyarakat yang tidak sebentar terhadap satu ragam bahasa baru.

  Kelebihan penelitian yang dilakukan oleh Sudiana terletak pada kesadaran penulis bahwa masalah keberterimaan satu ragam bahasa baru bukan semata persoalan tunggal. Topik ini menjadi kompleks mengingat pembakuan istilah melibatkan proses perencanaan bahasa yang panjang. Dibandingkan dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh I Made Sudiana menyoroti peristilahan komputer dari perspektif perencanaan bahasa dan tata istilah, sedangkan penelitian ini menyoroti topik yang sama melalui perspektif metamorfosis media, norma pembakuan istilah komputer serta relevansi pembakuan istilah dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada Sekolah Menengah Atas.

  2.1.2 “Neologisme: Sebuah Tantangan Pembentukan Istilah Baru dalam Bahasa Indonesia Melalui Proses Penerjemahan Berbasiskan Korpus” (Karnedi, 2011).

  Dalam penelitian ini, Karnedi mengemukakan tentang Glosarium Istilah Asing-Indonesia yang tidak cukup representatif dalam menyajikan padanan istilah (khususnya dalam bidang ekonomi). Neologisme menurut Karnedi merupakan metodologi alternatif yang bertujuan mengakomodasi segenap pemangku kepentingan dalam pengembangan dan perencanaan bahasa, mendesain korpus yang sesuai standar, serta menyempurnakan Glosarium Istilah Asing-Indonesia Edisi Pertama. Fokus kajian ialah perihal penciptaan unit leksikal baru melalui aktivitas penerjemahan secara professional dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

  Terkait dengan metodologi penelitian, seperangkat korpus yang paralel telah dirancang sebagai korpus pembelajaran yang mengandung teks sumber berbahasa Inggris dan teks sasaran berbahasa Indonesia. Demi tujuan ini, sejumlah terjemahan buku teks bidang ekonomi dipilih secara acak. Data yang diperoleh diproses dengan Wordsmith Tools versi 5.0. Daftar kata-kata kunci melibatkan penggunaan British National Corpus sebagai korpus rujukan dalam teks sumber. Kemudian, dilakukan studi komparatif yang melibatkan kesepadanan bentuk-bentuk tersebut dalam bahasa Indonesia.

  Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk baru berisikan dari bahasa sumber melalui penerjemahan teks ekonomi. Dalam konteks perencanaan bahasa di Indonesia, khususnya perencanaan korpus, penciptaan istilah-istilah baru dalam bidang ekonomi yang berorientasi bahasa Indonesia oleh penerjemah profesional tampaknya menjadi sebuah proses dinamis dan berkelanjutan yang dapat memperkaya Glosarium Istilah Asing-Indonesia, sebuah usaha untuk memodernisasi bahasa Indonesia melalui penerjemahan neologisme dalam teks ekonomi.

  Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada usulan tentang perlunya revitalisasi istilah dan ranah istilah. Penelitian ini tidak merekomendasikan neologisme seperti yang diusulkan oleh Karnedi, tetapi lebih cenderung mendeskripsikan kendala tekstual penyebab tidak digunakannya istilah komputer berbahasa Indonesia oleh para pengguna. Di samping itu, berbeda dengan Karnedi yang hanya menyarankan neologisme pada bidang ekonomi, penelitian ini menyasar pada penggunaan istilah-istilah dalam bidang teknologi informasi seperti komputer dan internet.

  2.1.3 “Mereposisi Perencanaan Istilah Ranah Keilmuan” (Ansari, 2011).

  Penelitian Ansari mengemukakan perihal tantangan besar yang dihadapi oleh bahasa Indonesia pada masa kini. Tantangan pertama, maraknya penyerapan bahasa asing yang menjurus ke arah gengsi berbahasa Indonesia. Tantangan kedua, persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah yang memunculkan prasangka miskinnya kosakata bahasa Indonesia. Dalam rangka menghadapi kedua tantangan tersebut, Ansari mengusulkan dua cara: (1) perawatan dan pemeliharaan istilah dipakai; (2) meninjau kembali ketepatan beberapa istilah yang telah dimasyarakatkan kembali berdasarkan aspek keterpakaiannya.

