BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kurniasih Dwi Kusuma Wardani BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kejang Demam

  1. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakaranium (Hasan & Alatas, dkk, 2007). Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun (Ngastiyah, 2005).

  2. Klasifikasi kejang (Cecily & Linda, 2009)

  a. Kejang Parsial (Fokal, Lokal) 1) Kejang parsial sederhana

  Kesadaran tidak terganggu; dapat meliputi satu atau kombinasi dari hal-hal berikut: a) Tanda motorik : kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh; biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi merata.

  b) Tanda dan gejala otomatis : muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi pupil.

  9 c) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus: mendengar suara musik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.

  d) Gejala-gejala fisik : deja vu (seperti siaga), ketakutan, penglihatan panoramik.

  2) Kejang parsial kompleks

  a) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu kejang parsial sederhana.

  b) Dapat melibatkan gerakan otomatisme : bibir mengecap, mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.

  c) Dapat tanpa otopatis : tatapan terpaku.

  b. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif) 1) Kejang lena

  a) Gangguan kesadaran dan keresponsifan

  b) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15 detik c) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai perhatian penuh d) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia 18 tahun.

  2) Kejang mioklonik

  a) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter b) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara singkron

  c) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok d) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran singkat

  3) Kejang tonik-klonik

  a) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot ekstermitas, tubuh dan wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang dari satu menit; sering didahului oleh suatu aura.

  b) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus c) Tidak ada respirasi dan sianosis

  d) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan bawah e) Latergi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. c. Kejang atonik 1) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah

  2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan

  d. Status epileptikus 1) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang 2) Kesadaran antara kejang tidak didapat 3) Potensial depresi pernafasan, hipotensi, dan hipoksia 4) Memerlukan penanganan medis darurat segera

  3. Etiologi Penyebeb kejang demam masih belum dapat dipastikan. Pada sebagian besar anak, tingginya suhu tubuh, bukan kecepatan kenaikan suhu tubuh, menjadi faktor pencetus serangan kejang demam. Biasanya suhu demam lebih dari 38,8°C dan terjadi saat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu yang lama (Dona L. Wong,2008).

  Penyebab kejang mencakup faktor-faktor perinatal, anoksia, malformasi otak kongenital, faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabolik, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya (Betz & Sowden, 2009).

  4. Patofisiologi (Ilmu Kesehatan Anak) Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.

  Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (N+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

  Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya : a) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

  b) Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. c) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

  Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

  Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.

  Setiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38°C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang dapat terjadi ketika suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

  5. Manifestasi Klinis (Ngastiyah, 2005) Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat; misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain.

  Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik.

  Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang atau gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsi. Untuk itu Living Ston membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu :

  a) Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

  b) Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered off

  fever )

  6. Penatalaksanaan manajemen perawatan dan pengobatan Prinsip manajemen penatalaksanaan dari kejang demam terdiri dari memberantas kejang segera mungkin, pengobatan penunjang, memberikan pengobatan rumat, serta mencari dan mengobati faktor menyebab. Melalui penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis dari kejang demam baik dan tidak perlu menjadi penyebab dari kematian anak. Empat hal yang harus diperhatikan saat merawat anak dengan kejang demam, yaitubmemberantas kejang dengan segera, pemberian obat penunjang, memberikan pengobatan rumatan, dan mencari serta mengobati faktor penyebab (Sodikin, 2012).

  a. Tindakan keperawatan saat di rumah sakit 1) Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama kali adalah : Air way, Breathing, dan Circulation.

  2) Bila hal pertama sudah dapat diatasi, baringkan pasien di tempat yang datar untuk mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh kearah yang membahayakan. 3) Atur posisi pasien pada posisi terlentang (miringkan), bukan posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.

  4) Jangan memasang sudip lidah (tongue spatel), karena risiko lidah tergigit kecil. Sudip lidah dapat membatasi jalan napas.

