BAB II TINJAUAN PUSTAKA - KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN STANDARISASI EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Garcinia mangostana L merupakan nama latin yang diberikan untuk

  tanaman manggis yaitu tanaman buah yang berasal dari hutan tropis di kawasan Asia Tenggara (Malaysia atau Indonesia). Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai macam nama lokal seperti Manggu (Jawa Barat), Manggis (Jawa), Manggusto (Sulawesi Utara), Mangustang (Maluku) dan Manggih (Sumatera Barat) (Miryantiet al, 2011).

  Manggis merupakan tumbuhan yang berasal dari daerah Asia Tenggara meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand dan Myanmar. Manggis merupakan tumbuhan fungsional karena sebagian besar dari tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat. Akan tetapi, banyak yang tidak mengetahui jika kulit buah manggis memiliki khasiat. Kulit buah manggis yang selama ini dibuang sebagai limbah setelah habis menyantap daging buah, ternyata memiliki segudang manfaat penting bagi kesehatan. Di dalam kulit buah manggis kaya akan antioksidan seperti xanthone dan antosianin (Moongkandi et al., 2004; Kristenses, 2005; Weecharangsan et al., 2006; Hartanto, 2011).

  Menurut Tjitrosoepomo (1994), kedudukan taksonomi dari kulit manggis, yaitu : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferanales Famili : Guttiferae Genus :Garcinia Spesies :Garcinia mangostana L. Buah manggis dianggap sangat istimewa, warna kulit manggis merah kehitaman, daging buahnya putih bersih dan berasa manis, serta senyawa yang menjadi primadona buah itu adalah xanton, yang merupakan substansi kimia alami yang tergolong polyphenolic, yang dihasilkan oleh metabolit sekunder. Xanton tidak ditemukan pada buah-buahan lain, oleh karena itu manggis dijuluki

  

queen of fruits / ratu buah. Selain itu, buah manggis juga mengadung katekin,

  potasium, kalsium, fosfor, besi, vitamin B1, vitamin B2,vitamin B6, dan vitamin

  C. (Yatman, 2012). Dalam tubuh manusia xanton berfungsi sebagai antioksidan, antiproliferasi, antiinflamasi, dan antimikrobial. Xanton adalah antioksidan kuat, yang sangat dibutuhkan untuk penyeimbang pro-oxidant di dalam tubuh dan lingkungan, yang dikenal sebagai radikal bebas. Sejumlah peneliti menjelaskan, kulit manggis matang mengandung polyhydroxyxanton, yang merupakan derivat dan ß-mangostin, yang berfungsi sebagai antioksoidan, antibakteri,

  mangostin

  antitumor, dan antikanker. Sifat antioksidan xanton melebihi vitamin E dan vitamin C, yang selama ini terkenal sebagai antioksidan tingkat tinggi (Yatman, 2012).

B. Simplisia 1.

  Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

  Menurut “Materia Medika Indonesia” simplisia dibedakan menjadi tiga, yaitu: simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 1995; Saifudin et al, 2011).

2. Karakterisasi Simplisia

  Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar (wild crop) memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi senyawa dalam produk hasil panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Depkes RI, 2000) : a)

  Genetik (bibit)

  b) Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)

  c) Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh)

  d) Panen (waktu dan pasca panen)

  Besarnya variasi senyawa meliputi baik jenis ataupun kadarnya, sehingga timbul jenis (spesies) lain yang disebut kultivar (Depkes RI, 2000). Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan (Depkes RI, 2000).

  Karakterisasi suatu simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung di konsumsi (serbuk jamu dsb) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000). Karakterisasi simplisia meliputi uji makroskopik, uji mikroskopik dan identifikasi simplisia (Depkes RI, 1995).

C. Ekstraksi

  Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Depkes RI, 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua cara yaitu: cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu; maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi menjadi lima jenis yaitu ; refluks, soxhlet, digesti, infus dan dekok (Depkes RI, 2000).

  Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar) (Depkes RI, 2000). Maserasi berasal dari bahasa latin maserace berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir (Voight, 1994).

  Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokkan berulang-ulang, upaya pengocokan ini dapat menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994).

  Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Maserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserasi pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

D. Ekstrak

  Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Voight, 1994).

  Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.

  Sedangkan faktor kimia yaitu : faktor internal (jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida) (Depkes RI, 2000).