  Dalam analisisnya, Ansari menyatakan bahwa persoalan kebahasaan ini kemungkinan bermuara pada rendahnya frekuensi penggunaan istilah bahasa Indonesia hasil penerjemahan dari istilah bahasa asing. Hal ini disebabkan upaya pengenalan istilah tersebut belum optimal dilakukan sehingga sebagaian besar masyarakat pengguna bahasa Indonesia tidak mengenal istilah tersebut. Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini misalnya tetikus (mouse), unduh (download), unggah (upload), laman (homepage), luah (discharge), tumpak (batch), petala (incumbent), gria tawang (penthouse), boga bahari (seafood), dan lain-lain.

  Kemungkinan kedua menurut Ansari ialah bahwa lembaga bahasa lambat dalam menawarkan istilah bersangkutan sehingga pengguna bahasa Indonesia lebih dulu mengenal dan menggunakan istilah asingnya. Meskipun telah dimasyarakatkan, pengguna bahasa Indonesia tetap memakainya karena sudah lebih akrab dengan istilah asing tersebut. Meskipun demikian, menurut Ansari keadaan ini juga dapat disebabkan oleh ketidakcocokan dalam penerjemahan istilah asing itu ke dalam bahasa Indonesia sehingga pengguna bahasa Indonesia lebih memilih istilah asingnya.

  Fokus penelitian yang dilakukan oleh Ansari lebih luas dibandingkan dengan penelitian ini. Ranah keilmuan yang dibicarakan tentu saja meliputi semua disiplin ilmu, tidak hanya bahasa. Lebih luasnya cakupan penelitian yang umum dibandingkan dengan penelitian ini yang memusatkan diri hanya pada satu bidang yakni peristilahan komputer.

  2.1.4 “Perkembangan dan Pengembangan Peristilahan Bahasa Indonesia di Bawah Lembaga-Lembaga Resmi Kebahasaan” (Samuel, 2011).

  Secara historis, peristilahan di Indonesia dikembangkan dalam dua periode yakni pada masa Komisi Istilah serta semasa Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa). Samuel meyakini bahwa pada periode yang kedua kegiatan pengembangan peristilahan merupakan hasil perencanaan bahasa karena sifatnya yang sistematis dan penggunaan perspektif multidisipliner dalam perancangan istilah. Di samping melalui Pusat Bahasa dan MABBIM, peristilahan di Indonesia menurut Samuel turut dikembangkan oleh para penutur bahasa dari berbagai profesi atau sektor kerja seperti perguruan tinggi, media massa, sektor industri, dan sektor jasa. Pendekatan tekstual dalam perkembangan peristilahan di Indonesia menurut Samuel umumnya didorong oleh kebutuhan akan penerjemahan dan penyusunan buku ajar baik di sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Terakhir, pendekatan linguistik berkaitan dengan bahasa sumber yang menjadi rujukan istilah. Di Indonesia, bahasa Sanskerta, Arab, Persia, Portugis, Belanda, dan Inggris merupakan sejumlah bahasa yang pernah dijadikan sebagai sumber istilah.

  Kesimpulan yang dikemukakan oleh Samuel terkait perkembangan peristilahan di Indonesia di bawah naungan lembaga resmi mencakup kelebihan maupun kekurangan politik istilah sebagai alat perkembangan bahasa. Poin penting yang dikemukakan oleh Samuel yakni bahwa ekspansi bahasa Inggris bahasa lokal tidak selalu berhasil atau bahkan tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, Samuel mengajukan beberapa saran diantaranya: 1) kebijakan lembaga kebahasaan harus didasari oleh pengetahuan dan pemahaman situasi sosiolinguistik yang ada; 2) implementasi kebijakan peristilahan sebaiknya memprioritaskan kebiasaan penutur daripada prinsip dan upaya para pakar terminologi; 3) faktor waktu adalah hal yang penting karena perubahan linguistik berlangsung dengan lambat dan harus diukur dengan hitungan dasawarsa atau abad; 4) evaluasi secara komprehensif terhadap politik istilah harus dilakukan untuk menyesuaikannya dengan kondisi linguistik terkini.

  Penelitian Samuel mencakup rentang waktu yang panjang serta subjek istilah yang luas. Mengacu pada kedua hal tersebut, perbedaannya dengan penelitian ini mencakup periode pengindonesiaan istilah komputer yang belum terlampau lama. Adapun subjek istilah komputer merupakan topik yang terbatas pada upaya pengindonesiaan istilah komputer berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, sehingga dapat dinyatakan bahwa cakupan kajiannya tidak luas.