  5) Singkirkan benda-benda berbahaya dari dekat pasien. 6) Longgarkan pakaian pasien untuk memberikan jalan nafas yang adekuat bila terjadi distensi abdomen.

  7) Berikan obat anti kejang melalui rute rektal, seperti diazepam berikan dengan dosis 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg, pada anak dengan berat badan lebih dari 10 kg berikan dosis 10 mg.

  8) Bila suhu tubuh melebihi 38,5°C dan bila memungkinkan berikan antipiretik (ibuprofen).

  9) Bila pasien sudah sadar dan terbangun berikan minum hangat.

  b. Tindakan keperawatan pada kejang demam karena hipertermi 1) Kaji riwayat sebelumnya, seperti bila pasien pernah kejang sebelumnya, berikan antipiretik (ibuprofen) untuk mencegah kejang, dan ibuprofen diberikan bila suhu tubuh berkisar 38- 39,5°C.

  2) Beri kompres hangat secara intensif. 3) Hindari pemberian selimut tebal, karena uap panas akan sulit dilepaskan.

  4) Bila pasien sudah sadar dan terbangun berikan minum hangat.

B. Faktor yang Mempengaruhi Risiko Berulangnya Kejang Demam

  1. Usia pertama kali kejang Usia pertama kali kejang sebagian besar adalah kurang dari dua tahun. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat baik ionotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor gamma amino butyric

  acid (GABA) sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum

  matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Oleh karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neuron lebih tinggi dibandingkan ya ng sudah matang sehingga disebut sebagai developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang.

  Eksilator lebih dominan dibandingkan inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksilator dan inhibitor.

  Anak yang mendapatkan serangan bangkitan kejang pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari dua tahun sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam pada umur di bawah dua tahun mempunyai risiko terjadinya bangkitan kejang demam berulang.

  2. Jenis kelamin Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 1 : 2. Hal ini disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Puspita, 2010). Hasil dari penelitian Kiki (2013) menunjukkan bahwa dari 74 responden sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebesar 44 (59,5%) anak, dengan pada kelompok kasus sebesar 21 (56,8%) anak dan kelompok kontrol 23 (62,2%) anak. Jenis kelamin perempuan sebesar 30 (40,5%), dengan pada kelompok kasus sebesar 16 (43,2%) dan kelompok kontrol 14 (37,8%).

  3. Suhu tubuh ketika kejang Suhu tubuh terdiri dari suhu permukaan (shell temperature) dan suhu inti (core temperature). Suhu permukaan adalah suhu yang terdapat pada permukaan tubuh yaitu kulit dan jaringan subkutan, sedangkan suhu inti adalah suhu yang terdapat pada organ visera yang terlindungi dari paparan suhu lingkungan sekitar. Suhu inti sering diartikan sebagai suhu organ otak tempat pusat pengaturan suhu tubuh berada (Soedarmo, 2010).

  Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda-beda, hal ini tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak. Anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38°C, tetapi pada anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru akan terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Kejang demam berulang lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah, sehingga penanganannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami kejang (Sodikin, 2012).

  Suhu tubuh anak ketika kejang sangat berpengaruh terhadap rekuensi kejang demam. Semakin tinggi suhu tubuh anak semakin besar pula untuk terjadinya kejang demam. Semakin lama demam, semakin besar pula anak mengalami bangkitan kejang demam.

  4. Riwayat keluarga Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam.

  Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua maupun saudara kandung (first degree relative).

  Cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam belum dapat dipastikan, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%- 80%. Bila kedua orang tua tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi kekambuhan kejang demam 20%-22%. Apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.

  5. Jenis Kejang Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

  a) Kejang demam sederhana Ciri dari kejang ini adalah :

  1) Kejang berlangsung singkat 2) Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu <10 menit 3) Tidak terulang dalam 24 jam b) Kejang demam kompleks Ciri kejang ini adalah:

  1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit 2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 3) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam

  6. Riwayat Prenatal

  a. Usia ibu saat hamil Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya adalah trauma persalinan.

  Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatkan fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

  Penelitian yang dilakukan oleh Richardson et. al (2000) menunjukan bahwa usia ibu hamil kurang dari 20 tahun sebanyak

  3 (7,9%) kejadian kasus dan 11 (7,2%) pada kejadian kontrol, pada usia ibu hamil antara 20 sampai dengan 29 tahun terdapat 11 (29%) pada kejadian kasus dan 54 (35,5%) pada kejadian kontrol. Pada usia ibu hamil antara 30 sampai 34 tahun terdapat 13 (34,2%) pada kejadian kasus dan 59 (38,8%) pada kejadian kontrol, sedangkan pada usia ibu hamil diatas 35 tahun terdapat 11 (29%) pada kejadian kasus dan sebanyak 28 (18,4%) pada kejadian kontrol.

  7. Riwayat Perinatal

  a. Usia kehamilan Usia kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan postmatur. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam

  Sarwono (2010) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang.

  Perkembangan alat-alat tubuh pada bayi prematur kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernafasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas.

  Kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir disebut kehamilan postmatur atau postterm (Sarwono, 2010). Keadaan ini akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukkan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi postterm ialah suhu yang tak stabil, hipoglikemi dan kelainan neurologik. Gawat janin terutama terjadi pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik seperti: berat bayi lebih dari 4000 gram, kelainan posisi, partus >13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria. Kelainan tersebut dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik) dan hipoksia janin yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi klinis dari keadaan ini dapat berupa kejang.

  b. Asfiksia Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia dijaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6- 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12

  • – 24 jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya kurang baik. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis, diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia adalah

  

“watershead area” yaitu daerah parasagital hemisfer yang

  mendapat vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

  Penelitian oleh Daoud et. al. (2002) di Yordania dengan menggunakan data selama tahun 1993 sampai dengan 1995 di Castellammare Stabia Hospital terhadap 156 anak yang didiagnosa kejang demam pada usia 6-24 bulan menemukan bukti empiris bahwa kejadian kejang demam dari asfiksia sebanyak 6 (3,8%). c. Berat Badan Lahir Rendah Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventikuler. Iskemia otak dapat menyebakan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR kurang dari 2.500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk menjadi komplikasi neurologi dengan manifestasi kejang.

C. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka teori penelitian

  a. Perhatikan airway, breathing, dan circulation

  Kejang demam berulang Kejang parsial Kejang menyeluruh

  b. Beri kompres hangat c. Hindari selimut tebal

  a. Kaji riwayat sebelumnya dan beri antipiretik

  2. Saat hipertermi

  b. Baringkan pasien posisi miring c. Jauhkan dari benda berbahaya d. Longgarkan pakaian pasien e. Beri obat anti kejang

  1. Saat di rumah sakit

  Sumber : Modifikasi dari Sodikin (2012), Puspita (2010), Cecily (2009), Dewanti (2012) dan Fuadi (2010)

  g. Riwayat perinatal Penatalaksanaan

  f. Riwayat prenatal

  e. Riwayat keluarga

  d. Jenis kejang

  c. Suhu tubuh saat terjadi kejang

  a. Usia pertama kali kejang

  Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kejang demam berulang :

b. Jenis kelamin

D. Kerangka Konsep Penelitian

  INDEPENDENT DEPENDENT

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian E.

   Hipotesis

  Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Sugiyono, 2009). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

  1. Ada pengaruh antara usia pertama kali kejang, jenis kelamin, suhu dan jenis kejang dengan kejang demam berulang.

  2. Faktor risiko yang paling mempengaruhi risiko kejang demam berulang adalah usia pertama kali kejang, jenis kelamin, riwayat kejang, suhu atau jenis kejang.

  Kejang demam berulang Usia pertama kali kejang

  Jenis kelamin Suhu saat terjadi kejang

  Jenis kejang