  Selain faktor yang mempengaruhi ekstrak, ada faktor penentu mutu ekstrak yang terdiri dari beberapa aspek, yaitu : kesahihan tanaman, genetik, lingkungan tempat tumbuh, penambahan bahan pendukung pertumbuhan, waktu panen, penangan pasca panen, teknologi ekstraksi, teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak, dan penyimpanan ekstrak (Saifudin et al, 2011).

  E. Standarisasi

  Standarisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saefudin et al., 2011).

  Standarisasi secara normatif ditunjukkan untuk memberikan efikasi yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standarisasi obat herbal meliputi dua aspek : 1.

  Aspek parameter spesifik : berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia yang dilibatkan ditunjukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif.

  2. Aspek parameter non spesifik : berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas misal kadar logam berat, aflaktosin, kadar air dan lain-lain.

  F. Standarisasi obat herbal

  Standarisasi obat herbal merupakan proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tumbuhan obat herbal (Saifudin et al, 2011).

  Standarisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk herbal) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan dahulu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standarisasi ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Depkes RI, 2000).

G. Parameter-parameter Standar Ekstrak

  Parameter-parameter standar ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik.

1. Parameter spesifik Ekstrak (Depkes RI, 2000)

  Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. Parameter spesifik ekstrak meliputi : a.

  Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi : deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.

  b.

  Organoleptis : parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana se-objektif mungkin.

  c.

  Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu : melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. d.

  Uji kandungan kimia ekstrak : 1)

  Pola Kromatogram Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT, KCKT). (Depkes, 2000).

2. Parameter Non Spesifik Eksrak (Depkes RI, 2000)

  Penentuan parameter non spesifik ekstrak yaitu penentuan aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas (Saifudin et al, 2011). Parameter non spesifik ekstrak menurut buku “Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat” (Depkes RI, 2000), meliputi : a.

  Kadar Air Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).

  b.

  Kadar abu Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunnya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan organik, yang memberikan gambaran kandungan mineral internal dan ekstrak yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak (Depkes RI, 2000).

  c.

  Cemaran Logam Berat Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat dalam suatu ekstrak, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi batas yang telah ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).

H. Uraian Instrumen 1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

  Metode kromatografi merupakan cara pemisahan senyawa-senyawa yang berada dalam sediaan dengan jalan penyarian, penyerapan, atau pertukaran ion pada zat berpori dengan menggunakan cairan atau gas mengalir. Zat yang diperoleh untuk identifikasi dan penetapan kadar (Depkes RI, 1979).

  Kromatografi lapis tipis adalah salah satu contoh kromatografi planar. Fase diamnya (Stanioary Phase) berbentuk lapisan tipis yang melekat pada gelas / kaca, plastik, aluminium. Sedangkan fase geraknya (Mobile Phase) berupa cairan atau campuran cairan, biasanya pelarut organik dan kadang-kadang juga air. Fase diam yang berupa lapisan tipis ini dapat dibuat dengan membentangkan / meratakan fase diam (adsorbent=penjerap=sorbent) diatas plat / lempeng ataupun aluminium (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Yang digunakan sebagai fase gerak biasanya adalah pelarut organik. Bilamana fase gerak merupakan campuran organik dengan air maka mekanisme pemisahan adalah partisi. Pemilihan pelarut organik ini sangat penting karena akan menentukan keberhasilan pemisahan. Pendekatan polaritas adalah yang paling sesuai untuk pemilihan pelarut. Senyawa polar akan lebih mudah terelusi oleh fase gerak yang bersifat polar dari pada fase gerak yang non polar. Sebaliknya, senyawa non polar lebih mudah terelusi oleh fase gerak non polar dari pada fase gerak yang polar (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penyerap yang biasa digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorbsi yang utama pada KLT adalah partisi dan absorbsi (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Silika gel dengan pengikat. Pada umumnya digunakan pengikat gypsum, (CaSO4 5-15%. Jenis ini diberi nama Silika gel G. Ada juga menggunakan pengikat pati (starch) dan dikenal Silika gel S, penggunaan pati sebagai pengikat mengganggu penggunaan asam sulfat sebagai pereaksi penuntun bercak (Gandjar dan Rohman, 2008) . silika gel dengan pengikat dan indikator flouresensi bila diperiksa dibawah lampu UV A, panjang atau pendek. Sebagai indikator digunakan timah kadmium sulfida atau mangan-timah silikat. Jenis ini disebut silika gel GF atau silika gel GF254 (berflouresensi pada 254,