  2.1.5 “Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana Ipteks; Pembentukan Istilah sebagai Salah Satu Usaha Mewujudkannya” (Syamsuri, 2013).

  Syamsuri dalam penelitian ini menjelaskan tentang hakikat pembentukan istilah bahasa Indonesia dan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pembentukannya. Menurut Syamsuri, kehadiran istilah bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah untuk mengisi kekosongan padanan, untuk menambah variasi kesinoniman, serta untuk memutasi istilah lain. Bentuk-bentuk seperti reformasi, mampu mengisi kekosongan padanan dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, bentuk-bentuk semacam fleksibel, menyimak, mengglobal, dan atom digunakan sebagai variasi bagi kata lentur, mendengarkan, mendunia, serta sarah. Kemudian yang terakhir, beberapa kosakata dimunculkan guna memutasi istilah lainnya seperti lembaga pemasyarakatan yang memutasi kata bui, wisatawan memutasi kata pelancong atau turis, serta invasi memutasi kata pendudukan.

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan dan wahana ipteks menurut Syamsuri terdiri atas beberapa aspek penting yakni: pertama, bahasa Indonesia hendaknya diberi kesempatan membuka diri guna menerima istilah bahasa lain; kedua, peristilahan bahasa Indonesia menjadi media pendidikan karakter; ketiga, peristilahan bahasa Indonesia hendaknya memperhatikan efisiensi, kebergunaan, estetika, dan baku; keempat, istilah mampu menggambarkan tentang realitas termasuk konsep ipteks; kelima, istilah bahasa Indonesia harus berada dalam pusaran peradaban; dan yang keenam, istilah itu tersebarluaskan melalui berbagai media.

  Senada dengan rumusan Samuel dan Sudiana, topik yang dikemukakan oleh Syamsuri merujuk pada perbincangan seputar dinamika peristilahan berbahasa Indonesia dilihat dari perspektif yang luas. Uraian yang disampaikan meliputi semua bidang. Namun sifatnya yang umum menimbulkan kesan bahwa contoh yang dikemukakan hanya sebagian kecil saja dari rincian yang seharusnya diungkap. Akibatnya generalisasi dalam penelitian Syamsuri menjadi penelitian yang sedang dilakukan menjadi jelas, yakni jika penelitian Syamsuri menguraikan tentang aspek motif dan proses pembentukan istilah secara umum, penelitian ini menguraikan tentang aspek motif, proses, pola, serta kendala penggunaan istilah berbahasa Indonesia hanya pada bidang komputer.

  2.1.6 Tanggapan Mahasiswa di Kota Surakarta terhadap Pengindonesiaan Istilah Asing Bidang Perkomputeran (Kajian Sosiolinguistik). Tesis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (Sari, Citra Aniendita: 2014) Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi istilah asing bidang perkomputeran yang paling dikenal oleh kalangan mahasiswa di Kota Surakarta,

  (2) mendeskripsikan proses pemadanan (pengindonesiaan) istilah asing beserta kriteria dan karakteristiknya yang cenderung berterima dan yang tidak berterima, (3) menjelaskan alasan pilihan mahasiswa yang menggunakan istilah bidang komputer, dan (4) memaparkan tanggapan kalangan mahasiswa tentang pengindonesiaan istilah asing tersebut. Istilah-istilah bidang perkomputeran dalam penelitian ini bersumber dari “Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Inpres No

  2 Tahun 2001” yang berisi 629 istilah bidang perkomputeran.

  Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik pustaka dan teknik catat serta metode cakap dengan teknik kuesioner dan teknik wawancara.

  Data dianalisis dengan mengunakan metode padan (metode identitas) translasional dengan teknik hubung banding menyamakan/HBS untuk mengidentifikasi istilah dalam bahasa Indonesia didasarkan atas padanannya dalam bahasa asing khususnya bahasa Inggris.

  Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa, pertama, terdapat 210 istilah yang terbagi menjadi (a) istilah pada perangkat dan aplikasi komputer dan (b) istilah pada internet. Kedua, padanan istilah yang cenderung berterima adalah dengan proses penyerapan sedangkan yang cenderung tidak berterima adalah dengan proses perekaan. Ketiga, meskipun sudah banyak padanan istilah dalam bahasa Indonesia yang dikenal dan disosialisasikan namun hanya sedikit padanan istilah yang dapat diterima dan digunakan oleh kalangan mahasiswa. Mereka tetap lebih memilih menggunakan istilah asing karena (a) lebih sering melihat dan mendengar istilah asing, (b) terbiasa memakai dan lebih mudah mengucapkan istilah asing untuk percakapan dan komunikasi sehari-hari, (c) lebih bergengsi dan merasa percaya diri memakai istilah asing, serta (d) lebih mudah memahami dan mengerti makna istilah asing tersebut. Keempat, penelitian ini juga menemukan dua tanggapan dari kalangan mahasiswa di Kota Surakarta tentang upaya pengindonesiaan istilah asing bidang perkomputeran, yaitu tanggapan yang positif sebanyak 40% dan tanggapan negatif sebanyak 60%.

  Esensi penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Sari, perbedaannya terletak pada subjek penelitian serta analisis yang digunakan. Sari menggunakan Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Inpres No 2 Tahun 2001 beserta hasil kuosioner dan wawancara sebagai data, sedangkan penelitian ini menggunakan Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Inpres No 2 Tahun 2001, Istilah Teknologi Informasi yang diprakarsai oleh Pusat Bahasa, serta berbagai istilah teknologi informasi lainnya yang tersebar di media massa maupun internet, termasuk respon-respon atau hasil penelitian tentang respon masyarakat pengguna penelitiannya, Sari menggunakan sosiolinguistik sebagai kajian dengan aspek perencanaan bahasa sebagai fokusnya, sementara dalam penelitian ini kajian sosiolinguistik menjadi payung penelitian dengan bertumpu pada pendekatan komunikatif yang digagas oleh Agnes Kukulska-Hulme serta direlevansikan dengan pembelajaran kosakata bahasa Indonesia pada Sekolah Menengah Atas.

  Asumsi dasar yang hendak dibangun oleh penelitian ini adalah bahwa perencanaan bahasa yang mengusung norma preskriptif akan dikoreksi oleh realitas penggunaan bahasa di masyarakat yang deskriptif. Kebijakan pengindonesiaan istilah tidak selalu dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat karena berbagai faktor. Penelitian ini berusaha mengungkap faktor- faktor tersebut dengan menggunakan teori yang relevan. Tidak hanya itu, mengingat istilah teknologi informasi merupakan subjek yang multidisiplin, penguatan terhadap argumentasi yang dikemukakan bersumber dari kajian terdahulu.

  2.2.1 Teks: merupakan unit semantik yang harus diekspresikan atau dikodekan agar bermakna. Berbagai bentuk kebahasaan yang berperan dalam konteks situasi harus disebut teks, entah berbentuk lisan atau tulisan, atau berbagai media ekspresi lainnya yang pernah terpikirkan oleh kita. Berdasarkan karakteristiknya sebagai sebuah entitas semantik yang berbeda dari unit- unit linguistik lainnya, teks harus dipahami dari dua perspektif sekaligus yakni teks sebagai sebuah produk dan teks sebagai sebuah proses (Halliday dan Hasan, 1989).

  2.2.2 Istilah: 1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan gagasan, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu; 2) kata atau frasa yang dipakai sebagai nama atau lambang dan yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 3) Tata istilah (terminologi) adalah perangkat asas dan ketentuan pembentukan istilah serta kumpulan istilah yang dihasilkannya (PUPI, 2004).

  2.2.3 Komputer: ialah alat elektronik otomatis yang dapat menghitung atau mengolah data secara cermat menurut yang diinstruksikan, dan memberikan hasil pengolahan, serta dapat menjalankan sistem multimedia (film, musik, televisi, faksimile, dan sebagainya), biasanya terdiri atas unit pemasukan, unit pengeluaran, unit penyimpanan, serta unit pengontrolan.

  2.2.4 Digital: berbeda dengan sistem analog yang menggunakan kuantitas fisik untuk mengukur, menyimpan, atau merekam informasi, sistem digital merupakan sistem perekaman atau pentransimisian informasi dalam bentuk ribuan sinyal yang sangat kecil. Istilah ‘digital’ secara praktis juga dipahami sebagai sistem elektronik yang dicirikan oleh teknologi yang terkomputerisasi.

  Jika ditanyakan tentang tujuan dari bahasa manusia, sebagian besar orang secara naluriah akan menjawab bahwa tujuannya adalah sebagai alat komunikasi (Kukulska-Hulme, 1999:2). Para penutur tersebut menganggap pasti kemampuannya dalam berkomunikasi melalui bahasa. Adalah tidak berlebihan jika kemudian kita selaku para pengguna komputer mengharapkan tingkat kemudahan yang sama ketika berinteraksi dengan sistem komputer atau panduan penggunaannya. Akan tetapi dalam praktiknya, bahkan terkadang para profesional dalam bidang komputer dan para pengguna berpengalaman lainnya kerap dibuat frustasi oleh penjelasan yang ada pada fasilitas “help”. Mereka bingung oleh makna kata pada pilihan menu, toolbar, dan tombol; dan terhambat dalam pencarian informasi karena harus menggunakan istilah-istilah yang tidak dengan cepat mengekspresikan kebutuhan mereka.

  Evans (dalam Kukulska-Hulme, 1999:13) menyatakan bahwa melek komputer merupakan suatu pengalihan. Alih-alih manusia yang membutuhkan keberaksaraan, justru komputer yang seharusnya dirancang agar peka terhadap penggunanya sehingga dapat dioperasikan dengan mudah untuk melakukan pekerjaan. Menanggapi pendapat ini, Kukulska-Hulme beranggapan bahwa para pengembang komputer tidak cukup bersikap human-literate semata, tetapi juga harus peduli pada konsep-konsep esensial bahasa dan efek penggunaannya yang disebutnya sebagai “melek bahasa”.

  Kata-kata pada layar komputer dapat menciptakan hambatan dalam berkomunikasi, ditambah lagi para pengguna yang mencoba file help kerap mengalami kekecewaan. Seperti dinyatakan oleh Kukulska-Hulme, seringkali ungkapan frustasi “Aku tidak mengerti opsi-opsi yang ada pada layar” mendorong banyak pengguna untuk “asal coba-coba dan lihat apa yang terjadi”, yang hanya membuang-buang waktu atau malah berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap perangkat komputer yang mereka miliki. “Aku tidak mengerti petunjuknya” adalah tipe keluhan lain yang sering terdengar, yang kemudian menjadi alasan bagi para pengguna untuk tidak membacanya. Sering dinyatakan (misalnya oleh Smith, dalam Kukulska-Hulme, 1999:2) bahwa cara alternatif dalam mengajari atau berbagi informasi dengan para pengguna adalah melalui pelatihan video.

  Mode penyampaian ini dapat membuat informasi menjadi lebih berterima di kalangan para pengguna, tetapi ini tidak sepenuhnya menghilangkan permasalahan terkait penggunaan bahasa yang membingungkan.

  Kesulitan pemahaman terhadap istilah komputer yang dialami baik oleh para profesional, pengguna lepas, atau para pengguna baru tidaklah terelakkan.

  Sesuatu harus dilakukan untuk memperbaiki cara agar bahasa dapat disajikan dan digunakan pada konteks-konteks yang bisa dimengerti oleh para penggunanya.

  Masalah fundamentalnya menurut Kukulska-Hulme (1999:3) ialah bahwa komunikasi yang efektif tidak otomatis terjalin setiap kali orang berbicara atau menulis, sehingga kita tidak bisa serta merta berasumsi bahwa karena sebuah aplikasi komputer menampilkan dan menyediakan penggunaan bahasa, atau bahwa petunjuknya tertulis dalam bahasa yang sama-sama dimengerti baik oleh pengembang atau pengguna maka pesan yang dibawanya dapat dipahami.

  Menurut Kukulska-Hulme, komunikasi melalui bahasa adalah perihal menyajikan pesan yang komprehensif bagi para penggunanya. Terkait dengan itu, sikap paling bijak yang dapat diambil dalam merancang peristilahan komputer adalah dengan menganggap seluruh penggunanya sebagai pembelajar bahasa.