  λ nm) (Gandjar dan Rohman, 2007). Penyiapan dan penotolan sampel atau cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai (hampir pelarut organik dapat digunakan dan biasanya dipilih yang mudah menguap), air digunakan hanya bila tidak dapat dicari pelarut organik yang sesuai. Pada umumnya sample ditotolkan 1-20 µl larutan yang mengandung 50- 100 µg sampel tiap bercak untuk kromatografi absorbsi dan 5-2

  Ԛµg sampel untuk kromatografi partisi. Penotolan dapat dilakukan dengan gelas kapiler yang dibuat sendiri atau dengan pipet mikro. Kepada plat KLT konvensional (20×20 cm, 5×20 cm, tebal 0,2 mm) sampel ditotolkan sebagai bercak bulat atau garis, 1,5-2,0 cm dari tepi bawah. Penotolan bercak pada plat KLT dapat dilakukan berulang-ulang dan harus berhati-hati dijaga plat tidak rusak. Penotolan sampel yang terlalu banyak (over loaded) menyebabkan bercak hasil pengembangan berbentuk tidak bulat (asimetri) dan perubahan harga Rf. Bila totolan sampel-sampel telah kering maka plat siap untuk dielusi / dikembangkan (Gandjar dan Rohman, 2008).

  Pengembangan (elusi) hampir semua KLT dikembangkan dengan cara menaik dan bejana (chamber) pengembang dari gelas. Di dalam bejana ini dimasukkan fase gerak hingga kedalam 0,5 cm, pada dinding sebelah dalam bejana ditempelkan kertas saring setinggi 20 cm yang ujung bawahnya tercelup fase diam. Fase diam akan merambat keatas membasahi kertas saring, dengan demikian ruangan dalam bejana tertutup ini akan lebih cepat dijenuhi dengan uap pelarut. Setelah ruangan dalam bejana jenuh dengan uap fase gerak (terjadi kesetimbangan), plat KLT dimasukkan dimulai pengembangan atau elusi. Bercak sampel pada garis awal jangan sampai tertutup dalam fase gerak. Fase gerak akan merambat naik membawa komponen sampel. Komponen yang membentuk ikatan hidrogen lebih kuat dengan fase gerak akan terelusi lebih cepat atau merambat lebih cepat. Sebaliknya kalau ikatan hidrogennya lebih kuat dengan fase diam, komponen akan lebih lama tertahan fase diam atau merambat lambat (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Cara mengamati bercak pada KLT dapat digolongkan menjadi dua : pertama dengan cara memasukkan / mereaksikan komponen / senyawa yang ada bercak itu dan kedua tanpa merusakkan komponen / senyawa. Cara pertama dengan menyemprotkan peraksi penanda contoh pereaksi semprot yang umum utuk senyawa organik adalah asam sulfat dalam metanol, selanjutnya bercak dipanaskan di dalam oven, sebaliknya digunakan oven yang ada jendela kacanya sehingga dapat diikuti perubahan bercak selama pemanasan menjadi bercak warna hitam (Gandjar dan Rahman, 2008).

  Untuk analisis kualitatif diperlukan pelarut murni pembanding. Sampel dan senyawa pembanding dilarutkan pada pelarut yang sama, kemudian larutan sampel ditotolkan pada ujung pelat KLT, 2 cm sejajar dengannya ditotolkan larutan senyawa pembanding. Kromatogram diangkat diberi tanda batas akhir yang ditempuh fase gerak. Di inventarisasi nilai Rf. Senyawa yang mempunyai nilai Rf yang sama dengan nilai Rf senyawa pembanding dan pada pengulangan elusi dengan sistem berbeda tetap memberikan nilai Rf yang sama, maka dapat disimpulkan sementara senyawa tersebut identik dengan senyawa pembanding. Rf adalah jarak yang ditempuh senyawa (bercak) dibagi dengan jarak yang ditempuh fase gerak. hRf = Rf × 100 Rf adalah jarak yang ditempuh senyawa sampel dibagi dengan jarak yang ditempuh senyawa pembanding menggunakan sistem yang sama (Gandjar dan

  Rohman, 2008).