  Anggapan ini berlaku sejak berbagai aplikasi komputer menciptakan makna baru yang berbeda dengan makna istilah-istilah yang sudah terlanjur akrab di telinga para pengguna, juga sejak aplikasi-aplikasi tersebut memperkenalkan istilah- istilah serta konsep-konsep baru yang maknanya tidak dipahami. Memandang teks yang muncul pada layar sebagai “bahasa baru” bagi pengguna akan memunculkan asumsi dan keyakinan perihal apa yang akan dan yang tidak akan dipahami oleh para pengguna komputer bersangkutan. Ini memperkenalkan pula aspek produktif terhadap bahasa: para pengguna tentunya butuh untuk mengerti, tetapi mereka juga butuh untuk mampu menghasilkan bahasa yang sesuai dengan aplikasi yang ada agar dapat memanfaatkannya secara maksimal.

  Dalam rangka memahami permasalahan yang dialami oleh para pengguna ketika berhadapan dengan istilah yang terdapat dalam suatu sistem komputer, Kukulska-Hulme (1999:12) menawarkan sebuah pendekatan yang disebutnya sebagai pendekatan komunikatif. Pendekatan ini fokus pada upaya mengidentifikasi tujuan dan strategi komunikasi berikut elemen kebahasaan yang digunakan untuk menerapkannya. Pendekatan ini berhubungan dengan retorika, ilmu sosial, kognitif, dan aspek pikologis dari pemakaian serta pemahaman bahasa.

  Pendekatan komunikatif berupaya mengetahui aspek-aspek yang berbeda dari suatu bahasa: mekanismenya, karakteristik visual dan auditorisnya, siklus perubahannya, corak maknanya, variasinya, serta efek perorangan dan sosial yang ditimbulkannya. Pendekatan ini berusaha memperhatikan kebutuhan akan komunikasi semisal instruksi dan penjelasan, konteks komunikasi di dalam dan di luar bahasa, serta hambatan-hambatan dalam ujaran dan tulisan. Pengetahuan akan hal ini, menurut Kukulska-Hulme dianggap dapat menjelaskan penyebab gagalnya komunikasi dalam situasi tertentu, dan membantu untuk mengantisipasi dan menghindari permasalahan serupa di masa depan.

  Terkait permasalahan seputar peristilahan komputer, Agnes Kukulska- Hulme mengajukan empat tipe masalah yang akan dijelaskan dan diilustrasikan yaitu permasalahan seputar makna dan penjelasannya, bahasa yang mengabaikan kenyataan, struktur yang menutupi pemahaman, serta permasalahan bahasa dalam pencarian informasi.

  Permasalahan Seputar Makna dan Penjelasannya

  Pada antarmuka WordPerfect (WP), terdapat kumpulan kata yang memiliki makna khusus pada aplikasi bersangkutan, berbeda dengan makna aslinya pada bahasa sehari-hari. Atas alasan ini pula, istilah-istilah semacam

  

styles, characters, blocked lines, dan global search kerap kali membingungkan

  para pengguna aplikasi WP. Para pengguna telah memiliki ide tentang menggunakan perangkat lunak tersebut, mereka harus mengubah konsepsi awal mereka. Pada kasus yang serupa, Lotus 1-2-3 menggunakan ekspresi “to expand the highlight”; pada kasus ini, expand dan highlight mungkin dikenali dari konteks yang lain. Tantangan bagi para pengguna adalah mencoba untuk memahami makna baru yang khusus dari kata-kata yang sudah terlanjur akrab digunakan dalam bahasa sehari-hari atau dalam aplikasi komputer lainnya. Pada fasilitas help, dimana terdapat potensi penjelasan yang cukup, istilah-istilah ini mungkin berada di luar konteks pemahaman pengguna. Contohnya:

  style = kombinasi dari format kode dan/atau teks

  Sebagai tambahan, lingkaran definisi (ketika sebuah definisi mengandung kata yang telah didefinisikan) terkadang membawa masalah. Contohnya, pada

  help Lotus 1-2-3: EDIT = 1-2-3 is in the edit mode

  “Status Bar” Word pada Windows, berisi teks yang mendeskripsikan ikon:

  AutoFormat: Automatically formats a document

  Guna memperbaiki situasi ini, bahasa yang digunakan dalam menjelaskan atau mendefinisikan harus dapat dipahami dan pantas diterapkan. Relevansi dengan konteks, perubahan makna, serta pengetahuan kebahasaan pengguna harus diperhatikan.

  Konsep sinonimi dan ekuivalen turut menjadi bahan pembicaraan ketika kata-kata yang memiliki makna berdekatan digunakan dalam waktu yang sama.

  Contohnya dapat dilihat pada sistem operasi Macintosh yang biasanya menampilkan apa yang disebut sebagai “alias” ketika balon “help” diaktifkan. Teks yang dihasilkan ketika menunjuk kata alias pada desktop adalah:

  This is an alias to an application. To open the application, open this alias. To drag an item to the application, drag it to this alias. Change the icon’s name by clicking on the name and typing.

  Pada konteks ini, alias dan icon memiliki makna berdekatan. Hingga salah satu diantaranya keduanya cukup dengan makna dari kata-kata ini, membingungkan melihat keduanya digunakan sebagai rujukan atas item yang sama.

  Dengan cara yang sama, Program Manager Help pada Windows 3.1 (kotak 1) memiliki sebuah bagian yang berisi pengaturan aplikasi dan dokumen dimana ketujuh kata yang tertera pada layar merujuk pada hal-hal yang mirip:

  Applications icons program items Documents properties windows Files Sangat mengherankan bagaimana applications and documents berubah menjadi applications and files, yang berubah lagi menjadi applications saja; lantas bagaimana yang satu bisa mengorganisasikan documents?

  Bahasa yang Mengabaikan Kenyataan

  Permasalahan mengemuka ketika pengguna berhadapan dengan bahasa yang tidak mengenal pola-pola ekspresi keseharian atau situasi kehidupan nyata.

  Merupakan hal lumrah bila pengguna menemukan kecenderungan penggunaan kata-kata sulit daripada penggunaan kata-kata yang biasa pada aplikasi populer.

  Satu contohnya adalah pada perintah “To perform an action on a file”; contoh lainnya tertera pada kotak 2.

  Jika ini adalah sebuah pilihan terhadap singkatan (dalam kasus ini, memilih menggunakan satu kata daripada dua), kemudian konsekuensinya kata tersebut harus dipahami, maka kata kerja “yang lebih panjang” dalam bahasa Anglo Saxon lebih umum digunakan daripada dalam bahasa Latin asli, dan mungkin akan lebih dipilih oleh para pengguna. Jika kata-kata tunggal terasa lebih terminologi dan bahasa khusus (terminology and special languages). Kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kata kerja semacam create dan generate (create

  

a document, generate a table) merupakan kata sehari-hari atau istilah-istilah

  komputasi? Apakah kata-kata tersebut tidak tersalurkan dalam sistem pemrosesan? Bagaimana perbandingannya? Senada dengan itu, IBM memiliki aplikasi kalender (atau diary dalam

  British English) yang memberikan kemudahan bagi para pengguna untuk memilih menu-menu sebagai berikut: Deleting an item from the calendar (menghapus item dari kalender) Inserting an item into the calendar (menyisipkan item pada kalender) Moving an item (memindahkan sebuah item) Copying an item (menyalin sebuah item) Kita semua memiliki kalender atau catatan harian, tetapi kita tidak menulisinya dengan istilah-istilah seperti di atas, dalam situasi bisnis yang formal sekalipun. Istilah-istilah yang biasa kita gunakan adalah membuat janji, mengubahnya, membatalkannya, memindahkannya, menjadwalkan rapat, memastikan bahwa jadwal suatu rapat tidak berbenturan dengan jadwal rapat lainnya, mengecek kehadiran seseorang, dan sebagainya. Demikian pula pada istilah-istilah berikut. Alih-alih mengatakan “menambahkan banyak item pada kalender”, kita merencanakan janji dan liburan secara teratur; alih-alih mengatakan “meninjau item-item kalender”, kita malah cenderung mencermati rincian perjanjian yang kita buat. Bahasa itu menyatu dengan aplikasi; sebuah penghargaan terhadap terminologi dan psikologi kebahasaan akan membantu

  Bagian Help pada Encarta Encylopedia mengandung perintah pencarian menggunakan fasilitas “Contents”. Perintahnya berbunyi: To find the topic you want:

  1. (. . .) 2. Begin typing the topic name in the box above the list.

  The list moves to words beginning with the letters you type

  Daftar lengkap dari topik-topik bantuan juga dapat diakses. Salah satunya ialah: The Main Window: what does it do?